• Tidak ada hasil yang ditemukan

J01085

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " J01085"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERMASALAHAN-PERMASALAHAN

TERKAIT DENGAN PROFESI GURU SD

Slameto

slameto_usw@yahoo.com

PGSD & PPS MP - FKIP - UKSW Salatiga

ABSTRAK

Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi, sertifikasi, dan tunjangan profesi. Ketiga faktor tersebut diprediksi mempengaruhi kualitas pendidikan. Mengingat hasil-hasil penelitian belum mendukung kerangka berpikir seperti itu, maka lahirlah 3 isu terkait dengan sertifikasi guru yaitu: peningkatan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru pasca sertifikasi, rendahnya kualitas proises pembelajaran yang diampu oleh guru pasca sertifikasi dan perilaku guru yang kurang profesional. Oleh karena itu perlu pembinaan guru pasca sertifikasi yang harus dilaksanakan secara berkelanjutan, dikarenakan prinsip mendasar bahwa guru harus merupakan manusia pembelajar (a learning person). Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan profesionalismenya sebagai guru. Pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru dapat dilakukan melalui upaya pembinaan dan pemberdayaan guru. Dengan demikian perlu upaya peninjauan lebih mendalam terhadap program sertifikasi guru dalam jabatan, khususnya tujuan dan makna sertifikasi, perlu ada upaya pembenahan mind set guru dan perlu ada program perawatan dan pengembangan profesionalisme bagi guru-guru yang telah lulus program sertifikasi, khususnya dalam upaya peningkatan mutu layanan pembelajaran. Pengembangan profesionalisme guru pasca sertifikasi perlu kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengembangan, dan pe-nelitian tindakan kelas.

Kata kunci: permasalahan kompetensi, sertifikasi, dan profesi guru

PENDAHULUAN

Sebagaimana dinyatakan dalam UU SPN Nomor 20/2003, UURI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, guru dinyatakan sebagai tenaga profe-sional. Dalam kerangka itulah program sertifikasi guru dilakukan supaya guru memiliki penguasaan kompetensi

seba-gaimana dipersyarat-kan UU Guru dan Dosen.

(2)

tertentu. Guru sebagai salah satu bagian dari pendidik profesional memiliki tugas utama mendidik, mengajar, mem-bimbing, mengarahkan, melatih, meni-lai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam melaksanakan tugasnya, guru menerap-kan keahlian, kemahiran yang meme-nuhi standar mutu atau norma tertentu yang diperolehnya melalui pendidikan profesi.

Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik dan diberi-kan kepada guru yang telah memenuhi syarat. Selanjutnya, bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik ber-hak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jamin-an kesejahterajamin-an sosial. Penghasiljamin-an di atas kebutuhan hidup minimum meli-puti gaji pokok, tunjangan yang mele-kat gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsio-nal, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Guru yang layak menerima tunjangan sebagai upaya perbaikan na-sibnya agar profesi yang dijalaninya selama ini “diakui” sebagai profesi dan “disamakan” dengan profesi-profesi lainnya yang dianggap layak sebagai profesi. Guru benar-benar sebagai so-sok yang siap untuk digugu dan ditiru,

siap memenuhi panggilan tugas dan kewajiban dengan segala tanggung ja-wabnya, kemudian siap menerima tun-jangan sebagai konsekuensi dari sebuah profesionalitas.

Guru memiliki peran strategis dalam bidang pendidikan; guru meru-pakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Sayangnya kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif ren-dah. Berdasarkan survey UNESCO, terhadap kualitas para guru, kulitas guru kita berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal. Data dari Balitbang Depdiknas pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.05 (69,45%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifi-kasi pendidikan minimal (Tim Serti-fikasi Guru, 2006).

Permasalahan yang muncul kemudian adalah tingkat profesionalis-me guru pasca sertifikasi. Setelah ada jaminan kesejahteraan yang lebih baik dari sebelumnya, apakah mereka yang telah disertifikasi itu lebih baik dari sebelumnya? Atau bagaimana perban-dingannya dengan guru yang belum disertifikasi? Pertanyaan ini untuk menggugah, terutama tanggungjawab moral dalam membina generasi ke de-pan.

(3)

3 Selain ketidakjelasan dalam proses pelaksanaannya, kompetensi guru pasca sertifikasi masih dianggap kurang menunjang kinerja guru dalam mengajar sehingga kualitas pendidikan Indonesia di dunia masih jauh terting-gal (Miftha Indasari, 2013). Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, mengatakan, tujuan sertifikasi untuk meningkatkan mutu guru tidak berjalan baik. Sebab, pemerintah tidak punya konsep yang jelas soal pembinaan guru. ”Setelah uang sertifikasi diberikan, pemerintah lepas tangan,” (kompas, 2012) .

PEMBAHASAN

Fasilitasi sesi ini berupaya mengidentifikasi Isyu-isyu strategis ter-kait dengan Permenagpan - RB no 16 tahun 2009; sedemikian hingga merupakan upaya sosialisasi dan pe-nyadaran bagi para guru SD pasca sertifikasi tentang pentingnya peraturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan pengembangan profesionali-tasnya. Selain itu, yang tidak kalah

pentingnya adalah sebagai upaya pencegahan agar para guru pasca sertifikasi dalam bekerja sebagi guru profesional menjadi produktif, tidak terjebak dalam ketidak-layakan mana kala dilakukan penilaian kinerja. Disamping memaparkan uraian tentang permasalahan seputar sertifikasi dan profesionalitas guru pasca sertifikasi berdasarkan hasil-hasil penelitian dan kaitannya dengan layanan pembelajar-an, fasilitator ini juga mengundang partisipasi peserta untuk memunculkan ide-ide cemerlang dalam mencari solusi untuk meningkatkan kualitas pendidik-an/ pembelajaran sebagai dampak sertifikasi guru.

Sajian Hasil Penelitian

Temuan D. Deni Koswara, Asep Suryana, dan Cepi Triatna dengan judul Studi Dampak Program Sertifi-kasi Guru Terhadap Peningkatan Profe-sionalisme dan Mutu Di Jawa Barat tahun 2009 diperoleh ringkasan hasil seperti berikut ini.

Temuan yang menggembirakan Temuan yang memprihatinkan Data umum mengenai profesionalisme guru

SMP pada sekolah-sekolah yang diteliti menunjukkan kategori baik dengan

capaian skor instrumen penelitian sebesar 3,22. Hal ini berarti bahwa dilihat dari rasa

pengabdian, pemahaman terhadap kewajiban sosial, kemandirian, dan keyakinan terhadap profesi guru-guru yang menjadi responden penelitian dikategorikan baik.

Sertifikasi pada guru SMP yang diteliti di Jawa Barat berkorelasi sangat rendah terhadap peningkatan profesionalisme dan mutu pembelajaran.

1. Sertifikasi guru tidak berkontribusi terhadap profesionalisme guru. 2. Sertifikasi guru tidak berkontribusi

terhadap mutu pembelajaran.

(4)

Guru adalah tenaga profesio-nal. Program sertifikasi guru dilakukan supaya guru memiliki penguasaan kompetensi sebagaimana dipersyarat-kan UU Guru dan Dosen. Salah satu tujuan sertifikasi guru adalah untuk meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan. Guru yang memperoleh tunjangan profesi dikategorikan sebagai guru profesional. Temuan D. Deni Koswara, dkk. tahun 2009 ternyata sertifikasi guru SMP di Jawa Barat berkorelasi sangat rendah terhadap peningkatan profesionalisme dan mutu pembelajaran; Sertifikasi guru tidak berkontribusi terhadap profesionalisme guru; tidak berkontri-busi terhadap mutu pembelajaran.

Selanjutnya hasil kajian Bank Dunia mengkonfirmasi kegagalan pro-gram sertifikasi guru di Indonesia. Tidak adanya hubungan yang jelas antara program sertifikasi dengan peningkatan mutu pembelajaran. Tak tanggung-tanggung Bank Dunia me-neliti pelaksanaan setifikasi guru untuk kurun waktu 2009, 2011, dan 2012. Sasaran penelitian adalah 240 Sekolah Dasar, 120 Sekolah Menengah

Per-tama, 3000 guru, dan 90.000 siswa. Temuan pertama, sertifikasi tidak me-ngubah praktik mengajar dan perilaku guru. Kedua, peningkatan pendapatan guru yang lolos sertifikasi ekuivalen dengan peningkatan mutu mengajar (Kompas, 2012). Temuan dari kajian itu dipaparkan oleh Head of Human Development Sector Indonesia Bank Dunia, Mae Chu Chang pada pertemu-an Orgpertemu-anisasi Guru ASEAN di Denpasar, Bali menyebutkan bahwa belum jelasnya manfaat sertifikasi. Bahkan sejumlah penelitian membukti-kan bahwa peningkatan profesionalis-me pendidik tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan mutu pendidikan, sehingga akan terlalu cepat untuk mengatakan bahwa relevansi kebijak-an sertifikasi pendidik dengkebijak-an pe-ningkatan kesejahteraan pendidikan dan mutu pendidikan.

(5)

5

Temuan yang menggembirakan Temuan yang memprihatinkan Kemampuan guru profesional (guru

pasca sertifikasi) dalam menyusun RPP dan melaksanakan pembelajaran sudah baik. Berdasarkan penilaian kepala sekolah, kompetensi kepribadian dan sosial para guru yang sudah lulus sertifikasi dan telah menerima tujangan profesi sangat baik.

Upaya sebagian besar guru dalam membimbing siswa mengikuti lomba atau olimpiade sudah baik.

Kinerja sebagian besar guru profesional (pasca sertifikasi) yang ada di

Kabupaten Sleman belum baik; dari 17 indikator yang diteliti, 7 indikator baik dan 10 indikator lainnya belum baik. Upaya atau aktivitas sebagian besar guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi masih belum menggembirakan, terutama yang terkait dengan:

(1) penulisan artikel; (2) penelitian;

(3) membuat karya seni/teknologi; (4) menulis soal UN;

(5) menelaah buku;

(6) mengikuti kursus Bahasa Inggris, (7) mengikuti diklat, dan

(8) mengikuti forum ilmiah Usaha sebagian besar guru yang telah

lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi dalam:

(1) membuat modul; dan

(2) membuat media pembelajaran baik.

Aktivitas di organisasi pendidikan dan sosial belum baik,

(1) ada sebagian (47,5%) guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi menjadi pengurus organisasi sosial;

(2) 30% guru menjadi pengurus organisasi pendidikan

Penelitian Badrun di Kabupaten Sle-man tahun 2011 menyatakan kinerja sebagian besar guru profesional (pasca sertifikasi) belum baik, upaya sebagian besar guru yang telah lulus sertifikasi masih belum menggembirakan. Itu semua merupakan persoalan serius yang memerlukan solusi cerdas.

Asumsi bahwa sertifikasi akan meningkatkan profesionalisme guru

(6)

meng-asumsikan bahwa sertifikasi adalah suatu kondisi final dari profesi keguruan. Apabila diperbandingkan dengan sebelum sertifikasi, banyak guru yang sering mengikuti pengem-bangan kemampuan melalui berbagai pelatihan, workshop dan seminar, namun setelah sertifikasi dan dinyata-kan lulus mereka cenderung tidak mengikuti lagi kegiatankegiatan terse-but. Lebih jauh, alokasi dana tunjangan profesi yang diterima guru-guru sedikit sekali proporsinya yang digunakan untuk pengembangan profesi, bahkan kecenderungannya tidak digunakan un-tuk pengembangan profesi guru lebih lanjut. Para guru lebih banyak menga-lokasikan dana tunjangan profesinya untuk pemenuhan sandang, pangan dan papan, seperti pembelian tanah, rehab rumah, pembelian kendaraan bermotor, ditabung di bank, dan sebagainya.

Isyu-isyu strategis terkait Implementasi Permenagpan-RB nomor 16 tahun 2009

Mengimplementasikan berarti melengkapi atau menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang mencakup 4 komponen: a). Mencipta-kan dan menyusun staf sebuah agen baru untuk melaksana-kan sebuah kebijakan baru, b). Menterjemahkan tujuan legislatif dan serius memasuk-kannya ke dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi para pelaksana kebijakan, c). Melakukan koordinasi

terhadap sumberdaya agen dan pembiayaan bagi kelompok sasaran, mengembangkan pembagian tanggung-jawab para agen dan antar para agen serta hubungan antar agen, dan d). Mengalokasikan sumberdaya untuk memperoleh dampak kebijakan. (Arif Rohman, 2009).

Seperti dipaparkan di atas, bahwa sertifikasi guru yang semesti-nya meningkatkan kesejahteraan dan kualitas guru agar terjadi peningkatan kualitas pendidikan di kelas dan sekolah ternyata tak berjalan seperti yang diharapkan. Prestasi siswa tak meningkat signifikan, sertifikasi tak mengubah praktik mengajar dan tingkah laku guru. Perubahan yang dilakukan pemerintah untuk memba-yar lebih guru tak diterjemahkan oleh guru dalam hasil belajar yang bagus. Dengan demikian terdapat beberapa isyu strategis didalam implementasi kebijakan sertifikasi ini. Pertama terkait dengan peningkatan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru pasca sertifikasi. Kedua terkait dengan rendahnya kualitas proises pembelajaran yang diampu oleh guru pasca sertifikasi. Ketiga terkait dengan perilaku guru yang kurang profesional.

(7)

7 Sarce (2010) untuk mata pelajaran IPS Terpadu SMP, menemukan bahwa besarnya sumbangan kompetensi peda-gogik guru terhadap hasil belajar siswa sebesar 94,50%.

Terkait dengan isyu rendahnya kualitas proses pembelajaran yang diampu oleh guru pasca sertifikasi dapatlah dijelaskan seperti temuan Bank Dunia yang menyatakan bahwa sertifikasi tidak mengubah praktik mengajar dan perilaku guru; pening-katan pendapatan guru yang lolos sertifikasi tidak ekuivalen dengan peningkatan mutu mengajar (Kompas, 2012). Selanjutnya hasil kajian Bank Dunia mengkonfirmasi tidak adanya hubungan yang jelas antara program sertifikasi dengan peningkatan mutu pembelajaran; Sertifikasi guru tidak berkontribusi terhadap profesionalisme guru; tidak berkontribusi terhadap mutu pembe-lajaran. Mengapa demikian? Salah satu dugaan kuatnya karena terkait dengan isyu yang ketiga yaitu peri-laku guru yang kurang profesional. Terkait dengan isyu yang ketiga yaitu perilaku guru yang kurang profesional seperti dipaparkan oleh Badrun (2011) guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tun-jangan sertifikasi justru lebih tidak disiplin, banyak guru yang tidak mau mengikuti pengembangan kemam-puan melalui berbagai pelatihan, workshop dan seminar; alokasi dana tunjangan profesi yang diterima guru-guru sedikit sekali proporsinya yang digunakan

untuk pengembangan profesi, bahkan kecenderungannya tidak digunakan un-tuk pengembangan profesi guru lebih lanjut. Terkait dengan kegiatan pro-fesional, jarang sekali guru pasca sertifikasi yang melakukan kegiatan: penulisan artikel, Penelitian, membuat karya seni/teknologi, menulis soal UN, menelaah buku, mengikuti kursus Bahasa Inggris, mengikuti diklat, dan mengikuti forum ilmiah.

Ketiga isyu tersebut dipenga-ruhi oleh faktor 1) standar dan tujuan kebijakan; 2) sumberdaya; 3) komuni-kasi; 4) interorganisasi dan aktivitas pengukuhan; 5) karakteristik agen pelaksana; 6) kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta karakter pelaksana. Agar isyu-isyu tersebut segera teratasi, para pelaku kebijakan harus memiliki kemempuan manaje-rial, dan politis serta komitmen terhadap tujuan yang akan dicapai. Para pemimpin dapat mengambil langkah bukan hanya pada ranah merencanakan sebuah peraturan namun dalam pengangkatan personil baru non layanan masyarakat, guna meningkatkan isi dan keterdukungan pemimpin terhadap pancapaian tujuan sertifikasi.

Upaya Profesional Guru pasca Sertifikasi

(8)

kemampuan professional guru terma-suk terhadap peningkatan mutu pembe-lajaran. Bahkan muncul beberapa kasus yang tidak diharapkan. Untuk menja-min konsistensi profesionalisme guru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, diperlukan upaya-upaya peningkatan profesionalisme secara berkesinam-bungan. Secara preskriptif dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengembang-an, dan penelitian tindakan kelas merupakan dimensi-dimensi alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru.

Dukungan kampetensi mana-jemen diperankan oleh dinas pendidi-kan dan kepala sekolah; Kompetensi manajemen yang dibutuhkan unruk peningkatan profesionaiisme guru dibedakan atas tiga aras, yaitu (1) manajemen aras kebijakan di tingkat birokrasi dinas pendidikan, (2) manajemen aras sekolah di tingkat kepala sekolah, dan (3) manajemen aras operasional di tingkat guru (Surya Dharma, 2003). Pada aras kebijakan di tingkat dinas pendidikan, menurut Santyarsa (2008) dibutuhkan kompe-tensi tentang (1) pemikiran strategik (strategic thinking), (2) kepemimpinan yang berubah (change leadership), dan (3) manajemen hubungan (relationship management). Pada aras sekolah oleh kepala sekolah, dibutuhkan kompe-tensi-kompetensi; (1) fleksibilitas, (2) terapan perubahan, (3) pemahaman

interpersonal, (4) pemberdayaan, (5) fasilitasi tim, dan (6) portabilitas (Santyarsa, 2008). Pada aras opera-sional di tingkat personal guru, dibutuhkan kompetensi; (1) fleksibili-tas, (2) mencari dan menggunakan informasi, motivasi, dan kemampuan untuk belajar, (3) motivasi berprestasi, (4) motivasi kerja di bawah tekanan waktu, (5) kolaboratif, dan (6) orientasi pelayanan kepada siswa (Santyarsa, 2008).

(9)

9 pemberdayaan merupakan cara yang sangat praktis dan produktif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari kepala sekolah, para guru, dan para pegawai. Dalam standar kompetensi dan sertifikasi guru, pemberdayaan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja sekolah, melalui kinerja guru agar dapat mencapai tujuan secara optimal, efektif, dan efisien. Pember-dayaan guru melalui standar kompe-tensi dan sertifikasi guru terjadi melalui beberapa tahapan (Hanafiah, 2010: 161). Pertama, guru-guru mengem-bangkan sebuah kesadaran awal bahwa mereka bisa melakukan tindakan untuk meningkatkan kehidupannya dan mem-peroleh seperangkat keterampilan agar mampu bekerja dengan baik. Tahap kedua, mengurangi rasa ketidakmam-puannya dan mengalami peningkatan kepercayaan diri. Tahap ketiga, seiring dengan tumbuhnya keterampilan dan kepercayaan diri, para guru bekerja sama untuk berlatih lebih banyak mengambil keputusan dan memilih sumber-sumber daya yang akan berdampak pada kesejahteraan.

Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan merupakan peran sentral kepala sekolah; Strategi pemberdayaan adalah salah satu cara pengembangan guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman (2003), dapat dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk meberikan wewenang dan tanggung

jawab yang proporasional, menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Cara ini di satu sisi dapat merupakan proses kaderisasi, dan di sisi lain sekaligus sebagai proses peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan.

(10)

guru dalam menjalankan tugas kepro-fesionalan, yaitu komitmen dan kemampuan berpikir abstraks. Komit-men guru merupakan banyaknya waktu dan tenaga yang mampu dicurahkan oleh guru tersebut bagi siswa dan mengembangkan profesinya. Komit-men diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi atas tiga kategori, yaitu kepedulian terhadap diri sendiri, terhadap siswa, dan terhadap profesionalisme. Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan kognitif berbasis pengalaman konkrit, mampu mengidentifikasi tindakan kekinian untuk membantu siswa belajar secara efektif, dan mampu mengidentifikasi tindakan yang akan datang yang lebih memberikan kesuksesan pelayanan bagi siswa.

Guru profesional secara teore-tis akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, memberikan layanan pembelajaran kepada siswa untuk belajar secara interaktif, inspira-tif, memotivasi, menantang, dan me-nyenangkan. Pembelajaran seperti itu akan dapat diwujudkan oleh guru, apabila guru secara kontiniu melakukan penelitian tindakan kelas atau PTK. PTK adalah suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif mandiri, yang dapat digunakan dalam proses pengem-bangan kurikulum sekolah, perbaikan sekolah, dan perbaikan kualitas pembe-lajaran di kelas. PTK sangat berman-faat dalam membangun hubungan interpersonal, tipe pembelajaran yang

bervariasi, pengukuran bentuk-bentuk wacana kelas, penyelidikan terhadap manusia dengan melakukan komunika-si interpersonal selektif dan langsung. Kesahihan PTK bersifat personal, dan tidak semata-mata menekankan kesa-hihan metodologis. Para guru dise-yogyakan untuk melakukan PTK seeara berkesinambungan. Praktik pembe-lajaran yang dikritisi dengan kemudian ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan melalui PTK, secara bertahap akan meningkatkan profesionalisme guru.

PENUTUP

(11)

11 kurang profesional. Oleh karena itu perlu pembinaan guru pasca sertifikasi yang harus dilaksanakan secara berke-lanjutan, dikarenakan prinsip mendasar bahwa guru harus merupakan manusia pembelajar (a learning person).

Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mem-pertahankan profesionalismenya seba-gai guru.

Pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru dapat dilakukan melalui upaya pembinaan dan pember-dayaan guru.

Dengan demikian perlu upaya peninjauan lebih mendalam terhadap program sertifikasi guru dalam jabatan, khususnya tujuan dan makna sertifi-kasi, perlu ada upaya pembenahan mind set guru dan perlu ada program perawatan dan pengem-bangan pro-fesionalisme bagi guru-guru yang telah lulus program sertifikasi, khususnya dalam upaya-upaya peningkatan mutu layanan pembelajaran. Pengembangan profesionalisme guru pasca sertifikasi perlu kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengem-bangan, penelitian tindakan kelas.

Badrun Kartowagiran. 2011. Kinerja Guru Profesional (Guru yang Sudah Lulus Sertifikasi Guru dan Sudah Mendapat Tunjangan Profesi) di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Pusat Kajian Pengembangan Sistem Pengujian dan Pusat Kajian Pendidikan Dasar dan Menengah, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta

Deni Koswara, Asep Suryana, Cepi Triatna, 2009. Studi Dampak Program Sertifikasi Guru Terhadap Peningkatan Rofesionalisme dan Mutu di Jawa Barat. file.upi.edu/Direktori/ FIP/JUR._ ADMINISTRASI_PENDIDIK-AN/...

Haryono, 2010. Manajemen Peningkatan Profesionalisme Guru Pasca Sertifikasi, Makalah Disajikan dalam Program Teaching Clinic Pascasertifikasi Guru yang Diselenggrakan oleh Bidang PPTK Dinas Pendidikan Propvinsi Jawa Tengah Tahun 2010, dapat diakses pada http://budisusetyo.typepad.com

(12)

Jayengsari, Reksa. 2013. Pengaruh Kompetensi Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Akuntansi Di SMK Se-Kota Bandung. S1 Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia.

Kompas, 2012. Sertifikasi Guru Disorot.

http://tekno.kompas.com/read/2012/08/06/ 11001445/Sertifikasi.Guru.Disorot

Ratna Ayu, 2010. Membangun Kompetensi dan Profesionalisme Guru: Suatu Refleksi Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan. http://ratna-ayu.blogspot.com/ 2010/01/ membangun-kompetensi-dan.html

Republik Indonesia. 2005. Undang- UndangRepublik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta.

Santyarsa, I Wayan. 2008. “Dimensi-Dimensi Teoretis Peningkatan Profesional-isme Guru”. http://www. koranpendidikan.com/artikel-8095.pdf

Siswanta, Jaka. 2009. Meningkatkan Profesionalitas Pendidik Melalui Program Sertifikasi Pendidikan. Jurnal Mudarrisa, 1 (2).

Slameto, 2008. Peran Kepala Sekolah dalam Optimalisasi Kompetensi Pedagogik Guru. Bintek Teaching Clinik Pasca Sertifikasi Bagi Kepala Sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah.

Tim. 2006. Naskah akademik. Jakarta: Ditjen Dikti.

(13)

13

PENINGKATAN KETERAMPILAN PROSES PEMECAHAN MASALAH

DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MENGGUNAKAN MODEL PBL

TERINTEGRASI PENILAIAN AUTENTIK PADA SISWA KELAS VI SDN 2 BENGLE, WONOSEGORO

Sri Giarti sgiarty@gmail.com

SD Negeri Bengle 2, Wonosegoro, Boyolali

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan proses pemecahan masalah, hasil belajar Matematika siswa kelas VI SD Negeri 2 Bengle menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terintegrasi penilaian autentik. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, yang terdiri dari dua siklus. Masing-masing siklus terdiri atas tahapan perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Instrumen pengumpulan data menggunakan rubrik penilaian keterampilan proses pemecahan masalah, dan soal tes Matematika materi Debit air. Analisis data dilaku -kan dengan mengguna-kan analisis deskriptif komparatif yaitu membanding-kan kondisi awal sebelum dilakukan tindakan, hasil siklus 1, dan siklus 2. Hasil penelitian menunjukkan temuan bahwa model PBL terintegrasi penilaian autentik dapat: a) meningkakan keterampilan proses pemecahan masalah matematika siswa kelas VI SD Negeri 2 Bengle, Wonosegoro - Boyolali. Persentase kenaikan kete -rampilan pemecahan masalah matematika sebesar 28,54% untuk siklus 1 dan 35,46 % untuk siklus 2. b) Meningkatkan persentase jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar minimal (KKM) berikut: pada kondisi awal, persentase pencapaian KKM sebesar 30,77% (4 siswa), pada siklus 1 persentase meningkat menjadi 53,84% (7 siswa), dan pada siklus 2 persentase jumlah siswa yang mencapai KKM meningkat menjadi 84,61% (11 siswa).

Kata kunci: keterampilan proses pemecahan masalah, hasil belajar, model pembelajaran PBL, penilaian autentik

PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu matapelajaran bidang ke-SD-an yang menjadi muatan utama dalam ku -rikulum SD/MI Tahun 2006. Namun, pandangan siswa terhadap pelajaran matematika secara umum kurang terta

(14)

-litis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan kerja sama dikutip dari (Depdiknas, 2006). Sehingga peserta didik mampu memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kom -petitif. Dari penjelasan tersebut jelas -lah bahwa karakteristik matematika yang memiliki objek kajian abstrak, berkaitan dengan karakteristik siswa SD yaitu senang merasakan atau mela -kukan/memperagakan sesuatu secara langsung.

Kenyataannya tujuan matematika agar siswa mampu berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan kerja sama masih jauh dari harapan. Hasil observasi pe -neliti dan teman sejawat pada pembe -lajaran di kelas 6 SD N 2 Bengle menemukan permasalahan bahwa pem -belajaran matematika masih berpusat pada guru. Guru masih menggunakan metode konvensional, dimana guru ha -nya memberikan ceramah, pemberian contoh, dan pemberian tugas. Sehingga siswa kurang terlibat dalam proses pembelajaran, cenderung pasif, hanya mendengarkan penjelasan guru dan mengerjakan soal-soal tanpa ada kegia -tan yang melibatkan siswa secara langsung.

Kondisi pembelajaran Matemati -ka yang pasif dan hanya mendengar-kan tersebut berdampak pada rendahnya keterampilan proses pemecahan masa -lah matematika dan hasil belajarnya.

Pada pembelajaran pokok bahasan me -nyelesaikan masalah penggunaan akar dan pangkat, hanya 4 siswa (30,77%) menunjukkan keterampilan proses pe -mecahan masalah matematika pada kategori tinggi, 65 siswa (38,46%) pa -da kategori se-dang, -dan 4 siswa (30,77%) pada kategori rendah.

Rendahnya keterampilan proses pemecahan masalah matematika ini berdampak pada hasil belajar siswa. Data awal tingkat kompetensi hasil belajar siswa dengan KKM 60 ternyata hanya ada 3 siswa (30,77%) yang telah mencapai KKM dan rerata skornya berada pada kategori tinggi. Sedangkan 9 siswa (69,23%) belum mencapai KKM, dengan rincian 5 siswa (38,46%) pada rerata skor kategori sedang dan 4 siswa (30,77%) pada rerata skor kate- gori rendah.

(15)

15 yang sangat potensial untuk mening -katkan keterampilan proses pemecahan masalah matematika dan hasil belajar siswa

Slameto (2011: 7) menyebutkan model pembelajaran inovatif dian -taranya; Cooperative Learning, Con

-textual Teaching and Learning, Rea

-listik Mathematics Education, Problem Based Learning, Problem Promting,

Cycle Learning, Examples and Non

-Examples. Dari berbagai model pem

-belajaran yang ada, model PBL me -rupakan model pembelajaran yang sa -ngat potensial untuk meningkatkan hasil belajar dan meningkatkan kete -rampilan proses pemecahan masalah matematika. Potensi PBL tersebut oleh karena sintak pembelajarnnya relevan dengan keterampilan proses pemeca -han masalah matematika.

Berdasarkan latar belakang seper -ti tersebut di atas, permasalahan pene -litian yang akan dipecahkan dalam PTK ini adalah apakah model pembe -lajaran PBL terintegrasi penilaian autentik dapat meningkakan keteram -pilan proses pemecahan masalah Mate -matika dan seberapa tinggi peningka -tan keterampilan proses pemecahan masalah matematika dan hasil belajar siswa tersebut bisa tercapai.

KAJIAN PUSTAKA

Hakikat Matematika dan Pembela -jaran Matematika

Depdiknas (2006) menjelaskan bahwa hakikat matematika merupakan “bahan kajian yang memiliki konsep

abstrak dan dibangun melalui konsep penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sudah diterima sehingga keterkaitan antara konsep dalam matematika sangat luas dan jelas”.

Menurut Wahyudi (2012:10), “matematika berkenaan dengan ide (gagasan-gagasan), aturan-aturan, hu -bungan-hubungan, yang diatur secara logis sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Mate -matika merupakan pengetahuan yang disusun secara deduktif dan dapat digunakan untuk mendidik dan melatih untuk berpikir secara logik”. Sejalan dengan Wahyudi, Heruman (2007:27) mengemukakan “matematika merupa -kan ilmu pengetahuan yang mempe -lajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya”. Hal ini berarti belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya.

(16)

-ka, dan proses tersebut berpusat pada guru mengajar matematika. Pembela -jaran matematika seharusnya mampu menanamkan konsep matematika seca -ra jelas, tepat dan aku-rat kepada siswa sesuai dengan jenjang kelasnya.

Tentang hakikat Matematika ini, lebih lanjut lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006, menjelaskan bah -wa Matematika merupakan ilmu uni -versal yang mendasari perkembangan tekno- logi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mema- jukan daya pikir manusia (Depdiknas, 2006). Perkembangan pesat teknologi informasi dan komu -nikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemam -puan memperoleh, mengelola, dan me -manfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggu -nakan matematika dalam pemecahan

masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.

Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masa -lah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkat -kan kemampuan memecah-kan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.

Pembelajaran matematika hen -daknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan menga -jukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelaja -ran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya.

(17)

17 autentik misalnya penilaian autentik. Uraian secara medalam atau mendetail tentang keterampilan proses pemeca -han masalah matematika, PBL dan pe -nilaian autentik pada bagian tersendiri. Keterampilan Proses Pemecahan Masalah Matematika

Menurut Wahyudi & Kriswan -dani (2010:53) Keterampilan proses merupakan kegiatan belajar mengajar yang berfokus pada penelitian siswa secara aktif dan kreatif dalam proses memperoleh hasil belajar. Hasil belajar yang diperoleh siswa tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan saja melainkan bagaimana proses mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat terpenuhi.

Nyimas Aisyah (2008:5) menye -butkan prinsip-prinsip keteram- pilan proses matematika meliputi: 1) menga -mati, yaitu kegiatan yang terarah untuk menangkap gejala atau fenomena sehingga mampu membedakan yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan pokok permasalahan menggunakan indera secara optimal dalam rangka memperoleh informasi yang lengkap atau memadai. 2) menghitung, merupa -kan keterampilan dasar yang diguna -kan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil dari perhitungan dapat disajikan dalam bentuk tabel, grafit dan atau histogram. 3) mengukur, merupakan keterampilan dimana seseorang dapat mengetahui sesuatu yang diamati dengan mengu -kur apa yang diamatinya. 4) mengkla -sifikasi, merupakan kemampuan me

-ngelompokkan atau menggolongkan sesuatuyang berupa benda, informasi, fakta dan gagasan. 5) memenukan hubungan, merupakan kemampu -anmenentukan hubungan antara sikap dan tindakan yang sesuai. 6) membuat prediksi, merupakan ke -mampuan menyusun hipotesis atau suatu perkiraan untuk menerangkan suatu kejadian atau pengamatan tertentu. 7) melaksanakan penelitian, merupakan kegiatan penyelidikan untuk menguji gagasan-gagasan melalui kegiatan eksperimen praktis. 8) mengumpulkan dan menganalisis data, merupakan kemampuan menge -nai bagaimana cara-cara mengumpul -kan data dalam penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif. 9) menginterprestasikan data, merupa -kankemampuan untuk menafsirkan data yang telah dikumpulkan dari berbagai kegiaan. 10) mengkomuni -kasikan hasil, merupakan kegiatan untuk mengkomunikasikan proses dari hasil perolehan kepada berbagai pihak yang berkepentingan, baik dalam bentuk kata-kata, grafik, bagan mau -pun tabel secara lisan mau-pun tertulis.

(18)

mengampu mata pelajaran Matematika adalah seberapa tinggi tingkat pema -haman terhadap hakikat dan karakteris -tik Matema-tika, dimensi-dimensi Ma -tematika dan konsisten dalam me -milih model pembelajaran yang tepat. Apabila tantangan ini dijawab dengan tepat, maka dimensi-dimensi Matema -tika, yaitu Keterampilan proses peme -cahan masalah matematika, dan hasil belajar siswa dapat ditingkatkan. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Menurut Slameto (2011:7) Model PBL merupakan model pembelajaran model pembelajaran yang melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorien -tasi pada masalah autentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merang -sang kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Senada dengan Slameto, Hosnan (2014: 295) mengemukakan bahwa Model Problem PBL merupakan model pembelajaran dengan pendekatan pem -belajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun sendiri, menumbuhkan kembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiry, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri.

Simpulan ini senada dengan ketentuan dalam Kemendikbud (2014), yang menyatakan bahwa Model PBL merupakan sebuah pendekatan pembe -lajaran yang menyajikan masalah kon -tekstual sehingga merangsang peserta

didik untuk belajar. Model PBL dila -kukan dengan pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemu -dian dilakukan pemecahan masalah oleh peserta didik yang diharapkan dapat menambah keterampilan peserta didik dalam pencapaian materi pembe -lajaran. Lebih lanjut Permendikbud (2014), menjelaskan bahwa langkah -langkah atau sintak model PBL meli -puti orientasi permasalahan, pengor -ganisasian atau perancangan kegiatan penyelidikan, melakukan penyelidikan untuk memecahkan masalah, mempre -sentasikan hasil penyelidikan, dan mengevaluasi proses pemecahan masa -lah. Dalam model pembelajaran PBL, berawal dari guru mengajukan masalah autentik ataupun mengorientasikan sis -wa kepada masalah. Selanjutnya, akan memfasilitasi penyelidikan pada saat eksperimen/pengamatan,memfasilitasi dialog antara siswa, juga mendukung proses belajar siswa.

(19)

19 menjadi melek teknologi, melengkapi siswa dengan keterampilan dan rasa percaya diri untuk sukses dalam kompetisi global, dan juga mengajar -kan inti kurikulum dengan cara interdisiplin. 2) Meningkatkan kualitas pembelajaran, mengubah pola menga -jar dari memberitahu ke melakukan, menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan membuat keputusan sendiri, serta memberi kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi tentang bagaimana mereka akan menemukan jawaban pertanyaan atau memecahkan. 3) Menciptakan kondisi siswa menjadi aktif. 4) Menggali kreatifitas siswa dalam memecahkan masalah. Namun demi -kian, PBL juga memiliki kelemahan, terutama perlu waktu yang lama untuk menyelesaikan satu siklus pembela -jaran.

Berdasarkan hakikat Matematika, karakteristik pembelajaran Matematika seperti telah diuraikan di atas, maka model pembelajaran PBL dapat dijadikan salah satu alternatif model pembelajaran Matematika di SD. Implementasi model pembelajaran

PBL, secara teoretik dapat meningka

-tkan kompetensi keterampilan proses peme- cahan masalah matematika para siswa yang nantinya akan berdampak pada penguasaan konsep-konsep matematika. Berbagai penelitian tindakan mem- buktikan potensi PBL tersebut secara empirik. Siswantara, Manuaba & Meter (2013), meneliti

tentang penerapan model Problem

Based Learning SD Negeri 8 Kesiman

menemukan hasil bahwa model

Problem Based Learning dapat me

-ningkatkan aktivitas dan hasil belajar IPA. Wulandari, Budi & Suryandari (2013) melakukan PTK dan menemu -kan hasil bahwa penerapan Model PBL dapat meningkatkan proses dan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri Mudal Purworejo. Apriani, Riska (2013) melaporkan hasil penelitian berikut: a) penggunaan Model Problem

Based Learning dapat meningkatkan

performansi guru, b) aktivitas siswa kelas IV SD Negeri Randugunting 3 Kota Tegal. dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA. Lohman & Finkelstein (2002) melakukan peneli -tian dengan judul Designing Cased in Problem Learning to Foster Problem- Solving Skill melaporkan bahwa model

Problem Based Learning dapat

meningkatkan keterampilan pemeca -han masalah.

(20)

Tujuan dari Model Problem Based Learning (PBL) untuk membantu siswa memperoleh pengalaman dan mengubah pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau norma sebagai pengen -dali sikap dan prilaku siswa.

Mencermati uraian tentang kete -rampilan proses pemecahan masa- lah, sintak PBL dan potensi PBL seperti di atas, sebenarnya dapat disepadankan dengan keterampilan proses ilmiah dalam pendekatan saintifik. Langkah orientasi permasalahan dilakukan dengan cara mengamati permasalahan dalam pembelajaran matematika. Kegiatan menanya sejalan dengan aktivitas pengorganisasian atau peran -cangan kegiatan penyelidikan dengan merumuskan permasalahan penelitian. Kegiatan pembelajaran dengan mela -kukan penyelidikan untuk memecah -kan masalah dalam sintak PBL relevan dengan mengumpulkan informasi dan mengasosiasikan. Kegiatan mempre -sentasikan hasil penyelidikan dan me -ngevaluasi proses pemecahan masalah merupakan kegiatan yang relevan dengan kegiatan mengkomunikasikan dalam pendekatan saintifik.

Kesepadanan sintak PBL dengan keterampilan proses ilmiah dalam pendekatan saintifik nampaknya juga relevan dengan keterampilan proses pemecahan masalah dalam pembe -lajaran matematika. Kegiatan menga -mati dalam proses keterampilan peme -cahan masalah matematika sejalan de -ngan proses mengamati dalam pen

-dekatan saintifik dan kegiatan orientasi permasalahan dalam PBL. Kegiatan pengorganisasian atau perancangan ke -giatan penyelidikan dalam sintak PBL merupakan kegiatan yang relevan dengan kegiatan menghitung, mengu -kur, mengklasifikasi, menemukan hu -bungan, dan memprediksi. Kegiatan melakukan penyelidikan dalam lang -kah PBL berhubungan dengan kegiatan melaksanakan penelitian serta me -ngumpulkan, menganalisis dan meng -interpretasikan data dalam keteram -pilan proses pemecahan masalah matematika. Aktivitas mempresentasi -kan dan mengevaluasi hasil penye -lidikan sejalan dengan kegiatan meng -komunikasikan dalam keterampilan proses pemecahan masalah matema -tika.

Dalam penelitian PTK ini lima pembelajaran didesain berdasarkan sin -tak dari PBL dan komponen-komponen keterampilan proses pemecahan masa -lah matematika menjadi obyek amatan dalam proses pembelajaran.

Penilaian Autentik

Menurut Endang Poerwanti (2008:3) Penilaian autentik atau peni -laian alternatif merupakan upaya mem -perbaiki dan melengkapi tes, sehingga penilaian hasil belajar tidak hanya berhubungan dengan hasil akhir tetapi merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran.

(21)

21 pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Dari definisi penilaian autentik yang dikemukakan oleh Endang Poerwanti (2008:3) dan Hosnan (2014: 387) tersebut di atas, ada benang merah tentang definisi penilaian autentik yaitu pengukuran hasil belajar siswa meng -gambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, men- coba, membangun jejaring, dan lain- lain.

Menurut Muslich (2009:47) menyebutkan bahwa penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berba -gai data yang bisa memberikan gamba -ran atau informasi tenang perkemba -ngan pengalaman belajar siswa. Gambaran pengalaman belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar siswa mengalami proses belajar yang benar.

Hosnan (2014:396) mengungkap -kan bahwa teknik penilaian autentik terdiri dari tiga aspek penilaian yaitu: 1) penilaian sikap, penilaian yang dilaku- kan menggunakan lembar observasi kinerja saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu, berdiskusi maupun saat presentasi menggunakan. 2) penilaian pengetahuan, penilaian yang dilakukan menggunakan instru -men tes tertulis, instru-men tes lisan dan instrumen penugasan. 3) penilaian proses atau keterampilan, yaitu penilaian yang dilakukan mengguna -kan penilaian kinerja melalui tes

praktik, projek, dan penilaian portofolio.

Simpulan ini senada dengan ke -tentuan dalam lampiran Permendiknas No 81a Tahun 2013, yang menyatakan bahwa penilaian autentik merupakan penilaian dan pembelajaran secara terpadu. Penilaian autentik harus men -cerminkan masalah dunia nyata, bukan dunia sekolah. Menggunakan berbagai cara dan kriteria holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan, kete -rampilan, dan sikap). Penilaian auten -tik tidak hanya mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih menekankan mengukur apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik (Permendiknas, 2013:56).

(22)

diatasi dengan menggunakan model Problem Based Learning dan penilaian autentik.

Langkah-langkah pembelajaran pada kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir pembelajaran dirancang sesuai dengan langkah-langkah model pembelajaran PBL. Pada kegiatan ini, para siswa diajak untuk melakukan kegiatan: 1) mengorientasi peserta didik terhadap masalah yaitu mem -prediksi dan mengajukan hipotesis berdasarkan perkiraan atas kecenderu -ngan atau pola hubu-ngan antar data atau informasi tentang Kompetensi Dasar menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan satuan debit. 2) Kemudian para siswa diajak mengor -ganisasikan masalah dengan mencari alternatif strategi untuk menyelesaikan masalah mengenaisatuan debit. 3) Selanjutnya siswa melakukan perco -baan secara kelompok untuk mengum -pulkan data atau informasi. Kegiatan berikutnya 4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, yaitu mengkomuni- kasikan secara tertulis laporan dari proses merumuskan hipotesis sampai dengan menyim -pulkan hasilnya. 5) Kemudian kegiatan terakhir, siswa diminta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yaitu guru dan siswa mengevaluasi dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yang dipresentasi -kan setiap kelompok.

Dengan langkah-langkah pembe -lajaran seperti diuraikan dalam kerang

-ka pikir di atas, tujuan dari model pembelajaran PBL akan tercapai. Tujuan tersebut adalah meningkatnya kompetensi keterampilan proses pemecahan masalah maematika dan peningkatan penguasaan konsep -konsep hasil belajar Matematika. METODE PENELITIAN

Penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilakukan di SD Negeri 2 Bengle, Kecamatan Wonosegoro - Boyolali pada mata pelajaran Matematika kelas VI Semester 1 Tahun Pelajaran 2014/ 2015. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini dilakukan melalui tahapan penyusunan proposal penelitian, penyu -sunan instrument, pelaksanaan tindakan dalam rangka pengumpulan data, anali -sis data dan pembahasan hasil pene -litian serta penyusunan laporan PTK. Waktu pelaksanaan setiap tahap PTK adalah sebagai berikut: 1) penyusunan proposal penelitian dilakukan pada Juni tahun 2014; 2) Penyusunan instrumen PTK dilakukan pada Agustus minggu ke -3 tahun 2014; 3) Pelaksanaan tinda -kan siklus 1 dilaku-kan pada Agustus minggu ke-4 tahun 2014. Siklus 2 dilakukan pada September minggu ke-1 tahun 2014. Penentuan tindakan ini karena pertimbangan urutan pokok bahasan pada kelas VI dan kalender pendidikan di SDN 2 Bengle.

(23)

23 Sumber data primer berasal dari hasil pengukuran variabel penelitian tinda -kan kelas berikut: 1) skor hasil belajar siswa sebagai cerminan dari pengua -saan konsep matematika, 2) skor ting -kat keterampilan proses pemecahan masalah. Sumber data sekunder berasal dari hasil pengamatan teman sejawat terhadap aktivitas pembelajaran, yang terdiri dari: 1) tingkat aktivitas guru dan 2) tingkat aktivitas siswa dalam pembelajaran.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik tes dan non tes. Instrumen non tes berupa: 1) instrumen pengumpulan data hasil belajar Matematika meng- gunakan test hasil belajar, 2) instrumen pengumpu -lan data mengenai keterampi-lan proses pemecahan masalah menggunakan rubik keterampilan proses pemecahan masalah. Kisi-kisi instrumen pengu -kuran keterampilan proses pemecahan masalah mencakup mencakup 10 item dari 10 komponen, yaitu komponen keterampilan mengamati (item no. 5), mengihitung (item no. 3), mengukur (no. 7), mengklasifikasi (item no. 1), menemukan hubungan (no. 9), membuat prediksi (item no. 6), melaksanakan penelitian (item no 10.), mengumpulkan dan menganalisa data (item no. 4), menginterpretasikan data (item no. 2), mengkomunikasikan hasil (item no. 8). Kisi-kisi instrumen pengukuran hasil belajar Matematika mencakup 10 item soal, terdiri dari: menjelaskan penger -tian debit (item no. 1), melakukan

percobaan untuk menemukan rumus debit, volume dan waktu (item no. 3, 5, dan 8) menghitung besar debit (item no. 2, 4, 6,7, 9, dan 10).

Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif komparatif. Data kuantitatif yang diperoleh di deskripsikan dalam bentuk kata-kata atau penjelasan. Baik data yang diperoleh dari hasil tes siswa. Rubik keterampilan proses siswa. Selanjutkan dilakukan komparasi data setiap siklus untuk memastikan ada tidaknya peningkatan hasil belajar siswa, peningkatan keterampilan pro -ses pemecahan masalah matematika. Sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini ditetapkan indikator kinerja sebagi berikut: 1) Persentase jumlah siswa yang mencapai KKM sebesar 50% untuk siklus 1, dan siklus 2 sebesar 75%; 2) meningkatnya keterampilan proses sains minimal sebesar 20% untuk setiap siklus.

Prosedur PTK ini terdiri dari empat tahapan yang saling terkait dan berkesinambungan, yaitu perenca -naan (planning), tindakan (action), observasi (observe), serta refleksi (reflect). (Ditjen Dikti, 1999:25).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Hasil Tiap Siklus dan Antar Siklus

(24)

-pulkan bahwa penggunaan model PBL materi Debit air menunjukkan pening -katan Keterampilan proses pemecahan masalah dan ketuntasan hasil belajar siswa. Tabel 1 merangkum komparasi

tingkat Keterampilan Proses Pemeca -han Masalah dari kondisi awal, siklus 1 sampai siklus 2

Tabel 1 Komparasi Keterampilan proses pemecahan masalah Pembelajaran Tingkat Keterampilan Pemecahan Masalah

Matematila

Mean % Kenaikan

KondisiAwal 23,62 -

Siklus 1 28,54 20,83

Siklus 2 35,46 23,55

Dari data dalam Tabel 4.9 diatas, diperoleh temuan: a) pada kondisi awal, rata-rata tingkat keteram -pilan proses pemecahan masalah mate -matika siswa baru mencapai 23,62 (skor maksimal ideal 40); b) pada siklus 1, rata-rata tingkat keterampilan proses pemecahan masalah matematika siswa mencapai 28,54. Capaian ini menunjukkan peningkatan keterampi -lan sebesar 20,83%; c) pada siklus 2, rata-rata keterampilan proses pemeca -han masalah matematika mencapai 35,46. Data ini menunjukkan pening -katan keterampilan proses sains sebesar 23,55%.

Kenaikan mean hasil belajar dan persentase jumlah ketuntasan belajar siswa dirangkum dalam Gambar 1. Dari Gambar 1 diperoleh data berikut: a) pada kondisi awal, mean hasil belajar baru 40, sedangkan persentase jumlah siswa yang mencapai KKM hanya 23,07% (3 siswa); b) pada siklus

1, mean hasil belajar menjadi 62,31

dan persentase meningkat menjadi 53,84% (7 siswa); c) pada siklus 2, mean hasil belajar meningkat menjadi 75,38 dan persentase jumlah siswa yang mencapai KKM meningkat menjadi 84,61% (11 siswa)

(25)

25 Temuan Penelitian dan Pembahasan 1. Keberhasilan model PBL dalam

meningkatkan keterampilan proses pemecahan masalah matematika

Data pada tabel keterampilan proses pemecahan masalah mate -matika kondisi awal, siklus 1 dan siklus 2 menunjukkan temuan rerata keterampilan proses pemecahan masalah matematika pada kondisi awal 23,62 pada siklus 1 28,54 dan siklus 2 35.46. Temuan ini mengin -dikasikan adanya peningkatan ting -kat keterampilan proses pemecahan masalah matematika. Besaran peningkatan 20,83% pada siklus 1 dan 23,556% pada siklus 2. Jika dibandingkan dengan indikator kinerja 20% ternyata temuan siklus 1 dan 2 tersebut telah mencapai keberhasilan.

Keberhasilan penelitian ini bermakna bahwa siswa mampu mengamati, mengukur, mengklasi -fikasi, menemukan hubungan, mem -buat prediksi, melaksanakan peneli -tian, mengumpulkan dan mengana -lisis data, menginterprestasikan data, mengkomunikasikan hasil Temuan ini sejalan dengan penelitian Siswan -tara, Manuaba & Meter (2013), Wulandari, Budi & Suryandari (2013), Apriani, Riska (2013) dan Lohman & Finkelstein (2002). 2. Keberhasilan model PBL dalam

meningkatkan hasil belajar siswa

Data pada grafik 1 hasil belajar siswa kondisi awal, siklus 1 dan siklus 2 menunjukkan temuan kondisi awal, mean 40, pada siklus

1 mean 62,31, pada siklus 2 mean

75,38. Temuan ini mengindikasikan adanya peningkatan hasil belajar siswa. Besaran peningkatan 53,84% pada siklus 1 dan 84,61% pada siklus 2. Jika dibandingkan dengan indikator kinerja 50% untuk siklus 1, 75% untuk siklus 2 ternyata temu- an siklus 1 dan 2 tersebut telah mencapai keberhasilan.

Hasil Temuan ini sejalan de -ngan penelitian Siswantara, Manu -aba & Meter (2013), Budi & Sur -yandari (2013), Apriani, Riska (2013).

(26)

terbukti siswa mampu mengkomunika -sikan hasil. 5) sintak kelima meng -evaluasi proses pemecahan masalah terbukti siswa mampu mengkomuni -kasikan hasil.

Temuan ini sejalan dengan penelitian Siswantara, Manuaba & Meter (2013), Wulandari, Budi & Suryandari (2013), Apriani, Riska (2013) dan Lohman & Finkelstein (2002).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Model Pembelajaran PBL dan penilai -an autentik dapat:

1. Meningkakan keterampilan proses pemecahan masalah Matematika siswa kelas VI SD Negeri 2 Bengle, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali sebesar 28,54% pada siklus 1 dan pada siklus 2 sebesar 35.46%.

2. Meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI SD Negeri 2 Bengle Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali 53,84% pada siklus 1 dan pada siklus 2 sebesar 84,61%.

Saran

Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah, para guru hendaknya: a) menggunakan model pembelajaran PBL dalam pembelajaran matematika, b) melatih siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran di kelas dan c) mengembangkan kete -rampilan proses pemecahan masalah matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, (2011). Perbedaan Problem Based Learning dan Problem Solving. http://susantojk.blogspot.com/2011/07/problem-based-learning-dan -problem.html. Diakses tanggal 11 Agustus 2014.

Apriani Riska (2013). Peningkatan Pembelajaran Perubahan Lingkungan

Melaui Model Problem Based Learning pada Siswa Kelas IV Sekolah

Dasar Negeri Randugunting 3 Kota Tegal. Skripsi UNNES Semarang Tidak diterbitkan.

(27)

27

Heruman. (2007). Model pembelajaran matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Hosnan. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.

Kemendikbud, (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Lohman & Finkelstein. (2002). Designing Cased in Problem Learning to Foster Problem-Solving Skill. Research in Dental Education Jurnal, 6 (1):121– 127.

Muslich, M. (2009). KTSP, Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Nyimas Aisyah. (2008). Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi..

Siswantara, Manuaba & Meter (2013). Penerapan Model Problem Based Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD Negeri 8 Kesiman. Jurnal Garuda Portal,(1):1-10.

Slameto (2011). Sertifikasi Guru Bahan Ajar. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Wahyudi & Kriswandani. (2010). Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Salatiga: UKSW

Wahyudi. (2012). Matematika realistik dan implementasinya dalam proses pembelajaran matematika. Salatiga: UKSW.

Wulandari, Budi & Suryandari. (2013). Penerapan Model PBL (Problem Based Learning) Pada Pembelajaran IPA Siswa Kelas V SD. Jurnal Kalam

(28)

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN

TWO STAY TWO

STRAY

BERBASIS

CTL

UNTUK MENINGKATKAN HASIL

BELAJAR SISWA KELAS IV SD NEGERI KARANGREJO 2

DEMPET, DEMAK.

Hartatik

SD N Karangrejo 2 Dempet-Demak

ABSTRAK

SD Negeri Karangrejo 2 terletak di Kecamatan Dempet Kabupaten Demak sangat jauh dari pusat Kecamatan. SD Negeri Karangrejo 2 termasuk SD dalam kategori ranking 10 besar di Kecamatan Dempet. Oleh karena itu potensi peserta didik SDN Karangrejo 2 termasuk cukup baik. Potensi tersebut perlu ditumbuhkembangkan. Berdasarkan data nilai guru, rata–rata nilai peserta didik kelas IV masih rendah, yaitu 6,5. Berdasarkan kondisi awal, peneliti menerapkan Model Pembelajaran Two Stay Two Stray pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam khususnya dalam materi pokok Rangka Manusia. Rumusan masalahnya, bagaimana meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas IV SDN Karangrejo 2 dalam materi pokok Rangka Manusia? Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik Kelas IV SDN Karangrejo 2 dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam khususnya pada materi pokok Rangka Manusia. (2) Untuk meningkatkan aktifitas belajar peserta didik kelas IV SDN Karangrejo 2 dalam mata pelajaran IPA khususnya pada materi pokok Rangka Manusia. Setelah PTK dilaksanakan, maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: (1) Rata– rata hasil belajar peserata didik kelas IV SDN Karangrejo 2 dalam mata pelajaran IPA khususnya pada meteri pokok Rangka Manusia dapat ditingkatkan, yaitu 7,2. (2) Aktifitas belajar peserata didik setelah diterapkan model pembelajaran Two Stay Two Stray dapat meningkat, solid, dan terkoordinasi. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka dapat disarankan sebagai berikut: (1) Perlu dilakukan PTK lanjutan untuk materi pokok yang lain pada pelajaran IPA. (2) Model pembelajaran Two Stay Two Stray dapat diterapkan untuk kelas–kelas yang lain di SDN Karangrejo 2 Kecamatan Dempet.

Kata kunci : Two Stay Two Stray, CTL, IPA.

PENDAHULUAN

Mata pelajaran Ilmu Pengeta-huan Alam SD merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat penting dalam hal pembekalan untuk melanjut-kan sekolah di tingkat yang lebih tinggi

(29)

29 SD Negeri Karangrejo 2 adalah sebuah SD yang terletak di desa yang masyarakatnya belum sepenuhnya menyadari akan pentingnya pendi-dikan. Mereka sekolah hanya apa adanya, sekedar mengikuti arus. Minat belajar peserta didik juga sangat rendah. Selama ini banyak siswa penulis yang menganggap mata pelajaran IPA sebagai momok, bahkan dianggap sebagai mata pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan menjemukan. Keadaan ini berdampak pada aktivitas siswa yang sangat memprihatinkan. Masalah nyata, jelas dan mendesak untuk diselesaikan adalah sebagai berikut.a). Ada 3 peserta didik kelas IV yang nilai Akhir Semester tidak tuntas. Kompetensi para peserta didik untuk mengerjakan soal akhir semester belum baik dan perlu ditingkatkan. b). Berdasarkan data nilai guru, rata-rata nilai peserta didik kelas IV untuk materi pokok Rangka Manusia masih rendah yaitu 6,5. Rata-rata ini masih bisa ditingkatkan agar menjadi lebih besar dari 6,5. c).Aktivitas belajar peserta didik kurang berkembang. Dalam belajar kelompok, masih ada beberapa kelompok yang pasif. Keberanian peserta didik untuk bertanya kepada guru dan yang berani maju ke depan kelas untuk mengerjakan tugas tak lebih dari 2 anak. Penyebab masalahnya sangat jelas, yaitu: a). tidak semua peserta didik yang masuk ke SD Negeri Karangrejo 2, memiliki minat di

bidang IPA; b). guru belum memperoleh cara mengajar yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dalam pelajaran IPA.

Dari uraian di atas dipandang perlu untuk mencari model pembela-jaran yang tepat dan menarik, agar proses pembelajaran semakin efektif dan kompetensi dasar peserta didik dapat secepatnya tercapai. Secara kolaburatif, penulis memilih model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis CTL ( Contextual Teaching and Learning) untuk meningkatkan prestasi peserta didik kelas IV SD Negeri Karangrejo 2 pada materi pokok Rangka Manusia. Diharapkan dengan diterapkanya model pembela-jaran Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu) berbasis CTL ini, maka hasil belajar peserta didik dapat meningkat. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas IV SD Negeri Karangrejo 2 dalam materi pokok Rangka Manusia?” Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah menigkatnya hasil dan aktifitas belajar peserta didik dalam mempelajari materi pokok rangka manusia dengan menggunakan model pembelajaran Two Stay Two Stray.

(30)

diharapkan adanya inovasi model pembelajaran yang merupakan sumbangan pemikiran dan pengabdian guru dalam turut serta mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Selain itu bermanfaat pula bagi SD Negeri Karangrejo 2 diantaranya diperoleh panduan inovasi model pembelajaran Two Stay Two Stray yang diharapkan dapat dipakai untuk kelas – kelas lainnya di SD Negeri Karangrejo 2, dapat mengurangi jumlah peserta didik yang nilainya tidak tuntas, dapat meningkatkan perolehan nilai pada Ujian Sekolah, dapat meningkatkan peringkat SD Negeri Karangrejo 2 ditingkat Kecamatan.

KAJIAN PUSTAKA

KTSP dan Pendekatan Kontekstual

Saat ini sedang aktif dilaksakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum 2004 (KBK). KTSP ini juga berbasis pada kompetensi yang harus dicapai peserta didik. Puskur Balitbang Depdiknas (2002:1) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam berpikir dan bertindak. KTSP merupakan kurikulum yang dirancang dan dikembangkan berdasarkan sepe-rangkat kompetensi tertentu yang harus dipelajari dan ditampilkan peserta didik. Kompetensi dasar yang harus dicapai peserta didik melalui indikator hasil belajarnya telah disusun oleh

pemerintah pusat melalui Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

a. Menekankan pada keter-capaian kompetensi da-sar oleh peserta didik. b. Berorientasi pada hasil

belajar (learning out-comes) dan keberagam-an.

c. Mengaitkan materi pela-jaran dengan kehidupan nyata.

d. Sumber belajar tak hanya dari guru, tetapi tetap harus edukatif. e. Penilaian menekankan

(31)

31 disebut sebagai pembelajaran IPA dengan pendekatan kontekstual. Hal ini sangat diperlukan agar para peserta didik termotivasi untuk belajar.

Peserta didik perlu dilatih secara dini untuk menghubungkan Ilmu Pengetahuan Alam dengan kehidupan sehari-hari dan tahu manfaat Ilmu Pengetahuan Alam dalam kehidupan bermasyarakat. Para peserta didik tak harus memperoleh wawasan manfaat Ilmu Pengetahuan Alam dari guru saja, melainkan dari sumber lain secara mandiri, seperti dari majalah, koran, TV, atau internet.

Dalam sebuah jurnal, Uri Zoller (1991:593) menuliskan bahwa Science, Technology, Enviroment, and Society (STES) mempunyai hubungan dominasi yang setara. Ini berarti, pembelajaran dengan pendekatan kon-tekstual sudah menjadi issue internasional. Di sinilah Ilmu Pege-tahuan Alam yang kontekstual perlu diterapkan agar bersesuaian dengan Environment/lingkungan dan Society/ masyarakat.

Keterlibatan peserta didik untuk turut belajar secara aktif melalui implementasi KTSP yang berbasis kontekstual ini merupakan salah satu indikator keefektifan belajar. Peserta didik tidak hanya menerima saja materi pengajaran yang diberikan guru, melainkan peserta didik juga berusaha menggali dan mengembangkan sendiri. Dengan demikian, hasil pengajaran tidak hanya menghasilkan peningkatan

pengetahuan tetapi juga meningkatkan ketrampilan berpikir. Hal tersebut juga dikuatkan oleh Eggen dan Kauchak (1988:1) yang menulis bahwa Effective learning occurs when students are actively involved in organizing and finding relationships in the information by themselves.”

Lambas dkk (2004:16) dalam materi Pelatihan Terintegrasi menulis bahwa belajar aktif adalah belajar yang melibatkan keaktifan mental (intelek-tual emosional) walaupun dalam banyak hal diperlukan keaktifan fisik. Kadar keaktifan siswa antara teacher-centered lawan Student-centered. Kadar keaktifan siswa atau kadar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menurut Mc Keachie ditentukan oleh tujuh dimensi atau factor sebagai berikut.

a. Partisipasi siswa dalam menetapkan tujuan ke-giatan pembelajaran. b. Tekanan pada upaya

mencapai tujuan afek-tif dalam pembela-jaran.

c. Partisipasi siswa dalam proses pembelajaran terutama dalam inter-aksi antar siswa. d. Penerimaan guru

(32)

e. Kekohesifan kelas se-bagai kelompok f. Kesempatan yang

di-berikan kepada siswa untuk mengambil ke-putusa-keputusan penting dalam kehi-dupan sekolah.

g. Jumlah waktu yang di-pergunakan untuk menanggulangi masalah pribadi siswa baik yang berhubungan ataupun tidak

berhubungan dengan mata pelajaran.

Tujuh dimensi di atas dapat diterapkan di dalam pengelolaan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dalam berbagai variasi metode dan model pembelajaran. Keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran dapat pula ditingkatkan dengan memberikan motivasi. Motivasi adalah daya penggerak yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu. Motivasi terbaik adalah motivasi instrinsik. Suatu motivasi yang tumbuh dari kesadaran diri pribadi yang didorong oleh cita-cita ataupun harapan pribadi. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang tumbuh karena pengaruh dari luar. Untuk memotivasi siswa pada awal pembelajaran dapat digunakan cerita menarik, masalah menantang, sejarah para ilmuwan, gambar menarik, atau yang lainnya.

Adapun beberapa cara yang dapat meningkatkan minat belajar siswa adalah:

a. mengaitkan topik yang dibahas dengan kegunaannya di masyarakat;

b. memberi kesempatan mendapatkan hasil yang baik (sense of succes);

c. menggunakan variasi metode/model dalam proses pembelajaran; d. mengaitkan materi

baru dengan materi lama.

(33)

33 dicapai jika strategi yang diterapkan guru tepat dan mengacu pada pene-muan dari peserta didik itu sendiri. Penemuan ini bisa diperoleh melalui proses pembelajaran yang mengguna-kan model Two Stay Two Stray.

Pentingnya kontekstual sebagai penunjang aktivitas yang signifikan dari peserta didik ini juga diungkapkan oleh Elaine B. Johson (2002:3) yang menulis bahwa ”Contexstual teaching and learning engages students in significant activities that help them connect academic studies to their contextin real-life situations.” Berkait -an urai-an di atas, maka peserta didik kelas IV SDN Karangrejo 2 perlu dioptimalkan aktivitas belajarnya sehingga memiliki kompetensi yang diharapkan, sesuai dengan tuntutan KTSP.

Menurut Budiyono (2002:1) kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan sese-orang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, ketram-pilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Seharusnya dengan suatu tindakan kelas, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang dimiliki peserta didik SDN Karangrejo 2 tentang Rangka Manusia dapat lebih ditingkatkan pula.

Model Pembelajaran Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu)

Amin Suyitno (2009) menulis bahwa pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan peserta didik serta peserta didik dengan peserta didik. Selanjutnya Trianto (2005:3) menulis bahwa model pembelajaran adalah tindakan pembelajaran yang dilakukan guru di dalam atau di luar kelas terhadap para peserta didiknya agar tujuan pembelajaran tercapai. Tetapi tidak semua tindakan pem-belajaran dari guru terhadap peserta didiknya dapat disebut sebagai model pembelajaran. Tindakan pembelajaran guru baru dapat disebut sebagai model jika dipenuhi empat syarat sebagai berikut.

a) Ada penemunya.

b) Ada tujuan yang akan dicapai.

c) Ada tingkah laku yang spesifik.

d) Ada lingkungan yang perlu diciptakan.

Gambar

Gambar 1.  Komparasi Mean dan Ketuntasan Belajar Siswa
Gambar cover atau sampul
Tabel 1.2 Komparasi Hasil Belajar Antar Siklus
Tabel 1  komparasi tingkat keterampilan proses
+7

Referensi

Dokumen terkait

untuk mengontrol atau secara signifikan mengurangi usaha terkait dengan membangun perangkat lunak [2][3]. Terdapat berbagai masalah dalam melakukan estimasi usaha

Pengaruh Pertumbuhan Vegetatif beberapa Varietas Kedelai Hitam dengan Pemberian Vermikompos pada Tanah Masam.Produksi kedelai hitam yang belum mencukupi kebutuhan dalam

mempengaruhi keluarga tersebut untuk mencari cara lain dalam usahanya meningkatkan pendapatan keluarga. Pendidikan akan ikut memberi pengaruh terhadap

Hasil yang diperoleh: (1) dari sisi makna-makna budaya maka dalam penelitian ini ditemukan bahwa setiap unsur yang terdapat dalam bangunan Masjid Jami’ Tan

Dari jumlah pemakaian tahun 2008 pemanfaatan fasilitas sistem rabbit sangat rendah, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2, bahwa jam operasi sistem rabbit hanya

Bagi saya, pemimpin itu bukan berarti memiliki jiwa yang besar, pemimpin juga bukan berarti memiliki jiwa yang keras, pemimpin adalah yang melakukan segala hal dengan kombinasi

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa KBQT menerapkan strategi discovery learning dan strategi pembelajaran mandiri yang dapat membangun inisiatif warga be- lajar

Proses interpretasi dalam al-Qur’an pembahasannya tidak terbatas pada analisis sinkronis, melainkan mengutamakan analisis diakronis, dan itu pun bukan hanya dalam bentuk semiotika