• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAKWAH KULTURAL GAYA KOTAGEDE (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DAKWAH KULTURAL GAYA KOTAGEDE (2)"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

DAKWAH KULTURAL GAYA KOTAGEDE (2)

Mustofa W Hasyim

Masalahnya adalah bagaimana memproses agar 3 pusat kehidupan itu dapat tersadari posisinya dan bagaimana agar 5 potensi budaya itu menjadi aktual? Harus ada agenda yang mampu menyentuh semuanya. Jadi diputuskan untuk memilih strategi agenda sebagai pintu masuk, sebagai pemacu dan pemicu pemberdayaan masyarakat. Dan metodenya adalah metode pendampingan. Aktivis yayasan ini berniat mendampingi masyarakat ketika agenda budaya itut elah selesai disusun, berdasar penjarignan aspirasi dan inspirasi kolektif masyarakat.

Dan agenda itu sederhana, mengenal Kotagede kembali dalam sebuah refleksi yang konkret dilengkapi aksi-aksi budaya. “Bagaimana agar orang luar dan orang dalam sendiri dapat mengenal Kotagede kembali? Dengan kesadaran baru?”

Agenda mengenal diri sendiri secara kultural itu kemudian dikemas dalam sebuah acara Rambling through Kotagede atau jalan-jalan menyusuri kampung-kampung Kotagede. Agar lebih menarik maka disusun titik berangkat, titik-titik tujuan dan titik akhir yang diharapkan cukup mengesankan. Tamu-tamu diundang.

Diawali dengan merasakan bagaimana hidup di rumah kuno yang telah bertahan lebih dari dua abad sambil makanan dan minuman yang serba tradisional, sambil nonton seni pertunjukan khas Kotagede, lalu kemudian mengunjungi rumah bekas para tokoh nasional (antara lain rumah Prof KH A Kahar Muzakkir), tokoh gerakan sosial dan pendidikan (Ma’had Islamy dan TPA AMM), masuk ke sebuah lingkungkan kampung yang antik yang dikenal sebagai lingkungan between two gate di Alun-alun, lalu masuk ke bekas lokasi Kerajaan Mataram Islam di nDalem, lalu menyusuri kampung di Ledok ke utara, masuk ke kompleks Masjid Besar dan Makam Senopati dan mengunjungi kampung-kampung kerajinan. Pada banyak titik diperdengarkan aneka seni pertunjukan tradisional dan relijius. Termasuk ketika sampai di kompleks Masjid Besar, diperdengarkan slawatan kuno yang konon telah ada sejak abad ke-16.

Yang menarik, juga mengharukan, adalah ketika masyarakat yang tengah dihantam krisis ekonomi dan banyak yang bingung hidupnya karena ‘kelaparan’ dan

pengangguran betul-betul hadir setiap hari di dalam rumah-rumah penduduk miskin itu ternyata mereka dapat diajak untuk bergerak. Mereka mau diajak untuk berlatih kesenian tradisional, mau diajak untuk menyiapkan warung atau berjualan kecil-kecilan dan mau diberi penyadaran bahwa lingkungan yang kuno dan berkualitas secara budaya ternyata dapat laku mendatangkan tamu.

Tentu saja para pendamping kegiatan ini bertanggungjawab. Maksudnya, ketika menyusun proposal selalu menyertakan bahwa karena masyarakat (khususnya masyarakat perajin) dalam kondiri menganggur, tidak punya uang dan sering kelaparan maka harus ada dana tertentu bagi mereka yang mau hadir untuk berlatih kesenian, juga bagi yang mau melatih diberi honor sekadarnya. Selain itu di

masyarakat sekitar diberi santunan modal, berupa pinjaman uang tanpa bunga yang nanti digulirkan ke para tetangga yang membutuhkan kemudian. Semua dikalkulasi. Mereka menyiapkan agenda itu latihan berapa kali, semua diperhitungkan. Dengan demikian, ‘sambil melupakan derita krisis’ masyarakat mau diajak untuk melihat alternatif bagi masa depannya.

(2)

Beberapa saat kemudian ketika ada tamu-tamu dari Jepang, masyarakat dampingan ini sudah siap. Para tamu yang kebanyakan dosen dan aktivis budaya itu diajak

menikmati menu budaya khas Kotagede. Salah seorang professor yang pada pada tahun 1970an masih doktor arsitektur dan pernah melakukan penelitian waktu itu sempat terkesan dan mengatakan kalau ketenteraman hidup negeri ini sungguh lebih terasa dibanding di Jepang sendiri.

Gerak masyarakat dampingan terus terasa. Maka dirintislah sebuah festival seni kampung, yang diberi nama Festival Timpasko (Timur Pasar Kotagede), yang menjadi embrio dari Festival Kotagede. Sukses. Termasuk pentas srandul yang mengambil judul Amir Ambyah Ngaji.

Dalam Festival Kotagede, pada saat pawai budaya, sungguh terjadi ‘rekonsilisasi budaya’ antara masyarakat setempat yang tahun 1960an pernah terkoyak dan terkotak secara politik. Mereka menyatu dalam suatu prosesi yang menggambarkan kejayaan masa silam kerajaan Mataram, lengkap dengan berbagai pernik-peniknya.

Denyut budaya memang sulit diduga. Ketika diadakan Festival Makanan Tradisional, pesertanya melimpah, dan sebuah seni pertunjukan yang hampir punah, GejokLesung, ditampilkan, membawa pesan-pesan relijius.

Yang mutakhir, tahun 2003 kemarin Yayasan PUSDOK yang telah mengalami regenerasi -dari generasi perintis A Charris Zubair dan Darwis Khudori ke generasi penerus Ahmad Noor Arief, Erwito Wibowo dan Agung Hartadi- ikut merintis adanya Living Museum Kerajinan Kotagede, sebagai bagian awal dari akan dicanangakannya Living Museum Budaya Kotagede, yang meliputi pengembangan 5 potensi budaya yang ada. Semua ini merupakan langkah dakwah kultural meski para pelakunya tidak pernah secara resmi menyebutkan kalau yang dilakukan adalah sebuah langkah dakwah. Yang mereka lakukan hanyalah bagaimana menerjemahkan ajaran agama tentang kewajiban membangun jaringan kebaikan, jaringan keindahan, jaringan kebenaran dan jaringan keadilan budaya dalam kegiatan budaya yang nyata. Tidak muluk-muluk (Habis)

Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Begitu pula dengan pengungkapan informasi lingkungan perusahaan pertambangan dan pemegang HPH/HPHTI yang dinilai sebagai perusahaan berisiko lingkungan yang tinggi, perusahaan

The basaltic andesite - rhyodacite samples in the Cibaliung epithermal gold mineralisation district are characterised by enriched LILE and LREE, signatures typical of

Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evaporasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan

St esso psikososial pada lansia me pakan masalah an san at membebani kehid pan an dapat men ebabkan an an isik sosial dan mentaln a3. 4 an an dep esi demensia

Sementara dari hasil analisis chi square hubungan kegemukan dengan kebugaran jasmani menurut jenis kelamin siswa sekolah menengah pertama usia 13 – 15 tahun

Sebagai konsekuensi dari kegagalan metode P 1 pada bagian freeboard , pada daya operasional sebesar 60 MW, suhu bahan bakar maksimum partikel bahan bakar pasca shutdown

Menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, kode etik pendidik adalah: (1) Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya seperti

Agung Podomoro Land pada konsep SOHO di proyek Podomoro City Jakarta Barat adalah nilai unit menjadi berlipat dan menguntungkan untuk para investor yang telah berinvestasi