9
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia
2.1.1 Pengertian
Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang
artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (spilitting of personality) (Hawari, 2001).
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Skizofrenia tidak dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri melainkan diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang mencakup banyak jenis dan berbagai gejala (Videback 2008).
perasaan dirinya dan hubungannya dengan dunia luar (contohnya kehilangan batas batas ego, withdrawal), dalam tingkah laku (contohnya tingkah laku yang aneh dan tampaknya tanpa tujuan). (Dorland 1998, Ed 28) 2.1.2 Etiologi
Menurut Videbeck (2008), etiologi dari skizofrenia belum diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan menunjukan penyebab dari skizofrenia. Faktor faktor tersebut antara lain :
1. Faktor genetik
meningkat menjadi 35% jika kedua orang tua biologis merupakan penderita skizofrenia. Selain itu ada juga penelitian yang menyebutkan bahwa anak-anak yang memiliki orang tua biologis namun diadopsi oleh keluarga tanpa riwayat skizofrenia saat lahir, tetap memiliki resiko genetik dari orang tua mereka.
2. Faktor Neuroanatomi dan neurokimia a. Neruroanatomi
area tersebut mengalami kerusakan akibat virus, trauma, atau respon imun.
b. Neurokimia
Menurut beberapa teori mengenai neurokimia, terdapat dua unsur kimia yang mempengaruhi terjadinya skizofrenia yaitu Dopamin dan Serotonin.
obat tersebut dalm mengurangi gejala skizofrenia (O’Connor 1998, dalam Videbeck 2008).
Serotonin adalah neurotransmitter yang hanya ditemukan di otak. Fungsinya sebagian besar adalah inhibisi dan berperan penting dalam menimbulkan gangguan ansietas dan mood serta skizofrenia. Serotonin diketahui berperan dalam perilaku waham, halusinasi, dan menarik diri pada penderita skizofrenia. Serotonin berasal dari triptofan, suatu asam amino dalam makanan. Teori tentang serotonin memperlihatkan bahwa serotonin memiliki efek modulasi pada dopamin yang membantu mengontrol kelebihan dopamin.
3. Faktor Imunovirologi
Ada teori popular yang menyatakan bahwa perubahan patologi otak pada penderita skizofrenia dapat disebabkan oleh pajanan virus.
2.1.3. Gejala
dan perilaku yang tidak teratur. Gejala negatif atau gejala samar, seperti afek datar, tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak nyaman. Gejala-gejala tersebut ditandai dengan individu menarik diri dari masyarakat, perilaku yang tidak lazim, kehilangan minat untuk sekolah atau bekerja, dan seringkali mengabaikan hygiene (Videback, 2008).
2.1.4. Klasifikasi
Skizofrenia diklasifikasikan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Text Revision
(DSM-IV-TR) 2000 berdasarkan hasil diagnosis terhadap gejala yang dominan :
1. Skizofrenia tipe paranoid : ditandai dengan waham kejar (rasa menjadi korban atau dimata matai) atau waham kebesaran, halusinasi, dan kadang kadang keagamaan yang berlebihan (fokus waham agama), atau perilaku agresif dan bermusuhan. 2. Skizofrenia tipe tidak terorganisir ditandai dengan
3. Skizofrenia tipe katatonik ditandai dengan gangguan psikomotor yang nyata baik dalam bentuk tanpa gerakan atau aktifitas motorik yang berlebihan, negativism yang ekstrem, multisme, gerakan volunter yang aneh, ekolalia atau ekoprasia. Imobilitas motorik dapat terlihat berupa katalepsi (flexibilitas cerea) atau stupor, aktifitas berlebihan terlihat tanpa tujuandan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal.
4. Skizofrenia tipe tidak dapat dibedakan ditandai dengan gejala gejala skizofrenia campuran (atau tipe lain) disertai gangguan pikiran, afek dan perilaku.
5. Skizofrenia tipe residual ditandai dengan setidaknya satu episode skizofrenia sebelumnya tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri dari masyarakat, afek datar, serta asosiasi longgar.
2.1.5. Patofisiologi
1. Fase prodormal
- Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun
- Gangguan dapat berupa self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi social, gangguan pikiran dan persepsi.
2. Fase aktif
- Berlangsung kurang lebih 1 bulan.
- Gangguan dapat berupa gejala psikotik, halusinasi, delusi, disorganisasi proses berpikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimia.
3. Fase Residual
Klien mengalami minimal 2 gejala; gangguan afek dan gangguan peran, serangan yang biasanya berulang ulang.
2.1.6. Pengobatan
Terapi skizofrenia memerlukan waktu relatif lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relapse) (Hawari, 2001)
penderita skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi terapi obat obatan anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial, dan terapi psikoreligius (Hawari. 2001).
1. Psikofarmaka
Terapi medis utama untuk skizofrenia ialah psikofarmakologi (Videback. 2008). Psikofarmakologi ini sendiri adalah ilmu yang mempelajari kimiawi, mekanisme, kerja serta farmakologi klinik dari psikotropika. Psikotropika adalah obat yang mempengaruhi fungsi perilaku, emosi dan pikiran yang biasa digunakan dalam bidang psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa. Berdasarkan penggunaan klinik psikotropik dibedakan menjadi 4 golongan yaitu antipsikosis (major tranquilizer, neuroleptik), antiansietas (minor tranquilizer), antidepresi, antimania (mood stabilizer) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
psikotropik juga hanya mengubah keadaan jiwa pasien sehingga labih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik. Pada skizofrenia (dan juga gangguan jiwa lainnya) terdapat gangguan pada fungsi transmisi sinyal pengantar saraf (neurotransmitter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamin dan serotonin yang mengakibatkan gangguan pada alam pikir, alam perasaan, dan perilaku. Oleh karena itu obat psikofarmaka (psikotropik) yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tadi sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau dengan kata lain penderita skizofrenia dapat diobati (Hawari. 2001).
Adapun obat psikofarma yang ideal yaitu yang memenuhi syarat-syarat antara lain sebagai berikut :
a. Dosis rendah dan efektivitas terapi dalam waktu relative singkat
c. Dapat menghilangkan dalam waktu relatif singkat baik gejala positif maupun negatif skizofrenia
d. Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat)
e. Tidak menyebabkan kantuk f. Memperbaiki pola tidur
g. Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi
h. Tidak menyebabkan lemas otot dan, kalau mungkin pemakaiannya dosis tunggal (single dose)
hanya mengurangi gejala psikotik tetapi untuk banyak klien, obat-obatan ini juga mengurangi tanda-tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan dan motivasi, menarik diri dari masyarakat, dan anhedonia (Videback.2001). Beberapa golongan tipikal antara lain Chlorpromazine HCL (largactil, promactil, meproseptil) dan Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).sedangkan beberapa golongan atipikal antara lain: Rispridone(Risperdal, Rizodal, Noprenia) Clozapine (Clozaril).
Efek samping antipsikotik signifikan dan dapat berkisar dari ketidaknyamanan ringan sampai gangguan gerakan permanen (Marder.2000, dalam Videbeck 2008). Karena banyak efek samping ini menakutkan dan mengesalkan bagi klien, efek samping tersebut sering kali menjadi alasan utama klien menghentikan dan mengurangi dosis obat. Efek samping tersebut dibagi menjadi 2 yaitu neurologis dan nonneurologis. (Videback.2008)
Sedangkan efek samping non neurologis meliputi sedasi, fotosensitivitas, dan gejala antikolinergik seperti mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urine, dan hipotensi ortostatik.
2. Psikoterapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka diatas sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka. Terapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit seperti: psikoterapi suportif, psikoterapi re-edukatif, psikoterapi re-konstruksi, psikoterapi kognitif, psikoterapi psiko-dinamik, psikoterapi perilaku dan psikoterapi keluarga (Hawari.2001)
3. Terapi Psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi kembali dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan bayak bergaul (silahturahmi/sosialisasi) (Hawari.2001)
4. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat. Terapi keagamaan yang dimaksud adalah berupa kagiatan ritual keagamaan seperti berdoa, puji pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan sebagainya.
gangguan jiwa skizofrenia, yang dapat diamati dengan adanya gejala gejala waham (delusi) keagamaan atau jalam pikiran patologis dengan pola sentral keagamaan. Dengan terapi psikoreligius ini gejala patologis dengan pola sentral keagamaan tadi dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan kembali di jalan yang benar. (Hawari 2001)
2.2. Kebutuhan Seksualitas 2.2.1 Pengertian
gembira (KBBI. 2005). Kemesraan hal yang bersifat mesra, mesra yaitu lekat dan sangat erat (KBBI. 2005). 2.2.2 Konsep tentang Seksualitas
Seksualitas adalah istilah yang lebih luas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda dan/atau sama dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi (Potter & Perry 2005). Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerak tubuh, etiket berpakaian, dan perbendaharaan kata (Denney & Quadagno, 1992; Zawid 1994, dalam Potter & Perry, 2005).
bukan hanya kebutuhan seksual melainkan juga oleh aneka kebutuhan lain yang utama diantaranya adalah kebutuhan akan cinta dan kebutuhan akan kasih sayang (Goble, 1971). Jadi pada manusia seksualitas dapat dipandang sebagai pencetus dari hubungan antarindividu, dimana daya tarik rohaniah dan badaniah (Psikofisik) menjadi dasar kehidupan bersama antar dua insan. Dengan demikian dalam hubungan seksual tidak hanya alat kelamin dan daerah erogen (mudah terangsang) yang ikut berperan tetapi juga psikologis dan emosi (Irianto. 2010).
2.2.3 Dorongan Seksual
Dorongan seksual, seperti dorongan lain pada manusia, merupakan kejadian yang normal dan atau netral. Tergantung bagaimana caranya manusia menyalurkan dorongan tersebut. menurut Irianto (2010), dorongan atau keinginan untuk bersetubuh atau bersenggama (koitus) disebut libido seksualis (nafsu birahi / syahwat).
mengembangkan imajinasi yang paling tajam, keberanian, kekuatan, kemauan, ketekunan dan semua kemampuan kreatif yang tidak mereka ketahui pada saat saat lainnya. Demikian kuat dan berpengaruhnya keinginan untuk pemuasan seksual sehingga manusia begitu berani mempertaruhkan jiwa dan reputasi untuk memenuhinya. Emosi seks adalah “daya yang tidak tertahankan” dan tidak ada satupun yang bisa
melawannya. Emosi ini bisa ditekan dan dikendalikan untuk sementara waktu, tetapi sifatnya sendiri menyebabkan emosi ini terus mencari sarana ekspresi. Kalau tidak ditaransmutasikan kedalam suatu upaya kreatif, emosi seksual akan menemukan penyaluran yang tidak begitu pantas. Kalau terdorong oleh emosi ini maka seorang pria bisa memiliki kekuatan super untuk melakukan tindakan (Yosep. 2010)
2.2.4 Tahapan Pelaksanaan Hubungan Seks
Dalam melakukan hubungan seks, terdapat tahapan tahapan dalam pelaksanaannya. Menurut Yosep (2010) 4 tahapan berhubungan seks adalah :
atau gabungan keduanya. Terjadilah ereksi pada pria dan lubrikasi (pelumasan lendir) vaginal, keduanya dalam waktu 10 detik sejak rangsangan efektif dimulai. Puting susu menjadi tegang, seperti pada wanita. Klitoris menjadi keras dan bengkak serta labia mayora dan minora menjadi tebal. Fase perangsangan dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.
2. Tingkat 2 (dataran) bila rangsangan berlangsung terus, testis menjadi lebih besar 50 % dan terangkat. Sepertiga bagian bawah vagina mengecil. Klitoris terangkat dan masuk ke belakang simfisis pubis sehingga tidak mudah dicapai. Payudara wanita bertambah besar 25 %. Fase dataran berlangsung 30 detik sampai beberapa menit.
yang akan menyampaikan proses pemanasan kepada puncaknya yaitu orgasme (Abdurrahman. 2011). Pada pria orgasme timbul sebagai “reflek bersin” yang tidak dapat ditahan dan diikuti dengan
penyemprotan sperma. Terjadi 4-5 kali spasme ritmik pada prostat, vesika, seminalis, vas defefrens dan uretra dalam interval 0,8 detik. Pada wanita terjadi 3-12 kali kontraksi “pangung orgasmik” dan uterus berkontraksi secara tetanik
yang terjadi dari fundus ke seviks dengan interval 0,8 detik.
Timbul kontraksi involunter pada sfinkter ani internal dan eksternal. Terdapat juga gerakan gerekan volunteer dan involunter pada kelompok otot besar, termasuk otot muka dan spasme karpopedal. Tekanan darah naik dengan 20-40 mm (sistolik dan diastolik) dan denyutan jantung mmeningkat sampai dengan 120-160 per menit. Orgasme berlangsung 3-15 detik dengan kesadaran yang sedikit berkabut.
keadaan istirahat. Jika terjadi orgasme, maka resolusi cepat, jika tidak maka resolusi berlangsung 2-4 jam dengan rasa nyeri pada genitalia dan iritabilitas.