Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
HOSNOL KHATIMAH NIM: E33212081
PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
Skripsi
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
HOSNOL KHATIMAH NIM: E33212081
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
Hosnol Khatimah, 2016, Konsistensi Status H{asan Imam Tirmidhi dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi>, Skripsi Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah pertama, status h}asan menurut perspektif Imam Tirimidhi. Kedua, kesesuaian antara istilah h}asan s}ah}i>h}, h}asan ghari>b, dan h}asan s}ahi}>h} ghari>b dengan istilah h}asan menurut oleh beliau dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>, apakah istilah-istilah tersebut memenuhi persyaratan h}asan menurut perspektif beliau atau tidak.
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan definisi h}asan menurut Imam Tirmidhi. Kemudian dalam penelitian ini yang khususnya untuk menganalisa konsistensi Imam Tirmidhi terhadap status h}asan dalam kitabnya yang berjudul Sunan al-Tirmidhi>.
Dalam menjawab permasalahan di atas, penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan yang bersifat murni (pure library research) dengan metode penyajian data secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan tujuan tersebut, data primer yang digunakan adalah kitab Sunan al-Tirmidhi> dengan judul lengkapnya Sunan al-Tirmidhi> wa huwa al-Ja>mi‘ al-Mukhtas}ar min al-Sunan ‘an Rasu>lulla>h S}allallah ‘alayh wa sallam, serta data-data sekunder lainnya yang berasal dari kitab-kitab hadis atau buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan ini.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa status h}asan menurut Imam Tirmidhi adalah derajat suatu hadis yang ada diantara derajat s}ah}i>h} dan d}a‘i>f. Istilah h}asan menurut Imam Tirmidhi adalah hadis yang dalam sanadnya tidak terdapat rawi yang disangka berdusta, tidak termasuk hadis yang sha>dh (janggal), dan hadis tersebut diriwayatkan dari jalur lain. Syarat hadis h}asan yang diriwayatkan dari jalur lain maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh jalur lain baik dengan riwayat bi al-lafz}i maupun dengan riwayat bi al-ma‘na. Dengan demikian, istilah ha>dha h}adi>thun h}asanun s}ahi}>h}un, ha>dha h}adi>thun h}asanun ghari>bun, dan ha>dha h}adi>thun hasanun s} }ah}i>h}un ghari>bun dikatakan konsisten dengan definisi h}asan menurut Imam Tirmidhi, karena walaupun kata ghari>bun menurut Imam Tirmidhi hanya ditemukan dalam satu jalur sanad, namun jalur sanad tersebut ditunjang oleh jalur sanad dari mukharrij lain.
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifiksai Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Kegunaan Penelitian ... 7
F. Kerangka Teori ... 8
G. Kajian Pustaka ... 10
H. Metode Penelitian ... 10
A. Latar Belakang Munculnya Hadis H{asan ... 14
B. Hadis H{asan Perspektif Ulama dan Kehujjahannya ... 20
BAB III : TINJAUAN UMUM KITAB SUNAN AL-TIRMIDHI A. Biografi Singkat Imam Tirmidhi ... 36
B. Guru dan Murid-murinya ... 38
C. Karya-karya Imam Tirmidhi ... 40
D. Kitab Sunan al-Tirmidhi> ... 42
E. Pandangan Ulama terhadap Kitab Sunan al-Tirmidhi> ... 56
BAB IV : HADIS H{ASAN PERSPEKTIF IMAM TIRMIDHI DAN ISTILAH-ISTILAH DALAM KITAB SUNAN AL-TIRMIDHI< A. Hadis H{asan Menurut Imam Tirmidhi ... 60
B. Kesinambungan Antara Status H{asan dengan Istilah H{asan S{ah}i>h, H{asan Ghari>b, dan H{asan S{ah}i>h Ghari>b ... 75
C. Data dan Skema Hadis ... 77
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 106
B. Saran ... 107
A. Latar Belakang
Hadis Nabi adalah sumber pedoman kedua setelah al-Qur‟an yang diikuti oleh Ijma‟ dan juga Qiyas. Sebagai pedoman umat Islam hadis perlu dikaji lebih
dalam karena keotentikan dan kebenarannya masih belum bisa dikatakan benar secara keseluruhan, bahwa suatu hadis tersebut bersumber dari Rasulullah secara langsung. Sehingga masih memerlukan suatu penelitian untuk mengetahui kualitas kes}ah}i>h}an suatu hadis. Hadis merupakan peninggalan yang sangat berharga bagi umat Islam. Umat Islam menjaganya dari segala usaha dan dugaan yang negatif serta kebohongan yang menyesatkan.1
Ajaran Islam didasarkan atas ketaatan kepada perintah Allah yang tertera dalam al-Qur‟an. Rasulullah memiliki peran ganda, selain sebagai penyampai dan penjelas, beliau sekaligus sebagai pengamal yang kadang mempunyai hak khusus. Sebagian perilaku Nabi juga dapat menjadi sumber hukum yang mandiri ketika al-Qur‟an tidak memberikan keterangan sama sekali. Melaluial-Risa>lah, al-Shafi„i> menjelaskan bahwa agama ini didasarkan pada konsep Baya>n (penjelasan dari Tuhan), pertama penjelasan dengan al-Quran, kemudian kedua melalui hadis Nabi.2
1 Salamah Noorhidayati, “Variasi Hadits Ibadah Menurut Ibnu Taymiyah”, Al-Dzikra, Vol. 6, No. 1 (Januari-Juni, 2012), 17.
Di sinilah posisi hadis menjadi lebih jelas dan mapan di banding sebelumnya. Di mana hadis telah mendapatkan legitimasi teologisnya. Dengan status sebagai sumber kedua shari‘ah, bersamaan dengan kemapanan yang diperolehnya melalui teoritisasi yang dilakukan al-Shafi„i> dengan proyek ushu>l fiqhnya, hadis mulai dikaji secara teoretik-konseptual. Bukan sekadar diriwayatkan dan diamalkan.3
Pada masa Rasulullah, hadis hanya diriwayatkan secara lisan tanpa menggunakan tulisan. Hal ini disebabkan jika hadis ditulis, dikhawatirkan redaksi-redaksinya tercampur dengan ayat al-Qur‟an. Walaupun demikian, ada beberapa sahabat yang tetap menulis redaksi hadis untuk kepentingan pribadinya, bukan untuk rujukan umum. Salah satu dari sahabat itu adalah sahabat „Abdulla>h „Amr bin al-„As}. Setelah Rasulullah wafat dan banyaknya para sahabat penghafal hadis yang meninggal, khalifah Umar ibn Abdul Aziz mulai merasa khawatir dan prihatin terhadap hadis yang belum sepenuhnya ditulis. Kekhawatiran inilah yang menjadi langkah awal pengkodifikasian hadis.
Seiring tersebarnya Islam, maka perhatian penuh terhadap hadis mulai tampak. Pada abad ke-3 H adalah masa puncak perkembangan ilmu hadis dan pembukuannya. Pada masa ini lahir banyak tokoh muh}addithi>n sehingga mereka berjaya membuat kompilasi terhadap hadis-hadis yang dihafal serta dinukilkan dalam bentuk kitab supaya dapat disampaikan kepada seluruh umat Islam. Pembukuan ini diawali dengan penyusunan kitab musnad, yang mana dalam penulisannya hadis ditulis secara khusus tanpa memasukkan pendapat sahabat dan fatwa tabi‟in, dan masih tercampur antara hadis s}ah}i>h} dan hadis d}a‘i>f. Kemudian
penghimpun hadis menggunakan pola baru yang membatasi penulisan yakni memasukkan hadis s}ah}i>h} dan tidak memasukkan hadis d}a‘i>f. Dalam hal ini tersusunlah kitab yang berjudul al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h} oleh Muh}ammad ibn Isma>„i>l Bukha>ri>, yang kemudian disusul oleh muridnya yang bernama Muslim ibn al-H{ajja>j al-Qushayri dengan kitab s}ah}i>h}nya juga. Kedua kitab tersebut tidak menggunakan sistem musnad, akan tetapi menggunakan sistem tematik.4
Selain dua kitab tersebut, muncul pula kitab-kitab hadis yang babnya tersusun seperti bab-bab fikih, dan kualitas hadisnya ada yang s}ah}i>h} dan ada juga yang
d}a‘i>f. Karya-karya yang menggunakan sistem inilah yang dikenal dengan nama
kitab-kitab al-Sunan. Ulama hadis yang menyusun kitab dengan sistem ini diantaranya adalah Abu> Da>wud Sulayma>n ibn al-Ash„a>t al-Sijista>ni, Abu> „I<sa> Muh}ammad ibn „I<sa> ibn Sawrah ibn Mu>sa> ibn D{ahha>k Sulamiy Bughi> al-Tirmidhi, Abu> „Abd al-Rah}ma>n ibn Shu„ayb ibn „Ali ibn Sina>ni ibn Bah}r ibn Di>na>r al-Nasa>i>, dan Abu> „Abdillah Muh}ammad ibn Yazi>d ibn „Abdillah ibn Ma>jah al-Riba‟i> al-Qazwi>ni.5
S{ah}i>h} Bukha>ri>, S{ah}i>h} Muslim, Sunan Abu> Da>wud, Sunan al-Tirmidhi>, Sunan al-Nasa>’i>, dan Sunan Ibnu Ma>jah adalah enam kitab induk hadis yang terkenal
dan kitab-kitab itu disebut dengan Kutub al-Sittah. Enam kitab ini adalah hasil karya dari enam ulama hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Kitab-kitab hadis karya para mukharrij al-hadi>th yang telah disebutkan di atas sangatlah beragam baik dilihat dari segi sistematika, metode, topik penghimpunan, maupun kualitas
4 Zainul Arifin, Ilmu Hadis: Historis dan Metodologis, Cet I (Surabaya: Pustaka
hadis yang dikandungnya. Aktifitas penulisan dan pembukuan hadis, kriteria penyeleksian serta obyek dan sasaran yang lebih itu menjadi perbedaan perhatian para mukharrij. Sebagai konsekuensinya, kitab-kitab hadis yang dihasilkannya memiliki keragaman, baik menyangkut kuantitas, kualitas, sistematika maupun yang lainnya.6
Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat (hujjah) apabila memenuhi syarat kes}ah}i>h}an, baik dari aspek sanad maupun matan. Penelitian hadis bisanya dimulai dengan penelitian sanad. Hal ini bisa dilihat dari kriteria hadis s}ah}i>h}, tiga syarat diantaranya yang berkaitan dengan sanad, yakni ittis}a>l al-sanad, d}abt al-ruwa>t, dan ‘ada>lat al-ruwa>t), kemudian yang kedua berkaitan
dengan matan yakni ‘adam al-shudhu>dh dan ‘adam al-‘illat. Ketika seseorang menentukan validitas sebuah hadis hanya dari segi sanad saja, maka hasil penelitiannya kurang bisa dipertanggung jawabkan, begitu juga sebaliknya.7 Awalnya hadis dibagi menjadi dua yakni hadis maqbu>l dan hadis mardu>d. Hadis
maqbu>l adalah hadis yang memenuhi kriteria hadis h}asan dan hadis s}ah}i>h},
sedangkan hadis mardu>d adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis h}asan
dan hadis s}ah}i>h}.
Hadis h}asan awal mulanya oleh ulama mutaqaddimi>n dimasukkan dalam bagian hadis s}ah}i>h} dikarenakan kedua hadis tersebut mempunyai kesamaan yakni bisa dijadikan h}ujjah. Oleh karena itu ulama mutaqaddimi>n membagi hadis hanya kedalam dua bagian yakni hadis s}ah}i>h} dan hadis da‘i} >f. Hadis s}ah}i>h} adalah hadis
6 Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis dan Metodologis, Cet I (Malang: Sukses Offset, 2008), 4.
yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sanadnya bersambung, d}abit ta>m
(sempurna ingatannya), tidak ber‟illat dan tidak janggal.8 Sedangkan hadis d}a‘i>f adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis hadis s}ah}i>h}. Pada masa ulama
mutaqaddimi>n bukannya tidak mengenal hadis h}asan, hanya saja terminologi
hadis h}asan tidak dibicarakan pada saat itu. Munculnya istilah h}asan terjadi pada era Abu> I<sa al-Tirmidhi>. Imam Tirmidhi membagi hadis menjadi tiga bagian yakni hadis s}ah}i>h}, hadis h}asan, dan hadis d}a‘i>f.
Pembagian hadis Nabi menjadi tiga bagian oleh Imam Tirmidhi ini memunculkan beragam pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama mengenai hadis yang ada diantara hadis s}ah}i>h} dan hadis d}a‘i>f, yakni hadis h}asan. Penelitian dengan judul Konsep h}asan dalam kitab Sunan al-Tirmidhi> oleh Jamal Abd Nasir yang telah menghasilkan kesimpulan bahwasanya kriteria h}asan
menurut Imam Tirmidhi, yang pertama adalah dalam sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, yang kedua, matannya tidak terdapat suatu kejanggalan, dan yang ketiga adalah suatu hadis mendapat dukungan dari hadis lain yang semisal atau lebih kuat. Dari kesimpulan tersebut, penulis mendapatkan suatu keinginan untuk meneliti tentang kesesuaian definisi Imam Tirmidhi mengenai istilah h}asan dengan istilah-istilah baru yang beliau munculkan dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>, yakni istilah h}asan s}ah}i>h}, h}asan ghari>b, dan h}asan s}ah}i>h}
ghari>b.9
8 Arifin, Ilmu Hadis, 158.
B.Identifikasi Masalah
Adanya kriteria kualitas hadis s}ah}i>h}, merupakan salah satu bukti ilmiyah dalam menjaga dan melindungi validitas dan eksistensi sebuah hadis. Hadis Nabi jika dilihat dari segi kualitasnya, dibagi menjadi tiga macam, yakni s}ah}i>h}, h}asan, dan d}a‘i>f. Pembagian hadis ke dalam tiga kelompok ini sebenarnya belum dikenal pada abad pertengahan ketiga hijriyah, karena pembagian ini muncul pada masa sesudahnya.10
Menurut ibnu Taimiyah, ulama yang membagi hadis ke dalam tiga bagian ini mulai diperkenalkan oleh Abu> I<sa> al-Tirmidhi>.11 Beliau adalah sebagai penggegas pertama yang memunculkan tiga macam hadis tersebut. Sebelumnya hadis nabi menurut kualitasnya, hanya terbagi menjadi dua, yakni s}ah}i>h} dan d}a‘i>f. Namun kemudian Imam Tirmidhi memasukkan hadis h}asan diantara kedua bagian tersebut.
Mengingat luasnya pembahasan dan banyaknya kitab karangan Imam Tirmidhi dalam mengungkapkan tiga pembagian hadis dilihat dari segi kualitasnya dan sekaligus pengungkapan istilah baru terhadap kualitas hadis, maka penulis fokuskan pada salah satu karangan beliau, yakni pada konsistensi status h}asan oleh beliau dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>.
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, perlu adanya perumusan masalah, agar pembahasan dapat lebih terarah dan tidak melebar sangat jauh dari tujuan awal yang ingin dicapai dari penelitian ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana status h}asan menurut perspektif Imam Tirmidhi?
2. Apakah istilah h}asan dalam kitab Sunan al-Tirmidhi> memenuhi persyaratan
h}asan menurut perspektif beliau?
D.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah tertulis di atas, maka penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, diantaranya:
1. Untuk mendeskripsikan definisi dan status hadis h}asan menurut Imam Tirmidhi.
2. Untuk menganalisa konsistensi Imam Tirmidhi terhadap status h}asan dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>.
E.Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:
1. Manfaat secara Teoritis
2. Manfaat secara Praktis
Hasil dari penelitian ini memberikan sedikit deskripsi tentang metode dan sistematika penulisan hadis dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>. Selain itu, dalam penelitian ini juga menambahkan analisis tentang konsistensi Imam Tirmidhi terhadap status h}asan dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan akan menjadi lebih jelas mengenai kesesuaian status
h}asan dengan tiga istilah baru yang terdapat dalam sebuah kitab karangannya
yakni kitab Sunan al-Tirmidhi>.
F. Kerangka Teori
Kata h}asan berasal dari bahasa Arab yang berarti baik, bagus.12 Dalam kitab
‘ulu>m al-H{adi>th telah disebutkan bahwasanya hadis h}asan adalah hadis yang
dinukil oleh rawi yang kurang sempurna ked}abit}annya, akan tetapi selamat dari
‘illat dan kejanggalan.13 Ada pendapat lagi bahwasanya hadis h}asan adalah hadis
yang memenuhi persyaratan hadis s}ah}i>h}. Perbedaan dari keduanya adalah terletak pada sisi daya ingat perawi. Dikatakan s}ah}i>h}, apabila daya ingat hafalan perawinya sempurna. Sementara hadis yang dikatakan h}asan, apabila daya ingat hafalan perawinya kurang sempurna. Satu istilah lagi dari kitab beliau, yakni hadis ghari>b. Hadis ghari>b adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
12 Atabik „Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2013), 747.
yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya, maupun selainnya.14
Tingkatan perawi hadis yang dipakai oleh Imam Tirmidhi bervariasi, mulai dari perawi yang thiqah dan kuat hafalannya, yakni pada tingkatan mayoritas hadis yang sesuai dengan hadis Imam Bukhari dan Imam Muslim sampai kepada perawi yang lemah, baik kelemahan itu dari kualitas, kejujuran, maupun lemah dalam hafalan dan lain-lain. Selain keberagaman perawi, beliau juga menggunakan istilah-istilah baru dalam penentuan status hadisnya. Istilah ini ada yang sudah terkenal di kalangan para ahli hadis, sehingga tidak membutuhkan penjelasan. Kemudian ada juga istilah-istilah yang masih harus dijelaskan oleh beliau.
Istilah tunggal yang sudah terkenal di kalangan ahli hadis, yakni hadis s}ah}i>h}, hadis h}asan, dan hadis ghari>b (diriwayatkan dengan satu jalur dan tidak sampai pada tingkatan maqbu>l, serta tidak ada hadis lain yang menguatkannya). Kemudian istilah-istilah yang masih membutuhkan penjelasan dari Imam Tirmidhi adalah hadis h}asan s}ah}i>h} (memiliki dua jalur periwayatan, satu s}ah}i>h}} dan lainnya h}asan),, h}asan gharib> (kategori perawi s}ah}i>h}, akan tetapi kurang kuat hafalannya, dan melalui satu jalur), dan yang terakhir adalah h}asan s}ah}i>h} ghari>b
(misalnya sanadnya h}asan, matannya s}ah}i>h}, dan lain-lain, akan tetapi hadis tersebut dianggap hadis ghari>b).
G.Kajian Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, diketahui belum ada penelitian skripsi yang membahas secara spesifik mengenai kajian tentang konsistensi penulisan hadis dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>. Penelitian yang ada sebagi berikut:
1. Skripsi dengan judul Pandangan Ahmad Amin dan Musthafa al-Siba‟i terhadap Eksistensi Kritik Matan al-Tirmidhi. Skripsi ini disusun oleh Solihin, mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2003. Dalam skripsi ini fokus pembahasannya pada dua pandangan tokoh terhadap eksistensi kritik matan dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>.
2. Al-Imam al-Tirmidhi: Peranannya dalam Pengembangan Hadis dan Fiqh. Desertasi ini disusun oleh H. Ahmad Sutarmadi. Penelitian desertasi ini fokus mengkaji semua isi dari kitab Sunan al-Tirmidhi> dan kitab al-Shama>il.
3. Tesis yang disusun oleh Jamal Abd. Nasir, Lc. dengan judul Konsep Hadis Hasan dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi. Tesis ini disusun pada tahun 2012 dengan ketebalan 98 halaman. Dalam tesis ini lebih fokus pada pembahasan konsep dan kriteria hadis hasan dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>.
H.Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Disamping itu, penelitian ini bersifat pustaka murni (pure library research), yakni semua bahan yang dibutuhkan bersumber dari bahan-bahan tertulis. 2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen tertulis, seperti kitab, buku ilmiah, dan refrensi tertulis lainnya. Sumber data yang digunakan terbagi menjadi dua klasifikasi, yakni:
a. Sumber Data Primer
1) Kitab Sunan al-Tirmidhi>. b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder diambil dari literatur-literatur lain khususnya dari kitab-kitab sharh Sunan al-Tirmidhi>, al-Wasi>t} fi ‘Ulu> >m wa Mus}t}alah} al-H{adi>th, serta literatur-literatu lain yang dianggap relevan dengan tema
penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada bahan-bahan tertulis, seperti buku, skripsi, jurnal ilmiah, atau dokumentasi tertulis lainnya.
4. Metode Analisis Data
mengklasifikasikan dan menganalisis sesuai dengan sub-sub bahasan yang telah dipaparkan secara obyektif.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam penyusunan skripsi ini, pembahasannya terdiri dari lima bab. Masing-masing bab terdiri dari macam-macam sub bab. Satu sub bab dengan sub bab yang lain merupakan rangkaian yang saling berkaitan. Secara global sistematika pembahasannya sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan yang meliputi: latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
Bab II Hadis H{asan dan Kehujjahannya, yang meliputi: latar belakang munculnya hadis h}asan, hadis h}asan perspektif ulama dan kehujjahannya. Bab ini merupakan landasan yang akan menjadi tolak ukur dalam penelitian skripsi ini.
Bab III Tinjauan umum kitab Sunan al-Tirmidhi>, yang meliputi: biografi singkat Imam Tirmidhi, guru dan murid-muridnya, karya-karya Imam Tirmidhi, kitab Sunan al-Tirmidhi>, dan pandangan ulama terhadap kitab Sunan al-Tirmidhi>.
Bab IV Hadis h}asan perspektif imam Tirmidhi dan istilah-istilah dalam kitab
Sunan al-Tirmidhi>. Dalam bab ini meliputi: hadis h}asan menurut Imam Tirmidhi>,
kesinambungan antara status h}asan dengan istilah h}asan s}ah}i>h}, h}asan ghari>b, dan
A. Latar Belakang Munculnya Hadis H{asan
Adanya penilaian terhadap kualitas suatu hadis muncul bersamaan dengan
munculnya ilmu dirayah hadis. Ketika terjadi gejolak perbedaan politik di
kalangan umat Islam yang kemudian dilanjutkan dengan perpecahan serta
munculnya beragam paham dan aliran yang semuanya menganggap golongan
mereka yang paling benar, hal inilah yang memicu kemunculan fanatisme
madzhab. Mereka berusaha mempertahankan masing-masing madzhabnya dengan
segala cara. Termasuk cara yang dilakukan adalah menggunakan dalil-dalil
penguat bagi golongan mereka, baik dalil tersebut bersumber dari al-Qur‟an
maupun hadis. Bahkan mereka membuat hadis serta memalsukannya. Kejadian
inilah yang memicu munculnya ilmu dirayah hadis dengan segala formulasinya.
Ilmu dirayah inilah yang kemudian dijadikan barometer dan ukuran terhadap sah
atau tidaknya sebuah hadis dijadikan sebagai hujjah.1
Pada awal mula perkembangan ilmu dirayah hadis yakni pada masa Ahmad
ibn Hanbal dan para ulama sebelum Imam Tirmidhi, kualitas hadis Nabi hanya
terbagi ke dalam dua bagian saja, yaitu hadis s}ah}ih} dan hadis d}a‘i>f.2 Kemudian pada masa Imam Tirmidhi kualitas hadis mengalami perkembangan, tidak hanya
terbatas pada dua pembagian yang telah disebutkan sebelumnya, akan tetapi telah
1 Hasan Su‟aidi, “Mengenal Kitab Sunan al-Tirmidzi (Kitab Hadits H}asan)”, Religia,
Vol. 13, No. 1 (April, 2010), 133.
berkembang istilah-istilah kualitas hadis lainnya seperti s}ah}ih} li dhatihi, s}ah}ih} li
ghayrihi, h}asan li dha>tihi, dan h}asan li ghayrihi. Istilah-istilah ini, lebih
khususnya pada istilah h}asan yang sebenarnya sudah ada sebelum masa Imam Tirmidhi. Akan tetapi penggunaan istilah hasan ini mempunyai arti luas yang
sesuai dengan makna dari segi kebahasaannya. Oleh karena itu pada masa
sebelum Imam Tirmidhi penggunaan istilah h}asan terkadang digunakan untuk menyebutkan hadis s}ah}ih} dan terkadang juga digunakan untuk menyebutkan hadis
ghari>b.3
Sebelum membahas tentang hadis h}asan akan dibahas tentang hadis s}ah}ih}
dan hadis d}a‘i>f terlebih dahulu. Para Ulama merumuskan definisi hadis s}ah}ih}
dengan definisi yaitu hadis yang sanadnya bersambung yang dinukilkan oleh
perawi yang adil, d}abit}, serta bersih dari keanehan dan kecacatan sebagaimana yang dituangkan jamaluddin al-Qasimi dalam kitabnya:4
ََس َلَصَتلاا اَم ُحْيِحَصلا
ٍةَلِع َو ٍذْوُذُش ْنَع َمِلَس َو ِِلًِْم ْنَع ِطِباَضلا ِلْدَعْلا ِلْقَ ِب ُُد
.
“hadis s}ah}ih} adalah hadis yang sanadnya bersambung yang dinukilkan pada perawi yang adil, d}abit}, serta bersih dari keanehan dan kecacatan.”
Walaupun definisi hadis s}ah}ih belum terlalu dikenal, namun hadis s}ah}ih} sudah mulai banyak dibicarakan oleh orang-orang pada masa Imam Bukhari dan
sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dari ucapan Ishaq ibn Ibrahim al-Hanzali
(guru Imam Bukhari) kepada murid-muridnya yang mana Imam Bukhari sendiri
3 Nuruddin „Itr, al-Ima>m al-Tirmidhi> wa al-Muwazanah Bayn al-S{ah}i>hayn (Mesir: Lajnah
al-Ta‟lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1970), 161.
4 Al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th, Cet 2 (al-Qa>hirah: al-H{alabi> Isa> al-Ba>bi>, 1961), 79.
termasuk di dalamnya. Ibnu Rahuyah5 berpesan kepada muridnya, jika ingin
mengarang sebuah kitab hadis untuk saat itu beliau menyarankan agar mengarang
sebuah kitab yang berisi hadis-hadis s}ah}i>h} saja. Dalam hal ini Imam Bukhari merealisasikan saran dari gurunya tersebut. Beliau mengarang sebuah kitab yang
dikenal dengan nama “S{ah}ih} al-Bukhari>” atau ada juga yang menyebutnya dengan nama “al-Ja>mi’ al- S{ah}ih}”.6
Definisi hadis s}ah}ih} menurut ulama hadis lainnya, seperti Abu al-Fida‟ Ismail ibn Kathir al-Quraishi al-shafi‟i, beliau menuangkan definisi hadis s}ah}ih} dalam kitabnya yang berjudul al-Baith al-Hathith:7
َمَأ
ِنَع ِطِباَضلا ِلْدّعْلا ِلْقَ ِب ُُداَْسِإ ُلِصَتَ ي يِذَلا ُدَْسُمْلا ُثْيِدَْْا َوُهَ ف ُحْيِحَصلا ُثْيِدَْْا ا
َإ ِطِباَضل ِلْدَعْلا
.ًََلَعُم َاَو اًذاَش ُنْوُكَي َاَو ،ُاَهَ تُْم
Hadis s}ah}i>h} ialah hadis musnad yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi d}abit} (hafalannya sempurna) dari perawi yang adil lagi d}abit}
sampai akhir sanadnya, dan hadis tersebut tidak shadh dan tidak pula terdapat ‘illat
(cacat).
Sedangkan pada definisi hadis d}a‘if jamaluddin al-Qasimi menuangkan dalam kitabnya yakni:8
.ِنَسَْْا ُطْوُرُش َاَو ِةَحِصلا ُطْوُرُش ِْيِف ْدَجْوُ ي ََْ اَم ُفْيِعَضلا
Hadis d}a‘i>f ialah yang tidak memenuhi syarat s}ah}ih} dan juga tidak memenuhi syarath}asan.
5 Nama julukan Ishaq ibn Ibrahim al-Hanzali.
6 Jamal Abd. Nasir, “Konsep Hadis Hasan dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi” (Tesis—IAIN
Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 54.
7 Ibid.
8 Al-Qa>simi>, Qawa>‘id, 108. Al-Nawawi, Sharh S{ah}i>h} Muslim, Vol I (al-Qa>hirah:
Dari definisi yang telah dituangkan oleh al-Qasimi di atas, maka dapat
dirumuskan bahwa definisi hadis d}a‘i>f ialah hadis yang diketahui bahwasanya perawi yang menukilkan sebuah hadis itu tertuduh kurang amanah, hafalannya
lemah dan diriwayatkan oleh orang yang tidak dikenal.
Dari dua definisi di atas, yakni s}ah}i>h} dan d}a’i>f dapat ditemukan bahwa diantara hadis s}ah}i>h} dan d}a’i>f ada sebuah hadis yang perawinya adil namun perawi tersebut hafalannya kurang kuat, akan tetapi hadis tersebut dinilai masyhur
serta tidak ada cacat di dalamnya atau bisa juga hadis tersebut sanadnya
ditemukan lebih dari satu, hanya saja perawinya ada yang tidak dikenal, namun
nama perawi yang tidak dikenal tersebut terdapat dalam daftar perawi yang lemah
dan diketahui bahwa perawi pernah berbohong. Maka hadis tersebut berada di
bawah derajat hadis s}ah}ih} tetapi derajatnya masih di atas derajat hadis d}a‘i>f. Oleh karena itu Imam Tirmidhi memberikan nama hadis tersebut dengan nama hadis
h}asan.9
Istilah h}asan ada dikarenakan terdapat prasangka baik terhadap perawi hadis
d}a‘i>f, sehingga hadis yang diriwayatkan oleh perawi tersebut kualitasnya menjadi
h}asan, hanya saja derajat h}asan pada suatu hadis tidak sampai pada derajat s}ah}ih}.
Jamaluddin al-Qasimi membagi hadis h}asan menjadi dua bagian yakni h}asan li
dhatihi dan h}asan li ghayrihi. H{asan li dhatihi dalam hal ini disebut hadis s}ah}ih}
(s}ah}i>h} lighayrihi). Sedangkan h}asan li ghayrihi adalah hadis yang isnadnya
tertutup, tidak diketahui riwayat hidupnya, tetapi tidak dicurigai berdusta dengan
sengaja dan tidak berbuat fasiq, selain itu dalam isnad tersebut didapatkan
9 Al-Qa>simi>, Qawa>‘id, 102. Subh}i> al-S{alih> }, ‘Ulu>m al-H{adi>th wa Mus}t}ala>huh, Cet 3
muta>bi‘10dan sha>hid11. Dengan demikian, jika suatu hadis d}a‘i>f yang mempunyai sifat sebagaimana yang telah disebutkan, maka derajat hadis d}a‘i>f itu dapat meningkat menjadi hadis h}asan li ghayrihi. Di samping itu, hadis h}asan juga bisa meningkat menjadi h}asan s}ah}ih} apabila diketahui bahwa perawi suatu hadis itu
d}abit} dan thiqah, serta diriwayatkan dari beberapa jalur sanad walaupun
ditemukan dari satu sanad ada yang kurang kuat.12
Ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai orang yang
pertama kali membagi hadis nabi menjadi tiga bagian. Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa yang pertama kali membagi hadis menjadi tiga bagian adalah Imam
Tirmidhi. Pendapat beliau ini dituangkan pada penjelasan dalam bukunya yang
berjudul majmu’ al-Fatawa, beliau menyebutkan bahwasanya “orang pertama
yang mempopulerkan pembagian hadis menjadi tiga bagian yakni hadis s}ah}ih},
h}asan, dan d}a‘i>f adalah Abu> I<sa> al-Tirmidhi>”. Pernyataan tersebut dengan tegas
10Muta>bi’ yang oleh ulama hadis sering disebut dengan istilah muta>ba‘ah. muta>ba‘ah ini
diartikan sebagai kesesuaian antara seorang rawi dengan rawi yang lain dalam meriwayatkan sebuah hadis termasuk dari guru rawi lain atau dari orang yang lebih atas lagi. muta>ba‘ah ini terbagi kedalam dua bagian yakni muta>ba‘ah ta>mmah dan muta>ba‘ah qashirah. Muta>ba‘ah ta>mmah diartikan sebagai muta>ba‘ah yang terjadi manakala hadis seorang rawi diriwayatkan oleh rawi lain dari gurunya (tunggal guru). Sedangkan
muta>ba‘ah qashirah dipahami sebagai muta>ba‘ah yang terjadi manakala hadis guru seorang rawi diriwayatkan oleh rawi lain dari guru di atasnya atau atasnya lagi. Lihat Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa>’id al-Tah}di>th min Funu>n Mus}t}alah al-H{adi>th (Beirut: Da>r al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1353 H), 129. Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodoloogis, Cet 1 (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 16-17.
11 Sha>hid dalam arti harfiyahnya adalah orang yang bersaksi. Namun Sha>hid yang
dimaksud di sini adalah adanya keserasian antara seorang perawi dengan perawi dari sahabat yang lain. Al-Ha>fidh Ibn Hajr berkata: “jika ada matan yang diriwayatkan dari hadis seorang sahabat yang lain yakni yang sama dalam lafadz dan maknanya atau pada maknanya saja, maka itu sudah adalah sha>hid. Aiman Nauril Haqiqi, Kamus Hadis
(Jombang: Isfa Press, 2011), 67. Istilah Sha>hid sering disebut Shawahi>d yang memiliki pengertian yang pada dasarnya memiliki persamaan dengan arti muta>bi‘, hanya saja jika
muta>bi‘ berasal dari sahabat yang berbeda. Namun keduanya sama-sama memiliki fungsi sebagai hadis yang sebelumnya diduga menyendiri. al-Qasimi, Qawa>’id, 128.
menyebutkan bahwa Imam Tirmidhi adalah orang pertama yang mempunyai
gagasan mempopulerkan hadis Nabi menjadi tiga bagian yakni hadis s}ah}ih}, h}asan,
dan d}a‘i>f.13 Sedangkan al-„Iraqi berpendapat bahwasanya al-Khat}t}abi adalah orang pertama yang membagi hadis Nabi menjadi tiga bagian, sebab dalam
bukunya yang berjudul Siar A‘lam al-Nubala’, al-Khattabi menyatakan
bahwasanya “menurut pakarnya hadis dibagi menjadi tiga bagian, yakni hadis
s}ah}ih}, hasan, } dan saqim (d}a‘i>f)”. 14
Dari Pernyataan al-Khat}t}abi yang menyebutkan “menurut pakarnya” ini bisa diasumsikan bahwa sebelum masa al-Khat}t}abi, hadis Nabi sudah terbagi menjadi tiga bagian. Pada penjelasan tersebut al-Khat}t}abi menisbatkan pembagian hadis ini pada pakarnya bukan pada dirinya sendiri. Oleh karena itu al-Khat}t}abi bukanlah orang pertama yang membagi dan mempopulerkan hadis menjadi tiga
bagian, melainkan para pakar hadis sebelum al-Khat}t}abi yang membagi hadis menjadi tiga bagian. Dalam penelitian Tesis yang ditulis oleh Jamal Abd Nasir, Lc
yang dijelaskan bahwa pendapat dari keduanya yakni Ibnu Taimiyah dan al-„Iraqi
tidaklah bertentangan karena kedua pendapat tersebut masih bisa dipadukan.
Menurut Abd Nasir, al-Tirmidhi> adalah orang pertama yang menaikkan derajat hadis d}a‘i>f satu tingkat di atasnya. Sedangkan pendapat al-„Iraqi, menurut Abd Nasir adalah al-Khattabi merupakan orang pertama yang menurunkan derajat
hadis s}ah}ih} satu tingkat di bawahnya.15
13 Abd. Nasir, “Konsep, 55. 14 Ibid., 56.
Ulama sebelum masa al-Khat}t}abi, bahkan sebelum Imam Tirmidhi sudah mengenal istilah h}asan dalam menyebutkan sebuah hadis, misalnya Imam Malik, Imam Syafi„i, Shu‟bah, „Ali ibn al-Madini, Abu Zar„ah al-Razi, Abu Hatim dan lainnya. Akan tetapi dalam hal tersebut lafal h}asan terkadang dimaksudkan dengan arti epistemologi oleh sebagian pakar, dan sebagian pakar yang lain
mendefinisikan dari sisi terminologinya. Al-Suyut}i mengungkapkan dalam kitab
musnad dan kitab ‘Ilalnya bahwa orang yang pertama kali menggunakan istilah
s}ah}ih} dan h}asan adalah Imam „Ali ibn al-Madini. Kemudian al-Bukhari, Ya‟qub
ibn Shaibah dan ulama‟ lain yang semasa dengan mereka mengambil istilah h}asan
ini dari „Ali ibn al-Madini. Selanjutnya al-Tirmidhi> sebagai murid dari al-Bukhari, beliau mengambil istilah h}asan langsung dari Bukhari. Kemudian dari al-Tirmidhi> inilah istilah hadis h}asan mulai dipopulerkan melalui kitabnya yang berjudul Sunan al-Tirmidhi>.16
B.Hadis H{asan Perspektif Ulama dan Kehujjahannya
Sebagian ulama hadis sebelum Tirmidhi ada yang membagi hadis Nabi
menjadi dua bagian, yaitu hadis s}ah}ih} dan hadis d}a‘i>f, yang mana pada hadis d}a‘i>f
tersebut dibagi lagi menjadi dua yakni hadis d}a‘i>f yang bisa diamalkan dan hadis
d}a‘i>f yang harus ditinggalkan. Secara global hadis nabi tersebut memang terbagi menjadi dua, akan tetapi jika dilihat secara rinci hadis tersebut terbagi menjadi
tiga bagian. Hal itu dapat dipahami dari kebiasaan ulama terdahulu. Terkadang
ulama terdahulu setelah menyebutkan teks sebuah hadis, mereka mengatakan
hadis ini layyin (tidak terlalu lemah), dan hadis ini d}a‘i>f (lemah).17
Dalam pendefinisian hadis s}ah}ih}dan hadis h}asan, Para ulama hadis terdahulu sama sekali tidak membedakan antara keduanya, karena menurut perspektif
mereka, hadis h}asan merupakan bagian dari hadis s}ah}ih}, bahkan mereka cenderung tidak mengklasifikasikan antara keduanya karena menurut mereka
keduanya itu masuk dalam kategori hadis maqbu>l (dapat diterima) dan dapat dijadikan landasan hukum (h}ujjah). Walaupun pendapat mereka seakan-akan tidak membedakan antara keduanya, namun tidak menutup kemungkinan
bahwasanya kualitas hadis h}asan tetap diyakini berada satu level di bawah kualitas hadis s}ah}ih}.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa untuk menciptakan definisi
h}asan sangatlah sulit, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh al-Dhahabi dalam bukunya yang berjudul al-Muqi>dhat, beliau berkomentar bahwasanya sangat sulit untuk membuat definisi hadis h}asan yang komprehensif dan dapat mencakup semua hadis h}asan. Banyak hadis yang membuat para hafidh bingung dalam menentukan kualitas sebuah hadis, apakah hadis tersebut termasuk hadis
s}ah}ih}, h}asan, ataukah d}a‘i>f. Bahkan dari hasil ijtihad seorang h}a>fidh terkadang
berubah-ubah, di satu saat dikatakan s}ah}ih} dan disaat yang lain dikatakan h}asan, bahkan ada dari mereka yng mengatakan sampai pada derajat melemahkannya.18
17 Abd. Nasir, “Konsep, 57.
Ulama hadis memberikan beragam pendapat dalam mendefinisikan makna
hadis h}asan. Keberagaman pemikiran itulah yang akan melahirkan banyak pendapat. Dalam hal pendefinisian terhadap hadis h}asan, Imam Tirmidhi sengaja memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada para pakar hadis untuk
mendefinisikannya, hal ini dapat diketahui dari ungkapan Imam Tirmidhi pada
akhir definisinya yakni dengan ungkapan ‘indana (menurut kami). Beberapa
pendapat ulama hadis mengenai definisi hadis h}asan diantaranya adalah:
1. Abu> Sulayma>n al-Kahat}t}abi dalam kitab Ma‟a>lim al-Sunan mendefinisikan hadis h}asan sebagai berikut:
َُجَرََْ ُفِرُع اَم
،
ُُلاَجِر َرَهَ تْشاَو
،
ِءاَمَلُعْلا ُرَ ًْكأ ُُلَ بْقَ ي يِذَلا َوَُو ِثيِدَْْا ِرًَْكَأ ُراَدَم ِيَلَع َو
،
َو
.ِءاَهَقُفْلا ُةَماَع ُُلِمْعَ تْسَي
ٔ9
“Hadis yang sudah diketahui sumbernya, diriwayatkan oleh perawi yang sudah dikenal, hadis terbanyak yang diterima oleh kebanyakan ulama, serta dipraktikkan oleh ulama fiqh.”
Maksud dari diketahui sumbernya (
َُجَرََْ
) adalah tempat keluar yakni paraperiwayat hadis. Diriwayatkan oleh perawi yang terkenal (
ُُلاَجِر َرَهَ تْشاَو
) maknaterkenal di sini maksudnya adalah terkenal (masyhur) akan keadilan dan
kekuatan akan hafalannya, hanya saja kemasyhuran di sini lebih rendah dari
kemasyhuran perawi dalam hadis s}ah}i>h}. Makna dari hadis terbanyak (
ِيَلَع َو
ِثيِدَْْا ِرًَْكَأ ُراَدَم
) yakni hadis paling banyak setelah hadis s}ah}i>h}, dalam definisi
19 Abu> Sulayma>n H{ammad ibn Muhammad al-Khat} }t}abi> al-Busti, Ma‘a>lim al-sunan wa huwa Sharh Sunan al-Ima>m Abu> Da>wud, Vol I, editor muhammad Raghib al-T{abbakh (Beirut: al-Mat}ba‟ah al-Ilmiyah, 1932), 6. al-Syaykh Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>
ini Imam Kahat}t}abi menambahkan dengan kalimat diterima oleh kebanyakan
ulama (
ِءاَمَلُعْلا ُرَ ًْكأ ُُلَ بْقَ ي يِذَلا َوَُو
), penambahan ini dikarenakan sebagian ulamaada yang tidak menerima hadis h}asan, sebagaimana riwayat Ibnu Hatim:
ع
دا سإ :لاقف ثيدح نع ِأ تلأس :لاق مأح نبإ ن
نسح
،ا :لاق ؟ ب جتح :تلقف ،
.ءاملعلا ةماع لبقيف حيحصلا اما
ٕٓ
“dari Ibnu Hatim, ia berkata: saya bertanya kepada ayahku tentang sebuah hadis, ayah menjawab: sanadnya h}asan, lalu saya bertanya lagi „apakah bisa dijadikan hujjah?‟, ayah menjawab: „tidak, berbeda dengan hadis s}ah}i>h} yang bisa diterima oleh semua ulama‟.”
Ketika beliau (Ibnu Hatim) bertanya tentang sebuah hadis kepada ayahnya,
ayahnya menjawab bahwa hadis tersebut sanadnya adalah h}asan, lalu beliau bertanya lagi kepada ayahnya tentang hadis h}asan tersebut apakah hadis dengan kualitas h}asan itu bisa dijadikan hujjah atau tidak, kemudian ayahnya menjawab “tidak” dengan alasan bahwasanya hadis h}asan itu berbeda dengan hadis s}ah}i>h}, yakni s}ah}i>h} diterima oleh semua ulama, sedangkan hadis h}asan
tidak semua ulama menerimanya. Kemudian makna dari dipraktikkan oleh
ulama fikih (
ِءاَه
َقُفْلا ُةَماَع ُُلِمْعَ تْسَي َو
) adalah bahwasanya hadis h}asan inidijadikan hujjah dan diamalkan oleh ulama fikih.21
Beberapa kritikan terhadap definisi yang diungkapkan oleh Imam
Kahat}t}abi, diantaranya:22
 Definisi tersebut hanya memiliki definisi hadis h}asan li dha>tihi saja, sedangkan hadis h}asan yang diketahui ada dua yakni h}asan li dha>tihi dan
h}asan li ghayrihi.
 Definisi tersebut dikritik bahwasanya tidak mencegah hadis s}ah}i>h} masuk di dalam kategori tersebut. Namun kritikan ini dapat dipatahkan oleh ungkapan
yang menyatakan bahwa kemasyhuran perawi dalam hadis h}asan tidak sama dengan kemasyhuran perawi yang terdapat dalam hadis s}ah}i>h karena masyhur dalam hadis h}asan lebih rendah tingkatannya. Maka dapat mencegah masuknya hadis s}ah}i>h} dalam kategori hadis h}asan. Begitu juga dengan ungkapan diterima kebanyakan ulama juga berbeda dengan hadis
s}ah}i>h}, karena hadis s}ah}i>h} diterima oleh semua ulama.
2. Al-Tirmidhi> dalam kitabnya23 mendefinisikan hadis h}asan sebagai berikut:
ُثْيِدَْْا َوُ :ْنَسَْْا ُثْيِدَْْا
اًًْ يِدَح ُنْوُكَي َا َو ِبِذَكْلاِب ُمَهَ تُ ي ْنَم ِِداَْسِا ِِْ ُنْوُكَي َا ْيِذَلا
ىَوْرُ ي َو اًذاَش
.َكِلَذ ِوََْ ٍْجَو َِْْغ ْنِم
ٕٗ
“Hadis h}asan adalah hadis yang dalam sanadnya tidak terdapat rawi yang disangka berdusta, tidak termasuk hadis yang syadz (janggal), dan diriwayatkan dari jalur jalur lain yang sederajat.”
22 Ibid., 266.
23 Dalam kitab al-‘Ilal yang terdapat dibagian akhir dari kitab al-Ja>mi‘nya. Al-Tirmidhi>, al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h, Jld 5 (Mashr: al-H{alabi>, 1968), 340.
24 Abu> Shuhbah}, al-Wasi>t}, 266. Nuruddin „Itr, ‘Ulu>m al-H{adi>th 2, ter. Mujiyo (Bandung:
Pada sanadnya tidak terdapat rawi yang disangka berdusta (
ِِْ ُنْوُكَي َا
ِبِذَكْلاِب ُمَهَ تُ ي ْنَم ِِداَْسِا
), dalam kriteria ini dapat memasukkan hadis mastur danhadis majhul, berbeda halnya dengan hadis s}ah}i>h} yang mensyaratkan rawinya dapat dipercaya, adil, dan kuat hafalannya.25 Tidak termasuk hadis yang
janggal (
اًذاَش اًًْ يِدَح ُنْوُكَي َا
), yang dimaksud dengan syadz (janggal) menurutImam Tirmidhi adalah hadis ini berbeda dengan riwayat para rawi yang thiqah,
jadi salah satu syarat suatu hadis dapat dikatakan sebagai hadis h}asan adalah hadis tersebut harus selamat dari pertentangan.26 Makna diriwayatkan dari jalur
lain yang sederajat (
َكِلَذ ِوََْ ٍْجَو َِْْغ ْنِم ىَوْرُ ي َو
) adalah suatu hadis yangdiriwayatkan tidak dari satu jalur saja, akan tetapi diriwayatkan dari dua jalur
atau lebih, dengan catatan sederajat atau lebih kuat, dalam hal ini tidak
disyaratkan dengan redaksi (lafadz) yang sama dengan artian bahwa dari
riwayat lain dapat mengambil kesimpulan makna saja.27
Kritikan terhadap definisi yang diungkapkan oleh Imam Tirmidhi yakni:
definisi ini hanya bisa mendefinisikan h}asan li ghayrihi saja, belum bisa mewakili definisi hadis h}asan secara keseluruhan yakni h}asan li dha>tihi dan
h}asan li ghayrihi. Definisi ini juga dikritik bahwasanya dapat memasukkan
hadis s}ah}i>h} dalam kategori hadis h}asan. Namun kritikan ini dapat dibantah
25 Abu> Shuhbah}, al-Wasi>t}, 266. 26 Nuruddin „Itr, ‘Ulu>m, 33-34.
keterangan yang menyatakan bahwa hadis h}asan bisa diriwayatkan oleh perawi yang mastur, sedangkan dalam hadis s}ah}i>h} syaratnya semua rawi harus bisa dipercaya (thiqah). Jadi keterangan ini dapat mencegah masuknya hadis s}ah}i>h}
dalam kategori hadis h}asan.28 Menurut Imam Tirmidhi, salah satu syarat hadis
h}asan harus diriwayatkan dari dua jalur yang berbeda. Dalam hadis s}ah}i>h}
sendiri syarat seperti itu tidak ada. Maka sangatlah jelas perbedaan hadis s}ah}i>h}
dengan hadis h}asan.
Imam ibn Kathi>r juga mengkritik definisi hadis h}asan dari Imam Tirmidhi, bahwa imam Tirmidhi sering menulis dalam kitabnya tentang hadis h}asan
dengan berkata hadis ini h}asan dan jarang terdengar kecuali dari jalur ini (
اذ
جولا اذ نم َاإ فرعت ا بيرغ نسح ثيدح
). Kritikan ini kemudian di tanggapidengan alasan yakni syarat hadis h}asan yang diriwayatkan dari jalur lain bisa dengan lafadz atau maknanya saja, jadi bisa saja ahli hadis hanya mengakui
satu jalur hadis dengan lafadznya, sedangkan dari jalur lain diakui dari segi
maknanya.29
3. Ibn S{ala>h} menganjurkan untuk tidak memperselisihkan mengenai definisi hadis
h}asan, beliau menyimpulkan hadis h}asan menjadi dua yakni h}asan li dha>tihi
dan h}asan li ghayrihi:30
28 Abu> Shuhbah}, al-Wasi>t}, 267. 29 Abu> Shuhbah}, al-Wasi>t}, 267.
a. h}asan li dha>tihi adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang terkenal dengan amanah dan kejujurannya, akan tetapi kedudukan perawi tersebut
tidak sampai pada derajat perawi hadis s}ah}ih}. Di samping itu matan hadisnya tidak sha>dh atau mungkar dan tidak kemasukan cacat. Kesimpulan definisi ini dilihat dari definisi menurut perspektif Imam Khat}t}abi.
b. h}asan li ghayrihi adalah hadis yang salah satu perawinya ada yang mastu>r31,
tidak profesional, tetapi tidak termasuk kategori periwayat yang sering
melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis dan tidak terttuduh berbuat
dusta, tidak ada indikasi kebohongan yang disengaja dan matan hadisnya
diceritakan di jalur lain yang menguatkannya, baik hadis penguat tersebut
diriwayatkan dengan lafalnya maupun diriwayatkan dengan maknanya.
Kesimpulan definisi ini dilihat dari perspektif Imam Tirmidhi.
Dua definisi tersebut tidak menyodorkan definisi baru dan redaksi baru,
akan tetapi hanya mempertegas definisi dari Imam Tirmidhi dan Imam
Khat}t}abi.32 Ibnu Bakar juga mendefinisikan hadis h}asan, namun definisinya juga hasil dari kombinasi antara definisi Imam Khat}t}abi dan definisi Imam Tirmidhi dengan menambahkan satu syarat yakni terhindar dari „illat.
Pesyaratan terhindar dari sha>dh diambil dari definisi Imam Tirmidhi sedangkan
Ittis}a>l al-Sanad serta d}abit} diambil dari definisi Imam Khat}t}abi.33
31 Orang yang tertutup yang menjauhi dari hal-hal buruk dan tidak diketahui keadaannya.
Haqiqi, Kamus, 107.
4. Ibnu H}ajar al-„Asqalani (773-852 H) memberikan definisi tentang hadis h}asan
sebagai berikut:
َع ِلْقَ ِب ِداَح ْْا ُرَ بَخ
ْنإَف ،ِِتاَذِل ُحْيِحَصلا َوَُو ، ذاَش َا َو ٍلَلَعُم َِْغ ،ِدََسلا ِلِصَتُم ،ٍطِباَض ٍلْد
.ِِتاَذِل ُنَسَْْاَف ُطْبَضلا َفَخ
ٖٗ
Khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, dengan tidak terdapat „illat atau tidak shadz disebut hadis
s}ah}ih} jika kekuatan ingatannya kurang sempurna, maka disebut hadis h}asan li dhatihi.
Hadis h}asan menurut Ibnu Hajar dalam definisi ini dapat diketahui bahwasanya definisi tersebut hampir sama dengan definisi hadis s}ah}ih}, perbedaannya hanya terletak pada daya ingat perawi hadis yang mana pada
hadis s}ah}ih}daya ingat perawinya sempurna, sedangkan pada hadis h}asan daya ingat perawinya kurang sempurna. Dengan demikian maka posisi hadis h}asan
berada diantara posisi hadis s}ah}ih} dan hadis d}a‘i>f. 35
Dari beberapa pendapat ulama mengenai definisi hadis h}asan di atas, justru yang sering dipakai untuk mendefinisikan hadis hasan, dan terkesan lebih diterima
oleh ulama hadis adalah definisi yang diungkapkan dari Ibnu Hajar al-„Asqalani.
Oleh karena itu, ketika memberikan definisi hadis hasan, ulama hadis sering
menggunakan definisi hadis hasan menurut ibnu Hajar diberbagai kitab
karangannya karena definisinya dianggap definisi yang jami‟ dan mani‟.
Dari beberapa definisi mengenai hadis h}asan sebelumnya, dapat diketahui beberapa kriteria hadis h}asan tersebut yakni sanadnya bersambung (Ittis}a>l
al-Sanad), para perawinya bersifat ‘Adil, diantara perawinya ada yang kurang d}a>bit},
terhindar dari shadh, dan terhindar dari ‘Illat.36
1. Bersambungnya sanad (Ittis}a>l al-Sanad)
Bersambungnya sanad (Ittis}a>l al-Sanad) adalah setiap rawi yang dalam menerima suatu hadis benar-benar menerima dari rawi sebelumnya dan begitu
seterusnya sampai pada rawi yang pertama. Sementara imam al-Bukhari
berpendapat bahwa suatu hadis dapat disebut sanadnya bersambung apabila
murid dan guru atau rawi pertama dengan rawi kedua benar-benar pernah
bertemu walaupun hanya sekali. Sedangkan menurut imam Muslim, sanad
hadis dapat disebut bersambung apabila ada kemungkinan bertemu bagi kedua
rawi (guru dan murid). Hal ini bisa terjadi apabila keduanya hidup dalam satu
kurun waktu dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh menurut ukuran saat itu,
meskipun keduanya belum pernah bertemu sama sekali.37
Berdasarkan hal diatas, syarat yang dikemukakan imam al-Bukhari lebih
ketat daripada yang ditetapkan oleh imam Muslim. Hal ini menjadikan karya
shahih al-Bukhari menempati peringkat pertama dalam hirearki kitab hadis
yang paling sahih. Untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad suatu hadis,
ada dua hal yang dapat dijadikan objek penelitian, yaitu: sejarah rawi dan
lafad-lafad periwayatan.
36 Idri, Studi Hadis, Cet. I (Jakarta: Kencana, 2010), 160.
37 M. „Ajjaj al-Kha>tib, Us}u>l Al - Hadi>th: Pokok - Pokok Ilmu Hadis, terj. M. Nur Ahmad
2. Para perawinya bersifat ‘Adil
Menurut al-Razi sebagaimana dikutip oleh M. Abdurrahman dan Elan
Sumarna, 'adil didefinisikan sebagai kekuatan ruhani (kualitas spiritual) yang
mendorong untuk selalu berbuat takwa, yaitu mampu menjauhi dosa-dosa
besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah.38
Menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, 'adalat merupakan sifat yang
melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa
bertakwa, menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan
dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru'ah seperti kencing
dijalan, makan dijalan dan lain sebagainya.39
Sedangkan menurut Ibnu al-Syam‟ani sebagaimana dikutip oleh Fatchur Rahman, keadilan seorang rawi harus memenuhi empat syarat, yaitu: selalu
memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi
dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun, tidak melakukan
perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan kadar iman dan
mengakibatkan penyesalan, dan yang terakhir tidak mengikuti pendapat salah
satu madzhab yang bertentangan dengan dasar shara’.40
Untuk mengetahui 'adil tidaknya seorang rawi, para ulama hadis telah
menetapkan beberapa cara, yaitu: pertama, melalui popularitas keutamaan
seorang rawi di kalangan ulama hadis. Periwayat yang terkenal keutamaan
38 M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011), 14.
39 al-Kha>tib, Us}ul Al-Hadi>th, 276.
pribadinya misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Thauri, kedua rawi tersebut
tidak diragukan keadilannya. Kedua, penilaian dari kritikus hadis. Penilaian ini
berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat
hadis. Ketiga, penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh apabila
para kritikus rawi hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu.41
3. Perawinya ada yang kurang d}a>bit}
D{abit} artinya cermat dan kuat hafalannya. Sedangkan yang dimaksud
dengan rawi d}abit} adalah rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak salah, sehingga ia dapat menerima dan
menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia terima.42
Dilihat dari kuatnya hafalan rawi, ke-d}abit}-an ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: pertama, d}abit} s}adri atau d}abit} al-fu'ad, dan kedua d}abit}
al-kitab. D{abit} S{adri artinya kemampuan untuk memelihara hadis dalam hafalan
sehingga apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari guruya.
Sedangkan d}abit} al-kitab adalah terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, sehingga ia tahu apabila ada tulisan-tulisan periwatan hadis
yang salah.43
Cara untuk mengetahui ke-d}abit-an seorang rawi hadis menurut berbagai pendapat ulama yaitu: pertama, ke-d}abit-an seorang rawi dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama. Kedua, d}abit-an seorang rawi dapat diketahui
juga berdasarkan kesesuaian riwayat seorang rawi dengan riwayat yang
disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-d}abit-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah. Ketiga,
seorang rawi yang tidak sering mengalami kekeliruan tetap dikatakan d}abit
asalkan kesalahan itu tidak terus-menerus. Tetapi jika ia sering mangalami
kekeliruan dalam meriwayatkan hadis, maka ia tidak disebut d}abit.44
Kualitas ked}abit}an periwayat satu dengan periwayat yang lain tidaklah sama. Ada periwayat yang sempurna ked}abit}annya, ada yang d}abit} saja, bahkan ada yang kurang d}abit}. Seorang periwayat dikatakan sempurna ked}abit}annya (tam al-d}abt}) apabila seorang periwayat tersebut hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya, mampu menyampaikan dengan baik
hadis yang dihafalnya itu. Seorang periwayat dikatakan d}abit} saja apabila hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya dan mampu menyampaikan
dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain. Sedangkan periwayat
yang kurang d}abit} adalah periwayat yang hafal hadis yang diriwayatkan tetapi sekali-kali mengalami kekeliruan dalam menyampaikan hadis itu kepada orang
lain. Hadis yang disampaikan oleh periwayat yang kurang d}abit} ini dapat dikelompokkan pada hadis h}asan.45
4. Terhindar dari sha>dh
Secara bahasa, Sha>dh merupakan isim fa>‘il dari sha>dhdha yang berarti menyendiri. Menurut istilah Ulama hadis, sha>dh adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat thiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh
periwayat yang lebih thiqah. Mengenai hadis sha>dh, al-Shafi>„i> sebagaimana dikutip oleh Idri berpendapat bahwa suatu hadis dipandang sha>dh jika ia diriwayatkan oleh seorang yang thiqah namun bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh orang thiqah yang banyak, sementara itu tidak ada rawi lain
yang meriwayatkannya. Selanjutnya Idri mengutip pendapat Hakim
al-Naysaburi yang menyatakan bahwa hadis sha>dh adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang thiqah, akan tetapi tidak ada
periwayat thiqah lain yang meriwayatkannya, pendapat ini berbeda dengan
pendapat al-Shafi>„i> di atas.46
Sedangkan menurut Fatchur Rahman, sha>dh yang terjadi pada suatu hadis terletak pada adanya pertentangan antara periwayatan hadis oleh rawi yang
maqbu>l (yang dapat diterima periwayatannya) dengan periwayatan hadis oleh
rawi yang lebih rajah (kuat), hal ini disebabkan adanya kelebihan dalam
jumlah sanad atau lebih dalam hal ke-d}abit}-an rawinya atau adanya segi tarjih yang lain.
5. Terhindar dari ‘Illat
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa pengertian ‘illat di sini bukanlah
pengertian secara umum, yaitu cacat yang disebut sebagai t}a’n al-adi>th atau
jarh}. Akan tetapi yang dimaksud ‘illat di sini adalah sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang
secara dhahir nampak s}ah}i>h} menjadi tidak s}ah}i>h}.47
46 Idri, Studi Hadis, cet I, 168.
47 Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, Cet. III (Surabaya:
Untuk mengetahui terdapat ‘illat tidaknya suatu hadis, para ulama
menentukan beberapa langkah yaitu: pertama, mengumpulkan semua riwayat
hadis, kemudian membuat perbandingan antara sanad dan matannya, sehingga
bisa ditemukan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya akan diketahui
dimana letak ‘illat dalam hadis tersebut.48 Kedua, membandingkan susunan
rawi dalam setiap sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing dalam
keumuman sanad. Ketiga, pernyataan seorang ahli yang dikenal keahliannya,
bahwa hadis tersebut mempunyai ‘illat dan ia menyebutkan letak ‘illat pada
hadis tersebut.49
Sebagaimana dalam shudhu>dh, 'illat ini juga bukan hanya terdapat pada sanad hadis, tetapi terdapat juga pada matan hadis. Tiga kriteria pertama, yaitu:
'adalat, d}abit} dan ittis}al, berkaitan erat dengan rawi. Sedangkan 'illat dan
sha>dh Syarat-syarat terpenuhinya keshahihan ini sangatlah diperlukan, karena penggunaan atau pengamalan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
dimaksud berakibat pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau
bahkan sama sekali menyimpang dari apa yang seharusnya dari yang diajarkan
Nabi Muhammad SAW.50
48 Tim Penyusun, Studi Hadis, 164. 49 Idri, Studi Hadis, cet II, 171.
50 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, Cet I (Malang:
Dalam hal kehujjahan hadis h}asan, jumhur ulama mengatakan bahwasanya kehujjahan hadis h}asan sebagaimana kehujjahan hadis s}ahi}>h}, baik h}asan li dha>tihi
maupun h}asan li ghayrihi.51 Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan
h}asan li dha>tihi dan h}asan li ghayrihi sebagai bagian