• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCATATAN NIKAH OLEH PETUGAS YANG TIDAK BERWENANG DI KOTA BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENCATATAN NIKAH OLEH PETUGAS YANG TIDAK BERWENANG DI KOTA BOGOR"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

:

MUHAMAD ALWI MUNAWAR NIM: 1113044000006

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1439 H/2018 M

(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Muhamad Alwi Munawar NIM: 1113044000006

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1439 H/2018

(3)
(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 5 Januari 2018

(5)

v

ABSTRAK

Muhamad Alwi Munawar. NIM 1113044000006. PENCATATAN NIKAH OLEH PETUGAS YANG TIDAK BERWENANG DI KOTA BOGOR (Studi Pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor). Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. x + 89 halaman + 98 halaman lampiran.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian mengenai proses pencatatan nikah di KUA Kecamatan Bogor Selatan yang melibatkan petugas yang tidak berwenang. Pencatatan nikah oleh petugas yang tidak berwenang ini dilakukan oleh PPN dan Penghulu KUA Kecamatan Bogor Selatan dengan melibatkan para Staf KUA Kecamatan Bogor Selatan dan para amil di wilayah Kecamatan Bogor Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan, status hukum, serta solusi yang dapat ditawarkan kepada seluruh pihak yang terlibat.

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan normatif. Dengan metode deskriptif analisis. Dalam mengumpulkan data-data akurat saat penelitian, penulis menggunakan beberapa teknik, yaitu observasi, interview (wawancara), dan studi kepustakaan.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa KUA Kecamatan Bogor Selatan melakukan pencatatan nikah dengan melibatkan petugas yang tidak berwenang karena ketidakpatuhan pihak KUA Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor terhadap Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah. Status hukum pencatatan nikah yang dilakukan oleh petugas yang tidak berwenang adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Solusi untuk KUA Kecamatan Bogor Selatan yakni perlu untuk memperkuat manajemen KUA dalam bidang perencanaan. Kemudian masyarakat yang mendaftarkan pernikahannya di KUA Kecamatan Bogor Selatan maka masyarakat harus lebih taat kepada peraturan pendaftaran pencatatan nikah yang berlaku di KUA Kecamatan Bogor Selatan. Terakhir kepada Kepala Seksi yang membidangi Urusan Agama Islam pada Kantor Kementerian Agama Kota Bogor, perlu diadakannya pengawasan lebih lanjut terhadap proses pencatatan nikah di Kota Bogor termasuk di Kecamatan Bogor Selatan.

Kata kunci : Pencatatan Nikah, KUA Kecamatan Bogor Selatan, Penghulu, Petugas Yang Tidak Berwenang

Pembimbing : Dr. H. Yayan Sopyan, S.H. M.H., M.Ag. Daftar pustaka : 1978-2014

(6)

vi

KATA PENGANTAR

ِمي ِحَّرلا ِنَْحَّْرلا ِهَّللا ِمْسِب

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya, yang telah mendidik kita sebagai umatnya untuk menuju jalan kebenaran.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan, namun berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, segala tantangan dan hambatan itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Indra Rahmatullah S.H.I., M.H., selaku Ketua dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.H., M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Dosen Penasihat Akademik yang telah banyak membantu, meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis. 4. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan

Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

5. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

(7)

vii

6. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Kepala Sub Direktorat Bina Mutu Sarana, Prasarana dan Sistem Informasi KUA Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan pendapatnya sebagai bahan rujukan skripsi.

8. Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum. sebagai Ahli Hukum Perdata Islam yang telah memberikan pendapatnya untuk dijadikan bahan rujukan skripsi. 9. Ayahanda Zaenal Aripin (Alm.) dan Ibunda Yati yang penulis cintai,

beserta keluiarga yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, serta doa dalam setiap sujudnya untuk kebahagiaan dan kesuksesan penulis.

10. Segenap pengurus dan rekan-rekan di Yayasan Rumah Qur’an Thalabul Ilmi yang telah membantu biaya kuliah penulis.

11. Teman-teman seperjuangan penulis selama kuliah, khususnya Muhammad Alfan Hafidz, Muhamad Abi Aulia, Muhammad Irsyad, M. Shofwan N., dan teman-teman FORMASAS yang selalu ada dalam suka maupun duka, SAS 2013, dan KKN KOMPAS 101 2017.

Semoga amal dan jasa mereka diterima oleh Allah SWT dan dibalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.

Penulis berharap skripsi ini dengan kelebihan dan kekurangan yang terdapat di dalamnya, kiranya dapat memberi manfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 5 Januari 2018

(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1. Tujuan Penelitian ... 6

2. Manfaat Penelitian ... 7

E. Review Studi Terdahulu ... 7

F. Metode Penelitian ... 9

1. Pendekatan Penelitian ... 9

2. Jenis Penelitian ... 10

3. Jenis Data dan Sumber Data ... 10

4. Teknik pengumpulan data ... 10

5. Metode Analisis ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II PENCATATAN NIKAH SEBAGAI LEGALITAS A. Kepastian Hukum ... 13

B. Asas Legalitas ... 17

C. Sejarah Pemberlakuan Pencatatan Nikah di Indonesia ... 23

1. Masa Kolonialis Belanda ... 23

(9)

ix

D. Kedudukan Hukum Pencatatan Nikah di Indonesia ... 37 E. Urgensi Pencatatan Perkawinan ... 42 F. Petugas dan Prosedur Pencatatan Nikah ... 47

BAB III PELAKSANAAN PROSES PELAYANAN PENCATATAN NIKAH

A. Kondisi Objektif Penelitian ... 54 B. Tugas Pokok dan Fungsi KUA Kecamatan Bogor Selatan ... 60 C. Proses Pencatatan Nikah ... 62

BAB IV MANAJEMEN PELAYANAN PENCATATAN NIKAH

A. Kepatuhan Hukum KUA Kecamatan Bogor Selatan ... 70 B. Status Hukum Pencatatan Nikah ... 77 C. Penguatan Manejemen Pencatatan Nikah ... 81

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 84 B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN – LAMPIRAN

1. Surat Bimbingan Skripsi

2. Surat Izin Permohonan Data dan Wawancara untuk Kepala KUA Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor

3. Surat Izin Permohonan Data dan Wawancara untuk Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia

4. Surat Izin Permohonan Data dan Wawancara untuk Dr. H. Muchtar Ali M. Hum.

5. Surat Keterangan Pengambilan Data dan Wawancara dari KUA Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupannya, manusia diatur dan dibatasi oleh berbagai macam norma dan kaidah hidup yang tidak lain untuk tercapainya kehidupan bersama yang tertib dan aman. Pengalaman-pengalaman tentang cara memenuhi primary needs atau kebutuhan-kebutuhan yang diantaranya mencakup sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang dan kasih sayang, didapatkan manusia di dalam menjalani kehidupan tersebut.1

Islam menjamin kehormatan manusia dengan memberikan perhatian yang sangat besar, yang dapat digunakan untuk memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka.2 Salah satu cara Islam dalam menjamin kehormatan masyarakat muslim sebagai pemeluknya yakni melalui syariat pernikahan atau perkawinan.

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya perkawinan yang dilakukan dengan diawali mengikat perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita untuk menjalin hubungan rumah tangga, perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjalin hubungan suami istri secara sah yang disaksikan oleh beberapa orang dan dibimbing oleh wali.3

Sedangkan pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 menyatakan: “Perkawinan itu ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

1

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.67.

2Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 131. 3Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, (Surabaya: Reality, 2008), h. 468

(11)

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua mahluk-Nya, sebagai sesuatu yang baik yang dipilih oleh Allah SWT untuk melahirkan keturunan dan melestarikan hidupnya.4 Perkawinan memiliki misi yang sama seperti yang telah dilakukan oleh para nabi, dan kebenaran misi ini dikuatkan oleh argumentasi–argumentasi ayat dan mukjizat yang diturunkan kepada nabi.5

Di Indonesia, perkawinan harus dicatatkan seperti yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) bahwa: “Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”. Kemudian pencatatan perkawinan juga disinggung di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini menegaskan bahwasanya sah menurut agama belum tentu sah menurut hukum negara.6 Maka agar pernikahan memiliki legalitas dimata hukum Indonesia, maka pernikahan tersebut wajib dicatatkan.

UU Perkawinan adalah hukum yang berlaku secara nasional bagi semua warga negara, termasuk orang asing yang berada dalam negara Indonesia. Dalam pembentukan hukum nasional, semua usnur-unsur hukum yang berlaku di tanah air kita yang dapat diterima secara nasional dipergunakan sebagai bahan dalam penyusunannya.7

Adapun petugas yang diamanahi negara untuk mencatatkan nikah ini adalah Penghulu atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Di dalam Pasal 1 ayat (3) Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004 jo. Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, penghulu adalah “Pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas,

4Selamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999),

h. 9.

5Mahmud ash – Shabbagh, Keluarga Bahagia Dalam Islam, Diterjemahkan Oleh Yudian

Wahyudi Asmin, dkk. (Solo, CV. Pustaka Mantiq, 1993) Cet. Ke-5 h. 25

6 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, (Jakarta: Penerbit RMBooks, 2012), h.8.

(12)

tanggungjawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.”8

Kemudian pengertian PPN sesuai Pasal 2 ayat (1) PMA Nomor 11 Tahun 2007 adalah “Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat dan melakukan bimbingan perkawinan.” PPN ini dijabat oleh Kepala KUA sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) pada peraturan yang sama.

Selanjutnya dalam melaksanakan tugas-tugas sebagaimana yang disebut dalam peraturan di atas, PPN dapat diwakili oleh Penghulu atau Pembantu PPN (P3N).9 Adapun P3N terkait pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugasnya dilakukan dengan surat Keputusan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota atas usul Kepala KUA dengan mempertimbangkan rekomendasi Kepala Seksi yang membidangi Urusan Agama Islam (Urais).10 Dalam pelaksanaannya pun, penghulu dan P3N harus mendapatkan mandat dari PPN di wilayah tersebut.11 Terlebih ketika akad nikah harus dilaksanakan dihadapan PPN atau Penghulu. Jika tidak maka dihadapan Pembantu PPN dari wilayah tempat tinggal calon isteri.12

KUA Kecamatan Bogor Selatan merupakan salah satu KUA di Kota Bogor. Populasi masyarakat di kecamatan ini yakni 194.179.13 Pada tahun 2015 jumlah peristiwa nikah di KUA Kecamatan Bogor Selatan sebanyak 1.524.14 Jika dirata-ratakan maka setiap bulannya terjadi 127 peristiwa nikah dan 4 peristiwa nikah pada setiap harinya. Sementara dalam praktiknya, di

8 Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam, Pedoman Pejabat Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2013), h. 221.

9Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 tentang

Pencatatan Nikah.

10

Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah.

11 Pasal 4 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan

Nikah.

12

Pasal 17 ayat (1) Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah.

13Badan Pusat Statistik Kota Bogor, Sensus Penduduk Tahun 2014. 14 BP4 KUA Kecamatan Bogor Selatan, Rekapitulasi NR Tahun 2015.

(13)

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor dalam hal melaksanakan pelayanan pencatatan nikah dilakukan oleh PPN (Kepala KUA) dan penghulu yang aktif di KUA tersebut. Namun seringkali pada pelaksanaannya PPN dan penghulu mewakilkan tugas tersebut kepada pihak yang tidak berwenang yang terdiri dari pegawai non-penghulu KUA Kecamatan Bogor Selatan dan pihak luar non-pegawai. Bahkan penulis juga pernah terlibat dalam praktik ini yakni mendapatkan mandat dari penghulu KUA tersebut untuk memimpin dan mencatatkan pernikahan di beberapa peristiwa nikah ketika penulis aktif magang di KUA tersebut sejak Oktober hingga Desember 2016.

Pihak luar non-pegawai ini dahulunya merupakan Pembantu PPN (P3N) di wilayah Bogor Selatan. Namun setelah tahun 2014, seluruh P3N yang ada di wilayah Kecamatan Bogor Selatan dinon-aktifkan oleh Kepala Seksi (KASI) Bimbingan Masyarakat (BIMAS) Islam Kementerian Agama Kota Bogor yang membawahi KUA Kecamatan Bogor Selatan ini. Praktis setelah Tahun 2014, mereka bukan lagi sebagai P3N dan tidak berhak mendapatkan mandat dari PPN sebagai perwakilan dalam tugas pencatatan nikah.15 Praktik pencatatan nikah semacam ini menjadi sebuah hal yang sering terjadi di KUA Kecamatan Bogor Selatan.

Maka berdasarkan hasil observasi penulis selama melaksanakan magang di KUA Bogor menjadikan penulis tertarik untuk menelaah dan mendalaminya karena latar belakang penulis yang merupakan mahasiswa Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Program Studi Hukum Keluarga dan pernah terlibat langsung dalam kegiatan tersebut sebagai kajian akademis tentang pelaksanaan pelayanan administrasi keperdataan Islam di lapangan. Dengan adanya tujuan dan motivasi tersebut diharapkan akan mendapat suatu jawaban dan penjelasan yang tepat dan akurat. Sedangkan untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian mengenai permasalahan di atas maka diperlukan suatu

15Wawancara pribadi dengan Drs. H. Agus Thabroni yang merupakan penghulu KUA

Kecamatan Bogor Selatan sekaligus pembimbing penulis ketika melaksanakan magang di KUA tersebut pada Oktober s.d. Desember 2016.

(14)

pembahasan dan penelitian secara mendalam pada objek penelitian yang dipilih.

B. Identifikasi Masalah

Penulis mengidentifikasi masalah ini ke dalam beberapa pertanyaan yakni: 1. Bagaimana profil Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Selatan

terutama para penghulunya?

2. Bagaimana KUA Kecamatan Bogor Selatan menjalankan tupoksinya dalam hal administrasi nikah dan rujuk?

3. Mengapa penghulu KUA Kecamatan Bogor Selatan melakukan pencatatan nikah oleh petugas yang tidak berwenang?

4. Siapa saja yang terlibat dalam praktik pencatatan nikah semacam ini? 5. Apakah pencatatan nikah di KUA Kecamatan Bogor Selatan yang

dilakukan oleh petugas yang tidak berwenang tersebut dianggap sah menurut peraturan yang berlaku?

6. Seperti apakah kebiasaan masyarakat di wilayah kerja KUA Kecamatan Bogor Selatan dalam hal mendaftarkan pernikahannya?

7. Bagaimana pendapat masyarakat di wilayah kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Selatan menanggapi hal semacam ini?

8. Apa saja solusi yang bijak baik untuk Penghulu di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Selatan beserta masyarakat di wilayah kerjanya maupun Kepala Bidang Urusan Agama Islam Bimbingan Masyarakat Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Kota Bogor yang membawahi KUA Bogor Selatan untuk menyikapi fenomena ini?

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Untuk lebih mendapatkan kejelasan dalam penelitian serta untuk memper-sempit dan mempermudah penelitian yang dimaksud dan untuk memperjelas pokok-pokok masalah yang akan dibahas dan diuraikan dalam skripsi ini, maka penulis hanya membatasi masalah tersebut pada proses pencatatan nikah oleh petugas yang tidak berwenang setelah berlakunya PMA No. 11

(15)

Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah dan setelah berlakunya PP No. 48 Tahun 2014 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama di wilayah kerja KUA Kecamatan Bogor Selatan yang terjadi selama Bulan Juli sampai dengan Bulan September 2017. Di dalam wilayah kerja KUA Kecamatan Bogor Selatan tersebut, tidak semua wilayah kelurahan menjadi tempat penelitian dalam skripsi ini. Hanya wilayah kelurahan yang memiliki amil saja yang dijadikan tempat penelitian. Adapun wilayah tersebut sebanyak 9 (sembilan) kelurahan yakni Kelurahan Bojong Kerta, Kelurahan Rancamaya, Kelurahan Kertamaya, Kelurahan Genteng, Kelurahan Cipaku, Kelurahan Pamoyanan, Kelurahan Rangga Mekar, dan Kelurahan Mulyaharja.

Adapun rumusan masalahnya yakni sebagai berikut:

1. Mengapa KUA Kecamatan Bogor Selatan melakukan pencatatan nikah dengan melibatkan petugas yang tidak berwenang?

2. Apakah pencatatan nikah di KUA Kecamatan Bogor Selatan yang dilakukan oleh petugas yang tidak berwenang tersebut dianggap sah menurut peraturan yang berlaku?

3. Apa saja solusi bijak yang dapat ditawarkan untuk seluruh pihak yang terlibat baik masyarakat, Pejabat KUA, maupun Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kota Bogor yang membawahi KUA Kecamatan Bogor Selatan untuk menyikapi fenomena ini?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui lebih dalam alasan dan faktor penyebab yang melatarbelakangi Penghulu KUA Kecamatan Bogor Selatan melakukan pencatatan nikah oleh petugas yang tidak berwenang.

(16)

b. Mengetahui sah atau tidaknya pencatatan nikah yang dilakukan oleh petugas yang tidak berwenang menurut peraturan yang berlaku.

c. Menemukan berbagai solusi yang dapat ditawarkan kepada seluruh pihak yang terlibat baik masyarakat, para Penghulu di KUA Kecamatan Bogor Selatan atau yang membawahinya dalam menyikapi fenomena semacam ini.

2. Manfaan Penelitian a. Teoritis

Mengetahui salah satu contoh empiris implementasi pelaksanaan pelayanan pencatatan nikah di masyarakat ketika melibatkan petugas yang tidak berwenang pada tinjauan hukum dan faktor penyebab yang melatarbelakanginya.

b. Praktis

Dapat dijadikan bahan rujukan pembanding atau evaluasi bagi KUA atau Kantor Wilayah KEMENAG di wilayah lain ketika dihadapkan pada kasus yang sama. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan sumber studi empiris pihak legislator terkait efektivitas penerapan peraturan perundang-undangan di lapangan.

c. Akademis

Dapat dijadikan salah satu bahan rujukan akademis di Fakultas Syariah dan Hukum terkait dengan gambaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional di lingkungan kerja Kantor Urusan Agama pada kondisi tertentu.

E. Review Studi Terdahulu

Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian yang terkait dengan penelitian ini antara lain adalah:

No. Identitas substansi Perbedaan

1. Nuurul Kawaakib, (2010) Konsentrasi

Dalam skripsi ini Nuurul Kawaakib

Sedangkan skripsi ini mengulas terjadinya

(17)

Peradilan Agama, dengan skripsinya yang berjudul “Pemahaman Masyarakat Kecamatan Pasar Rebo Terhadap Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).” mengulas tentang sejauh mana pemahaman masyarakat Kecamatan Pasar Rebo tentang tugas-tugas P3N di KUA Kecamatan Pasar Rebo.

praktik pencatatan nikah oleh selain penghulu di KUA Kecamatan Bogor Selatan dimana P3N di wilayah kerja ini sudah dinonaktifkan. 2. Waisul Qurni, (2014) Konsentrasi Administrasi Keper-dataan Islam, dengan skripsinya yang berjudul “Sanksi Bagi Penghulu Ilegal dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.”

Dalam skripsi ini Waisul Qurni membahas tentang sanksi bagi penghulu ilegal dilihat dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 dan pembahasannya hanya berupa studi pustaka semata tanpa adanya kasus yang diambil dari lapangan.

Sementara di dalam skripsi ini membahas praktik pencatatan nikah yang dilakukan oleh selain penghulu dengan alasan mewakilkan yang terjadi di wilayah kerja KUA Kecamatan Bogor Selatan selain dilihat dari segi hukum normatif juga dilihat dari segi sosiologis masyarakat. 3. Sukron Na’im, (2014), Konsentrasi Administrasi Keper- dataan Islam, dengan skripsinya yang ber judul

Dalam skripsi ini Sukron Na’im membahas peran dan upaya penghulu dalam mengurangi angka perceraian di KUA

Dalam skripsi ini membahas tentang tindakan penghulu KUA Kecamatan Bogor Selatan yang mewakilkan tugas

(18)

“Upaya Penghulu dalam Mengurangi Perceraian.” Kecamatan Parung Panjang Kabupaten Bogor. pencatatan nikah kepada petugas yang tidak berwenang di wilayah kerjanya.

F. Metode Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk menyelesaikan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun, dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia.16 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Penulis menggunakan metode pendekatan penelitian sebagai berikut:

a. Pendekatan Sosioligis, yaitu cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan cara melihat dari sisi kebiasaan penghulu ketika melaksanakan pelayanan pencatatan nikah di wilayah kerja KUA Kecamatan Bogor Selatan, respon dari tokoh masyarakat yang terlibat dan kebiasaan masyarakat pada umumnya ketika mendaftarkan pernikahannya. Disini penulis menggunakan metode snow balling effect¸ yakni mencari data dari pengakuan beruntun responden di lapangan karena sulitnya mendapatkan data resmi dalam hal pencatatan nikah yang dilakukan oleh petugas yang tidak berwenang.

b. Pendekatan Normatif, yaitu suatu cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(19)

2. Jenis Penelitian

Dilihat dari sudut pandang sifat penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode penulisan yang digunakan ialah deskriptif analisis yaitu penelitian untuk memberikan gambaran tentang suatu gejala atau suatu masyarakat tertentu17, atau bisa dikatakan ialah penulisan terhadap suatu masalah di masyarakat yang didasari oleh data-data yang didapat kemudian dianalisa untuk diambil kesimpulan dari masalah tersebut.

3. Jenis Data dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer ialah data yang didapat langsung dari lapangan, atau diperoleh dari survei dan observasi di lapangan. Data yang diperoleh langsung dari lembaga KUA Kecamatan Bogor Selatan untuk data jumlah rekapitulasi pernikahannya yang terjadi, serta dari penghulu di KUA tersebut untuk mengetahui jalannya praktik perwakilan pencatatan nikah kepada selain penghulu.

b. Data Sekunder ialah data yang didapat dari studi pustaka dengan cara membaca, mempelajari, dan memahami buku-buku literatur serta pengetahuan yang didapat saat dibangku perkuliahan, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis agar sesuai dengan penelitian yang diinginkan, ialah sebagai berikut:

a. Observasi

Dilakukan untuk mengadakan pengamatan secara langsung ke objek penelitian yang dituju, yaitu jalannya pelayanan pencatatan nikah oleh Penghulu KUA Kecamatan Bogor Selatan khususnya ketika

17Sukandarrumidi, Metodelogi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,

(20)

pencatatan tersebut diwakilkan untuk mengetahui secara langsung mengenai hal-hal apa saja yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Interview atau Wawancara

Digunakan untuk mendapatkan informasi atau data-data yang berkaitan dengan wewenang penghulu, peraturan pencatatan nikah, dan data empiris yang dalam hal ini yakni pencatatan nikah yang dibutuhkan oleh penulis secara langsung dari para narasumber diantaranya yakni Para Penghulu KUA Kecamatan Bogor Selatan, Tokoh Masyarakat, pendapat atas fenomena terkait dari Ahli Hukum Perdata Islam, Direktur Urusan Agama Islam (URAIS) Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Pusat serta masyarakat di wilayah kerjanya yang pernah terlibat dalam praktik semacam ini.

5. Metode Analisis

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif yakni teknik analisa data dengan cara menganalisis dan mengambil kesimpulan dari seluruh data yang diperoleh dari wawancara dan kepustakaan yang diseleksi dan disusun, kemudian penulis melakukan klasifikasi data, bertujuan untuk menyusun data berdasarkan bagian-bagian kategori tertentu.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang dibuat oleh penulis dalam skripsi ini dibagi dalam pembagian bab agar memiliki pembahasan yang terarah dan tidak terlalu luas. Dalam skripsi ini terdiri dari empat bab, dan setiap bab memiliki subbab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut:

(21)

Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan memuat tentang latar

belakang, identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, memuat tentang kepastian hukum, asas legalitas, urgensi

pencatatan perkawinan di Indonesia, dan pencatatan nikah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Bab Ketiga, membahas mengenai kondisi objektif penelitian di wilayah

kerja KUA Kecamatan Bogor Selatan dan proses pencatatan nikah yang terjadi di wilayah kerja KUA Kecamatan Bogor Selatan.

Bab Keempat, memuat hasil analisa penulis tentang alasan dan faktor

penyebab pencatatan nikah oleh petugas yang tidak berwenang di KUA Kecamatan Bogor Selatan, kemudian tentang kedudukan hukum, dan solusi yang dapat ditawarkan kepada para pihak yang terlibat dalam proses pencatatan nikah tersebut.

Bab Kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

(22)

13

BAB II

PENCATATAN NIKAH SEBAGAI LEGALITAS

A. Kepastian Hukum

Negara Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtsstaat) bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Rechtsstaat berangkat dari tradisi sistem hukum Eropa kontinental. Dengan prinsip ini, maka Negara Indonesia berpedoman dengan hukum positif yang ada dalam mengatur suatu hal. Semua yang ada harus diatur oleh hukum yang berlaku, tidak lain untuk menciptakan kepastian dan ketertiban hukum di masyarakat.

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.1 Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya.

Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melainkan bukan hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk faham hukum itu sendiri (den begriff des Rechts).2 Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan, kaidah-kaidah atau keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan, pelaksanaannya dengan suatu sanksi.3

Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi

1 Cst. Kansil, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta: JALA PERMATA AKSARA, 2009), h.

285.

2

Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung: PT Revika Aditama, 2006), h. 79-80.

3 Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum,

(23)

semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, disitu tidak ada hukum).4

Menurut Apeldoorn yang dikutip oleh Sidharta, kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid), hukum dalam hal-hal yang kongkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.5

Menurut Jan Michiel Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta, kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis. Namun, Otto ingin memberikan batasan kepastian hukum yang lebih jauh. Untuk itu Otto mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:6

1. Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh, diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara.

2. Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.

3. Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut.

4. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa, dan

5. Keputusan peradilan secara kongkret dilaksanakan.

Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan saling berbuat sesuka hati. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana social disorganization atau

4 Sudikno Mertokusumo, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, h. 82. 5

L. J Van Apeldoorn dalam Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran

Kerangka Berfikir, h. 82-83.

6 Jan Michiel Otto terjemahan Tristam Moeliono dalam Sidharta, Moralitas Profesi

(24)

kekacauan sosial.7 Salah satu hal yang perlu diatur untuk sebuah ketertiban sosial yakni pencatatan perkawinan.

Pencatatan perkawinan tidak diatur secara rinci di dalam Quran dan Al-Hadist bahkan secara eksplisit tidak ada ketentuan hukum yang menyinggung secara langsung tentang pencatatan perkawinan ini. Ada beberapa faktor mengapa pada zaman dahulu perkawinan tidak dicatat:8

1. Budaya tulis-baca, khususnya dikalangan orang Arab Jahiliyah masih jarang. Oleh karena itu, orang Arab mengandalkan pada daya ingatannya (hafalan) ketimbang tulisan.

2. Perkawinan bukan syariat baru dalam Islam. Namun merupakan syariat nabi-nabi terdahulu secara terus menerus diturunkan.

3. Pada masyarakat zaman dahulu, nilai-nilai kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan kehidupan masih sangat kuat sehingga sikap saling percaya dan tidak saling mencurigai menjadi fundamen kehidupan masyarakat. Cukup dengan disaksikannya perkawinan tersebut oleh dua orang saksi dan masyarakat sekitar sudah cukup membuktikan bahwa pasangan suami istri tersebut telah melakukan pekawinan yang sah dan tidak dianggap kumpul kebo.

4. Problematika hidup pada zaman dahulu masih sederhana, belum sekompleks dan serumit zaman sekarang ini.

Unsur kebijakan negara dapat terlihat pada beberapa aturan perkawinan. Jika merujuk pada doktrin hukum Islam klasik, perkawinan dianggap sah jika akad (ijab dan qabul) diucapkan dihadapan saksi, yang terdiri dari dua orang saksi. Fikih tidak mengatur adanya pencatatan atau pendaftaran, akan tetapi untuk mewujudkan tujuan kemaslahatan bagi pasangan dan keluarga, pencatatan diatur dalam peraturan perundang-undangan di beberapa negara muslim. Meskipun detail dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk membuat

7

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan

Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 76.

8 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

(25)

aturan itu berbeda-beda, pada dasarnya aturan pencatatan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan pada pasangan.

Oleh karena itu dibutuhkan keseragaman dan kesatuan hukum yakni dengan melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum. Lahirnya UU Perkawinan merupakan pergeseran bagian-bagian dari hukum Islam ke arah hukum tertulis yang tadinya berserakan dalam berbagai kitab fikih. Selain itu, dalam rangka mencapai keseragaman dalam menentukan hukum agar tercapai tujuan terwujudnya kepastian hukum, pemerintah mengupayakan adanya hukum Islam yang tertulis dalam satu buku yang belakangan disebut Kompilasi Hukum Islam (KHI).9

Melalui KHI, Indonesia mengatur bahwa perkawinan harus dilaksanakan dengan hadirnya pencatat perkawinan yang resmi atau harus didaftarkan. Pasangan yang tidak mendaftarkan perkawinan akan mendapatkan sanksi atau akibat dari gagalnya upaya pencatatan, yaitu mereka tidak akan memperoleh bantuan hukum ketika memerlukan, ini berarti bahwa kompilasi tidak memberi ruang bagi perkawinan yang tidak terdaftar.

Pencatatan perkawinan hanya merupakan masalah administrasi yang jika tidak terpenuhi tidak menyebabkan pernikahan dianggap tidak sah. Mendudukan pendaftaran sebagai murni persoalan administratif, kompilasi tidak mengatur sanksi bagi mereka yang tidak mematuhinya. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang menjelaskan penerapan undang-undang perkawinan menyebut sanksi itu tetapi hanya diterapkan pada para pencatat tidak mendaftar perkawinan, dia akan didenda 7.500 rupiah. Peraturan ini lebih cenderung menjelaskan sanksi denda bagi yang tidak mendaftarkan perkawinannya.10

Agaknya masalah pencatatan perkawinan ini tidak hanya diperdebatkan apakah sebagai syarat sah atau syarat administratif. Tetapi bagaimana dibangun cara pandang baru dalam kerangka pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia. Menurut pendapat Atho’ Mudzhar yang dikutip oleh

9 Yayan Sopyan, Islam Negara, h. 202.

10 Alimin dan Euis Nurlaelawati, Potret Administrasi Keperdataan Islam di Indonesia,

(26)

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, bahwa pencatatan perkawinan harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan (mengi’lankan) perkawinan.11

B. Asas Legalitas

Pengertian asas legalitas (The Principle of Legality) yaitu asas yang menentukan setiap tindakan harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan-undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Asas legalitas merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktifitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Makna asas legalitas harus dimaknai secara bijaksana dalam kerangka penegakkan hukum dan keadilan. Diantara tujuan azas legalitas yakni:12

1. Memperkuat adanya kepastian hukum. 2. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan 3. Memperkokoh penerapan “the rule of law”.

Untuk mewujudkan tujuan azas legalitas diatas, maka perlu adanya kultur masyarakat yang patuh terhadap hukum yang berlaku. Maka diperlukannya budaya kepatuhan hukum pada masyarakat tersebut.

Kepatuhan berasal dari kata patuh, yang berarti tunduk, taat dan turut.13 Mematuhi berarti menunduk, menuruti dan mentaati. Kepatuhan berarti ketundukan, ketaatan keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau sesorang. Jadi, dapatlah dikatakan kepatuhan hukum (Legal Obedience) adalah keadaan seseorang warga masyarakat yang tunduk patuh dalam satu aturan main (hukum) yang berlaku.

Kepatuhan hukum adalah ketaatan pada hukum, dalam hal ini hukum yang tertulis.14 Kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran. Hukum

11 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,h.

135.

12

http://seputarpengertian.com, diakses pada tanggal 21 April 2017 pukul 13.54 WIB.

13 Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, (Surabaya: Reality, 2008), h. 521 14 http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2014/05/kesadaran-kepatuhan-hukum.html, diakses

(27)

dalam hal ini hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan mempunyai berbagai macam kekuatan, kekuatan berlaku atau “rechtsgeltung”.

Kalau suatu undang-undang itu memenuhi syarat-syarat formal atau telah mempunyai kekuatan secara yuridis, namun belum tentu secara sosiologis dapat diterima oleh masyarakat, ini yang disebut kekuatan berlaku secara sosiologis. Masih ada kekuatan berlaku yang disebut filosofische rechtsgetung, yaitu apabila isi undang-undang tersebut mempunyai ketiga kekuatan berlaku sekaligus.

Dalam konteks kepatuhan hukum didalamnya ada sanksi positif dan negatif, ketaatan merupakan variabel tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengan dukungan sosial. Menurut Satjipto Rahardjo ada 3 faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum:15

1. Compliance, kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Ini adalah tingkat kepatuhan hukum paling rendah. Kepatuhan hukum seseorang hanya pada perilaku luarnya saja, sementara di dalam dirinya memiliki pendapat yang berbeda dari apa yang dilakukannya. Kepatuhan hukum hanya ada pada perilaku (behaviour) tetapi tidak pada sikap (attitude).16

Pada tingkatan compliance, kepatuhan hukum seseorang dilandasi rasa takut akan terkena sanksi. Kepatuhan hukum bertujun agar terhindar dari sanksi hukum. Hukum dalam konteks compliance lebih bermakna kepada petugas hukum. Seseorang mematuhi hukum karena ada petugas hukum yang mengawasi perbuatannya dan oleh karena itu mematuhi hukum.17

15

http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2014/05/kesadaran-kepatuhan-hukum.html, diakses pada tanggal 15 Juni 2017, pukul 11.00 WIB

16 A. Aco Agus, Mustari, Firman Umar, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Makasar, http://ojs.unm.ac.id/index.php/iap/article/download/2558/1297 analisis-tingkat – kepatuhan-hukum-berlalu-lintas,html , diakses pada tanggal 5 Desember 2017, pukul 10.53 WIB, h. 62.

17 A. Aco Agus, http://ojs.unm.ac.id/index.php/iap/article/download/2558/1297

(28)

2. Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut.18 Kepatuhan hukum pada tingkatan ini dalam rangka mencegah rusaknya suatu hubungan baik yang telah terbentuk atau menghindari lahirnya hubungan yang tidak baik seseorang dengan pihak lain.19

3. Internalization, seseorang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai-nilainya dari pribadi yang bersangkutan.20 Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya. Tahap ini merupakan derajat kepatuhan tertinggi, dimana ketaatan itu timbul karena hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.21

Kepatuhan merupakan sikap yang aktif yang didasarkan atas motivasi setelah memperoleh pengetahuan. Dari mengetahui sesuatu, manusia sadar, setelah menyadari ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau bertindak. Oleh karena itu dasar kepatuhan adalah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan dan identifikasi kelompok. Jadi karena pendidikan, terbiasa, menyadari akan manfaatnya dan untuk identifikasi dirinya dalam kelompok manusia akan patuh.22

Jadi harus terlebih dahulu tahu bahwa hukum itu ada untuk melindungi dari kepentingan manusia, setelah tahu kita akan menyadari kegunaan isinya

18 http://zriefmaronie.blogspot.co.id

19 A. Aco Agus, http://ojs.unm.ac.id/index.php/iap/article/download/2558/1297

analisis-tingkat –kepatuhan-hukum-berlalu-lintas,html h. 63.

20

http://zriefmaronie.blogspot.co.id

21 A. Aco Agus, http://ojs.unm.ac.id/index.php/iap/article/download/2558/1297

analisis-tingkat –kepatuhan-hukum-berlalu-lintas,html h. 62.

(29)

dan kemudian menentukan sikap untuk mematuhinya. Hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan perlu dikenali masyarakat agar mereka mengetahui kegunaannya dan setelah itu dapat mematuhinya karena sebuah kesadaran.

Perkawinan mempunyai dampak yang luas, baik dalam hubungan kekeluargaan pada khususnya, maupun pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya. Ada hal yang penting sebagai keniscayaan zaman dan kebutuhan legalitas hukum adalah pencatatan perkawinan.23 Maka jika kita menelaah ditemukan bahwa dibentuknya undang-undang perkawinan yakni tidak lain sebagai sebuah kepastian hukum untuk menerapkan rule of the law bagi masyarakat dalam melaksanakan perkawinan. Perkawinan yang dicatatkan memiliki legalitas di mata hukum yang berarti adanya pengakuan negara terhadap perkawinan tersebut.

Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dan sakral serta mem-punyai dampak yang luas, baik dalam hubungan kekeluargaan khususnya, maupun pada kehidupan masyarakat dan bernegara pada umumnya. Perkawinan ini merupakan fase yang sangat serius dan tidak boleh dilakukan dengan main-main, maka untuk mendukung keseriusan itu, dibutuhkannya legalitas hukum adalah dengan adanya pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan yang legal yakni pencatatan perkawinan yang dilaksanakan oleh petugas yang telah ditunjuk oleh undang-undang untuk memiliki kewenangan tersebut.

Kewenangan (authority) adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang diberikan undang-undang, sedangkan wewenang hanya suatu onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di mana dalam kewenangan itu terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).24

Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang, pemerintah, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan

23 Yayan Sopyan, Islam Negara, h. 128.

24 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, cet. X, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

(30)

tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.25

Kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subjek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.26

F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, seperti dikutip oleh Ridwan HR, mengemukakan bahwa dua cara organ pemerintah memperoleh kewenangan, yaitu melalui atribusi dan delegasi.27 Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada. Kedua cara organ pemerintah dalam memperoleh kewenangan itu dijadikan dasar atau teori untuk menganalisis kewenangan dari aparatur negara di dalam menjalankan kewenangannya.

Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara, yaitu atribusi, delegasi, dan kadang-kadang juga mandat.28 Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, atribusi

25

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, cet. XVII, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 30.

26 A. Gunawan Setiarja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat

Indonesia, cet. V, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 52.

27

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 105.

28 Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegheid)”, Pro

(31)

berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu, tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan.

Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain:

1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.

3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

4. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.

5. Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegasi memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.29

Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang.

Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n. pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. Tanggung jawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dari kata a.n. (atas

(32)

nama). Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab pemberi mandat. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu:30

1. Pengaruh

2. Dasar hukum, dan 3. Konformitas hukum.

Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen konformitas hukum mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).31

C. Sejarah Pemberlakuan Pencatatan Nikah di Indonesia 1. Masa Kolonialis Belanda

Hasil dari penjajahan kolonialis Belanda telah mengusik keharmonisan sistem hukum yang dianut oleh penduduk pribumi, berupa hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat (Living Law) atau berupa Hukum Adat (customary law), maupun Hukum Islam. Kehadiran para kolonialis inilah yang mengakibatkan terjadinya pluralitas sistem hukum yang dianut oleh masyarakat pribumi yang dikuasai oleh pemerintahan kolonialis Belanda, hingga diberlakukanlah sistem Hukum Adat, Hukum Islam, dan sistem Hukum Belanda atau sering disebut sebagai Hukum Barat berupa hukum sipil (civil law).32 Kemudian, pemerintahan Hindia Belanda dalam menjalankan roda kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam instruksi Gubernur Jenderal yang ditujukan kepada para Bupati, khususnya di sebelah utara pantai Jawa, yang intinnya adalah agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan perdata

30

Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegheid)” h. 90.

31 Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegheid)” h. 90. 32 A. Qodri Azizy, Hukum Nasional: Elektisisme Hukum Islam dan Hukum

(33)

di kalangan penduduk menurut ajaran Islam. Bahkan, konon keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24 Januari1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152 tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama), walaupun hal ini didasarkan atas pengaruh dari teori Van den Berg yang menganut paham receptio in complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya.33

Namun, peradilan-peradilan tersebut mendapat ujian dari masyarakat pribumi sendiri yang berada di beberapa daerah di luar Jawa yang masih mempunyai peradilan asli di daerah-daerah tertentu. sehingga dalam ranah pidana peraturan yang berupa Wetboek van Strafrecht tidak diberlakukan pada daerah tersebut, hanya saja ada rangkaian pasal-pasal yang oleh Undang-Undang tahun 1932 No. 80 dinyatakan berlaku. Dalam bidang keperdataan permasalahan di atas juga menjadi ancaman yang serius bagi peraturan perundang-undang yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sehingga muncullah beberapa keputusan atau peraturan baru dari pemerintahan Hindia Belanda, yakni:34

1. Hukum yang berlaku untuk semua penduduk, misalnya Undang-Undang Hak Pengarang Undang-Undang-Undang-Undang Milik Perindustrian, dan lain sebagainya.

2. Hukum Adat yang berlaku untuk semua orang asli Indonesia.

3. Hukum Islam untuk semua orang Indonesia asli yang beragama Islam, mengenai beberapa bidang kehidupan mereka, meskipun resmi (menurut pasal 131 I.S.) berlakunya hukum ini adalah sebagai hukum adat yang untuk bidang-bidang tersebut menganut hukum Islam.

4. Hukum yang khusus diciptakan untuk orang Indonesia asli, yang berupa undang-undang seperti undang-undang (ordonansi) tentang maskapai andil Indonesia, undang-undang (ordonansi) perkawinan orang Indonesia Kristen, dan lain sebagainya.

33 Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum

Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 55.

(34)

5. Burgerlijk Werboek van Koophandel, yang diperuntukkan mula-mula bagi orang Eropa, kemudian dinyatakan berlaku untuk orang Tionghoa, sedangkan beberpa bagian (terutama dari W.v.K.) juga telah dinyatakan berlaku untuk orang Indonesia asli, misalnnya hukum perkapalan (hukum laut).

Pada masa penjajahan Belanda tidak ditemukan rujukan hukum yang khusus untuk menanggapi perkara perkawinan dalam Islam atau kodifikasi Hukum Islam dalam ranah perkawinan untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawianan ketika berperkara di pengadilan agama, namun yang digunakan adalah hanya kitab-kitab fikih klasik atau ajaran-ajaran Islam yang ditulis oleh ulama tertentu pada masa lalu. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa hukum Islam berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam dan diberi kewenangan khusus kepada para ulama untuk menyelesaikan perkara perkawinan sesusai ajaran Islam itu sendiri.35 Namun, bukan berarti pada masa ini tidak ada undang-undang perkawinan yang berlaku, pemerintahan Hindia Belanda menggunakan Compendium Freijer dalam aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur (V.O.C), atas usul Residen Cirebon, Mr. P.C Hasselaar (1757-1765) kemudian dibuatlah kitab Tjicebonshe Rechtsboek. Sementara untuk Landraad (sekarang pengadilan umum) di Semarang tahun 1750 dibuat Compen-dium tersendiri, di Makassar juga oleh V.O.C diberlakukan Compen-Compen-dium sendiri. Perkara ini diperkuat dengan sepucuk surat V.O.C pada tahun 1808, yang isinya agar penghulu Islam harus dibiarkan sendiri mengurus perkara perkawinan dan warisan.36

35 A. Rosyadi dan Rais Ahmad., Formalisasi Syari’at Islam, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2006) h. 91.

36 Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

(35)

Masalah pengebirian hukum Islam pada masa pemerintahan Hindia Belanda ada yang berpendapat bahwa sejak lahirnya Stbl 1820 No. 24 pasal 13 yang diperjelas dalam Stbl 1835 No.58 yang berisi sebagai berikut: “Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka pendeta memberi putusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para pendeta itu haruslah diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.” Pada perkembangan berikutnya muncul Stbl. 1882 No.152 tentang pembentukan peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan nama Priesterrad. Dengan lahirnya Stbl. ini juga dapat diartikan bahwa pemerintahan Hindia Belanda masih mengakui keberadaan hukum Islam dan dijadikan dasar dalam menyelesaikan masalah-masalah di kalangan orang Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa pengebirian terjadi sejak tanggal 3 Agustus 1828, dengan dicabutnya Compendium Freijer, sebab dengan pencabutan itu secara tekstual, hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum adat, kecuali orang-orang Kristen, berlaku undang-undang Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon. Ada juga yang berpendapat pengebirian terjadi sejak diberlakukan pasal 134 ayat 2 I.S. (Indische Staatsregeling) tahun 1919, yang intinya adalah perkara antara orang Islam diadili oleh Pengadilan Agama Islam apabila keadaan itu sudah diterima oleh hukum adat mereka. Sejauh tidak ditentukan oleh ordonansi I.S. (Indische Staatsregeling).37

Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus

37 Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

(36)

berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar” di Semarang, “Shirathal Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry di Kota Raja Aceh dan kitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin” yang diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan Kadi di Banjar Masin, kemudian kitab “Sajirat al-Hukmu” yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan Mataram.38 Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freijer, mengikuti nama penghim-punnya.39

Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus ber- jalan, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya.40

Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun 1800-1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg

38 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana,

2012), h. 12.

39 Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:

Bulan Bintang , 1975), h. 11.

(37)

bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Receptie in Complexu” yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).41 Dalam perjalanannya ternyata Cristian

Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan nama teori “Receptie”.42

Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda

tidak lagi mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah yang diakui. Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis: “Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat.”43

Dalam Indesche Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis: “Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan.” Kemudian dalam ayat 4 disebutkan: “Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.”44

Pada Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan

41

Ahmad Rofiq., Hukum Islam di Indonesia, h. 52.

42 Ahmad Rofiq., Hukum Islam di Indonesia, h. 54.

43 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), h. 11. 44 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 12.

(38)

mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.45 Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (Onwerpordonnantie op de Ingeschrevern Huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: “Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.”46 Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun, rancangan ordonansi tersebut ditolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Suara perkumpulan-perkumpulan kaum ibu yang setuju ternyata tidak cukup kuat hingga rencana ordonansi tersebut tidak jadi dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat).47

Sampai berakhirnya masa penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membuat undang-undang yang berisi hukum material tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Peraturan hukum materiil tentang perkawinan yang dibuat dan ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, hanyalah berupa perturan hukum perkawinan yang berlaku untuk golongan-golongan tertentu yaitu Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen, Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi warga keturunan Eropa dan Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.48

45 Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan,

(Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), h. 9-10.

46 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), h. 77.

47 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, h. 85. 48 Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta :

(39)

2. Masa Sesudah Proklamasi Kemerdekaan

Untuk mengawali pembahasan tentang Hukum Perkawinan Indonesia setelah masa Proklamasi, ada ungkapan yang sangat menarik dari Kansil sebagaimana yang dikutip oleh A. Qodry, yang mengatakan bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai suatu hukum nasional yang baik dalam bidang kepidanaan maupun dalam bidang keperdataan, mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup Bangsanya. Kalau Prancis dapat menggunakan Code Civil yang menjadi kebanggaannya. Swiss mempunyai Zivil Gezetzbuch yang juga terkenal. RRC dan Philipina sudah mempunyai Code Civil juga. Maka bagaimana dengan Indonesia, sampai dewasa ini belum juga dapat menunjukkan kepada tamu-tamu asingnya Kitab Undang-Undang Nasional, baik dalam bidang kepidanaan maupun dalam bidang keperdataan.49 Prof. A. Qodri mengatakan, memang harus diakui Indonesia setelah merdeka lebih dari setengah abad belum mempunyai undang-undang yang menyeluruh yang berisi hukum nasional yang asli produk bangsa ini, undang-undang yang ada masih berupa peninggalan Belanda dengan beberapa tambal sulam produk lembaga Legislatif.50

Berangkat dari pemikiran adanya tiga pilar penyangga hukum setelah era kemerdekaan, maka aparat penegak hukum mulai dibenahi atau berbenah diri. Peraturan-peraturan hukum yang jelas satu demi satu mulai dikeluarkan dan kesadaran hukum masyarakat terus dipacu. Harus diakui bahwa ketiganya belum dapat dikatakan titik optimal, namun tidak lagi berjalan di tempat. Ada dua macam aparat hukum yang tidak dapat diabaikan keberadaannya, yaitu Kantor Urusan Agama dan Badan Peradilan Agama. PPN (Pegawai Pencatat Perkawinan) adalah ibarat gerbang pertama pelaksanaan hukum perkawinan dan perwakafan. PPN diberi tanggung jawab selaku pegawai pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW), lembaga ini berperan besar dalam membentuk keluarga muslim dan ikut

49

A. Qodri Azizy., Hukum Nasional, h. 142.

50

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini mendapati bahawa pengetahuan tentang peta pemikiran dalam kalangan pelajar akan dapat meningkatkan kualiti pendidikan kerana peta pemikiran merupakan

8 Medial and lateral average bone von Mises stresses in the control and for the other configurations, in the case of distal femoral augment, in the global region of interest (50

Zeorin, senyawa yang diisolasi dari Aegle marmelos Correa, mampu menunjukkan efek penghambatan terhadap pelepasan mediator sel mast yaitu enzim -hexosaminidase dengan

1elalui parameter yang terermin pada !rofil Risiko khususnya Risiko 6tratejik, perenanaan strategi terhadap seluruh inisiatif yang terkait dengan lini bisnis dan

4,7,8 berdasarkan kuesioner responden paling banyak memiliki lama menyirih 6-10 tahun sebanyak 17 orang (40,4%).Berdasarkan uji korelasi menggunakan chi-square test,

Faktor yang menyebabkan mahasiswa PPL mengalami kesulitan saat melaksanakan ouyou renshuu adalah maha- siswa PPL memberikan masukan dan ungkapan baru yang bisa digunakan

Magetan telah menetapkan tujuan mendapatkan dasar hukum yang pasti dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, mendapatkan masukan dan pendapat dari stake holder

Berdasarkan hasil pengamatan selama 7 kali pemetikan, produksi pucuk menunjukkan hasil signifikan terhadap perlakuan pupuk mikro Zn dan Cu (melalui daun) dengan pupuk