• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS CABAI KABUPATEN GARUT SILMI TSURAYYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KELEMBAGAAN DAN STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS CABAI KABUPATEN GARUT SILMI TSURAYYA"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN STRATEGI

PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS

CABAI KABUPATEN GARUT

SILMI TSURAYYA

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelembagaan dan Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai Kabupaten Garut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015 Silmi Tsurayya NIM H24110022

(4)

ABSTRAK

SILMI TSURAYYA. Analisis Kelembagaan dan Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai Kabupaten Garut. Dibimbing oleh LINDAWATI KARTIKA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rantai pasok, menganalisis kelembagaan, merumuskan strategi peningkatan daya saing, merancang model peningkatan daya saing, dan menentukan strategi utama dalam peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut. Data yang digunakan terdiri dari data primer (observasi, wawancara, dan kuesioner) dan data sekunder (studi literatur). Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah Analisis Deskriptif, Analisis SWOT, The House Model dan Pairwise Comparison. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terdapat 6 struktur rantai pasok dalam pendistribusian komoditas cabai; (2) Sektor utama kelembagaan yang berperan dalam peningkatan daya saing komoditas cabai adalah public sector, voluntary sector, dan private sector; (3) Analisis SWOT menghasilkan 15 alternatif strategi; (4) The House Model sebagai model peningkatan daya saing memiliki 3 pilar utama yang berkaitan dengan produk; sumber daya manusia; kelembagaan dan pemasaran; (5) Strategi utama dalam peningkatan daya saing komoditas cabai adalah: (a) Peningkatan jumlah produksi; (b) Perluasan pangsa pasar; dan (c) Penguatan dan pengembangan kemitraan.

Kata kunci: Cabai, Daya Saing, Kelembagaan, The House Model

ABSTRACT

SILMI TSURAYYA. Analysis of Institution and Strategy for Competitiveness Enhancement of Chili Pepper Commodity in Garut Regency. Supervised by LINDAWATI KARTIKA.

The objectives of this study are to identify supply chains, analyze the institutional, formulate strategies for competitiveness enhancement, design competitiveness enhancement model, and determine the main strategies in competitiveness enhancement of chili pepper in Garut Regency. This study uses primary data (observations, interviews, and questionnaires) and secondary data (literature study). Data processed and analyzed by Descriptive Analysis, SWOT Analysis, The House Model, and Pairwise Comparison. The results of this study are: (1) There are 6 supply chain structures in chili pepper distribution; (2) The main institutional sectors that contribute in competitiveness enhancement of chili pepper are public sector, voluntary sector, and private sector; (3) SWOT Analysis obtains 15 alternative strategies; (4) The House Model as competitiveness enhancement model has 3 pillars that consists of product; human resource; institutional and marketing; (5) The main strategies in competitiveness enhancement of chili pepper are: (a) Increasing the number of productions; (b) Market expansion; and (c) Strengthening and developing partnership.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Manajemen

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN STRATEGI

PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS

CABAI KABUPATEN GARUT

SILMI TSURAYYA

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan hibah kompetitif penelitian strategis nasional. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah ketahanan dan keamanan pangan, dengan judul Analisis Kelembagaan dan Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai Kabupaten Garut. Bagian dari penelitian ini dipublikasikan dalam paper dengan judul Analisis Perbandingan Efektivitas Rantai Pasok Komoditas Sayuran Dataran Tinggi Unggulan di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Paper tersebut di presentasikan dalam Simposium dan Seminar Nasional Perhimpunan Agronomi Indonesia di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tanggal 13–14 November 2014.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional atas Hibah Kompetitif Penelitian Strategis Nasional Nomor: 046/SP2H/PL/Dit.Litabmas/III/2012. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Lindawati Kartika, SE, MSi. selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya dalam pelaksanaan penelitian ini, Ibu Dra. Siti Rahmawati, MPd. dan Bapak Nurhadi Wijaya, STP, MM. selaku dosen penguji dalam sidang tugas akhir. Penulis juga berterima kasih kepada Kepala UPTD Data dan Informasi Pertanian Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut Ibu Ety Suharyati, Kepala Agroklinik Hortikultura Bapak Zaenal Arifin, Kepala Bidang Hortikultura Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut Bapak Beni Yoga Gunasantika, Kepala Seksi Sayuran dan Biofarmaka Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut Bapak Deni Herdiana, Kepala Seksi Teknologi Budidaya Tanaman Sayuran, Buah, Daun, dan Umbi Direktorat Jenderal Hortikultura Bapak Lukman Dani, Kepala University of Farm Institut Pertanian Bogor Bapak Anas D. Susila, Ketua Gabungan Kelompok Tani Agro Papandayan Bapak Asep Zaenal, serta Ketua Gabungan Kelompok Tani Silih Riksa IV Bapak Bubun Bunyamin yang telah bersedia menjadi narasumber dalam pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta teman-teman atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015 Silmi Tsurayya

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Supply Chain Management 5

Kelembagaan 5

Daya Saing 5

Strategi 5

Penelitian Terdahulu 6

METODE 6

Kerangka Pemikiran Penelitian 6

Tahapan Penelitian 7

Lokasi dan Waktu Penelitian 9

Jenis dan Sumber Data 9

Metode Pengambilan Sampel 9

Metode Pengolahan dan Analisis Data 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Karakteristik Cabai di Kabupaten Garut 11

Analisis Rantai Pasok 12

Analisis Kelembagaan 16

Perumusan Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai di Kabupaten

Garut melalui Analisis SWOT 17

Model Peningkatan Daya Saing Cabai di Kabupaten Garut dan Perumusan

Indikator Kinerja Utama 19

Implikasi Manajerial 21

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 26

(10)

DAFTAR TABEL

1 Konsumsi dan Surplus/Defisit Cabai, 2008-2012 1

2 Volume Ekspor dan Impor Cabai, 2008–2012 2

3 Harga Cabai Merah di Pasar Dunia dan Indonesia, 2008–2012 3

4 Skala pada Pairwise Comparison 11

5 Standar Mutu Cabai Merah Besar di Kabupaten Garut 12

6 Analisis Kondisi Rantai Pasok Cabai 15

7 Indikator Kinerja Utama Peningkatan Daya Saing Cabai di Kabupaten

Garut 20

8 Hasil Prioritas dan Bobot Variabel Indikator Kinerja Utama 21

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi Sayuran di Indonesia, 2010-2013 1

2 Kerangka Pemikiran Penelitian 7

3 Tahapan Penelitian 8

4 Kerangka dari The House Model 10

5 Struktur Distribusi Rantai Pasok Cabai di Kabupaten Garut 13 6 Matrik SWOT Peningkatan Daya Saing Cabai di Kabupaten Garut 18 7 The House Model Peningkatan Daya Saing Cabai di Kabupaten Garut 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Produksi Cabai di Indonesia 2013 26

2 Produksi Cabai di Jawa Barat 2013 27

3 Instrumen Penelitian Wawancara 28

4 Kuesioner pembobotan IKU peningkatan daya saing komoditas cabai di

Kabupaten Garut 31

5 Analisis Kelembagaan berdasarkan Public Sector, Voluntary Sector, dan

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia, terdiri dari buah-buahan, sayuran, bunga, dan tanaman hias. Salah satu sub sektor yang berperan dalam mendukung perekonomian nasional adalah sayuran karena merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Bawang merah, kentang, kubis, cabai, dan petsai/sawi termasuk ke dalam sayuran unggulan nasional. Adapun jumlah produksinya dari tahun 2010–2013 dapat dilihat pada Gambar 1.

Berdasarkan data jumlah produksi pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa cabai terus mengalami peningkatan jumlah produksi dari tahun 2010–2013 dan menempati urutan pertama selama tiga tahun terakhir dengan jumlah produksi pada tahun 2013 mencapai 1726382 ton. Cabai merupakan komoditas sayuran unggulan nasional dan daerah. Cabai menduduki posisi penting dalam menu pangan. Walaupun diperlukannya dalam jumlah kecil, namun setiap hari dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Total konsumsi cabai dihubungkan dengan total produksi cabai menunjukkan posisi surplus (Tabel 1).

Gambar 1 Produksi Sayuran di Indonesia, 2010-2013

(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013)

Tabel 1 Konsumsi dan Surplus/Defisit Cabai, 2008-2012

Tahun Konsumsi (ton) Produksi (ton) Surplus/Defisit Ton % 2008 688450 1053060 364610 34.62 2009 658780 1378730 719950 52.22 2010 672350 1328860 656510 49.40 2011 652300 1483080 830780 56.02 2012 769550 1656620 887060 53.55 Rata-rata 688290 1380070 691780 49.16 Laju (%/thn) 2.13 9.79 19.21 9.42

(12)

2

Surplus cabai per tahun sudah cukup besar bahkan hampir mencapai rata-rata 50% dari total produksi. Surplus cabai selama periode 2008–2012 meningkat dengan laju 19,21%/tahun seiring dengan laju peningkatan produksi cabai yang lebih tinggi dari laju peningkatan konsumsinya, yaitu masing-masing sebesar 9,79%/tahun dan 2,13%/tahun. Indonesia melakukan perdagangan cabai dengan beberapa negara lain, namun volume impor lebih besar daripada volume ekspor sehingga secara umum neraca perdagangan berada dalam kondisi defisit (Tabel 2).

Neraca perdagangan pada tahun 2008 berada pada posisi surplus namun tahun-tahun selanjutnya pada posisi defisit. Selama periode 2008–2012, besaran defisit perdagangan cabai berfluktuasi namun cenderung membesar, bahkan pada tahun 2012 defisit perdagangan cabai mencapai 169%. Selama periode yang sama, volume ekspor cabai tumbuh dengan laju 55%/tahun sementara volume impor tumbuh dengan laju 111%/tahun. Menurut Saptana et al. (2012) kesenjangan antara ekspor dan impor dari tahun ke tahun yang semakin besar mengindikasikan bahwa pasar domestik semakin dipenuhi oleh produk cabai impor terutama untuk industri pengolahan berbahan baku cabai. Hal ini menunjukkan bahwa cabai domestik memiliki daya saing yang rendah sehingga tidak mampu bersaing baik di pasar ekspor maupun pasar domestic.

Menurut Parwadi (2014) permasalahan utama tingginya volume impor cabai disebabkan oleh tidak adanya pengaturan pola tanam. Surplus produksi cabai terjadi pada saat yang bersamaan antar daerah sehingga menyebabkan harga jatuh. Jatuhnya harga cabai membuat petani berhenti menanam yang kemudian menyebabkan pasokan cabai menurun dan harganya meningkat tajam. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut pemerintah melakukan impor cabai dimana harga cabai impor dijual dengan harga yang lebih murah. Perkembangan harga dan marjin perdagangan cabai merah pada tingkat harga produsen ke harga konsumen menunjukkan marjin di tingkat konsumen dan harga dunia besarannya lebih dari 50%. Hal yang sama ditunjukkan melalui marjin harga produsen terhadap harga dunia dengan rata-rata marjin lebih dari 50%. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya saing cabai domestik terhadap cabai impor relatif lebih rendah sehingga pasar cabai di Indonesia sangat potensial untuk dikuasai cabai impor yang harganya jauh lebih murah. Adapun harga cabai merah di pasar dunia dan Indonesia pada tahun 2008–2012 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2 Volume Ekspor dan Impor Cabai, 2008–2012

Tahun Ekspor (ton) Impor (ton) Surplus/Defisit Ton % 2008 729.3 280.0 449.3 61.60 2009 612.4 846.5 -234.1 -38.23 2010 1229.1 1798.1 -568.9 -46.29 2011 826.4 6207.4 -5381.0 -651.16 2012 9986.2 26838.7 -16852.5 -168.76 Laju (%/thn) 55.33 111.18 - -

(13)

3

Saptana et al. (2006) menyatakan bahwa permasalahan pokok dalam pengembangan agribisnis cabai adalah belum terwujudnya ragam, kualitas, kesinambungan pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan permintaan pasar, khususnya untuk tujuan pasar modern (supermarket/ hypermarket), industri pengolahan, konsumen institusi (hotel, restoran, rumah sakit), dan pasar ekspor. Permasalahan tersebut salah satunya disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar pelaku agribisnis. Hal ini menyebabkan struktur kelembagaan agribisnis komoditas cabai menjadi rapuh dan keterkaitan manajemen rantai pasok menjadi lemah sehingga daya saing komoditas cabai pun menjadi lemah. Lemahnya daya saing komoditas cabai merupakan tantangan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian di masa yang akan datang sehingga perlu adanya suatu strategi untuk meningkatkan daya saing komoditas cabai agar dapat bersaing di pasar domestik dan pasar ekspor. Oleh karena itu, penelitian untuk merumuskan strategi peningkatan daya saing komoditas cabai menjadi penting dilaksanakan untuk mewujudkan komoditas cabai yang berdaya saing secara berkelanjutan.

Perumusan Masalah

Cabai merupakan komoditas sayuran unggulan nasional dan daerah. Produksi cabai di Indonesia terpusat di wilayah Jawa, terutama Jawa Barat dengan sentra produksi utama berada di Kabupaten Garut (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Kabupaten Garut sebagai sentra produksi utama komoditas cabai dengan jumlah produksi tertinggi di Jawa Barat membutuhkan strategi dalam menciptakan komoditas cabai yang berdaya saing. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian mengenai strategi peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut untuk mewujudkan komoditas cabai yang berdaya saing secara berkelanjutan. Adapun permasalahan yang diteliti adalah: (1) Bagaimana struktur rantai pasok komoditas cabai di Kabupaten Garut? (2) Bagaimana kelembagaan petani cabai di Kabupeten Garut? (3) Bagaimana rumusan strategi peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut? (4) Bagaimana rancangan model peningkatan daya saing komoditas cabai? (5) Bagaimana perumusan indikator kinerja utama peningkatan daya saing dan strategi apa yang menjadi prioritas utama dalam meningkatkan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut?

Tabel 3 Harga Cabai Merah di Pasar Dunia dan Indonesia, 2008–2012

Tahun

Harga Dunia Harga Domestik Marjin 1 Marjin 2 Marjin 3 US$/kg Rp/kg Konsumen (Rp/kg) Produsen (Rp/kg) Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg % 2008 0.77 7 515 21 303 15 114 13 788 64.72 6 189 29.05 7 599 50.28 2009 0.65 6 778 21 187 15 546 14 409 68.01 5 641 26.62 8 768 56.40 2010 0.79 7 150 31 261 16 343 24 111 77.13 14 918 47.72 9 193 56.25 2011 0.94 8 256 47 669 17 184 39 413 82.68 30 485 63.95 8 928 51.96 2012 1.04 9 649 23 224 - 13 575 58.45 - - - - Rataan 0.84 7 869 28 929 16 047 21 059 70.20 14 308 41.84 8 622 53.72 Laju (%/th) 9.70 6.97 9.84 4.35 9.75 -0.08 57.56 29.51 5.31 0.96

Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013 Keterangan:

Marjin 1 = selisih antara harga konsumen dan harga dunia Marjin 2 = selisih antara harga konsumen dan harga produsen Marjin 3 = selisih antara harga produsen dan harga dunia

(14)

4

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi struktur rantai pasok komoditas cabai di Kabupaten Garut; (2) Menganalisis kelembagaan petani cabai di Kabupaten Garut; (3) Merumuskan strategi untuk meningkatkan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut; (4) Menganalisis rancangan model yang dapat membantu meningkatkan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut; (5) Menganalisis indikator kinerja utama peningkatan daya saing dan menganalisis prioritas strategi yang telah dirumuskan untuk meningkatkan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan informasi yang dapat digunakan oleh berbagai pihak yang membutuhkan, antara lain:

1. Bagi Petani di Kabupaten Garut

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan panduan bagi petani di Kabupaten Garut untuk menerapkan strategi dalam meningkatkan daya saing komoditas cabai.

2. Bagi Unit Pelaksana Teknis Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam membuat strategi, kebijakan, program-program dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas cabai.

3. Bagi Masyarakat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi media sosialisasi mengenai strategi peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Penelitian ini dapat menjadi referensi dalam penerapan program-program peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas tentang peningkatan daya saing sayuran dataran tinggi yaitu komoditas cabai (cabai merah besar dan cabai rawit) di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ruang lingkup penelitian berfokus pada pengkajian dalam rantai pasok, analisis kelembagaan, perumusan strategi, serta perumusan indikator kinerja utama peningkatan daya saing komoditas cabai. Kajian rantai pasok mengacu pada teori yang dikembangkan Van der Vorst (2006) di mana aspek kajian disusun secara terstruktur yang meliputi sasaran rantai pasokan, struktur rantai pasokan, sumber daya, manajemen rantai, dan proses bisnis rantai. Analisis kelembagaan dibatasi pada public sector, voluntary sector, dan private sector seperti yang dikemukakan oleh Uphoff (1986) dan Syahyuti (2004). Perumusan strategi dilakukan menggunakan Analisis SWOT dan The House Model, serta perumusan dan pembobotan indikator kinerja utama dilakukan menggunakan metode pairwise comparison untuk menentukan strategi yang menjadi prioritas utama.

(15)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Supply Chain Management

Manajemen Rantai Pasok produk pertanian mewakili manajemen keseluruhan proses produksi secara keseluruhan dari kegiatan pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen. Jadi, Sistem Manajemen Rantai Pasok dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem pemasaran terpadu, yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku, guna memberikan kepuasan pada pelanggan (Marimin dan Maghfiroh 2010).

Kelembagaan

Secara sektoral, Uphoff (1986) membagi kelembagaan ke dalam beberapa bentuk yaitu public sector, voluntary sector, dan private sector. Public sector terdiri dari administrasi lokal dan pemerintahan lokal, adminitrasi lokal berperan sebagai institusi birokrasi dan pemerintahan lokal berperan sebagai institusi politik. Voluntary sector terdiri dari organisasi keanggotaan dan koperasi, di mana keduanya memiliki fungsi sebagai organisasi yang berfokus pada pengarahan serta kontrol anggotanya. Private sector terdiri dari organisasi jasa dan bisnis swasta, kedua organisasi ini merupakan lembaga yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Syahyuti (2004) bahwa baik secara teoritis maupun faktual pembangunan pertanian adalah hasil interaksi dari tiga kekuatan utama yang saling tarik menarik yaitu public sector (pemerintah), voluntary sector (komunitas), dan private sector (pasar).

Daya Saing

Munandar (2011) mengatakan bahwa secara konsep daya saing dibagi menjadi dua, yaitu competitive advantage dan comparative advantage. Competitiveness akan memacu pemasaran untuk senantiasa mengantisipasi segala kemungkinan terburuk dari akibat persaingan antar perusahaan dengan meningkatkan daya saing faktor penentunya.

Strategi

David (2009) menyatakan bahwa strategi adalah sarana bersama dengan tujuan jangka panjang yang hendak dicapai. Strategi mempunyai konsekuensi multifungsional atau multidivisional serta perlu mempertimbangkan, baik faktor eksternal maupun internal yang dihadapi perusahaan.

(16)

6

Penelitian Terdahulu

Penelitian dengan menggunakan metode The House Model telah dilakukan oleh Sugis (2014) untuk merumuskan model peningkatan kinerja Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui pengembangan modal insani dan modal sosial yang kemudian diturunkan menjadi Indikator Kinerja Utama peningkatan kinerja UKM. Penelitian tersebut dijadikan sebagai acuan dalam menggunakan metode The House Model untuk merumuskan model peningkatan daya saing komoditas cabai Kabupaten Garut yang kemudian diturunkan menjadi Indikator Kinerja Utama dalam upaya peningkatan daya saing komoditas cabai Kabupaten Garut. Namun, terdapat perbedaan dalam tahapan awal penelitian ini di mana Sugis (2014) menggunakan Analisis Deskriptif, Importance Performance Analysis (IPA), Structural Equation Modeling (SEM) dengan pendekatan Partial Least Square, dan Force Field Analysis (FFA) untuk merancang The House Model, sedangkan peneliti menggunakan Analisis Rantai Pasokan, Analisis Kelembagaan, dan Analisis SWOT untuk merancang The House Model.

METODE

Kerangka Pemikiran Penelitian

Penelitian ini diawali dengan menentukan komoditas sayuran dataran tinggi unggulan nasional. Pemilihan komoditas sayuran dataran tinggi unggulan didasarkan pada data jumlah produksi sayuran tertinggi selama periode 2010-2013. Sayuran dataran tinggi terpilih pada penelitian ini yaitu komoditas cabai. Sentra produksi komoditas cabai terdapat di Provinsi Jawa Barat, dengan pemasok utama berasal dari Kabupaten Garut. Pemerintah daerah yang bertanggung jawab dalam pengembangan komoditas cabai di Kabupaten Garut adalah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (Dinas TPH) di mana dinas terkait melakukan pembinaan terhadap Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang salah satunya adalah Gapoktan Agro Papandayan.

Komoditas cabai di Kabupaten Garut kemudian diidentifikasi struktur rantai pasokannya menggunakan analisis deskriptif sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh Van der Vorst (2006). Kemudian dilakukan analisis kelembagaan yang terkait dengan kelompok petani cabai berdasarkan tiga sektor utama kelembagaan. Selanjutnya dilakukan perumusan strategi peningkatan daya saing melalui analisis SWOT, perancangan model peningkatan daya saing komoditas cabai dengan The House Model, dan perumusan indikator kinerja utama. Tahap terakhir adalah melakukan pembobotan menggunakan metode Pairwise Comparison untuk mengetahui prioritas dari setiap indikator kinerja utama dan menentukan strategi yang menjadi prioritas utana. Penelitian ini akan menghasilkan implikasi manajerial dan rekomendasi bagi Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut untuk peningkatan daya saing komoditas cabai berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian diuraikan secara lengkap pada Gambar 2.

(17)

7

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian

Keterangan:

Gapoktan = Gabungan Kelompok Tani

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui 3 tahapan yaitu (1) Pra Penelitian; (2) Pengumpulan Data; dan (3) Analisis Data. Tahap Pra Penelitian diawali dengan penentuan topik penelitian melalui grand design rancang bangun sayuran

Perumusan strategi peningkatan daya saing komoditas cabai dengan Analisis SWOT

Perancangan model peningkatan daya saing komoditas cabai dengan The House Model

Implikasi Manajerial dan Rekomendasi Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai Berkelanjutan

Identifikasi Rantai Pasok Komoditas Cabai (Van der Vorst 2006)

Analisis Kelembagaan (Uphoff 1986 dan Syahyuti 2004) - Public Sector

- Voluntary Sector - Private Sector Kabupaten Garut

Jawa Barat Jawa Timur

Jawa Tengah

Komoditas Sayuran Dataran Tinggi Unggulan Nasional

Cabai Bawang

Merah Kentang Kubis

Petsai/ Sawi

Analisis perumusan Indikator Kinerja Utama melalui instrumen Pairwise Comparison dan pemilihan strategi prioritas utama

Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura

Gapoktan Agro Papandayan Gapoktan Silih Riksa IV Gapoktan Cikajang Tani

(18)

8

dataran tinggi yaitu strategi peningkatan daya saing sayuran dataran tinggi di Kabupaten Garut, menentukan perumusan masalah, dan rancangan pengumpulan data. Kemudian, penelitian dilanjutkan dengan tahap Pengumpulan Data yang terdiri dari studi pendahuluan, studi pustaka, opini pakar, penyusunan desain riset, serta pengumpulan data lapangan (data primer dan sekunder). Tahap terakhir dalam penelitian ini yaitu Analisis Data dimana dilakukan pengolahan data terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Tahapan penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 3.

Kesimpulan dan Saran Penyusunan desain riset

Pengumpulan data lapangan 1. Data Primer: Observasi, wawancara, kuesioner 2. Data Sekunder: Studi literatur dan dokumen pemerintah

Penentuan topik penelitian

melalui grand design rancang bangun sayuran dataran tinggi : Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai Kabupaten Garut

Identifikasi minat penelitian

Pemilihan topik penelitian Studi pustaka dan diskusi

Perumusan Masalah

1. Bagaimana struktur rantai pasok komoditas cabai di Kabupaten Garut? 2. Bagaimana kelembagaan petani cabai di Kabupeten Garut?

3. Bagaimana rumusan strategi peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut? 4. Bagaimana rancangan model peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut? 5. Strategi apa yang menjadi prioritas utama dalam peningkatan daya saing komoditas cabai di

Kabupaten Garut? 6. Garut? P R A P E N E L I T I A

N Rancangan Pengumpulan Data

Identifikasi kebutuhan data, metode pengumpulan data, dan pemilihan teknik analisis data

1. Studi Pendahuluan 2. Studi Pustaka 3. Opini pakar P E N G U M P U L A N D A T A Pengolahan Data 1. Analisis rantai pasokan --- analisis deskriptif 2. Analisis kelembagaan --- analisis deskriptif

3. Perumusan strategi peningkatan daya saing --- Analisis SWOT 1. Perancangan model peningkatan daya saing --- The House Model

2. Perumusan Indikator Kinerja Utama dan pemilihan strategi--- Pairwise Comparison A N A L I S I S D A T A

(19)

9 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Cisurupan, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu sentra produksi cabai di Kabupaten Garut. Penelitian dilakukan pada bulan September 2014–Februari 2015.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui sumber primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono 2010) melalui observasi, wawancara menggunakan instrumen penelitian (Lampiran 3) dengan Gapoktan Agro Papandayan, Dinas TPH Kabupaten Garut, dan lembaga-lembaga yang terkait, serta kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui sumber sekunder yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono 2010), tetapi melalui Studi Literatur, yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisis informasi dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas TPH 2013, Rencana Strategis Dinas TPH 2014-2019, SOP Budidaya Cabai Dinas TPH, dokumen-dokumen lain dari instansi terkait, internet, buku, skripsi, dan jurnal yang relevan dengan penelitian ini.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik penetapan sampel dengan pertimbangan tertentu untuk menentukan narasumber dan pakar (Sugiyono 2010). Sampel yang digunakan sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah: (1) Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas TPH; (2) Kepala Seksi Sayuran dan Biofarmaka Dinas TPH; (3) Ketua Agroklinik Hortikultura (Penyuluh); (4) Ketua Gapoktan Agro Papandayan serta anggotanya (petani). Narasumber digunakan untuk menganalisis rantai pasokan, kelembagaan, serta merumuskan indikator kinerja utama peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut. Setelah itu, peneliti menggunakan penilaian pakar yang memiliki pengetahuan khusus dalam bidang sayuran khususnya dalam hal peningkatan daya saing sayuran sebagai sampel dalam pengisian kuesioner pairwise comparison untuk pemberian bobot dan prioritas indikator kinerja utama. Sampel yang dipilih sebagai pakar dalam pengisian kuesioner pairwise comparison adalah: (1) Kepala Seksi Teknologi Budidaya Tanaman Sayuran, Buah, Daun, dan Umbi Direktorat Jenderal Hortikultura sebagai regulator, berwenang dalam penentu kebijakan pusat; (2) Kepala Bidang Hortikultura Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut sebagai operator, berwenang dalam penentu kebijakan daerah dan pelaksana teknis; (3) Kepala University of Farm IPB sebagai akademisi (dosen, peneliti, dan pengamat dari perguruan tinggi).

(20)

10

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Deskriptif Kualitatif, Analisis SWOT, The House Model, Indikator Kinerja Utama, dan Pairwise Comparison.

Analisis Deskriptif Kualitatif

Analisis deskriptif kualitatif merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori (Sugiyono 2010). Analisis deskriptif kualitatif pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis rantai pasokan dan kelembagaan. Rantai pasok dianalisis menggunakan teori yang dikembangkan oleh Van der Vorst (2006) di mana aspek kajian disusun secara terstruktur yang meliputi sasaran rantai pasokan, struktur rantai pasokan, sumber daya, manajemen rantai, dan proses bisnis rantai. Kelembagaan dianalisis berdasarkan tiga sektor utama kelembagaan yaitu public sector, voluntary sector, dan private sector (Uphoff 1986 dan Syahyuti 2004). Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan 4 set kemungkinan alternatif strategis yaitu Strategi SO, Strategi ST, Strategi WO, dan Strategi WT (Rangkuti 2005). Analisis SWOT digunakan untuk menghasilkan alternatif-alternatif strategi yang layak untuk peningkatan daya saing komoditas cabai.

The House Model

The House Model merupakan konsep yang dibangun dalam menggambarkan usaha organisasi untuk mengubah mimpi menjadi sebuah tindakan. The House Model tersebut dijelaskan melalui Gambar 4.

Dream with a dedline

(Mimpi dengan batas waktu)

Key Way (Cara utama) Key Way (Cara utama) Key Way (Cara utama)

Action and milestone

(tindakan dan batu pijakan yang

digunakan)

Action and milestone

(tindakan dan batu pijakan yang

digunakan)

Action and milestone

(tindakan dan batu pijakan yang

digunakan)

Suporting behavior

(tindakan pendukung)

(21)

11 Horovitz dan Corboz (2007) merancang model ini menjadi tiga komponen, yaitu atap sebagai visi dimana visi pada penelitian ini adalah peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut, pilar sebagai kunci utama untuk mencapai visi tersebut, dan pondasi berupa perilaku pendukung.

Indikator Kinerja Utama

Menurut Rampersad (2003), Indikator Kinerja Utama merupakan suatu titik ukur, yang berkaitan dengan faktor penentu keberhasilan dari sasaran strategis. Indikator Kinerja Utama bagi peningkatan daya saing komoditas cabai yang dibuat harus memenuhi kriteria SMART (Specific, Measurable, Achievable, Result-oriented, Time specific).

Pairwise Comparison

Perhitungan bobot indikator kinerja utama dilakukan dengan menggunakan metode pairwise comparison (Saaty 1991). Pembobotan dilakukan oleh pakar yang bertindak sebagai responden melalui pengisian kuesioner (Lampiran 4). Hasil pengisian kuesioner diolah dengan bantuan software expert choice sehingga akhirnya dihasilkan bobot setiap sasaran strategis dan Indikator Kinerja Utama. Penentuan bobot pada setiap elemen dibandingkan menggunakan skala seperti yang tertera pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Cabai di Kabupaten Garut

Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian selatan dan memiliki luas wilayah administratif sebesar 306519 ha. Secara administratif, Kabupaten Garut mempunyai 42 kecamatan, 21 kelurahan dan 403 desa. Sesuai dengan karakteristik wilayah Kabupaten Garut, pertanian masih merupakan sektor andalan. Secara nasional, Kabupaten Garut belum menjadi salah satu sentra produksi pangan, tetapi untuk lingkup Jawa Barat berpotensi kuat menjadi sentra produksi padi, jagung, dan kedelai. Namun dari sektor hortikultura, Kabupaten Garut menjadi salah satu sentra produksi sayuran.dan sebagian besar sayuran yang dibudidayakan oleh petani di Kabupaten Garut adalah sayuran dataran tinggi yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi yang salah satunya adalah cabai.

Tabel 4 Skala pada Pairwise Comparison

Identitas

Kepentingan Definisi Nilai

9 Mutlak lebih penting

7 Sangat jelas lebih penting

5 Jelas lebih penting

3 Sedikit lebih penting

1 Sama penting

2, 4, 6, 8 Apabila terdapat sedikit saja perbedaan atau keragu-raguan antar dua nilai faktor yang berdekatan

(22)

12

Cabai masuk ke dalam suku terong-terongan dan cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur, dan tidak tergenang air. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25°–27°C pada siang hari dan 18°–20°C pada malam hari. Pembungaan tanaman cabai tidak banyak dipengaruhi oleh panjang hari. Curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah kurang sesuai untuk pertumbuhan tanaman cabai. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan cabai adalah sekitar 600–1200 mm per tahun. Berdasarkan bentuk dan ukuran buah, cabai dikelompokkan dalam empat tipe yaitu cabai besar, cabai rawit, cabai keriting, dan paprika. Cabai besar dicirikan dengan permukaan buah rata atau licin, berdaging dan berdiameter tebal, relatif tidak tahan simpan, dan kurang pedas, sedangkan cabai rawit memiliki ciri berukuran kecil, permukaan buah licin, dan rasanya pedas.

Umumnya, para petani di Pulau Jawa mengenal tiga musim dalam menanam cabai, yaitu musim labuhan (saat hujan mulai turun), musim marengan (saat hujan akan berakhir), dan musim kemarau. Namun petani cabai di Kabupaten Garut umumnya memiliki umur pemanenan yaitu berkisar antara 2–4 bulan (tergantung lokasi dan varietas) dan pada umumnya melakukan penanaman bibit pada musim marengan. Pemanenan dilakukan tiap minggu atau dua minggu sekali. Berdasarkan kondisi di lapangan, sebagian besar petani melakukan pemanenan berdasarkan pada keadaan pasar. Apabila pasar cabai kurang menguntungkan, buah dipanen dalam keadaan yang benar-benar tua. Sebaliknya bila keadaan pasar menguntungkan, petani menanam cabai dengan selang waktu pendek dengan warna yang belum merah merata. Luas panen cabai di Kabupaten Garut pada tahun 2013 mencapai 8362 Ha, dengan produksi cabai (cabai merah besar dan cabai rawit) 144485 ton, dan produktivitas 17.28 ton/Ha.

Analisis Rantai Pasok

Struktur distribusi sayuran dataran tinggi di Indonesia memiliki karakteristik rantai pasok yang berbeda-beda, termasuk cabai. Perbedaan utama sistem distribusi sayuran terdapat pada jenis sayuran dan kualitas yang dihasilkan. Adapun standar mutu (grade) cabai yang didistribusikan di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 5.

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa standar mutu cabai terdiri dari tiga jenis yaitu Mutu I, Mutu II, dan Mutu III. Masing-masing mutu cabai memiliki tujuan pasar yang berbeda-beda. Menurut data dari Pemerintah Kabupaten Garut 2013, Kabupaten Garut menghasilkan 25% cabai dengan Mutu I, 40% cabai dengan Mutu II, dan 35% cabai dengan Mutu III. Cabai dengan Mutu I memiliki tujuan Tabel 5 Standar Mutu Cabai Merah Besar di Kabupaten Garut

Mutu Keseragaman Bentuk Keseragaman Ukuran Panjang Keseragaman Ukuran Garis Tengah Kadar Kotoran Tingkat Kerusakan Mutu I 98 Normal 12 – 14 1,5 – 1,7 1 % 0 % Mutu II 96 Normal 9 – 11 1,3 – 1,5 2 % 1 %

Mutu III 95 Normal < 9 < 1,3 5 % 2 %

(23)

13 pasar utama yaitu ekspor, pasar swalayan, dan Hotel di Kota Garut, Tasik, dan Bandung. Cabai dengan Mutu II memiliki tujuan pasar utama yaitu pasar-pasar tradisional di Kota Garut, Tasik, dan Bandung. Cabai dengan Mutu III digunakan untuk pembuatan tepung cabai untuk kebutuhan makanan instan atau bumbu. Struktur distribusi cabai yang ditemukan pada sentra cabai Kabupaten Garut, Jawa Barat, umumnya mengikuti pola seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.

Aliran distribusi cabai di Kabupaten Garut, Jawa Barat dibagi menjadi beberapa struktur rantai sebagai berikut:

1. Struktur Rantai 1

Petani merupakan pelaku rantai yang melakukan kegiatan budidaya cabai mulai dari pembenihan, pemeliharaan, proses panen, serta pasca panen. Petani, pada struktur ini, biasanya membawa langsung hasil panennya ke pasar tradisional lokal, tanpa melalui penyortiran terlebih dahulu. Salah satu tujuan pasarnya adalah Pasar Ciawitali Garut. Pendistribusian dan biayanya ditanggung sendiri oleh petani. Cabai yang dibawa oleh petani hanya dipisahkan antara cabai yang bagus dengan cabai yang memang tidak laku dijual dan langsung dibuang. Cabai yang dibawa ke pasar kemudian ditimbang dan langsung dihargai oleh pedagang di pasar, serta dibayar saat itu juga sesuai dengan harga pasar yang berlaku saat itu. Berdasarkan data dari Dinas TPH, pada tahun 2013 Pasar Ciawitali menyerap 8595 ton cabai.

2. Struktur Rantai 2

Struktur distribusi pada rantai 2 tidak jauh berbeda dengan struktur distribusi pada rantai 1 dimana tujuan pasarnya adalah pasar tradisional lokal di Kabupaten Garut. Bedanya, pada struktur ini petani tidak langsung menjual

1) Petani Pasar Lokal

2) Petani Pengumpul Pasar Lokal

3) Petani Pengumpul Pasar Induk

4)

Petani Pengumpul Pasar Swalayan

5) Petani Sub Terminal

Agribisnis

Pasar Asia Eksportir

6) Petani Pengumpul Industri

(Heinz ABC)

Vendor

Arus Barang Arus Uang dan Informasi

(24)

14

hasil panennya ke pasar, tetapi menjualnya melalui pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul kemudian melakukan penyortiran sebelum menjualnya kepada pedagang di pasar. Biasanya, cabai yang dijual ke pasar lokal adalah cabai dengan standar mutu II. Pengangkutan dilakukan dengan menggunakan motor yang biayanya ditanggung oleh pedagang pengumpul. Harga yang diterima oleh petani sesuai dengan harga kesepakatan tetapi harganya berada di bawah harga pasaran yang dibayarkan setelah pengumpul menjual cabai ke pasar.

3. Struktur Rantai 3

Petani menjual langsung kepada pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul menjualnya kepada pedagang di Pasar Induk. Seperti pada struktur rantai 2, pedagang pengumpul melakukan penyortiran terlebih dahulu sebelum mendistribusikan cabai ke Pasar Induk. Cabai yang didistribusikan pada rantai ini adalah cabai dengan standar mutu II. Selanjutnya cabai langsung didistribusikan ke pedagang di Pasar Induk. Pengangkutan ke Pasar Induk dilakukan dengan menggunakan truk. Biaya sewa truk ini ditanggung oleh pedagang pengumpul. Berdasarkan data dari Dinas TPH 2013, Pasar Induk yang dituju adalah Pasar Induk Caringin Bandung (19339 ton), Pasar Induk Gede Bage Bandung (24711 ton), Pasar Induk Kramat Jati Jakarta (32232 ton), Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang (15042 ton), dan Pasar Batam (7520 ton). 4. Struktur Rantai 4

Petani menjual langsung kepada pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul mendistribusikannya ke pasar swalayan seperti Yogya, Carefour, Giant, dan Lotte Mart. Pedagang pengumpul melakukan penyortiran terlebih dahulu sebelum mengirimkannya ke pasar swalayan. Pasar swalayan hanya akan menerima cabai yang memenuhi standar dan kriteria yang ditetapkan yaitu cabai dengan standar mutu I. Cabai yang dipasok oleh pengumpul ke pasar swalayan tidak langsung dibayar. Pembayaran hanya akan diberikan untuk cabai yang terjual saja, sedangkan cabai yang tidak terjual akan dikembalikan. Cabai merah yang dijual ke pasar swalayan dibeli dengan harga di atas standar harga pasar, namun memiliki resiko yang lebih tinggi.

5. Struktur Rantai 5

Petani menjual hasil panen cabai kepada pedagang pengumpul dimana beberapa pedagang pengumpul telah menjalin kerja sama dengan perusahaan eksportir (PT Alamanda). Peran pedagang pengumpul dalam struktur ini digantikan oleh Sub Terminal Agribisnis (STA). Pihak STA melakukan penyortiran yang ketat sebelum cabai dikirimkan ke pihak eksportir. Cabai yang dikirimkan kepada pihak eksportir adalah cabai yang memenuhi standar mutu I. Cabai yang sudah berada di eksportir biasanya masuk ke gudang untuk proses pencucian, pemberian grade, dan packaging. Eksportir dan pengumpul/STA telah memiliki kontrak kerja sama dalam jangka panjang. Kontrak tersebut memuat jumlah pesanan, kualitas, dan harga.

6. Struktur Rantai 6

Petani menjual barangnya kepada pedagang pengumpul yang akan dibawa kepada vendor industri makanan. Beberapa pengumpul ada yang juga berprofesi sebagai vendor sehingga bisa langsung menyalurkan cabai dari petani ke Heinz ABC. Vendor dan Heinz ABC telah memiliki kontrak kerja sama dalam jangka panjang. Kontrak tersebut memuat jumlah pesanan,

(25)

15 kualitas, dan harga. Harga cabai pada rantai ini telah ditentukan oleh pihak Heinz ABC dalam kontrak sehingga harganya konstan dan tidak mengalami fluktuasi berdasarkan harga pasar. Pasokan cabai yang diterima PT Heinz ABC pada tahun 2013 adalah 10 ton.

Berdasarkan paparan di atas, struktur rantai pasok dapat dianalisis dengan metode deskriptif-kualitatif yang dikembangkan oleh Van der Vorst (2006). Analisis kondisi rantai pasok cabai secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 6.

Berdasarkan hasil penelitian, struktur rantai pasok yang paling dominan digunakan oleh petani di Kabupaten Garut adalah Struktur Rantai 3 dimana petani menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul mendistribusikannya ke pasar-pasar induk di luar Kabupaten Garut. Petani menyukai struktur rantai 3 karena biaya penyortiran dan pengangkutan ditanggung oleh pengumpul. Selain itu, struktur rantai 3 memiliki jaringan pasar yang luas dan diakui petani memiliki harga jual yang lebih tinggi. Pasar Induk yang paling banyak dituju pada struktur rantai 3 ini adalah Pasar Induk Kramat Jati Jakarta (32232 ton). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Asmayanti (2012) yang menyatakan bahwa struktur rantai dengan tujuan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta merupakan struktur rantai pasok yang paling efisien dibandingkan struktur lainnya dan merupakan struktur yang paling banyak digunakan dalam pendistribusian cabai. Struktur ini memiliki harga jual yang tinggi dan volume Tabel 6 Analisis Kondisi Rantai Pasok Cabai

Analisis Deskriptif Komoditas Cabai

Struktur Rantai Anggota rantai pasok terdiri dari: produsen (petani/kelompok tani), distributor (pedagang pengumpul, sub terminal agribisnis (STA), pedagang pasar, vendor, eksportir), pasar tradisional sebagai konsumen, supermarket, dan industri pengolahan (PT Heinz ABC Indonesia)

Sasaran Rantai 1 Sasaran pasar berdasarkan kualitas produk dibedakan berdasarkan grade/mutu I, II, III. Mutu I untuk ekspor, pasar swalayan, dan Hotel. Mutu II untuk pasar-pasar tradisional di Kota Garut, Tasik, dan Bandung. Mutu III untuk pembuatan tepung cabai untuk kebutuhan makanan instan atau bumbu. 2 Sasaran pengembangan rantai pasok adalah memperluas area

produksi, menambah mitra tani, dan pengembangan STA sebagai institusi pelayanan pemasaran

Sumber Daya Rantai Luas panen cabai di Kabupaten Garut adalah 8362 Ha, dengan produksi cabai 144485 ton, dan produktivitas 17.28 ton/Ha (Pemerintah Kabupaten Garut 2013), jumlah kelompok tani cabai 55 kelompok , dan teknologi pasca panen (packing house dan mesin pengering cabai)

Manajemen Rantai 1 Kerja sama dan pemilihan mitra antar pelaku rantai masih didasarkan pada kepercayaan

2 Kesepakatan kontraktual antara petani dan industri pengolahan didasarkan pada perjanjian tertulis (MOU), mencakup jumlah, kualitas, serta pembayaran hasil panen dilakukan paling lambat 21 hari setelah barang diterima.

Proses Bisnis Rantai Pola distribusi secara umum mengikuti pola distributor storage with package carrier delivery (produk dikirim kepada konsumen melalui jasa distributor)

(26)

16

penjualan terbesar. Tingginya volume penjualan pada struktur ini menunjukkan tingginya kontinuitas pendistribusian sehingga struktur ini dinilai sebagai alternatif struktur yang efisien.

Analisis Kelembagaan

Kelembagaan petani adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani guna memperkuat dan memperjuangkan kepentingan petani (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 82/Permentan/OT.140/8/2013). Menurut Saptana et al. (2006) perubahan lingkungan strategis diperkirakan menyebabkan pasar komoditas hortikultura akan semakin dinamis dan dihadapkan pada persaingan yang tinggi sehingga sangat penting untuk membangun kelembagaan dalam rangka pengembangan agribisnis hortikultura yang berdaya saing. Kelembagaan dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan tiga sektor utama kelembagaan yaitu public sector, voluntary sector, dan private sector (Uphoff 1986 dan Syahyuti 2004) yang diuraikan berdasarkan perannya pada pra, during, pasca kegiatan budidaya serta permasalahan dan keunggulan. Masing-masing sektor kelembagaan diuraikan secara lengkap pada Lampiran 5.

Public sector melibatkan peran dari (1) Dinas TPH, berperan dalam pembentukan kelompok tani/gapoktan, pendirian Sekolah Lapang GAP/SOP cabai, penyediaan infrastruktur, dan memfasilitasi petani dengan berbagai asosiasi atau perusahaan; (2) Agroklinik Hortikultura, berperan dalam pelayanan serta sumber informasi teknologi dan inovasi dalam meningkatkan mutu dan kualitas produk; dan (3) STA, berperan sebagai lembaga pemasaran yang memungkinkan petani untuk berhubungan langsung dengan pembeli.

Voluntary sector melibatkan peran dari (1) Kelompok Tani/Gapoktan, berperan sebagai media belajar bersama, media transfer teknologi, dan pemasaran hasil panen secara berkelompok; dan (2) Koperasi Cagarit (Cabai Garut Inti Tani), merupakan arahan dari Lembaga Pembinaan Masyarakat Universitas Pasundan yang berperan dalam penyediaan benih, penyediaan jadwal panen dan tanam, memfasilitasi pemasaran ke industri.

Private Sector melibatkan peran dari (1) Lembaga Keuangan Formal (BRI, BNI, Bank Mandiri), berperan sebagai penyedia pinjaman modal berupa uang; (2) Lembaga Keuangan Non Formal (Pedagang), berperan sebagai penyedia pinjaman modal berupa uang atau natura (benih, pupuk, pestisida, dan obat-obatan); (3) Perusahaan Pemasok Sarana Produksi Pertanian/Saprodi (PT East West Seed Indonesia, Fajar Perkasa Utama), berperan sebagai penyedia pinjaman modal berupa sarana produksi pertanian; (4) Industri Pengolahan (PT Heinz ABC), berperan sebagai tujuan pemasaran hasil panen dengan kontrak kerja sama yang telah disepakati sebelumnya; dan (5) Pasar, berperan sebagai tujuan pemasaran hasil dengan tujuan utama Pasar Ciawitali Garut, Pasar Induk Caringin Bandung, Pasar Induk Gede Bage Bandung, Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, Pasar Batam, dan Pasar Swalayan.

Public sector, voluntary sector, dan private sector memiliki permasalahan dan keunggulan masing-masing. Adapun permasalahan dan keunggulan dalam public sector, voluntary sector, dan private sector dapat diklasifikasikan ke dalam lingkup internal dan eksternal. Permasalahan utama yang termasuk ke dalam

(27)

17 lingkup internal adalah (1) Terbatasnya keterampilan petani; (2) Ketergantungan petani pada pihak yang memberikan fasilitas; (3) Banyaknya lahan petani yang belum teregistrasi dan bersertifikat; (4) Menurunnya produktivitas akibat kurangnya kesadaran untuk melakukan pengendalian OPT; (5) Keterbatasan modal petani karena sulitnya akses petani terhadap lembaga keuangan formal. Permasalahan utama yang termasuk ke dalam lingkup eksternal adalah: (1) Peran Dinas TPH dalam pemberian bantuan dana/saprodi hanya menjangkau sebagian kecil kelompok tani; (2) Ketersediaan benih dan pupuk terkadang tidak memenuhi kebutuhan petani; (3) Tidak adanya perhatian dari sektor perbankan terhadap masalah kekurangan modal petani; (4) Posisi tawar petani lemah; (5) Adanya fluktuasi harga cabai; (6) Ketidakadilan pembagian keuntungan (marjin rantai pasok) bagi petani; (7) Perjanjian perdagangan bebas membawa dampak pada semakin banyaknya berbagai komoditas dan produk dari berbagai negara, tidak terkecuali pada komoditas cabai. Keunggulan yang termasuk ke dalam lingkup internal adalah: (1) Komoditas unggulan daerah dan nasional; (2) Komoditas tidak bisa disubstitusi oleh komoditas lain; (3) Beberapa kelompok tani berprestasi di tingkat regional dan nasional; (4) Telah terbentuk rintisan kemitraan dengan pasar terstruktur (industri pengolahan, pasar modern, pasar tradisional, pemasok saprodi); (5) Aplikasi penerapan GAP/SOP sudah berjalan. Keunggulan yang termasuk lingkup eksternal adalah: (1) Dukungan pemerintah yang baik; (2) Permintaan meningkat dari waktu ke waktu; (3) Memiliki potensi; (4) Kemitraan dengan industri pengolahan mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas.

Perumusan Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai di Kabupaten Garut melalui Analisis SWOT

Analisis SWOT dalam penelitian ini digunakan untuk merumuskan strategi peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut. Analisis SWOT dirumuskan sebagai hasil dari analisis rantai pasok dan analisis kelembagaan. Berdasarkan hasil Analisis SWOT komoditas cabai di Kabupaten Garut maka dirumuskan Strategi SO, ST, WO, dan WT. Strategi terbaik untuk memanfaatkan peluang dengan kekuatan yang ada (Strategi SO) adalah: (1) Perluasan lahan dan areal tanam; (2) Pengembangan kawasan tanaman cabai; (3) Peningkatan prestasi petani/kelompok tani; (4) Melahirkan kebijakan yang dapat memberikan insentif khusus bagi petani; (5) Penguatan dan pengembangan kemitraan. Strategi terbaik untuk mengatasi ancaman dengan kekuatan yang ada (Strategi ST) adalah: (1) Pemenuhan kebutuhan benih bermutu; (2) Peningkatan mutu produk; (3) Perluasan pangsa pasar. Strategi terbaik untuk memanfaatkan peluang dalam mengatasi kelemahan yang ada (Strategi WO) adalah: (1) Pengembangan kelembagaan penyuluhan; (2) Peningkatan registrasi lahan usaha; (3) Penurunan serangan OPT. Strategi terbaik untuk mengatasi kelemahan dan menghadapi tantangan yang ada (Strategi WT) adalah: (1) Peningkatan kelompok tani penerima bantuan dari pemerintah; (2) Penyediaan pelayanan permodalan pertanian; (3) Peningkatan pendapatan petani; (4) Peningkatan proteksi dan promosi. Matrik SWOT secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 6.

(28)

18

Analisis Internal

Analisis Eksternal

Kekuatan (S)

1. Komoditas unggulan daerah dan nasional

2. Komoditas tidak bisa disubstitusi oleh komoditas lain

3. Beberapa kelompok tani berprestasi di tingkat regional dan nasional

4. Telah terbentuk rintisan kemitraan dengan pasar terstruktur (industri pengolahan, pasar modern, pasar tradisional, pemasok saprodi)

5. Aplikasi penerapan GAP/SOP sudah berjalan

Kelemahan (W)

1. Terbatasnya keterampilan petani akibat terbatasnya akses petani terhadap sumber informasi, teknologi, sarana komunikasi, listrik, dan transportasi

2. Ketergantungan petani pada pihak yang memberikan fasilitas sehingga kurang mandiri dan terhenti aktivitasnya ketika tidak ada lagi bantuan

3. Banyaknya lahan petani yang belum teregistrasi dan bersertifikat

4. Menurunnya produktivitas akibat kurangnya kesadaran untuk melakukan

pengendalian OPT 5. Keterbatasan modal petani

karena sulitnya akses petani terhadap lembaga keuangan formal

Peluang (O)

1. Dukungan pemerintah yang baik

2. Permintaan meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk 3. Memiliki potensi ekspor yang

merupakan sumber devisa negara

4. Kemitraan dengan industri pengolahan mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas

Strategi SO

1. Perluasan lahan dan areal tanam untuk meningkatkan jumlah produksi

2. Pengembangan kawasan tanaman cabai yang dekat dengan daerah distribusi, konsumsi, dan pusat pasar 3. Peningkatan prestasi

petani/kelompok tani, baik di tingkat regional maupun nasional

4. Melahirkan kebijakan yang dapat memberikan insentif khusus bagi petani

5. Penguatan dan pengembangan kemitraan

Strategi WO

1. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian untuk pelatihan, pembinaan, dan pemberdayaan petani; 2. Peningkatan registrasi lahan

usaha tanaman cabai untuk memudahkan sertifikasi 3. Penurunan serangan OPT

terhadap total luas panen

Tantangan (T)

1. Peran Dinas TPH dalam pemberian bantuan dana/ saprodi hanya

menjangkausebagian kecil kelompok tani

2. Ketersediaan benih dan pupuk terkadang tidak memenuhi kebutuhan petani

3. Tidak adanya perhatian dari sektor perbankan terhadap masalah kekurangan modal petani

4. Posisi tawar petani lemah 5. Adanya fluktuasi harga cabai 6. Ketidakadilan pembagian

marjin rantai pasok bagi petani 7. Perjanjian Perdagangan Bebas

AEC membawa dampak pada semakin membanjirnya berbagai komoditas dan produk dari berbagai negara, tidak terkecuali pada komoditas cabai

Strategi ST

1. Pemenuhan kebutuhan benih bermutu bagi petani untuk melakukan usaha tani 2. Peningkatan mutu produk 3. Perluasan pangsa pasar dan

tujuan pasar-pasar utama penyerap hasil panen cabai

Strategi WT

1. Peningkatan kelompok tani penerima bantuan/hibah sarana dan prasarana, serta alsintan dari pemerintah 2. Penyediaan pelayanan

permodalan pertanian 3. Peningkatan pendapatan

petani dengan stabilisasi harga serta penguasaan informasi dan akses pasar bagi petani agar tidak menjadi pihak yang dirugikan dalam pembagian marjin rantai pasok 4. Peningkatan proteksi dan

promosi komoditas cabai lokal sehingga mampu bersaing dengan komoditas impor;

(29)

19 Model Peningkatan Daya Saing Cabai di Kabupaten Garut dan Perumusan

Indikator Kinerja Utama

Konsep yang digunakan sebagai model peningkatan daya saing adalah The House Model. Model ini merupakan gambaran usaha untuk mengubah mimpi menjadi sebuah tindakan yang dapat direpresentasikan dalam sebuah gambar berbentuk rumah, yang terdiri dari atap, pilar, dan pondasi (Gambar 7).

Gambar 7 The House Model Peningkatan Daya Saing Cabai di Kabupaten Garut Visi yang akan dicapai adalah “Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai di Kabupaten Garut dalam 5 Tahun (2014–2018)”. Visi tersebut akan menjadi atap dari The House Model ini. Selanjutnya, penentuan pilar dirumuskan berdasarkan analisis SWOT. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa terdapat tiga pilar yang mendukung visi tersebut yaitu (1) Produk; (2) Sumber Daya Manusia; (3) Kelembagaan dan Pemasaran. Indikator dari produk meliputi peningkatan jumlah produksi, peningkatan penggunaan benih bermutu, penurunan serangan OPT, perbaikan mutu, pengembangan kawasan, dan peningkatan registrasi lahan usaha. Indikator dari SDM meliputi perbaikan keterampilan, peningkatan prestasi, dan peningkatan pendapatan. Indikator dari kelembagaan

Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai di Kabupaten Garut dalam 5 tahun (2014-2018)

SDM

Produk Kelembagaan dan Pemasaran

1. Peningkatan jumlah produksi tanaman cabai 2. Peningkatan penggunaan

benih bermutu untuk tanaman cabai 3. Pengendalian OPT

terhadap total luas panen 4. Perbaikan mutu produk

tanaman cabai

5. Pengembangan kawasan tanaman cabai

6. Peningkatan registrasi lahan usaha tanaman cabai untuk memudahkan sertifikasi 1. Perbaikan keterampilan petani cabai 2. Peningkatan prestasi kelompok tani 3. Peningkatan pendapatan petani cabai 1. Peningkatan kelompok tani penerima bantuan/hibah sarana dan prasarana, serta alsintan

2. Peningkatan

kemampuan petani cabai dalam menjalin kerja sama dengan mitra usaha

3. Berkembangnya akses pasar

Kebijakan dan regulasi pemerintah yang memberikan insentif khusus bagi petani

Pengembangan penyediaan pelayanan permodalan pertanian

(30)

20

dan pemasaran meliputi peningkatan kelompok tani penerima bantuan/hibah, peningkatan kemampuan petani cabai dalam menjalin kerja sama dengan mitra usaha dan berkembangnya akses pasar. Pondasi merupakan tindakan pendukung untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil analisis SWOT, pondasi dari The House Model: (1) Kebijakan dan regulasi yang memberikan insentif khusus bagi petani; (2) Pengembangan penyediaan pelayanan permodalan pertanian; (3) Peningkatan proteksi dan promosi komoditas cabai.

Berdasarkan pilar The House Model yang merupakan cara utama dalam mencapai peningkatan daya saing, maka dapat dirumuskan sasaran strategis dan Indikator Kinerja Utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing komoditas Cabai di Kabupaten Garut. Terdapat tiga sasaran strategis yang berkaitan dengan produk, sumber daya manusia, serta kelembagaan dan pemasaran; dan dua belas indikator kinerja utama. Sasaran strategis, indikator kinerja utama peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut, dan target yang ingin dicapai pada tahun 2014 secara rinci diuraikan pada Tabel 7.

Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner Pairwise Comparison, diperoleh hasil bobot dan prioritas dari masing-masing indikator kinerja utama untuk komoditas cabai di Kabupaten Garut. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 7 Indikator Kinerja Utama Peningkatan Daya Saing Cabai di Kabupaten Garut

No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Utama Satuan Target 2014

1. Meningkatnya produksi, produktivitas, dan mutu produk cabai yang aman konsumsi, berdaya saing, dan berkelanjutan, serta luas lahan usaha tanaman cabai

Jumlah produksi cabai per tahun

Ton 85 409 Jumlah ketersediaan benih

bermutu untuk petani/ kelompok tani cabai

Sachet 570

Persentase serangan OPT terhadap luas panen

% 5

Persentase produk cabai yang diekspor terhadap total hasil produksi

% NA

Pertambahan luas lahan usaha tanaman cabai

Ha 6 062 Persentase lahan usaha yang

sudah teregistrasi terhadap total luas lahan

% 40

2. Meningkatnya kemampuan teknis dan maanajemen sumber daya manusia pertanian, serta pendapatan dan kesejahteraan petani cabai

Jumlah petani cabai yang terlatih (sudah mendapat pelatihan minimal 1 kali)

Orang 330

Jumlah kelompok tani cabai berprestasi

Kelompok 5 Rata-rata laju peningkatan

pendapatan usahatani cabai per tahun

% 5

3. Meningkatnya sarana dan prasarana pertanian, kemampuan

kelembagaan/kelompok tani dalam menjalin kerja sama dengan mitra usaha dan peluang akses pasar

Jumlah kelompok tani cabai penerima bantuan/ hibah sarana, prasarana, dan alsintan dari pemerintah

Kelompok 15

Peningkatan jumlah mitra usaha kelompok tani cabai

Mitra 2

Peningkatan jumlah pasar yang menyerap hasil panen

(31)

21

Hasil bobot dan prioritas variabel indikator kinerja utama komoditas cabai di Kabupaten Garut pada Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah produksi cabai per tahun menjadi prioritas pertama dengan bobot sebesar 0,181. Peningkatan jumlah pasar yang menyerap hasil panen dan peningkatan jumlah mitra usaha kelompok tani menjadi prioritas kedua dan ketiga dengan bobot 0,142 dan 0,114. Berdasarkan hasil prioritas bobot indikator kinerja utama maka strategi prioritas utama peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut yang diperoleh dalam Analisis SWOT adalah: (1) Perluasan lahan dan areal tanam untuk meningkatkan jumlah produksi; (2) Perluasan pangsa pasar dan tujuan pasar-pasar utama penyerap hasil panen cabai; (3) Penguatan dan pengembangan kemitraan.

Implikasi Manajerial

Peningkatan daya saing sayuran dataran tinggi, dalam hal ini komoditas cabai di Kabupaten Garut, merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai. Berdasarkan penelitian ini, peningkatan daya saing cabai dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian pada 2 aspek utama yaitu produk, serta kelembagaan dan pemasaran. Adapun implikasi manajerial yang dapat menjadi masukan dalam pengembangan kedua aspek tersebut antara lain:

1. Produk

a) Peningkatan jumlah produksi cabai dapat dilakukan dengan perluasan lahan dan areal tanam melalui pemanfaatan lahan tidur dan pengembangan kawasan tanaman cabai dengan menggunakan pendekatan pembangunan kawasan pedesaan berbasis agribisnis (kawasan agropolitan). Selain itu, untuk menjamin kontinuitas jumlah produksi cabai dapat diterapkan pengaturan pola tanam.

Tabel 8 Hasil Prioritas dan Bobot Variabel Indikator Kinerja Utama

No Variabel Bobot Prioritas

1 Jumlah produksi Cabai per tahun 0,181 1

2 Jumlah ketersediaan benih bermutu 0,113 4

3 Persentase serangan OPT terhadap luas panen 0,071 7

4 Jumlah produk Cabai yang diekspor (Mutu 1) terhadap total hasil produksi

0,027 11

5 Total luas lahan usaha tanaman Cabai 0,042 10

6 Persentase lahan usaha yang sudah teregistrasi terhadap total luas lahan

0,081 6

7 Jumlah petani Cabai yang terlatih (sudah mendapat pelatihan minimal satu kali)

0,102 5

8 Jumlah kelompok tani Cabai berprestasi di tingkat nasional 0,052 8 9 Rata-rata laju peningkatan pendapatan usahatani Cabai per

tahun

0,051 9

10 Jumlah kelompok tani penerima bantuan/hibah dari pemerintah

0,024 12

11 Peningkatan jumlah mitra usaha kelompok tani Cabai 0,114 3 12 Peningkatan jumlah pasar yang menyerap hasil panen

Cabai

(32)

22

2. Kelembagaan dan Pemasaran

a) Perluasan pangsa pasar dan tujuan pasar-pasar utama penyerap hasil panen cabai dapat dilakukan dengan optimalisasi pemanfaatan Sub Terminal Agribisnis (STA) berkaitan dengan peranannya sebagai lembaga pemasaran untuk membuka akses pasar luar negeri. Pasar luar negeri yang berpotensi sebagai tujuan pengembangan ekspor adalah Korea, Jepang, Hongkong, dan Taiwan dalam bentuk cabai kering atau cabai bubuk. b) Penguatan dan pengembangan kemitraan dapat dilakukan dengan

memaksimalkan peran pemerintah dalam memfasilitasi petani dengan berbagai asosiasi dan perusahaan tertentu seperti PT Heinz ABC atau perusahaan industri pengolahan lainnya seperti PT Indofood yang menggunakan cabai sebagai bahan baku utama.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Terdapat 6 struktur rantai pasok dalam pendistribusian cabai di Kabupaten Garut. Rantai pasok yang paling dominan digunakan adalah struktur rantai 3 yang terdiri dari petani, pengumpul, dan pasar induk.

2. Sektor utama dalam kelembagaan terdiri dari public sector, voluntary sector, dan private sector. Pelaku yang terlibat dalam public sector adalah Dinas TPH, Agroklinik Hortikultura, dan STA. Pelaku yang terlibat dalam voluntary sector adalah Kelompok tani/Gapoktan dan Koperasi Cagarit, sedangkan pelaku yang terlibat dalam private sector adalah lembaga keuangan formal, lembaga keuangan informal, pemasok saprodi, industri pengolahan, dan pasar. 3. Analisis SWOT menghasilkan 15 alternatif strategi yang dapat digunakan

dalam upaya peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut. 4. The House Model sebagai model dari peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut terdiri dari atap dengan visi meningkatkan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut dalam 5 tahun (2014–2018); 3 pilar yaitu produk, sumber daya manusia, serta kelembagaan dan pemasaran; dan pondasi yang merupakan perilaku pendukung melalui kebijakan dan regulasi pemerintah yang memberikan insentif bagi petani, pengembangan penyediaan permodalan pertanian, dan peningkatan proteksi dan promosi.

5. Berdasarkan hasil pembobotan melalui pairwise comparison maka indikator kinerja utama yang menjadi prioritas dalam peningkatan daya saing komoditas cabai di Kabupaten Garut adalah: (a) Jumlah produksi cabai per tahun; (b) Peningkatan jumlah pasar; dan (c) Peningkatan jumlah mitra; dengan strategi utama: (a) Perluasan lahan dan areal tanam untuk meningkatkan jumlah produksi serta pengaturan pola tanam untuk menjamin kontinuitas jumlah produksi; (b) Perluasan pangsa pasar dengan mengoptimalkan peran STA sebagai lembaga pemasaran; dan (c) Penguatan dan pengembangan kemitraan dengan memaksimalkan peran pemerintah dalam memfasilitasi kelompok tani dengan asosiasi atau perusahaan.

Gambar

Gambar 1 Produksi Sayuran di Indonesia, 2010-2013
Tabel 2 Volume Ekspor dan Impor Cabai, 2008–2012
Tabel 3  Harga Cabai Merah di Pasar Dunia dan Indonesia, 2008–2012
Gambar 3 Tahapan Penelitian
+6

Referensi

Dokumen terkait

penghitungan total nilai skor dengan mengacu pada matrik kesesuaian yang telah dirumuskan sebelumnya dan selanjutnya di overlay untuk mengetahui daerah keseuaian lahan

Nilai jumlah tenaga kerja memilki tanda (+) dengan nilai sebesar 1.831.000, hal ini berarti jika variabel lain tetap responden menambah satu tenaga kerja maka

Hasil penelitian, menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk berpengaruh terhadap jumlah daun, nisbah tajuk dan akar, berat kering pucuk dan berat kering total

metode ini dilakukan dengan mengundang beberapa pengguna yaitu, pasien gangguan kecemasan, dan masyarakat umum dari berbagai daerah di Indonesia, untuk menguji coba aplikasi

Pada pengembangan I kelebihan dari keterampilan motorik halus anak melalui menggambar bebas antara lain anak mampu menggambar dan mewarnai sesuai imajinasi yang ada

Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya Sentra Tenun Prailiu dalam meningkatkan penjualan kain tenun Sumba Timur adalah dengan melakukan strategi komunikasi

Perhitungan diameter sedimen dalam hal ini adalah melalui pengujian analisa saringan dan analisa hidrometer yang dilakukan di laboratorium, sehingga dari hasil

Tujuan dari penelitian ini adalah merencanakan dimensi bendung gerak dengan pintu air tipe drum gate untuk kontrol banjir dengan sensor ketinggian air di muka