• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Nilai dan Sistem (Kebudayaan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perubahan Nilai dan Sistem (Kebudayaan)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Seiring dengan perkembangan zaman, di kota-kota besar muncullah gedung-gedung pertunjukan kesenian yang bersifat umum. Bersifat umum di sini diartikan bahwa yang boleh mengadakan pertunjukan di situ adalah siapa saja, bisa dari grup kesenian maupun persorangan saja. Gedung-gedung pertunjukan ini dibangun oleh pemerintah sebagai wujud komitmennya dalam menyokong dunia kesenian. Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) di daerah Pasar Baru Jakarta, Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki di Cikini Jakarta, Teater Arena di Taman Budaya Surakarta, Gedung Kesenian Taman Budaya Raden Saleh Semarang, Gedung Kesenian Cak Durasim Surabaya, Teater Arena Taman Budaya Medan, dan lain-lainnya, adalah contoh gedung-gedung pertunjukan yang sampai sekarang masih difungsikan untuk pertunjukan-pertunjukan kesenian termasuk pertunjukan teater. Karakter jadual pertunjukan di gedung-gedung pertunjukan ini umumnya terjadwal rapi tiap bulannya. Jenis pertunjukannya pun sangat beragam, mulai dari teater, tari, musik, dan bahkan diskusi.

Gbr. 5-39: Pertunjukan wayang wong Sriwedari di Surakarta, dalam gedung pertunjukan mereka yang permanen.

5.5 Perubahan Nilai dan Sistem (Kebudayaan)

Dalam Bab 4, kita telah melihat bagaimana suatu pertunjukan itu sangat tergantung pada lingkungan masyarakatnya. Suatu jenis atau pun kelompok teater memerlukan pendukungnya. Yang pertama, tentu saja adalah pemainnya, karena tanpa pemain, tak akan ada yang mempertunjukkannya. Kedua, adalah penontonnya yakni kelompok sosial

(2)

yang membutuhkannya. Kedua aspeknya harus sama-sama “mampu,” memiliki komitmen untuk teater tersebut bisa hidup terus. Jika ada perubahan dari salah satunya, akan berpengaruh pada yang lainnya. Jika kemampuan pemainnya menurun, bisa membuat penontonnya juga akan menurun minat untuk mengadakannya. Sebaliknya, jika minat penontonnya menurun, akan mengendor pula semangat pemainnya. Pendeknya, kedua aspek itu satu sama lain saling menjalin, saling tergantung, atau saling menentukan.

Lebih mendasar dari itu, kedua pihak itu bisa saling menciptakan, dan juga bisa saling mematikan. Seperti dikatakan dalam Bab 1, sejarah pertumbuhan teater di negeri Barat awalnya merupakan bagian dari upacara, yang kemudian berkembang cara mainnya sehingga menjadi suatu hiburan yang menarik minat penontonnya. Dari situ, bisa dibayangkan, jika secara perlahan kemudian tumbuh kebutuhan, baik dari pihak pemain maupun penontonnya, untuk mengadakannya di luar upacara tersebut, lambat laun kesenian tersebut bisa terlepas dari fungsi awalnya sebagai bagian dari upacara, dan berganti menjadi seni pertunjukan yang sekuler. Jika hal itu terus tumbuh makin lama orang makin senang dan berkeinginan untuk makin sering pula mengadakannya, teater itu kemudian akan menjadi sebih sering pula dimainkan sebagai pertunjukan kesenian saja.

Jadi, kuncinya di situ adalah kesenangan. Kita tahu, orang suka merasa senang-hati. Jadi, andaikata untuk tujuan senang itu harus berkorban, harus mengeluarkan dana, sepanjang mereka mampu dan sepanjang kesenangan itu sepadan dengan pengorbanannya, maka orang akan melakukannya. Untuk kasus seperti itu, yakni suatu hal dilahirkan, ditemukan, atau ditumbuhkan oleh suatu kelompok sosial yang bukan karena adanya pengaruh dari kelompok luar, disebut evolusi—dari kata dasar evolve dalam bahasa Inggris, yang berarti “tumbuh (secara perlahan atau organik),” secara teoretis dalam ilmu sosial disebut evolusionisme. Cara lain dari tumbuhnya suatu jenis kesenian atau kebudayaan itu adalah melalui penyebaran, yakni berasal dari suatu tempat yang kemudian menjalar. Yang demikian disebut difusi—dari kata Inggris

diffuse, yang berati “menyebar,” secara teoretis dalam ilmu sosial disebut difusionisme.

Namun demikian, masing-masing pendekatan itu melihat dari dasar sejarahnya. Dalam prosesnya, sesuatu yang tumbuh secara evolusif, bisa kemudian dipengaruhi oleh eleman baru yang datang. Misalnya, jika di suatu wilayah telah tumbuh suatu jenis kesenian, kemudian datang elemen baru, misalnya ceritera, maka mungkin saja suatu jenis teater tersebut

(3)

kemudian membawakan ceritera barunya. Karena itu, kita sebaiknya tidak melihat itu secara dikotomis, yakni kategori yang terpisah antara satu dan lainnya, melainkan kita melihat kasus-kasusnya saja.

Perubahan adalah hal yang alamiah terjadi. Semua hal berubah. Alam sendiri pun berubah. Apalagi mengenai kebudayaan, juga tentang seni tradisional termasuk adat-istiadat, perubahannya kebanyakan lebih cepat atau lebih tampak daripada perubahan alam. Sering dikatakan, bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Dengan itu, maka perubahan pun merupakan daya atau kekuatan dari suatu tradisi (kebudayaan).

Yang berbeda adalah besar kecilnya atau cepat-lambatnya perubahan, dan sebab-musababnya. Perubahan tidak integral dengan nilai baik atau buruk. Yang cepat atau pun yang lambat, bisa berarti baik ataupun buruk, bisa positif maupun negatif. Hal itu tergantung dari pandangan orang masing-masing, dan tergantung pada masanya. Misalnya, masyarakat yang “menyendiri,” seperti umpamanya Badui di Sunda, atau Kajang di Sulawesi, sejak lama bersikap kuat terhadap kepercayaan adat leluhur sehingga mereka lebih menghendaki untuk tidak berubah, untuk tetap mempertahankan adat lama. Sampai belasan tahun yang lalu, bahkan juga sampai sekarang, mereka banyak dikritik, dipandang anti kemajuan, karena tidak mau berubah. Sebaliknya sekarang, yang berpandangan seperti itu adalah masyarakat yang sejak lama tergolong yang sudah modern, maju atau “progresif.” Kini, hampir semua kelompok masyarakat merisaukan perubahan, karena dianggap telah menggeser atau merusak adat setempat.

Tradisi dan Modern: Sebuah Relasi yang Saling Melengkapi

Menjelang tahun 1960-an bisa disebutkan sebagai babak baru di dalam sejarah teater di Indonesia. Pada masa itulah mulai lahir ATNI (Akademi Teater Nasional) di Jakarta, Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film) di Yogyakarta, atau ATF (Akademi Teater dan Film) di Bandung. Seiring dengan itu pula pada paruh berikutnya mulai memunculkan kelompok-kelompok teater seperti Teater Muslim (Arifin C. Noer) dan Bengkel Teater di Yogyakarta, Teater Perintis dan Studiklub Teater Bandung (STB) di Bandung, atau Teater Populer di Jakarta.

Disebut sebagai babak baru karena pendekatan atau pun sistem produksi teater masa itu menjadi berbeda dengan kenyataan dan bentuk teater sebelumnya. Tata-cara pengorganisasian, proses kreatif, hingga gaya pemanggungannya berbeda, misalnya, dengan toonil, Dardanella, atau

(4)

pun berbagai moda sandiwara rakyat di berbagai daerah di Nusantara. Salah satu ciri pembeda yang mudah kita kenali pada babak baru teater tersebut adalah munculnya kepentingan naskah (tertulis) sebagai acuan utama bagi suatu pertunjukan. Berkenaan dengan itu, teater pun mulai menjadi bersifat analitik seperti pada praktik-praktik analisis naskah yang berkenaan dengan struktur dan unsur sastrawinya, analisis peran atau tokoh-tokoh yang ada di dalam naskah tersebut, hingga kemudian menjurus kepada analisis bagi kemungkinan pemanggungannya. Penyerta atau alat-alat untuk melakukan analisis pun menjadi mengedepan. Ilmu-ilmu lain seperti filsafat, Ilmu-ilmu jiwa, sejarah, antropologi muncul menjadi perangkat atau alat-alat lain di dalam setiap produksi teater.

Berkenaan dengan sifatnya itu pula maka adakalanya kecenderungan itu disebut teater akademik karena mungkin pendekatan-pendekatannya tadi yang cenderung akademik, atau kerap juga disebut sebagai masa belajar ke Barat sebab kecenderungan-kecenderungan itu memang menjadi ciri umum teater Barat terutama di zaman atau pada mazhab-mazhab Stanislavskian, namun istilah yang paling umum dan bahkan masih berlaku sampai sekarang adalah sebutan teater modern.

Di kemudian hari, terutama pada masa tahun 1970-an, kecenderungan itu dirasakan oleh pekerja-pekerja teaternya sendiri sebagai terlalu jauh “pergi” ke Barat. Atas kesadaran itu pula, ada semacam “gerakan” menengok ranah kebudayaan sendiri, sebagai contoh Studiklub Teater Bandung mementaskan Jayaprana yang berorientasi kepada teater Bali dan kemudian Lingkaran Kapur Putih karya Bertolt Brecht dengan gaya pedalangan teater Sunda, Bengkel Teater menggarap naskah Oedipus yang berasal dari Yunani namun dengan “wajah” kebudayaan Jawa dan bahkan dengan pengiring gamelan Jawa yang bernama Nyi Pilis, Arifin C. Noer selepas dari Teater Muslim mendirikan Teater Kecil yang kemudian menggali kembali moda-moda teater rakyat yang tumbuh dan hidup di tempat kelahirannya yaitu Cirebon, Putu Wijaya selepas dari Bengkel Teater mendirikan Teater Mandiri dan dengan kecerdasan baru mengolah kembali “kekuatan” dari ranah teater Bali atau pun teater-teater rakyat lainnya, dan seperti halnya Arifin C. Noer yang “belajar kembali” kepada bentuk teater Masres di Cirebon, perkembangan berikutnya adalah N Riantiarno yang melakukan hal sama tapi menghasilkan bentuk teaternya yang lain.

Mata-rantai dari perkembangan itu, di kemudian hari dengan cara-caranya yang lain dan bentuk teaternya yang juga serba baru muncul pada moda-moda seperti yang ditunjukkan oleh Boedi S. Otong dengan Teater SAE-nya, Dindon bersama Teater Kubur, Kelompok Payung Hitam,

(5)

Teater Garasi, Bandar Teater, serta sejumlah komunitas dan kelompok-kelompok yang bertebar di berbagai kota.

Selintas catatan dari sekelumit gambaran perkembangan teater di atas, bisa disebutkan sebagai moda-moda teater yang tumbuh di kota-kota besar terutama di pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya. Publik atau penontonnya pun adalah masyarakat kota terutama dari kalangan kampus.

Teater modern terus bergerak memperlihatkan perkembangannya. Sementara itu moda-moda teater di pelosok-pelosok yang telah berusia ratusan dan bahkan mungkin merupakan bagian dari kebudayaan ribuan tahun yang silam, terus hidup bersama masyarakat dan tradisinya masing-masing. Bentuk-bentuk teater inilah yang sering kita kenal dengan sebutan teater tradisi.

Belakangan pengertian antara tradisi dan modern itu sesungguhnya kian kabur. Seperti terurai di atas, salah satu bagian dari mata-rantai teater modern itu adalah mata-rantai akademik. Jika kita melihat sesosok Slamet Gundono, misalnya, adalah benar dirinya adalah bagian dari mata-rantai akademik yaitu lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Tapi ternyata teater yang dikembangkannya adalah wayang suket yang berasal dari kehidupan desa dan gaya pemanggungannya pun tetap bergaya desa. Wayang suket yang fenomenal itu pun menjadi tidak jelas batasnya untuk bisa disebut tradisi atau pun modern secara hitam putih. Bahkan jika “mengukur” dengan mendefinisikan bahwa seni tradisi itu adalah seni yang masyarakat pendukungnya adalah masyarakat dari tradisi tersebut, juga bisa keliru karena ternyata wayang suket gaya Slamet Gundono itu pun dipentaskan di berbagai kota besar dengan publik penonton yang amat beragam.

Namun demikian, sekadar untuk uraian teknis, maka dalam kita membicarakan teater Nusantara, tak terhindarkan untuk menggunakan istilah pembeda yaitu teater tradisi dan teater modern.

Teater tradisi, umumnya, memang lahir dari adat atau tradisi masyarakat setempat. Legenda, mitos-mitos, kepercayaan (agama), tata-krama, pola hidup (petani, peladang, atau nelayan), hingga sistem bahasa yang hidup di masyarakat adat tersebut cenderung amat melatari bentuk-bentuk keseniannya.

Berkenaan dengan itu pula, karena etnik dan suku-suku bangsa di Indonesia ini demikian banyak, maka masing-masing akan memiliki keragaman mitos, tata-krama, dan pola hidupnya masing-masing; hingga pada akhirnya masing-masing etnik yang ada itu melahirkan kesenian-keseniannya sendiri.

(6)

Gbr. 5-40: Pertunjukan Slamet Gundono wayang air, yang menggabungkan berbagai unsur tradisi dan modern, dalam Jakarta International Puppetry Festival di Jakarta 2006.

5.6 Komunikasi dan Kolaborasi

Pengaruh panggung prosenium diadopsi wayang golek modern pada tahun 1950-an. Wayang golek, mempengaruhi tari, seperti dalam tari golek menak di Yogyakarta yang memainkan dua tokoh Ardaninggar dan Kelaswara, dua tokoh yang berseteru dalam memperebutkan Wong Agung Menak (Amir Hamzah), suatu ceritera mengenai paman Nabi Muhammad SAW. Demikian juga, jika Anda melihat tari cakil gaya Jawa Surakarta, gerakannya ada yang seperti wayang kulit, menggambarkan keduadimensiannya. Pendeknya, saling tiru, saling ambil, saling pengaruhi, itu biasa dalam kehidupan kesenian, yang dianggap bukan saling merugikan melainkan saling memperkaya. Karena meniru, berusaha sama toh tidak akan bisa persis sama. Jadi, yang “sama” tetap ada bedanya, dan yang beda tetap ada samanya. Sama dan beda, mungkin tidak pernah dianggap perlu sebagai tujuan hakiki. Baik, menyenangkan, mungkin yang dianggap lebih penting untuk jadi tujuan, karena itulah yang lebih bermanfaat.

Ini tidak berarti bahwa beda tidaklah penting. Semua orang, memiliki kepentingan untuk eksistensi dirinya masing-masing, yang secara kodrati pun sudah tidak sama. Akan tetapi, seandainya perbedaan

(7)

Gbr. 5-41a,b,c,d,e: Lilian Madoor, seniman boneka dari Venezuela, mengadakan workshop dengan seniman di Bandung, membuat dan mempertunjukkan seni boneka (wayang) baru:(a) Lilian dengan boneka buatannya yang mirip wayang golek dan seterusnya. karya baru seniman boneka di Bandung yang dimainkan oleh 2 orang, dalam berbagai ekspresi. itu menjadi tujuan utama, tanpa memperhitungkan kebaikannya pada kehidupan masyarakat, maka keluarbiasaannya itu akan menjadikannya sebagai orang yang “tidak umum,” bukan yang hebat. Sebaliknya, jika seseorang melahirkan sesuatu yang tidak pernah bisa dilakukan oleh orang lain, maka keluarbiasaannya itu akan dianggap sebagai “orang hebat,” maestro, dan sebagainya.

(8)

Dalam seni tradisional, keumuman itu lebih kuat ketimbang ketidakumuman. Namun kesenian tradisional pun berubah dalam wilayahnya masing-masing. Walaupun tidak dikatakan wayang perkembangan, namun sesungguhnya berbeda dari yang lama. Ki Nartosabdo di Semarang, memunculkan gaya main yang baru, yang pada waktu itu banyak dicela oleh para penonton yang “konvensional” tapi kemudian setelah diterima oleh banyak orang, dianggap sebagai wayang tradisional. Demikian juga tokoh yang kini sangat terkenal seperti Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Sudarsono, cara mainnya, memanipulasi wayangnya, berbeda dengan cara 30-an tahun yang lalu. Di Sunda, dalang wayang golek ternama Asep Sunandar Sunarya, yang pada awalnya mendapat kritikan seperti halnya Ki Nartosabdo, kini diterima masyarakat umum sebagai wayang golek tradisional.

Jika di Sunda pada tahun 1950-an lahir wayang modern, yang selain setting panggungnya direka seperti sandiwara, juga dalang yang memainkannya lebih dari satu orang. Di Jawa lahir wayang yang disebut

pakeliran padat, wayang sandosa, wayang ukur, wayang suket, dan lain-lain.

Di Bali ada yang baru saja mucul ada yang disebut wayang listrik. Gbr. 5-42a,b,c: Wayang listrik, Wayang Sandosa

Referensi

Dokumen terkait

Namun, dengan adanya hambatan yang pernah dialami pegawai ketika menyimpan arsip, BKBPMP Kabupaten Serang melakukan upaya menyediakan sarana prasarana yang memadai

Untuk mempertahankan keunggulan kompetitif kentang di Pangalengan, beberapa intervensi dari pemerintah harus dilakukan terhadap input usahatani berupa benih, seperti memberi

Kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman hanya terdiri dari rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana saja sehingga tidak tercipta secara serasi kehidupan

(Azmiyawati dkk, 2010) menyatakan bahwasannya Matahari adalah sumber energi panas terbesar bagi kehidupan di bumi, matahari termasuk sumber energi panas dan cahaya dan termasuk

Kondisi lingkungan mangrove yang terdapat di lokasi penelitian ini yaitu TSDR (Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp.), TSDA (Tambak silvofishery dominan

Secara mekanika, material kayu ini memiliki massa yang relatif ringan sehingga memperkecil beban yang diterima oleh tiang penyangga, memiliki nilai inersia yang rendah, mudah

Dari pengertian tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam belajar yaitu: 1 proses, 2 perubahan perilaku, dan 3 pengalaman.8 Untuk itu, perlu dilakukan penelitian tentang

Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan dari faktor marketing mix, kelompok acuan, demografi dan sosio ekonomi terhadap perilaku konsumen dalam mengambil