• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: profil pemecahan masalah, matematika kontekstual (PISA), gaya kognitif, field dependence (FD), field independence (FI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: profil pemecahan masalah, matematika kontekstual (PISA), gaya kognitif, field dependence (FD), field independence (FI)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PEMECAHAN MASALAH (PISA) SISWA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENCE DAN FIELD

INDEPENDENCE

Imam Zubaidi

Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP Al Hikmah Surabaya Imamzubaidi1996@gmail.com

Anisa Fatwa Sari anisa.fatwasari@gmail.com

Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP Al Hikmah Surabaya Abstrak

Kemampuan pemecahan masalah merupakan hal yang penting dalam pembelajaran terutama yang terkait dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual). Siswa yang terampil dalam pemecahan masalah sehari-hari akan terampil juga dalam menghadapi kebutuhan hidupnya. Aktivitas pemecahan masalah dipengaruhi oleh gaya kognitif. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pemecahan masalah siswa bergaya kognitif field dependence (FD) dan field independence (FI) dalam menyelesaiakan masalah matematika kontekstual (PISA). Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa langkah-langkah pemecahan masalah matematika kontekstual (PISA) siswa bergaya kognitif field independence (FI) meliputi memahami masalah, menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa kembali. Sedangkan langkah-langkah pemecahan masalah matematika kontekstual (PISA) siswa bergaya kognitif field dependence (FD) meliputi memahami masalah, melaksanakan penyelesaian dan memeriksa kembali, tanpa melalui langkah menyusun rencana penyelesaian.

Kata kunci: profil pemecahan masalah, matematika kontekstual

(PISA), gaya kognitif, field dependence (FD), field independence (FI)

Abstract

Problem-solving ability is important in learning, particularly related to everyday life (contextual). Students who are skilled in solving everyday problems will be skilful in dealing with their needs. Problem-solving activities are influenced by cognitive style. This study aimed to describe the students' problem solving cognitive style field dependence (FD) and field independence (FI) in resolving a problem math contextual (PISA). This research is descriptive research by using qualitative approach. Results from the study showed that measures mathematical problem solving contextual (PISA) student cognitive style field independence (FI)

(2)

40

includes understanding the problems, plan solutions, implement the settlement plan and recheck. While the steps of mathematical problem solving contextual (PISA) student cognitive style field dependence (FD) involves understanding the problem, implement the settlement and checked back in, without going through step settlement plan.

Keywords: problem solving profile, mathematic contextually (PISA), cognitive style, field dependency (FD), the independence of courts (FI)

.

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tentunya tidak pernah terlepas dari berbagai masalah yang ada baik masalah internal maupun eksternal.Setiap masalah pasti membutuhkan solusi penyelesaian baik yang mencakup secara luas maupun sempit. Permasalahan sehari-hari yang paling sederhana adalah pada mata pelajaran matematika. Matematika sebagai salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam upaya meningkatkan pengetahuan sains dan teknologi. Hal ini juga menjadikan seseorang mampu bertahan dalam era globalisasi dan berteknologi maju.

Menurut Zaif, dkk (2013:120) banyak fakta di lapangan yang masih menunjukkan bahwa pembelajaran matematika hanya terlihat sebagai suatu kegiatan yang monoton dan prosedural, yaitu guru menerangkan materi, memberi contoh, menugaskan siswa untuk mengerjakan latihan soal, mengecek jawaban siswa secara sepintas, selanjutnya membahas pemecahan soal yang kemudian dicontoh oleh siswa. Aspek esensial dari pembelajaran, yaitu proses berpikir siswa,

seolah-olah diabaikan. Dampak dari kondisi ini mengakibatkan banyak siswa yang tidak dapat memahami konsep-konsep matematika dengan baik sehingga cenderung memperoleh hasil belajar matematika yang kurang memuaskan, dan indikasi dari hal ini terlihat jelas pada hasil ujian nasional untuk mata pelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran di depan kelas tidak cukup hanyamembekali peserta didik dengan berbagai pengetahuan tentang matematika, tetapi lebih dari itu diperlukan upaya nyata yang dilaksanakan secara intensif untuk menumbuhkembangkan kemampuan berfikir siswa, diantaranya adalah pemecahan masalah.Seorang pemecah masalah yang baik tentunya tidak terlepas dari kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis yang dimilikinya dan sikap pantang menyerah dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Berdasarkan permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi yaitu siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.Hal ini berarti

(3)

terdapat indikasi bahwa dalam pembelajaran matematika perlu adanya perhatian terhadap konteks masalah yang dipergunakan.Ketika siswa memecahkan masalah, siswa mencari solusi yang tepat dari masalah tersebut dengan caranya sendiri (Ali, 2010; Caballero, Blanco & Guerrero, 2011).

Menurut Suherman (2003:95) Mengungkapkan bahwa pemecahan masalah harus dikembangkan untuk situasi yang bersifat alamiah bertemakan kejadian di kehidupan sehari-hari anak atau yang diperkirakan dapat menarik perhatian anak. Dengan demikian, pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika hendaknya menggunakan masalah yang bersifat nyata atau dekat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan hal tersebut yang biasa kita sebut dengan masalah konstektual. Masalah konstektual sendiri dapat diartikan sebagai suatu permasalahan matematika yang berkaitan dengan lingkungan sekitar siswa baik nyata ataupun tidak, namun dapat dibayangkan oleh siswa. Pada masalah kontekstual sendiri dapat beraneka ragam, misalnya berupa PISA.

Langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya (1973) ada empat, antara lain: (1) Memahami soal, yaitu meminta siswa untuk mengulangi pertanyaan dan siswaharus mampu menyatakan pertanyaan dengan fasih, menjelaskan bagian terpenting daripertanyaan tersebut meliputi: apa yang ditanyakan, apa sajakah data yang diketahui, danbagaimana syaratnya; (2)Merencanakan penyelesaian, yaitu siswa mencoba mencarihubungan antara

hal-hal yang diketahui dengan hal-hal yang ditanyakan. Soal yangpernah diselesaikan, konsep dan prinsip yang sudah pernah dimiliki sangat besarmanfaatnya dalam menentukan hubungan yang terjadi antara yang diketahui denganyang ditanyakan. Dengan hubungan tersebut, maka disusunlah hal-hal yang akandilakukan untuk menyelesaikan soal tersebut; (3) Menyelesaikan soal sesuai rencana,yaitu siswa menyelesaikan soal sesuai dengan rencana, siswa harus yakin bahwa setiap langkah harus benar; (4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh, yaitu denganmemeriksa kembali hasil yang diperolah dapat menguatkan pengetahuan danmengembangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal, siswa harus mempunyaialasan yang tepat dan yakin jawabannya benar dan kesalahan akan mungkin terjadisehingga pemeriksaan kembali perlu dilakukan. Hal inilah yang digunakan peneliti sebagai indikator pemecahan masalah pada penelitian ini.

Dalam proses pemecahan masalah, setiap individu memiliki perbedaan proses tersendiri dengan individu lain. Suharnan (2005:280-281) perbedaan karakteristik tersebut dapat meliputi perbedaan cara menerima, mengorganisasikan, dan mengolah suatu informasi yang diterimanya yang lebih dikenal dengan istilah gaya kognitif. Terdapat banyak dimensi dari gaya kognitif yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat membedakan individu. Dimensi yang paling penting adalah field independence dan field dependence (Salameh, 2011: 189).

(4)

42 Menurut Slameto (1995) dan Ardana (2002) bahwa siswa yang bergaya kognitif field dependence cenderung memilih belajar dalam kelompok dan sesering mungkin berinteraksi dengan guru, memerlukan sebuah penguatan yang bersifat eksteinsik, sehingga mereka akan bekerja kalau ada tuntunan dari guru dan mendapat motivasi yang tinggi berupa pujian dan dorongan. Sedangkan siswa yang bergaya kognitif field

independencecenderung untuk lebih

memilih belajar individual,

memungkinkan merespon sesuatu lebih baik, dan lebih independen, sehingga lebih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengn motivasi intrinsik, dan cenderung bekerja untuk memenuhi tujuannya sendiri.Siswa yang memiliki gaya kognitif FD cenderung melihat pola secara keseluruhan dan mengalami kesulitan dalam memisahkan aspek-aspek tertentu suatu situasi atau pola, sedangkan siswa yang memiliki gaya kognitif FI lebih dapat melihat bagian-bagian yang membentuk suatu pola yang besar (Fajari, Kusmayadi, & Iswahyudi, 2013).

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena menggunakan data kualitatif yang dideskripsikan untuk menghasilkan gambaran terperinci mengenai pemecahan masalah yang digunakan siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika kontekstual PISA. Deskripsi hasil pemecahan masalah siswa juga ditinjau berdasarkan gaya kognitif field dependence dan field independence.

Dalam peninjauan hasil pemecahan masalah siswa yang didasarkan pada gaya kognitif field dependence dan field independence sehingga digunakan lembar tes GEFT yang telah dikembangkan oleh (Witkin, et.al. 1977) dan telah teruji validitas dan realibilitasnya. Kriteria dalam memilih subjek penelitian yaitu (1) siswa field dependence diambil dari siswa yang mengerjakan lembar tes GEFT dengan skor benarnya kurang dari setengah jumlah dari soal yang tersedia atau paling banyak salah dalam menjawab seluruh butir soal, sedangkan siswa field independence diambil dari siswa yang mengerjakan lembar tes GEFT dengan skor benarnya melebihi setengah jumlah dari soal yang tersedia atau paling banyak benar dalam menjawab seluruh butir soal, (2) siswa yang dipilih mampu berkomunikasi dengan baik saat mengemukakan jawaban atau pendapat secara lisan maupun tertulis berdasarkan wawancara dengan peneliti.

Pada penelitian ini siswa diberi tes sebanyak 25 soal berupa gambar yang terbagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama berisi 7 soal, bagian kedua berisi 9 soal, dan bagian ketiga berisi 9 soal. Agar subjek dapat lebih memahami cara menjawab tes GEFT tersebut, maka subjek harus masuk atau melangkah terlebih dahulu ada bagian pertama yang diberikan. Pada bagian pertama skor tidak diperhitungkan karena bagian pertama hanya sebagai latihan saja bagi subjek. Perhitungan skor dimulai dari bagian kedua dan ketiga, sehingga hanya terdiri dari 18 soal yang dianalisis. Waktu yang disediakan untuk menyelesaikan tes GEFT bagian pertama adalah 5 menit. Sedangkan pada bagian kedua dan ketiga

(5)

adalah 10 menit karena merupakan tes sesungguhnya. Penilaian dilakukan dengan memberikan poin 1 pada jawaban yang benar sehingga poin maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 18.

Dalam mengelompokkan ke salah satu gaya kognitif field dependence dan field independence, dilihat dari banyak tidaknya jawaban benar yang mereka peroleh. Jawaban siswa dikatakan sedikit benarnya apabila ≤ 9 soal atau 𝑓(𝑓𝑎𝑙𝑠𝑒) ≥ 9 soal sehingga jawaban dikatakan banyak benarnya apabila ≥ 9 soal atau 𝑓(𝑓𝑎𝑙𝑠𝑒) ≤ 9. Dengan kata lain semakin tinggi poin subjek hingga mendekati poin maksimal yakni 18 maka subjek tersebut tergolong dalam gaya kognitif field independence (FI), sedangkan semakin rendah poin subjek hingga mendekati poin minimal yakni 0 maka subjek tersebut tergolong dalam gaya kognitif field dependence (FD).

Subjek yang terpilih diberi soal matematika kontekstual berupa PISA

kemudian diwawancarai untuk

memverifikasi data hasil tes penyelesaian soal PISA dan mendapat informasi lebih jelas mengenai profil pemecahan masalah tiap gaya kognitif dengan acuan pemecahan masalah berdasar Polya. Pengujian kredibilitas data dilakukan dengan triangulasi orang sehingga data dikatakan valid apabila banyak kesamaan data pada subjek yang berbeda-beda dalam aktivitas yang sama. Sedangkan analisis data dalam penelitian ini meliputi: mereduksi, menyajikan dalam bentuk deskriptif, dan menarik kesimpulan profil pemecahan masalah siswa dalam

menyelesaikan masalah matematika kontekstual PISA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun ajaran 2016/2017 di MA Ittaqu Surabaya. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel 10 siswa kelas X tanpa memperhatikan gender yang selanjutnya diberikan lembar tes GEFT untuk mengklasifikasikan siswa tersebut dalam gaya kognitif field dependence dan field

independence.Hasil tes menunjukkan

bahwa dari 10 siswa terdapat 7 siswa bergaya kognitif field dependence dan 3 siswa bergaya kognitif field independence. Setelah peneliti mengetahui pembagian gaya kognitif berdasar data hasil tes GEFT, kemudian mengambil perwakilan sebanyak 3 subjek untuk masing-masing gaya kognitif. Subjek FI adalah DT, RA, dan EP, sedangkan subjek untuk FD adalah DR, HK, dan SF. Selanjutnya memberikan lembar permasalahan matematika kontekstual PISA pada masing-masing kelompok gaya kognitif. Soal PISA terdiri dari 2 soal. Setelah subjek mengerjakan soal tersebut kemudian subjek diwawancarai secara tertulis terlebih dahulu yang selanjutnya diperkuat dengan wawancara secara lisan. Hasil pekerjaan setiap subjek pada kelompok gaya kognitif satu dengan lainnya hampir memiliki

(6)

44 jawaban yang sama, akan tetapi yang membedakannya adalah langkah-langkah yang ditempuh masing-masing subjek dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Berikut Gambar Hasil Pekerjaan Masing-Masing Subjek Penelitian FD

Gambar 1. Hasil pekerjaan subjek SF

Subjek SF memberikan jawaban untuk soal PISA 1 yaitu 7 mobil yang dapat dibuat oleh Pak Agus dengan memperhitungkan bahan yang ada, dan untuk soal PISA 2 subjek memberikan jawaban yakni 9 m tinggi tower ketiga.

Gambar 2. Hasil pekerjaan subjek HK

Subjek HK memberikan jawaban untuk soal PISA 1 yaitu 7 mobil yang dapat dibuat oleh Pak Agus dengan

memperhitngkan bahan yang ada dan mendapatkan sisa salah satu bahan, dan untuk soal PISA 2 subjek memberikan jawaban yakni 9 m tinggi tower ketiga.

Gambar 3. Hasil pekerjaan subjek DR

Subjek DR memberikan jawaban untuk soal PISA 1 yaitu 7 mobil yang dapat dibuat oleh Pak Agus dengan memperhitungkan bahan yang ada dan mendapat sisa tiap masing-masing bahan, dan untuk soal PISA 2 subjek memberikan jawaban yakni 9 m tinggi tower ketiga.

Berdasarkan hasil transkrip wawancara yang lebih detail terhadap subjek, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa poin terkait proses penyelesaian masalah subjek FD terhadap permasalahan matematika kontekstual (PISA). Hasil aktivitas pemecahan masalah subjek FD

(7)

dalam menyelesaikan soal PISA terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Aktivitas Pemecahan Masalah Subjek Field Dependence (FD)

Berdasarkan tabel di atas, subjek dengan gaya kognitif field dependence (FD) yakni DR cenderung melakukan aktivitas pemecahan masalah sesuai dengan indikator pemecahan masalah Polya dalam menyelesaikan soal PISA tersebut. Akan tetapi dua subjek lainnya yakni HK dan SF cenderung melakukan aktivitas tidak sesuai dengan indikator pemecahan masalah Polya. Keduanya memiliki kecenderungan yang sama dalam hal perencanaan yakni melewati tahapan tersebut dan juga dalam hal mengevaluasi hasil pekerjaan. Sehingga apabila ditarik kesimpulan maka subjek yang bergaya kognitif field dependence (FD) dalam menyelesaikan soal PISA tersebut

cenderung dalam memahami

permasalahandan melaksanakan

penyelesaian masalah, tanpa membuat rencana penyelesaian masalah dan mengevaluasi hasil. Sehingga tahapan-tahapan yang dilalui belum sesuai dengan indikator atau acuan yang digunakan yakni tahapan pemecahan masalah Polya.

Pada soal generalize/specialize, subjek FD mampu mengungkapkan pengetahuan apa saja yang dapat digunakan untuk menjawab masalah, mampu menghubungkan

informasi-informasi yang telah diketahui dalam soal untuk memperoleh hal-hal yang ditanyakan, dapat mencari

langkah-Aktivitas Pemecahan

Masalah

Indikator yang Terpenuhi

Subjek DR Subjek HK Subjek SF

Memahami Masalah Menuliska n yang diketahui dengan bahasa sendiri berupa deskriptif dan menentuka n maksud atau tujuan secara luas to the point Menuliskan yang diketahui dengan bahasa sendiri secara poin-poin saja dan menentuka n maksud atau tujuan secara jelas seperti dalam soal Menuliskan yang diketahui dengan bahasa sendiri berupa deskriptif dan menentukan maksud atau tujuan, akan tetapi hanya soal ke-1 sedangkan soal ke-2 kurang begitu memahami Membuat Rencana Penyelesaia n Masalah Memikirka n dan menuliskan langkah-langkah yang sesuai secara jelas dan tepat - - Melaksanak an Rencana Penyelesaia n Masalah Mengerjak an soal dengan mengacu pada rencana yang telah ditentukan tanpa melewatka n satu langkah pun Mengerjaka n soal dengan langsung membuat penyelesaia n tanpa menyusun rencana penyelesaia n Langsung mengerjakan soal hingga ketemu penyelesaian nya Mengevalua si Hasil Tindakan Mengecek kembali hasil pekerjaan dengan melihat secara keseluruha n - -

(8)

46 langkah yang sesuai yang akan digunakan untuk menjawab masalah yang dihadapi.Subjek FD mudah terpengaruh oleh manipulasi unsur pengecoh pada konteks aslinya karena memandang secara global. Hal ini sesuai dengan karekteristik Subjek FD, yaitu mudah terpengaruh unsur pengecoh pada konteks aslinya, karena memandang secara global. Hal ini senada dengan (Witkin, et.al.,1977) yang menyatakan bahwa individu FD cenderung sulit untuk menentukan bagian sederhana dari konteks aslinya atau mudah terpengaruh oleh manipulasi unsur-unsur pengecoh karenamemandang secara global.

Berikut Gambar Hasil Pekerjaan Masing-Masing Subjek Penelitian FI

Gambar 4. Hasil pekerjaan subjek DT

Subjek DT memberikan jawaban untuk soal PISA 1 yaitu 7 mobil yang dapat

dibuat oleh Pak Agus dengan memperhitungkan bahan yang ada, dan untuk soal PISA 2 subjek memberikan jawaban yakni 9 m tinggi tower ketiga.

Gambar 5. Hasil pekerjaan subjek EP

Subjek EP belum begitu jelas memberikan jawaban untuk soal PISA 1 begitupun untuk soal PISA 2 akan tetapi subjek telah menghitung tiap penyelesaian soal PISA.

(9)

Gambar 6. Hasil pekerjaan subjek RA

Subjek RA memberikan jawaban untuk soal PISA 1 yaitu 7 mobil yang dapat dibuat oleh Pak Agus dengan memperhitungkan bahan yang ada secara tepat, dan untuk soal PISA 2 subjek memberikan jawaban yakni 9 m tinggi tower ketiga dengan perhitungan tiap-tiap tower.

Berdasarkan hasil transkrip wawancara yang lebih detail terhadap subjek, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa poin terkait proses penyelesaian masalah subjek FI terhadap permasalahan matematika kontekstual (PISA). Hasil aktivitas pemecahan masalah subjek FI dalam menyelesaikan soal PISA terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Aktivitas Pemecahan Masalah Subjek Field Independence (FI)

Aktivitas Pemecahan

Masalah

Indikator yang Terpenuhi

Subjek DT Subjek RA Subjek EP

Memahami Masalah Menuliskan yang diketahui dengan bahasa sendiri dalam bentuk deskriptifda n menentukan maksud pula secara jelas serta runtut Menuliskan yang diketahui dengan bahasa sendiri secara deskriptif dengan detail dan menentukan maksud atau tujuan secara jelas serta spesifik Menuliskan yang diketahui dengan bahasa sendiri berupa poin-poin saja tanpa menentukan maksud maupun tujuan Membuat Rencana Penyelesaian Masalah Menuliskan langkah-langkah yang sesuai secara jelas Menuliskan langkah-langkah yang sesuai secara jelas dan tepat - Melaksanaka n Rencana Penyelesaian Masalah Mengerjaka n soal berdasarkan rencana yang telah dibuat dengan runtut Mengerjaka n soal dengan mengacu pada rencana yang dibuat Mengerjaka n soal secara langsung tanpa rencana Mengevaluas i Hasil Tindakan Mengecek kembali hasil pekerjaan dengan melihat secara keseluruhan Mengecek kembali hasil pekerjaan dengan melihat sekilas secara keseluruhan tanpa meniliti secara detail -

Berdasarkan tabel di atas, subjek

dengan gaya kognitif field

independence(FI) yakni DT dan RA melakukan aktivitas pemecahan masalah sesuai dengan indikator pemecahan masalah Polya dalam menyelesaikan soal PISA tersebut. Sedangkan EP melakukan aktivitas yang sedikit berlawanan dengan DT dan RA. EP cenderung melewatkan tahapan dalam merencanakan penyelesaian dan mengevaluasi kembali hasil pekerjaan. Apabila ketiga subjek dibandingkan, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa subjek dengan gaya kognitif field independence (FI) cenderung dalam memahami permasalahan, membuat rencana penyelesaian masalah, melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan melihat

(10)

48 kembali. Sehingga tahapan-tahapan yang dilalui sesuai dengan indikator atau acuan yang digunakan yakni tahapan pemecahan masalah Polya.

Pada tahapan memahami masalah, subjek FI menyatakan bahwa yang ditanyakan dari soal adalah banyak mobil dan ketinggian, yaitu jumlah bahan yang tersedia lalu menyesuaikan dalam pembuatan mobil sehingga ditemukan jumalah mobil yang dapat dibuat dan mencari tinggi tiap bangun datar yang menjadi komponen dalam menara ketiga sehingga menara ketiga dapat dicari ketinggiannya. Sedangkan subjek FD mengatakan bahwa yang ditanyakan dari soal adalah banyak mobil yang dapat dibuat dengan bahan-bahan yang ada dan tinggi tower ketiga yang tersusun dari segi empat dan segi enam. Perbedaan jawaban ini mengindikasikan adanya perbedaan dalam mengolah informasi. Dari jawaban kedua subjek tersebut, terlihat bahwa subjek FI memberikan jawaban yang lebih jelas dibandingkan subjek FD sehingga hal ini mengindikasikan bahwa subjek FI lebih baik dalam mengolah informasi dibandingkan subjek FD. Perbedaan yang diperlihatkan kedua subjek sejalan dengan pendapat Riding & Cheema (Guisande et al, 2007) yang menyatakan bahwa individu

yang memiliki gaya kognitif Field Independence (FI) tidak terlalu sulit dalam memisahkan informasi yang esensial dari konteksnya dan lebih selektif dalam menyerap informasi yang diterima. Sebaliknya individu yang memiliki gaya kognitif Field Dependence (FD) cenderung sulit untuk memisahkan suatu informasi yang diterima dari hal-hal konteks disekitarnya dan tidak selektif dalam menyerap informasi.

Pada langkah melaksanakan rencana penyelesaian, subjek FI mampu

menggunakan langkah-langkah

pemecahan masalah yang telah direncanakan dengan benar dan dapat memperoleh ketepatan jawaban yang benar. Hal ini senada dengan Hassan (2002) yang menyatakan bahwa cara berpikir individu FI menunjang penampilan yang lebih tinggi dalam pemecahan masalah matematika dibandingkan individu FD.

SIMPULAN

Berdasarkan tujuan penelitian serta deskripsi dan analisis hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti mengenai pemecahan masalah siswa dalam menyelesaikan masalah matematika kontekstual PISA, maka dapat disimpulkan beberapa hal, diantaranya: (1) siswa

(11)

bergaya kognitif field dependence melakukan aktivitas langkah pemecahan

masalah meliputi memahami

permasalahan, melaksanakan penyelesaian masalah, dan melihat kembali. Akan tetapi tidak melakukan tindakan perencanaan dalam menyelesaikan masalah sehingga bberdasarkan pemecahan masalah Polya tidak memenuhi atau dapat dikatakan lemah. (2) siswa bergaya kognitif field independencemelakukan aktivitas langkah pemecahan masalah meliputi memahami permasalahan, membuat rencana penyelesaian masalah, melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan melihat kembali. Sehingga berdasar pada Polya maka kekuatan hasil pengerjaan siswa tersebut lebih kuat akurasinya.

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti dapat menyarankan kepada guru dalampembelajaran matematika untuk siswa yang bergaya kognitif field dependence hendaknya diberiperhatian khusus dengan sering menunjukkan langkah-langkahpenyelesaian soal serta mengarahkan agar tidak terfokus mengenai rumus-rumus yang telah diberikan oleh guru dalam menyelesaikan soalsehingga dapat melakukan aktivitas pemecahan masalah yang meliputi memahami masalah, membuat rencana penyelesaian,

melaksanakan rencana penyelesaian, dan mengevaluasi hasil tindakan sesuai denganindikator pada masing-masing aktivitas pemecahan masalah Polya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, R. 2010. Effect of Using Problem Solving Method in Teaching Mathematics on the Achievement of Mathematics Students.Asian Social Science.Vol. 6.No. 2.

Caballero, A., Blanco, L. J., & Guerrero, E. 2011.Problem Solving and Emotional Education in Initial

Primary Teacher

Education.Eurasia Journal of

Mathematics, Science &

Technology Education.7(4), 281-292.

Fajari, A.F.N., Kusmayatadi, T.A., & Iswahyudi, G. 2013. Profil Poses Berpikir Kritis Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika Kontekstual Ditinjau Dari Gaya

Kognitif Field

Dependent-Independent Dan Gender. Dalam http://download.portalgaruda.org/a rticle.php?article=129595&val=40 39 Diakses pada 27 Oktober 2016. Guisande, Adeline. M. et al. 2007. Field

Dependence-Independence (FDI) Cognitive Style: An Analysis of Attentional Functioning. Psichothema 2007. Vol.19. hal 572-577.www.psycothema.com diakses 25 Oktober 2016.

Hassan, A. 2002.Students’ Cognitive Style and Mathematics Word Problem Solving.Journal of the Korea Society of Mathematical Education Series.Research in Mathematical

(12)

50

Education. Vol. 6, No. 2,

September 2002, 171–182.

Jazuli dan Khabibah. 2015. Profil Pemecahan Masalah Matematika Kontekstual Siswa SMP Ditinjau dari Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif. Artikel, dipublikasikan. Dalam

http://ejournal.unesa.ac.id/index.p hp/mathedunesa/article/view/1299 0. Vol 1 Nomor 4 2015. Diakses pada 21 oktober 2016.

Ngilawajan, D. A. 2013. Proses Berpikir Siswa Sma Dalam Memecahkan Masalah Matematika Materi Turunan Ditinjau Dari Gaya Kognitif Field Independent Dan Field Dependent. Pedagogia. Vol. 2, No. 1, Februari 2013: halaman 71-83.

Permendiknas. 2006. Tentang Standart Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar

dan Menengah. Dalam

http://sdm.data.kemdikbud.go.id/S NP/dokumen/Permendiknas%20N o%2022%20Tahun%202006.pdf. Diakses pada 18 Oktober 2016. Salameh, E. M. 2011. A Study of Al

Balqa’ Applied University Students Cognitive Style. International Education Studies. Vol. 4, No. 3, pp 189-193.

Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif.

Surabaya: Srikandi

Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi

Pembelajaran Matematika

Kontemporer, rev.ed., Bandung : JICA

Vendiagrys, L. dkk. 2015. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Soal Setipe Timss Berdasarkan Gaya Kognitif Siswa Pada Pembelajaran Model Problem Based Learning. Jurnal Ilmu Pendidikan UJMER 4 (1) 2015. Witkin, H. A., Moore, C. A., Goodenough,

D. R., & Cox, P. W., 1977.Field-Dependent and Field-Independent Cognitive Style and Their Educational Implications.Review of educatioanl Reaserch Vol. 47 No. 1.Pp. 1 - 64.

Zaif, A., Sunardi., Diah, N., 2013.

Penerapan Pembelajaran

Pemecahan Masalah Model Polya Untuk Menyelesaikan Soal-Soal Pemecahan Masalah Pada Siswa Kelas IX I SMP Negeri 1 Jember Semester Ganjil Tahun Ajaran 2012/2013. Pancaran, Vol. 2, No. 1, hal 119-132, Februari 2013.

Gambar

Gambar 2. Hasil pekerjaan subjek HK
Tabel 1. Aktivitas Pemecahan Masalah  Subjek Field Dependence (FD)
Gambar 5. Hasil pekerjaan subjek EP
Tabel  2.  Aktivitas  Pemecahan  Masalah  Subjek Field Independence (FI)

Referensi

Dokumen terkait

tolak ukur dari pada efektifitas penegakan hukum 17. Menurut Sugeng Riono, Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, bahwa pelaksanaan tugas hakim wasmat selama ini masih

Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat

Dengan semakin meningkatnya Teknologi pada era globalisasi yang lebih dikenal dengan zaman industrialisasi, komputerisasi bahkan sudah sampai pada zaman

politik, dan ideologi ekonomi; (2) bentuk ritual paruman barong di Pura Luhur Natar Sari adalah rangkaian upacara nangiang tapakan Ida Bhatara Sakti, pangunyan

Dari pembahasan pada bab yang terdahulu telah ditunjukkan bahwa analisis transmisi neutron oleh perajang dengan celah yang ber- bentuk cerutu menjadi sangat sederhana bila

Sebagai seorang filsof sejarah, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa pertautan sejarah pada filsafat mengantarkannya pada pengertian yang sederhana bahwa filsafat sejarah adalah

melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisi antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan bea lelang merupakan uang kelebihan yang menjadi

Dengan hormat kami sampaikan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga yang berperan untuk meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan formal