KAJIAN ETNOMATEMATIKA PADA TARI SRIMPI PANDHÈLORI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Disusun oleh: Irena Widya Pramestika
161414009
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
KAJIAN ETNOMATEMATIKA PADA TARI SRIMPI PANDHÈLORI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Disusun oleh: Irena Widya Pramestika
161414009
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini dengan penuh rasa syukur kepada:
Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu menyertai dan mendampingi
Bapak Sakidjo dan Ibu Anna sebagai orangtua, penyemangat, dan motivasiku
Mas Hendra & Mas Rio sebagai kakak yang selalu memberi dukungan
Thomas Iskandar Kurniawan sebagai sahabat suka-duka
Clara, Sandra, Monic, Ester, Dini, Ika sebagai sahabat seperjuangan
Teman-teman Kelas A Pend. Matematika
v MOTTO
Serahkanlah Perbuatanmu Kepada Tuhan,
Maka Terlaksanalah Segala Rencanamu. (Amsal 16:3)
Allah Tuhanku itu Kekuatanku:
Ia Membuat Kakiku Seperti Kaki Rusa, Ia Membiarkan Aku Berjejak di bukit-bukitku.
viii ABSTRAK
Irena Widya Pramestika. 2020. Kajian Etnomatematika pada Tari Srimpi Pandhèlori. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Etnomatematika merupakan kajian tentang hubungan budaya dan matematika. Peneliti mengkaji tentang etnomatematika pada tari Srimpi Pandhèlori. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah 1) Mendeskripsikan aspek-aspek filosofis pada tari Srimpi Pandhèlori, 2) Mendeskripsikan aktivitas fundamental matematis menurut Bishop pada tari Srimpi Pandhèlori, dan 3) Menyusun permasalahan kontekstual matematika pada tari Srimpi Pandhèlori.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Objek dalam penelitian ini adalah aspek filosofi, aktivitas fundamental matematis menurut Bishop, dan permasalahan kontekstual matematika pada tari Srimpi Pandhèlori. Subjek dalam penelitian adalah pelatih tari Srimpi di Yayasan Siswa Among Beksa. Peneliti melakukan wawancara, observasi, dan mengumpulkan dokumentasi untuk memperoleh data. Teknik analisis yang digunakan adalah reduksi data, kategorisasi, sintesisasi, dan penyusunan hipotesis kerja (kesimpulan).
Hasil dari penelitian ini adalah 1) Adanya filosofi pada gerakan, pakaian, dan aksesoris. Empat penari dalam tarian tersebut bermakna sebagai elemen kehidupan manusia yaitu api (gromo), udara (hangin), air (toya), dan tanah (bumi). Ada filosofi pada gerakan, seperti gerakan nglayang yang berarti sikap rendah hati. Filosofi pada jenis pakaian dan aksesoris adalah sikap tidak iri hati dan lebih unggul dari yang lain. 2) Ada enam aktivitas fundamental matematis menurut Bishop yaitu counting, locating, measuring, designing, playing, explaining yang terlihat dari gerakan, pola lantai, pakaian, dan aksesoris. 3) Ada 19 aspek matematis pada tari Srimpi Pandhèlori yaitu bilangan; logika; pola bilangan; relasi; himpunan; aritmetika sosial; kedudukan titik dan garis; trigonometri; jarak titik dan garis; kesebangunan; luas bangun datar; konversi satuan; garis dan sudut; bangun datar; transformasi geometri; aljabar; peluang; pemodelan matematika; penyajian data dan statistika. Aspek-aspek matematis yang ditemukan digunakan untuk membuat permasalahan kontekstual matematika dalam bentuk soal cerita yaitu 6 soal untuk jenjang SD, 24 soal untuk jenjang SMP, dan 11 soal untuk jenjang SMA.
Kata kunci: Etnomatematika, Tari Srimpi Pandhèlori, Aktivitas Fundamental Matematis menurut Bishop
ix ABSTRACT
Irena Widya Pramestika. 2020. Ethnomathematics Study on Srimpi Pandhèlori Dance. Undergraduated Thesis. Mathematic Study Program, Department of Mathematics and Sciences Education, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University Yogyakarta.
Ethnomathematics is a study about cultural and mathematics relationship. The researcher examines about ethnomathematics of Srimpi Padhelori dance. Therefore, the aims of this research were: 1) to describe the philosophical aspects in the Srimpi Pandhèlori dance, 2) to describe the mathematical fundamental activities in the Srimpi Pandhèlori dance, and 3) to make contextual mathematical problems in the Srimpi Pandhèlori dance.
This research is a qualitative descriptive research. The objects are philosophical aspects, mathematical fundamental activities, and contextual mathematical problems in the Srimpi Pandhèlori dance. The subject is the Srimpi dance trainer at the Yayasan Siswa Among Beksa. The researcher conducted interviews, observations, and collect documentations to obtain data. The analytical techniques used are data reduction, categorization, synthetization, and hypothesis drafting (conclusion).
The results of this research are 1) The philosophy of movements, clothes, and accessories. The philosophy of four dancers in this dance is four elements of humans namely fire (gromo), air (hangin), water (toya), and soil (bumi). There are philosophies in the movements, for example nglayang movement means humble. The philosophy of clothes and accessories is not envy and more superior from others. 2) There are six mathematical fundamental activities according to Bishop are counting, locating, measuring, designing, playing, and explaining that can be seen from movements, floor patterns, clothes, and accessories. 3) The researcher found 19 mathematic aspects of Srimpi Pandhèlori dance are numbers; logic; patterns of numbers; relations; sets; social arithmetic; places of points and lines; trigonometry; distances of points and lines; similarity; areas; units coversion; lines and angles; two dimension figure; geometry transformation; algebra; probability; mathematics models; data presentation and statistic. The mathematical aspects use to make mathematical contextual problems in the form of a matter of the story are 6 problems for Elementary School, 24 problems for Junior High School, and 11 problems for Senior High School.
Keywords: Ethnomathematics, Srimpi Pandhèlori Dance, Mathematical Fundamental Activities
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Etnomatematika pada Tari Srimpi Pandhèlori”. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan di Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Keberhasilan dari skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Beni Utomo, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Ibu Maria Suci Apriani, S.Pd, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan membimbing, memberikan waktu, tenaga, ilmu, ide, dan masukan yang bermanfaat bagi keberhasilan skripsi ini.
xi
6. Bapak Acun K. Dewa selaku kepala Yayasan Siswa Among Beksa yang telah memperkenankan penulis untuk melakukan penulisan di sanggar tersebut. 7. Ibu Ratri Praptini, S.Pd. selaku pelatih tari Srimpi di Yayasan Siswa Among
Beksa yang berkenan memperikan waktu dan tenaga untuk mendukung lancarnya keberhasilan skripsi ini.
8. Orangtua terkasih, Bapak Yohanes Bartolomeus Sakidjo dan Ibu Anna Romanti Berdikari yang selalu menemani, mendukung, memberi motivasi, semangat, mendoakan.
9. Thomas Iskandar Kurniawan yang telah menjadi kakak, teman suka dan duka, serta membantu dan mendukung dalam pengerjaan skripsi ini.
10. Teman-teman seperjuangan Pendidikan Matematika angkatan 2016 khususnya teman-teman kelas A, Sandra, Clara, Monic, Ester, Ika, dan Dini yang selalu kompak, mendukung, dan menyayangi satu sama lain.
11. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Besar harapan penulis untuk menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca, sehingga bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membutuhkan.
Yogyakarta, 28 Mei 2020 Penulis
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 5 C. Tujuan Penelitian ... 6 D. Pembatasan Masalah ... 6 E. Penjelasan Istilah ... 6 F. Kebaruan Penelitian ... 7 G. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Kajian Teori ... 9
B. Penelitian yang Relevan ... 29
C. Kerangka Berpikir ... 31
BAB III METODE PENELITIAN ... 34
A. Jenis Penelitian ... 34
B. Subjek Penelitian ... 34
C. Objek Penelitian ... 35
D. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35
xiii
F. Metode Pengumpulan Data... 36
G. Instrumen Pengumpulan Data ... 37
H. Teknik Analisis Data ... 38
I. Prosedur Penelitian ... 40
J. Penjadwalan Waktu Penelitian ... 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 43
A. Pelaksanaan Penelitian ... 43
B. Penyajian Data ... 44
C. Hasil Analisis Data ... 59
D. Pembahasan ... 73 E. Keterbatasan Penelitian ... 155 BAB V PENUTUP ... 156 A. Kesimpulan ... 156 B. Saran ... 161 DAFTAR PUSTAKA ... 163 LAMPIRAN ... 166
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ... 42
Tabel 4.1 Waktu dan Kegiatan Penelitian ... 43
Tabel 4.2 Data Aktivitas Counting pada Tari Srimpi Pandhèlori ... 45
Tabel 4.3 Data Aktivitas Locating pada Tari Srimpi Pandhèlori ... 48
Tabel 4.4 Data Aktivitas Measuring pada Tari Srimpi Pandhèlori ... 50
Tabel 4.5 Data Aktivitas Designing pada Tari Srimpi Pandhèlori ... 52
Tabel 4.6 Data Aktivitas Playing pada Tari Srimpi Pandhèlori ... 54
Tabel 4.7 Data Aktivitas Explaining pada Tari Srimpi Pandhèlori... 56
Tabel 4.8 Topik-Topik pada Aktivitas Fundamental Matematis ... 59
Tabel 4.9 Kategori-Kategori pada Aktivitas Fundamental Matematis ... 69
Tabel 4.10 Hasil Sintesisasi Data ... 72
Tabel 4.11 Aspek Matematis pada Tari Srimpi Pandhèlori ... 72
Tabel 4.12 Data Beberapa Ragam Gerak Tari Srimpi Pandhèlori ... 81
Tabel 4.13 Permasalahan Kontekstual tentang Bilangan ... 122
Tabel 4.14 Permasalahan Kontekstual tentang Logika ... 124
Tabel 4.15 Permasalahan Kontekstual tentang Pola Bilangan ... 125
Tabel 4.16 Permasalahan Kontekstual tentang Relasi ... 125
Tabel 4.17 Permasalahan Kontekstual tentang Himpunan ... 128
Tabel 4.18 Permasalahan Kontekstual tentang Aritmetika Sosial ... 130
Tabel 4.19 Permasalahan Kontekstual tentang Kedudukan Titik dan Garis ... 131
Tabel 4.20 Permasalahan Kontekstual tentang Trigonometri ... 132
Tabel 4.21 Permasalahan Kontekstual tentang Jarak Titik dan Garis ... 133
Tabel 4.22 Permasalahan Kontekstual tentang Kesebangunan dan Luas Bangun Datar ... 136
Tabel 4.23 Permasalahan Kontekstual tentang Konversi Satuan ... 137
Tabel 4.24 Permasalahan Kontekstual tentang Garis dan Sudut ... 138
xv
Tabel 4.26 Permasalahan Kontekstual tentang Transformasi Geometri ... 144 Tabel 4.27 Permasalahan Kontekstual tentang Peluang ... 148 Tabel 4.28 Permasalahan Kontekstual tentang Aljabar dan Pemodelan Matematika ... 150 Tabel 4.29 Permasalahan Kontekstual tentang Statistika dan Penyajian Data ... 153
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Sikap Badan pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta ... 14
Gambar 2.2 Sikap Pandangan Mata pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta ... 15
Gambar 2.3a Tolèhan ke kiri ... 16
Gambar 2.3b Tolèhan ke kanan ... 16
Gambar 2.4a Ngruji ... 17
Gambar 2.4b Ngithing ... 17
Gambar 2.4c Nyêmpurit ... 17
Gambar 2.4d Ngêpêl ... 17
Gambar 2.5a Gerakan Methénténg ... 18
Gambar 2.5b Gerakan Sêblak Cul ... 18
Gambar 2.5c Gerakan Sêblak Njimpit Sonder ... 18
Gambar 2.5d Gerakan Sèmbahan ... 18
Gambar 2.6 Sikap Kaki pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta ... 19
Gambar 2.7a Gerakan Mêndhak ... 19
Gambar 2.7b Gerakan Trisig ... 19
Gambar 2.7c Gerakan Dhodhok ... 20
Gambar 2.7d Gerakan Sila Panggung ... 20
Gambar 2.8 Bagan Kerangka Berpikir ... 33
Gambar 4.1a Tampak Depan Pakaian dan Aksesoris ... 76
Gambar 4.1b Tampak Belakang Aksesoris Bagian Kepala ... 77
Gambar 4.2 Gerakan Kapang-Kapang ... 79
Gambar 4.3 Gerakan Panggêl Ngrêgêm Udhêt ... 79
Gambar 4.4 Diagram Panah Ragam Gerakan ... 82
Gambar 4.5 Arah Hadap Gerakan Ngithing dan Ngruji... 83
Gambar 4.6 Jungkat dan Cunduk Mênthul Menghadap Arah Belakang ... 84
Gambar 4.7 Posisi kaki saat Gêdruk di Belakang Tumit ... 84
xvii
Gambar 4.9 Tari Srimpi Pandhèlori yang Ditarikan di Pendapa ... 86
Gambar 4.10a Sudut Siku-Siku pada Gerakan Ngithing... 88
Gambar 4.10b Sudut Siku-Siku pada Gerakan Ngruji ... 88
Gambar 4.10c Sudut Siku-Siku pada Gerakan Nyêmpurit ... 88
Gambar 4.11 Ukuran Sudut Lebih dari 90° pada Gerakan Têkukan ... 89
Gambar 4.12 Ukuran sudut 180° pada Gerakan Kapang-Kapang ... 89
Gambar 4.13a Ukuran Sudut 180° pada Gerakan Kaki ... 90
Gambar 4.13b Ukuran Sudut 90° pada Gerakan Kaki ... 90
Gambar 4.13c Ukuran Sudut Antara 90°–180° pada Gerakan Kaki... 90
Gambar 4.14 Ilustrasi Jarak Penari ... 92
Gambar 4.15 Bentuk Sudut Siku-Siku dan Sudut Pelurus pada Gerakan Tangan 93 Gambar 4.16 Bentuk Sudut Lancip pada Gerakan Tangan ... 93
Gambar 4.17 Bentuk Sudut Tumpul Pada Gerakan Tangan ... 94
Gambar 4.18a Bentuk Sudut Siku-Siku pada Gerakan Kaki ... 94
Gambar 4.18b Bentuk Sudut Tumpul pada Gerakan Kaki ... 94
Gambar 4.19 Bentuk Sudut Pelurus pada Gerakan Kaki ... 95
Gambar 4.20 Bentuk Sudut Lancip antara Tangan dan Badan ... 95
Gambar 4.21 Bentuk Sudut Tumpul antara Badan dan Kaki ... 96
Gambar 4.22 Bentuk Sudut antara Badan, Selendang, dan Tangan ... 96
Gambar 4.23a Bentuk Sudut Lancip pada Motif Selendang ... 97
Gambar 4.23b Bentuk Sudut Lancip pada Motif Baju Rompi ... 97
Gambar 4.24 Bentuk Sudut Siku-Siku pada Motif Selendang ... 97
Gambar 4.25a Bentuk Sudut Tumpul pada Motif Selendang ... 97
Gambar 4.25b Bentuk Sudut Tumpul pada Motif Baju Rompi ... 97
Gambar 4.26a Bentuk Sudut Lancip pada Motif Slèpè ... 98
Gambar 4.26b Bentuk Sudut Lancip pada Motif Ron ... 98
Gambar 4.26c Bentuk Sudut Lancip pada Motif Kalung Susun ... 98
Gambar 4.26d Bentuk Sudut Lancip pada Motif Kêris ... 98
Gambar 4.27 Bentuk Sudut Siku-Siku pada Motif Slèpè ... 98
Gambar 4.28a Bentuk Sudut Tumpul pada Motif Slèpè ... 98
xviii
Gambar 4.28c Bentuk Sudut Tumpul pada Kêris ... 99
Gambar 4.29a Bentuk Segi-7 Tak Beraturan pada Gerakan Ngithing ... 99
Gambar 4.29b Bentuk Segitiga Siku-Siku pada Gerakan Kicat Mandhè Udhêt ... 99
Gambar 4.30a Bentuk Persegi Panjang pada Pola Lantai ... 100
Gambar 4.30b Bentuk Jajargenjang pada Pola Lantai ... 100
Gambar 4.31a Bentuk Belah Ketupat pada Motif Selendang ... 100
Gambar 4.31b Bentuk Belah Ketupat pada Motif Baju Rompi ... 100
Gambar 4.32 Bentuk Persegi dan Lingkaran pada Motif Jarik ... 101
Gambar 4.33a Bentuk Lingkaran pada Jamang ... 101
Gambar 4.33b Bentuk Lingkaran pada Kêlat Bahu Naga... 101
Gambar 4.33c Bentuk Lingkaran pada Ron ... 101
Gambar 4.33d Bentuk Lingkaran pada Bunga Cêplok atau Bunga Jèbèan ... 101
Gambar 4.34 Bentuk Persegi Panjang dan Belah Ketupat pada Motif Slèpè ... 102
Gambar 4.35 Pola Lantai Berbentuk Garis Lurus ... 102
Gambar 4.36a Motif Garis Lurus pada Selendang ... 103
Gambar 4.36b Motif Garis Lurus pada Baju Rompi ... 103
Gambar 4.37a Motif Garis Lengkung pada Jarik ... 103
Gambar 4.37b Motif Garis Lengkung pada Baju Rompi ... 103
Gambar 4.38 Penerapan Kesejajaran pada Pola Lantai ... 104
Gambar 4.39 Penerapan Kesejajaran pada Motif Jarik ... 104
Gambar 4.40b Penerapan Kesejajaran pada Motif Slèpè ... 105
Gambar 4.41a Penerapan Garis Berpotongan pada Motif Selendang ... 105
Gambar 4.41b Penerapan Garis Berpotongan pada Motif Baju Rompi... 105
Gambar 4.42 Motif-Motif yang Kongruen pada Selendang ... 106
Gambar 4.43 Bentuk Elips pada Gêlang Kana ... 107
Gambar 4.44 Motif Lingkaran yang Sebangun pada Ron ... 107
Gambar 4.45a Posisi Awal Gerakan Leher Sebelum Rotasi ... 108
Gambar 4.45b Posisi Akhir Gerakan Leher Setelah Rotasi ... 108
Gambar 4.46 Refleksi pada Gerakan ... 109
Gambar 4.47a Posisi Awal Penari Sebelum Translasi ... 110
xix
Gambar 4.48a Posisi Awal Penari Sebelum Rotasi ... 111
Gambar 4.48b Posisi Akhir Penari Sesudah Rotasi ... 111
Gambar 4.49 Rotasi pada Motif Jarik ... 111
Gambar 4.50 Rotasi pada Motif Selendang ... 112
Gambar 4.51 Rotasi pada Motif Baju Rompi ... 112
Gambar 4.52 Translasi Bentuk Belah Ketupat pada Motif Baju Rompi ... 113
Gambar 4.53 Translasi Bentuk Persegi Panjang pada Motif Slèpè ... 114
Gambar 4.54 Rotasi pada Bentuk Bunga Pêlik ... 114
Gambar 4.55 Dilatasi pada Subang... 115
Gambar 4.56 Refleksi pada Ron ... 115
Gambar 4.57 Gerakan Lenggah Sila Panggung ... 119
Gambar 4.58 Gerakan Lampah Sêkar Tawing ... 120
Gambar 4.59 Gerakan Tinting ... 120
Gambar 4.60 Gerakan Ulap-Ulap... 120
Gambar 4.61 Gerakan Nglayang ... 121
Gambar 4.62 Diagram Panah Ketukan pada Gerakan ... 126
Gambar 4.63 Diagram Panah Banyaknya Aksesoris ... 128
Gambar 4.64 Diagram Venn Gerakan Pada Tari Srimpi Pandhèlori ... 129
Gambar 4.65 Sketsa Pola Lantai Berbentuk Jajargenjang ... 131
Gambar 4.66 Ilustrasi Arah Mata Penari Klasik Yogyakarta ... 132
Gambar 4.67 Pola Lantai Gerakan Panggêl Ngrêgêm Udhêt ... 133
Gambar 4.68 Representasi Pola Lantai pada Bidang Koordinat Kartesius ... 134
Gambar 4.69 Batas Saka pada Panggung Pendapa ... 136
Gambar 4.70 Gerakan Têkukan Lêngkung ... 138
Gambar 4.71 Sudut Tumpul pada Gerakan Têkukan Lêngkung ... 139
Gambar 4.72 Sudut Siku-Siku pada Gerakan Têkukan Lêngkung... 139
Gambar 4.73 Sudut Lancip pada Gerakan Têkukan Lêngkung ... 140
Gambar 4.74 Gerakan Êncot-Êncot Sêduwa ... 140
Gambar 4.75 Representasi Pola Lantai untuk Gerakan Êncot-Êncot Sêduwa .... 141
Gambar 4.76 Aksesoris Ron ... 141
xx
Gambar 4.78 Aksesoris Slèpè ... 143
Gambar 4.79 Bentuk Belah Ketupat dan Persegi Panjang pada Slèpè ... 143
Gambar 4.80 Bentuk Garis pada Tangan ... 144
Gambar 4.81 Posisi Awal dan Akhir pada Gerakan Langkah Sêkar Tawing ... 145
Gambar 4.82 Motif pada Baju Rompi... 146
Gambar 4.83 Rotasi pada Motif Baju Rompi ... 146
Gambar 4.84 Aksesoris Subang... 147
Gambar 4.85 Aksesoris pada Kepala Penari Tari Srimpi Pandhèlori ... 149
Gambar 4.86 Penamaan Penari Menggunakan Huruf ... 150
Gambar 4.87 Panggung Pendapa dengan Batas Saka ... 151
Gambar 4.88 Bentuk Lingkaran pada Subang ... 152
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.1 Surat Ijin Penelitian ... 168
Lampiran 2.1 Lembar Validasi Instrumen Wawancara I ... 170
Lampiran 2.2 Lembar Validasi Instrumen Wawancara II ... 173
Lampiran 2.3 Lembar Validasi Instrumen Observasi I ... 176
Lampiran 2.4 Lembar Validasi Instrumen Observasi II ... 179
Lampiran 3.1 Instrumen Wawacara Filosofi ... 183
Lampiran 3.2 Instrumen Wawancara Aktivitas Fundamental Matematis... 185
Lampiran 3.3 Instrumen Observasi ... 191
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang selalu berkembang sejak zaman prasejarah hingga saat ini. Matematika berkembang di berbagai daerah, seperti Babilonia, Mesir, Roma, Cina, Arab, Hindu, dan sebagainya. Perkembangan ilmu matematika dimulai dari suatu hal yang sederhana, seperti menghitung kekayaannya, membagi makanan, membangun tempat tinggal, berdagang, dan menghitung pajak. Selain itu, matematika juga digunakan untuk mengembangkan ilmu keahlian bidang lain. Carl Friedrich Gauss dalam Colyvan (2012: 1) mengatakan bahwa Mathematics is the queen of science yang artinya matematika adalah ratu dari ilmu pengetahuan. Matematika dijadikan landasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, seperti ilmu fisika, ekonomi, arkeologi, astronomi, dan lainnya.
Berdasarkan hasil diskusi dengan siswa saat peneliti mengikuti kegiatan PLP-RP (14 – 25 Januari 2019) dan PLP-PP (15 Juli – 9 Agustus 2019), sebagian besar siswa beranggapan bahwa matematika adalah mata pelajaran yang sulit dan abstrak. Hal tersebut mengakibatkan siswa memperoleh hasil yang kurang maksimal. Selain itu, siswa juga beranggapan bahwa matematika tidak penting untuk dipelajari karena penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari kurang dirasakan. Padahal,
2
matematika memiliki banyak manfaat untuk memecahkan permasalahan sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, matematika sering digunakan untuk memecahkan masalah nyata, seperti masalah perdagangan. Sebagai seorang penjual pastinya ingin memperoleh sebuah keuntungan yang maksimal, sehingga penjual harus mempersiapkan banyaknya barang yang akan dijual, harga jual, modal, dan sebagainya. Penjual perlu memperkirakan biaya supaya pendapatan yang ia peroleh haruslah lebih dari modal yang ia keluarkan. Oleh karena itu, ia harus bisa menghitung banyaknya modal yang ia keluarkan dan memilih harga jual barang, supaya pendapatan yang ia peroleh melebihi modalnya. Penjual akan merasa kesulitan apabila ia tidak mengenal penghitungan dalam matematika. Selain perdagangan, matematika juga diterapkan untuk membantu membangun jalan/rumah/candi, membuat kalender nasional atau bahkan kalender yang sesuai dengan budaya setempat, menggambar batik dengan unsur geometri dan transformasi, memperkirakan kecepatan kendaraan supaya dapat sampai di tujuan tepat waktu, dan masih banyak lagi.
Melihat pentingnya peran matematika dalam kehidupan sehari-hari, guru perlu mengenalkan matematika kepada siswa melalui kegiatan pembelajaran yang inovatif dan kontekstual. Melalui pembelajaran inovatif dan kontekstual, siswa dapat mengetahui manfaat mempelajari matematika dengan cara yang menyenangkan. Alangkah lebih baik juga guru menggunakan permasalahan kontekstual yang dekat dengan siswa. Budaya
merupakan salah satu aspek yang dekat dengan siswa. Robert Williams dalam Sutrisno (2005:8) berpendapat bahwa budaya menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat. Oleh sebab itu, guru dapat menggunakan kegiatan pembelajaran berbasis budaya.
Berdasarkan hasil diskusi dengan guru saat peneliti mengikuti kegiatan PLP-RP dan PLP-KP, sebagian besar guru belum memanfaatkan budaya dalam membuat suatu permasalahan kontekstual matematika. Dalam membuat permasalahan kontekstual matematika, guru hanya menggunakan kejadian-kejadian yang sering muncul dalam soal-soal di buku atau ujian, seperti perdagangan, mencari luas suatu kolam, dan sebagainya. Guru belum mencoba untuk menggunakan budaya sebagai bahan untuk membuat permasalahan kontekstual matematika dan kegiatan pembelajaran matematika. Padahal, guru tidak hanya dapat memberikan materi matematika melalui budaya, tetapi guru juga dapat mengenalkan budaya kepada siswa. Kegiatan pembelajaran matematika berbasis budaya juga tidak terasa membosankan karena siswa dapat mencoba dan berlatih soal matematika secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, guru dapat melakukan kegiatan pembelajaran berbasis budaya atau etnomatematika.
Kajian etnomatematika membahas tentang hubungan antara budaya dan matematematika. D’Ambrosio (1985: 45) mengatakan bahwa etnomatematika merupakan matematika yang dipraktikan dalam suatu kelompok budaya tertentu, seperti masyarakat suku nasional, kelompok
4
pekerja, kelmpok anak-anak dengan usia tertentu, dan sebagainya. Aktivitas kebudayaan yang dapat dikaitkan dengan matematika merupakan budaya yang mengandung cara berpikir atau pola yang dapat dimodelkan dengan matematika.
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan budaya. Kebudayaan Indonesia dapat dilihat dari beragamnya suku, bahasa daerah, kesenian, pakaian adat, rumah adat, alat musik daerah, upacara adat, dan sebagainya. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki keberagaman budaya. Salah satu kebudayaan yang khas dari Yogyakarta adalah budaya dalam bidang kesenian tari.
Ada beberapa jenis tari klasik khas Yogyakarta, yaitu tari tunggal, Bêksan, Srimpi, dan Bêdhaya. Tari Srimpi merupakan tarian khas dari Kerajaan Mataram. Tari Srimpi terdiri dari beberapa jenis antara lain Srimpi Pandhèlori, Srimpi Jébéng, Srimpi Muncar, dan Srimpi Pramugari. Tarian ini merupakan tarian sakral karena tari Srimpi ditarikan saat upacara ritual di Keraton. Namun, seiring berkembangnya kesenian di Yogyakarta, tari Srimpi saat ini digunakan untuk pertunjukan di luar Keraton Yogyakarta. Akan tetapi, tarian ini tetap dilestarikan di dalam Keraton untuk pelestarian tradisi tari Srimpi yang sakral.
Setiap jenis tari Srimpi memiliki kekhasan dan jalan cerita yang berbeda-beda. Tari Srimpi Pandhèlori merupakan tari klasik khas Keraton Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VI. Tari Srimpi Pandhèlori menceritakan tentang peperangan antara Dewi Sudarawerti
dan Dewi Sirtupilaeli untuk memperebutkan Wong Agung Agung Jayanegaran. Masyarakat Yogyakarta dapat melihat pertunjukan tari Srimpi Pandhèlori di Keraton Yogyakarta menyesuaikan dengan acara yang ada di dalam Keraton. Hampir sama seperti tari Srimpi yang lainnya, tari Srimpi Pandhèlori dibawakan oleh empat penari putri dengan gerakan yang halus, lemah lembut, dan anggun. Riasan dan busana yang digunakan tari Srimpi Pandhèlori hampir sama dengan riasan dan busana pengantin Yogyakarta. Dalam tarian Srimpi Pandhèlori terdapat aktivitas matematis yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika. Namun, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui aktivitas matematis yang ada dalam tari Srimpi Pandhèlori.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin meneliti terkait filosofi tari Srimpi Pandhèlori, aktivitas fundamental matematis menurut Bishop pada tari Srimpi Pandhèlori, dan permasalahan kontekstual matematis pada tari Srimpi Pandhèlori.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja aspek-aspek filosofis yang ada pada tari Srimpi Pandhèlori? 2. Apa saja aktivitas fundamental matematis menurut Bishop yang ada pada
tari Srimpi Pandhèlori?
3. Bagaimana permasalahan kontekstual matematika dari tari Srimpi Pandhèlori?
6
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan aspek-aspek filosofis yang terkandung dalam tari Srimpi Pandhèlori.
2. Mendeskripsikan aktivitas fundamental matematis menurut Bishop yang ada pada tari Srimpi Pandhèlori.
3. Menyusun permasalahan kontekstual matematika dari tari Srimpi Pandhèlori.
D. Pembatasan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pendeskripsian aspek filosofis dari tari Srimpi Pandhèlori. Selain itu, peneliti membahas mengenai aspek-aspek matematis yang ada pada tari Srimpi Pandhèlori. Aspek-aspek matematis ditentukan berdasarkan enam aktivitas fundamental matematis menurut Bishop, yang selanjutnya diterapkan dalam bentuk permasalahan kontekstual matematika.
E. Penjelasan Istilah 1. Etnomatematika
Etnomatematika mengkaji hubungan antara matematika dengan budaya yang ada di lingkungan setempat.
2. Aktivitas Fundamental Matematis
Aktivitas Fundamental Matematis menurut Bishop terdiri dari aktivitas counting (aktivitas menghitung atau mencacah), measuring
(aktivitas mengukur), playing (aktivitas menentukan strategi dalam permainan), locating (aktivitas menentukan lokasi atau letak), designing (aktivitas merancang), dan explaining (aktivitas menjelaskan).
3. Tari Srimpi Pandhèlori
Tari Srimpi Pandhèlori merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang ditarikan oleh empat penari putri dan diiringi gendhing Pandhèlori, serta menceritakan tentang peperangan.
F. Kebaruan Penelitian
Kebaruan penelitian ini ada pada penentukan aspek-aspek matematis yang ada pada tari Srimpi Pandhèlori menggunakan enam aktivitas fundamental matematis menurut Bishop. Selanjutnya, aspek matematis tersebut diterapkan dalam bentuk permasalahan kontekstual matematika. G. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis
a. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian etnomatematika.
b. Hasil dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan guru dalam menyusun kegiatan pembelajaran berbasis budaya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi inovasi kegiatan dan materi pembelajaran bagi guru matematika.
8
b. Hasil dari penelitian ini dapat membantu siswa dalam memahami aspek-aspek matematika menggunakan permasalahan di sekitarnya seperti budaya.
c. Hasil dari penelitian ini dapat mengenalkan tari Srimpi Pandhèlori kepada masyarakat.
d. Hasil dari penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk mengenal matematika di dalam tari Srimpi Pandhèlori.
9 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Tari Klasik Gaya Yogyakarta
Tari klasik merupakan salah satu tari tradisional di Indonesia. Kurnia (2016: 6) mendefinisikan tari klasik adalah tarian yang memiliki keindahan dan dipelihara dengan baik di istana raja-raja dan di kalangan bangsawan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hadi (2018: 6-7) bahwa tari klasik didukung oleh kebudayaan istana yang menjadi lambang status sosial budaya yang tinggi dan sering dijuluki sebagai kesenian adi luhung, nampak megah, anggun, dan sempurna. Oleh karena itu, tari klasik merupakan tarian yang berkembang dari suatu kerajaan dan memiliki nilai keindahan.
Tari klasik dikenal sebagai tarian yang memiliki aturan-aturan yang mengikat. Hadi (2012: 6) mengungkapkan bahwa tari klasik merupakan tarian yang terikat oleh norma-norma adat atau tradisi. Tari klasik memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh penari, supaya penari dapat membawakan tarian dengan semestinya. Adanya aturan-aturan yang terikat pada tari klasik dapat disebabkan karena tari klasik berkembang di dalam istana kerajaan. Supriyanto (2018: 45) juga berpendapat bahwa estetika dan norma kuat sangat diutamakan dalam tari klasik, sehingga memiliki pemberlakuan disiplin pada geraknya.
10
Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa tari klasik merupakan tarian yang berasal dari suatu daerah, khususnya daerah yang memiliki sistem pemerintahan kerajaan dan memiliki aturan-aturan yang mengikat.
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah dengan sistem kerajaan, sehingga ada tari klasik yang berkembang di daerah Yogyakarta. Tari klasik gaya Yogyakarta juga dikenal dengan sebutan Jogéd Mataram (Wibowo, 2002: 1). Tari klasik gaya Yogyakarta pertama dikenalkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I setelah perjanjian Giyanti. Awalnya, para penari Jogéd Mataram adalah para prajurit keraton. Oleh karena itu, karakteristik dari Jogéd Mataram yaitu lugas, kenceng (kuat), dan serius.
Sri Sultan Hamengku Buwono I merupakan tokoh yang berani, ulet, kuat dan setia. Oleh sebab itu, orientasi sikap dan gerak pada tari klasik gaya Yogyakarta didasarkan pada orientasi menyatu, berkemauan yang kuat, berani, dan ulet serta setia secara tanggung jawab. Hal tersebut memengaruhi filosofis dalam tari klasik gaya Yogyakarta yang sering disebut dengan sawiji, grêgêt, sêngguh, dan ora mingkuh.
a. Sawiji
Unsur pertama dari tari gaya Yogyakarta atau dikenal dengan Jogéd Mataram adalah sawiji. Wibowo (2002: 7) berpendapat bahwa sawiji adalah menyatukan kemauan dan sikap dengan seluruh kekuatan rohani dan pikiran ke arah suatu sasaran yang jelas, dalam
hal ini adalah peran yang dibawakannya. Penari Jogéd Mataram tidak hanya membuat gerakan sesuai dengan tariannya, tetapi penari harus dapat menyatukan gerakan tari dengan irama musik yang mengiringinya dan peran karakter yang dibawakannya. Konsentrasi dalam hal ini bukan suatu keadaan yang membuat penari merasa tegang, tetapi penari memusatkan perhatiannya pada peran yang ia bawakan (Wibowo, 1981: 90).
Selain menyatakan kesatuan gerak tari dengan irama musik dan peran karakter, Wibowo (1981: 93) menyatakan bahwa sawiji mengarah pada suatu jalan kehidupan (way of life) yaitu cita-cita. Seseorang yang memiliki cita-cita haruslah berkonsentrasi dan fokus pada cita-cita yang dimilikinya. Apabila didefinisikan pada taraf yang lebih tinggi (Ketuhanan), Wibowo (2002: 9) mendefinisikan sawiji sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dengan Sang Maha Pencipta. b. Grêgêt
Grêgêt memiliki arti berkemauan kuat, semangat yang berkobar-kobar, dan mendorong suatu dinamika di dalam jiwa seorang penari (Wibowo, 2002: 9). Sebagai seorang penari gaya Yogyakarta haruslah dapat mengendalikan emosi, supaya dapat melakukan gerakan yang luwes dan halus. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wibowo (1981:91) bahwa penari yang memiliki grêgêt akan terlihat ekspresi dari gerakannya, meskipun ia dalam keadaan tidak sedang menari (duduk, berdiri).
12
Dalam tingkatan yang lebih tinggi, Wibowo (1981: 93) mendefinisikan grêgêt sebagai seluruh aktivitas dan gairah yang harus disalurkan melalui jalan Allah. Aktivitas dan gairah yang dapat dikendalikan oleh penari membuatnya menyatu dengan Sang Pencipta. Hal tersebut selaras dengan pendapat Wibowo (2002: 11) bahwa spiritualitas yang dalam dan tingkat kemampuan yang dalam akan menghasilkan pengendalian diri yang dalam pula.
c. Sêngguh
Sêngguh memiliki arti yang sama dengan percaya diri, tetapi tidak menunjukkan kesombongan (Wibowo, 2002: 11). Biasanya sêngguh diartikan sebagai kesombongan. Padahal, sêngguh merupakan perasaan bangga yang lahir dari kesadaran manusia dengan martabat dan kehormatan dalam bentuk berkat seni tari.
Selain didefinisikan secara umum, sêngguh juga didefinisikan secara lahiriah. Wibowo (2002: 11) mendefinisikan kata sêngguh secara lahiriah sebagai keberanian. Orang yang memiliki sikap berani akan lebih tegas, tidak ragu-ragu, pasti, dan yakin dalam melakukan segala hal. Sikap tidak ragu-ragu yang dilandasi oleh kepercayaan diri muncul dalam ekspresi gerakan yang pasti; tidak rongèh (tidak menentu), dan tidak laras, tetapi kêncêng (memiliki kekuatan) dan rêsik (bersih, cermat, tidak asal-asalan).
Selain didefinisikan secara harafiah dan lahiriah, Wibowo (1981: 93) mendefinisikan sêngguh secara lebih mendalam, yaitu
perasaan bangga karena ditakdirkan oleh Tuhan sebagai makhluk yang terhormat. Penari yang memiliki sikap sêngguh akan lebih percaya diri dan menghargai dirinya sebagai pribadi yang terhormat dalam memerankan suatu tokoh.
d. Ora Mingkuh
Ora mingkuh berarti berani menghadapi kesukaran-kesukaran. Seseorang yang memiliki sikap ora mingkuh akan mau menjalankan tugas dan kewajibannya, meskipun ada banyak rintangan, secara bertanggung jawab. Hal ini selaras dengan pendapat Wibowo (2002: 11) bahwa ora mingkuh berarti ulet dan setia secara tanggung jawab. Penari yang memiliki sikap ora mingkuh akan setia, berani menghadapi tantangan dalam mendalami perannya. Meskipun penari mendapatkan tantangan atau kesulitan dalam mendalami perannya, ia akan tetap berusaha pantang menyerah untuk memperoleh penghayatan perannya. Ora mingkuh juga berarti selalu percaya pada Yang Maha Adil, meskipun mengalami banyak kesukaran-kesukaran dalam hidup (Wibowo. 1981: 93).
Tari klasik gaya Yogyakarta memiliki aturan-aturan dasar bagi penari dalam bersikap dan bergerak. Wibowo (2002: 20-45) mengelompokkan dasar-dasar sikap dan gerak yang diatur dalam tari klasik gaya Yogyakarta, antara lain hadêg (sikap badan), pasemon (pandangan mata), gerak leher, sikap jari dan pergelangan tangan, gerak tangan, sikap kaki, dan gerak kaki.
14
a. Hadêg (Sikap Badan)
Sikap badan seorang penari yang tidak memenuhi tuntutan paugêran (patokan) akan memengaruhi wiraga (gerak tari). Oleh karena itu, sikap badan merupakan faktor yang penting bagi seorang penari klasik gaya Yogyakarta.
Gambar 2.1 Sikap Badan pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta Sumber: https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
Adapun sikap badan dalam tari klasik gaya Yogyakarta (gambar 2.1) adalah sebagai berikut:
1. Iga Kaunus (tulang rusuk dijunjung) 2. Ula-ula ngadêg (tulang punggung berdiri) 3. Ènthong-ènthong wrata (tulang belikat datar) 4. Jaja mungal (dada membusung)
5. Wêtêng nglêmpèt (perut kempis) 6. Pundhak mênga (bahu membuka)
Selain sikap badan dalam menari tarian gaya Yogyakarta, wiraga (gerak) dari badan dipusatkan pada cêthik (persendian pangkal paha dengan badan) dalam posisi Mêndhak (merendah). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan sikap badan penari.
Iga kaunus; Ulo-ulo ngadêg Ènthong-ènthong wrata; Jaja mungal Wêtêng nglêmpèt Pundhak mênga
b. Pasêmon (Pandangan Mata)
Selain sikap badan, sikap dan pandangan mata juga penting bagi penari klasik gaya Yogyakarta. Sikap dan pandangan mata penting karena dapat memperlihatkan kesungguhan penari dalam berkonsentrasi, sehingga dapat memancarkan ekspresi penari dalam pasêmon (wajah). Adapun ketentuan sikap dan pandangan mata bagi penari gaya Yogyakarta (gambar 2.2) adalah sebagai berikut:
1. Tlupukan mêlék (kelopak mata terbuka)
2. Manik jêjêg (bola mata lurus menurut arah hadap muka)
3. Pandêngan tajêm (pandangan tajam dengan jarak lima kali tinggi tubuh, gagah lurus menurut arah hadap muka)
Gambar 2.2 Sikap Pandangan Mata pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta
Sumber: https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
Saat menari, mata tidak boleh sering kêdhép (berkedip) dan mêlèrok (melirik) karena jika penari sering berkedip dan melirik, akan mengganggu konsentrasi dan mengurangi ekspresi mimik muka penari.
16
c. Gerak Leher
Paugêran (patokan) gerak leher (gulu) dipusatkan pada jiling (persendian kepala dengan leher di bawah telinga kanan-kiri). Ada dua macam gerak leher, yaitu tolèhan dan pacak gulu.
1. Tolèhan
Menggerakkan leher dengan memindahkan arah pandangan menurut hadap muka disebut dengan tolèhan. Ada dua macam gerak tolèhan yaitu tolèhan ke kiri (gambar 2.3a) dan tolèhan ke kanan (gambar 2.3b). Saat penari melakukan tolèhan kiri, kepala agak nengleng (condong) ke kanan, begitupun sebaliknya.
Gambar 2.3a Tolèhan ke kiri Gambar 2.3b Tolèhan ke kanan Sumber: https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
2. Pacak Gulu
Menggerakkan leher dengan pandangan tetap disebut dengan pacak gulu. Ada tiga macam gerakan pacak gulu yaitu pacak gulu ke kiri irama sêseg (cepat), pacak gulu ke kanan irama sêseg (cepat), dan pacak gulu irama antal (pelan).
d. Sikap Jari dan Pergelangan Tangan
Ada empat macam sikap jari-jari tangan, yaitu ngruji (gambar 2.4a), ngithing (gambar 2.4b), nyêmpurit (gambar 2.4c), dan ngêpêl (gambar 2.4d). Gambar 2.4a Ngruji Gambar 2.4b Ngithing Gambar 2.4c Nyêmpurit Gambar 2.4d Ngêpêl Sumber: http://www.volandoalcielo.com/2018/01/sikap-dasar-tangan-dan-kaki-tari-klasik.html?m=1
Sedangan sikap pergelangan tangan ada tiga macam, yaitu nêkuk tumungkul (lengkung), nekuk tumênga (berdiri), dan lurus.
e. Gerak Tangan
Gerak tangan pada tari klasik gaya Yogyakarta dipusatkan pada pergelangan tangan, sedangkan lengan bawah, siku, dan lengan atas hanya mengikuti gerak pergelangan tangan. Ada beberapa macam gerak tangan pada tari klasik gaya Yogyakarta, yaitu nglurus, nêkuk lêngkung nyiku, nêkuk melingkar nyiku, ongkék, ukêl jugag, ukêl wêtah, ngusap suryan, bêsutan, methénténg (gambar 2.5a), miwir, njimpit sondhér, nyathok sondhér, kipat njimpit sondhér, sêblak njimpit sonder (gambar 2.5c), kipat cul, sêblak cul (gambar 2.5b), mandhè sondhér, ngrêgêm sondhér, sampir sondhér, nyangkol sondhér, ridhong sondhér, dan sèmbahan (gambar 2.5d).
18
Gambar 2.5a Gerakan Methénténg
Sumber:
https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
Gambar 2.5b Gerakan Sêblak Cul Sumber:
https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
Gambar 2.5c Gerakan Sêblak Njimpit Sonder
Sumber:
https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
Gambar 2.5d Gerakan Sèmbahan Sumber:
https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
f. Sikap Kaki
Sikap dan gerak kaki merupakan salah satu hal yang penting dalam tari klasik gaya Yogyakarta, karena kaki sebagai kekuatan, kemantapan, dan keseimbangan dalam tarian. Adapun paugêran sikap kaki pada tari klasik gaya Yogyakarta (gambar 2.6) adalah sebagai berikut:
1. Pupu mlumah (paha telentang) 2. Dhêngkul mêgar (lutut terbuka)
Gambar 2.6 Sikap Kaki pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta Sumber: https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
g. Gerak kaki
Ada beberapa macam gerak kaki, antara lain hadêg (sikap berdiri), mêndhak (gambar 2.7a), mêndhak ngleyek mapan, gêdruk nglereg mapan, nyepak, kapang-kapang, pêndhapan, mancat, trisig (gambar 2.7b), ngoyong, êncot, wêdhi-kéngsêr, kicat ke kiri-kanan, maju/mundur membujur, maju/mundur menyilang, ombak banyu, dhodhok (gambar 2.7c), sila panggung (gambar 2.7d), sila udhar, dan jéngkéng.
Gambar 2.7a Gerakan Mêndhak Sumber:
https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
Gambar 2.7b Gerakan Trisig Sumber: https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ Pupu mlumah Dlamakan malang Dhêngkul mêgar
20
Gambar 2.7c Gerakan Dhodhok Sumber:
https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
Gambar 2.7d Gerakan Sila Panggung
Sumber:
https://youtu.be/wV_e6ONgMHQ
Berdasarkan pendapat Wibowo (1981) dan Wibowo (2002) dapat disimpulkan bahwa pada tari klasik gaya Yogyakarta memiliki aturan-aturan yang mengikat pada gerakan tariannya. Selain itu, tari klasik memiliki makna-makna filosofi yang mengajarkan seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
2. Tari Srimpi
Tari Srimpi merupakan salah satu tari klasik dari Kerajaan Mataram sejak pemerintahan Sultan Agung pada tahun 1613–1646. Tari Srimpi dikategorikan sebagai tarian yang sakral karena hanya dipentaskan dalam lingkup keraton untuk ritual kenegaraan atau saat peringatan hari penobatan raja, kenaikan takhta, resepsi pernikahan, atau upacara kenegaraan (Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, 2019). Tari Srimpi terdiri dari beberapa jenis antara lain Srimpi Pandhèlori, Srimpi Jébéng, Srimpi Mêrak Kêsimpir, Srimpi Muncar, Srimpi Pramugari, Srimpi Rênggawati, Srimpi Tèja, dan Srimpi Pistol. Pada umumnya, penamaan tari Srimpi dilengkapi dengan nama lagu pengiring tarian tersebut, seperti
tari Srimpi Pandhèlori menggunakan iringan gêndhing Pandhèlori, Srimpi Pramugari menggunakan iringan gêndhing Pramugari, dan tari Srimpi Mêrak Kêsimpir menggunakan iringan gêndhing Mêrak Kêsimpir. Selain itu, Srimpi Tèja menggunaan iringan gêndhing Tèja (Ditwdb, 2019). Penamaan tari Srimpi Rênggawati berdasarkan cerita dari tarian tersebut. Tari Srimpi juga dapat dinamai berdasarkan jenis aksesoris yang dipakai, seperti Srimpi Jébéng menggunakan properti jébéng (tameng), Srimpi Muncar menggunakan properti kêris, dan Srimpi Pistol menggunakan properti pistol.
Srimpi berasal dari kata impi atau mimpi, yang berarti menikmati tarian ini seolah-olah sampai jauh ke alam mimpi. Priyono dalam Wibowo (1981: 42) menyaksikan tari Srimpi ditarikan selama 3
4 hingga 1 jam seakan-akan membawa seseorang masuk ke alam mimpi. Selain itu, lamanya waktu ditarikannya tari Srimpi dapat menjadi sarana bagi seseorang yang menginginkan ketenangan batin dan lebas dari alur kesibukan. Namun, seiring berkembangnya zaman, koreografi tari Srimpi disederhanakan, sehingga dapat ditarikan selama kira-kira 10 menit.
Tari Srimpi ditarikan oleh empat orang penari putri. Hal tersebut bersesuaian dengan pendapat Wibowo (1981:42) bahwa Srimpi menyimbolkan bilangan 4, sama halnya dengan pandawa yang bersinonim dengan bilangan 5. Keempat penari Srimpi memiliki nama yang berbeda-beda, yaitu Batak, Gulu, Dhada, dan Buncit. Empat orang penari Srimpi memiliki makna dan filosofi tersendiri. Empat orang penari
22
melambangkan empat unsur dari dunia, yaitu Toya (air), Gromo (api), Angin (udara), dan Bumi (tanah). Selain melambangkan empat elemen dunia, empat orang penari Srimpi juga melambangkan empat penjuru utama mata angin, yaitu Utara, Selatan, Barat, dan Timur.
Beberapa tari Srimpi terkenal diambil dari Serat Mênak (Hermanu, 2012: 39). Tari Srimpi menceritakan sejarah para Mênak (Sultan atau raja dari Arab dan Timur Tengah). Tari Srimpi kebanyakan menceritakan tentang budaya ketimuran dan kêjawén. Cerita dalam tari Srimpi menyimbolkan pertarungan yang tidak pernah selesai antara kebaikan dan kejahatan dalam kehidupan (Wibowo, 1981:43).
3. Etnomatematika
D’Ambrosio adalah seorang tokoh matematikawan asal Brazil yang pertama kali mengenalkan Etnomatematika pada tahun 1977. Dalam penelitiannya, Ambrosio (1985: 44) mengungkapkan bahwa para ahli antropologi menemukan fakta-fakta dalam kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan matematika, seperti menghitung, menyusun, mengurutkan, mengukur, dan menimbang. Menurut D’Ambrosio (1985: 44), membuat jembatan antara ahli antropologi dan sejarawan budaya serta matematikawan merupakan langkah penting untuk mengenali bahwa cara berpikir yang berbeda dapat membentuk berbagai konsep matematika. Selain itu, D’Ambrosio juga mendefinisikan istilah etnomatematika sebagai penggunaan matematika dari suatu kelompok budaya dan studi tentang ide-ide matematika yang ditemukan pada setiap
budaya (Rosa & Orey, 2011: 35). Berdasarkan pendapat D’Ambrosio dapat dikatakan bahwa etnomatematika menyatakan hubungan antara matematika dan budaya. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Marsigit (2016: 23) bahwa etnomatematika berfungsi untuk mengekspresikan hubungan antara budaya dan matematika.
Menurut Sunandar (2016: 96), etnomatematika terdiri dari tiga kata, yaitu ethno, mathema, dan tics. Ethno diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode, perilaku, mitos, dan simbol. Sedangkan mathema berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, dan memodelkan. Tics yang berasal dari kata techne berarti teknik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa etnomatematika merupakan teknik untuk menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan matematika dalam konteks sosial budaya.
Shierley berpendapat dalam Marsigit (2016: 23) etnomatematika dapat digunakan sebagai pusat proses pembelajaran dan metode pengajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Patterson dalam Katsap dan Frederick (2016: 31) bahwa siswa dapat mengaitkan antara matematika dan penggunaan matematika melalui pembelajaran dengan cara: connecting math to students’ lives, linking math issues of equality, using math to uncover stereotypes, and using math to understand history. Melalui pembelajaran matematika berbasis etnomatematika, siswa dapat
24
lebih memahami penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, siswa tidak hanya belajar tentang penerapan matematika dalam budaya, tetapi siswa juga dapat kembali mengenal dan melestarikan budaya yang mereka miliki.
4. Aktivitas Fundamental Matematis
Matematika tidak hanya berkembang dalam bidang ilmu pengetahuan. Perkembangan matematika juga dapat ditemukan di dalam budaya masyarakat. Bishop (Sacramento State) mengelompokkan enam aktivitas matematika yang ada dalam budaya, seperti counting, locating, measuring, designing, playing, dan explaining.
a. Counting
Quantifiers (each, some, many, none); Adjectival number names; Finger and body counting; Tallying; Numbers; Place value; Zero; Base 10; Operations on numbers; Combinatories; .Accuracy; Approximation; Errors; Fractions; Decimals; Positive, Negatives; Infinitely large, small; Limit; Number patterns; Powers; Number relationships; Arrow diagrams; Algebraic representation; Events; Probabilities; Frequency representations.
Dalam kegiatan counting, terdapat aktivitas kuantifikasi/kuantor (masing-masing, beberapa, banyak, tidak ada); nama-nama bilangan; penghitungan menggunakan jari dan tubuh; turus; bilangan; nilai tempat; nol; basis 10; operasi pada bilangan; kombinatorik; ketepatan; perkiraan; eror; pecahan; desimal; positif, negatif; bilangan tak hingga
besar, bilangan tak hingga kecil; limit; pola bilangan; pangkat; relasi bilangan; diagram panah; representasi aljabar; kejadian; kemungkinan; representasi frekuensi. Kegiatan counting merupakan kegiatan yang berkaitan dengan menghitung, menacacah, dan bilangan. Kegiatan counting berawal saat seseorang memerlukan cara untuk mengitung harta kekayaan yang dimilikinya, seperti menghitung banyak ternak. Selain itu, kegiatan counting juga dibutuhkan saat seseorang melakukan pedagangan dengan orang/bangsa lain.
b. Locating
Prepositions; Route descriptions; Environmental locations; N.S.E.W. Compass bearings; Up/down; Left/right; Forwards/Backwards; Journeys (distance); Straight and Curved lines; Angle as turning Rotations; Systems of location: Polar coordinates, 2D/3D coordinates, Mapping; Latitude / Longitude; Loci; Linkages; Circle; Ellipse; Vector; Spiral.
Dalam kegiatan locating terdapat aktivitas sebagai berikut: preposisi; pendeskripsian suatu rute/lintasan; lokasi lingkungan; arah mata angin; atas/bawah; kanan/kiri; depan/belakang; jarak; garis lurus/garis lengkung; sudut sebagai penanda perputaran; koordinat 2D/3D; garis lintang/bujur; tempat kedudukan (lokus); penghubungan; lingkaran; elips; vektor; spiral. Kegiatan locating merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penentuan tempat suatu obyek yang
26
direpresentasikan dalam jarak, garis, sudut. Kegiatan locating muncul ketika seseorang perlu menentukan lokasi yang tepat untuk bertempat tinggal, berburu, dan bercocok tanam.
c. Measuring
Comparative quantifiers (faster, thinner); Ordering; Qualities; Development of units (heavy - heaviest - weight); Accuracy of units; Estimation; Length; Area; Volume; Time; Temperature; Weight; Conventional units; Standard units; System of units (metric); Money; Compound units.
Dalam kegiatan measuring terdapat aktivitas sebagai berikut: pembanding kuantitas (lebih cepat, lebih kurus; mengurutkan; kualitas; pengembangan dari satuan (berat – terberat); keakuratan satuan; perkiraan; panjang; luas; volume; waktu; suhu; berat; satuan konvensional; satuan standar; sistem satuan; uang; satuan majemuk. Kegiatan measuring merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengukuran. Awalnya kegiatan measuring digunakan untuk memandingkan dua objek, seperti berat badan, lebih kurus/lebih gemuk. Selanjutnya, kegiatan measuring semakin berkembang untuk membandingkan lebih dari dua objek.
d. Designing
Design; Abstraction; Shape; Form; Aesthetics; Objects compared by properties of form; Large, small; Similarity; Congruence; Properties of shapes; Common geometric shapes,
figures and solids; Nets; Surfaces; Tesselations; Symmetry; Proportion; Ratio; Scale-model Enlargements; Rigidity of shapes.
Dalam kegiatan designing terdapat aktivitas sebagai berikut: merancang; abstraksi; bentuk; estetika; objek dibandingkan dengan sifat bentuk; besar, kecil; kesebangunan; kongruen; sifat-sifat suatu bangun; bangun geometri secara umum; gambar dan benda padat; jaringan; permukaan; pengubinan; simetris; proporsi; perbandingan; skala; kelakukan dari suatu benda. Kegiatan designing merupakan kegiatan yang berkaitan dengan merancang sesuatu dengan menggunakan bentuk bangun datar/ruang, perbandingan, dan sebagainya. Aktivitas designing sering dijumpai pada kegiatan merancang bangunan/rumah, seperti bentuk atap dan sketsa ruangan. e. Playing
Games; Fun; Puzzles; Paradoxes; Modelling; Imagined reality; Rule-bound activity; Hypothetical reasoning; Procedures; Plans Strategies; Cooperative games; Competitive games; Solitaire games; Chance, prediction.
Dalam kegiatan playing terdapat aktivitas sebagai berikut: pertandingan; menyenangkan; teka-teki; paradoks; pemodelan; bayangan; aktivitas yang terikat peraturan; penalaran hipotesis; prosedur; rencana strategi; permainan kerjasama, permainan kompetitif; permainan solitaire; kemungkinan, prediksi. Kegiatan
28
playing berkaitan dengan kegiatan yang memiliki aturan dan memerlukan strategi untuk mencapai suatu kemenangan/tujuan.
Ada banyak permainan yang berkembang di berbagai daerah mendorong pemain untuk mengatur strategi supaya dapat menang, sebagai contoh permainan engklek. Seorang anak yang bermain engklek harus memiliki di kotak mana ia akan melemparkan gacuk (batu), supaya dapat tetap melompat dengan mudah. Hal tersebut merupakan salah satu pemikiran strategi supaya si anak dapat lebih cepat sampai di ujung dan menang.
f. Explaining
Similarities; Classifications; Conventions; Hierarchical classifying of objects; Story explanation; logical connectives; Linguistic explanations: Logical arguments, Proofs; Symbolic explanations: Graphs, Diagrams, Charts, Matrices; Mathematical modelling; Criteria: internal validity, external generalisability.
Dalam kegiatan explaining terdapat aktivitas sebagai berikut: kesamaan; klasifikasi; perjanjian; klasifikasi objek berdasarkan hirarki; penjelasan cerita; logika; penjelasan bahasa; pendapat yang logis; pembuktian; penjelasan simbol; grafik, diagram; pemetaan; matriks; pemodelan matematika; validitas internal; generalisabilitas eksternal. Kegiatan explaining merupakan suatu kegiatan menjelaskan/menceritan suatu sejarah, makna/filosofis yang ada dalam kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas ini dapat
digunakan untuk menjelaskan suatu peta desa, menjelaskan suatu simbol, menjelaskan arahan jalan, dan sebagainya.
B. Penelitian yang Relevan
Adapun penelitian yang relevan mengenai kajian etnomatematika tentang seni tari adalah sebagai berikut:
1. Maure dan Gabriela (2018) mengkaji etnomatematika pada tarian caci masyarakat Manggarai NTT. Tari caci merupakan tari kesatrian dan warisan budaya daerah masyarakat Manggarai. Pada tarian Caci ditemukan materi himpunan, relasi, dan fungsi saat memasangkan dua kelompok laki-laki pada permainan caci. Selain itu, dijumpai pula materi matematika pada perlengkapan yang digunakan dalam tari Caci, antara lain terdapat aspek bangun datar segi tak beraturan yang memuat garis, titik, sudut dan lingkaran pada panggal yang dipakai; ngiring-ngiring yang dipakai menyerupai bentuk persegi, bola, kubus, dan balok; motif-motif kain songke yang dipajau menyerupai bentuk belah ketupat, segitiga, persegi, segilima; Agang yang digunakan menyerupai bentuk lingkaran; dan lain sebagainya. Maure dan Gabriela (2018) juga menemukan aktivitas matematis pada aturan dalam tarian Caci, yaitu aktivitas membilang/menghitung (counting).
2. Dalam penelitian yang dilakukan Destrianti, Saumi, dan Tomi (2019) ditemukan aspek-aspek matematis yang ada dalam tari Kejei. Tari Kejei merupakan tarian sakral dari suku Rejang, Sumatra bagian utara, dengan gerakan sederhana dan berbeda dengan gerakan pada umumnya. Tari
30
Kejei ditarikan saat acara yang disebut bimbang adat atau puncak pernikahan di sebuah panggung terbuka yang dinamakan balai Kejei. Peneliti menemukan hubungan matematika dengan alat musik pengiring Kejei dan pola gerak serta pola lantari dari tari Kejei. Pada alat musik yang digunakan untuk mengiringi tari Kejei ditemukan konsep bangun ruang tabung pada Gong, Kulintang, dan Redap yang digunakan untuk mengidentifikasi jari-jari, diameter, luas permukaan, serta volume dari alat musik pengiring tari Kejei. Pola gerakan dan pola lantai pada tari Kejei menerapkan konsep geometri antara lain posisi tangan yang saling sejajar, pandangan dan tubuh yang tegak lurus, posisi bentuk tangan ketika menari membentuk sudut lancip, bentuk segitiga sama kaki, segitiga siku-siku, perputaran gerakan kaki (rotasi), dan komposisi penari yang membentuk bangun datar segiempat, hingga pola hitungan yang digunakan pada ketukan tarian.
3. Dalam penelitian yang dilakukan Desmawati (2018) teradapat aktivitas matematis dalam tari Sigeh Pengunten asal Lampung. Pada tari Sigeh Pengunten terdapat aktivitas menghitung (counting) ketukan dalam melakukan setiap gerakan. Selain itu terdapat aktivitas mengukur (measuring) pada beberapa gerak ketika penari menyesuaikan langkah kaki untuk berpindah formasi, agar pola lantai yang dibentuk sesuai. Ada pula unsur-unsur geometri yang terdapat pada pola lantai tari Sigeh Pengunten, antara lain garis lurus, segitiga sama kaki, trapesium, persegi
panjang, persegi, dan lingkaran. Pada pola lantai tari Sigeh Pengunten juga dijumpai konsep transformasi geometri berupa refleksi dan rotasi.
C. Kerangka Berpikir
Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang hingga saat ini dianggap abstrak dan sulit oleh sebagaian siswa. Masih banyak siswa yang beranggapan bahwa matematika tidak berguna bagi kehidupan sehari-hari. Padahal, matematika memiliki banyak manfaat dalam kegiatan sehari-hari. Matematika dapat ditemui dalam budaya yang ada di sekitar siswa.
Dalam budaya terdapat nilai-nilai filosofis dan karakter suatu daerah setempat yang selalu dijunjung tinggi. Budaya sebagai implementasi kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat. Oleh karena itu, budaya merupakan salah satu hal yang dekat dengan siswa.
Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia adalah pada bidang seni tari. Tari klasik merupakan salah satu kebudayaan Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu tempat tari klasik berkembang. Tari klasik gaya Yogyakarta memiliki aturan atau paugêran (pathokan) yang pakem. Adanya paugêran dalam tari klasik gaya Yogyakarta membuat penari dapat berekspresi sesuai perannya secara luwes, halus, dan tegas.
Tari Srimpi Pandhèlori merupakan salah satu tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VI. Tarian ini sering ditarikan di dalam lingkup Keraton atau pun di luar Keraton. Tarian ini memiliki cerita dan filosofi bagi kehidupan sehari-hari, yaitu cerita
32
pertarungan. Cerita pertarungan tersebut menyimbolkan pertikaian antara kebaikan dan keburukan yang tak kunjung selesai.
Pada tari Srimpi Pandhèlori terdapat aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan matematika. Etnomatematika merupakan salah satu kajian tentang hubungan budaya dan matematika. Melalui etnomatematika, peneliti akan menemukan aktivitas fundamental matematis menurut Bishop pada tari Srimpi Pandhèlori. Berdasarkan aktivitas fundamental matematis menurut Bisop, peneliti akan mencari aspek-aspek matematis yang ada pada tari Srimpi Pandhèlori. Selanjutnya, aspek-aspek matematis pada tarian tersebut akan diimplementasikan dalam bentuk permasalahan kontekstual matematika. Pada gambar 2.5 disajikan bagan kerangka berpikir dari penelitian ini.
Gambar 2.8 Bagan Kerangka Berpikir
Sebagian besar siswa yang beranggapan bahwa matematika merupakan ilmu yang sulit dan abstrak.
Ilmu matematika kurang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya
Etnomatematika
Filosofis Tari Srimpi Pandhèlori
Aktivitas fundamental matematis menurut Bishop pada Tari Srimpi Pandhèlori
Aspek matematis pada tari Srimpi Pandhèlori
Permasalahan kontestual matematika pada tari Srimpi Pandhèlori
SD SMP SMA
Analisis gerakan, pola lantai, pakaian, dan aksesoris tari
Srimpi Pandhèlori
Matematika
Aktivitas fundamental matematis menurut Bishop (counting, locating, measuring, designing, playing,
explaining)
34 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi karena peneliti ingin melihat filosofi, aktivitas fundamental matematis pada tari Srimpi Pandhèlori. Selain itu, peneliti ingin melihat aspek-aspek matematis pada tari Srimpi Pandhèlori yang digunakan untuk membuat permasalahan kontekstual matematika.
Afrizal (2014: 13) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian ilmu-ilmu sosial yang mengumpulkan dan menganalisis data berupa kata-kata dan perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan metode etnografi merupakan sebuah metode penelitian yang dipilih ketika masalah atau topik tersembunyi dalam kompleksitas kultural dan peneliti ingin memahami realitas kultural dari perspektif partisipan (Emzir, 2012: 19). Suwendra (2018: 33) mengungkapkan tujuan dari etnografi adalah untuk menguraikan aspek-aspek budaya secara menyeluruh baik yang bersifat material ataupun abstrak. Oleh karena itu, peneliti menggunakan pendekatan etnografi untuk melihat makna filosofi pada tari Srimpi Pandhèlori.
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pelatih tari klasik gaya Yogyakarta dari Sanggar Tari Yayasan Siswa Among Beksa.
C. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah aspek filosofi, aktivitas fundamental matematis, dan permasalahan kontekstual matematika pada tari Srimpi Pandhèlori
D. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sanggar Tari Klasik Yogyakarta Yayasan Siswa Among Beksa.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini diawali dengan pembuatan proposal yang dilaksanakan pada bulan September–Desember 2019. Selanjutnya, pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret–April 2020, sedangkan analisis data dan penarikan kesimpulan hasil penelitian dilaksanakan pada bulan April–Mei 2020.
E. Bentuk Data
Berikut adalah data yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Data hasil wawancara dengan pelatih tari Srimpi Pandhèlori
Data yang diperoleh dari wawancara dengan pelatih tari berupa informasi tentang filosofi tari Srimpi Pandhèlori. Aspek filosofi tari Srimpi Pandhèlori dilihat dari cerita, gerakan, pola lantai, serta pakaian & aksesorisnya.