• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGECUALIAN TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGECUALIAN TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGECUALIAN TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

TIDAK SEHAT

A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat

Secara umum, latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat dibagi dalam tiga bagian, yaitu :

1. Landasan Yuridis

Garis-Garis Besar Haluan Negara (selanjutnya disebut “GBHN”) merupakan arah penyelenggaraan negara dalam waktu lima tahun, untuk dapat mewujudkan tujuan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.56 GBHN yang disusun sejak tahun 1973 sampai tahun 1998 memberikan landasan normatif yang jelas mengenai peran serta pemerintah untuk mencegah terjadinya praktik persaingan usaha yang tidak sehat.57

Hal ini secara eksplisit terlihat pada substansi beberapa ketetapan MPR, yaitu TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 pada bidang pembangunan Ekonomi, TAP MPR RI No. IV/MPR/1978 tentang pembangunan ekonomi sub-bidang Usaha Swasta dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah, TAP MPR RI No.II/MPR/1983 tentang GBHN pada bidang pembangunan ekonomi sub-bidang usaha swasta nasional dan usaha golongan ekonomi lemah, terutama pada TAP MPR RI No. II/MPR/1988 tentang GBHN pada bidang pembangunan ekonomi sub-bidang Dunia Usaha Nasional dan pada TAP MPR RI No. II/MPR/1993 tentang GBHN pada bidang Pembangunan Ekonomi sub-bidang Usaha Nasional, serta pada TAP MPR RI No. II/MPR/1998 tentang GBHN pada bidang Pembangunan Ekonomi sub-bidang Usaha Nasional.

56

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 14.

57

(2)

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas pada dasarnya mengatur, bahwa untuk mencapai tujuan perekonomian nasional maka haruslah melalui pemberian persamaan kesempatan berusaha bagi setiap pelaku usaha baik besar maupun kecil.58 Pada saat itu, kemudahan fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah kepada orang atau golongan tertentu tidak banyak membawa hasil bagi kemajuan ekonomi nasional, malah menimbulkan kepincangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Prinsip pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum dapat dilaksanakan dengan baik. Keadaan tersebut dipersulit dengan krisis ekonomi berkepanjangan di Indonesia sejak tahun 1997 yang mencapai puncaknya pada tahun 1998, dan diperburuk dengan kondisis perekonomian dunia yang juga menurun. Dalam upaya mempercepat berakhirnya krisis ekonomi, maka pada bulan Januari 1998, Indonesia menandatangani Letter of Intent sebagai bagian dari program bantuan International Monetary Fund 59 (selanjutnya disebut “IMF”).

Undang-Undang Anti Monopoli merupakan sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur persaingan dan praktek monopoli, yang sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pemerintah.60 Sebagai contoh, misalnya Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995 telah mengeluarkan gagasan tentang konsep Rancangan Undang-Undang tentang Anti Monopoli. Namun demikian, semua gagasan dan usulan tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada masa itu belum ada

58

Ibid., hal.2. 59

Dana moneter Internasional adalah organisasi internasional di bawah naungan PBB yang bersama-sama dengan Bank Dunia berperan besar dalam mendorong pembangunan ekonomi negara-negara di dunia, fungsi utama organisasi ini adalah untuk mengatur dan menstabilisasi masalah moneter internasional. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Cet. 2, (Jakarta : Direktur Jenderal Hukum dan Undangan Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI, 2000), hal. 90.

60

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

(3)

komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha.61

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”) yang menginstruksikan, bahwa perekonomian Indonesia disusun serta berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Pasal 33 UUD 1945 merupakan dasar acuan normatif menyusun kebijakan perekonomian nasional yang menjelaskan, bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah berdasarkan demokrasi yang bersifat kerakyatan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar.62 Pasal 33 UUD 1945 menyatakan sebagai berikut :

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara dan;

(3) Bumi, air, dan kekayaan alam lainnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Dalam Pasal 33 UUD 1945 di atas jelas dinyatakan, bahwa perekonomian nasional harus dibangun atas dasar falsafah demokrasi ekonomi.63 Dalam usaha mencapai tujuan tersebut, maka negara memainkan peranan penting dalam menyusun laju perekonomian nasional. Beberapa dekade terakhir tahun 1973, karakteristik perekonomian Indonesia dipersiapkan berdasarkan usaha bersama dengan orientasi kekeluargaan dimana cabang produksi yang vital dikuasai oleh

61

Hikmahanto Juwana, “Menyambut Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999: Beberapa

Harapan dalam Penerapannya oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha”, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 1999), hal. 4, dalam Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, cet.1, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 2.

62

Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hal. 1. 63

Demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau kepemilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.10.

(4)

negara. Sistem perekonomian Indonesia berupaya menghindarkan diri dari free fight liberalism yang mengeksploitasi manusia dan dominasi perekonomian oleh negara serta persaingan curang dalam berusaha dengan melakukan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu saja. Praktek ini muncul dalam berbagai bentuk monopoli ataupun monopsoni yang merugikan serta bertentangan dengan instruksi Pasal 33 UUD 1945.64

Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Anti Monopoli, dapat diketahui falsafah yang melatar belakangi kelahirannya dan sekaligus memuat dasar pikiran perlunya disusun Undang-Undang tersebut, setidaknya memuat tiga hal, yaitu bahwa :

1. Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjasama ekonomi pasar yang wajar.

3. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian Internasional.65

Di samping itu, terdapat beberapa pertimbangan pokok yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:

“ Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta

64

Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hal. 2. 65

(5)

berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu disusun Undang-Undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, Undang-Undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945”.66

2. Landasan Sosio-Ekonomi

Secara sosio-ekonomi, lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat adalah dalam rangka untuk menciptakan ladasan ekonomi yang kuat untuk menciptakan perekonomian yang efisien dan “bebas” dari distorsi pasar.

Ekonomi yang kuat dan efisien adalah kata yang sangat mahal pada masa orde baru. Sebab, pada masa orde baru, pembangunan yang dilakukan tidak berdasarkan pada teori hukum pembangunan. 67 Prestasi pembangunan ekonomi pada saat itu disebut succes strory tidak disokong pondasi yang kuat dan akhirnya sangat rapuh pada saat ditimpa krisis.68

66

Penjelasan Umum Undang-Undang Anti Monopoli No.5 Tahun 1999. 67

Di Indonesia Teori Hukum dan Pembangunan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya yang berjudul Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi UNPAD, Bandung, 1976. Teori hukum pembangunan yang pendekatan pemikiran hukumnya sering

(6)

Dalam kajian ekonomi dipahami bahwa strategi ekonomi pembangunan pada saat itu lebih berorientasi pada pertumbuhan (growth) yang antara lain menggunakan strategi substitusi impor. Adapun dalam hal pendistribusian barang hanya dikuasi oleh orang-orang tertentu. Beberapa contoh dapat disebutkan, seperti monopoli perdagangan tepng terigu oleh PT. Bogasari Flour Mills, kasus kartel para produsen semen, kasus perdagangan baja, kasus kartel industri kayu lapis oleh APKINDO (Asosiasi Panel Kayu Indonesia, kasus kartel kertas di Indonesia dan kasus proteksi tarif PT. Candra Asri Petfochemical (CACP). Selain itu, krisis ekonomi yang terjadi disebabkan manajemen ekonomi pemerintahan orde baru yang telah merusak pilar-pilar ekonomi dalam dunia perbankan, kebijakan moneter, dan pinjaman utang luar negeri yang sangat tinggi.

Puncaknya pada tahun 1998 terjadi krisis moneter di Asia, mulai dari Thailand dan merambat ke Indonesia. Krisis tersebut terus berlanjut pada krisis yang bersifat multidimensi terutama kondisi politik yang berakibat jatuhnya kekuasaan rezim orde baru.69 Akibatnya para pelaku ekonomi dan konglomerat yang tidak mempunyai pijakan ekonomi yang kuat yang berdasarkan inovasi, kreasi dan produktifitas serta pertumbuhan yang berbasis sektor riil menjadi ambruk. Para pengusaha yang bermain di pasar uang mengalami guncangan yang maha dahsyat. Bagi pelaku usaha perbankan yang dengan menggunakan utang dalam bentuk dolar dan biasanya dalam jangka pendek telah jatuh tempo, sehingga menjadikan dolar melambung.

disebut Normative Sosiologis. Mochtar dipengaruhi oleh Eugen Ehlich dan William James di sampng Northrop

(culture-oriented approach) serta Lasswell dan McDougal (Policy Oriented Appraach).

68

Shidarta Gautama, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung : Utomo, 2006), hal. 15.

69

Pada saat itu inflasi meningkat dari 6% sampai 78%m sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya, akibatnya kemiskinan meningkat tajam. Sehingga antara tahun 1996-1999 proporsi orang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 20%. Lihat BPS-Statistic Indonesia, Bapenas dan UNDP Indonesia (Toward A New Consensus : Democracy and Human Development in Indonesia (Indonesia

Human Development Report 2001) dalam Shidarta Gautama, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, hal. 16.

(7)

Dengan situasi demikian, pemerintah mengambil kebijakan untuk mem-bail out atau menanggung beban utang swasta terutama pada bank-bank “bermasalah”, maka lahirlah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang brtugas mengambil alih utang-utang bank swasta nasional dengan dana talangan yang berasal dari International Monetery Fund (IMF) sebesar $ US 43 miliar yang bersifat jangka panjang. Pemberian dana talangan oleh IMF bukanlah tanpa syarat, secara regulatif utang dapat dikucurkan dengan persyaratan Indonesia harus melakukan reformasi sistem ekonoi dan hukum ekonomi tertentu, diantaranya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.70

Kehadiran Undang-Undang persaingan usaha di Indonesia merupakan pra syarat prinsip ekonomi modern. Yakin prinsip yang dapat memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk bersaing secara jujur dan terbuka dalam berusaha. Dengan Undang-Undang ini, pelaku usaha diharapkan menyadari kepentingan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tetapi harus dilakukan dengan cara persaingan yang jujur.

3. Landasan Politis dan Internasional

Sebagai sebuah wacana, sejak tahun 1970-an sikap anti monopoli dan persaingan usaha secara sehat telah dibicarakan di Indonesia. Sebab, struktur ekonomi pada masa orde baru memerlukan seperangkat Undang-Undang yang dapat mengkoreksi struktur ekonomi yang bersifat dominasi dan monopolistik oleh orang-orang tertentu, terutama orang atau golongan yang termasuk dalam pusaran kekuasaan (linkage power). Dalam perjalanannya, keingan dan wacana ini belum dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan political will pemerintah dalam bidang ekonomi yang belum berpihak.

70

Ade Maman Suherman, “Kinerja KPPU sebagai Watchdog Pelaku Usaha di Indonesia”, http://www.solusihukum.com., diakses pada 11 Agustus 2010.

(8)

Kemudian, keinginan untuk membentuk sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang persaingan usaha dan anti monopoli telah dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta instansi pemerintah. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) oleh badan penelitan dan pengembangannya pernah menelurkan konsep RUU Anti Monopoli. Demikian pula dengan departemen perdagangan yang berjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pernah membuat naskah akademi ktentang persaingan sehat di bidang perdagangan. Namun sangat disayangkan, usaha tersebut belum berhasil, hal ini disebabkan kemauan politik (political will) dari elite penguasa pada waktu itu yang belum menunjukkan keseriusan.

Bahkan pasca lahirnya Undang-Undang ini juga menimbulkan pro dan kontra. Secara politis maupun ekonomis, terdapat pihak-pihak yang kurang bisa menerima Undang-Undang ini lebih pada posisi yang lemah dan euphoria politik yang kecil. Ada beberapa alasan mengapa pada waktu itu terdapat kesulitan untuk membentuk suatu Undang-Undang yang mengatur praktek monopoli dan mendapat persetujuan pemerintah, antara lain, yaitu : 71

1. Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu tumbuh menjadi lokomotif pembangunan. Perusahaan–perusahaan tersebut hanya mungkin menjadi besar untuk kemudian menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila diberi perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini, dalam pemberian proteksi dapat berakibat menghalangi masuknya perusahaan lain sehingga memberikan posisi monopoli.

2. Pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi

pioneer di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi, pemerintah sulit

memperoleh kesediaan investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut.

71

Sutan Remy Sjahdeni (A), “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal

(9)

3. Untuk menjaga berlangsungnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme demi kepentingan Kroni Mantan Presiden Soeharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu.

Akhirnya, untuk pertama kalinya DPR menggunakan hak inisiatif untuk mengusulkan Undang-Undang antimonopoli.72 Dalam konteks inilah apa yang disebut politik hukum, sebab hukum yang terbentuk berdasarkan dari konsensus politik yang ada.

Secara hubungan internasional, lahir dan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 juga merupakan konsekuensi atas diratifikasinay perjanjian arrakesh oleh DPR dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 yang mengharuskan Indonesia membuka diri dan tidak boleh memberikan perlakukan diskriminatif, seperti pemberian proteksi terhadap entry bearier suatu perusahaan dan adanya tekanan IMF yang telah menjadi kreditor bagi Indonesia dalam rangka membatasi krisis moneter yang telah dahsyat melanda dan menjadikan terpuruknya ekonomi Indonesia secara luas.73

Pengawasan terhadap pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli di Indonesia diserahkan kepada KPPU dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Anti Monopoli, dimana sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Anti Monopoli ini lahirlah Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999 (selanjutnya disebut “Keppres No.75 Tahun 1999”) tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.74 KPPU bertindak sebagai lembaga kuasi yudisial.75 Pembentukan KPPU diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha dengan lebih

72

Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 2. 73

Remy Sjahdeni, Op.cit, hal. 5. 74

Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 75

KPPU menjalankan wewenang sebagai peneliti, penyelidik, pemeriksa, sampai dengan menjatuhkan suatu Keputusan.Abdul Hakim G.Nusantara “Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU): Status, wewenang, dan Tugasnya” dalam Undang-Undang No.5/1999 dan KPPU Filosofi dan latar belakang Undang-Undang No.5/1999:

Procedings Rangkaian Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan Dan Wawasan hukum Bisnis Lainnya Tahun 2002:

Jakarta 10-11 september 2002/tim editor, Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, Cet.1, (Jakarta : Pusat Kajian Hukum, 2003), hal. 16.

(10)

cepat, efisiensi, dan efektif, sesuai dengan asas dan tujuannya.76 Menurut Bagir Manan, KPPU adalah salah satu instrumen meski tidak dikatakan sebagai salah sau bentuk Dispute Resolution. Hal ini diartikan bahwa perselisihan-perselisihan bisnis yang berkaitan dengan persaingan atau monopoli kalau dapat tidak perlu masuk ke pengadilan, tetapi cukup diselesaikan oleh KPPU saja.77 Salah satu permasalahan yang sering kali diperhatikan para pengamat hukum persaingan adalah apakah KPPU merupakan sebuah pengadilan khusus di bawah peradilan umum sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman”)78. Jika KPPU sebagai peradilan, maka KPPU tidak boleh dijadikan pihak79 dalam keberatan di Pengadilan Negeri karena pengadilan tidak dapat dihukum atas putusannya yang keliru atau tidak benar. Apabila KPPU bukan sebagai badan peradilan,80 maka kewenangan memeriksa dan memutus kasus pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti Monopoli sifatnya kewenangan absolut yang tidak jauh berbeda dengan tugas dan kewenangan badan peradilan, bahkan lebih hebat lagi KPPU bisa menjadi polisi dan jaksa sekaligus dalam melakukan penyidikan dan penuntutan pidana.81 Berdasarkan Undang-Undang Anti Monopoli, KPPU mengemban tugas82 dan

76

Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 99. 77

Bagir Manan, “Sambutan Pengarahan” dalam Undang-Undang No.5/1999 dan KPPU Filosofi dan latar belakang Undang-Undang No.5/1999: Procedings Rangkaian Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan Dan Wawasan hukum Bisnis Lainnya Tahun 2002: Jakarta 10-11 September 2002/tim editor, Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, Cet.1, (Jakarta : Pusat Kajian Hukum, 2003), hal. XVIII.

78

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

79

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 (selanjutnya disebut “Perma No.3 Tahun 2005”) tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Pasal 2 ayat (3) menyatakan KPPU sebagai pihak di dalam perkara keberatan atas Putusan KPPU.

80

Lihat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 2, menyatakan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

81

Amir Syamsudin, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Bukan Peradilan?, www.kompas.com., diakses pada 10 Juli 2008.

82

Pasal 35 Undang-Undang Anti Monopoli, menyatakan: (huruf a sampai dengan g)

a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat

(11)

wewenang 83 yang amat luas. Menurut Pasal 36 huruf 1, KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar Undang-Undang Anti Monopoli. Bagi pelaku usaha yang tidak puas atas putusan KPPU, mereka dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri dalam jangka waktu empat belas hari kerja84 sejak menerima salinan putusan KPPU.85

B. Tujuan Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat

Secara umum, tujuan Undang-Undang Anti Monopoli ini adalah untuk memangkas praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang merajalela di Indonesia pada zaman pemerintah orde baru, dimana praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat tersebut banyak terjadi kebijakan pemerintah yang kerap kali menguntungkan pelaku usaha tertentu saja.86

Selain tujuan umum, masing-masing negara mempunyai tujuan khusus menghadirkan hukum persaingan usaha. Di Amerika Serikat, hukum persaingan usaha bertujuan melindungi sistem kompetisi (preserve competititve system), di Jerman, bertujuan memajukan kesejahteraan

83

Pasal 36 Undang-Undang Anti Monopoli menyatakan (huruf a sampai dengan l)

a. menerima laporan dari masyarakat atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

84

Hari kerja adalah hari senin sampai dengan hari Jum’at kecuali hari libur nasional. Lihat keputusan KPPU No.5/KPPU/Kep/IX/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1.

85

Lihat Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli. 86

Pelaku usaha diartikan yang luas yaitu setiap orang dan badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang ekonomi termasuk dalam pengertian pelaku usaha. Pengertian tersebut jelas tidak membedakan antara pelaku usaha asing dan domestik. Sepanjang mereka menjalankan kegiatan usahanya diwilayah hukum republik Indonesia, mereka termasuk pelaku sebagai pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli. Karena tidak dibedakan, badan usaha milik negara pun termasuk dalam kategori pelaku usaha, sama seperti orang perorangan atau badan usaha swasta. Lihat Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal.78.

(12)

dan kebebasan warga negara dan di Swedia, bertujuan mencapai pemanfaatan optimal dari sumber-sumber yagn ada di masyarakat.

Adapun di Indonesia, tujuan hukum persaingan usaha melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah :

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasinal sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui peraturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesemaptan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.

3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yagn ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan

4. Terciptanya efektifitas dalam kegiatan usaha.

Undang-Undang Anti Monopoli telah melewati delapan tahun keberadaannya di Indonesia, namun banyak kontroversi yang muncul, salah satu penyebab kontroversi tersebut adalah Undang-Undang Anti Monopoli kurang rinci mengatur penyelesaian perkara-perkara persaingan usaha, dan terutama peran lembaga peradilan dalam menangani keberatan terhadap Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut “KPPU”).87 Analogi persaingan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berbisnis adalah dimana persaingan dianggap bersifat individualistik dan selalu berorientasi pada keuntungan.88 Lembaga yang akan menjadi penjaga untuk tegaknya peraturan persaingan merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan dapat lebih operasional. Pemberian kewenangan khusus kepada suatu komisi untuk

87

Siti Anisah, ”Permasalahan Seputar Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan KPPU”, Artikel dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, 2005, hal. 16.

88

(13)

melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan merupakan hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan negara.

C. Pengecualian Terhadap Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba

1. Penerapan Pasal 50 Huruf B, Khususnya Mengenai Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba

Prinsip penerapan persaingan usaha dalam analisis terhadap perjanjian waralaba selalu diarahkan untuk mencapai tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yaitu untuk meningkatkan efisiensi ekonomi sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha, mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Berdasarkan Pasal 50 huruf b perjanjian yang terkait dengan waralaba termasuk salah satu yang dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 50 huruf b berbunyi sebagai berikut : “dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 : b. “perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”.89

89

Pasal 50 huruf b, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Op.cit.

(14)

Prinsip pengecualian terhadap perjanjian yang terkait dengan waralaba berangkat dari asas bahwa pada dasarnya ketentuan/klausul dalam perjanjian waralaba yang merupakan hal yang esensial untuk menjaga identitas bersama dan reputasi jaringan waralaba, atau untuk menjaga kerahasiaan HAKI yang terkandung dalam konsep waralaba dapat dikenakan pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf b. Berdasarkan prinsip tersebut maka dalam perjanjian waralaba diperbolehkan memuat ketentuan/klausul yang mengatur mengenai kewajiban-kewajiban bagi penerima waralaba dalam rangka menjamin konsep waralaba dan HAKI yang dimiliki oleh pemberi waralaba. Ketentuan/klausul tersebut misalnya antara lain adalah kewajiban untuk menggunakan metoda usaha yang ditetapkan oleh pemberi waralaba, mengikuti standar perlengkapan dan penyajian yang ditentukan pemberi waralaba, tidak merubah lokasi waralaba tanpa sepengetahuan pemberi waralaba, dan tidak membocorkan HAKI yang terkait dengan waralaba kepada pihak ketiga, bahkan setelah berakhirnya masa berlakunya perjanjian waralaba.

Namun demikian perlu disadari bahwa dalam perjanjian waralaba dapat pula mengandung ketentuan/klausul yang berpotensi menghambat persaingan, seperti penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian waralaba.

Klausul/ketentuan sebagaimana disebutkan di atas berpotensi bertentangan dengan pencapaian tujuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang menginginkan adanya efisiensi, kesempatan berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha, dan pengembangan teknologi. Dalam hal perjanjian waralaba memuat ketentuan/klausul yang menghambat persaingan, maka perjanjian waralaba tidak termasuk dalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50

(15)

huruf b dan Komisi akan melakukan penilaian lebih lanjut mengenai dampak dari hambatan persaingan tersebut terhadap efisiensi ekonomi.90

Klausul/ketentuan mengenai pembatasan wilayah yang biasa terdapat dalam perjanjian waralaba untuk mengatur sistem jaringan waralaba biasanya termasuk dalam kategori yang dikecualikan. Pemberi waralaba pada dasarnya dapat mengatur wilayah eksklusif bagi penerima waralaba, dalam hal demikian maka pengecualian dapat diberikan terhadap ketentuan/klausul yang bertujuan untuk membatasi kegiatan pemberi waralaba di dalam wilayah yang telah diperjanjikan dan kegiatan penerima waralaba diluar wilayah yang diperjanjikan. Namun demikian, pengecualian tidak dapat diberikan apabila hambatan berupa pembatasan wilayah tersebut mengarah pada perlindungan wilayah secara absolut. Dalam hal pemberi waralaba dan penerima waralaba, baik secara langsung maupun tidak langsung menghalangi konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa dengan alasan tempat kediaman konsumen diluar wilayah waralaba yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan membagi pasar maka hal tersebut tidak termasuk dalam kategori pengecualian. Pengecualian terutama tidak dapat diterapkan apabila pembatasan wilayah mengakibatkan membatasi persaingan pada pasar bersangkutan sehingga berdampak pada efisiensi ekonomi.

Klausul/ketentuan mengenai kewajiban pasokan dalam perjanjian waralaba biasanya dimaksudkan untuk menjaga standar kualitas produk waralaba. Jaminan adanya standar minimum kualitas produk sangat penting dalam usaha waralaba agar tidak merusak identitas dari konsep waralaba itu sendiri. Untuk itu pemberi waralaba biasanya mewajibkan penerima waralaba untuk memasok hanya dari pemberi waralaba atau pihak tertentu produk yang menjadi

90

Undang-Undang Persaingan Usaha tersebut diratifikasi dengan dasar karena Indonesia pada waktu itu menganut sistem perekonomian liberal yang dikemukakan oleh Adam Smith mengenai invisible hands, yaitu tangan-tangan yang tidak terlihat terlibat dalam kegiatan perekonomian negara. Seluruh masyarakat berhak untuk mendapatkan kesempatan dalam hal berusaha pada satu bidang usaha, dalam hal ini berbicara mengenai lisensi merek.

(16)

esensi dari konsep waralaba, dimana khususnya terkait dengan HAKI yang telah dipatenkan yang menjadi bagian utama dari konsep waralaba. Namun demikian perlu dipahami bahwa perjanjian pasokan yang demikian juga dapat menghambat persaingan karena membatasi pelaku usaha lain untuk dapat ikut memasok kepada penerima waralaba.

Untuk itu maka ketentuan yang demikian, apabila tidak terkait dengan HAKI produk yang menjadi esensi dari konsep waralaba, tidak dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Perjanjian waralaba biasanya memuat pula klausul/ketentuan yang mengatur mengenai penetapan harga jual. Pengaturan mengenai penetapan harga jual biasanya dimaksudkan agar penerima waralaba tidak menetapkan harga yang dapat merusak identitas dari waralaba. Untuk itu rekomendasi harga yang dibuat oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba dapat dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Namun demikian perlu disadari bahwa penetapan harga yang mengarah pada kartel harga sehingga menghilangkan persaingan harga tidak dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.91 Kartel dimaksud disini adalah adanya perjanjian antara pelaku usaha dalam hal mengadakan barang dan atau jasa, juga melakukan penetapan harga atau “price fixing”.

Ketentuan/klausul yang mewajibkan penerima waralaba untuk membeli beberapa jenis barang dari pemberi waralaba dalam rangka menjaga standar kualitas dari konsep waralaba pada dasarnya tidak melanggar prinsip persaingan usaha. Namun demikian, perlu dipahami bahwa kewajiban yang demikian dapat menghalangi produk substitusi dan menghambat persaingan.

91

Menurut Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Op.cit., mengatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

(17)

Untuk itu maka kewajiban untuk membeli barang lain yang tidak terkait dengan konsep waralaba,

yang dapat menciptakan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha lain tidak dapat kenakan pengecualian terhadap penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Ketentuan/klausul yang melarang penerima waralaba untuk melakukan kegiatan usaha yang sama yang dapat bersaing dengan jaringan usaha waralaba dapat dikenakan ketentuan pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf b. Larangan tersebut dimaksudkan untuk perlindungan HAKI pemilik waralaba dan menjaga identitas dan reputasi jaringan waralaba, khususnya bila pemberi waralaba telah melakukan transfer know how, baik berupa pengetahuan, pengalaman dan keahlian, serta kemampuan teknis kepada penerima waralaba. Namun demikian perlu disadari bahwa hambatan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama tersebut dalam jangka waktu panjang justru akan mempengaruhi persaingan dan berdampak negatif pada efisiensi ekonomi. Untuk itu maka ketentuan hambatan setelah berakhirnya perjanjian waralaba dalam waktu yang terlalu panjang tidak termasuk dalam pengecualian penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Untuk menetapkan jangka waktu yang tidak melanggar persaingan usaha maka Komisi92 akan memperhatikan berbagai pertimbangan, antara lain teknologi dari waralaba dan investasi yang telah dikeluarkan. Apabila teknologi waralaba sudah merupakan domain publik dan investasi yang dikeluarkan tidak besar, maka jangka waktu untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama biasanya adalah 1 (satu) tahun.

2. Penerapan Ketentuan Pasal 50 huruf b Terkait Dengan Perjanjian Waralaba

92

Komisi disini diartikan sebagai Komisi Pertimbangan dalam perusahaan yang memberikan lisensi kepada pemohon lisensi. Biasanya di dalam sebuah perusahaan yang menjual merek, ada sebuah dewan yang mempertimbangkan apakah pemohon memiliki kredibilitas untuk diberikan lisensi merek perusahaan.

(18)

Dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b, khususnya perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus mempertimbangkan dengan bijaksana agar tidak melanggar hakikat tujuan dibentuknya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun pertimbangan yang perlu diperhatikan antara lain kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba harus terpenuhi :93

1. Kriteria perjanjian waralaba dan pendaftarannya sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 10, Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba harus terpenuhi;

2. Pembuatan perjanjian harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 jo. Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 3. Perjanjian waralaba merupakan bentuk kemitraan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 huruf c

jo. Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan

4. Isi Perjanjian Waralaba tidak berpotensi melanggar prinsip Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

5. Beberapa contoh kriteria perjanjian waralaba yang berpotensi melanggar prinsip larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sehingga ketentuan Pasal 50 huruf b tidak dapat diterapkan:

a. Penetapan harga jual (Resale Price Maintenance)

93

(19)

Pemberi waralaba membuat perjanjian94 dengan penerima waralaba yang memuat penetapan harga jual yang harus diikuti oleh penerima waralaba. Penerima waralaba sebagai pelaku usaha mandiri pada dasarnya memiliki kebebasan untuk menetapkan harga jual barang dan/atau jasa yang didapatnya dari pemberi waralaba. Dari perspektif persaingan usaha, penetapan harga jual dalam waralaba dilarang karena akan menghilangkan persaingan harga antara penerima waralaba. Hal tersebut menimbulkan harga yang seragam di antara penerima waralaba dan akibatnya konsumen dihadapkan pada harga yang seragam pula. Penetapan harga yang demikian tidak dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Namun demikian, untuk menjaga nilai ekonomis dari usaha waralaba, maka pemberi waralaba diperbolehkan membuat rekomendasi harga jual kepada penerima waralaba, sepanjang harga jual tersebut tidak mengikat penerima waralaba.

b. Persyaratan untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa hanya dari Pemberi Waralaba atau pihak lain yang ditunjuk oleh Pemberi Waralaba Perjanjian Waralaba memuat persyaratan yang mengharuskan penerima waralaba untuk membeli barang atau jasa yang menjadi bagian dari konsep waralaba hanya dari pemberi waralaba atau pihak lain yang ditunjuk oleh pemberi waralaba. Persyaratan tersebut dapat dikecualikan sepanjang dilakukan untuk mempertahankan identitas dan reputasi dari waralaba yang biasanya dimaksudkan untuk menjaga konsep waralaba yang telah diciptakan oleh pemberi waralaba. Meskipun demikian, pemberi waralaba tidak boleh melarang penerima waralaba untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa dari pihak lain sepanjang barang dan atau jasa tersebut memenuhi standar kualitas yang disyaratkan oleh pemberi

94

R. Subekti, KitabUndang-Undang Hukum Perdata, (Bandung : Pradnya Paramita, 1979). Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : “Pejanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut”.

(20)

waralaba. Penetapan pembelian pasokan hanya dari pemberi waralaba atau pihak tertentu dapat menimbulkan hambatan bagi pelaku usaha lain yang mampu menyediakan pasokan dengan kualitas yang sama. Untuk itu pemberi waralaba tidak diperbolehkan menetapkan secara mutlak akses pembelian atau pasokan yang diperlukan oleh penerima waralaba sepanjang hal itu tidak menggangu konsep usaha waralaba.

c. Persyaratan untuk membeli barang dan/jasa lain dari pemberi waralaba Pemberi waralaba mengharuskan penerima waralaba untuk bersedia membeli barang atau jasa lain dari Pemberi waralaba a (tie-in). Perjanjian waralaba yang memuat kewajiban kepada penerima waralaba untuk membeli produk lain dari pemberi waralaba tidak dipandang sebagai pelanggaran persaingan usaha, sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan identitas dan reputasi waralaba. Perlu diketahui bahwa, kewajiban untuk membeli produk lain yang bukan menjadi bagian dari paket waralaba tidak dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

d. Pembatasan wilayah

Pemberi waralaba melakukan pembatasan wilayah dengan cara menetapkan wilayah tertentu kepada penerima waralaba. Dalam perjanjian waralaba biasanya memuat klausul tentang wilayah usaha. Klausul tersebut dimaksudkan untuk membentuk system jaringan waralaba.95 Dalam hal demikian, maka pengaturan wilayah usaha tidak dipandang sebagai pelanggaran persaingan usaha, sehingga dapat dikecualikan. Namun demikian, pembatasan wilayah yang tidak dilakukan dalam rangka membentuk sistem jaringan waralaba melainkan untuk membatasi pasar dan konsumen tidak dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

95

Suroto SP, “ Mencermati Perjanjian Waralaba”, http://totosp.wordpress.com/2009/04/24/bagian-ii1262html?zx=d534a4o., diakse pada 27 november 2010.

(21)

e. Persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama selama jangka waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.

Pemberi waralaba mensyaratkan agar penerima waralaba tidak melakukan kegiatan usaha yang sama dengan usaha waralaba selama jangka waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.

Syarat tersebut dapat dikecualikan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sepanjang dimaksudkan untuk melindungi dan/atau berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pemberi waralaba atau untuk menjaga identitas dan reputasi usaha waralaba. Namun demikian, persyaratan tersebut dalam jangka waktu panjang dapat berakibat pada terhambatnya persaingan dan kemajuan teknologi. Oleh karena itu, persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama dengan usaha waralaba dalam jangka waktu yang lama tidak dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Dalam hal mempertimbangkan lamanya jangka waktu yang dipandang berpotensi melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Komisi memperhatikan berbagai hal diantaranya adalah teknologi produk waralaba, biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk waralaba, sifat produk waralaba

(apakah sudah menjadi public domain atau tidak).

Unsur-Unsur Pasal 50 huruf b, khususnya berkenaan dengan Waralaba yang harus diperhatikan, adalah :

1. Perjanjian

Pasal 1 angka 6 mengatur bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

(22)

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba mendefinisikan waralaba sebagai berikut: Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

3. “Yang berkaitan dengan” yang dimaksud dengan ”yang berkaitan dengan” adalah yang

bersangkut paut dengan atau berhubungan dengan. Dalam hal ini, perjanjian yang terkait

dengan waralaba adalah perjanjian waralaba, dimana didalamnya memuat HAKI sebagai dasar dari produk yang diwaralabakan.

Dalam melakukan analisis pengecualian terhadap Pasal 50 huruf b, khususnya berkenaan dengan perjanjian waralaba, Komisi Pengawas Persaingan Usaha melakukan beberapa tahapan penilaian sebagai berikut:

1. Konsep/kriteria waralaba berdasarkan PP No. 42/2007 terpenuhi

Kriteria usaha waralaba sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 3 PP No. 42 Tahun 2007 harus dipenuhi oleh Pemberi waralaba.

2. Terdapat perjanjian waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba

Perjanjian waralaba adalah perjanjian antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba, sebagai dasar penyelenggaraan waralaba.

3. Isi Perjanjian Waralaba dapat berpotensi melanggar prinsip persaingan usaha Perjanjian waralaba yang potensi melanggar prinsip persaingan usaha berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah:

(23)

b. Persyaratan untuk membeli pasokan barang dan atau jasa hanya dari Pemberi Waralaba atau pihak lain yang ditunjuk oleh Pemberi Waralaba

c. Persyaratan untuk membeli barang dan/jasa lain dari pemberi waralaba d. Pembatasan wilayah

e. Persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama selama jangka waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.

Referensi

Dokumen terkait

Hampir semua distribusi Sistem Operasi, secara defaultnya menyertakan BIND sebagai program DNS Server mereka, sehingga banyak orang mengidentifikasikan atau berpikir DNS Server

Meskipun meyakini pentingnya pengalaman empiris sebagai saluran ilmu pengetahuan yang absah, Islam tidak berpegang pada pendapat yang saat ini berlaku di Barat, bahwa kebenaran itu

RML bin SMD (P.2, P.4), hal mana dalam hukum kewarisan anak kandung adalah termasuk kelompok ahli waris yang tidak pernah terhalang sama sekali, dan berdasarkan

Sehingga modul Bluetooth HC-05 dapat mengetahui ketika sebuah paket data selesai dikirim dari aplikasi kontroler lengan robot smartphone Android. Gambar 14 Format frame

Pendidikan Jiwa (al-Tarbiyah al-Nafs) adalah Suatu upaya untuk membina, medidik, memelihara, menjaga, membimbing dan membersihkan sisi dalam diri manusia (Jiwa)

Dalam hal ini, Narasumber-2 diperkenalkan pertama kali kepada para staff dan karyawan yang bekerja dalam beberapa divisi salah satunya juga adalah Narasumber-3

Hasil evaluasi pada tolok ukur panjang hipokotil produksi tahun 2009 dan 2010, menunjukkan bahwa antara vigor daya simpan benih cabai hibrida dan non hibrida tidak berbeda nyata,

Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan persuratan, penyusunan rencana program, keuangan, administrasi kepegawaian, perlengkapan, dokumentasi dan