LAPORAN PENDAHULUAN
“APENDISITIS”
OLEH
NUR RAHMI
NIM. 201520461011092
PROGRAM PROFESI S.I KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMMADIYAH MALANG
2016
APENDISITIS
A. PengertianApendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne (2001),
Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Jadi, dapat disimpulkan Apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).
Klasifikasi Apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005).
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat 2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya :riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks,sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik.Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
B. Anatomi Fisiologi 1. Anatomi Usus Besar
Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter,adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka,yaitu tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau pembuangan. Usus besar terdiri atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus halus. Serabut longitudinal pada dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus dari yang ada pada usus halus dan tidak memiliki vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder yang memuat sela cangkir. Usus besar terdiri dari:
a. Sekum
Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit, berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.
b. Kolon
Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga bagian, yaitu :
1) Kolon asenden
Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika. 2) Kolon transversum
Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik
3) Kolon desenden
Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.
RektumAdalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.
2. Anatomi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior,medial dan posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada Apendisitis bermula disekitar umbilikus.
3. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil,
maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005).
C. Klasifikasi
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks. b. Fekalit
c. Benda asing d. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu
kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan
D. Etiologi
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasite seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005)
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:
1. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak. b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c. Adanya benda asing seperti biji-bijian
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya. 2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus
3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks: a. Appendik yang terlalu panjang b. Massa appendiks yang pendek
c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks d. Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009) E. Manifestasi Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan. 3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum. 6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis. 9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau
Obraztsova’s sign Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudiandilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s
sign Nyeri yang semakin bertambah pada perutkuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan (akan positif Shchetkin-Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba
F. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mucus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis.Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
G. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
H. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
I. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa Apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan ( akhyar yayan,2008 ). Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002)
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik 2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
J. Pengkajian
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.
1. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor. 3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus. b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon. c. Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat dan memperingan.
4. Pemeriksaan fisik a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
d. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika (Akhyar Yayan, 2008 ).
5. Perubahan pola fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000) adalahsebagai berikut : a. Aktivitas / istirahat Gejala : Malaise. b. Sirkulasi Tanda : Takikardi. c. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang). Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan.: Penurunan atau tidak ada bising usus.
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia. : Mual/muntah. e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks).
Keluhan berbagai rasa nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau sebelah ureter). Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau telentang dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.: Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.
f. Pernapasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal. g. Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah). 6. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrophil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL 1. Pre operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)
b. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah. d. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
2. Post operasi
a. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
b. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).
c. Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi.
L. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PRE OPERASI
N
O KEPERAWATANDIAGNOSA NOC NIC RASIONAL
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan nyeri klien berkurang dengan kriteria hasil:
1. Klien mampu
mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. Tanda vital dalam
rentang normal 4. TD (systole 110-130mmHg, diastole 70-90mmHg), HR(60-100x/menit), RR (16-24x/menit), suhu (36,5-37,50C)
5. Klien tampak rileks mampu tidur/istirahat
1. Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
2. Jelaskan pada pasien tentang penyebab nyeri
3. Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat / napas dalam 4. Berikan aktivitas hiburan
(ngobrol dengan anggota keluarga)
5. Observasi tanda-tanda vital
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik
1. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya
2. informasi yang tepat dapat menurunkan tingkat
kecemasan pasien dan menambah pengetahuan pasien tentang nyeri. 3. napas dalam dapat
menghirup O2 secara
adequate sehingga otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri. 4. meningkatkan relaksasi
dan dapat meningkatkan kemampuan kooping. 5. deteksi dini terhadap
perkembangan kesehatan pasien.
dapat menghilangkan rasa nyeri.
2. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan konstipasi klien teratasi dengan kriteria hasil:
1. BAB 1-2 kali/hari 2. Feses lunak 3. Bising usus 5-30
kali/menit
1. Pastikan kebiasaan defekasi klien dan gaya hidup sebelumnya. 2. Auskultasi bising usus
3. Tinjau ulang pola diet dan jumlah / tipe masukan cairan.
4. Berikan makanan tinggi serat.
5. Berikan obat sesuai indikasi, contoh : pelunak feses 1. membantu dalam pembentukan jadwal irigasi efektif 2. kembalinya fungsi gastriintestinal mungkin terlambat oleh inflamasi intra peritonial
3. masukan adekuat dan serat, makanan kasar memberikan bentuk dan cairan adalah faktor penting dalam
menentukan konsistensi feses.
4. makanan yang tinggi serat dapat memperlancar pencernaan sehingga tidak terjadi konstipasi.
5. obat pelunak feses dapat melunakkan feses
sehingga tidak terjadi konstipasi.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan dapat
1. Monitor tanda-tanda vital 1.Tanda yang membantu mengidentifikasikan fluktuasi volume
dipertahankan dengan kriteria hasil:
1. kelembaban membrane mukosa
2. turgor kulit baik
3. Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam
4. Tanda-tanda vital dalam batas normal 5. TD (systole 110-130mmHg, diastole 70-90mmHg), HR(60-100x/menit), RR (16-24x/menit), suhu (36,5-37,50C)
2. Kaji membrane mukosa, kaji tugor kulit dan pengisian kapiler. 3. Awasi masukan dan
haluaran, catat warna urine/konsentrasi, berat jenis.
4. Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus, gerakan usus.
5. Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindungan bibir.
6. Pertahankan penghisapan gaster/usus.
7. Kolaborasi pemberian cairan IV dan elektrolit
intravaskuler.
2.Indicator keadekuatan
sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
3.Penurunan haluaran urin pekat dengan peningkatan berat jenis diduga
dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan. 4.Indicator kembalinya
peristaltic, kesiapan untuk pemasukan per oral.
5.Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecah-pecah
6.Selang NG biasanya dimasukkan pada praoperasi dan
dipertahankan pada fase segera pascaoperasi untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah mentah. 7.Peritoneum bereaksi terhadap
iritasi/infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume
sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit 4. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan kecemasab klien berkurang dengan kriteria hasil:
1. Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat teratasi
2. Tampak rileks
1. Evaluasi tingkat ansietas, catat verbal dan non verbal pasien.
2. Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan
3. Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur. 4. Anjurkan keluarga untuk
menemani disamping klien
1. ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, penting pada prosedur diagnostik dan
pembedahan.
2. dapat meringankan ansietas terutama ketika pemeriksaan tersebut melibatkan pembedahan 3. membatasi kelemahan,
menghemat energi dan meningkatkan kemampuan koping.
POST OPERASI N
O KEPERAWATANDIAGNOSA NOC NIC RASIONAL
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil:
1. Melaporkan nyeri berkurang
2. Klien tampak rileks 3. Dapat tidur dengan
tepat
1. Kaji skala nyeri lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
2. Monitor tanda-tanda vital
1. Berguna dalam pengawasan dan
keefesien obat, kemajuan penyembuhan,perubahan dan karakteristik nyeri. 2. deteksi dini terhadap
4. Tanda-tanda vital dalam batas normal 5. TD (systole 110-130mmHg, diastole 70-90mmHg), HR(60-100x/menit), RR (16-24x/menit), suhu (36,5-37,50C) 3. Pertahankan istirahat dengan posisi semi powler. 4. Dorong ambulasi dini.
5. Berikan aktivitas hiburan. 6. Kolborasi tim dokter dalam
pemberian analgetika.
kesehatan pasien.
3. Menghilangkan tegangan abdomen yang
bertambah dengan posisi terlentang. 4. Meningkatkan kormolisasi fungsi organ. 5. meningkatkan relaksasi. 6. Menghilangkan nyeri. 2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan infeksi dapat diatasi dengan kriteria hasil:
1. Klien bebas dari tanda-tanda infeksi 2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3. Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul)
1. Kaji adanya tanda-tanda infeksi pada area insisi 2. Monitor tanda-tanda vital.
Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental 3. Lakukan teknik isolasi
untuk infeksi enterik, termasuk cuci tangan efektif.
4. Pertahankan teknik aseptik ketat pada perawatan luka insisi / terbuka, bersihkan dengan betadine.
5. Awasi / batasi pengunjung dan siap kebutuhan.
1. Dugaan adanya infeksi 2. Dugaan adanya
infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis
3. mencegah transmisi penyakit virus ke orang lain.
4. mencegah meluas dan membatasi penyebaran organisme infektif / kontaminasi silang. 5. menurunkan resiko
6. Kolaborasi tim medis dalam pemberian antibiotik
6. terapi ditunjukkan pada bakteri anaerob dan hasil aerob gra negatif.
3. Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan kebersihan klien dapt dipertahankan dengan kriteria hasil:
1. klien bebas dari bau badan
2. klien tampak bersih 3. ADLs klien dapat mandiri
atau dengan bantuan
1. Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan potong kuku klien.
2. Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih. 3. Berikan Hynege Edukasi
pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri. 4. Berikan pujian pada klien
tentang kebersihannya. 5. Bimbing keluarga klien memandikan / menyeka pasien
6. Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
1. Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kesehatan. 2. Untuk melindungi klien
dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman
3. Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene.
4. Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan
5. Agar keterampilan dapat diterapkan
6. Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi. 4. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji ulang pembatasan 1. Memberikan informasi
tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi. keperawatan diharapkan pengetahuan bertambah dengan kriteria hasil:
1. menyatakan
pemahaman proses penyakit, pengobatan dan berpartisipasi dalam program pengobatan
aktivitas pascaoperasi
2. Anjuran menggunakan laksatif/pelembek feses ringan bila perlu dan hindari enema
3. Diskusikan perawatan insisi, termasuk
mengamati balutan, pembatasan mandi, dan kembali ke dokter untuk mengangkat
jahitan/pengikat
4. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medic, contoh peningkatan nyeri edema/eritema luka, adanya drainase, demam
pada pasien untuk merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah. 2. Membantu kembali ke
fungsi usus semula mencegah ngejan saat defekasi
3. Pemahaman
meningkatkan kerja sama dengan terapi, meningkatkan penyembuhan 4. Upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi lambatnya penyembuhan peritonitis.
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Fatma. (2010). Askep Appendicitis. Diakses
http://fatmazdnrs.blogspot.com/2010/08/askep-appendicitis.html pada tanggal 09 Mei 2012.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi. Nuzulul. (2009). Askep Appendicitis. Diakses
http://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20Pencernaan
Askep%20Apendisitis.html tanggal 09 Mei 2012.
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC
http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2014/01/laporan-pendahuluan-apendisitis.html
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-agustinnur-5451-2-babii.pdf
Achadiat CM. 2004. Prosedur tetap Obstetri dan ginekologi. Jakarta : EGC Manuaba IBG. 2003. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetric dan Ginekologi.
Edisi 2. Jakarta : EGC
Moore JG. 2001. Essensial obstetri dan ginekologi. Edisi 2. Jakarta : Hipokrates
Arif Mansjoer, 2001, Kapita selekta Kedokteran 1, Buku Kedokteran, EGC, Jakarta 2001
Prawirohardjo, Sarwono, 1996, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta : YBP-SP
Price, Sylvia Anderson, (1996) Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta : EGC
Bobak, Lowdermik, Jensen, 2004, Buku Ajar Keperawatan Maternitas / Maternity Nursing (Edisi 4), Alih Bahasa Maria A. Wijayati, Peter l. Anugerah, Jakarta : EGC
Sastrawinata, S., 2004. Obsetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi, ed.2. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
Ngastiyah (1997). Perawatan Anak Sakit. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Internasional, NANDA, Herman, T Heater. (2012).
Diagnosis Keperawatan dan Klasifikasi (2015-2017).Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.