Perbedaan Sistem Hukum
Negara2 di dunia mengenal adanya perbedaan sistem hukum yang karenanya sangat menentukan tatanan kehidupan kenegaraan yang tercakup di dalamnya.
Sistem Hukum yang berlaku di dunia antara lain:
Sistem Hukum Civil Law (Eropa Kontinental) Rechtsstaat
Sistem Hukum Common Law (Anglo Saxon) Rule of Law
Sistem Hukum Islam Nomokrasi Islam
Sistem Hukum Sosialis Socialist Legality
Sistem Hukum Adat
Perbedaan sistem hukum ini menimbulkan konsekwensi pada mazhab hukum yang dianut pada wilayah tertentu, terkait dengan sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman yang berlaku di dalamnya.
Rechtsstaat (Negara Hukum)
Gagasan konstitusionalisme Negara Hukum (RechtsStaat) di Eropa Kontinental (tempat berlakunya sistem hukum civil law) pada abad ke 19 hingga permulaan abad 20, oleh ditandai dengan Ciri2:
Jaminan atas perlindungan HAM;
Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM trias politica;
Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang2an (Wetmatigheid van Bestuur);
Peradilan Administrasi.
Rule of Law
Sementara pada wilayah negara-negara Anglo Saxon,
berkembang prinsip Rule of Law:
Supremasi Hukum, dalam arti tidak boleh ada
kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika
melanggar hukum;
Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa
maupun bagi pejabat;
Terjaminnya HAM oleh UUD dan keputusan pengadilan.
Negara Kemakmuran (Welvaarts Staat
atau Welfare State)
Berkembang pada abad XX
Wetmatigheid menjadi rechtmatigheid
Paul Scholten dan Scheltema (Eropa Kontinental) Wade dan Philip (Anglo Saxon)
Negara Hukum Konsep International
Commision of Jurist di Bangkok (1965)
Unsur-unsur dari rule of law:
o
Adanya proteksi konstitusional
o
Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak
o
Adanya pemilihan umum yang bebas
o
Adanya kebasan untuk menyatakan pendapat dan
berserikat
o
Adanya tugas oposisi
o
Adanya pendidikan civic
7
Elemen Negara Hukum
(Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H.,M.S.)
1.
Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak
asasi manusia
2.
Asas legalitas
3.
Asas pembagian kekuasaan negara
4.
Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak
5.
Asas kedaulatan rakyat
6.
Asas demokrasi, dan
Teori Pemisahan Kekuasaan
Montesquieu The Spirit of Laws (1748)
Montesquieu memisahkan 3 (tiga) jenis kekuasaan,
yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan yudikatif. Berbeda dengan John Locke
yang memasukkan kekuasaan yudisial dalam
kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang
kekuasaan pengadilan sebagai kekuasaan yang
berdiri sendiri.
Teori Pemisahan Kekuasaan
Montesquieu The Spirit of Laws (1748)
Bila kekuasaan legislatif dan eksekutif dipegang oleh
satu orang atau oleh sebuah badan, maka tidak akan
ada kebebasan karena warga negara akan khawatir
jika raja atau senat yang membuat UU tirani akan
memerintah mereka secara tiran.
Teori Pemisahan Kekuasaan
Montesquieu The Spirit of Laws (1748)
Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman
tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan
kekuasaan eksekutif, maka kekuasaan atas
kehidupan dan kebebasan warga negara akan
dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan
menjadi pembuat hukum, dan jika hakim disatukan
dengan kekuasaan eksekutif maka hakim bisa
TNI/POLRI dewan pertimbangan
kementerian
negara badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
KY
UUD 1945
kpu sentralbank
DPR MPR DPD
LEMBAGA-LEMBAGA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
BPK Presiden MA MK PUSAT DAERAH Lingkungan Peradilan TUN Lingkungan Peradilan Militer Lingkungan Peradilan Agama Lingkungan Peradilan Umum Perwakilan
BPK Provinsi Pemerintahan Daerah Provinsi DPRD Gubernur Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota DPRD Bupati/ Walikota 5
Pasal 24 Perubahan Ketiga UUD Negara R.I.
Tahun 1945:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara; dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
UU NOMOR 48 TAHUN 2009
Pasal 18
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Lembaga
Mahkamah Agung
Peradilan Umum
Peradilan Agama
Peradilan Militer
Peradilan Tata Usaha Negara
Mahkamah Konstitusi
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang
oleh MA, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh
Presiden [Pasal 24C (3)] Hakim konstitusi harus
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai
pejabat negara [Pasal 24C (5)] KEKUASAAN KEHAKIMAN Mahkamah Konstitusi
MK
Pasal 24C Wewenang1. berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum [Pasal 24C (1)];
2. wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 24C (2)];
MAHKAMAH AGUNG
Pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara R.I. Tahun
1945:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UU.”
Mahkamah Agung
Pasal 20
(1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan
peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(1) Mahkamah Agung berwenang:
a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
b. menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang-undang-undang; dan
Kasasi
“mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir.”
Putusan tingkat terakhir bisa terjadi pada putusan tingkat banding atau pengadilan tingkat pertama.Putusan terakhir pengadilan tingkat pertama terjadi apabila karena undang-undang menentukan tidak ada banding (misal: pengadilan niaga)
Menguji Peraturan
Perundang-undangan di bawah UU terhadap
UU
”Mahkamah Agung berwenang ..., menguji
peraturan perundang-undangan di bawah
undang terhadap
undang-undang,...(Pasal 24A ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 dan Pasal 11 ayat (2) UU 4/04)
“Hak uji tersebut dapat dilakukan baik
terhadap materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari peraturan
perundang-undangan tersebut yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi maupun terhadap
pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut.” (Penjelasan Pasal 11
ayat (2))
Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Tata Urut Peraturan Perundang-undangan menurut
UU No. 12 tahun 2011:
UUD NRI tahun 1945;
Tap MPR;
UU/Perpu;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah
Pengujian Peraturan Perundang-undangan
Pengujian Undang-undang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi;
Pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung;
Khusus untuk Peraturan Daerah, pengujiaannya dapat
pula dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri selaku bagian
dari pemerintah pusat yang berwenang membina
pemerintahan daerah.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Tata Urut Peraturan Perundang-undangan menurut Ketetuan Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
a. Fungsi Peradilan
Peradilan kasasi
Peradilan untuk sengketa tentang:
(a) kewenangan mengadili
(b) perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
perang R.I.
(Pasal 33 UU No. 14 Tahun 1985)
Peradilan untuk permohonan PK
Peradilan untuk pengujian per-UU-an di bawah UU
terhadap UU
Peradilan di bidang Penyelesaian Perselisihan di Daerah:
Permohonan keberatan terhadap pembatalan Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah oleh Pemerintah
(Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004)
b. Fungsi Pengawasan
i. Pengawasan terhadap perbuatan para Pejabat Pengadilan
ii. Pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan
iii.Pengawasan yang dilakukan bersama-sama dengan
Pemerintah terhadap Penasihat Hukum dan Notaris
c. Fungsi Mengatur
a. SEMA: yaitu suatu bentuk edaran dari Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi.
b. PERMA: yaitu suatu bentuk peraturan dari prinsip Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum beracara
d. Fungsi Penasehat
Pasal 22 UU No 48 Tahun 2009
“MA dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah
hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan”
Pasal 37 UU No 14 Tahun 1985
““MA dapat memberi pertimbangan2 dalam bidang hukum baik diminta
maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain.”
Pasal 35 UU No 5 Tahun 2004
“MA memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam
permohonan grasi dan rehabilitasi.”
e. Fungsi Administratif
Pasal 21 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009
“Organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan
peradilan yg berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan MA.”
Kewenangan lainnya
Ketentuan yang bersumber dari Pasal 24A ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 ini memberi delegasi
kepada pembentuk undang-undang menambah,
mengurangi, menghapus wewenang MA, kecuali
yang sudah diatur dal UUD NRI Tahun 1945
Menurut Bagir Manan, delegasi yang bersifat
umum (blanco mandaat) seperti di atas dapat
menimbulkan masalah
Wewenang alat kelengkapan negara sebagai unsur organisasi negara harus ditentukan dalam UUD.
Setiap delegasi (wewenang atau pengaturan) harus
menentukan objek delegasi secara spesifik. Tidak boleh ada delegasi yang bersifat umum karena menimbulkan kesewenang-wenangan dari penerima delegasi
Kewenangan MA yang bersumber pada
UU di luar UUD
Wewenang dalam bidang teknis peradilan. MA dapat melakukan PK terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (UU 14/85 jo UU 5/04)
membubarkan PT (Pasal 117 UU 1/95)
Membuat peraturan (Perma) => UU5/04
Memberikan pendapat hukum sebagaimana diatur dalam UU 4/04, UU 14/85 sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan UU 5/04
Memutus pendapat DPRD yg mengusulkan KADA atau WAKADA diberhentikan dengan alasan –antara
lain-melanggar sumpah jabatan, melakukan pelanggaran hukum. MA juga berwenang memutus sengketa mengenai hasil
Badan Peradilan Umum
Merupakan lingkungan kekuasaan kehakiman yang bersifat umum (the ordinary court) yang memutus semua perkara pidana dan perdata atau permohonan yg tidak menjadi kompetensi badan peradilan khusus (peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara)
Badan Peradilan Umum
UU No 8 Tahun 2004 ttg Peradilan Umum
Kek keh dalam lingkungan badan peradilan umum dilaksanakan 2 badan peradilan:
a. PN sbg peradilan tingkat pertama
Badan Peradilan Umum
Pasal 27 ayat (1) UU No 48 Th 2009
“Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung”
Penjelasan:
“Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam ketentuan ini,
antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan
HAM, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial yg berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan
pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.”
Badan Peradilan Agama
Pasal 2 UU No 3 Th 2006
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU ini.”
Badan Peradilan Agama
Pasal 49 UU No 3 Th 2006
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
Badan Peradilan Agama
Pasal 3A UU No 3 Th 2006
“Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan
pengadilan yang diatur dengan UU.”
Penjelasan:
“Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
pengadilan syari’ah Islam yg diatur dengan UU. Mahkamah
Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yg dibentuk
berdasarkan UU Otonomi Khusus bagia Daerah Provinsi
Badan Peradilan Agama
Dihapusnya kalimat yang terdapat dalam Penjelasan Umum UU No. 7 Tahun 1989: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangakn untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan.”
Badan Peradilan Militer
Susunan Pengadilan
Pasal 12 UU No. 31 Th 1997
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari:
a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadilan Militer Utama
Badan Peradilan Militer
Berdasarkan pasal 29 UU No 2 Tahun 2002 ttg Kepolisian Negara RI, anggota kepolisian tunduk pada kekuasaan peradilan umum (Peradilan Kepolisian masuk ke Peradilan Militer berdasarkan Kepres No. 290/1964, Pen.Pres No. 3 Tahun 1965 diganti Pen.Pres No. 23/1965)
Badan Peradilan Militer
Pasal 16 UU No 48 Tahun 2009 jo pasal 198 UU No 31 Tahun 1997
Peradilan koneksitas dilakukan di peradilan umum kecuali dalam keadaan tertentu yang ditentukan menurut keputusan ketua MA.
Badan Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 1 Angka 3 UU No. 5 Tahun 1986
“Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yg
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yg berisi
tindakan hkm TUN yg berdasarkan peraturan
per-UU-an yg berlaku, yg bersifat konkret, indivudual,
dan final yg menimbulkan akibat hukum bagi
Badan Peradilan Tata Usaha Negara
Penjelasan:
Bersifat konkret: obyek yg diputuskan dalam
Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud,
tertentu, atau dapat ditentukan
Bersifat indivudual: Keputusan TUN tidak ditujukan
utk umum, ttp tertentu baik alamat maupun hal yg
dituju
Bersifat final: sdh definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum
Badan Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 9A UU No 9 Th 2004
“Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat
diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur
dengan UU.”
Penjelasan:
“Yg dimaksud dengan “pengkhususan” adalah
diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara, misalnya pengadilan pajak.”
Badan Peradilan Tata Usaha Negara
Perubahan penting:
1. Syarat untuk menjadi hakim, dihilangkannya syarat PNS menjadi sehat jasmani dan rohani, dan hanya diperbolehkan lulusan SH
(sebelumnya SH atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang TUN)
2. Batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim
3. Pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim
4. Pengaturan pengawasan terhadap hakim
5. Penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak ketiga dalam sengketa
6. Adanya sanksi thdp pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hukum tetap
KEKUASAAN KEHAKIMAN Komisi Yudisial
KY
Pasal 24B Anggota Komisi Yudisial
harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela [Pasal 24B (2)]
Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR [Pasal 24B (3)] Wewenang
1. mengusulkan pengangkatan hakim agung [Pasal 24B (1)];
2. mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B (1)];
25
KOMISI YUDISIAL
Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara R.I. Tahun 1945: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta prilaku hakim.”
Komisi Yudisial;
Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009
Pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial
Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009
(1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi
Yudisial.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai
tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
Komisi Yudisial
Pasal 41 UU Nomor 48 Tahun 2009
(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 dan Pasal 40, Komisi Yudisial dan/atau
Mahkamah Agung wajib:
a. menaati norma dan peraturan perundang-undangan;
b. berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman PerilakuHakim;
dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang
diperoleh.
Komisi Yudisial
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. (3) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada
Komisi Yudisial
Pasal 42 UU Nomor 48 Tahun 2009
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.
Komisi Yudisial
Pasal 43 UU Nomor 48 Tahun 2009
Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.
56
Tugas dan Kewajiban Hakim
Pasal 1 UU No. 4 8 Tahun 2009
Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia
Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
57
Tugas dan Kewajiban Hakim
Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 48 Tahun 2009
1. Hakim & hakim Konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat
2. Hakim & hakim konstitusi
harus memiliki integritas &
kepribadian yg tdk tercela,
jujur, adil, profesional, &
berpengalaman di bidang
hukum
3. Hakim & hakim konstitusi
wajib mentaati Kode Etik &
pedoman Perilaku Hakim
58
Tiga Bentuk Independensi kekuasaan kehakiman dalam praktek
1. Secara normatif independen, dan realitanya juga independen. Antara peraturan perundang-undangan dengan realitanya sama yaitu sama-sama independen, ini menjadi cita-cita dari suatu negara hukum.
2. Secara normatif tidak independen, dan realitanya juga tidak independen. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964, dimana Pasal 19 nya menyatakan bahwa Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan dan realitanya undang-undang tersebut dilaksanakan.
3. Secara normatif independen, akan tetapi realitanya tidak independen. Pada masa orde baru peraturan perundang-undangannya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, namun realitanya para hakim secara otomatis menjadi anggota korpri, sebagaimana diketahui bahwa korpri pada masa itu merupakan pendukung birokrasi yang berafiliasi pada salah satu kekuatan politik yang berkuasa pada masa itu, sehingga netralitas sebagai hakim pada masa itu masih perlu dipertanyakan.
59
Asas Kemerdekaan Hakim tergantung dari
Komponen Struktural dan Fungsional
1. Komponen Struktural:
a.
Struktur dan Organisasi lembaga-lembaga negara.
b.
Struktur dan Organisasi peradilan.
c.
Seleksi (Calon) hakim dan status kepegawaian
hakim
2. Komponen Fungsional:
a.
Bebas dari (Freedom from) campur tangan
b.
Bebas untuk (Freedom for) melaksanakan fungsi
peradilan
c.
Dihormatinya asas kekebalan hukum yaitu no
reprisal for their decisions
60
Judicial Independence
1.
Independence from executive
2.
Independence from the legislative
3.
Independence from the media
4.
Independence from the lawyer and litigation
5.
Independence from the personal bias
61
Aspek Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka:
1.
Merdeka
diartikan
sebagai
kemerdekaan
dalam
penyelenggaraan
fungsi
yustisional
yaitu memeriksa, memutus suatu perkara atau
menetapkan suatu putusan yustisial.
2.
Kemerdekaan badan peradilan yaitu peradilan
diberi
wewenang
mengelola
sendiri
administrasi, kepegawaian, keuangan.
62