8
A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Tindakan Kelas
a. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan kelas (PTK) sudah dikenal lama dalam dunia pendidikan. Istilah dalam bahasa Inggris adalah Classroom Action Research (CAR). Penelitian tindakan kelas merupakan bagian dari penelitian tindakan (action research) yang dilakukan oleh guru dan dosen di kelas (sekolah dan perguruan tinggi) tempat ia mengajar yang bertujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan kuantitas proses pembelajaran di kelas. Dibawah ini merupakan pengertian penelitian tindakan kelas menurut beberapa ahli, antara lain :
1) Arikunto mengemukakan “Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan pembelajaran berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersamaan” (Iskandar, 2012:20). Kegiatan pencermatan ini dilakukan oleh guru bersama dengan orang lain atau kolaborator yang bertujuan untuk meningkatkan atau memperbaiki mutu proses pembelajaran dikelasnya dari hasil refleksi yang dilakukan oleh guru itu sendiri.
2) Menurut Hopkins
Penelitian tindakan kelas adalah kajian yang sistematik dari upaya perbaikan pelaksanaan praktek pendidikan oleh sekelompok guru dalam melakukan tindakan-tindakan dalam pembelajaran, berdasarkan refleksi mereka mengenai hasil dari tindakan-tindakan tersebut (Iskandar, 2012;21). Penelitian tindakan ini dilakukan oleh guru didalam kelasnya melalui
refleksi diri tentang bagaimana proses pembelajaran dilakukan. Apabila terdapat hal yang tidak sesuai maka guru tersebut melakukan penelitian tindakan kelas dengan tujuan untuk memperbaiki pelaksanaan pendidikan dan juga untuk memperbaiki kinerja guru.
3) A. Suhaenah Suparno mendefiniskan penelitian tindakan kelas adalah suatu cara pengembangan profesionalitas guru dengan jalan memberdayakan mereka untuk memahami kinerjanya sendiri dan menyusun rencana untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus (Trianto, 2011;15). Guru sebagai tenaga pendidik juga harus melakukan refleksi terhadap kinerjanya sendiri dan dengan itu guru juga wajib melakukan perbaikan dalam proses pembelajarannya dikelas. Hal ini dilakukan agar kinerja guru dapat meningkat dengan baik dan dapat memperbaiki hasil belajar peserta didik itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh pelaku pendidikan untuk memperbaiki dan juga meningkatkan mutu pembelajaran di kelas dengan tujuan utama untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.
b. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas
Sebagai paradigma sebuah penelitian tersendiri, jenis penelitian tindakan kelas memiliki karakteristik yang relatif agak berbeda jika dibandingkan dengan jenis penelitian yang lain.
1) Adanya masalah dalam PTK dipicu oleh munculnya kesadaran pada diri guru bahwa praktik yang dilakukannya selama ini dikelas mempunyai masalah yang perlu diselesaikan. Dengan perkataan lain, guru merasa bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam praktik pembelajaran yang dilakukannya
selama ini dan perbaikan tersebut diprakarsai dari dalam diri guru sendiri, bukan oleh orang dari luar.
2) Peneliti melalui refleksi diri merupakan ciri PTK yang paling esensial. Berbeda dengan penelitian biasa yang mengumpulkan data dari lapangan atau objek atau tempat lain sebagai responden, maka PTK mempersyaratkan guru mengumpulkan data dari praktiknya sendiri melalui refleksi diri. Ini berarti, guru mencoba mengingat kembali apa yang dikerjakannya di dalam kelas; apa dampak tindakan tersebut bagi siswa, dan kemudian yang terpenting guru mencoba memikirkan mengapa dampaknya seperti itu.
3) Penelitian tindakan kelas dilakukan didalam kelas, sehingga fokus penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran berupa perilaku guru dan siswa dalam melakukan interaksi.
4) Penelitian tindakan kelas bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran. Perbaikan dilakukan secara bertahap dan terus-menerus, selama kegiatan penelitian dilakukan. Oleh karena itu, dalam PTK dikenal adanya siklus pelaksanaan berupa pola: perencanaan-pelaksanaan-observasi-refleksi-revisi
(perencanaan ulang). Ini tentu berbeda dengan penelitian biasa, yang biasanya tidak disertai dengan perlakuan yang berupa siklus. Ciri ini merupakan ciri khas penelitian tindakan, yaitu adanya tindakan yang berulang-ulang sampai didapat hasil terbaik.
c. Tujuan Guru Melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas
Tujuan utama guru dan peneliti lainnya mengadakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah untuk memecahkan permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas. Suhardjono (Iskandar, 2012:33) tujuan penelitian tindakan kelas adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran, dikelas mencari jawaban atau solusi
ilmiah mengapa masalah tersebut dapat dipecahkan melalui tindakan, meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik dan menumbuhkan budaya akademik. Secara lebih rinci, tujuan Penelitian Tindakan Kelas sebagai berikut :
1) Memperbaiki dan meningkatkan mutu isi, masukan, proses, serta hasil pendidikan dan pembelajaran dikelas, sekolah. 2) Membantu guru, serta tenaga kependidikan lainnya mengatasi
masalah pembelajaran didalam dan luar kelas.
3) Mencari jawaban secara ilmiah (rasional, sistematis, empiris) mengapa masalah tersebut dapat dipecahkan melalui tindakan. 4) Meningkatkan sikap profesionalisme sebagai pendidik.
5) Menumbuh kembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah, sehingga tercipta perbaikan dan peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran secara berkelanjutan.
Dengan terlaksananya tujuan Penelitian Tindakan Kelas tersebut, maka diharapkan dapat menghasilkan perbaikan dan peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran, sebagai berikut :
1) Perbaikan dan peningkatan mutu isi, masukan, proses, hasil pembelajaran.
2) Perbaikan dan peningkatan terhadap prestasi belajar peserta didik di kelas.
3) Perbaikan dan peningkatan terhadap materi, metode dan penggunaan media pembelajaran dikelas.
d. Jenis-jenis Penelitian Tindakan Kelas
Ada empat jenis penelitian tindakan kelas yaitu (1) PTK diagnostik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Chein, Cook, dan Harding 1990) dalam (Iskandar, 2012:27). Untuk lebih jelas berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut.
1) Penelitian Tindakan Kelas Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntut peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosis dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Kemudian menganalisis semua data dan memberikan rekomendasi tentang penyelesaian perselisihan tersebut.
2) Penelitian Tindakan Kelas Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penilaian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. PTK disini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian.
3) Penelitian Tindakan Kelas Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenaan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman peneliti dalam pekerjaan sehari-hari.
4) Penelitian Tindakan Kelas Eksperimental; jenis eksperimental memiliki nilai potensial terbesar dalam kemajuan pengetahuan ilmiah, yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatan belajar –mengajar. Dengan diterapkannya PTK ini diharapakan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran.
Dari berbagai jenis penelitian tindakan kelas diatas penelitian yang dilakukan oleh peneliti termasuk kedalam penelitian tindakan kelas partisipan. Hal ini dikarenakan dalam penelitian tersebut peneliti dituntut harus terlibat langsung kedalam proses penelitian sejak awal dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi hingga refleksi serta berakhir pada melaporkan hasil penelitiannya.
2. Belajar dan Pembelajaran a. Pengertian Belajar
Belajar, kata belajar ini sudah tidak asing lagi sejak dimulai dalam dunia pendidikan. Menurut Sadiman “Belajar (learning) adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak ia masih bayi sampai ke liang lahat nanti” (Bambang Warsita, 2008:62). Belajar dapat terjadi dirumah, disekolah, ditempat kerja, ditempat ibadah dan di masyarakat, serta berlangsung dengan cara apa saja, dari apa saja, dan dengan siapa saja. Bahkan kemampuan orang untuk belajar ini merupakan salah satu ciri penting yang membedakan dengan makhluk yang lain. Menurut Pidarta “Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman (bukan hasil perkembangan, pengaruh obat atau kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikannya kepada orang lain” (Bambang Warsita, 2008:62). Konsep belajar sebagai suatu upaya atau proses perubahan perilaku seseorang sebagai akibat interaksi peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Sedangkan, menurut Morgan “Belajar adalah perubahan perilaku yang bersifat permanen sebagai hasil dari pengalaman” (Agus Suprijono, 2009:2). Belajar merupakan suatu proses pribadi yang tidak harus dan atau merupakan akibat dari kegiatan belajar mengajar. Guru melakukan kegiatan mengajar tidak selalu diikuti terjadinya kegiatan belajar mengajar pada peserta didik.
Ada beberapa prinsip-prinsip belajar yang relatif berlaku umum yang dapat dijadikan dasar atau acuan dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Menurut Dimyati dan Mudjiono (Bambang Warsita, 2008:64) prinsip-prinsip belajar yang mendidik itu berkaitan dengan : a) perhatian dan motivasi belajar peserta didik; b) keaktifan belajar dan keterlibatan langsung/pengalaman dalam belajar; c) pengulangan belajar; d) tantangan semangat belajar; e) pemberian balikan dan penguatan belajar; serta f) adanya perbedaan individual dalam perilaku belajar. Oleh karena itu menuntut para guru perancang pembelajaran, dan mengembangkan program-program pembelajaran untuk memusatkan perhatian, mengelola, menganalisis dan mengaplikasikan prinsip-prinsip belajar tersebut.
Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah sebuah proses pribadi yang berasal dari kegiatan belajar-mengajar yang bisa berlangsung dimana saja, dengan siapa saja dan kapan saja sebagai hasil dari pengalaman yang mampu membedakan makhluk hidup satu dengan yang lainnya.
b. Teori-teori Belajar
Belajar merupakan kegiatan orang sehari-hari. Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup. Kegiatan belajar yang berupa perilaku kompleks itu telah lama menjadi objek peneliti ilmuwan. Ada banyak teori-teori belajar, setiap teori memiliki konsep atau prinsip-prinsip sendiri tentang belajar yang mempengaruhi bentuk atau model penerapannya dalam kegiatan pembelajaran. Setiap teori belajar memiliki titik fokus yang menjadi pusat perhatian.
1) Teori Belajar Behaviorisme
Teori behaviorisme ini sangat menekankan pada apa yang dapat dilihat yaitu tingkah laku, tidak memperhatikan apa yang terjadi di dalam pikiran manusia. Dengan kata lain lebih
menekankan pada hasil dari pada proses belajar. Oleh karena itu mengabaikan proses belajar. Prinsip-prinsip teori behaviorisme yang banyak diterapkan di dunia pendidikan menurut Hartley dan Davies (Bambang Warsita, 2008:67) meliputi sebagai berikut : 1) proses belajar dapat terjadi dengan baik bila peserta didik ikut terlibat aktif di dalamnya; 2) materi pelajaran disusun dalam urutan yang logis supaya peserta didik mudah mempelajarinya dan dapat memberikan respons tertentu; 3) tiap-tiap respons harus diberi umpan balik (feedback) secara langsung supaya peserta didik dapat mengetahui apakah respons yang diberikannya telah benar; 4) setiap kali peserta didik memberikan respons yang benar perlu diberi penguatan (reinforcement). Prinsip behaviorisme ini telah banyak digunakan dan diterapkan dalam berbagai program pembelajaran. Dalam menerapkan teori behaviorisme ini yang terpenting adalah para guru, perancang pembelajaran dan pengembang program-program pembelajaran harus memahami karakteristik peserta didik dan karakteristik lingkungan belajar agar tingkat keberhasilan peserta didik selama kegiatan pembelajaran dapat diketahui.
2) Teori Belajar Kognitif
Kelompok teori kognitif beranggapan bahwa belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh keuntungan. Prinsip-prinsip teori kognitif, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat dilihat sebagai tingkah laku. Teori ini menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dalam konteks situasi secara keseluruhan. Dengan demikian, belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks dan mementingkan proses belajar. Yang termasuk kedalam teori ini
adalah teori perkembangan Piaget, teori kognitif Bruner, dan teori belajar bermakna Ausebel. Menurut Piaget (Bambang Warsita, 2008:69) yaitu :
“Perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetika yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistem syaraf. Dengan bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin kompleks dan ini memungkinkan kemampuannya meningkat”
Oleh karena itu, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hierarki yaitu melalui tahap-tahap terntentu sesuai dengan umurnya, seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu di luar kemampuan kognitifnya.
Menurut Bruner (Bambang Warsita, 2008:71) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Tahap pertama adalah tahap enaktif, peserta didik melakukan aktivitas-aktivitasnya dalam usaha memahami lingkungan. Peserta didik melakukan observasi dengan cara mengalami secara langsung suatu realitas. Tahap kedua adalah tahap ikonik, peserta didik melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap ketiga adalah tahap simbolik, peserta didik mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika serta komunikasi dilakukan dengan pertolongan sistem simbol. Semakin seseorang sistem simbol ini semakin dominan. Menurut Bruner untuk belajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai peserta didik mencapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan kepadanya. Dengan kata lain perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur
bahan belajar yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
3) Teori Belajar Humanisme
Menurut teori humanisme proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia, yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri dan realisasi diri peserta didik yang belajar secara optimal. Proses belajar dianggap berhasil apabila peserta didik telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Teori humanism sangat mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Maka teori ini berupaya untuk menjelaskan konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan dan bentuk proses belajar yang paling ideal. Dengan demikian teori humanisme ini cenderung bersifat eklektik, artinya memanfaatkan teknik belajar apa pun asalkan tujuan belajar peserta didik tercapai. Selain itu, teori humanisme ini juga mementingkan faktor pengalaman atau keterlibatan aktif peserta didik dalam proses pembelajaran.
4) Teori Belajar Konstruktivisme
Belajar menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh peserta didik sendiri. Maka para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang program-program pembelajaran ini berperan untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya belajar. Keaktifan peserta didik menjadi unsur yang amat penting menjadi unsure yang amat penting dalam menentukan kesuksesan belajar. Aktivitas mandiri merupakan jaminan untuk mencapai hasil belajar yang sejati. Strategi belajar yang digunakan sangat menentukan proses dan hasil belajar peserta didik, oleh karena itu peserta
didik itu harus diberikan kesempatan untuk menerapkan cara berpikir dan belajar yang paling cocok untuk dirinya sendiri. Pada teori belajar kontruktivisme adalah penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna, oleh karena itu pembelajaran lebih banyak melayani peserta didik dalam mengikuti setap proses pembelajaran.
Berdasarkan beberapa teori belajar diatas, model Problem Based Learning yang digunakan oleh peneliti sesuai dengan teori belajar kontruktivisme. Budiningsih (Bambang Warsita, 2008 : 78) mengemukakan bahwa peserta didik harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna sesuatu yang dipelajarinya. Dari pendapat yang dikemukakan Budiningsih tersebut model Problem Based Learning lebih menekankan pembelajaran pada prosesnya bukan hanya hasil dari peserta didik.
c. Hasil Belajar
Menurut Suprijono (Muhammad T dan Arif M, 2013:22) “Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne (Agus Suprijono, 2009:5), hasil belajar berupa : informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik, dan sikap. Dengan itu, menurut Gagne hasil belajar itu mencakup dari semua komponen dan tidak hanya fokus pada kemampuan kognitif saja. Konsep belajar itu merupakan selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu. Hal pokok dalam pengertian belajar adalah belajar itu membawa perubahan tingkah laku karena pengalaman dan latihan, perubahan itu pada pokoknya didapatkannya karena kecakapan baru dan perubahan itu terjadi karena usaha. Perubahan tingkah laku bisa dilihat dari perilaku berbicara, menulis, mengingat, memecahkan masalah dan berbuat kreatif, perubahan ini lah merupakan perubahan dari hasil belajar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasikan oleh para pakar pendidikan sebagaimana tersebut diatas tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah, tetapi secara komprehensif. d. Pembelajaran
Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid. Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (Syaiful Sagala, 2014:62) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Menurut Degeng (Made Wena, 2009:2) bahwa “Pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa”. Dengan demikian, strategi pembelajaran berarti cara untuk menggunakan semua sumber belajar dalam upaya membelajarkan peserta didik. Sebagai suatu cara, strategi pembelajaran dikembangkan dengan kaidah-kaidah tertentu sehingga membentuk suatu bidang pengetahuan tersendiri. Sebagai suatu bidang pengetahuan, strategi pembelajaran dapat dipelajari dan kemudian diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan strategi pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran sangat perlu karena untuk mempermudah proses pembelajaran sehingga dapat mencapai hasil yang
optimal. Tanpa strategi yang jelas, proses pembelajaran tidak akan terarah sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sulit tercapai secara optimal, dengan kata lain pembelajaran tidak dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Bagi peserta didik penggunaan strategi pembelajaran dapat mempermudah dan mempercepat proses belajar dalam memahami isi pembelajaran, karena setiap strategi pembelajaran dirancang untuk mempermudah proses belajar peserta didik.
Sedangkan, menurut Miarso (Martinis Y, 2013:71) pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Usaha tersebut dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan atau kompetensi dalam merancang dan atau mengembangkan sumber belajar yang diperlukan.
Dengan berbagai pendapat di atas tampaklah bahwa pembelajaran bukan menitik beratkan pada apa yang dipelajari, melainkan bagaimana membuat pembelajar mengalami proses belajar. Yaitu cara-cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang berkaitan denan cara pengorganisasian materi, cara penyampaian pelajaran dan cara mengelola pembelajaran.
3. Pembelajaran Terpadu
Pembelajaran terpadu merupakan suatu metode pembelajaran yang mencoba memadukan beberapa pokok bahasan. Secara umum pembelajaran terpadu pada prinsipnya terfokus pada pengembangan perkembangan siswa secara optimal, oleh karena itu dibutuhkan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran. Menurut Wolfinger (Sri Anitah, 2009:62) “Pembelajaran terpadu adalah metode pengorganisasian isi pembelajaran dengan memanfaatkan bidang-bidang studi atau mata pelajaran yang sesuai untuk mengembangkan konsep-konsep yang dipilih oleh guru”. Pembelajaran terpadu dapat memanfaatkan pusat sebagai bagian dari keseluruhan urutan pembelajaran. Pembelajaran terpadu didasarkan pada tiga konsep tentang
proses belajar pada anak, yaitu : Pertama, bahwa anak-anak tidak membedakan antara bidang-bidang mata pelajaran. Anak memandang bidang mata pelajaran sebagai suatu yang berkaitan secara keseluruhan. Karena pembelajaran terpadu lebih memandang bidang studi secara keseluruhan daripada kesatuan yang terpisah-pisah, maka pembelajaran ini efektif bagi peserta didik. Kedua, pembelajaran terpadu berdasarkan pada konsep bahwa berbagai mata pelajaran dapat digunakan untuk meningkatkan belajar. Ketiga, pembelajaran terpadu berdasarkan metode mengajar induktif, yang menghubungkan berbagai kegiatan dengan topik tertentu diintegrasikan ke dalam satu kesatuan. Misalkan saja seorang guru sudah menentukan tema “beruang”, selanjutnya guru menetapkan konsep-konsep yang akan dipelajari dengan tema tersebut. Misalnya menentukan pola hidup beruang, beruang merupakan hewan jinak atau buas dan juga bisa menyebutkan pola makan dari beruang.
Konsep-konsep tersebut akan dipelajari melalui berbagai cara , pembelajaran terpadu banyak jenisnya, antara lain :
a. Connected (Keterhubungan)
Salah satu model yang paling sederhana adalah model keterhubungan, yang dikembangkan oleh Fogarty (Sri Anitah, 2009:64). Kunci model ini yaitu, lebih menunjukkan adanya pengaruh yang disengaja untuk menghubungkan antar materi dalam suatu bidang studi, daripada mengasumsikan bahwa anak akan memahami sendiri kaitannya secara otomatis. Keuntungannya, dengan menghubungkan ide-ide di dalam suatu mata pelajaran, peserta didik akan memperoleh suatu gambaran besar, juga memfokuskan belajar pada suatu aspek. Dengan mempelajari konsep mendalam dari waktu ke waktu, akan terjadi internalisasi dalam diri peserta didik. Pemaduan antar ide dalam satu mata pelajaran, memungkinkan peserta didik mereview,
mengonseptualisasikan dan mengasimilasikan, serta memungkinkan adanya transfer.
b. Pembelajaran Tematik (Jaring Laba-laba)
Untuk membedakan pembelajaran tradisional mata pelajaran yang terdiri dari mata pelajaran yang terpisah-pisah dengan pembelajaran terpadu, berikut ini digambarkan perbedaanya oleh Mathews & Cleary (Sri Anitah, 2009:65).
Tabel 2.1 Perbedaan pendekatan : Tradisional - Tematik – Terpadu
Tradisional Tematik Terpadu
Diarahkan guru Guru memilih tema, tetapi ada input dari peserta didik
Student-centered, topik dari peserta didik, program dinegoisasi Mata pelajaran diajarkan secara terpisah-pisah Unit dikembangkan dalam suatu tema
Topik dipadukan lintas seluruh mata pelajaran dalam kurikulum Keterampilan diajarkan secara terpisah Keterampilan diidentifikasi guru dan dikembangkan salam suatu tema
Keterampilan diajarkan secara inklusif
Kelas berjalan rutin dan sangat
terstruktur
Guru tetap
mengontrol, tetapi input peserta didik diperhatikan
Tingkat fleksibilitas dalam lingkungan kelas dan metode, tinggi Orientasi drill, pertanyaan tertutup Diskoversi terjadi dengan di tetapkan oleh guru Diskoversi ditingkatkan, pertanyaan open-ended (Sumber: Peneliti, 2016 : 22)
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa kelas tradisional, mata pelajaran diajarkan secara terpisah-pisah, sedangkan pembelajaran tematik tema ditentukan oleh guru, namun masih memperhatikan pendapat peserta didik. Dalam pembelajaran terpadu, peserta didik banyak didorong untuk berinisiatif (student-centered learning). Dengan pembelajaran tematik, guru memilih suatu topik atau tema, kemudian memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang berkaitan sumber belajar yang luas, yang mempertimbangkan kebutuhan dan minat anak.
Dengan itu model Problem Based Learning yang digunakan oleh peneliti termasuk kedalam pendekatan terpadu. Hal tersebut dikarenakan dalam pendekatan terpadu yang sudah dijelaskan diatas lebih menginginkan peserta didik yang harus berpartisipasi aktif kedalam pembelajaran yang dilakukan. Dan juga meningkatkan keterampilan peserta didik untuk mendukung hasil belajar yang maksimal.
c. Problem Based Learning
1) Pengertian Problem Based Learning
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) sebagai pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman akan sebuah masalah. PBL ini merupakan sebuah tipe pembelajaran yang meliputi masalah-masalah yang dipilih dan dirancang dengan cermat untuk menuntut upaya kritis peserta didik untuk menyelesaikan masalah, belajar mandiri dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Di bawah ini merupakan pengertian PBL menurut beberapa ahli, antara lain :
a) Menurut Ward dan Stepien
PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah (Ngalimun, 2012:89). Pemecahan masalah dengan metode ilmiah misalkan saja bisa dilakukan dengan merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterprestasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi dan membuat laporan. Keadaan tersebut dapat memberikan pengalaman kepada siswa tentang apa yang mereka pelajari dan juga mampu menerapkannya dalam kondisi nyata.
b) Menurut Boud, Felleti dan Fogarty
PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured atau open ended melalui stimulus dalam belajar (Ngalimun, 2012:89). Dengan ini pembelajaran PBL dimulai oleh adanya masalah kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam proses pembelajaran.
c) Menurut Scott dan Laura
PBL adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri (Paul E & Don K, 2012). Berawal dari masalah sehingga membuat siswa tertarik untuk memecahkan masalah tersebut dan memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, hal ini mampu meningkatkan keterampilan siswa dalam mengikuti setiap proses pembelajaran.
Berdasarkan dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning adalah sebuah pembelajaran dengan fokus pemecahan masalah oleh peserta didik yang mampu meningkatkan cara berpikir dan juga partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran. Selain itu, model Problem Based Learning mampu memadukan materi dengan kasus yang diberikan sehingga peserta didik dapat dengan mudah memahami materi yang sedang dipelajari. Ketika peserta didik mampu memahami materi yang dipelajari, maka peserta didik tersebut dapat mengerjakan soal yang diberikan oleh guru dan hal tersebut berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar peserta didik.
2) Karakteristik-karakteristik PBL
Pelajaran dari Problem Based Learning ini memiliki tiga karakteristik yang dijelaskan oleh Scott dan Laura (Paul E & Don K,2012) , antara lain :
Pertama, pelajaran berawal dari satu masalah dan memecahkan masalah adalah tujuan dari masing-masing pelajaran. Ketika peserta didik itu bisa memadukan materi dengan masalah yang diberikan maka peserta didik mampu memecahkan masalah yang diberikan oleh guru dan dikaitkannya dengan materi yang dipelajari. Sehingga, peserta didik pun mampu memahami materi yang dipelajar dengan mudah.
Kedua, siswa bertanggung jawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah. Model Problem Based Learning biasanya dilakukan secara berkelompok, yang cukup kecil sehingga semua siswa terlibat aktif dalam setiap prosesnya. Dan setap peserta didik mendapatkan pembagian tugas yang merata sehingga mampu melatih keterampilan peserta didik itu sendiri dalam memecahkan sebuah masalah.
Ketiga, guru menuntun upaya peserta didik dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan dukungan pengajaran lain saat peserta didik berusaha memecahkan masalah. Karakteristik ini penting dan menuntut keterampilan serta pertimbangan yang sangat professional untuk memastikan kesuksesan pelajaran Problem Based Learning.
Setiap model pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Uden & Beaumont kelebihan PBL dalam Suprihatiningrum (2013:222) adalah
Pelajaran berfokus pada memecahkan masalah
Tanggung jawab untuk memecahkan masalah adalah bertumpu pada siswa
Guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah
“(a) Mampu mengingat dengan baik informasi dan pengetahuannya: (b) mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, berpikir kritis dan keterampilan komunikasi: (c) mengembangkan basis pengetahuan secara integrasi: (d) menikmati belajar: (e) meningkatkan motivasi: (f) bagus dalam kerja kelompok: (g) mengembangkan belajar strategi belajar: (h) meningkatkan keterampilan berkomunikasi”.
Jadi, menurut pendapat diatas peserta didik dalam melaksanakan PBL akan dapat dengan mudah mengingat apa yang dipelajari, dapat memecahkan suatu masalah yang diberikan, meningkatkan keaktifan dan juga mampu meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi.
Sedangkan kekurangan dalam model pembelajaran Problem Based Learning bahwa PBL tidak bisa diterapkan pada setiap materi pelajaran, karena ada materi yang harus disampaikan oleh guru. Selain itu, dalam suatu kelas terdapat tingkat pemahaman peserta didik yang berbeda-beda, sehingga terjadi kesulitan dalam pembagian tugas. Dengan ini, PBL itu tidak dapat diterapkan dalam setiap mata pelajaran, hanya pembelajaran tertentu saja yang dapat diawali dengan sebuah permasalahan.
3) Langkah-langkah PBL
Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh peserta didik. Masalah tersebut dapat berasal dari peserta didik atau mungkin juga diberikan oleh pengajar. Peserta didik akan memusatkan pembelajaran disekitaran masalah tersebut, dengan arti lain siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatian. Arend dalam (Ngalimun, 2012:95)
merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran, terdapat 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Perhatikan tabel berikut ini :
Tabel 2.2 Tabel Sintaks Problem Based Learning
Fase Aktivitas Guru
Fase 1:
Mengorientasikan peserta didik pada masalah
Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi peserta didik terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih
Fase 2 :
Mengorganisasi peserta didik untuk belajar
Membantu peserta didik membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi
Fse 3 :
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Mendorong peserta didik mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan mencari untuk penjelasan dan pemecahan
Fase 4 :
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Membantu peserta didik merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
Fase 5 :
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Membantu peserta didik melakukan refleksi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang digunakan
selama berlangsungnya pemecahan masalah
(Sumber : Peneliti, 2016: 28-29)
Selain itu menurut Pannen dalam (Ngalimun, 2012:94) langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan, yaitu : (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan uji coba terhadap rencana yang telah ditetapkan dan (8) melakukan tindakan untuk memecahkan masalah. Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi “masalah” bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran.
4. Pembelajaran Sosiologi
a. Pembelajaran Sosiologi di Kurikulum
Dalam dunia pendidikan untuk saat ini ada dua kurikulum yang sedang dijalankan yaitu KTSP atau Kurikulum 2006 dan K 13 atau Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 dijalankan oleh sekolah-sekolah yang telah menerapkan kurikulum 2013 minimal satu tahun. Untuk sekolah yang belum siap menggunakan kurikulum 2013 diperbolehkan untuk menerapkan KTSP.
“Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) dirancang untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik belajar berdasarkan minat mereka. Struktur kurikulum memperkenankan peserta didik melakukan pilihan dalam bentuk pilihan Kelompok Peminatan dan pilihan Mata pelajaran antar Kelompok Peminatan”
Pada kurikulum 2013 pembelajaran sosiologi berada pada peminatan sosial atau program Ilmu-ilmu Sosial atau IIS. Sehingga, untuk peserta didik program MIA dapat mempelajari sosiologi dengan memilih program lintas minat. Sosiologi merupakan ilmu terapan dimana peserta didik diharapkan mampu menerapkan ilmu yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran sosiologi dalam kurikulum 2013 menekankan pada kegiatan 5M. Kegiatan 5M tersebut adalah mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi dan mengkomunikasikan. Dalam kegiatan mengamati, peserta didik melakukan pengamatan terhadap gambar atau video yang diberikan oleh guru sesuai dengan materi yang diajarkan. Setelah peserta didik melihat tayangan yang diberikan oleh guru, kegiatan selanjutnya adalah menanya. Pada kegiatan ini peserta didik diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang materi yang disampaikan. Untuk kegiatan ketiga yaitu mengeksplorasi, dalam kegiatan ini peserta didik diperbolehkan mencari informasi dari sumber lain untuk membantu mempermudah pemahaman materi. Selanjutnya adalah kegiatan mengasosiasi, kegiatan mengasosiasi ini merupakan kegiatan pembelajaran yang berupa pengolahan informasi yang sudah dikumpulkan oleh peserta didik itu sendiri. Dan yang terakhir adalah mengkomunikasikan, kegiatan mengkomunikasikan ini peserta didik menyampaikan hasil pengamatan atau analisis yang telah dilakukan. b. Pokok Bahasan Sosiologi dalam Penelitian
Berdasarkan Permendikbud No 69 Tahun 2013 kompetensi yang harus dicapai oleh peserta diidk adalah Kompetensi Inti (KI) dan
Kompetensi Dasar (KD). KI meliputi dari 4 aspek yaitu KI 1 berkenaan dengan sikap spiritual, KI 2 berkenaan dengan sikap sosial, KI 3 berkenaan dengan pengetahuan dan KI 4 berkenaan dengan keterampilan.
Adapun KI dan KD berdasarkan Permendikbud No 69 Tahun 2013 baik kelas X, XI, dan XII peneliti cantumkan pada lampiran 3 halaman 120.
Pokok bahasan yang peneliti gunakan sebagai materi pembelajaran dalam penerapan Problem Based Learning adalah materi bab pertama kelas X pada semester genap tahun pelajaran 2015/2016. Materi bab 1 adalah Penyimpangan Sosial Budaya.
Berikut merupakan tabel KD (Kompetensi Dasar) dan indikator pencapaian kompetensi dalam pokok bahasan dalam penelitian :
Tabel 2.3 Materi pokok, Kompetensi Dasar, Indikator dan Pembahasan Materi Pokok Kompetensi Dasar Indikator Pembahasan Penyimpa ngan Sosial Budaya 3.4 Mengkaji adanya bentuk perilaku menyimpang atau sub kebudayaan menyimpang sebagai konsekuensi dari ketidakharmo nisan hubungan sosial Perilaku menyimpang : 1) Peserta didik mampu
mendefinisikan pengertian perilaku menyimpang
2) Peserta didik mampu menjelaskan bentuk-bentuk perilaku menyimpang Perilaku menyimpang : Mengamati : mengamati gambar atau video tentang perilaku menyimpang yang ada dalam masyarakat Menanya : menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap bentuk-bentuk perilaku menyimpang Mengeksplorasi : mengidentifikasi bentuk-bentuk
Pengendalian sosial :
1) Peserta didik mampu mendefinisikan pengendalian sosial 2) Peserta didik mampu
menjelaskan cara-cara pengendalian sosial 3) Peserta didik mampu
menjelaskan proses pengendalian sosial 4) Peserta didik mampu
menjelaskan lembaga pengendalian sosial perilaku menyimpang Mengasosiasi : menganalisis dan mendiskusikan bentuk-bentuk perilaku menyimpang yang ada di masyarakat Mengkomunikasikan : mempresentasikan hasil diskusi Pengendalian sosial : Mengamati : Mengamati gambar atau video tentang pengendalian sosial yang dilakukan dalam masyarakat Menanya :
Menumbuhkan rasa ingin tahu tentang cara pengendalian sosial Mengeksplorasi : Mengidentifikasi proses pengendalian sosial Mengasosiasi : menganalisis dan mendiskusikan proses pengendalian sosial yang dilakukan Mengkomunikasikan :
Mempresentasikan hasil diskusi (Sumber : Peneliti, 2016 : 31-33)
Berikut merupakan materi pembelajaran yang dipelajari dalam penelitian dengan menerapkan model Problem Based Learning. Dan penjabaran peta konsep berikut ini :
Gambar 2.1 Peta Konsep Perilaku Menyimpang dan Pengendalian Sosial (Sumber: Peneliti, 2016: 33)
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan data awal yang diperoleh ketika kegiatan pra tindakan dikelas X IIS 3 SMA Negeri 6 Surakarta, terdapat beberapa permasalahan yang timbul didalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Banyak pembelajaran yang ada tetapi dari sekian banyak model tersebut Problem
Pengertian Perilaku Menyimpang Bentuk-bentuk Perilaku Menyimpang Pengertian Perilaku Menyimpang Pengendalian Sosial Lembaga Pengendalian Sosial Proses Pengendalian Sosial Cara-Cara Pengendalian Sosial Pengertian Pengendalian Sosial
Based Learning dipilih peneliti untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran Sosiologi. Penggunaan model pembelajaran ini diharapkan keseluruhan peserta didik mampu memecahkan masalah dan meningkatkan hasil belajar peserta didik tersebut. Untuk lebih jelasnya berikut alur kerangka berpikir yang digunakan peneliti dalam menerapkan model Problem Based Learning :
Peserta Didik
Banyaknya peserta didik yang kurang fokus
Kurangnya minat dan perhatian peserta didik Kurangnya keberanian peserta didik dalam menyampaikan pendapat
Rendahnya hasil belajar peserta didik
Kurangnya kolaborasi antara guru dengan peserta didik Guru kurang bisa
mengkondisikan keadaan kelas
Meningkatnya hasil belajar peserta didik
Penerapan Problem Based Learning
Siklus I
Peserta didik mulai fokus terhadap proses
pembelajaran
Siklus I
Gambar 2.2 Alur Kerangka Berpikir(Sumber : Peneliti, 2016 : 34)
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini yaitu : Melalui penerapan model Problem Based Learning (PBL) untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran sosiologi di kelas X IIS 3 SMA Negeri 6 Surakarta.