• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA DALAM FUNGSI MENGATUR DAN MENGAWASI BANK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA DALAM FUNGSI MENGATUR DAN MENGAWASI BANK"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG

OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA D A L A M FUNGSI MENGATUR DAN MENGAWASI BANK

2.1 Otoritas Jasa Keuangan dalam Fungsi Mengatur dan Mengawasi Bank

2.1.1 Sejarah Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.

Proses pembentukan OJK melalui waktu yang lama dan perdebatan panjang. Secara historis ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan R U U tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank

23

sentral. Dalam R U U yang dimaksud pembentukan lembaga pengawas baru juga sekaligus memindahkan otoritas pengawasan dari BI kepada otoritas pengawas baru.

Pada waktu R U U tersebut diajukan, muncul penolakan yang kuat oleh kalangan DPR dan BI. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terihat bahwa pemisahaan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral.

(2)

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang OJK ini selain pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah

24

beberapa kali diubah, yakni:

1. Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional;

2. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan;

3. Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan;

4. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan. Adapun secara historis yuridis, pembentukan lembaga khusus untuk melakukan pengawasan bank telah dimunculkan semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 34 undang-undang ini menjelaskan bahwa tugas pengawasan bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang (ayat 1), yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002 (ayat 2). Pasal ini direvisi melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebab lembaga pengawas yang dimaksud tidak kunjung

2 4Pasca Sarjana STIAMI, 2013, Sedikit Menilik Otoritas Jasa Keuangan Menurut UU No 21

Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, U R L : http ://pascasarj

ana- stiami.ac.id/2012/05/sedikit-menilik-otoritas-jasa-keuangan-menurut-uu-no-21-tentang-otoritas-jasa-keuangan/, diakses tanggal 9 Oktober 2013.

(3)

terbentuk sehingga Pasal 34 ayat 2 (revisi) menyatakan pembentukan lembaga pengawas yang dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2010. Bunyi pasal tersebut sekaligus menjadi landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor perbankan.

Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis yang terjadi di Asia pada tahun 1997-1998 yang sangat berpengaruh terhadap Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997- 1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank-bank yang mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang lebih tangguh. Otoritas Jasa Pengawasan yang dimaksud akan mengambil alih kewenangan pengawasan perbankan yang selama ini dipegang oleh Bank Indonesia.

Dalam prosesnya sampai dengan tahun 2010 perintah untuk membentuk lembaga pengawasan ini belum juga terealisasi. Pembentukan undang-undang tentang lembaga pengawasan ini baru terbentuk resmi tanggal 22 November 2011. Banyak yang berpendapat bahwa terjadi tarik ulur pembentukan lembaga pengawas ini antara pemegang otoritas pengawas saat itu (Bank Indonesia) dengan pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Departemen Keuangan sehingga pembentukan lembaga ini baru terealisasi setelah lebih dari satu dekade. Setelah melalui proses panjang, akhirnya terbentuklah Undang-Undang Nomor 21

(4)

Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan sebagai tanda munculnya otoritas pengawasan baru di sektor jasa keuangan termasuk sektor perbankan.

2.1.2 Pengertian dan Dasar Hukum Otoritas Jasa Keuangan.

Jasa keuangan secara umum adalah istilah yang digunakan untuk merujuk jasa yang disediakan oleh industri atau organisasi keuangan salah satu bentuk perusahaan yang menyediakan jasa keuangan adalah bank, asuransi, kartu kredit dan sekuritas.

Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi, dan Lembaga Keuangan Lainnya yang telah terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang dimaksud dengan OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Berdasarkan amanat Pasal 34 UUBI, dibentuklah Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK, yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang sekaligus menjadi dasar hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.

(5)

2.1.3 Status dan Kedudukan Hukum Otoritas Jasa Keuangan.

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang OJK, secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter.

Saat ini OJK berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia, yaitu di Jakarta. Namun OJK juga dapat mempunyai kantor di dalam dan di luar wilayah NRI yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya OJK merupakan lembaga yang independen seperti yang telah di jelaskan pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal tersebut tersirat arti bahwa OJK merupakan lembaga non-pemerintahan atau independen. Berarti dalam menjalankan tugasnya OJK berkedudukan di luar pemerintah.

Dalam ketatanegaraan Indonesia OJK mempunyai kedudukan sekunder dengan adanya indepedensi institusional sebab status OJK adalah sebagai lembaga yang terpisah dari eksekutif atau pemerintah, bebas dari pengaruh legislatif atau parlemen, bebas untuk merumuskan tujuan atau saran dari kebijakannya tanpa

(6)

25

pengaruh dari lembaga politik maupun pemerintah. Dalam hal ini OJK juga sering disebut dengan supervisory board.

2.1.4 Tujuan dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan.

Berdirinya OJK di Indonesia diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi pengawasan sektor jasa keuangan terutama dalam aspek pengawasan bank untuk mendukung perkembangan perekonomian nasional. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang OJK, OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, OJK memiliki beberapa tugas utama yang harus dilaksanakan yaitu melakukan pengawasan terhadap:

a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Tugas tersebut telah sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 6 Undang-Undang OJK. Tugas pengawasan seperti yang tercantum dalam huruf b dan huruf c telah

2 5Sulistyandri, 2012, "Lembaga Dan Fungsi Pengawasan Perbankan Di Indonesia", Mimbar

(7)

dilaksanakan mulai 1 Januari 2013 dan tugas pengawasan pada huruf a mulai dilaksanakan tanggal 1 Januari 2014.

2.1.5 Tugas dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan dalam Mengatur dan Mengawasi Bank.

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, termasuk sektor perbankan. Dalam melaksanakan fungsinya di sektor perbankan, OJK melaksanakan tugas yang secara khusus telah diatur oleh undang-undang. Fungsi OJK dalam mengatur dan mengawasi bank rencananya akan efektif mulai

1 Januari 2014. Sebelum tanggal tersebut, pengaturan dan pengawasan bank masih dilakukan oleh Bank Indonesia selaku pemegang otoritas pengawasan perbankan.

Dengan melihat kehadiran OJK di sektor perbankan, dapat dimaksudkan untuk menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Pengawasan yang dilakukan OJK juga diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan yang telah luntur akibat kasus-kasus perbankan yang merugikan nasabah penyimpan dana.

Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, untuk menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan, OJK mempunyai wewenang:

a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran

(8)

manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;

2. Kegiatan usaha bank antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi dan aktivitas dibidang jasa.

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan

modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur

4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank.

c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

1. manajemen risiko; 2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.

d. pemeriksaan bank.

Untuk melaksanakan tugas pengaturan, Pasal 8 UU OJK memberikan wewenang terkait pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi:

a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;

b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

g. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

h. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Untuk melaksanakan tugas pengaturan, Pasal 9 UU OJK memberikan wewenang terkait pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi:

(9)

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

e. melakukan penunjukan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. memberikan dan/atau mencabut: 1. izin usaha;

2. izin orang perseorangan;

3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar;

5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan;

7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. penetapan lain.

Dewan Komisioner OJK dalam melakukan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan dibantu oleh seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan yang bertugas memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan. Dalam hal pengaturan dan pengawasan ini tidak menutup kemungkinan untuk melibatkan seorang ex-officio Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, dan seorang ex-officio Kementrian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementrian Keuangan. Walaupun demikian, OJK diharapkan dapat tetap mempertahankan independensi dan kemandirian dalam bertugas sehingga tidak terdapat campur tangan pihak lain yang mengurangi independensi OJK.

(10)

2.2 Bank Indonesia dalam Fungsi Mengatur dan Mengawasi Bank

2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Bank Indonesia.

Bank Sentral di suatu negara adalah sebuah instansi yang bertanggung jawab atas kebijakan moneter di wilayah negara tersebut. Bank Sentral berusaha untuk menjaga stabilitas nilai mata uang (baik terhadap barang dan jasa maupun terhadap mata uang asing), stabilitas sektor perbankan, dan sistem finansial secara keseluruhan. Di Indonesia, fungsi Bank Sentral diselenggarakan oleh Bank Indonesia.

Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia mempunyai peranan yang penting dalam memajukan perkembangan perbankan Indonesia. Selain mengurus dana perbankan, Bank Indonesia juga mengatur dan mengawasi kegiatan perbankan secara keseluruhan. Kantor pusat Bank Indonesia terletak di ibu kota negara. Di Indonesia, bank sentral berkantor pusat di Jakarta dan mempunyai kantor cabang di seluruh wilayah Indonesia (disetiap ibu kota provinsi) serta perwakilan-perwakilan dan koresponden di luar negeri.2 6

Menurut ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

1999 tentang Bank Indonesia, pengertian mengenai Bank Indonesia sebagai berikut:

1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia;

2. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan

(11)

pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini;

3. Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan undang-undang ini. Secara konstitusional, setelah terjadi Perubahan Keempat U U D RI Tahun 1945 susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensi Bank Indonesia semakin memperoleh legitimasi yang sangat memadai. Mengenai dasar hukum berlakunya Bank Indonesia dapat ditemukan dalam:

1. Pasal 23 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang";

2. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; 3. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perbankan;

5. Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2008 Menjadi Undang-Undang.

Dasar hukum di atas menjadi landasan yuridis pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang Bank Indonesia dalam sektor perbankan, sekaligus mempertegas independensi Bank Indonesia sebagai lembaga negara.

(12)

2.2.2 Status dan Kedudukan Hukum Bank Indonesia.

Sebagai bank sentral di Indonesia, Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen yang bebas dari campur tangan pihak lain. Bank Indonesia juga merupakan badan hukum, karena dalam menjalankan kegiatannya BI dapat bertindak baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum privat.

Secara ekspilisit, kata "Bank Indonesia" dijumpai pada bagian Penjelasan atas Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945. Penjelasan Atas Pasal 23 tersebut menjelaskan bahwa kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral harus ditetapkan dengan undang-undang. Sebab tugas dan fungsi BI salah satunya adalah mengeluarkan dan mengatur peredaran uang di masyarakat kemudian menjaga agar nilai uang tersebut tetap stabil. Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai kewenangan khusus, yakni sebagai satu-satunya lembaga yang diberi hak monopoli oleh negara, untuk "menerbitkan, mengeluarkan, dan mengatur peredaran macam dan harga mata uang", maka dari itu perlu diatur dalam undang-undang untuk menjamin independensinya.

Penjelasan Atas Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Bank Indonesia merupakan bagian dari alat kelengkapan negara. Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang eksistensinya

27

disebutkan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, adanya pencantuman Bank Indonesia dalam Konstitusi Negara Republik

(13)

Indonesia sebagai sumber hukum tertinggi, menunjukkan pentingnya kedudukan

28

dan fungsi Bank Indonesia dalam ketatanegaraan Indonesia.

Penegasan independensi Bank Indonesia sebagai wujud reformasi sistem perbankan nasional, pertama kali dituangkan oleh pemerintah dalam Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah

29

Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Undang-Undang ini menegaskan kemandirian Bank Indonesia dalam pembinaan dan pengawasan perbankan, pengaturan perbankan dan pengenaan sanksi, dengan mengalihkan kewenangan seluruh perizinan bidang perbankan dan pembukaan rahasia bank dari yang semula berada di tangan Departemen Keuangan (Menteri Keuangan)

30

kepada Bank Indonesia (Pimpinan Bank Indonesia).

Dalam kaitannya dengan penegasan independensi Bank Indonesia di bidang moneter, M P R dalam Sidang Istimewa Tahun 1998 memberikan amanat politik

3 1

sebagai berikut:

a. Ketetapan M P R Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. Dalam Bab IV huruf A butir 1a dikatakan antara lain, bahwa otoritas moneter harus membangun sistem

kelembagaan yang kuat dan independen yang dikukuhkan oleh undang-undang tentang Bank Sentral

2 8Agus Santoso dan Anton Purba, 2006, "Kedudukan Bank Indonesia Dalam U U D Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Keempat) dan Usulan Komisi Konstitusi Dalam Konsep Amandemen Kelima U U D Negara Republik Indonesia Tahun 1945", Buletin Hukum

Perbankan dan Kebanksentralan Volume 4 Nomor 2, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Jakarta,

h.2-3.

2 9Djoni Gazali dan Rachmadi Usman.,Op.cit.,h.97 3 0Djoni Gazali dan Rachmadi Usman.,Op.cit.,h.97-98.

(14)

b. Ketetapan M P R Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Dalam Pasal 9 dinyatakan, bahwa dalam

rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia sebagai bank sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dan kinerja dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan amanat politik yang digariskan M P R tersebut, maka dilakukan perubahan terhadap kedudukan, status hukum dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral sebagaimana disahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (selanjutnya disebut U U B I 1999), yang sekaligus sebagai pengganti U U B I 1968. Dalam konsiderans menimbang U U B I 1999, antara lain dinyatakan bahwa:

"Untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efisien diperlukan sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat, dan aman serta pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi prinsip kehati-hatian. Selanjutnya dinyatakan pula, bahwa untuk menjamin keberhasilan tujuan memelihara stabilitas nilai rupiah diperlukan bank sentral yang memiliki kedudukan yang independen."

Status kelembagaan dan kedudukan hukum Bank Indonesia menjadi lembaga yang mempunyai otonomi dan mandiri disebutkan secara tegas dalam Pasal 4 U U B I 1999. Pasal 4 ayat (2) U U B I 1999 menyatakan bahwa "Bank

Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini".

Dengan U U B I 1999, posisi Bank Indonesia merupakan "lembaga negara" yang independen dalam bidang moneter. Secara struktural dan organisatoris, Bank

(15)

Indonesia juga berkedudukan sebagai lembaga negara yang independen berada di luar pemerintahan. Independensi berarti, bahwa Bank Indonesia bebas dari campur tangan (intervensi) pihak pemerintah dan/atau pihak-pihak lain dalam

3 2

menjalankan tugasnya di bidang moneter. Landasan ini sekaligus menjamin

3 3

kepastian hukum status kelembagaan Bank Indonesia.33

Bank Indonesia juga diberikan status sebagai lembaga yang berbadan hukum.3 4 Dalam pasal 4 ayat (3) U U B I 1999 dinyatakan, bahwa Bank Indonesia

adalah badan hukum berdasarkan undang-undang ini. Dalam kedudukan sebagai

badan hukum publik, maka Bank Indonesia diberikan wewenang untuk menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya.

3 5

Peraturan tersebut dinamakan "Peraturan Bank Indonesia" (PBI) sebagai pengganti fungsi Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia. Pemberian independensi kepada Bank Indonesia membawa konsekuensi yuridislogis bagi Bank Indonesia, yaitu mempunyai kewenangan mengatur dan membuat atau menerbitkan peraturan yang merupakan pelaksanaan undang-undang yang menjangkau seluruh bangsa dan negara Indonesia.36

3 2Djoni Gazali dan Rachmadi Usman,Op.cit., h.100.

3 3M . Dawam Rahardjo,et.al., 2001, Independensi Bank Indonesia Dalam Kemelut Politik,

Pustaka Cesindo, Jakarta, h. 47-48.

3 4Djoni Gazali dan Rachmadi Usman, Op.cit., h. 101.

3 5P B I ini merupakan ketentuan hukum yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank

Indonesia, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dan ini mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(16)

Disamping sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia juga berstatus sebagai badan hukum privat, dimana Bank Indonesia dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dan 3 7

mengadakan hubungan hukum tertentu dengan pihak ketiga secara mandiri. 37 Dalam rangka mendukung tugas-tugasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia dapat melakukan aktivitas perbankan yang dianggap perlu, tidak seperti bank umum yang melakukan kegiatan komersial.

Penegasan kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum privat ini guna memberikan kejelasan wewenang dalam mengelola kekayaan/aset BI sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun demikian, proses pengelolaan keuangan Bank Indonesia tetap diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang hasilnya disampaikan kepada DPR.

2.2.3 Tujuan dan Tugas Pokok Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.

Tujuan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral diatur pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yaitu untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (ayat 1). Kestabilan nilai rupiah, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang negara lain. Tujuan kestabilan nilai rupiah ini tidak lain adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia

(17)

melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian (ayat 2).

Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawab. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.

Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai beberapa tugas. Terdapat tiga pilar untuk mencapai tujuan tunggal Bank Indonesia sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia, bahwa untuk mencapai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia mempunyai tugas dan wewenang, yaitu:

a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan c. mengatur dan mengawasi bank.

Guna mendukung tercapainya tujuan Bank Indonesia secara efektif dan efisien, maka ketiga tugas tersebut harus saling mendukung, karena ketiga tugas tersebut mempunyai keterkaitan satu sama lainnya dalam mencapai kestabilan

3 8

nilai rupiah.3 8

a. Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter

Sesuai dengan Undang-Undang Bank Indonesia, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui

(18)

penetapan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan pemerintah serta melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan berbagai instrumen kebijakan moneter.

Pada dasarnya kebijakan moneter yang ditempuh oleh otoritas moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Selain itu kebijakan moneter dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir dari kebijakan ekonomi makro, seperti stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan

39

perluasan kesempatan kerja.

Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang moneter, Bank Indonesia diberikan wewenang menyelenggarakan survei, yaitu pengumpulan informasi yang bersifat makro atau mikro yang dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu diperlakukan, seperti survei mengenai kegiatan usaha, survei konsumen, survei perkembangan harga aset dan survei-survei lainnya, termasuk survei dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan statistik neraca pembayaran. Bank Indonesia wajib merahasiakan sumber dan data individual yang diperlukan Bank Indonesia dalam rangka penyelenggaraan survei dimaksud.

b. Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran.

Sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, lancar dan aman merupakan salah satu prasyarat dalam keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan moneter. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia diberi wewenang untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran melalui kewenangannya dalam

(19)

menetapkan penggunaan alat pembayaran dan mengatur penyelenggaraan jasa sistem pembayaran.

Penetapan penggunaan alat pembayaran dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamaan bagi pengguna. Dalam wewenang ini, termasuk membatasi penggunanaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehati-hatian. c. Mengatur dan Mengawasi bank.

Tugas pengaturan dan pengawasan bank merupakan salah satu tugas yang penting untuk menjaga kelangsungan usaha perbankan di tanah air tetap stabil. Selain itu pengawasan perlu dilakukan untuk menjaga agar bank yang beroperasi tetap dalam kondisi sehat agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat. Lembaga perbankan selain menjalankan fungsi intermediasi, juga berfungsi sebagai media transmisi kebijakan moneter serta pelayanan jasa sistem pembayaran.

Fungsi pengawasan bank dan pengendalian moneter memiliki sifat yang interdepen, sehingga kedua fungsi tersebut harus sejalan. Dalam rangka merumuskan kebijakan moneter diperlukan data-data di lapangan yang bersifat mikro. Begitu juga sebaliknya, pengawasan akan membantu memantau dan menindaklanjuti dampak kebijakan moneter terhadap perbankan.

(20)

2.2.4 Tugas dan Fungsi Bank Indonesia dalam Mengatur dan Mengawasi Bank. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan serta menjalankan fungsi sebagai lender of last resort.40 Fungsi mengatur dan mengawasi bank perlu

dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menjaga perbankan nasional tetap stabil dan sehat demi mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Penempatan fungsi pengawasan bank berada di tangan Bank Indonesia selama ini dinilai mempermudah koordinasi dalam rangka restrukturisasi perbankan. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Perbankan telah ditetapkan bahwa penerbitan izin usaha perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia, maka logis bila pengawasan juga dilakukan oleh lembaga yang sama.41

Selain mengacu pada ketentuan Undang-Undang Bank Indonesia, tugas pengaturan dan pengawasan juga mengacu pada Undang-Undang Perbankan. Bahwa dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, menurut ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI berwenang menetapkan peraturan, memberikan dana dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan

4 0Muhamad Djumhana, Op.cit., h. 118.

4 1Didik J.Rachbini, dan Suwidi Tono, et.al, 2000, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank

(21)

perundang-undangan. Dalam hal ini, tentu pengaturan dan pengawasan bank mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan bank, pada dasarnya hal-hal

42

yang dapat dilakukan oleh otoritas pengawasan meliputi 4 kewenangan, yaitu: 1. Kewenangan memberikan izin (power to lisence)

Melalui kewenangan ini memungkinkan ditetapkannya ketentuan dan persyaratan pendirian sebuah bank oleh otoritas pengawas. Kewenangan pemberian izin ini merupakan seleksi paling awal terhadap kehadiran sebuah bank dengan menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank.

2. Kewenangan untuk mengatur (power to regulate)

Kewenangan untuk mengatur ini memungkinkan otoritas pengawas bank untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek kegiatan usaha perbankan dalam rangka menciptakan adanya perbankan yang sehat dan mampu memenuhi jasa perbankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 3. Kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi (power of control)

Kewenangan ini adalah kewenangan paling mendasar yang diperlukan oleh otoritas pengawasan bank. Pengawasan langsung dilakukan dengan melaksanakan pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus.

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanction) Kewenangan untuk mengenakan sanksi dilakukan apabila sebuah bank kurang atau tidak memenuhi hal-hal yang diatur atau dipersyaratkan dalam kewenangan-kewenangan tersebut di atas. Pengenaan sanksi ini dimaksudkan agar bank melakukan perbaikan atas kelemahan dan penyimpangan yang dilakukannya. Dengan perkataan lain, dalam pengenaan sanksi oleh otoritas pengawas bank tersebut mengandung unsur pembinaan agar suatu bank sungguh-sungguh taat dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip perbankan yang sehat.

Jadi selama ini Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas pengawasan menggunakan empat kewenangan tersebut dalam menjalankan tugas mengatur dan mengawasi bank agar searah dengan perumusan kebijakan di bidang moneter.

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun dalam fikih terdapat empat mazhab besar, tetapi dalam penelitian ini penulis membagi mazhab tersebut menjadi dua, dengan alasan adalah ulama Mazhab

Arah Pembangunan Bidang Politik Dalam Negeri RPJPN 2005-2025 PENYEMPURNAAN STRUKTUR POLITIK PENATAAN PERAN NEGARA & MASYARAKAT PENATAAN PROSES POLITIK PENGEMBANGA N BUDAYA

Namun teori Dependensi Efek Komunikasi Massa mampu menjelaskan mengenai pengaruh positif yang ada antara terpaan berita kasus pembunuhan pada remaja di media massa

Hasil analisis pakar menunjukkan: (1) terdapat isi uraian modul yang tidak penting bahkan salah; (2) beberapa pargraf yang tidak baik susunannya atau tidak memenuhi

Haryasudirja Kampus ITNY, di dapat nilai tertinggi pada bagian sistem utilitas dengan nilai mean 2,900 pada item sistem listrik darurat yang diperoleh dari

Template Dokumen ini adalah milik Direktorat Pendidikan - ITB Dokumen ini adalah milik Program Studi PSPA-SF ITB. Dilarang untuk me-reproduksi dokumen ini tanpa diketahui

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian dengan strategi penyelesaian konflik dalam organisasi Pagar Nusa di Universitas

Gagasan tersebut lantas menimbulkan sebuah kontroversi di tengah-tengah pengharaman prostitusi yang sudah ditetapkan hukumnya dalam nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah).