• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SEMIOTIKA PERAN AYAH (FATHERING) DALAM PERSPEKTIF ISLAM PADA FILM KELUARGA CEMARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS SEMIOTIKA PERAN AYAH (FATHERING) DALAM PERSPEKTIF ISLAM PADA FILM KELUARGA CEMARA"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

KELUARGA CEMARA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: Fadhilah

NIM: 11160510000276

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H / 2020 M

(2)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Fadhilah

NIM : 11160510000276

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “ANALISIS SEMIOTIKA PERAN AYAH (FATHERING) DALAM PERSPEKTIF ISLAM PADA FILM KELUARGA CEMARA” adalah benar merupakan karya asli saya sendiri yang

diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak ada tindakan plagiat selama menyusun skripsi ini. Adapun kutipan yang ada dalam skripsi ini telah dicantumkan sumber kutipannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jika skripsi ini mengandung unsur plagiarisme, baik sebagian maupun keseluruhan, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian surat pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 01 Februari 2021

(3)

KELUARGA CEMARA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun oleh: Fadhilah NIM. 11160510000276

Disetujui oleh: Dosen Pembimbing,

Dr. Yopi Kusmiati, S.Sos.I., M.Si NIP. 198012172003122002

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H / 2021 M

(4)

Skripsi berjudul “ANALISIS SEMIOTIKA PERAN AYAH (FATHERING) DALAM PERSPEKTIF ISLAM PADA FILM KELUARGA CEMARA” yang disusun oleh Fadhilah dengan Nomor Induk

Mahasiswa 11160510000276, telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Februari 2021. Skripsi ini telah dinyatakan lulus sehingga telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 4 Februari 2021

Tim Ujian Munaqasah Tanggal Tanda Tangan

Ketua

Dr. Armawati Arbi, M.Si. NIP. 196502071991032002

8 Februari 2021 ______________

Sekretaris

Dr. Edi Amin, M.A. NIP. 197609082009011010

8 Februari 2021 ______________

Penguji 1

Ade Masturi, M.A.

NIP. 197506062007101001

6 Februari 2021 ______________

Penguji 2

Kalsum Minangsih, M.A. NIP. 197704242007102002

(5)

i 11160510000276

Analisis Semiotika Peran Ayah (Fathering) dalam Perspektif Islam pada Film Keluarga Cemara

Masih banyak yang beranggapan bahwa peran ayah kepada anak hanya sebagai pencari nafkah atau breadwinner. Bahkan di kalangan masyarakat terdidik sekalipun cara pandang demikian masih terjadi. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kajian peranan ayah terhadap anak terlalu sedikit dibandingkan dengan studi yang mengupas peran ibu yang sudah banyak dikaji secara mendalam. Dalam Islam pun, peran ayah meliputi banyak hal, tidak hanya sebagai pencari nafkah.

Film Keluarga Cemara sebagai media komunikasi memiliki kekuatan untuk menyebarkan kesadaran bahwa peran ayah itu banyak, penting bagi anak, dan kompleks sehingga perlu perhatian untuk mempelajarinya agar bisa memenuhi peran ayah yang baik bagi anak. Termasuk para ayah atau calon ayah muslim yang perlu memperdalam peran ayah ini dengan landasan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh sebab itu, penelitian ini akan membahas peran ayah perspektif Islam yang tampil di film Keluarga Cemara sebagai film yang berbahasa universal (tidak menyinggung ajaran agama apapun).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Teori yang digunakan adalah teori semiotika Saussure dengan dua dualitasnya yakni, (1) penanda (signifier) dan petanda (signified), serta (2) paradigma dan sintagma.

Hasil penelitian ini adalah walaupun peran-peran ayah yang ditampilkan tidak ada yang tampak lillah (karena Allah) karena film Keluarga Cemara yang tidak mengangkat sisi keagamaan, termasuk Islam, namun peran ayah yang islami masih muncul dengan tanda Abah sebagai pemimpin yang demokratis, tidak putus asa dalam mencari nafkah yang baik dan halal sebagai penyedia kebutuhan ekonomi keluarga (anak-anak dan istri), mendidik disertai qaulan

layyinan (kata-kata yang lemah lembut), melindungi anak-anaknya

secara fisik dan psikis (perasaan/emosi), serta bermain dan menjadi teman bagi anak-anaknya.

Kata Kunci: Peran Ayah (Fathering), Film Keluarga Cemara, Semiotika Saussure, Peran Ayah Perspektif Islam

(6)

ii

Bismillahirrahmaanirrahiim,

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Puji syukur penulis panjatkan

kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, bimbingan, dan kesabaran sebagai wujud sayang-Nya kepada penulis demi memberi kekuatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Semiotika Peran Ayah (Fathering) dalam Perspektif Islam pada Film Keluarga Cemara”, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi besar kita,

Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga akhir kiamat. Dan semoga kita termasuk yang mendapatkan syafa’at-nya di hari kiamat kelak.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis senantiasa mendapatkan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Baik itu berupa materi maupun non-materi (pikiran, tenaga, moril). Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1. Suparto, M.Ed, Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Siti Napsiyah, S.Ag., MSW., sebagai Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Sihabudin Noor, M.Ag., sebagai Wakil Dekan II Bidang

(7)

iii

2. Dr. Armawati Arbi, M.Si., sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, serta Dr. Edi Amin, M.A., sebagai Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

3. Dr. Yopi Kusmiati, S.Sos.I., M.Si sebagai Dosen Pembimbing yang telah rela meluangkan banyak waktunya untuk bersabar dalam membimbing penulis selama proses penulisan skripsi ini berlangsung. Penulis sangat berterima kasih kepada beliau. Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan, keselamatan dan keberkahan bagi beliau dan keluarga.

4. Ade Masturi, M.A. dan Kalsum Minangsih, M.A. sebagai dosen penguji saya saat sidang munaqasah karena telah meluangkan waktunya untuk membaca skripsi saya dan mengujikannya dengan penuh kehikmatan.

5. Umi dan Abi penulis yang telah memberi penulis makan, tempat tinggal, pakaian, mengantar kemana pun penulis butuhkan (termasuk kampus), mengurus penulis saat sakit, dan yang pasti kasih sayang dan do’a yang terbaik bagi penulis sehingga penulis bisa tetap waras dan selalu mendapat bantuan-Nya dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Kakak, Abang, Kak Iqbal, Zahra dan si bayi Zenpan yang

senantiasa mewarnai hidup penulis sehingga penulis tidak jenuh dalam menyelesaikan skripsi.

(8)

iv cerita dunia perkuliahan penulis.

8. Kanal Youtube Studiobinder yang membantu penulis memahami beberapa hal terkait dari skripsi penulis.

9. Nisrina Ibtisamah dan Sri Prihatiningrum yang bersedia membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis mengenai birokrasi jalannya sempro, sidang hingga wisuda.

10. Helen Sagita, kawan sekelas saya sejak menjadi mahasiswa, yang telah menemani saya selama pra-sidang skripsi, sidang skripsi, post-sidang skripsi dan persiapan wisuda, yang membutuhkan banyak tenaga, pikiran dan batin sehingga semuanya terselesaikan dengan baik sampai pada kami resmi menjadi calon wisudawati 119.

11. Dan pihak-pihak lainnya yang tidak bisa penulis tulis satu-persatu.

Demikian ucapan terima kasih yang dapat penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung hingga selesainya skripsi penulis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kepada mereka semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya.

Jakarta, 5 Februari 2021

(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I ... 1

A. Konteks Penelitian ... 1

B. Fokus dan Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Penelitian Terdahulu ... 11

E. Metodologi Penelitian... 14

1. Paradigma Penelitian ... 14

2. Metode Penelitian ... 15

3. Subjek dan Objek Penelitian ... 16

4. Waktu Penelitian ... 16

5. Pengumpulan Data ... 16

6. Teknik Analisis Data ... 17

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II ... 20

A. Tinjauan Tentang Semiotika Ferdinand de Saussure ... 20

B. Tinjauan Tentang Ayah ... 31

C. Peran Ayah (Fathering) dalam Perspektif Islam ... 38

D. Tinjauan Tentang Film ... 44

BAB III ... 52

A. Sekilas Tentang Film Keluarga Cemara ... 52

B. Sinopsis Film Keluarga Cemara ... 54

(10)

vi

A. Scene (Adegan) Peran Ayah sebagai Pemimpin (Leader) . 71 B. Scene (Adegan) Peran Ayah sebagai Penyedia Kebutuhan

Ekonomi (Economic Provider) ... 91

C. Scene (Adegan) Peran Ayah sebagai Pelindung (Protector) ... 95

D. Scene (Adegan) Peran Ayah sebagai Pendidik (Educator) ... 104

E. Scene (Adegan) Peran Ayah sebagai Teman Bermain (Playmates) ... 112

F. Scene (Adegan) Peran Ayah sebagai Sahabat (Friend) ... 115

BAB V ... 119

A. Peran Ayah sebagai Pemimpin (Leader) ... 119

B. Peran Ayah sebagai Penyedia Kebutuhan Ekonomi (Economic Provider) ... 126

C. Peran Ayah sebagai Pelindung (Protector) ... 129

D.Peran Ayah sebagai Pendidik (Educator) ... 136

E. Peran Ayah sebagai Teman Bermain (Playmates) ... 142

F. Peran Ayah sebagai Sahabat (Friend) ... 144

BAB VI ... 148

A. Kesimpulan ... 148

B. Saran ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 152

(11)

vii

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu ... 11

Tabel 4.1 Scene (sintagma) “Pengumuman Bangkrut” ... 72

Tabel 4.2 Scene (sintagma) “Euis Izin Main di Kota” ... 83

Tabel 4.3 Scene (sintagma) “Abah Ditolak Kerja” ... 92

Tabel 4.4 Scene (sintagma) “Pengumuman Liburan Sekolah Ke Rumah Aki dan Nini” ... 96

Tabel 4.5 Scene (sintagma) “Abah Baru Sampai Rumah Sakit” ... 102

Tabel 4.6 Scene (sintagma) “Happy Birthday Euis-Anak Abah yang Paling Geulis” ... 104

Tabel 4.7 Scene (sintagma) “Arabah” ... 113

(12)

viii

Gambar 2.1 Unsur Tanda. ... 24

Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna Saussure. ... 25

Gambar 2.3 Alur Sintagmatis dan Paradigmatis dalam sebuah Kalimat . ... 30

Gambar 3.1 Poster Film Keluarga Cemara ... 52

Gambar 3.2 Ringgo Agus Rahman sebagai ‘Abah’ ... 57

Gambar 3.3 Nirina Zubir sebagai ‘Emak’ ... 62

Gambar 3.4 Adhisty Zara sebagai ‘Euis’ ... 63

Gambar 3.5 Widuri Putri Sasono sebagai ‘Ara’... 64

Gambar 3.6 Ariyo Wahab sebagai ‘Fajar’ ... 65

Gambar 3.7 Abdurrahman Arif sebagai ‘Romly’ ... 65

Gambar 3.8 Asri Welas sebagai ‘Ceu Salma’ ... 66

Gambar 3.9 Kawai Labiba, Yasamina Jasem, Kafin Sulthan dan Joshia Frederico sebagai ‘Ima’, ‘Rindu’, ‘Deni’ dan ‘Andi’ ... 67

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Komunikasi adalah kegiatan yang tak pernah lepas dari setiap manusia sejak lahir. Sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan pertama terjadinya kegiatan komunikasi bagi manusia adalah lingkungan keluarganya. Yang pertama adalah pondasi dan pondasi itu merupakan hal yang sangat penting bagi kelanjutannya. Oleh sebab itu, tiap-tiap orang tua perlu memberi perhatian terhadap komunikasi yang baik bagi kelahiran individu baru (anaknya) dalam keluarganya.

Biasa dikatakan bahwa suami/ayah adalah seorang pemimpin. Pemimpin bagi istrinya ketika dikatakan sebagai suami dan pemimpin bagi anaknya ketika dikatakan sebagai ayah. Namun ketika mengatakan pengasuhan anak, seakan ayah tersingkir dari pembahasan. Padahal karena ayah merupakan pemimpin dari anak, maka ayah bertanggung jawab atas anak. Pertanggungjawaban ini diwujudkan dalam kegiatan ayah baik dalam memenuhi kebutuhan anak secara fisik, mental, emosional dan sosial (bukan fisik saja).

Secara klasik ayah selalu digambarkan tidak pernah ikut terlibat langsung dalam mengasuh anak seperti halnya dalam mengganti popok, memberi makan atau menghangatkan botol susu. Semuanya itu dikerjakan oleh sang ibu mulai dari menggendong, membersihkan tempat tidur dan memberi makan anak. Ayah sangat jarang terlihat ikut berpartisipasi penuh

(14)

dalam mengasuh anak, ayah memberikan pengasuhan anak seutuhnya kepada ibu. Maka sering terjadi bahwa anak lebih dekat dengan ibunya dari pada ayahnya.1

Pandangan bahwa peran ayah kepada anak hanya sebagai pencari nafkah atau breadwinner ternyata bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat biasa pada umumnya. Di kalangan masyarakat terdidik sekalipun cara pandang demikian juga masih terjadi. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kajian terhadap peranan ayah terhadap anak terlalu sedikit dibandingkan dengan studi yang mengupas peran ibu yang sudah banyak dikaji secara mendalam. The National Center For

Education Statistic (NCES), sebuah lembaga Riset dan

Pengembangan di Departemen Pendidikan Amerika Serikat menyebutkan bahwa sejak beberapa dekade silam, kajian anak dan isu-isu tentangnya cenderung hanya fokus terhadap anak dan ibu serta melupakan dan menafikan ayah.2

Pakar pengasuhan keayahan, Irwan Rinaldi menyebutkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara dengan

fatherless atau father hunger dalam pengasuhan anak, yaitu

tidak adanya peran ayah karena hanya hadir secara fisik, tetapi

1 Maisyarah, Anizar Ahmad & Bahrun, “Peran Ayah pada Pengasuhan

Anak Usia Dini dalam Keluarga di Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Guru Anak Usia Dini Vol. 2 No.

2, Mei 2017, hal. 51.

2 Bunyanul Arifin, “Peran Ayah dalam Perspektif Islam dan

Implementasinya terhadap Siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Jakarta”,

(15)

tidak terlibat dalam urusan perkembangan anak.3 Fenomena ini menjadikan Indonesia disebut-sebut dengan sebutan “fatherless

country” atau “negara yang kekurangan (sosok) ayah”.

Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda:

ُلُجَّرلاَو ِهِتَّيِعَر ْنَع ٌلوُئْسَمَو ٍعاَر ُماَمِلإْا ِهِتَّيِعَر ْنَع ٌلوُئْسَم ْمُكُّلُكَو ٍعاَر ْمُكُّلُك

َز ِتْيَ ب ِفِ ٌةَيِعاَر ُةَأْرَمْلاَو ِهِتَّيِعَر ْنَع ٌلوُئْسَم َوُهَو ِهِلْهَأ ِفِ ٍعاَر

ْو

ْنَع ٌةَلوُئْسَمَو اََِج

اََِتَّيِعَر

Artinya: “Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap

engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya.” (HR. Bukhari: 4789).

Sabda Rasul diatas jelas terpampang bahwa seorang laki-laki (bukan hanya perempuan) bertanggung jawab untuk memelihara keluarganya (termasuk anak-anaknya), bukan hanya memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan, namun juga memelihara keluarganya dari hal-hal yang mendatangkan kemunkaran, dan memberikan pendidikan yang dapat menjadikan (dalam konteks penelitian ini) anak-anaknya menjadi pribadi yang lebih baik dan beradab setiap waktunya.

3

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2860/perkuat-peran-ayah-untuk-meningkatkan-kualitas-pengasuhan-anak diakses pada 5 Februari 2021.

(16)

Dikutip dari buku Prophetic Parenting, Ali bin Madini

rahimahullah mengatakan, “mewariskan adab kepada anak-anak lebih baik daripada mewariskan harta. Karena, adab dapat menghasilkan harta, kedudukan dan cinta dari para sejawat, serta menggabungkan antara kebaikan dunia dan kebaikan akhirat”.4

Pernyataan diatas mendukung bahwa memelihara keluarga bukan hanya sekedar yang material. Adab disini menjadi penting dalam pengasuhan orang tua terhadap anaknya. Karena dari adab yang baik diperoleh pikiran yang terbuka. Dari pikiran yang terbuka dihasilkan kebiasaan yang baik dan tabiat yang terpuji. Dari tabiat yang terpuji diperoleh amal saleh. Dari amal saleh diperoleh keridhaan Allah. Dari keridhaan Allah diperoleh kerajaan abadi. Sebaliknya, dari adab yang buruk diperoleh pikiran yang rusak. Dari pikiran yang rusak diperoleh kebiasaan buruk. Dari kebiasaan buruk diperoleh tabiat yang tercela. Dari tabiat yang tercela diperoleh amal buruk. Dari amal buruk diperoleh murka dan marah Allah. Dari murka dan marah Allah diperoleh kehinaan abadi.5

Hal diatas menerangkan betapa pentingnya memelihara anak-anak yang menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Oleh sebab itu, tidak ada alasan lagi untuk menyingkirkan laki-laki

4 Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic Parenting: Cara Nabi

Mendidik Anak, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2010), diterjemahkan oleh: Farid Abdul Aziz Qurusy, hal. 400.

5 Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic Parenting: Cara Nabi

Mendidik Anak, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2010), diterjemahkan oleh: Farid

(17)

(ayah) perihal pengasuhan anak. Karena kemaslahatan anak-anak sejak dini adalah tanggung jawab kedua orang tuanya. Bukan hanya ibu saja. Pun dalam temuan Flouri & Buchanan (2003) membuktikan bahwa meskipun keterlibatan ayah dan ibu berkontribusi nyata terhadap kebahagiaan anak, keterlibatan ayah memiliki pengaruh yang lebih kuat.6

Dalam menyampaikan betapa pentingnya peran ayah bagi anak, ada banyak cara dan dengan melalui berbagai bentuk media komunikasi. Salah satunya film. Film merupakan salah satu komunikasi massa yang penyaluran pesannya disalurkan dari unsur audio dan visual. Kedua unsur ini yang menjadikan salah satu alasan film masih banyak peminatnya dari semua kalangan umur untuk mencari hiburan. Walaupun film berawal sebagai pemenuhan fungsi hiburan bagi penontonnya, namun, film juga bisa terkandung fungsi informatif, edukatif dan persuasif.

Berbeda dengan jenis media massa lainnya seperti televisi, surat kabar atau radio, film memiliki nuansa artistik yang lebih kental. Semangat dari masing-masing seniman dan teknisi yang berjalan secara harmoni dalam pengerjaan sebuah film dan dipimpin oleh pelaku yang disebut sutradara dan produser memiliki simbol-simbol dalam film yang baik tanpa disadari maupun disadari membuat para penontonnya memahami isi film secara lebih dalam dan luas.

6 Firdanianty, Djuara Pangihuta Lubis, Herien Puspitawati, Djoko Susanto,

“Komunikasi Remaja dengan Ayah Masih Minim: Studi pada Siswa SMA di Kota Bogor”, Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol. 9 No. 2, Mei 2016,

(18)

Tak tanggung-tanggung, dalam dunia akademik, sudah banyak universitas-universitas yang menawarkan program-program studi yang berkaitan dengan film. Selain karena hobi dalam dunia perfilman, banyak orang-orang yang menaruh perhatian mereka dalam pembuatan film sebagai bentuk ekspresi atas ide, gagasan bahkan perasaan mereka atau orang lain, dan karena sifatnya (film) yang audio-visual membuat simbol-simbol yang ditampilkan dalam film bisa lebih dimengerti ketimbang media yang sifatnya hanya audio atau visual saja. Oleh sebab itu, mempelajari hal-hal yang terdapat dalam film menjadi menarik bagi sebagian orang. Karena lagi-lagi, film dengan unsur seninya yang kental dan komunikasi yang selalu menjadi kebutuhan manusia. Karena, seperti yang telah dikatakan diawal, film merupakan media komunikasi.

Dalam pembuatan film, penentuan apa yang akan masuk ke dalam frame baik audio maupun visualnya biasanya akan memunculkan makna. Makna ceritanya, alur ceritanya, karakternya, sifat karakternya, sikap karakternya, perilaku karakternya, perasaan karakternya, situasinya, kondisinya, dll. Dan penggambaran-penggambaran tersebut dapat disimbolkan melalui tindakan karakter, rawut wajah karakter, pakaian karakter (baik warna maupun model), properti pendukung,

lighting (pencahayaan), pengambilan gambar, transisi, latar

musik, latar tempat, tulisan, dialog, monolog, dll. Termasuk peran-peran tiap karakter dalam film yang telah dikonstruksi oleh penulis naskah maupun sutradara.

(19)

Film Keluarga Cemara merupakan pengembangan dari sinetron Keluarga Cemara di akhir era 1990-an. Awalnya, sebelum menjadi sinetron, cerita Keluarga Cemara merupakan cerita bersambung (cerbung) karya Arswendo Atmowiloto yang dimuat di Majalah Hai dengan judul yang sama.7

Film Keluarga Cemara ini telah di sesuaikan dengan keadaan zaman sekarang. Jadi tidak lagi memakai suasana lokasi dan lingkungan di tahun akhir 1990-an. Dalam proses pembuatan dan pengembangan ceritanya pun, dilakukan riset pada 150 keluarga yang dipilih secara acak untuk menanyakan hal yang dihadapi keluarga saat ini.8 Jadi film ini tidak hanya menarget ‘nostalgia’ bagi yang telah menonton sinetron

Keluarga Cemara saja, melainkan juga bagi para penonton

yang sama sekali tidak pernah menyaksikan sinetron Keluarga

Cemara sebelumnya (termasuk penulis) dimungkinkan dapat

larut dalam film serta pesan-pesan didalamnya tersampaikan. Publik sempat menganggap (cerita bersambung) dan serial televisinya kental dengan ajaran-ajaran Kristiani. Terlebih kata

‘cemara’ pada judulnya yang identik dengan simbol pohon

cemara bagi umat kristani saat perayaan Natal. Pohon cemara yang biasa dijadikan pohon natal ini menjadi simbol agar kehidupan rohani umat kristiani selalu bertumbuh dan menjadi saksi yang indah bagi orang lain karena pohon cemara yang

7

https://historia.id/kultur/articles/keluarga-cemara-menebar-inspirasi-D8J9y diakses pada 26 Juli 2020.

8 https://koran.tempo.co/read/tamu/438774/yandy-laurens diakses pada 8

(20)

tergolong pohon ‘evergreen’ (hidup sepanjang tahun dan berdaun tetap hijau).9

Mengenai pendapat publik diatas, Arswendo menampik anggapan itu lantaran memang tak merasa memasukkan persoalan agama dalam kisahnya. “Ide dasarnya sebenarnya

ingin bertutur tentang kejujuran. Kalau ada orang ingin hidup secara jujur, mungkin apa tidak, ya. Di situ juga menceritakan banyak kisah yang penuh dengan kasih sayang,” ujar Arswendo

dalam mingguan Katolik, Hidup, Volume 51 tahun 1997.10 Terlepas dari apakah cerita Keluarga Cemara kental dengan agama Kristen atau tidak, sebagai muslim, kita dapat kembali kepada anjuran Nabi SAW bahwa hikmah atau pelajaran dapat ditemukan dimana saja, termasuk pada agama lain. Seperti yang pernah disampaikan oleh Habib Husen Ja’far dalam podcast bersama Deddy Corbuzier pada akun kanal youtube Deddy Corbuzier di menit 11.33 – 11.58 (dipublikasikan pada 29 April 2020), beliau berkata:

“Bukan hanya hal-hal positif, semua bagian dari agama lain harus dipelajari. Yang positif untuk kita ambil, karena Nabi SAW pernah mengatakan ‘ambillah pelajaran darimana-mana, Hikmah itu harta karunnya umat Islam, ambil dimanapun kamu menemui (hikmah), walaupun dari mulutnya seorang munafik’. Yang Jelek, kita harus pelajari juga untuk meyakinkan kita akan agama kita”.

Kutipan diatas menunjukkan atas sikap kita seharusnya (sebagai umat Nabi Muhammad SAW) dalam mencari hikmah

9 https://id.wikipedia.org/wiki/Pohon_Natal diakses pada 26 Juli 2020. 10

(21)

atas apa saja yang terjadi di bumi ini jangan menjadi terlalu tertutup. Menjadi terbuka dan bijak dalam mengambil pelajaran dengan pedoman Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah cara terbaik dalam mencari hikmah atas suatu hal.

Ramainya Film Keluarga Cemara menjadikan film ini ditayangkan tidak hanya di Indonesia, namun juga ditayangkan di LA Indonesian Film Festival, Kyoto International Film and

Art Festival, China-Asean Film Screening 2019, World Cinema Amsterdam Film Festival 2019, Okinawa International Movie Festival 2019, Beijing International Film Festival 2019, Cambodia International Film Festival 2019 dan ASEAN Cinema Week.11

Hal diatas merupakan bukti bahwa perhargaan-penghargaan yang tertuju kepada film Keluarga Cemara baik secara isi cerita maupun semua individu dan elemen yang berperan dalam film ini sehingga film lebih bernyawa, membuat film ini bisa dikatakan cukup berhasil dalam menyampaikan pesan-pesannya melalui sebuah karya film beserta simbol-simbol didalamnya. Terlebih karakter (utama) Abah yang cukup menonjol dan dinamis dalam cerita pada film Keluarga Cemara ini dan penghargaan yang didapat oleh Ringgo Agus Rahman (pemeran Abah) bersama Nirina Zubir (pemeran Emak) sebagai Pemeran Pasangan Terbaik versi IMAA serta menjadi nominasi pemeran utama pria terbaik versi Festival Film Indonesia (FFI) dan Piala Maya, membuktikan bahwa Ringgo Agus Rahman

(22)

cukup mumpuni sebagai aktor yang memerankan karakter Abah dengan segala perannya sebagai kepala keluarga termasuk sebagai ayah bagi anak-anaknya, yang ditampilkan dengan simbol-simbol yang ingin ditunjukkan untuk diterjemahkan oleh penonton sesuai dengan harapan penulis naskah, sutradara maupun produsernya.

Oleh karena latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menganalisis peran ayah (fathering) pada karakter ‘Abah’ yang diperankan oleh Ringgo Agus Rahman dalam film Keluarga

Cemara dengan usaha tetap menjadikan Qur’an dan

Al-Hadits sebagai pedoman pencarian hikmah. Maka penelitian ini berjudul “ANALISIS SEMIOTIKA PERAN AYAH

(FATHERING) DALAM PERSPEKTIF ISLAM PADA FILM KELUARGA CEMARA”.

B. Fokus dan Rumusan Masalah

Fokus penelitian ini ada pada peran ayah (fathering) yang disimbolkan dalam adegan-adegan di film Keluarga Cemara. Maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimana signifier (penanda) dan signified (petanda) pada film Keluarga Cemara dalam menampilkan peran ayah (fathering) dari perspektif Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan konteks penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna hubungan antara

(23)

Cemara dalam menampilkan peran ayah (fathering) dari

perspektif Islam.

Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai referensi sumbangsih bagi penelitian selanjutnya di bidang yang berkaitan.

2. Dapat menambah wawasan tentang peran ayah (fathering) dari perspektif Islam.

3. Dapat menjadi masukan bagi para pembuat film (filmmaker) untuk merepresentasikan hal-hal yang jarang terungkap dalam film yang bergenre keluarga.

D. Penelitian Terdahulu

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu Judul dan

Penulis Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian

Pesan Dakwah dalam Film Aku Kau dan KUA (Analisis Semiotika Ferdinand de Saussure) oleh Ismayani 12 (1) Semiotika Saussure sebagai pisau analisisnya. (2) Film sebagai format subjek penelitiannya. (1) Judul film skripsi ini adalah Aku Kau dan KUA. Sedangkan judul film penelitian penulis adalah Keluarga Cemara. (2) Skripsi ini memiliki objek penelitian pesan

Adanya konsep ta’aruf (perkenalan dalam Islam), adegan menikah yang merupakan sunnah Rasulullah, adegan melakukan kewajiban sebagai muslim yakni shalat, adegan menggunakan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah untuk menutup aurat, adegan yang menunjukkan

12 Ismayani, Pesan Dakwah dalam Film Aku Kau dan KUA (Analisis

Semiotika Ferdinand de Saussure), (Skripsi Universitas Islam Negeri Alauddin

(24)

dakwah Islam sedangkan penelitian penulis memiliki objek penelitian peran ayah (fathering) dari perspektif Islam. kebolehan poligami dalam Islam dengan syarat adil, adegan ikhlas (merelakan atau menerima sesuatu dengan lapang dada), dan adegan komunikasi Islam yang qaulan sadidan (jujur atau berkata sesuai fakta) dan yang lemah lembut (santun maupun ramah). Analisis Semiotik mengenai Perjuangan Perempuan sebagai Single Mother dalam Film Dawn Anna dan Erin Brockovich oleh Febrina Dwiky Indriyani 13 (1) Semiotika Saussure sebagai pisau analisisnya. (2) Film sebagai format subjek penelitiannya. (1) Judul film skripsi ini adalah (dua film) Dawn Anna dan Erin Brockovich. Sedangkan judul film penelitian penulis adalah Keluarga Cemara. (2) Skripsi ini memiliki objek penelitian single mother sedangkan penelitian penulis memiliki objek penelitian peran ayah (fathering)

Patriarki dan kapitalisme masih menjadi akar penindasan perempuan sebagai single mother di Amerika Serikat. Sehingga menjadi single mother, selain harus mencari nafkah dan mengurus keluarga (anak-anak), single mother juga harus berurusan dengan stigma masyarakat akan status dan kondisinya, serta mengalami perlakuan yang bias gender sebagai akibat dari stigma tersebut.

13 Febrina Dwiky Indriyani, Analisis Semiotik mengenai Perjuangan

Perempuan sebagai Single Mother dalam Film Dawn Anna dan Erin Brockovich, (Skripsi Universitas Gadjah Mada, 2008).

(25)

dari perspektif Islam.

Peran Ayah (Fathering) Pada Pengasuhan Anak Usia Dini: Sebuah Kajian Teoritis oleh Enjang Wahyuningrum 14 (1) Peran ayah (fathering) sebagai objek penelitian. Sedangkan metode penelitian penulis merupakan analisis semiotika dan film Keluarga Cemara sebagai subjeknya. (1) Objek penelitian peran ayah (fathering) jurnal ini tidak dari perspektif Islam, sedangkan objek penelitian peran ayah (fathering) penelitian penulis dari perspektif Islam. (2) Jurnal ini merupakan kajian teoritis sedangkan penelitian penulis merupakan analisis semiotika dan film Keluarga Cemara sebagai subjeknya.

Peran ayah sangat penting terhadap

perkembangan anak usia dini yang berdampak pada aspek fisik motorik, emosional, kognitif dan sosial. Sehingga ketiadaan peran ayah dari pengasuhan anak juga akan berdampak pada anak. Faktor-faktor yang memengaruhi ayah untuk mengambil peran dan terlibat dalam pengasuhan adalah kesejahteraan psikologisnya, sikap, kepribadian, motivasi dan jenis pekerjaannya. Hal ini mendukung soal pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Peran Ayah dalam Perspektif Islam dan Implementasinya terhadap Siswa Madrasah Aliyah Negeri (1) Peran ayah (fathering) dalam perspektif Islam sebagai objek penelitian penulis. (1) Jurnal ini menggunakan penelitian survey, sedangkan penelitian penulis

Dari enam dimensi peran yang seharusnya dilakukan seorang ayah, aspek paling tinggi ada pada peran sebagai pelindung dan pencari nafkah. Aspek

14 Enjang Wahyuningrum, Peran Ayah (Fathering) Pada Pengasuhan Anak

(26)

(MAN) di Jakarta oleh Bunyanul Arifin (Dosen Magister Pendidikan Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Tangerang)15 menggunakan analisis semiotika. (2) Subjek jurnal ini adalah siswa-siswi MAN di Jakarta, sedangkan subjek penelitian penulis adalah film Keluarga Cemara. kepemimpinan dan peran sebagai pendidik belum mampu

menyentuh angka 50 persen. Dan aspek sebagai sahabat dan teman bermain bagi anak masih dibawah angka 30 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peran ayah terhadap anak dalam perspektif Islam masih kecil dan tidak signifikan. Ayah muslim belum mampu mengimplementasikan perannya sebagaimana seharusnya.

E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Paradigma merupakan suatu pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi (perilaku yang ada di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Menurut Harmon, paradigma merupakan cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan nilai

15 Bunyanul Arifin, “Peran Ayah dalam Perspektif Islam dan

Implementasinya terhadap Siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Jakarta”,

(27)

yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas.16

Paradigma yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma ini memandang bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap, tetapi selalu berkembang terus. Hal ini berarti, realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai, jadi tidak mungkin bebas nilai, dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap, tetapi berkembang terus.17

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yakni penelitian yang dilalui dengan proses analisis deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang pemecahan masalahnya dengan menggunakan data empiris yang bertujuan mengembangkan pengertian tentang individu dan kejadian dengan memperhitungkan konteks yang relevan. Menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan

16 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2007), hal. 49.

17 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik,

(28)

dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.18

Penelitian ini dilakukan untuk memahami terkait peran ayah (fathering) dari perspektif Islam dan faktor pengaruhnya yang merupakan bagian dari tindakan manusia, maka dari itu metode kualitatif adalah pilihan terbaik. Peneliti berusaha menggambarkan hasil penelitian dari subjek dan objek yang dikaji kemudian digambarkan kedalam bentuk uraian-uraian yang menunjukan bagaimana peran ayah (fathering) dalam film Keluarga Cemara. 3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah film Keluarga Cemara. Kemudian objek penelitian ini adalah peran ayah (fathering) dalam perspektif Islam yang digambarkan dalam film

Keluarga Cemara sebagai subjeknya.

4. Waktu Penelitian

Waktu yang dibutuhkan penulis untuk melakukan penelitian ini yaitu dari September 2020 sampai Januari 2021.

5. Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diinginkan, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi / pengamatan dilakukan dengan cara penulis menonton siaran original film Keluarga

18 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja

(29)

Cemara yang legal secara berulang-ulang lalu

mengamati setiap tanda pada scene-scene film

Keluarga Cemara. Tanda-tanda yang diperoleh pada

tiap level paradigma yang telah ditentukan, akan dianalisis sesuai hubungan antara penanda dan petanda. Selanjutnya akan dikombinasikan dengan unit-unit pembendaharaan tanda yang lain dan menghasilkan sintagma (jika dalam film bisa disamakan dengan scene).

b. Studi Dokumen

Dokumentasi berupa dokumen pendukung yang tertulis, seperti literatur-literatur resensi film Keluarga

Cemara, peran ayah dalam perspektif Islam dan

mengenai metode analisis semiotika baik dari buku, jurnal, maupun artikel-artikel terpercaya (offline maupun online).

6. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian deskriptif ini, metode analisis data yang digunakan adalah model Miles dan Hubermen, dalam buku tersebut dijelaskan bahwa analisis data meliputi tiga alur utama yaitu:19

a. Reduksi Data

Data yang telah diperoleh akan dipilih beberapa

scene atau adegan yang dianggap berkaitan atau

mampu menampilkan tema penelitian melalui cara

19 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja

(30)

diferensiasi untuk melihat apa yang dimunculkan dibanding apa yang tidak dimunculkan. Sehingga akan terjadi beberapa data tereduksi.

b. Penyajian Data

Dalam penyajian data yang telah direduksi, data akan dianalisis dengan relasi struktural paradigmatik dan sintagmatik yang melibatkan peran ayah (fathering) dalam perspektif Islam pada film Keluarga

Cemara.

c. Penarikan Kesimpulan

Pada proses penarikan ini, penarikan kesimpulan didasarkan pada penggabungan informasi yang telah diperoleh dan disusun dalam bentuk yang cocok dengan penyajian data melalui informasi tersebut, penelitian ini dapat memaparkan kesimpulan dari sudut pandang peneliti.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan pada penelitian ini bisa lebih dipahami, maka diperlukannya sistematika penulisan yang baik. Berikut sistematika penulisann penelitian dalam skripsi ini:

BAB I: PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdiri dari konteks penelitian (latar belakang penelitian), fokus dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, penelitian-penelitian terdahulu sebagai tinjauan penelitian penulis dan sistematika penelitian.

(31)

BAB II: KAJIAN TEORI

Dalam bab ini dijelaskan hal-hal mengenai pengertian analisis semiotika, terkhusus semiotika menurut Ferdinand De Saussure yang memunculkan istilah paradigma dan sintagma. Kemudian mengenai peran ayah (fathering) dari perspektif Islam beserta faktor-faktor yang memengaruhi peran ayah dalam keluarga. Dan yang terakhir adalah tinjauan tentang film. Baik dari segi unsur maupun teknik pengambilan gambar yang tiap-tiap tekniknya memiliki arti dan pesan untuk disampaikan kepada penonton.

BAB III: GAMBARAN UMUM FILM KELUARGA CEMARA

Bab ini menjelaskan tentang film Keluarga Cemara. Baik dari segi sinopsis film, tim produksinya dan profil serta karakter peran (cast) dalam film.

BAB IV: DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Bab ini berisi penjabaran data dan temuan penelitian yang merujuk pada peran ayah (fathering) dalam perspektif Islam pada film Keluarga Cemara.

BAB V: PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pembahasan peran ayah (fathering) dari perspektif Islam dalam film Keluarga Cemara yang menggunakan teknik analisis semiotika model Ferdinand De Saussure.

BAB VI: PENUTUP

(32)

20 BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Tentang Semiotika Ferdinand de Saussure 1. Pengertian Semiotika

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda”.1 Atau seme, yang berarti “penafsir tanda”.2

Menurut Alex Sobur, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.3 Tanda sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.4

Menurut Segers, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system

(code) ‘sistem tanda’.5

Seorang ahli filsafat abad ke-19, Charles Sanders Pierce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan antar tanda (sign), objek dan makna. Tanda mewakili objek (referent) yang ada didalam pikiran orang yang

1 Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (ed.), Serba-Serbi Semiotika,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. vii.

2 Paul Cobley dan Litza Jansz, Introducing Semiotics, (New York: Icon

Books – Totem Books, 1999), hal. 4.

3 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2009), Cet. 4, hal. 15.

4 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis

Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2002), hal. 95.

5 T. Rien Segers, Evaluasi Teks Sastra, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,

(33)

menginterpretasikannya (interpreter). Pierce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek disebut dengan interpretan.6

Menurut Morris (dalam Jürgen Trabant, 1996) semiotika adalah ilmu mengenai tanda, baik itu bersifat manusiawi maupun hewani, berhubungan dengan suatu bahasa tertentu atau tidak, mengandung unsur kebenaran atau kekeliruan, bersifat sesuai atau tidak sesuai, bersifat wajar atau mengandung unsur yang dibuat-buat.7

Saussure mendefinisikan semiologi (semiotika) sebagai

“sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat” dan, dengan demikian, menjadi bagian

dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya.8

Jadi dapat disimpulkan bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang segala bentuk tanda sebagai sarana komunikasi beserta proses terbentuknya tanda tersebut hingga mencapai pemaknaan oleh manusia.

2. Konsep Semiotika Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure merupakan ahli linguistik yang menjadi salah satu pendiri semiotika. Meskipun teori

6 Morissan dan Andy Corry Wardhany, Teori Komunikasi, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2009), hal. 28.

7 Jürgen Trabant, Dasar-Dasar Semiotika, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, 1996), hal. 4

8 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

(34)

semiotika Saussure didasarkan pada bidang linguistik, dimana bahasa memang hanyalah satu dari sekian banyak sistem semiotika yang ada, namun bahasa punya keistimewaan karena tidak hanya merupakan sistem yang paling kompleks dan universal dari segala sistem ekspresi yang ada, tapi juga sebagai yang paling berkarakter. Linguistik, karenanya, menyediakan ‘master-pattern for all

branches of semiology’.9 Kemudian Saussure juga

menyebutkan: “Sekalipun hanyalah merupakan salah satu

cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi. Sebabnya terletak pada ciri arbitrer dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa.” 10

Sobur juga mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang paling fundamental. Namun tanda-tanda nonverbal juga tetap dapat dilihat sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi.11

Hal diatas menjelaskan bahwa bahasa merupakan salah satu jenis tanda yang fundamental. Oleh karenanya, Saussure sebagai ahli bahasa percaya bahwa sistem tanda pada bahasa bisa menjadi acuan dalam mengkaji berbagai jenis tanda

9 Robert Stam, dkk, New Vocabularies in Film Semiotics: Structuralism,

Post-Structuralism, and Beyond, (New York: Routledge, 1992), hal. 4.

10 Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1988), diterjemahkan oleh: Rahayu S. Hidayat, hal. 26.

11 Febrina Dwiky Indriyani, Analisis Semiotik mengenai Perjuangan

Perempuan sebagai Single Mother dalam Film Dawn Anna dan Erin Brockovich, (Skripsi Universitas Gadjah Mada, 2008), hal. 27.

(35)

lainnya, termasuk tanda-tanda nonverbal karena sifatnya yang sama-sama arbitrer dan konvensional.

Sedikitnya ada 5 pandangan dari Saussure yang kemudian jadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss (filsuf strukturalis asal perancis), yaitu pandangan tentang (1)

signifier (penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk)

dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik); serta (5) syntagmatic (sintagmatik) dan

associative (paradigmatik).12

Pertama, ada signifier (penanda) dan signified (petanda).

Dalam teori Saussure, bahasa adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian yakni signifier (penanda) dan signified (petanda).13 Saussure melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) atau disebut penanda ‘signifier’ dan makna (yang dipahami oleh manusia pemakai tanda) atau disebut petanda ‘signified’.14

Setiap tanda kebahasaan, menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang

12 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2009), Cet. 4, hal. 46.

13 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2009), Cet. 4, hal. 46.

14 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok:

(36)

diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Kedua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Karena keduanya hanya ada sebagai komponen tanda. Seperti kata Saussure bahwa penanda dan petanda merupakan satu kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.15

Gambar 2.1 Unsur Tanda.16

Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda

(signified) dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap

dunia.17 Lebih Jauh Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified) sebagai berikut:

15 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2009), Cet. 4, hal. 46-47.

16 Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1988), diterjemahkan oleh: Rahayu S. Hidayat, hal. 146.

17 John Fiske, Introduction to Communication Studies, (London:

(37)

Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna Saussure.18 Berdasarkan gambar diatas, dinyatakan bahwa

signification adalah usaha dalam mengidentifikasi hubungan

antara penanda (signifier) dan petanda (signified) sehingga mengetahui fungsi tanda (sign) dalam memberi makna atas realitas eksternal. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) yang bersifat arbitrer (manasuka), menyebabkan tanda (sign) sebagai produk kultural yang

signification-nya, sebagai usaha untuk mencari makna

realitas eksternal, hanya berdasarkan konvensi atau kesepakatan dari sesama pengguna kultur atau bahasa tertentu.

Kedua, ada form (bentuk, wadah) dan content (isi).

Saussure membandingkan form dan content atau substance itu dengan permainan catur. Dalam permainan catur, papan dan biji catur itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi, aturan-aturan permainannya. Jadi,

18 John Fiske, Introduction to Communication Studies, (London:

(38)

bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tetapi sistem itu ditentukan oleh perbedaannya.19

Untuk membedakan keduanya dalam hal kata-kata, Ahimsa-Putra memberi contoh. Misal kata ‘sinkronisasi’ dapat diucapkan secara berlain-lainan oleh individu-individu yang berbeda, dan mungkin juga diberi makna yang berbeda. Walaupun demikian, kata tersebut tetaplah satu dan sama. Yang bervariasi, kata Saussure, adalah “the phonic and

psychological matter”, sedangkan wadahnya––yaitu kata

‘sinkronisasi’ sebagai bagian dari sebuah sistem bahasa–– tetap sama.20

Menurut Saussure, yang memberikan pada suatu kata

distinctive form-nya, atau bentuk khasnya, tidak lain adalah

diferensiasi sistematis yang ada antara setiap kata dengan kata-kata yang lain. Kata kalam, misalnya, dibedakan menurut suaranya dengan kata salam dan malam, namun secara konseptual kata tersebut dibedakan dengan buku, pena, kertas, tinta dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan yang memisahkan suatu kata dengan kata-kata yang lain–– terutama yang memisahkannya dengan kata-kata yang paling

19 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2009), Cet. 4, hal. 47.

20 Shri Heddy Ahimsa-Putra, Levi-Strauss di Kalangan Orang Bajo:

Analisis Struktural dan Makna Ceritera Orang Bajo, Kalam Edisi 6, 1995, hal.

(39)

berdekatan (menurut suara maupun konsep)––itulah yang memberikan identitas pada kata tersebut.21

Jadi dapat dikatakan bahwa dalam kategori form dan

content¸ pemaknaan tanda, salah satu identifikasinya dengan

cara diferensiasi dengan tanda lain yang baik secara form maupun content-nya memiliki kemiripan.

Ketiga, ada synchronic (sinkronik) dan diachronic

(diakronik). Sinkronik adalah studi mengenai sistem bahasa pada kondisi tertentu dengan mengabaikan waktu. Sedangkan diakronik adalah studi mengenai evolusi bahasa dalam setiap waktu.22 Kajian sinkronik bahasa dalam pemahaman ini hanya mencoba untuk melihat sistem dan struktur dari bahasa pada satu waktu tertentu, misalnya meneliti mengapa frasa “wanita” memiliki konotasi yang berbeda dengan “perempuan”. Kajian diakronik bahasa sementara itu melihat bahasa dan makna sebagai suatu entitas yang terus berubah dan memiliki sejarah, misalnya meneliti mengenai perkembangan makna frasa “wanita” dari awal penggunaan kata tersebut hingga sekarang.23

Saussure berpendapat bahwa penyelidikan sinkronis harus mendahului penyelidikan diakronis. Linguistik komparatif-historis harus membandingkan bahasa-bahasa sebagai sistem-sistem. Oleh sebab itu, sistem terlebih dahulu

21 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2009), Cet. 4, hal. 48.

22 Jonathan Culler, Saussure, (London: Fontana Press, 1990), hal. 35. 23 Fajriannoor Fanani, “Semiotika Strukturalisme Saussure”, The

(40)

mesti dilukiskan tersendiri menurut prinsip sinkronis. Tak ada manfaatnya mempelajari evolusi atau perkembangan salah satu unsur bahasa, terlepas dari sistem-sistem di mana unsur itu berfungsi.24

Keempat, ada langue (bahasa) dan parole (tuturan,

ujaran). Langue adalah sistem dari bahasa dimana individu mengasimilasikan bahasa yang ia dengar. Sistem gramatikal yang lahir dari lingkungan sosial individu tersebut. Sementara itu parole adalah kombinasi darimana individu menggunakan kode dari sistem bahasa untuk mengekspresikan pemikirannya. Mekanisme psiko-sosial yang membuatnya memperlihatkan kombinasi tersebut.25

Saussure mengeksplorasi aturan dan konvensi yang mengatur bahasa (langue) ketimbang pemakaian dan ujaran secara spesifik yang dipakai individu dalam kehidupan sehari-hari (parole). Saussure dan strukturalisme secara umum, lebih banyak menaruh perhatian kepada struktur bahasa daripada pemakaian sebenarnya.26 Apa yang disebut pendekatan strukturalisme dalam bahasa adalah pendekatan yang melihat hanya struktur atau sistem bahasa (sinkronik) dengan mengabaikan konteks waktu, perubahan, dan sejarahnya (diakronik).27

24 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2009), Cet. 4, hal. 54.

25 Jonathan Culler, Saussure, (London: Fontana Press, 1990), hal. 29-30. 26 Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal.

70.

27 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas

(41)

Kelima, ada syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik). Mengenai sintagma dan parardigma ini akan dibahas terpisah menjadi poin tersendiri.

3. Paradigma dan Sintagma

Perhatian Saussure akan relasi tanda menghasilkan dua istilah yakni paradigma dan sintagma. Menurut Saussure, makna dihasilkan melalui proses seleksi dan kombinasi tanda di sepanjang poros (aksis) sintagmatis dan paradigmatis. Poros sintagmatis dibangun oleh kombinasi linear antar tanda yang membentuk kalimat. Poros paradigmatik mengacu kepada arena tanda (misalnya sinonim) yang darinya segala tanda yang ada diseleksi. Makna diakumulasikan di sepanjang poros sintagmatik, sementara seleksi dari arena paradigmatik mengubah makna pada poin tertentu dalam kalimat.28

Paradigma adalah suatu kumpulan tanda yang kemudian

akan diseleksi untuk dipilih salah satunya. Sehingga tanda dari level paradigma akan ada yang muncul dan ada yang tidak. Sementara sintagma adalah kombinasi tanda hasil pilihan dari suatu paradigma dengan tanda-tanda dari paradigma lainnya berdasarkan aturan tertentu yang muncul bersamaan, sehingga menghasilkan makna tertentu.

28 Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal.

(42)

Gambar 2.3 Alur Sintagmatis dan Paradigmatis dalam sebuah Kalimat.29

Pada tabel tersebut terlihat bahwa pemilihan frasa-frasa tertentu dalam sebuah kalimat (paradigmatis) dapat mempengaruhi arti sintagmatis dalam kalimat tersebut. Kalimat “teroris hari ini diserang” tentunya memiliki konotasi yang lebih negatif ketimbang kalimat “pejuang kebebasan hari ini dibebaskan.”30

Film adalah produk kultural yang kaya akan tanda-tanda. Melalui konsep paradigma dan sintagma Saussure dalam semiotika, diharapakan dapat mengurai dan memahami makna yang terkandung dari tanda-tanda yang dimunculkan dalam film.

Setiap informasi yang disampaikan film pasti terkodekan melalui pilihan-pilihan tanda dari suatu paradigma. Di setiap tanda yang dipillih dalam level paradigma akan dianalisis sesuai dengan hubungan antara penanda (signifier) dan

29 Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal.

70.

30 Fajriannoor Fanani, “Semiotika Strukturalisme Saussure”, The

(43)

petanda (signified) Saussure. Pada film, paradigma ini bisa berupa teknik camera shot, camera angle, ekspresi objek,

lighting, naskah, soundtrack, sound effect, dll. Misal,

paradigma teknik camera shot, ada close up, medium shot,

long shot, dll. Masing-masing dari teknik tersebut memiliki

makna tersendiri, yang kemudian dipilih salah satunya untuk dikombinasikan dengan hasil pilihan tanda dari paradigma lainnya. Hasil kombinasi ini yang disebut sintagma. Dalam satu scene film, terdapat kombinasi antara unit-unit tanda dari paradigma seperti naskah, soundtrack, sound effect,

camera shot, camera angle, ekspresi objek, lighting, dll,

yang dari paduan tersebut akan diperoleh makna. B. Tinjauan Tentang Ayah

1. Definisi Peran Ayah

Ayah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang tua laki-laki seorang anak. Tergantung hubungannya dengan sang anak, seorang “ayah” dapat merupakan ayah kandung (ayah secara biologis) atau ayah angkat. Panggilan “ayah” juga diberikan kepada seorang yang secara de facto bertanggung jawab memelihara seorang anak meskipun antar keduanya tidak terdapat hubungan resmi.31

Peran ayah atau fathering merupakan bagian dari

parenting (peran pengasuhan). Idealnya ayah dan ibu

mengambil peranan yang saling melengkapi dalam

31 Anton Moedardo Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

(44)

kehidupan rumah tangga dan perkawinannya, termasuk di dalamnya berperan sebagai model yang lengkap bagi anak-anak dalam menjalani kehidupannya.32

Peran ayah atau fathering merupakan suatu peran yang dijalankan oleh seorang ayah dalam kaitannya adalah tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri di dewasanya, baik secara fisik dan biologis. Peran ayah tidak kalah penting dengan peran ibu, peran ayah juga memiliki pengaruh dalam perkembangan anak, walaupun kedekatan antara ayah dan anak tidak sedekat ibu dan anaknya. Hal ini mengatakan bahwa cinta ayah didasarkan pada syarat tertentu, berbeda dengan cinta ibu yang tanpa syarat. Dengan demikian, cinta ayah memberi motivasi anak untuk lebih menghargai nilai-nilai dan tanggung jawab.33

Jadi dapat dikatakan bahwa peran ayah adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada anak-anaknya dalam memenuhi kebutuhan para anak baik secara material (sandang, pangan, papan, sekolah, kesehatan fisik, dll), maupun non-material (kasih sayang, perhatian, pengajaran, dll). Baik ayah kandung maupun angkat. Dan hal ini bertujuan untuk mempersiapkan anak kelak menjadi dewasa, mandiri, bijak dan berperilaku serta bersikap baik lainnya

32 Budi Andayani & Koentjoro, Peran Ayah Menuju Coparenting,

(Surabaya: CV Citra Media, 2004), Cet. 1, hal. 12.

33 Muhammad Salis Yuniardi, Penerimaan Remaja Laki-Laki dengan

Perilaku Antisosial terhadap Peran Ayahnya di dalam Keluarga, (Malang:

Laporan Penelitian Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, 2009), hal. 20.

(45)

dalam menjalani dinamika kehidupan. Persiapan inilah yang menjadi tanggung jawab ayah sehingga muncul adanya peran ayah.

Bersamaan dengan peran ibu, keduanya (peran ayah-ibu) harus bisa saling melengkapi dan mendukung tercapainya tujuan yang merupakan untuk kebaikan anak-anaknya. Oleh sebab itu pula, peran ayah muncul karena adanya perbedaan dengan peran ibu yang berfungsi saling melengkapi dan mendukung peran orang tua atas anak-anaknya.

2. Peran Ayah dalam Keluarga

Berdasarkan hasil penelitian Parsons (dalam Andayani & Koentjoro, 2004) memiliki kesimpulan bahwa peran yang lebih khusus untuk ayah yaitu mempresentasikan pengambil keputusan, berorientasi pada tindakan, berlaku sebagai penghubung utama antara sistem keluarga dengan sistem sosial di luar keluarga, bertanggung jawab untuk mengenalkan anak pada peran jenis kelamin pada dunia yang lebih luas, dan mendorong anak untuk memperoleh kompetensiyang diinginkan untuk beradaptasi dengan dunia yang lebih luas.

Sedangkan menurut Hart (dalam Yuniardi, 2009) menegaskan bahwa ayah memiliki peran dalam keterlibatannya dengan keluarga yaitu: 34

34 Muhammad Salis Yuniardi, Penerimaan Remaja Laki-Laki dengan

Perilaku Antisosial terhadap Peran Ayahnya di dalam Keluarga, (Malang:

Laporan Penelitian Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, 2009), hal. 25-27.

(46)

a. Economic Provider, yaitu ayah dianggap sebagai pendukung finansial dan perlindungan bagi keluarga. Sekalipun tidak tinggal serumah dengan anak, namun ayah tetap dituntut untuk menjadi pendukung finansial. b. Friend & Playmate, ayah dianggap sebagai “fun

parent” serta memiliki waktu bermain yang lebih

banyak dibandingkan dengan ibu. Ayah banyak berhubungan dengan anak dalam memberikan stimulasi yang bersifat fisik. Selain itu, melalui permainan dengan anak, ayah dapat bergurau yang sehat, dapat menjalin hubungan yang baik sehingga problem, kesulitan dan stress dari anak dapat dikeluarkan.

c. Caregiver, ayah dianggap sering memberikan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk, sehingga memberikan rasa nyaman dan penuh kehangatan. d. Teacher & Role Model, sebagaimana dengan ibu, ayah

juga bertanggujng jawab dalam terhadap apa saja yang dibutuhkan anak untuk masa mendatang melalui latihan dan teladan yang baik bagi anak.

e. Monitor & Disciplinary, ayah memenuhi peranan penting dalam pengawasan terhadap anak, terutama begitu ada tanda-tanda awal penyimpangan, sehingga disiplin dapat ditegakkan.

f. Protector, yaitu ayah mengontrol dan mengorganisasi lingkungan anak, sehingga anak terbebas dari kesulitan atau bahaya, serta mengajarkan bagaimana anak

(47)

seharusnya menjaga keamanan diri mereka terutama selagi ayah atau ibu tidak bersamanya, misalnya agar tidak berbicara dengan orang asing.

g. Advocate, ayah menjamin kesejahteraan anaknya dalam berbagai bentuk, terutama kebutuhan anak ketika berada di institusi di luar keluarganya. Selain itu, ayah siap membantu, mendampingi dan membela anak jika mendapat masalah, dengan demikian anak merasa aman, terlindungi, tidak sendiri dan ada tempat untuk berkonsultasi, yaitu ayahnya sendiri.

h. Resource, yaitu dengan berbagai cara dan bentuk, ayah mendukung keberhasilan anak dengan memberikan dukungan di belakang layar.

3. Faktor yang Mempengaruhi Peran Ayah

Doherty, dkk (dalam Andayani & Koentjoro, 2004)35 menyebutkan 5 faktor penting yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak:

a. Faktor Ibu, ibu sering memberikan evaluasi pada para ayah ketika mereka terlibat dengan anak-anak. Tidak jarang evaluasi ibu akan menjadi ukuran bagi ayah untuk tetap berinteraksi dengan anaknya atau tidak. Simons, dkk (1990) menemukan bahwa sikap, harapan, dan dukungan ibu terhadap ayah akan mempengaruhi keterlibatan ayah pada anaknya. Penilaian dari pasangan akan memperkuat identitas

35 Budi Andayani & Koentjoro, Peran Ayah Menuju Coparenting,

(48)

peran ayah yang kemudian akan meningkatkan perhatian ayah terhadap anak, atau dengan kata lain meningkatkan pemusatan psikologis (psychological

centrality) tentang pentingnya anak bagi si ayah,

dengan adanya pemusatan ini ayah akan menjadi lebih terlibat pada anak.

b. Faktor ayah sendiri, keterlibatan ayah dipengaruhi oleh kepribadiannya, aspek-aspek identifikasi peran ayah, keterampilan pengasuhan, dan komitmen adalah aspek penting dalam keterlibatan ayah yang dapat mengimbangi kurangnya faktor dukungan dari ibu, sosial dan institusional. Demikian pula halnya dengan kesejahteraan psikologis, dan kemampuan penyesuaian psikologis ayah. Trait expressiveness adalah kepribadian feminim yang mengandung unsur kelembutan hati, baik hati dan peduli pada orang lain. Seorang ayah yang mempunyai tingkat trait

expressiveness tinggi akan melibatkan dirinya dalam

proses sosialisai anak.

c. Faktor anak, Marsagilo mendapatkan gambaran bahwa ayah cenderung lebih nyaman berinteraksi dengan anak laki-laki daripada anak perempuan, hal ini diduga disebabkan karena anak laki-laki mengidentifikasi diri pada ayahnya, dan komunikasi ayah anak menjadi lebih mudah. Faktor karakteristik anak menurut Belsky merupakan faktor yang tidak kalah penting perannya pada bentuk keterlibatan anak.

(49)

d. Faktor coparental, faktor kualitas pernikahan menjadi faktor yang penting, ketika hubungan dengan istri kurang memuaskan atau penuh dengan konflik ayah cenderung menjauh dari anak-anak (Ahrons dan Miller). Jika ayah berinteraksi dengan anak ketika kualitas tidak memuaskan, maka pola perilakunya terhadap anak juga cenderung kurang positif dan kurang suportif.

e. Faktor kontekstual, Faktor kontekstual yang berperan adalah faktor ekonomi keluarga, dukungan sosial, dan bantuan dari orang-orang dekat seperti keluarga asal dan saudara yang lain.

Aspek ekonomi merupakan aspek pendukung identitas diri seorang ayah. Ayah yang mempunyai kemampuan ekonomi yang menurutnya cukup akan mempunyai kesejahteraan psikologis yang lebih baik daripada ayah yang kemampuannya sebagai pencari nafkah kurang memuaskan. Hal ini berkaitan dengan kesuksesan dilingkungan luar keluarga. Kesulitan ekonomi akan membawa ketegangan psikologis yang kemudian akan berpengaruh pada interaksi suami istri, dan selanjutnya berdampak pada pengasuhan anak.

(50)

C. Peran Ayah (Fathering) dalam Perspektif Islam

Menurut Arifin, peran ayah (fathering) dari perspektif Islam dirumuskan ke dalam enam teori peran ayah, yaitu:36

1. Peran ayah sebagai Pemimpin (Leader). Dengan dasar sabda Nabi SAW:

...

ِهِتَّيِعَر ْنَع ٌلوُئْسَم َوُهَو ِهِلْهَأ ِفِ ٍعاَر ُلُجَّرلاَو ِهِتَّيِعَر

.

..

Artinya: “…Dan seorang laki-laki juga pemimpin dalam

keluarganya, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab atas yang dipimpinnya…” (HR. Bukhari: 4789).

Hadits diatas menunjukkan bahwa sudah merupakan tanggung jawab ayah untuk membimbing istri dan anak-anaknya kepada kebaikan dalam menuju jalanNya. Urgensinya bisa dilihat bahwa pertanggungjawaban ayah atas istri dan anak-anaknya akan dipertanyakan di akhirat nanti. Jika ayah sebagai pemimpin lalai dalam membimbing istri dan anak-anaknya ke jalanNya, maka konsekuensinya adalah dia dan keluarganya terancam masuk neraka. Seperti yang disebut dalam surat At-Tahrim ayat 6:

ُةَراَجِْلْاَو ُساَّنلا اَهُدوُقَو اًرَنَ ْمُكيِلْهَأَو ْمُكَسُفْ نَأ اوُق اوُنَمآ َنيِذَّلا اََُّ يَأ َيَ

اَم َنوُلَعْفَ يَو ْمُهَرَمَأ اَم ََّللَّا َنوُصْعَ ي َلَ ٌداَدِش ٌظ َلَِغ ٌةَكِئ َلََم اََْ يَلَع

َنوُرَمْؤُ ي

36 Bunyanul Arifin, “Peran Ayah dalam Perspektif Islam dan

Implementasinya terhadap Siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Jakarta”,

Gambar

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu  Judul dan
Gambar 2.1 Unsur Tanda. 16
Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna Saussure. 18 Berdasarkan  gambar  diatas,  dinyatakan  bahwa  signification adalah usaha dalam mengidentifikasi hubungan  antara  penanda  (signifier)  dan  petanda  (signified)  sehingga  mengetahui fungsi tanda (sign) dalam
Gambar 2.3 Alur Sintagmatis dan Paradigmatis dalam  sebuah Kalimat. 29
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, dari berbagai metabolit sekunder yang terkandung pada fraksi metanol daun kesum seperti flavonoid, alkaloid, saponin, triterpenoid, polifenol, dan

Tujuan melakukan kegiatan penelitian adalah untuk mengetahui jenis yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan obat, mengetahui cara masyarakat mengolah dan memanfaatkan

Abstrak: Kerusakan gas turbine blade terjadi karena beberapa kondisi yaitu tekanan yang tinggi akibat beroperasi pada temperatur serta kecepatan yang tinggi,

Rangkasbitung dan Kota Serang akan di selesaikan terlebih dahulu. Kecamatan Rangkasbitung merupakan ibu kota yang dimiliki kabupaten Lebak, merupakan pusat

Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil blajar yang diraih dari proses evaluasi adalah kesiapan (readiness) dan transfer belajar. Kesiapan belajar secara umum adalah

Meskipun telah ditetapkan Undang – Undang yang membatasi penggunaan bahan kimia dalam pengendalian hama dan penyakit tumbuhan, namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya

RF Tranposer memproses sinyal input dari sattelite atau IP dengan RF output di frekuensi yang sama atau channel yang berbeda dengan diagram blok seperti pada Gambar 2.44. RF

Elemen Lembaga yang terlibat dalam sub-elemen kunci adalah Pengusaha perkebunan, hasil elaborasi ini memberikan makna bahwa peran pengusaha perkebunan sangat besar