• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA DI KABUPATEN BOGOR ANDRI APRIYADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA DI KABUPATEN BOGOR ANDRI APRIYADI"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN BOGOR

ANDRI APRIYADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir yang berjudul Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.

Bogor, Mei 2010

Andri Apriyadi NRP H252074175

(3)

ABSTRACT

ANDRI APRIYADI. The Strategic and Programs of Empowerment Poor People through Kelompok Usaha Bersama in Bogor District. Under guidance of YUSMAN SYAUKAT and FREDIAN TONNY NASDIAN.

The objective of the research is to formulate strategic development of empowering the poor people through Kelompok Usaha Bersama (KUBE) relevant by needs, characteristic of poor people, and reducing of poverty policy in Bogor District. The first to do is investigate the characteristic of poor people, second, to analyze the policy of government in reducing poverty and the implementation itself, and third, to evaluate the process of empowering poor people with Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) for strengthening the capital of KUBE. The data were collected through observation and interview to the respondents that know about the policy under study. The data were analyzed by using descriptive analysis, content analysis, and Analytic Hierarchy Process (AHP).

This study has identified three alternatives of policy through AHP, namely: improving the rule and management program, empowering the poor people based community, increasing performance of KUBE, with 9 aspects that consider and 19 strategic steps. The weight and importance of each by expert`s judgment, with the goal of identifying and determining the superior criteria for developing policy of empowering poor people through in KUBE at Bogor District. The results showed that alternatives such as: increasing intensity of companion, non-formal education, and selection of targets having the highest degrees of importance 0.106, 0.091, and 0.076, respectively, and cooperative with the lowest degree of importance of 0.010.

(4)

RINGKASAN

ANDRI APRIYADI. Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan FREDIAN TONNY NASDIAN.

Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat ternyata juga memiliki permasalahan akan tingginya angka kemiskinan. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor untuk mengeluarkan warganya dari belenggu kemiskinan. Akan tetapi output yang dihasilkan ternyata tidak semuanya sesuai dengan target yang diharapkan, hal ini ditandai dengan terus meningkatnya angka kemiskinan dari 476.371 jiwa pada tahun 2003 hingga menjadi 1.157.391 jiwa pada tahun 2006. Kondisi ini mendorong Pemerintah Kabupaten Bogor memprioritaskan penanggulangan kemiskinan dalam Arah Kebijakan Umum APBD Tahun 2007.

Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Pusat memiliki rancangan sendiri dengan mengelompokkan program-program penanggulangan kemiskinan menjadi: 1) Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat, dan 3) Kelompok Program Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Pada Kluster Pemberdayaan Masyarakat, pendekatan yang digunakan adalah pemberdayaan yang menggunakan falsafah bahwa yang harus menjadi aktor utama untuk mengeluarkan masyarakat miskin dari lingkaran kemiskinan adalah masyarakat miskin itu sendiri, bukan pemerintah ataupun pihak lain. Wujud dari program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat salah satunya adalah dengan pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Di Kabupaten Bogor, kebijakan ini diwujudkan melalui pelatihan keterampilan dengan output pembentukan KUBE. Namun kegiatan pembentukan KUBE melalui dana APBD ini tidak didukung anggaran pendampingan pasca-pelatihan dan penguatan modal yang sangat penting bagi kelanjutan usaha KUBE. Akibatnya banyak KUBE yang tidak berkembang atau gagal melanjutkan usaha yang dijalankannya.

Dalam rangka mendukung potensi KUBE dan program pemberdayaan masyarakat di daerah, Pemerintah Pusat melalui Depsos RI meluncurkan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) melalui mekanisme Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) bagi penguatan modal KUBE. Tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE yang tepat sasaran sesuai dengan karakteristik fakir miskin dan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu kondisi kemiskinan masyarakat di Kabupaten Bogor, implementasi dan keterpaduan kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam penanggulangan kemiskinan, dan evaluasi pelaksanaan BLPS-KUBE di Kabupaten Bogor agar dapat dirumuskan langkah strategis/program dalam upaya mengembangkan kebijakan.

(5)

Berdasarkan hasil analisis menggunakan data SUSDA Tahun 2006 yang dibandingkan dengan 14 indikator kemiskinan dari BPS, diperoleh bahwa pada umumnya kondisi masyarakat miskin di Kabupaten Bogor sudah cukup terpenuhi kebutuhan dasarnya, hanya saja dengan karakteristik yang berbeda-beda. Untuk indikator pendidikan, penduduk miskin Kabupaten Bogor umumnya sudah memiliki pendidikan setidaknya tamat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yaitu mencapai 63,3%. Adapun sisanya 36,62% tidak sekolah dan tidak tamat SD/MI. Pada umumnya keluarga miskin di Kabupaten Bogor tidak memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun jika dilihat dari proporsinya, masyarakat miskin yang tidak bekerja atau menganggur mencapai 56,89%, selebihnya adalah bekerja di sektor jasa, sektor perdagangan, sektor transportasi dan lainnya. Adanya pengaruh budaya dan ketidakmampuan sistem/kebijakan dalam memberikan kesempatan bagi warga miskin juga berpengaruh terhadap rendahnya tingkat pendidikan dan kondisi mata pencaharian penduduk miskin.

Terdapat 6 kebijakan strategis yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan yaitu: 1) Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat; 2) Peningkatan Kesehatan dan Pemenuhan Gizi Masyarakat; 3) Peningkatan Infrastuktur dan Pengembangan Wilayah; 4) Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; 5) Peningkatan Perlindungan Sosial; dan 6) Pengarusutamaan Gender. Hasil dari analisis isi terhadap RPJMD Kabupaten Bogor tahun 2008-2013, diketahui bahwa indikator-indikator penanggulangan kemiskinan yang terpilih meliputi 15 kebijakan pembangunan yang terdiri dari urusan: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan Umum; 4) Perumahan; 5) Penataan Ruang; 6) Kependudukan; 7) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 8) Sosial; 9) Koperasi dan UKM; 10) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; 11) Pertanian dan Kehutanan; 12) Energi dan Sumberdaya Mineral; 13) Pariwisata; 14) Perikanan; serta 15) Industri dan Perdagangan.

Analisi isi terhadap program/kegiatan yang mendukung penanggulangan kemiskinan selama periode tahun 2007 hingga 2008 memperlihatkan bahwa dari volume kegiatan terjadi peningkatan jumlah kegiatan namun dari volume anggaran terdapat penurunan jumlah anggaran. Meningkatnya kemiskinan pada periode ini ternyata tidak dipengaruhi oleh banyaknya volume kegiatan dan jumlah anggaran penanggulangan kemiskinan. Pada periode ini sasaran kegiatannya masih bersifat umum atau masih belum berfokus kepada sasaran masyarakat miskin secara langsung. Sekalipun ada program/kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin, ternyata lebih berbentuk pemberian bantuan langsung tunai (cash programme) daripada bantuan pemberdayaan. Jika dilihat dari Kelompok Program Penanggulangan Nasional maka kegiatan yang termasuk dalam kategori memberdayakan fakir miskin hanya terdapat pada kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS (sumber dana APBD) dan P2FM-BLPS (sumber dana APBN).

P2FM-BLPS merupakan program yang mendukung kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS melalui KUBE. Program ini dinilai dapat berpotensi mengurangi kemiskinan, karena hanya dengan anggaran sebanyak 0,47 persen dari total anggaran penanggulangan kemiskinan (tahun 2008) akan ada peluang bagi penduduk miskin sebanyak 268 KK atau mewakili 1.317 jiwa yang dapat secara mandiri keluar dari kemiskinannya. Atas dasar informasi tersebut, sudah

(6)

saatnya Pemerintah Kabupaten Bogor perlu mendukung program-program pemberdayaan fakir miskin untuk mengentaskan kemiskinan seperti halnya P2FM-BLPS.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan P2FM-BLPS, program ini mengalami kegagalan pada tahap awal peluncurannya karena berbagai macam kendala dan permasalahan dalam hal perguliran dana, pendampingan, dan pengelolaan program. Belajar dari kegagalan tersebut, Pengelola menjalankan BLPS-KUBE Fase II sebagai kelanjutan program. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap para responden Penerima BLPS Fase II, umumnya para responden menyambut baik P2FM-BLPS karena dengan adanya UEP yang diperkuat permodalannya berdampak pada peningkatan status ekonomi dan sosial mereka. Para responden selain dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga dapat menyisihkan sisa keuntungan untuk menabung atau mencicil pinjaman. Keberadaan KUBE juga telah menjadi wadah untuk berinteraksi dan menyalurkan aspirasi mereka. Dengan demikian mereka memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan dapat berupaya keluar dari kemiskinannya. Adanya keberhasilan BLPS-KUBE Fase II menunjukkan optimisme program ini relevan dengan kondisi masyarakat hanya saja perlu penanganan lebih lanjut agar dapat diterapkan di wilayah lain di Kabupaten Bogor dan kinerjanya dapat optimal memberdayakan fakir miskin.

Berdasarkan hasil AHP, terlihat bahwa untuk mencapai tujuan mengembangkan kebijakan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor, prioritas kebijakan strategis yang dapat ditempuh adalah: 1) Perbaikan Tata Kelola Program (bobot 0,391); 2) Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin (bobot 0,335); dan 3) Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat (bobot 0,274). Hasil analisis secara global terhadap kesembilan-belas langkah strategis yang bisa dikembangkan diperoleh bahwa meningkatkan intensitas pendampingan adalah langkah strategis yang paling diprioritaskan yaitu dengan bobot 0,106, diikuti dengan memfasilitasi pendidikan non formal/pelatihan keterampilan (bobot 0,091), pembenahan dalam seleksi penerima program (bobot 0,076), meningkatkan kepercayaan masyarakat (bobot 0,075) dan seterusnya, hingga koperasi di urutan terakhir dengan bobot 0.010.

Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah masyarakat miskin di Kabupaten Bogor cukup berpotensi untuk diberdayakan namun perlu kehati-hatian dalam merancang program pemberdayaan melalui penyertaan modal. Sebab bila faktor keterisoliran dan hambatan struktural lainnya tidak ditangani, maka program penyertaan modal tidak akan mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Upaya mengurangi jumlah kemiskinan di Kabupaten Bogor umumnya masih dalam bentuk memberikan bantuan langsung tunai (cash programme) dan bukan memprioritaskan pemberdayaan masyarakat miskin. P2FM-BLPS sebagai program yang mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE, sekalipun kegiatan ini mengalami berbagai macam kendala dan permasalahan, tetap perlu dikembangkan karena keberhasilannya akan berdampak langsung dalam mengurangi kemiskinan.

Sekalipun BLPS-KUBE Fase II terbilang berhasil, namun terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi karena jika dibiarkan akan berpotensi terjadinya

(7)

kegagalan kembali, yaitu dalam hal sasaran program, keberadaan koperasi, dan dana pendampingan. Adapun saran atau implikasi kajian bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin adalah Pemerintah Kabupaten Bogor hendaknya lebih memprioritaskan program/kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin dan bersifat pemberdayaan ekonomi dan sosial agar angka kemiskinan dapat berkurang secara nyata.

(8)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(9)

STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN

FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA

DI KABUPATEN BOGOR

ANDRI APRIYADI

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(10)
(11)

Judul Tugas Akhir : Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor Nama : Andri Apriyadi

NRP : H252074175

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua

Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Kajian Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Kajian yang berjudul “Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor.

Dalam menyelesaikan kajian ini, penulis sampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan kajian ini terutama kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku Anggota, berikut seluruh dosen Sekolah Pascasarjana Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh rekan mahasiswa-mahasiswi Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penulisan kajian ini. Di lain pihak penulis sampaikan pada isteri beserta keluarga yang senantiasa memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi. Penulis serahkan amal kebaikan yang telah membantu kepada Allah SWT semoga Yang Maha Kuasa dapat membalasnya dengan berlipat ganda.

Penulis berharap semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai bahan rekomendasi untuk mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui Kelompok Usaha Bersama maupun pihak-pihak yang membutuhkan hasil dari kajian studi ini..

Bogor, Mei 2010

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 12 April 1980 dari ayah Djais Sumarta dan ibu Ika Nurhasanah. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dari SD hingga SMU di Indramayu dan menyelesaikan jenjang pendidikan menengah di SMU Negeri 1 Sindang Indramayu pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan lulus pada tahun 2003 sebagai Sarjana Pertanian dengan keahlian di bidang Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis).

Penulis diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah pada tahun 2005 dan ditugaskan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS) Kabupaten Bogor. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan Beasiswa Tugas Belajar dari Bupati Bogor untuk melanjutkan studi S2 dengan mengambil program studi Manajemen Pembangunan Daerah di Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah pada tahun 2008 dengan Wanda Tejasati dan dikaruniai seorang anak laki-laki yaitu Keenan Fashori Punayuga.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 6 1.3. Tujuan ... 10 1.4. Manfaat ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Pemerintah ... 11

2.2. Fenomena Kemiskinan ... 12

2.2.1. Konsep dan Pengertian Kemiskinan ... 12

2.2.2. Indikator Pengukuran Kemiskinan ... 14

2.2.3. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan ... 17

2.3. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional ... 18

2.4. Paradigma Baru Penanggulangan Kemiskinan ... 20

2.5. Pemberdayaan Masyarakat ... 23

2.6. Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) ... 24

2.7. Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS)... 26

2.8. Hasil Penelitian Terdahulu ... 28

2.8.1. Penelitian Mengenai Kemiskinan ... 28

2.8.2. Penelitian Mengenai KUBE ... 29

BAB III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran ... 31

3.2. Lokasi dan Waktu Kajian ... 33

3.3. Metode Pengumpulan Data... 33

3.4. Metode Penentuan Responden ... 34

3.5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ... 35

3.5.1. Analisis Statistik Deskriptif ... 35

3.5.2. Analisis Isi ... 36

3.6. Metode Perancangan Program... 37 BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR

(15)

4.1. Kondisi Geografis dan Administratif ... 43

4.2. Kependudukan dan Sumber Daya Manusia ... 44

4.3. Kondisi Ekonomi dan Sosial ... 47

BAB V. ANALISIS KONDISI KEMISKINAN KABUPATEN BOGOR 5.1. Profil Kemiskinan ... 51

5.2. Karakteristik Kemiskinan ... 54

5.2.1. Karakteristik Sosial Demografi ... 55

5.2.2. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) ... 56

5.2.3. Karakteristik Ekonomi ... 59

5.2.4. Karakteristik Kesejahteraan Keluarga ... 61

5.2.5. Karakteristik Ketenagakerjaan ... 62

5.3. Tinjauan Kemiskinan Berdasarkan Wilayah Pembangunan ... 63

5.4. Faktor Penyebab dan Persoalan Kemiskinan ... 66

BAB VI. UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 6.1. Pembentukan Lembaga Penanggulangan Kemiskinan ... 69

6.2. Penyusunan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah ... 71

6.2.1. Komitmen Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ... 71

6.2.2. Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah.. 72

6.2.3. Perumusan Visi dan Misi Penanggulangan Kemiskinan ... 73

6.2.4. Strategi dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan ... 74

6.3. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan ... 76

6.3.1. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam RPJMD ... 76

6.3.2. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam LAKIP SKPD ... 77

6.4. Keterpaduan Antar Program/Kegiatan ... 84

6.5. Harmonisasi terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan Pusat ... 86

BAB VII. EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR 7.1. Potensi KUBE di Kabupaten Bogor ... 89

7.2. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPS-KUBE ... 91

7.2.1. Gambaran Umum Lokasi ... 91

7.2.2. Stakeholder Pengelola Program ... 93

7.2.3. Persiapan Pelaksanaan Program ... 94

7.2.4. Penyesuaian dalam Program ... 96

7.2.5. Kondisi Pencairan Dana ... 98

7.2.6. Keragaan Keanggotaan KUBE ... 99

(16)

7.2.8. Pendampingan Sosial ... 101

7.3. Kinerja KUBE Penerima BLPS ... 102

7.4. Hambatan dan Permasalahan yang Timbul ... 103

7.5. P2FM-BLPS Fase II sebagai Kelanjutan Program ... 105

7.5.1. Kondisi Umum KUBE Penerima BLPS Fase II ... 106

7.5.2. Proses Pencairan Dana dan Pemanfaatan ... 106

7.5.3. Kinerja Pengembalian Modal ... 107

7.6. Evaluasi Pelaksanaan P2FM-BLPS Fase II ... 108

7.6.1. Karakteristik Responden ... 108

7.6.2. Kinerja KUBE dan Pelaksanaan UEP Responde ... 109

7.6.3. Hasil Proses Pemberdayaan ... 110

BAB VIII. STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN 8.1. Identifikasi Faktor Strategis ... 111

8.2. Perumusan Alternatif Strategi dan Program ... 112

8.3. Analisis Prioritas Pengembangan Kebijakan ... 114

8.3.1. Perbaikan Tata Kelola Program ... 116

8.3.2. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin ... 119

8.3.3. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas ... 123

8.4. Sintesis Prioritas Langkah Strategis Berdasarkan Tujuan ... 122

8.5. Perancangan Program ... 128

BAB IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan ... 133

9.2. Saran ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 137

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan ... 33 2. Nilai Skala Banding Berpasangan ... 39 3. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2003 -

2007 ... 50 4. Jumlah dan Komposisi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 ... 52 5. Jumlah Kepala Keluarga dan Komposisi Rumah Tangga Miskin Kabupaten

Bogor Tahun 2006 ... 54 6. Karakteristik Sosial Demografi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun

2006 ... 56 7. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan)Penduduk Miskin Kabupaten

Bogor Tahun 2006 (dalam persen) ... 57 8. Karakteristik Ekonomi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006

(dalam persen) ... 60 9. Karakteristik Kesejahteraan Keluarga Penduduk Miskin Kabupaten Bogor

Tahun 2006 (dalam persen) ... 61 10. Karakteristik Ketenagakerjaan Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun

2006 (dalam persen) ... 63 11. Kondisi Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 2006 Berdasarkan Tinjauan

Wilayah ... 64 12. Rata-Rata Karakteristik Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 2006

Berdasarkan Indikator BPS dan Tinjauan Wilayah (dalam persen)... 65 13. Faktor Penyebab Kemiskinan Berdasarkan Pemanfaatan Ruang di

Kabupaten Bogor Tahun 2006 ... 68 14. Kebijakan dan Langkah-Langkah Strategis Penanggulangan Kemiskinan di

Kabupaten Bogor 2008-2012 ... 75 15. Jumlah SKPD yang Terlibat dalam Mengimplementasikan Kebijakan

Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ... 79 16. Jumlah Komponen Program dan Kegiatan yang Mendukung Kebijakan

(18)

2008 ... 17. Jumlah Implementasi Kegiatan yang Mendukung Kebijakan

Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 Berdasarkan Sumber Dana ... 81 18. Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun

Anggaran 2007 (dalam rupiah) ... 82 19. Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun

Anggaran 2008 (dalam rupiah) ... 82 20. KUBE PMKS Hasil Pembentukan Kegiatan Pelatihan Keterampilan di

Kabupaten Bogor Tahun 2005-2009 ... 90 21. Gambaran Umum Kondisi Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya ... 93 22. Realisasi Pencairan Dana BLPS bagi KUBE di Kabupaten Bogor Tahun

2008 ... 99 23. Kondisi Keanggotaan dan Jenis Usaha KUBE Penerima Dana BLPS di

Kabupaten Bogor Tahun 2008 ... 100 24. Kondisi Keanggotaan, Jenis Usaha, dan Status Anggota KUBE Penerima

Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor ... 106 25. Kondisi Perguliran Dana Penguatan Modal KUBE Fase II di Kabupaten

Bogor Tahun 2009 ... 107 26. Karakteristik Rata-Rata Responden KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di

Kabupaten Bogor Tahun 2009 ... 108 27. Kondisi Permodalan UEP Responden Penerima Dana BLPS Fase II di

Kabupaten Bogor Tahun 2008 -2009 ... 109 28. Struktur Hirarki Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di

Kabupaten Bogor ... 113 29. Urutan Prioritas Kebijakan Strategis dalam Pengembangan Kebijakan Fakir

Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor ... 114 30. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan

Strategis Perbaikan Tata Kelola Program ... 119 31. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan

Strategis Peningkatan Kinerja KUBE ... 122 32. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan

Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas ... 125 32. Urutan Prioritas Global Program Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1976-2009 ... 2

2. Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 ... 3

3. Bagan Konsep Kemiskinan ... 14

4. Tahapan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan ... 20

5. Rancangan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan ... 21

6. Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Usaha Mikro ... 22

7. Kerangka Pemikiran Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor ... 32

8. Struktur Hirarki AHP Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE ... 42

9. Peta Administratif Kabupaten Bogor ... 43

10. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007... 45

11. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Kabupaten Bogor Tahun 2007 ... 46

12. Jumlah Penduduk Yang Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenjang Pendidikan ... 46

13. Jumlah Pengangguran Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007 ... 47

14. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007 ... 48

15. Indikator IPM Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008 ... 49

16. Kondisi Jumlah Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijakan pada Tahun 2007 dan 2008... 83

17. Kondisi Alokasi Anggaran Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijan pada Tahun 2007 dan 2008 (dalam miliar rupiah)... 84

18. Posisi Administratif Kecamatan Penerima P2FM-BLPS ... 92

19. Bobot Persepsi Gabungan Responden dalam Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE ... 115

(20)

20. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis

Perbaikan Tata Kelola Program ... 116

21. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Pendampingan Sosial ... 116

22. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Manajemen ... 117

23. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Pendanaan ... 118

24. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin ... 119

25. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Peningkatan Kualitas SDM Anggota KUBE... 120

26. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penguatan Usaha ... 120

27. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Akses Pasar ... 121

28. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Kelembagaan KUBE ... 122

29. Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas ... 123

30. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Modal Sosial ... 124

31. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Kelembagaan Masyarakat ... 124

32. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Distribusi (Distributive Synthesis) ... 127

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Profil Kemiskinan Hasil Pelaksanaan Refleksi Kemiskinan oleh Masyarakat ... 145 2. Rencana Aksi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun

2008-2012 ... 149 3. Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan RPJMD

Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013 ... 151 4. Analisis Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten

Bogor Tahun Anggaran 2007 ... 157 5. Analisis Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten

Bogor Tahun Anggaran 2008 ... 167 6. Data KUBE Fakir Miskin Penerima Bantuan Langsung Pemberdayaan

Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2008 ... 179 7. Data KUBE Fakir Miskin Penerima Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial

di Kabupaten Bogor Fase II ... 185 8. Karakteristik Responden Penerima BLPS di Kabupaten Bogor ... 187 9. Matriks Persepsi Masing-Masing Responden dan Perhitungan Pendapat

Gabungan Menggunakan Rata-Rata Geometris ... 189 10. Hasil Treeview AHP Pendapat Gabungan pada Expert Choice 2000 ... 197 11. Rancangan Program bagi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (DITJEN PMD Depdagri, 2003 dalam Nugroho, 2009). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan lain terhadap berbagai aspek pembangunan. Jika dilihat dari aspek ekonomi, kemiskinan berdampak pada produktivitas yang rendah, sementara jika dilihat dari aspek sosial menyebabkan berkembangnya masalah/penyakit sosial. Secara politik, kemiskinan bisa mengakibatkan instabilitas, dan dari aspek budaya bisa mengakibatkan dekadensi moral, sedangkan dari aspek pertahanan keamanan dinilai bisa mengakibatkan kerawanan keamanan.

Hingga saat ini pemerintah telah melaksanakan upaya penanggulangan kemiskinan selama lebih dari tiga dasawarsa dan telah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan terutama pada masa sebelum krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, selama dua dekade sejak tahun 1976 hingga 1996 angka kemiskinan pernah mengalami penurunan cukup signifikan dari 54,2 juta orang menjadi 22,5 juta orang atau dari 40,1 persen pada tahun 1976 menjadi 11,3 persen pada tahun 1996. Kemudian karena adanya krisis ekonomi pada tahun 1998, angka ini meningkat sangat signifikan. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI mengemukakan bahwa hal tersebut disebabkan karena masyarakat miskin di Indonesia masih rentan terhadap perubahan situasi politik, ekonomi, sosial, dan juga bencana alam yang terjadi di beberapa daerah. Berdasarkan paparan Bappenas dalam Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan 2009 yang menggunakan data BPS tahun 1976-2009, untuk mengembalikan kondisi tersebut diperlukan waktu lebih dari 13 tahun untuk mencapai tingkat kemiskinan sebagaimana seperti saat sebelum krisis. Hal tersebut

(23)

memberikan pengalaman kepada pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat.

Sumber: BPS, 2009. (Materi Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan di Jakarta, 13 Juli 2009)

Gambar 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1976-2009.

Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat ternyata juga memiliki permasalahan akan tingginya angka kemiskinan. Berdasarkan data pemetaan kemiskinan versi Departemen Sosial RI (2007), jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 mencapai 453.418 jiwa atau 11,94 persen dari total penduduk dan menempati posisi kedua sebagai daerah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Propinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung (Gambar 2). Namun berdasarkan data penduduk miskin versi BPS Kabupaten Bogor (2007), jumlah penduduk miskin Kabupaten Bogor pada tahun 2003 berjumlah 476.371 jiwa dan semakin bertambah menjadi 1.026.879 jiwa pada tahun 20066. Walaupun

demikian, proporsi jumlah penduduk miskin tahun 2006 tersebut masih sebesar 24,15 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang mencapai 4.215.585 jiwa

6 Perbedaan hasil pengukuran ini dipengaruhi oleh perbedaan penggunaan indikator kemiskinan antara BPS dan Departemen

Sosial dalam menghitung angka kemiskinan

Diperlukan waktu 13 tahun untuk mencapai tingkat kemiskinan seperti saat sebelum krisis

Catatan: Terdapat penyempurnaan metode pada tahun 1998 yang meliputi perluasan cakupan komoditi dan keterbandingan antar daerah

(24)

Sumber: Depatermen Sosial RI, 2007

Gambar 2. Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006.

Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2008) telah merancang Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan yang terdiri dari 3 kluster yaitu, 1) Kluster Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Kluster Program-Program Pemberdayaan Masyarakat, dan 3) Kluster Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Dalam Kluster Bantuan Sosial dicakup program-program bantuan sosial yang dikhususkan untuk kelompok masyarakat sangat miskin atau Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), misalnya Program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) atau disebut juga Program Keluarga Harapan (PKH), beras untuk masyarakat miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan sosial untuk pengungsi/korban bencana, bantuan untuk penyandang cacat, bantuan untuk kelompok lansia, dan lain sebagainya.

Pada Kluster Pemberdayaan Masyarakat, pendekatan yang digunakan adalah pemberdayaan masyarakat yang menggunakan falsafah bahwa yang harus menjadi

(25)

aktor utama untuk mengeluarkan masyarakat miskin dari lingkaran kemiskinan adalah masyarakat miskin itu sendiri, bukan pemerintah ataupun pihak lain. Untuk itu, masyarakat miskin harus ditingkatkan kemampuannya untuk menjadi modal sosial yang bisa diberdayakan dan ditingkatkan kemandiriannya.

Menkokesra Abu Rizal Bakrie (2008) mengemukakan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada pendekatan pemberdayaan masyarakat akan memberikan hasil yang lebih efektif dan tingkat keberlanjutannya jauh lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh proyek seperti biasa. Masyarakat miskin jika diberikan peluang yang sebesar-besarnya untuk menentukan arah yang mereka sukai untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, maka masyarakat miskin akan bergiat bahkan tidak ragu-ragu akan memberikan berbagai kontribusi dalam bentuk apapun yang mereka mampu untuk terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat tersebut. Rasa kepemilikan terhadap program akan lebih kuat dan ada perasaan bahwa mereka dihargai oleh pemerintah untuk menentukan nasib mereka sendiri7.

Wujud dari program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat sebenarnya sudah ada sejak dulu. Salah satunya adalah diterapkannya kebijakan pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). KUBE ini dipelopori oleh Departemen Sosial RI sejak tahun 1983 sebagai salah satu alternatif kegiatan dalam penanggulangan kemiskinan, khususnya fakir miskin sebagai sasaran utama. Melalui metode ini masyarakat bisa memperoleh keuntungan ekonomis dan keuntungan sosial karena tujuan pembentukan KUBE diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan, pengembangan usaha, peningkatan kemampuan berusaha anggotanya, dan peningkatan kepedulian serta kesetiakawanan sosial diantara para anggota dengan masyarakat sekitar (Depsos RI, 2007). Metode ini kemudian diadopsi pula dalam program-program pemberdayaan masyarakat oleh instansi-instansi pemerintah lainnya seperti BKKBN, Departemen Pertanian, dan lain-lain.

Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS) Kabupaten Bogor, dalam periode tahun 2005 - 2007 terdapat 433

7 ”Demokrasi bagi Kesejahteraan Rakyat”, Sambutan Menkokesra pada acara Silaturakhmi Kerja Nasional ICMI di Pekanbaru - Riau, 12 Januari 2008.

(26)

KUBE yang dibentuk melalui pelatihan keterampilan dengan dana berasal dari APBD. Namun kebijakan pembentukan KUBE melalui dana APBD ini tidak didukung anggaran pendampingan pasca-pelatihan dan penguatan modal yang sangat penting bagi kelanjutan usaha KUBE. Akibatnya banyak KUBE yang tidak berkembang atau gagal melanjutkan usaha yang dijalankannya. Padahal metode ini diharapkan menjadi salah satu pilihan mengangkat masyarakat miskin untuk diarahkan ke dalam bentuk pemberdayaan.

Dalam rangka mendukung potensi KUBE dan kebijakan pemberdayaan masyarakat di daerah, Pemerintah Pusat melalui Depsos RI meluncurkan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) melalui mekanisme Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) bagi penguatan modal KUBE. Menurut Depsos RI (2007) program yang diluncurkan sejak tahun 2006 ini merupakan penyempurnaan terhadap berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah ada dan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin di berbagai wilayah secara terpadu dan berkelanjutan. Dalam program ini, bantuan langsung yang diberikan berupa uang tunai yang digulirkan secara hibah bersyarat dengan titik berat pada pemberian/penguatan modal usaha bagi KUBE Fakir Miskin yang telah dibina sebelumnya. Kabupaten Bogor menerima dana ini dengan jumlah relatif besar yang digulirkan terhadap 25 KUBE Fakir Miskin pada 2 kecamatan (BPMKS Kabupaten Bogor, 2007).

Dibandingkan kebijakan pembentukan KUBE melalui dana APBD, maka P2FM-BLPS dapat dikategorikan sebagai langkah lanjut yang akan menunjang kelangsungan KUBE yang sudah terbentuk melalui dana APBD tersebut. Sebab didalamnya terdapat mekanisme pendampingan sosial dan penguatan modal yang akan mendukung keberhasilan usaha KUBE. Menurut Depsos RI, implementasi P2FM-BLPS di kedua kecamatan di Kabupaten Bogor ini merupakan pilot project yang jika berhasil bisa diterapkan di seluruh wilayah di Kabupaten Bogor sehingga dapat mengurangi jumlah kemiskinan secara signifikan.

Dengan adanya dukungan P2FM-BLPS terhadap potensi KUBE di Kabupaten Bogor, maka pendekatan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE bisa diharapkan menjadi konsep yang siap dikembangkan di seluruh wilayah dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Namun demikian, penerapan kebijakan ini akan

(27)

menghadapi berbagai kendala yang berasal dari masyarakat maupun dari dukungan Pemerintah Daerah sendiri, untuk itu perlu dilakukan kajian “Bagaimanakah strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor?”.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan utama dalam memberdayaan fakir miskin adalah rendahnya kapasitas/kemampuan yang dimiliki masyarakat sehingga memerlukan berbagai dukungan baik sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan. Oleh karenanya dalam pembentukan KUBE selalu disertakan kegiatan bimbingan sosial, pelatihan keterampilan, dan pemberian stimulus baik berupa bahan/alat untuk usaha ataupun bantuan dana/modal. Namun pemberian bantuan baik dalam bentuk barang maupun uang pada kegiatan yang tergolong Program Pemberdayaan Masyarakat sangat berbeda tujuannya dengan pemberian bantuan tunai pada Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Pada Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, bantuan yang diterima digunakan untuk dihabiskan atau dibelanjakan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sedangkan bantuan pada Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat tidak untuk dihabiskan melainkan digunakan untuk dikelola sehingga bisa meningkat nilainya.

Melihat perbedaan tujuan ini, tentunya diperlukan kehati-hatian dalam menentukan sasaran program karena akan berdampak pada menguapnya dana tanpa terjadinya proses pemberdayaan dan peningkatan nilai yang diharapkan. Artinya sebelum kebijakan pemberdayaan fakir miskin diluncurkan perlu dikaji terlebih dahulu apakah cukup relevan dengan kondisi masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat diterima dan bermanfaat bagi masyarakat miskin. Rees dalam Arifuddin (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya.

Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007), selama ini implementasi upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor yang berbentuk pemberian bantuan langsung belum mempertimbangkan penggunaan data yang akurat sehingga banyak permasalahan terjadi seperti pada kisruhnya kasus Program Bantuan Langsung Tunai

(28)

(BLT) pada tahun 2005-2006 dan banyaknya kesalahan data dalam menentukan sasaran Program Keluarga Harapan pada Tahun 2007. Di lain pihak, ada juga beberapa wilayah yang menolak program tersebut karena dianggap tidak relevan dengan kondisi kemiskinan di masyarakatnya. Untuk itu dalam mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin juga perlu melihat kondisi kemiskinan melalui data yang akurat sehingga tidak mengalami kasus yang sama dengan program program tersebut.

Kaitannya dengan harapan untuk dapat diterapkannya kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE secara tepat sasaran di seluruh wilayah Kabupaten Bogor, maka informasi akan kemiskinan di wilayah Kabupaten Bogor yang terdiri dari 40 kecamatan tentunya dibutuhkan agar dapat melihat perbedaan karakteristik kemiskinan di tiap wilayahnya. Informasi ini juga akan membantu dalam mempertimbangkan prioritas pelaksanaan program/kegiatan penanggulangan kemiskinan lainnya. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang pertama adalah bagaimanakah kondisi kemiskinan masyarakat di Kabupaten Bogor dan relevansinya terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin.

Keberhasilan suatu kebijakan pengentasan kemiskinan selain dipengaruhi oleh dukungan masyarakat juga dipengaruhi oleh dukungan dari keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Oleh karenanya sebuah keputusan yang sudah diformulasikan dengan baik tentunya hanya akan berhasil-guna jika dapat direalisasikan. Sebelum melangkah pada mencari strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin, perlu diidentifikasi terlebih dahulu upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan. Bagaimanapun informasi ini akan mempengaruhi peluang terealisasi tidaknya formulasi strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE.

Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007), sebenarnya sudah cukup banyak usulan kegiatan yang mendukung kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) di Kabupaten Bogor, namun demikian cukup banyak juga yang tidak disetujui oleh Tim Anggaran mengingat terbatasnya anggaran yang dialokasikan. Di sisi lain, Pengusung Program

(29)

biasanya kurang tepat memberikan argumentasi akan seberapa penting program yang diusulkannya sehingga berpengaruh terhadap lolos tidaknya suatu program direalisasi. Dengan demikian informasi yang tepat mengenai posisi program yang akan diusulkan diantara program penanggulangan kemiskinan lainnya akan sangat penting dalam mempengaruhi terealisasinya program.

Sebagai bentuk keseriusan mengentaskan kemiskinan di wilayahnya, Pemerintah Kabupaten Bogor sendiri telah menetapkan acuan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar manusia (basic need approach). Namun penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor tidak dapat diarahkan secara langsung karena dipengaruhi oleh implementasi Renstra/RPJMD, Rencana Kerja, dan tupoksi masing-masing instansi pemerintah. Hal ini berarti operasionalisasi upaya penanggulangan kemiskinan tergantung pada program/kegiatan di tiap instansi pemerintah. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang kedua adalah bagaimanakah implementasi dan keterpaduan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor terutama dalam mendukung pemberdayaan fakir miskin.

P2FM-BLPS yang merupakan salah satu wujud dari upaya penanggulangan kemiskinan dari Kluster Program Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri8. Bagi

Pemerintah Kabupaten Bogor program ini dianggap mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di wilayahnya. Jika melihat evaluasi dari pelaksanaan program-program di Kluster Bantuan dan Perlindungan Sosial, mengandalkan program bantuan langsung tunai saja tidak akan mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan, untuk itu upaya penanggulangan kemiskinan melalui metode pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE merupakan program tindak lanjut alternatif yang sedang terus dikembangkan.

Penerapan P2FM melalui mekanisme BLPS dalam rangka penguatan KUBE Fakir Miskin diawali sejak tahun 2006 dengan menunjuk 44 kota/kabupaten sebagai pilot project. Pada tahun berikutnya program ini kemudian diterapkan pada 99 kabupaten di 33 propinsi. Kabupaten Bogor sendiri baru menerima P2FM pada akhir

8 “Harmonisasi Program-Program Berbasis Pemberdayaan Masyarakat” disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Tahun 2008.

(30)

tahun 2007 dimana pemerintah pusat mengucurkan dana sebesar Rp. 1,5 milyar bagi penguatan KUBE Fakir Miskin di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya. Program ini juga cukup menarik karena secara teori selain ada perguliran hasil usaha terjadi pula interaksi sosial dan kesetiakawanan sosial di antara anggota KUBE maupun dalam lingkungan sosialnya. Akan tetapi terdapat beberapa faktor yang akan menyebabkan program ini tidak berhasil di beberapa daerah, semisal kesiapan daerah, kesiapan sasaran, dan dukungan dari pemerintah setempat (Muchtar, 2007). Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang ketiga adalah “Sejauhmana keberhasilan pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor?”

P2FM-BLPS dari Pemerintah Pusat merupakan sebuah percontohan yang ke depannya diharapkan Pemerintah Kabupaten Bogor dapat mengadopsi program tersebut dan mengembangkannya dengan dana yang bersumber dari APBD sendiri. KUBE Fakir Miskin sendiri diharapkan dapat terus berkembang sehingga layak untuk mendapatkan akses dan penguatan ekonomi melalui Kredit Usaha Rakyat dalam rangka tahapan penanggulangan kemiskinan kluster berikutnya (Kluster III). Dengan adanya KUBE yang diperkuat secara ekonomi, kegiatan ekonomis produktif masyarakat miskin dimudahkan berpindah menjadi sektor usaha kecil dan menengah sehingga mampu mengangkat masyarakat lainnya untuk entas dari kemiskinan.

Dengan melihat lingkungan strategis dari kondisi kemiskinan masyarakat yang ada serta posisi program pemberdayaan fakir miskin dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan kondisi pelaksanaan P2FM-KUBE sebagai acuan pelaksanaan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor maka pertanyaan kajian ini yang keempat adalah “Bagaimanakah strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE agar berhasil guna dan dapat dikembangkan secara menyeluruh pada masyarakat miskin di Kabupaten Bogor?”.

1.3. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir

(31)

miskin melalui KUBE yang tepat sasaran sesuai dengan karakteristik fakir miskin dan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan khusus dari kajian ini adalah:

1. Menganalisis kondisi kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor dan relevansinya terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin;

2. Menganalisis implementasi dan keterpaduan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dan dampaknya dalam mengurangi kemiskinan;

3. Mengevaluasi pelaksanaan BLPS melalui penguatan KUBE Fakir Miskin di Kabupaten Bogor;

4. Merumuskan langkah strategis dalam upaya pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE yang lebih tepat sasaran dan sesuai dengan karakteristik fakir miskin.

1.4. Manfaat

Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan juga pihak-pihak yang terkait lainnya dalam mengembangkan program pemberdayaan fakir miskin melalui metode KUBE dan memberi masukan strategi pengembangan kebijakan tersebut agar bisa dikembangkan di masyarakat Kabupaten Bogor secara menyeluruh.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Pemerintah

H. Hugh Heclo (1975) dalam Abidin (2004) menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action intended to accomplish some ends,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi Heclo ini selanjutnya diuraikan oleh Jones (1977) dalam kaitan dengan beberapa isi dari kebijakan. Pertama, tujuan, yakni tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved), dan bukan suatu tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukanlah suatu tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang boleh saja berkeinginan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak perlu diperhitungkan. Baru diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya, dan ada ”faktor pendukung” yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program dalam masyarakat.

Menurut Wahab dalam Tangkilisan (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan adalah a) Organisasi atau kelembagaan; b) Kemampuan politik dari penguasa; c) Pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang; d) Kebijakan pemerintah yang bersifat tak remental; e) Proses perumusan kebijakan pemerintah yang baik; f) Aparatur evaluasi yang bersih dan berwibawa serta profesional; g) Biaya untuk melakukan evaluasi; h) Tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilai kebijakan. Rees dalam Arifuddin (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Sehingga kebijakan itu harus diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyedia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan.

(33)

Pemilihan dan Pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dapat dipenuhi dengan menggunakan beberapa kriteria kebijakan, menurut Abidin (2000) ada beberapa kriteria kebijakan yang bisa digunakan diantaranya adalah:

1. Efektivitas (effectiveness), mengukur apakah suatu pemilihan sasaran yang dicapai dengan satu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi satu strategi kebijakan dipilih dan dilihat dari kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat;

2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektivitas tertentu;

3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada;

4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat;

5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat;

6. Tepat (apropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya.

2.2. Fenomena Kemiskinan

Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Umumnya kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari: fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survey (Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2005:14).

2.2.1. Konsep dan Pengertian Kemiskinan

Bappenas (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi

(34)

ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Menurut BPS (2005), pengertian kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan.

Berdasarkan Suharto (2003) konsep kemiskinan memiliki berbagai pengertian, tergantung dari perspektif yang digunakan: apakah dari sudut pandang sosio-kultural, ekonomi, psikologi, atau politik. Namun adakalanya kemiskinan diartikan dengan merujuk pada faktor-faktor yang menyebabkannya, misalnya pada konsep mengenai kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, kemiskinan absolut, dan kemiskinan relatif.

Baswir (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah timbul disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut, atau karena faktor sumberdaya alam yang kurang mendukung terhadap penghidupan penduduk di suatu daerah, seperti halnya karena rawan bencana alam, kekeringan, tandus, kebakaran, dan lain-lain. Sementara kemiskinan struktural terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja, seperti ketidakadilan, distribusi aset yang tidak merata, budaya korup, birokrasi/peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya, atau tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Adapun kemiskinan yang terjadi karena “ketidakmauan” si miskin disebut kemiskinan kultural. Konsep kemiskinan kultural dapat dijelaskan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin yang kurang mendukung untuk perbaikan atau pembaharuan kehidupannya, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, tidak responsif, dan tertutup.

Pada konsep mengenai kemiskinan alamiah, kultural, dan struktural di atas, operasionalisasi kemiskinan dirumuskan berdasarkan indikator-indikator masukan (input indicators) dimana kemiskinan dilihat berdasarkan faktor-faktor yang menyebabkannya (Soeharto, 2003). Adapun pendekatan yang melihat kemiskinan dari

(35)

gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya, operasionalisasi kemiskinan biasanya dirumuskan berdasarkan indikator keluaran (output indicators) yang dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan miskin jikalau memiliki pendapatan rendah, rumah tidak layak huni, atau buta huruf (Gambar 3).

Gambar 3. Bagan Konsep Kemiskinan

Asian Development Bank (1999:26) dalam An-Naf (2007) membedakan pengertian kemiskinan antara kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan mutlak yang menimpa pada seseorang atau sekelompok masyarakat dimana pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal. Kemiskinan absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk bertahan hidup. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan yang dialami seseorang atau suatu keluarga dalam satu lingkungan perkampungan penduduk atau masyarakat tertentu, dimana status sosial ekonominya berada pada lapisan paling bawah di antara keluarga lain sekitarnya. Kemiskinan relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio Garis Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata).

2.2.2. Indikator Pengukuran Kemiskinan

Pada pendekatan berdasarkan indikator keluaran, kemiskinan dilihat dari gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya. Pendekatan ini menghasilkan dua cara dalam mengukur kemiskinan. Cara pertama adalah dengan menyusun indikator

Kemiskinan Kultural Kemiskinan Struktural Kemiskinan Alamiah Kemiskinan Absolut Kemiskinan Relatif Indikator Masukan (input indicators) Indikator Keluaran (output indicators) Dasar Pendekatan

(36)

tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran yang kemudian dibakukan menjadi “garis kemiskinan” (poverty line), sedangkan cara kedua adalah dengan menyusun indikator komposit (Suharto, 2003). Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengartikan dan mengukur kemiskinan, akan tetapi setiap metode mempunyai kekuatan dan kelemahan sehingga tak ada metode yang sempurna9.

Emil Salim (1980) dalam Andayasari (2006) mengemukakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan. Profesor Sayogyo membedakan indikator mengukur kemiskinan berdasarkan desa dan kota, dimana seseorang disebut miskin jika penghasilannya kurang dari 320 kilogram beras di desa dan kurang dari 480 kilogram beras di kota (Sumardi dan Dieter Evers (1985) dalam Andayasari, 2006).

Bank Dunia atau World Bank menyusun indikator tunggal dalam bentuk garis kemiskinan yang kemudian dijadikan rujukan internasional antara lain adalah sebesar 1 dolar atau 2 dolar Amerika Serikat per hari per kapita. Di Indonesia, BPS mengeluarkan garis kemiskinan yang disesuaikan dengan wilayah pedesaan dan perkotaan serta kabupaten/kota di Indonesia. Menurut BPS, seseorang dianggap miskin apabila ia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal yaitu kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Per Maret 2009, BPS menetapkan garis kemiskinan yang dipakai secara luas berdasarkan jumlah kalori tersebut adalah sebesar Rp. 200.262,- per kapita per bulan tanpa memperhatikan perbedaan wilayah yang kemudian menimbulkan banyak perdebatan (Media Indonesia, edisi Kamis 2 Juli 2009).

Metode yang dipakai BPS untuk menghitung garis kemiskinan adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), baik makanan maupun non makanan. Adapun indikator untuk menentukan keluarga miskin yang ditetapkan oleh BPS (2005) adalah sebagai berikut:

a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 10 m2

9 Kesimpulan dari paparan materi “Metode Penghitungan Angka Kemiskinan” oleh Kecuk Suhariyanto dalam Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan, Jakarta 13 Juli 2009.

(37)

b. Lantai bangunan dari tanah, bambu, kayu

c. Dinding bangunan dari bambu (rumbia) kayu berkualitas rendah d. Buang air besar di tempat umum

f. Sumber air minum tidak terlindungi (sungai) air hujan g. Sumber penerangan bukan listrik

h. Jenis bahan bakar memasak dari kayu/arang

i. Tidak pernah membeli daging/ayam/susu dalam seminggu j. Makan anggota keluarga satu kali dalam sehari

k. Tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun l. Tidak pernah berobat ke Puskesmas/Poliklinik m. Tidak memiliki pekerjaan yang utama

n. Pendidikan tertinggi kepala keluarga SD/MI ke bawah o. Tidak memiliki barang senilai Rp. 500.000,-

p. Tidak pernah menerima kredit UKM/KUKM setahun yang lalu.

Depsos RI (2005) juga turut menentukan indikator kemiskinan yang hampir sama dengan BPS ditambah beberapa kriteria lain diantaranya: memiliki ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial), tinggal di rumah yang tidak layak huni, dan sulit memperoleh air bersih. Kriteria lain dari keluarga miskin juga dibedakan dalam jenis-jenis Keluarga Sejahtera oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dalam hal ini BKKBN membaginya dalam Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus. Namun demikian indikator nasional yang digunakan dalam menghitung jumlah penduduk yang dikategorikan miskin adalah berdasarkan standar garis kemiskinan dari BPS.

Penyempurnaan dari mengukur kemiskinan dengan menyusun indikator tunggal adalah dengan menyusun indikator komposit dimana selain pendapatan atau pengeluaran, indikator ini biasanya terdiri dari angka melek huruf, angka harapan hidup, atau akses kepada sarana kesehatan dan air bersih. Badan dunia yang menggunakan cara kedua adalah UNDP (United Nations Development Programme). Produk UNDP yang dikenal luas untuk mengukur kemajuan dan kemiskinan adalah HDI (Human Development Index) dan HPI (Human Poverty Index). Pendekatan ini relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial, dan budaya si miskin.

(38)

Dengan demikian, jika cara pertama mengukur kemiskinan melihat dari aspek ekonomi, maka cara kedua melibatkan juga aspek pendidikan dan kesehatan. Meskipun kedua cara memiliki keunggulan dan kelemahan, cara kedua dapat dipandang sebagai pendekatan yang lebih baik, karena dapat menggambarkan kemiskinan lebih tepat dan akurat (Suharto, 2003).

2.2.3. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau karena adanya hambatan budaya.

Menganalisa faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah sesuatu yang komplek. Mulai dari faktor sumberdaya manusianya, kondisi alam dan geografis, kondisi sosial-budaya, sampai kepada sistem ekonomi dan politik yang menyebabkan timpang atau tidak meratanya distribusi pendapatan. Menurut An-Naf (2007), kerapkali faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan tumpang tindih satu sama lain. Faktor-faktor rendahnya mutu sumberdaya manusia, kondisi alam dan geografis, serta kondisi sosial-budaya berkaitan dengan tingkat keterbelakangan (underdevelopment) suatu masyarakat yang pada dasarnya dapat diperbaiki. Namun ada pula faktor kondisi alam dan geografis yang tidak dapat lagi tertanggulangi sehingga menyebabkan kemiskinan absolut yang menetap sifatnya. Tapi banyak ahli yang lebih meyakini bahwa faktor dominan penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan ekonomi, sosial ataupun politik yang mengakibatkan apa yang disebut kemiskinan struktural. (struktural poverty), baik pada tatanan negara maupun internasional.

Sementara itu Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI (2009) menyimpulkan bahwa penyebab kemiskinan adalah belum terpenuhinya kebutuhan dasar warga secara optimal, adil, dan merata, diantaranya karena:

(39)

b. Terbatasnya akses dan mutu layanan kesehatan

c. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan d. Terbatasnya kesempatan kerja produktif dan berusaha e. Terbatasnya akses layanan perumahan

f. Terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi g. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah

h. Memburuknya kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup i. Lemahnya perlindungan/jaminan hak atas rasa aman

j. Lemahnya akses partisipasi masyarakat miskin.

2.3. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional

Mengingat adanya dua bentuk kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif maka pemerintah perlu menetapkan kebijakan, strategi, maupun program-program yang spesifik untuk mengentaskan kedua bentuk kemiskinan tersebut. Kemiskinan absolut harus dilihat sebagai prioritas, darurat sifatnya dan memerlukan penanganan jangka pendek sampai menengah, karena biasanya permasalahan yang dihadapi tidak dapat menunggu terlalu lama dan membutuhkan program-program yang bersifat dadakan. Pengentasan kemiskinan absolut biasanya ditempuh dengan penedekatan-pendekatan yang bersifat rehabilitasi sosial (social rehabilitation, emergency, cash programme) dan pemberdayaan ekonomi (economic empowerment). Sedangkan pengentasan Kemiskinan relatif memerlukan kebijakan, strategi, dan program-program yang konsisten untuk jangka panjang, karena berkaitan dengan mengubah dan memelihara pemerataan distribusi pendapatan.

Pemerintah Indonesia telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Namun program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965. Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), khususnya Repelita I-IV yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada Repelita V-VI, pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Jalur

(40)

pembangunan ditempuh secara khusus dan mensinergikan program reguler sektoral dan regional yang ada dalam koordinasi Inpres Nomor 3 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan yang akhirnya diwujudkan melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Upaya selama Repelita V-VI pun gagal akibat krisis ekonomi dan politik tahun 1997.

Selanjutnya guna mengatasi dampak krisis lebih buruk, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Pelaksanaan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan dan kendala pelaksanaannya selama 40 tahun terakhir meyakinkan pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan dianggap belum mencapai harapan.

Begitu pentingnya masalah mengentaskan kemiskinan ini, pemerintah mengeluarkan lebih banyak lagi program penanggulangan kemiskinan. Program-program yang dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UED-SP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), Program Keluarga Sejahtera (Prokesra), Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos), dan program pembangunan sektoral yang berupaya memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan.

Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan tapi kemiskinan tetap tinggi karena program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Hamonangan Ritonga, Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik BPS mengemukakan pada Harian Kompas tanggal 10 Februari 2004 bahwa:

“Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama,

(41)

program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.”

2.4. Paradigma Baru Penanggulangan Kemiskinan

Mengentaskan kemiskinan di Indonesia memang tidak mudah, karena kenyataannya kemiskinan di Indonesia sudah seperti lingkaran setan (vicious circle poverty). Sulit untuk diketahui ujung dan pangkalnya serta darimana mulai memeranginya dan bagaimana mengakhirinya, masalahnya memang sudah sangat kompleks. Namun hal ini tidak menyurutkan langkah pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Melalui pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) baik di tingkat nasional maupun daerah, seluruh upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dalam berbagai aspek, baik yang dibiayai pusat maupun daerah, diintegrasikan dan dikoordinasikan.

Pada Tahun 2008, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengeluarkan rancangan program penanggulangan kemiskinan yang dikelompokkan menjadi tiga kluster berdasarkan falsafah ikan dan kail, yaitu: 1) Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri, dan 3) Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (Gambar 4). Sasaran Kluster I adalah Rumah Tangga Sangat Miskin, Miskin, dan Hampir Miskin; sasaran Kluster II adalah Kelompok Rumah Tangga Miskin dan Hampir Miskin; sedangkan sasaran Kluster III adalah Pelaku Usaha Mikro dan Kecil.

(42)

Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2008

Gambar 4. Tahapan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan

Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG), kurun waktu PNPM Mandiri adalah dari tahun 2007 sampai dengan 2015 melalui gerakan pemberdayaan masyarakat. Pada Tahun 2015, diharapkan setiap desa/kelurahan memiliki “Forum Partisipatif Warga/Masyarakat”, “Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat” untuk penguatan ekonomi, sosial, dan kualitas lingkungan hidup, dan “Lembaga Dana Amanah Masyarakat atau Lumbung Desa untuk mendukung pelaksanaan Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat (Gambar 5).

Sumber: Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2009

Gambar 5. Rancangan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan

Kluster Program I: Bantuan dan Perlindungan Sosial Kluster Program II: Pemberdayaan Masyarakat Kluster Program III: Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil Forum Partisipasi Masyarakat Lembaga Dana Amanah Masyarakat Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat Masyarakat

Langkah Peningkatan Keberdayaan dan

Kemandirian Masyarakat Masyarakat yang Berdaya dan Mandiri

Kluster III

Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK)

Kluster II

Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri

Kluster I

Bantuan dan Perlindungan Sosial

untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar, pengurangan biaya hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin

untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam

pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip

pemberdayaan masyarakat

untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang sudah ‘feasible‘ namun belum ‘bankable‘

*Diberi ikan

*Diajari Mancing

*Dibantu untuk punya pancing dan perahu sendiri

Gambar

Gambar 2.  Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006.
Gambar 4. Tahapan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan
Gambar 6. Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Usaha Mikro  Pemberdayan masyarakat dimaksud adalah upaya meningkatkan  kesejahteraan rakyat melalui peran serta aktif masyarakat itu sendiri dalam  mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup, men
Gambar  7.  Kerangka Pemikiran Strategi Pengembangan Kebijakan  Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode sistem pengendalian Bank Garansi di BRI Syariah menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif.Hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya

Undercarriage alat berat yang umum digunakan pada excavator terdiri dari banyak komponen bergerak yang harus dilakukan perawatanan secara periodik agar dapat berfungsi dengan

saya adalah bahwa melalui pendidikan berkelanjutan kepada para pemuda kita, kita dapat membuka mata mereka ke dunia toleransi dan penghargaan satu sama lain yang

Untuk potensi pengembangan produk pengganti tidak menunjukkan adanya dampak yang signifikan terhadap perkembangan bisnis Toko Fajar Baru, karena produk pengganti

Disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove di Desa Dusun Besar

Toisaalta vain harvoissa puheis- sa ja diskursseissa puhuttiin vahvasti esimerkiksi sellaisista lähestymistavan perusperi- aatteista kuin kaikkien maailman ihmisten

[r]

Berdasarkan hasil pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode pendekatan Big Book dapat membantu anak usia 4-5 tahun dalam meningkatkan