• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Perwira Hukum dalam Operasi Militer. Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan olehanggota DinasAngkatan Laut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Perwira Hukum dalam Operasi Militer. Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan olehanggota DinasAngkatan Laut"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

• Natsri Anshari

Peran Perwira Hukum dalam Operasi Militer

• Devy Sondakh

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan olehAnggota DinasAngkatan Laut

• Salvador Gedeon de Jesus Soares

Status dan Pertanggungjawaban Hukum Private Military Contractor menurut Hukum Humaniter dan Hukum Nasional Amerika Serikat (Studi Kasus: Blackwater USA di lrak)

• Fria Almira

Pelanggaran Hukum Humaniter terhadap Tawanan Perang lrak oleh Tentara Amerika Serikat (Studi Kasus: Penyiksaan Tawanan Perang lrak di PenjaraAbu Ghraib)

• Nobuo Hayashi

Introduction to International Criminal Law • •

• Laporan International Bar Association tentang Mahkamah Pidana lnternasional (ICC)

• Terjemahan Konvensi Den Haag V tahun 1907 tentang Hak­ hak dan Kewajiban-kewajiban Negara Netral dalam Perang di Darat

(2)
(3)

JURNAL HUKUM HUMANITER

Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta

Penanggung-jawab:

Rektor Universitas Trisakti

Dewan Redaksi Kehormatan:

Prof. KGPH. Haryomataram, S.H.

Prof. Timothy L. H. McCormack Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. Michael Cottier, LL.M., Ph. D

Brigjen. TNI (Purn) PLT. Sihombing, S.H., LL.M. Kol. (Chk.) Natsri Anshari, S.H., LL.M.

Rudi M. Rizki, S.H., LL.M. Fadillah Agus, S.H., M.H. Pemimpin Redaksi: Arlina Permanasari, S.H., M.H. Anggota Redaksi: Andrey Sujatmoko, S.H., M.H. Aji Wibowo, S.H., M.H Kushartoyo Budisantosa, S.H., M.H. Amalia Zuhra, S.H., LL.M. Jun Justinar, S.H., M.H. 5ekretariat: Ade Alfay Alfinur, S.Sos.

Supriyadi, S.E.

Agung Wibowo, Amd

Alamat Redaksi:

Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) FH-USAKTI

JI. Kyai Tapa No. 1, Gedung H Lt. 5 Kampus A Grogol Jakarta 11440

Tlp./Faks.: (021 )563-7747 E-mail: jurnal_humaniter@yahoo.co.id

(4)

EDITORIAL ii

EDITORIAL

Segala puji dan rasa syukur hanya kami panjatkan ke hadirat Allah Ta'ala sehingga atas perkenanNYA jualah maka JURNAL HUKUM HUMANITER ini dapat hadir kembali di tangan para pembaca.

Pembaca yang budiman,

JURNAL HUKUM HUMANITER edisi ke tujuh ini menyajikan beberapa artikel utama, yang membahas salah satu topik dalam hukum humaniter, yaitu bagaimana peranan seorang perwira hukum dalam suatu sengketa bersenjata khususnya menjelang perencanaan maupun persiapan operasi-operasi militer. Dibahas pula mengenai kejahatan yang dilakukan dalam peperangan di laut, yang menguji kembali berlakunya asas-asas hukum humaniter dalam sengketa bersenjata internasional. Di samping itu, diketengahkan juga tulisan yang masih berkaitan dengan masalah privatisasi jasa militer pada edisi sebelumnya, namun kali ini khususnya yang dilakukan oleh Private Military Company Blackwater Amerika Serikat di Irak. Masalah pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter juga dibahas dalam edisi ini, khususnya perlakuan dari tentara Amerika Serikat kepada tawanan perang Irak di Penjara Abu Ghraib. Sebagai artikel pendukung, Redaksi memilih artikel yang membahas mengenai prinsip tanggung-jawab pidana individu yang berkaitan dengan kejahatan intemasional seperti kejahatan perang.

Adapun mengenai isi "Kolom" kali ini memuat laporan perkembangan terbaru dari Mahkamah Pidana Internasional, yang terutama menyoroti aspek-aspek hukum acara dalam Kamar-kamar Peradilan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

(5)

iii EDITORIAL

Sedangkan untuk terjemahan pef)an11an internasional di bidang hukum humaniter, disajikan terjemahan Konvensi Den Haag V tahun 1907 mengenai Hak-hak dan Kewajiban­ kewajiban Negara Netral dan Orang-orang Netral dalam Perang di Darat.

Penerbitan JURNAL HUKUM HUMANITER untuk edisi Oktober 2008 ini terwujud berkat kerjasama dengan FRR Law Office, yang telah berkomitmen dalam rangka mengembang­ kan hukum humaniter di Indonesia. Akhirnya kami meng­ harapkan tulisan-tulisan ilmiah dari berbagai kalangan masyarakat pemerhati hukum humaniter, dan juga masukan dari pembaca berupa kritik maupun saran konstruktif bagi perbaikan di masa yang akan datang.

Selamat membaca. Redaksi

(6)

iv

DAFTAR ISI

ARTIKEL him

1 . Natsri Anshari

Peran Perwira Hukum dalam Operasi Militer. . . .. .. 1222 2. Devy Sondakh

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional . . .. .. .. . . .. . 1248

3. Salvador Gedeon de Jesus Soares

Status dan Pertanggungjawaban Hukum Private Military Contractor Menurut Hukum Humaniter dan Hukum Nasional Amerika Serikat (Studi Kasus:

Blackwater USA di Irak) . . . . .. . .. . . .. .. . . .. .. .. . . .. .. . . .. .. .. .. . 1288

4. Fria Almira Mardiatiwi

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) .. . . 1317 ARTIKEL PENDUKUNG

Nobuo Hayashi

Introduction to International Criminal Law. . . .. . 1355

KOLOM

1 . Laporan International Bar Association tentang

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) . . . 1365

2. Terjemahan Konvensi Den Haag V 1907 tentang Hak-Hak dan Kewajiban-kewajiban Negara Netral dan Orang-orang Netral dalam Perang di Darat . . . . . .. . 1398

(7)

1317

PELANGGARAN B E RAT H U KU M H U MANITER (STU DI KASUS TENTANG TAWANAN PERANG I RAK DI PE NJARA

ABU G H RAI B) Fria Almira Mardiatiwi1

Abstrak

Menurut hukum humaniter, tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi dari tindakan kekerasan serta dihormati pribadi dan martabatnya. Namun, pada kenyataannya di penjara Abu Ghraib mereka justru mendapat penyiksaan secara fisik dan mental, perkosaan, bahkan mengalami pencurian organ tubuh oleh tentara Amerika Serikat. Penyiksaan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949, khususnya Konvensi Jenewa III mengenai Perlakuan terhadap Tawanan Perang, Protokol Tambahan I 1977, Konvensi Anti Penyiksaan serta Statuta Roma 1998. Penyiksaan tersebut menurut penulis memenuhi unsur tindak pidana pelanggaran berat (grave breaches) dan kejahatan perang (war crimes).

Kata Kunci: Tawanan perang, pelanggaran berat, kejahatan perang, penjara Abu Ghraib, Konvensi Jenewa III tahun 1949.

A. Pendahuluan

Peristiwa 11 September 200 1 telah membawa perubahan besar bagi pemerintah Amerika Serikat (AS), terutama dalam penyusunan kebijakan nasional, maupun kebijaka n luar

1 Fria Almira Mardiatiwi, adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Trisakti yang mengambil Jurusan Hukum Internasional, dapat dihubungi d i : fria.almira@yahoo.com

(8)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1318

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

negeri. Kebijakan nasional secara khusus ditujukan untuk meningkatkan keamanan nasional AS yang terlihat melalui peningkatan� anggaran militernya dan dimulainya berbagai operasi terhadap kelompok-kelompok teroris di dunia, salah satunya adalah kelompok teroris di Irak. Kemudian, hal tersebut diwujudkan dengan menggelar Operasi Pembebasan Irak (invasi Irak) yang menggunakan kekuatan militer untuk mengantisipasi ancaman dari kelompok tersebut. 2

Tujuan-tujuan resmi yang ditetapkan oleh pemerintahan Bush dalam menginvasi Irak ialah untuk melucuti senjata pemusnah massal Irak, menggulingkan pemerintahan Saddam Husein dan menjaga keamanan negara-negara. Selain alasan­ alasan tersebut, Operasi Pembebasan Irak ini dinyatakan sebagai refleksi atas bentuk kepedulian AS untuk mencegah serta mengakhiri kasus-kasus pelanggaran HAM di dalam negeri Irak. Tepatnya pada 20 Maret 2003, Presiden George W. Bush telah memerintahkan serangan koalisi terhadap Irak.

Invasi Irak oleh AS ini kemudian berkembang dan me­ munculkan satu masalah lain, yaitu tindakan-tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh militer AS terhadap tawanan perang di penjara Abu Ghraib, Irak. Selama invasi AS dan sekutunya yang tergabung dalam Pasukan Koalisi, banyak tentara Irak, milisi, dan warga sipil yang tertangkap oleh AS kemudian ditahan di berbagai penjara di seluruh Irak. Penjara Abu Ghraib adalah salah satunya dan dikelola oleh pasukan AS.

Terbongkarnya praktik penyiksaan terhadap sejumlah tawanan perang Irak di penjara Abu Ghraib ini ber.mula dari ditemukannya penyiksaan oleh tentara AS yang diungkap pertama kali melalui stasiun televisi CBS pada 29 April 2004. Di antara foto-foto yang ditayangkan CBS dalam acara 60

2 Karen J. Greenberg & Joshua L. Dratel (eds), The Torture Paper: The Road to Abu Ghraib, 22 June 2004.

(9)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1 3 19 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

Minutes II tersebut menggambarkan bagaimana seorang tawanan lrak berdiri di atas sebuah peti dan ditutup kepalanya. Di kedua tangannya terpasang kabel-kabel. CBS melaporkan bahwa tawanan itu telah diberitahu jika ia jatuh ia akan mati karena tersengat listrik. Foto lain menggambarkan bagaimana sejumlah tawanan pria dipaksa telanjang dengan kepala ditutup dan memperagakan seks oral, sementara serdadu AS menyaksikannya sambil tertawa-tawa. 3

Kisah penyiksaan kian jelas dengan munculnya tulisan Seymour M. Hersh, berjudul Torture at Abu Ghraib dalam mingguan The New Yo'*er edisi 10 Mei 2004. Tulisan tersebut memuat laporan sebanyak 53 halaman (awalnya bersifat rahasia dan khusus untuk Pimpinan Angkatan Darat) dari Mayor Jenderal Antonio M. Taguba. Laporan tersebut merupakan hasil investigasi dan wawancara Taguba terhadap para tawanan dan sipir serta tentara AS yang terlibat penyiksaan di penjara Abu Ghraib antara bulan Oktober hingga Desember 2003.4

Beberapa bentuk penyiksaan yang diterima oleh para tawanan perang di penjara Abu Ghraib menurut laporan Taguba tersebut di antaranya adalah penuangan cairan fosfor atau air es ke tubuh telanjang tawanan, pemukulan dengan gagang sapu atau kursi, pemerkosaan terhadap tawanan lelaki dan perempuan, penggunaan anjing militer untuk mengintimidasi tawanan dan sering pula anjing-anjing itu benar-benar menggigit. Kemudian sebagai bagian dari 3 Rebecca Leung, "Abuse of Iraqi POWs by Gls Probed : 60 Minutes II Has Exclusive Report on Alleged Mistreatment", CBN News, April 28, 2004, (On-line), tersedia di htto://www.cbsnews.com/stories/2004/04/27/6011/main614063.html 4 Seymour Hersh, "Torture at Abu Ghraib: American soldiers brutalized Iraqis. How far up does the responsibility go?", The New Yorker, May 10, 2004, (On­ line), tersedia di http://www.newvorker.com/archive/2004/0S/10/040510fa fact; dan Investigation of the BOdh Military Police Brigade ( Taguba's Report on Prisoners Abuse at Abu Ghraib), (On-line), tersedia di www.npr.org/iraq/2004/ prison abuse report.pdf

(10)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

32

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 1 0 penyiksaan yang ada, para tawanan seringkali dipukuli oleh personil-personil militer yang bertugas, ditempatkan selama 23 jam sehari dalam sebuah sel beton sempit tanpa cahaya matahari, digantung terbalik dengan rantai dari atap, dilumuri tinja manusia, dipermalukan secara seksual, dibakar, dikunci dalam kotak-kotak dan menjadi bahan hinaan.5

Perlakuan tentara Amerika Serikat terhadap tawanan perang Irak di penjara Abu Ghraib tersebut melanggar Konvensi Jenewa Tahun 1949, khususnya Konvensi III Jenewa Tahun 1949 mengenai Perlakuan terhadap Tawanan Perang yang dalam Pasal 13 diatur bahwa tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi dan melarang dilakukannya perbuatan-perbuatan yang membahayakan kesehatan atau jiwanya, terutama pengudungan (pencideraan) jasmani dan percobaan-percobaan kedokteran atau ilmiah lain apapun yang tidak dilakukan untuk kepentingan kesehatan si tawanan perang.

Tawanan perang juga harus selalu dilindungi terhadap segala bentuk tindakan kekerasan dan ancaman (intimidasi), demikian pula terhadap penghinaan-penghinaan dan tontonan umum. Juga dilarang untuk melakukan pembalasan (reprisals) terhadap tawanan perang. Setiap perlakuan yang menyim­ pang dari pihak penahan adalah dilarang keras dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang amat serius terhadap Konvensi Jenewa (serious breach to the Geneva Conventions).

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh personil militer AS tersebut merupakan bentuk penistaan terhadap hukum humaniter khususnya Konvensi Jenewa III mengenai Per­ lakuan terhadap Tawanan Perang. Terlebih lagi AS merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949.

5 Ibid.

(11)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1321 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak d i Penjara Abu Ghraib)

B. Prinsip Pembedaan dalam Hukum Humaniter Prinsip atau asas pembedaan (distinction principle) merupakan suatu asas penting dalam hukum humaniter, yaitu suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil ( civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.6

Perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan. Hal tersebut sangat penting ditekankan, karena perang sejak mulai dikenal, sesungguhnya berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dari negara-negara yang bermusuhan. Sedangkan penduduk sipil, yang tidak turut serta dalam permusuhan itu, harus dilindungi dari tindakan-tindakan peperangan itu.7

Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa : "the civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation."

Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principles of application), yakni:

6 Arlina Permanasari, eta!., Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta : International

Committee of the Red Cross, 1999), him. 1 1 .

7 Ibid, him. 74.

(12)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

322

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 1 a. Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus mem­

bedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil;

b. Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan objek serangan (walau­ pun) dalam hal pembalasan (reprisals);

c. Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang;

d. Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk me­ nyelamatkan penduduk sipil atau, setidak-tidaknya, untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin;

e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

Uraian di atas menunjukkan bahwa, sebagaimana tersirat dari pernyataan Jean Pictet itu, meskipun prinsip pembedaan

ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan atau anggota angkatan bersenjata dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata. Karena, dengan adanya prinsip pembedaan itu, akan dapat diketahui siapa yang boleh turut serta dalam permusuhan dan karena itu boleh dijadikan objek kekerasan (dibunuh) dan siapa yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan dan karenanya tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan. Jadi, secara normatif, prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Ini berarti memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap

(13)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1 323 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

hukum humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja.8

C. Pengertian Tawanan Perang

Pasal 4A Konvensi Jenewa III mengatur siapa yang berhak diperlakukan sebagai tawanan perang, yaitu :9

1 . Para anggota angkatan perang dari pihak yang ber­ sengketa, anggota-anggota milisi atau korps sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang itu;

2. Para anggota milisi lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang terorganisasi (organized resistance movement) yang tergolong pada satu pihak yang bersengketa dan ber­ operasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, dan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung-jawab atas bawahannya;

b. Menggunakan tanda pengenal tetap yang dapat dilihat dari jauh;

c. Membawa senjata secara terbuka;

d. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

3 . Para anggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiaannya pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh Negara Penahan;

4. Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, leveransir, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab 8 Ibid, him. 75.

9 Ibid, him. 164-165.

(14)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

132

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 4 atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapatkan pengesahan dari angkatan perang mereka yang mereka sertai;

5. Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nahkoda, pemandu laut, taruna dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang menguntungkan menurut ketentuan­ ketentuan lain a papun dalam huku m internasional;

6. Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata u ntuk melawan pasukan­

pasukan yang menyerbu, tanpa memiliki waktu u ntuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata antara mereka yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terbuka d�n menghormati hukum dan kebiasaan perang.

Perlu ditegaskan bahwa Pasal 4A ini tidak hanya berlaku bagi anggota Angkatan Perang yang ditawan dalam pertempuran saja, tetapi juga bagi anggota Angkatan Perang yang jatuh ke tangan musuh, jadi termasuk mereka yang menyerahkan diri. Orang yang telah melaku kan perbuatan permusuhan yang jatuh ke tangan musuh, tetapi tidak jelas kedudu kannya berhak mendapat perlakuan sebagai tawanan perang selama menunggu diambilnya keputusan mengenai kedudukannya oleh pengadilan yang berwenang.10

Pengertian pasal di atas mempunyai a rti konstitutif, a rtinya pasal ini dengan perinciannya menetapkan dengan tegas siapa-siapa saja di antara orang-orang yang jatuh ke tangan musuh dalam pertikaian bersenjata yang berha k diperlakukan sebagai tawanan perang. Ketentuan Pasal 4A Konvensi Jenewa III ini bersifat restriktif dan mutlak, artinya mereka 10 GPH. Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, (Surakarta :

Sebelas Maret University Press, 1994), him. 55.

(15)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1 325 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

yang tidak termasuk golongan-golongan yang terdapat dalam Pasal ini tidak berhak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang.11

Selain diatur oleh Konvensi Jenewa, pengertian tawanan perang juga diatur oleh Protokol Tambahan I 1977. Protokol ini menyempurnakan dan menambahkan isi dari Konvensi Jenewa 1949. Pasal 41 Protokol ini memberikan perlindungan terhadap seseorang yang diakui menjadi hors de combattidak boleh menjadi objek serangan. Seseorang adalah hors de combat a pa bi la : 12

a. Ia berada di bawah kuasa dari pihak yang merugikan; b. Ia jelas menyatakan niat untuk menyerah, atau;

c. Ia Iuka atau sakit dan karena itu tidak mampu membela dirinya sendiri

Ketika orang yang berhak atas perlindungan sebagai tawanan perang telah jatuh ke dalam kekuasaan dari pihak yang merugikan, maka harus diambil tindakan untuk

memastikan keselamatan mereka.

Selain itu Pasal 45 Protokol juga memberikan per­ lindungan bagi orang-orang yang telah ambil bagian dalam permusuhan. Orang yang mengambil bagian dalam permusuhan dan jatuh ke dalam kekuasaan Pihak yang merugikan harus dianggap menjadi tawanan perang, dan karena itu harus dilindungi oleh Konvensi III. Kedudukan tawanan perang dapat juga ditemukan dalam Protokol Tambahan I, yaitu pada Pasal 44 ayat (1), (2), (4), (5) dan (6).13

1 1 Ibid.

12 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Konvensi Palang Merah Tahun 1949,

(Bandung: Binacipta, 1979), him. 27.

13 Ibid.

(16)

Pelanggaran Berat H ukum Humaniter

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 1326 D. Ratifikasi dan Perjanjian Internasional

Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa III pada tanggal 2 Agustus 1955 dan CAT pada tanggal 20 November 1994. Irak sendiri telah meratifikasi Konvensi Jenewa III pada tanggal 14 Februari 1956 dan Protokol Tambahan I 1977 pada tanggal 1 April 2010.14

Suatu perjanjian internasional yang sudah memenuhi syarat untuk mulai berlaku (enter into force) sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian itu sendiri, selanjutnya harus dihormati dan dilaksanakan oleh para pihak yang terikat, sesuai dengan isi dan jiwa serta semangat dari perjanjian itu sendiri demi tercapainya maksud dan tujuannya.15

AS belum menjadi negara peserta Protokol Tambahan I 1977 dan Statuta Roma 1998. Sesuai dengan asas pacta tertiis nee nocent nee prosunt, suatu perjanjian internasional hanya memberikan hak dan kewajiban kepada pihak-pihak yang terikat pada perjanjian tersebut. Pihak lain atau pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perjanjian itu tentulah tidak berhak menerima hak maupun tidak memikul kewajiban apapun dari perjanjian itu. Hal ini adalah logis sebab suatu perjanjian internasional sebagaimana halnya dengan perikatan pada umumnya, adalah wujud kongkrit dari kata sepakat sesuai dengan prinsip free consent atau kebebasan para pihak untuk menyatakan kehendaknya. Jadi pihak ketiga atau pihak yang tidak ·ikut dalam perjanjian itu, berarti tidak ikut menyatakan kehendaknya atau dengan kata lain apapun isi perjanjian itu bukanlah merupakan kehendak 14 State Parties to the Following International Humanitarian Law a nd Other Related Treaties as of 23-Jun-20 10, (On-line), tersedia di: http://www.icrc.org/ IHL.nsf/CSPF)Jpartv main treaties/$File/IHL and other related Treaties.pdf 15 I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional, Bagian 2, (Bandung: Mandar

Maju, 2005), him. 261.

(17)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1 327 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

dari pihak ketiga yang bersangkutan.16

Ada tiga macam pembebanan kewajiban dan/atau pem­ berian hak yang bersumber dari suatu perjanjian kepada pihak ketiga, yakni: pertama, pembebanan kewajiban dan/atau pemberian hak yang sifatnya timbal balik, artinya, hak yang diberikan disertai dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak ketiga yang bersangkutan; kedua, hanya pemberian hak saja tanpa disertai dengan kewajiban, atau pelaksanaan kewajiban; ketiga, hanya berupa pem­

bebanan kewajiban tanpa diimbangi dengan pemberian hak.17 Mengenai kewajiban yang dibebankan kepada negara ketiga telah pitegaskan dalam Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, bahwa suatu kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian internasional dapat dibebankan kepada suatu negara ketiga, jika para pihak yang terikat pada perjanjian itu memang bermaksud demikian dan negara ketiga pada perjanjian itu memang bermaksud demikian.18

Akan tetapi tentu saja dalam prakteknya, walaupun dalam masyarakat internasional modern sekarang ini sangat jarang terjadi, secara kasuistis bisa saja persetujuan pihak ketiga atas pembebanan kewajiban itu berupa persetujuan secara diam-diam. Misalnya, suatu negara ketiga secara terus­ menerus dan turun-temurun melaksanakan kewajiban yang berasal dari suatu perjanjian internasional antara dua negara atau lebih, sehingga lama kelamaan dianggap menjadi sesuatu yang sudah diterima sedemikian rupa.19

Seperti halnya ketentuan mengenai tawanan perang dan pelanggaran berat yang sudah diatur dalam Konvensi Jenewa, yaitu sejak tahun 1929, 1949 hingga sekarang, dan sudah 16 Ibid., him. 279.

17 Ibid.

18 Ibid., him. 281. 19 Ibid.

(18)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1328

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

diratifikasi oleh banyak negara, maka dapat dikatakan Konvensi Jenewa tersebut merupakan suatu hukum kebiasaan i nternasional karena sudah diatur dan diakui sejak lama. Sehingga Protokol Tambahan I 1977 yang merupakan peraturan tamba han yang melengkapi dan menambahkan ketentuan dari Konvensi Jenewa merupakan sesuatu yang diterima sebagai hukum kebiasaan i nternasional pula . Begitupun halnya dengan ketentuan mengenai kejahatan perang yang sejak lama dikenal melalui Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, hingga yang terbaru ya ng diatur dalam Statuta Roma 1998 dapat dikatakan merupakan suatu hukum kebiasaan internasional.

Berdasarkan suatu pertemuan ahli (expert meeting) pada tahun 2001 dihasilkan suatu keputusan bahwa Protokol Tambahan I 1977 berlaku sebagai customary international law

atau hukum kebiasaan internasional sehingga semua subjek hukum i nternasional wajib tunduk pada norma-norma dari Protokol tersebut. Jadi berdasarkan uraian di atas Amerika Serikat terikat secara hukum kepada Protokol Tambahan I 1977 dan Statuta Roma 1998.

E. Bentuk-bentuk Pelanggaran terhadap Tawanan

Perang Irak di Penjara Abu Ghraib menurut Hukum Humaniter dan Instrumen Hukum Inter­ nasional Lainnya

Setiap kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus mendapatkan status sebagai tawanan perang . Para tentara atau prajurit Irak yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara Abu Ghraib termasuk dalam golongan kombata n . Mereka ada lah anggota Angkata n Perang atau tentara Irak dan anggota milisi yang memenuhi syarat, yaitu dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas bawa hannya, membawa senjata secara terbuka dan melakukan operasinya sesuai

(19)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1329 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

dengan hukum dan kebiasaan perang. Terhadap mereka berlaku ketentuan Konvensi Jenewa III, di mana dalam Pasal 4A disebutkan bahwa mereka berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang.

1. Menurut Konvensi Jenewa III 1949

a. Pelanggaran terhadap Perlindungan Umum

Pasal 13 Konvensi ini menyatakan bahwa tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi dan melarang dilaku­ kannya perbuatan-perbuatan yang membahayakan kesehatan atau jiwanya, terutama penyeka pan jasmani dan percobaan­ percobaan kedokteran atau ilmiah lain apapun yang tidak dilakukan untuk kepentingan kesehata n si tawanan perang . Maksud dari ketentuan ini adalah mencegah tawanan perang u ntu k dij a d i ka n " ke l i nci pe rcobaa n " d a l a m eksperi men­ eksperimen biologis atau kedokteran .

Tawanan perang juga harus selalu dilindungi terhadap segala bentuk tindakan kekerasan dan anca man secara psikis dan fisik, demikian pula terhadap penghinaan-penghinaan dan tontonan umum.

Namun pada kenyataannya, Negara Penahan, dalam hal ini AS, melalui tentaranya, terbukti melangga r Pasal 13, dimana mereka justru lalai dalam menjalankan tugas dengan melakuka n penyiksaan serta kekerasan terhadap tawanan perang, seperti memukulinya dengan kursi hingga pingsan, menonjok dada tawanan perang, menjahit Iuka tawanan tanpa memperhatika n prosedur kedokteran, menginjak tangan tawanan perang, melu muri tubuh telanjang tawanan dengan tinja, h ingga mencu ri organ tubuh tawa nan perang. Ancaman kekerasan terhadap psikis juga dilakukan misalnya dengan mengancam tawanan perang apabila tidak mau menjawab

(20)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1330

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

atau memberikan informasi selama proses interogasi dengan menggunakan anjing dan listrik. 20

Pasal 14 menyatakan bahwa tawanan perang dalam segala keadaan berhak atas penghormatan terhadap diri pribadi dan martabatnya. Tawanan perang wanita harus dijamin kehormatannya yang patut diberikan mengingat jenis kelamin mereka. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan sifat alamiah wanita karena kelemahannya, martabatnya dan kemampuan wanita untuk bisa mengandung dan melahirkan anak. Namun justru banyak tawanan perang wanita yang diperkosa oleh tentara AS hingga hamil, pelecehan seksual dengan menggunakan alat, dan difoto dengan terekspos payudaranya. 21

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa AS jelas terbukti melanggar Pasal 13 dan 14 mengenai per­

lindungan umum terhadap tawanan perang menurut Konvensi Jenewa III.

20 Taguba's Report on Prisoners Abuse at Abu Ghraib, Part One. Detainee Abuse,

p. 1 5-20, op. cit., Report of the International Review of the Red Cross {ICRC) on the Treatment by the Coalition Forces of Prisoners of War and Other Protected Persons by the Geneva Conventions in Iraq during Arrest, Internment and Interrogation, February 2004 (ICRC Report), (On-line), tersedia di htto://www.derechos.org/nizkor/us/doc/icrc-prisoner-reoort-feb-2004.odf: Investigation of the Abu Ghraib (Fay Report), August 2004, (On-line), tersedia di http://news.findlaw.com/hdocs/docs/dod/fay82504rot.odf; James R. Schlesinger,

The Schlesinger Report: An Investigation of Abu Ghraib, Independent Panel to Review DOD Detention Operations, Cosimo Inc., 2005.

21 Ghali Hassan, "Iraqi Women Under US Occupation", (On-line), tersedia di http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid= 158; Rouba Kabbara, "Human rights groups: Iraqi women raped at Abu Ghraib Jail", (on-line), tersedia di http://www.middle-east-online.com/english/?id = 1 0096; Ernesto Cienfuegos, "Photos Show Rape of Iraqi Women by US Occupation Forces", (On-line), tersedia di http://www.aztlan.net/iraqi women raped. htm

(21)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1331 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak d i Penjara Abu Ghraib) b. Pelanggaran atas Standar Minimum Perlakuan

terhadap Tawanan Perang 1. Tempat Tawanan Perang

Tempat tinggal/asrama tawanan perang, sesuai dengan Pasal 25 Konvensi Jenewa III, harus sama baik/keadaannya dengan tempat tinggal tentara dari Negara Penahan, yang ditempatkan di daerah itu. Kondisi tempat tinggal tawanan perang tidak boleh merugikan kesehatan mereka. Selanjutnya, perhatian khusus harus ditujukan kepada ruang tidur, yang harus memenuhi syarat ukuran minimal, begitupun dengan instalasi umum, tempat tidur dan selimut-selimut.

Gedung-gedung yang disediakan untuk dipakai oleh tawanan perang secara individual atau kolektif, terutama antara senja dan malam hari, harus dipanaskan dan diterangi sewajarnya.

Namun pada kenyataan di Penjara Abu Ghraib ini, tawan­ an perang justru ditempatkan dalam sel-sel yang ukurannya sempit, yaitu hanya berukuran 1 x 0,5 meter dilengkapi dengan kakus dengan bau menyengat dan basah, sehingga tidak baik bagi kesehatan para tawanan. Jumlah tawanan yang ditempatkan dalam satu sel juga terkadang melampaui batas, sampai beberapa puluh tawanan di dalam sel, sehingga mereka berdesak-desakan di dalamnya. Bahkan terkadang tentara AS menempatkan para tawanan perang dalam sel beton yang sempit dan gelap, tanpa terkena cahaya matahari selama berjam-jam. 22

Terhadap tawanan perang wanita seharusnya diberikan asrama atau tempat yang terpisah, sesuai dengan Pasal 25 paragraf kelima, namun kenyataannya tempat tawanan perang pria dan wanita dijadikan satu, dan tidak dipisah.23

22 ICRC Report, op. of., Section 3.2: Military Intelligence section, "Abu Ghraib Correctional Facility".

23 Ibid

(22)

Pelanggaran Berat H ukum H umaniter

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 1332 Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa AS jelas terbukti melanggar aturan dalam Pasal 25 mengenai standar minimum terhadap tawanan perang menurut Konvensi Jenewa III.

2. Kesejahteraan Materiil Tawanan Perang

Perihal makanan bagi tawanan perang diatur dalam Pasal 26 Konvensi Jenewa III yang menyatakan bahwa terhadap tawanan perang harus diberikan makanan dan minuman yang cukup untuk memelihara kesehatan yang baik dari tawanan perang tersebut.

Dalam hal pemberian makanan ini, tentara AS juga melakukan pelanggaran, dengan memberikan makanan yang kotor karena sebelumnya sudah dijatuhkan ke dalam lubang toilet dan menyuruh tawanan perang untuk mengambil dan memakannya. Tentara AS juga pernah tidak memberikan air minum kepada tawanan perang selama berhari-hari dan hanya memberikan makanan berupa roti dan air saja selama 17 hari kepada salah seorang tawanan.24

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa AS jelas terbukti melanggar aturan dalam Pasal 26 mengenai standar minimum terhadap tawanan perang menurut Konvensi Jenewa III.

3. Kesehatan Moral dan Rohani Tawanan Perang

Mengenai agama telah diatur dalam Pasal 34 Konvensi Jenewa III, di mana tawanan perang mempunyai hak dan kebebasan penuh untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama mereka, termasuk menghadiri upacara-upacara

keagamaan mereka.

24 Jamie Wilson, "173 prisoners found beaten and starved in Iraq government

bunker", The Guardian, November 16, 2005, (On-line), tersedia di http:/Lwww.qua rdian.eo. uk/world/2005/nov/16/usa .iraq

(23)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1 333 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak d i Penjara Abu Ghraib) Tetapi lagi-lagi tentara AS justru melarang tawanan perang yang mayoritas beragama Islam tersebut untuk melaksanakan ibadah. Para tawanan perang juga tidak diberitahu soal waktu, sehingga mereka tidak tahu apakah sudah saatnya bagi mereka untuk melaksanakan shalat. Bahkan tentara AS juga memperolok agama si tawanan perang (penodaan agama).25

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa AS jelas terbukti melanggar aturan dalam Pasal 34 mengenai standar minimum terhadap tawanan perang menurut Konvensi Jenewa III.

4. Perihal Hubungan dengan Dunia Luar

Pengaturan mengenai hal dengan hubungan luar ini diatur oleh konvensi di dalam Pasal 70, di mana segera setelah tertawan, atau tidak lebih dari seminggu setelah tiba di kamp tawanan, setiap tawanan perang harus diperkenankan untuk langsung menulis surat kepada keluarganya dan kepada Kantor Pusat Tawanan Perang.

Namun pada kenyataannya, menurut laporan ICRC tidak ada pemberitahuan kepada keluarga dari orang-orang yang dirampas kebebasannya yang menyebabkan kesulitan di antara orang-orang yang dirampas kebebasannya untuk mengadakan hubungan dengan keluarganya.26

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa AS jelas terbukti melanggar aturan dalam Pasal 70 mengenai standar minimum terhadap tawanan perang menurut Konvensi Jenewa III.

25 Bertrand Ramcharan, Report of the High Commissioner for Human Rights, The

Present Situation of Human Rights in Iraq, 4 June 2004, Part VIII A. Freedom of Religion or Belief, (On-line), tersedia di http://www.china.orq.cn/enqlish/features/ abuse/97601.htm

26 ICRC Report, Section 1: . 1 : Notification to families and information for arrestees,

op. cit.

(24)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

3

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 13 4

5. Tata Tertib dalam Kamp Tawanan

Setiap kamp tawanan harus berada di bawah kekuasaan seorang Perwira dari negara penahan. Menurut ketentuan dari Pasal 39, Perwira tersebut harus mempunyai salinan dari konvensi ini dan harus berusaha supaya semua anggota staf dan penjaga mengetahui isinya.

Perwira tersebut bertanggung-jawab atas pelaksanaan Konvensi ini. Teks konvensi 1rn, peraturan, perintah/ pengumuman mengenai disiplin harus ditempelkan di tiap-tiap kamp, di tempat yang mudah kelihatan dan dalam bahasa yang dimengerti oleh para tawanan. Demikian pula perintah dan komando yang diberikan kepada mereka harus diberikan dalam bahasa yang mereka pahami, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 41.

Tentara AS yang menjaga penjara Abu Ghraib ini memberikan pengakuan bahwa rata-rata dari mereka justru tidak mengetahui dan tidak dibekali oleh komandan mereka tentang isi dari Konvensi ini. Padahal seharusnya mereka dapat bertanggung-jawab atas isi dari Konvensi ini.

Selain tidak bertanggung jawab atas isi dari Konvensi ini, terkadang para tentara AS dalam memberikan perintah kepada para tawanan perang, menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh para tawanan tersebut. Sehingga para tawanan seringkali merasa kebingungan.

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa AS jelas terbukti melanggar aturan dalam Pasal 39 dan 41 mengenai standar minimum terhadap tawanan perang menurut Konvensi Jenewa III.

2. Menurut Protokol Tam bahan I 1977

Orang-orang yang berada di bawah kekuasaan pihak lawannya tidak boleh dibahayakan jiwanya oleh suatu JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

(25)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1335 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

tindakan yang tidak dapat dibenarkan atau sengaja tidak dilakukan, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 1 ayat (2), adalah dilarang menempatkan orang-orang yang ditetapkan dalam pasal ini di bawah suatu prosedur kesehatan yang tidak didasarkan pada keadaan kesehatan orang yang bersangkutan dan yang tidak sesuai dengan ukuran-ukuran perawatan kesehatan yang diakui secara umum yang akan diterapkan dalam keadaan kesehatan serupa pada orang-orang warga negara dari Pihak yang menjalankan prosedur dan yang sama sekali tidak dicabut kemerdekaannya.

Hal yang dilarang untuk dilakukan itu adalah mutilasi, percobaan-percobaan kesehatan atau ilmiah, memindahkan jaringan syaraf tubuh atau organ-organ tubuh untuk pencangkokan. Juga setiap tindakan sengaja atau tidak sengaja dilakukan yang membahayakan secara gawat kesehatan jasmani atau rohani ataupun keutuhan jasmani seseorang yang berada di dalam kekuasaan suatu pihak yang bukan Pihak tempat ia bergantung adalah merupakan pelanggaran terhadap Protokol ini.

Pada kenyataannya, tentara AS dengan sengaja mencuri dan memindahkan organ tubuh tawanan perang untuk keperluan operasi medis bagi tentara AS yang terluka saat peperangan berlangsung. Seperti mengambil bagian mata, lengan, kaki dan ginjal para tawanan, serta melakukan mutilasi terhadap tangan tawanan. 27 Tentara AS juga melakukan perbuatan yang membahayakan tubuh tawanan dengan menuang cairan fosfor ke tubuh para tawanan, menjahit Iuka dengan tidak memperhatikan prosedur kedokteran dan sebagainya. 28

27 "The Dirty War: Torture and mutilation used on Iraqi 'insurgents"', The

Independent, November 20, 2005, (On-line), tersedia di http://www.indeoendent. co.uk/news/world/middle-east/the-dirty-war-torture-and-mutilation-used-on-iragi­ insurgents-516121 .html

28 Taguba's Report on Prisoners Abuse at Abu Ghraib, op.cit, p. 17.

(26)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

3

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 1 36 Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa AS melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan norma-norma mengenai pelanggaran berat yang terdapat dalam Pasal 1 1 ayat (2) Protokol Tambahan I 1977.

Perlindungan bagi tawanan perang juga diatur di dalam Pasal 75 Protokol. Pasal ini memberikan jaminan-jaminan dasar bagi orang-orang yang berada dalam kekuasaan pihak lawan. Sebagaimana isi dari Pasal 75 ayat (1) yang seharusnya niemperlakukan tawanan secara perikemanusiaan di dalam segala keadaan, menghormati pribadi, kehormatan, keyakinan dan ibadah keagamaan semua orang itu, ternyata dalam prakteknya, Negara Penahan dalam hal ini Amerika Serikat melanggarnya dengan melarang para tawanan perang yang mayoritas beragama Islam untuk melaksanakan ibadah shalat. Selain itu, tentara AS juga melakukan penghinaan agama kepada tawanan perang.

Dalam Pasal 75 ayat (2) disebutkan bahwa tindakan­

tindakan kekerasan terhadap jiwa, kesehatan atau

kesejahteraan jasmani dan rohani adalah dilarang seperti pembunuhan, penyiksaan jasmani atau rohani, hukuman badan, pengudungan, perkosaan dan hukuman kolektif. Namun kenyataan di lapangan menunjukan bahwa tentara AS menyebabkan beberapa tawanan meninggal karena begitu beratnya penyiksaan yang dilakukan, memperkosa tawanan perang, baik pria maupun wanita, dan menerapkan metode interogasi yang selain menyiksa jasmani para tawanan, juga kejiwaan mereka untuk mendapatkan keterangan.29

Pelanggaran terhadap Pasal 75 lainnya, yaitu ayat (3) yang menyebutkan bahwa seseorang yang ditangkap, ditahan atau diasingkan karena tindakan-tindakan yang berhubungan dengan sengketa bersenjata harus diberitahu dengan segera, di dalam bahasa yang ia mengerti, tentang alasan-alasannya 29 JCRC Report, op. cit

(27)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1337 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

mengapa telah diambil tindakan terhadapnya juga dilakukan oleh tentara AS. Para tawanan Irak yang ditahan di penjara Abu Ghraib telah ditahan tanpa alasan atau tuduhan yang jelas terhadapnya. Selain itu, terkadang tentara AS juga tidak menjelaskan dengan bahasa yang dimengerti sehingga seringkali para tawanan merasa kebingungan.

Terhadap wanita yang kemerdekaannya telah dibatasi karena alasan-alasan yang berhubungan dengan sengketa bersenjata harus dipisahkan tempat penahanannya dari tempat penahanan pria menurut Pasal 75 ayat (5), namun dalam prakteknya, tempat penahanan antara tawanan pria dengan tawanan wanita tidak dipisahkan.30

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa AS melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan norma-norma mengenai pelanggaran berat yang terdapat dalam Pasal 75, khususnya ayat (1), (2), (3) dan (5) Protokol Tambahan I 1977.

3. Menurut Konvensi Anti Penyiksaan dan Tindakan Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, Perlakuan atau Penghukuman yang Merendahkan Tahun

1985

Penyiksaan merupakan suatu pelanggaran atas hak asasi manusia yang sangat serius dan karenanya dikutuk dengan tegas oleh hukum internasional. Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.

Untuk menjamin perlindungan yang memadai bagi semua orang terhadap perlakuan buruk seperti itu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) selama bertahun-tahun telah berusaha 30 ICRC Report, Section 1.6: Treatment d uring Arrest, ibid.

(28)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1338

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) untuk mengembangkan standar-standar yang dapat diterap­ kan secara universal. Konvensi Anti Penyiksaan dan Tindakan Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, Perlakuan atau Peng­ hukuman yang Merendahkan ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1984. Konvensi ini terdiri dari 33 pasal yang mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987. Pada Pasal 1 ayat (1) Konvensi ini dijelaskan mengenai definisi dari penyiksaan tersebut.

Konvensi ini tidak hanya menyatakan bahwa Negara Peserta harus melarang penyiksaan dalam perundang­ undangan nasionalnya, tetapi juga secara tegas menentukan bahwa perintah atasan atau keadaan-keadaan khusus tidak dapat dijadikan pembenaran bagi dilakukannya penyiksaan.

Unsur yang kedua adalah bahwa konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang memperkenankan dilakukannya penyelidikan internasional, jika terdapat informasi yang dapat dipercaya yang menunjukkan telah dilakukannya penyiksaan secara sistematis dalam wilayah Negara Peserta konvensi.

Pasal 2 ayat (2) konvensi ini menyebutkan tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri maupun keadaan darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan . Selain itu isi dari ayat (3), menyatakan bahwa perintah dari atasan atau dari penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.

Berdasarkan kedua ayat dari Pasal 2 tersebut jelas sekali bahwa para tentara Amerika Serikat di penjara Abu Ghraib tela� melanggar/mengabaikan isi dari pasal ini, dan atas perintah atau sepengetahuan dari atasan mereka. Karena para tentara AS yang melakukan penyiksaan dan penyiksaan terhadap tawanan perang justru mendapat persetujuan dan atas seizin dan sepengetahuan komandan mereka.

(29)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1339 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

Bahkan perintah metode interogasi yang disertai dengan penyiksaan tersebut dikomandoi oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, George W. Bush. Bush menyalahgunakan dan memanfaatkan CIA dengan memberi dinas rahasia tersebut peran sebagai sipir penjara dan penyiksa, melalui perintah­ perintah eksekutif yang masih dirahasiakan, yang didasari opini-opini dari Departemen Kehakiman yang masih merupa­ kan rahasia.31

Para perwira CIA yang ikut menginterogasi mendapat wewenang atas nama Presiden Amerika Serikat untuk menciptakan rasa sakit dan penderitaan pada para tawanan, bahkan sampai pada titik kematian. Salah satu metode interogasi yang digunakan oleh AS yang terkenal adalah

waterboarding. 32

Dan berdasarkan pada Pasal 1 1 konvensi ini, Pemerintah Amerika Serikat telah lalai dalam melakukan pengawasan secara sistematis mengenai peraturan-peraturan tentang interogasi dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan.

Para tentara Amerika Serikat di penjara Abu Ghraib dalam melakukan interogasi bertindak di luar batas perikemanusiaan, mereka menginterogasi para tawanan dengan metode stress and duress atau dengan tekanan dan paksaan sesuai dengan perintah dari atasannya untuk mendapatkan informasi penting. Metode-metode interogasi yang digunakan oleh tentara AS antara lain dengan mencegah tawanan perang u ntuk tidur selama berhari-hari, dipaksa berdiri berjam-jam,

31 Tim Weiner, Membongkar Kegaga/an CIA, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama), 2008, hal. 650.

32 Ibid.; lihat juga Taguba's Report on Prisoners Abuse at Abu Ghraib, op.cit, p. 17 & 19.

(30)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1340

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) dibombardir dengan sinar lampu sangat terang dan suara­ suara keras sehingga mengakibatkan kekacauan indra tubuh akibat rangsangan yg berlebih, gangguan tidur dan kon­ sentrasi, menelanjangi tawanan supaya ia merasa malu luar biasa, mengguyur tawanan dengan air dingin, dikurung di ruangan sempit dan bersuhu tinggi, mengikat tubuh erat-erat tersangka pada sebuah papan atau meja dengan posisi kaki lebih tinggi daripada kepala, lalu matanya ditutup, kemudian wajah tersangka disiram dengan air berulang-kali dengan teknik tertentu. Secara psikolog tersangka akan merasa dirinya tenggelam dan timbul reaksi tersedak karena air yg diguyurkan ke wajahnya itu dan lain sebagainya yang kesemuanya itu diajarkan oleh SERE.33

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa AS jelas terbukti melanggar aturan dalam Pasal 2 dan Pasal 1 1

CAT.

F. Pemenuhan Unsur-unsur Tindak Pidana Pelang­

garan Berat ( Grave Breaches) dan Kejahatan Perang ( War Crimes) terhadap Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib

1. Menurut Konvensi lenewa III

Yang dimaksud dengan pelanggaran berat dalam Konvensi Jenewa III adalah perbuatan yang tercantum dalam Pasal 130. Di dalam bagian ini penulis akan mencocokkan jenis perbuatan yang tercantum di dalam Pasal 130 tersebut dengan kenyataan di lapangan yang dilakukan oleh tentara AS terhadap tawanan perang di penjara Abu Ghraib.

3 3 SERE adalah program pelatihan militer pasukan Amerika Serikat ( US Military

Training Program - Survival, Evasion, Resistance, Escape).

(31)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1 341 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

a . Pembunuhan Disengaja ( Wilful Killing)

Pembunuhan disengaja ini dilakukan dengan sengaja dan niat J.J_ntuk menyebabkan kematian. Seperti yang tentara AS lakukan terhadap tawanan perang Abu Ghraib dengan menarik tangan korban kebelakang dan digantung dengan seutas tali yang melekat pada pergelangan tangannya. Selain itu juga memasukkan tawanan ke dalam kantung yang diisi dengan es batu dan dibiarkan sehari semalam di kamar mandi.34

b. Penyiksaan ( Torture)

Penyiksaan di sini khususnya merujuk pada penderitaan seseorang agar dari orang itu atau dari orang lain akan diperoleh pengakuan atau informasi. Penyiksaan terhadap tawanan perang seperti dimaksud di sini dilakukan oleh tentara AS melalui metode interogasi mereka yang kejam. Seperti metode sleep deprivation, mencegah tawanan untuk tidur selama beberapa hari. Setelah beberapa hari tawanan akhirnya diperbolehkan tidur tetapi segera dibangunkan kembali. Metode ini dapat menimbulkan kegilaan sementara. Metode sensory deprivation menempatkan tersangka di semacam tabung yang mengisolasi total semua rangsangan dari luar. Metode stress position, di mana tawanan dipaksa berdiri selama berjam-jam; Metode sensory bombardment, di mana tawanan dibombardir dengan sinar atau cahaya yang sangat terang dan musik yang dipasang sangat kencang; Metode extreme cold, di mana tawanan secara rutin tubuhnya diguyur air dingin dan dibiarkan berada di dalam atau di luar ruangan yang ju_ga bersuhu rendah; Metode phobias, di mana 3 4 "The Crucifixion of Manadel Al-Jamadi", (On-line), tersedia di http://civilliberty.

about.com/b/2007/01/12/the-crucifixion-of-manadel-al-jamadi.htm; lihat pula "A Background of Abu Ghraib", (On-line), tersedia di http://www.cbc.ca/fifth/ badapples/historv.html

(32)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 1342 tawanan akan digeluti perasaan takut luar biasa. Misalnya ia takut dengan laba-laba, maka selama proses interogasi, ia akan ditakuti dengan laba-laba; Metode water boarding, di mana dilakukan dengan mengikat tubuh erat-erat tersangka pada sebuah papan atau meja dengan posisi kaki lebih tinggi daripada kepala, lalu matanya ditutup. Kemudian wajah tersangka disirami dengan air berulangkali dengan teknik tertentu. Secara psikologis tersangka akan merasa dirinya tenggelam dan timbul reaksi tersedak karena air yg diguyurkan ke wajahnya itu; Metode forced nudity, dilakukan dengan menelanjangi tawanan di depan tawanan yang lain dan membiarkannya tetap telanjang dalam jangka waktu yang lama. Akibatnya tersangka akan merasa malu luar biasa; Metode sexual humiliation, di mana tawanan dipaksa melakukan seks dengan sesama jenis. 35

c. Perlakuan Tak Berperikemanusiaan (Inhuman Treatment)

Perlakuan ini meliputi penyerangan integritas atau kesehatan fisik. Tujuan dari Konvensi ini sudah tentu memberikan kepada para tawanan perang yang berada dalam tangan musuh suatu perlindungan yang akan menjaga harga diri mereka sebagai manusia dan mencegah agar mereka tidak dijatuhkan ke tingkat binatang. Ukuran-ukuran tertentu, misalnya yang mungkin dapat memutuskan secara mutlak tawanan perang dengan dunia luar dan khususnya dengan keluarga mereka, atau yang dapat menyebabkan Iuka hebat pada harga diri mereka sebagai manusia, harus dipertimbang­ kan sebagai perlakuan kejam di luar kemanusiaan.

Perlakuan tak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh tentara AS terhadap tawanan perang Irak di Penjara Abu Ghraib adalah mengencingi tawanan perang, melumuri tubuh mereka dengan kotoran manusia, menempatkan tawanan

35 Taguba's Report on Prisoners Abuse at Abu Ghraib, ibid., p. 19.

(33)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1 343 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

dalam sel beton sempit tanpa cahaya matahari selama berjam-jam penuangan cairan fosfor juga kerap dilakukan, menutup wajah tawanan dengan kain, menaruhnya di atas kardus dengan tubuhnya dililit dan dihubungkan dengan kawat listrik dan ditakut-takuti apabila ia terjatuh dari kardus tersebut, maka ia akan tesengat listrik. Terkadang para tentara AS tersebut memukuli tawanan dengan menggunakan kursi hingga tawanan tersebut pingsan atau membakar tawanan dengan api, menyuruh tawanan untuk mengambil, memakan makanan dari dalam lubang toilet, mengikat kaki atau kemaluan para tawanan dengan tali dan menyeret mereka di lantai seperti binatang, melarang para tawanan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaannya dan terkadang menjahit Iuka tawanan tanpa memperhatikan prosedur yang benar. 36

Selain itu tentara AS kerap kali memperkosa tawanan perang, baik pria maupun wanita, memaksa tawanan pria melakukan masturbasi, oral seks terhadap sesama tawanan · pria, bahkan menyodomi tawanan dengan menggunakan gagang sapu, neon, tongkat ataupun pistol.37

d. Percobaan-percobaan Biologis (Biological Experiments) Percobaan biologis yang dilakukan tentara AS terhadap tawanan perang Irak di penjara Abu Ghraib adalah dengan mencuri anggota tubuh dari tawanan untuk digunakan dalam operasi medis bagi tentara AS yang terluka dalam perang. Anggota tubuh yang diambil itu antara lain adalah mata,

lengan, kaki atau ginjal. 38

36 Supra note 20-35.

37 Taguba's Report on Prisoners Abuse at Abu Ghraib, op.cit, 17.

38 "The Dirty War: Torture and mutilation used on Iraqi 'insurgents'", foe.cit. JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

(34)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

3

(Studi Kasus tentang Tawanan·Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 1 44

e. Menyebabkan dengan Sengaja Penderitaan Besar ( Wilfully Causing Great Suffering)

Penderitaan besar yang dimaksud di sini adalah yang mengakibatkan korban tidak mampu bekerja karena kriteria keseriusan yang dialaminya dalam waktu panjang. Penderita­ an besar yang dialami para tawanan perang Abu Ghraib misalnya adalah cacat permanen karena bagian tubuh mereka telah diambil tanpa sepersetujuan tawanan perang yang bersangkutan, seperti diambil matanya, kaki, tangan atau ginjal mereka. Terdapat juga tawanan perang yang mengalami gagal ginjal karena kerap kali mendapat siksaan yang begitu berat dari tentara AS.39

f. Menyebabkan Luka Berat atas Sadan atau Kesehatan (Serious Injury to Body or Health)

Perlakuan yang menyebabkan Iuka berat atas badan atau kesehatan yang dilakukan oleh tentara AS terhadap tawanan perang di penjara Abu Ghraib adalah merujuk pada penderitaan yang ditimbulkan sebagai hukuman, untuk balas dendam atau untuk beberapa motif mungkin di luar sadisme, sebagai bagian dari penderitaan yang menyebabkan penyiksaan atau eksperimen biologis. Konvensi tidak secara khusus menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah penderita­ an fisik, atau yang secara sah tetap meliputi juga penderitaan moral. Perlakuan tersebut antara lain adalah penderitaan moral para tawanan perang wanita yang diperkosa oleh tentara AS, penderitaan moral tawanan perang pria yang juga diperkosa dan disodomi dengan menggunakan alat. Hal tersebut di atas akan menyebabkan trauma pada kejiwaan para tawanan.40

39 Ibid.

40 Taguba's Report on Prisoners Abuse at Abu Ghraib, foe.cit.

(35)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1345 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

Mengingat sifat dari Pasal 130 Konvensi ini, yaitu bersifat fakultatif, maka berdasarkan analisis di atas, dapat disimpul­ kan bahwa AS sebagai Negara Penahan telah melanggar isi dari Pasal 130 dan yang berarti Amerika Serikat telah melakukan pelanggaran berat (grave breaches) terhadap tawanan perang Irak di Penjara Abu Ghraib karena telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana dari pelanggaran berat itu sendiri.

2. Menurut Protokol Tambahan I 1977

Yang termasuk pelanggaran berat dalam Protokol I 1977 diatur di dalam Pasal 85. Ketentuan-ketentuan Konvensi tentang penindakan terhadap pelanggaran dan pelanggaran berat, yang ditambah dengan isi Pasal 85 ini, akan berlaku terhadap pelanggaran-pelanggaran berat Protokol ini.

Berdasarkan isi dari Pasal 85 Protokol Tambahan I 1977 ini, ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh tentara AS terhadap pasal ini. Pasal 85 ayat (3), menyebutkan bahwa :

"Selain daripada pelanggaran berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 1, tindakan-tindakan di bawah ini akan dianggap sebagai pelanggaran berat dalam Protokol 1rn, apabila dilakukan dengan sengaja, bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ber­ kaitan dengan Protokol ini, dan yang mengakibatkan kematian atau Iuka-Iuka parah pada badan atau kesehatan."

Sesuai isi pasal tersebut, diatur bahwa pelanggaran terhadap Pasal 11 Protokol ini juga termasuk sebagai pelanggaran berat. Dan berdasarkan analisis dalam sub-bab di atas, tentara AS terbukti melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan norma-norma mengenai pelanggaran JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

(36)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1346

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib)

berat, khususnya terhadap isi dari Pasal 1 1 ayat (2) Protokol Tambahan 1977, yaitu :

"Terutama adalah dilarang melaksanakan terhadap orang-orang tersebut di atas, sekalipun dengan persetujuan mereka :

(a) Mutilasi anggota tubuh;

(b) Percobaan-percobaan kesehatan ataupun ilmiah; (c) Memindahkan jaringan syaraf tubuh atau organ­

organ tubuh untuk pencangkokan kecuali apabila tindakan-tindakan itu dapat dibenarkan sesuai dengan keadaan sebagaimana diatur dalam ayat (1 )."

Karena tentara AS terbukti telah melakukan semua tindakan yang dilarang · dalam isi pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa AS memenuhi unsur-unsur tindak pidana pelanggaran berat (grave breaches) dan berdasarkan Protokol Tambahan I 1977 ini pelanggaran berat tersebut harus juga disebut sebagai kejahatan perang ( war crimes).

3.

Pemenuhan Unsur-unsur Kejahatan Perang { War

Crimes} menurut Statuta Roma 1998

Dalam bagian ini penulis akan mencocokkan jenis perbuat­ an yang tercantum di dalam Pasal 8 Statuta Roma 1998 yang mengatur tentang kejahatan perang dengan kenyataan di lapangan yang dilakukan oleh tentara AS terhadap tawanan perang di penjara Abu Ghraib.

Tentara AS telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 8 ayat (2)(a) nomor (i) yaitu melakukan pembunuhan sengaja, (ii) penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi termasuk percobaan-percobaan biologi; (iii) perbuatan yang dikehendaki untuk menimbulkan penderitaan yang dalam, atau Iuka dalam JURNAL HUKU M HUMANITER Vol. 4. No. 7

(37)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

1347 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) maupun kesehatan yang serius dan (iv) perusakan secara luas dan perampasan terhadap milik seseorang, tidak berdasarkan keperluan militer dan dilakukan secara melawan hukum dan serampangan.

Selama ditawan di penjara Abu Ghraib terdapat beberapa tawanan perang yang dibunuh dengan cara disiksa terlebih dahulu, salah satunya adalah tawanan Manadel Al-Jamadi yang diikat pergelangan tangannya dengan seutas tali hingga ia meninggal dan terdapat tawanan perang yang dibunuh dengan cara dimasukkan ke dalam kantong berisi es dan didiamkan selama sehari semalam di kamar mandi.41

Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi juga kerap dilakukan oleh tentara AS antara lain dengan menakut-nakuti tawanan dengan anjing saat interogasi agar mau memberikan keterangan dan bahkan anjing itu kadang-kadang benar­ benar menggigit, menyetel musik sekencang-kencangnya agar tawanan tidak bisa tidur, mengencingi tawanan, melumuri tubuh tawanan dengan tinja atau kotoran manusia, mengunci tawanan dalam kotak-kotak, penuangan cairan fosfor juga kerap dilakukan, menutup wajah tawanan dengan kain, menaruhnya di atas kardus, dengan tubuhnya dililit dan dihubungkan dengan kawat listrik, dan ditakut-takuti apabila ia terjatuh dari kardus tersebut, ia akan tesengat listrik, menyuruh tawanan untuk mengambil dan memakan makanan dari dalam lubang toilet, mengikat kaki atau kemaluan para tawanan dengan tali dan menyeret mereka di lantai seperti binatang, tentara AS melompat di kaki seorang tawanan (di mana kakinya itu sudah terluka oleh tembakan) dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga tidak bisa disembuhkan dengan baik.42

41 Supra note 34; lihat juga Taguba's Report on Prisoners Abuse at Abu Ghraib, ibid.

42 Supra note 20-41.

(38)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

13 B

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 4 Mengenai perbuatan yang dikehendaki untuk menimbul­ kan penderitaan yang dalam atau Iuka dalam, maupun kesehatan yang serius juga dilakukan oleh tentara AS dengan cara memutilasi bagian tubuh tawanan, mengambil mata, lengan, kaki serta ginjal para tawanan yang kesemuanya itu menimbulkan penderitaan yang dalam dan mengganggu kesehatan tawanan karena perbuatan tersebut menimbulkan cacat permanen dan ada pula tawanan yang kerap kali dipukuli hingga ia menderita gagal ginjal. Perbuatan­ perbuatan tersebut tentunya menimbulkan penderitaan yang dalam terhadap diri tawanan dan menimbulan gangguan kesehatan yang serius.43

Tentara AS juga melakukan perampasan barang milik tawanan perang yang tidak berkenaan dengan kepentingan

militer seperti alat-alat untuk beribadah.

Selain melakukan pelanggaran terhadap isi dari Pasal 8 ayat (2)(a) tersebut, tentara AS juga melanggar ketentuan isi dari Pasal 8 ayat (2)(b) nomor (vi) membunuh atau melukai kombatan yang, sudah mengangkat tangan, atau sudah tidak lagi melakukan perlawanan, sudah menyerah; (x) mem­ pengaruhi orang yang dalam kekuasaan pihak lawan untuk pengudungan (mutilation) fisik, atau untuk pengobatan, atau untuk percobaan keilmuan apapun yang tidak dengan dalih medis, pengobatan gigi, atau pengobatan rumah sakit terhadap seseorang, yang dilakukan diluar kepentingan orang tersebut, dan menyebabkan kematian atau bahaya serius terhadap kesehatan orang itu, membunuh, atau melukai individu dari Negara musuh yang atau tentara yang bermusuhan; (xxi) melakukan penghinaan terhadap martabat seseorang, khususnya penghinaan dan perlakuan yang merendahkan; dan (xxiii) melakukan pemerkosaan, per­ budakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

43 Supra note 38.

(39)

1 3 g Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

. 4 (Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) kehamilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat ke-2 (f), pemaksaan kemandulan, atau bentuk-bentuk perbuatan pelanggaran seksual lainnya, yang juga diatur dalam Konvensi Jenewa.

Kombatan Irak yang sudah tidak melakukan perlawanan lagi karena dirinya tertawan, tetap saja dilukai dan bahkan di antara mereka ada yang dibunuh oleh tentara AS. Tentara AS melukai tubuh para tawanan dengan beragam cara, seperti memukuli tawanan dengan kursi hingga pingsan, membakar tawanan dengan api, melukai kaki seorang tawanan dengan cara menginjak-injaknya, menghadirkan anjing saat interogasi dan anjing tersebut benar-benar menggigit, dan masih banyak lagi cara yang dilakukan untuk melukai diri para tawanan.44 Adapun di antara tawanan perang tersebut yang dibunuh, misalnya tawanan yang bernama Manadel Al-Jamadi, yang digantung pergelangan tangannya dengan seutas tali dan tawanan lain yang mati karena ditaruh di dalam kantung berisikan es dan dibiarkan selama sehari semalam di dalam kamar mandi. 45

Mengenai hal pengudungan atau mutilasi fisik, atau hal­ hal yang menyebabkan masalah kesehatan yang serius juga dilakukan terhadap tawanan perang. Beberapa tawanan perang ada yang dimutilasi tangannya, diambil organ tubuhnya, seperti mata, lengan, kaki, bahkan ginjal, yang kesemuanya itu menyebabkan masalah kesehatan yang serius karena dapat menimbulkan cacat permanen. Selain itu banyak tawanan perang yang 'terluka, dan lukanya tersebut dijahit dengan tanpa memperhatikan prosedur kedokteran yang seharusnya.46

44 Supra note 42.

45 "The Crucification of Manadel Al Jamadi", foe. cit 46 Supra note 43.

(40)

Pelanggaran Berat Hukum Humaniter

350

(Studi Kasus tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) 1 Selain melakukan penyiksaan fisik, tentara AS juga melakukan penghinaan terhadap martabat tawanan perang dan juga perlakuan yang merendahkan. Penghinaan dan perlakuan merendahkan tersebut antara lain adalah mengencingi tawanan perang, melumuri tubuh tawanan perang dengan tinja manusia, menyuruh tawanan untuk mengambil dan memakan makanan dari dalam lubang toilet, mengikat kaki atau kemaluan para tawanan dengan tali dan menyeret mereka di lantai seperti binatang, menyuruh tawanan untuk menggonggong seperti anjing, melakukan penodaan agama dan sebagainya. 47

Tindakan pemerkosaan terhadap diri tawanan perang juga merupakan salah satu unsur perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Di penjara Abu Ghraib, banyak tawanan perang wanita dan bahkan pria yang diperkosa oleh tentara AS. Seorang tawanan perang wanita yang baru berumur 14 tahun berulang kali diperkosa bahkan terdapat beberapa tawanan wanita yang hamil akibat perkosaan tersebut serta terdapat bukti foto yang menunjuk­ kan kekerasan seksual pada tawanan dengan benda-benda, termasuk pentungan, kawat dan tabung pendar. Selain memperkosa tawanan wanita, tentara AS juga melakukan pelecehan terhadap tawanan pria seperti memaksa tawanan untuk melakukan masturbasi, melakukan oral seks terhadap tawanan pria lainnya, menyodomi tawanan dengan menggunakan gagang sapu, neon, tongkat ataupun pistol.48

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa tentara AS melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan norma-norma mengenai kejahatan perang karena telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana kejahatan perang

47 Supra note 42. 48 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat manfaat tambahan dari informasi yang disampaikan melalui tatap muka, hendaknya dilakukan upaya-upaya yang lebih besar untuk memberikan informasi kepada para

Terdapatnya perbedaan nilai ripitabilitas yang didapatkan pada kadar lemak susu sapi perah FH dari hasil penelitian ini dengan nilai ripitabilitas hasil penelitian lain

indeks panen yakni perbandingan berat kering produk ekonomis dengan produk biologis..  Semakin banyak bagian tanaman

Sambungkan adaptor daya ke port Thunderbolt 4 (USB Tipe-C) dengan Power Delivery (Sumber daya utama) pada sisi kiri komputer2. Lalu, tekan tombol daya pada komputer Anda

PEMBERIAN KOMPETENSI TAMBAHAN DAN SERTIFIKASI KOMPETENSI BAGI LULUSAN DAN CALON LULUSAN SMK, POLITEKNIK, DAN/ATAU PERGURUAN TINGGI BIDANG KONSTRUKSI.. SURAT EDARAN DIRJEN

Jalur kereta api Kunming-Singapura dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi (Djankov, 2016). Negara- negara Asia Tenggara pasalnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang

Pabean yang melakukan penelitian dokumen PPFTZ-01 pemasukan memberikan catatan pada dokumen PPFTZ-01 pemasukan dan/atau SKP yang menerangkan bahwa SKA Form AI tidak

Tapi dilain sisi, penerapan sanksi pidana berdasarkan penelitian penulis, pelaku pelanggaran kelaikan kendaraan angkutan umum di Kabupaten Donggala yang dijatuhkan