• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Analisis dan Pembahasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab IV Analisis dan Pembahasan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV Analisis dan Pembahasan

IV.1 Hasil Pra Pengolahan Citra Ikonos

Kegiatan yang dilakukan adalah pengecekan koreksi radiometrik, pemotongan citra (cropping) dan penajaman citra. Hasil pengecekan koreksi radiometrik menunjukkan bahwa nilai minimum citra 0 dan maksimumnya 255 seperti ditunjukkan histogram dari Gambar IV.1 berikut ini ;

Gambar IV. 1. Histogram band citra

Pemotongan citra dilakukan untuk memperoleh citra sesuai dengan daerah penelitian yang dijadikan kajian. Hasil pemotongan citra (cropping) seperti pada gambar IV.2 berikut ini :

Gambar IV.2. Citra hasil pemotongan (cropping)

(2)

IV.2 Hasil Klasifikasi Citra Ikonos

Hasil klasifikasi citra Ikonos seperti tampak pada gambar dibawah ini ;

Gambar IV.3 Hasil klasifikasi areal perkebunan kelapa sawit

IV.3 Analisis Data Hasil Klasifikasi

Analisis yang dilakukan adalah data luasan tiap kelas hasil klasifikasi dibandingkan dengan data luasan peta WP dan interpretasi visual menurut tutupan lahan maupun penggunaan lahan.

IV.3.1 Analisis Luas Areal Kebun Hasil Klasifikasi

Perbandingan akumulasi luas areal kebun hasil klasifikasi dengan peta WP seperti pada Tabel IV.1 ;

(3)

Tabel IV.1 Perbandingan akumulasi luas areal kebun menurut Peta WP dan hasil klasifikasi

Areal Kebun Peta WP (m²) Hasil Klasifikasi Citra (m²) RMSe (m²) Penjumlahan luas blok sampel 59.532.813 59.526.986 412,97

Selisih beda luas blok sampel sebesar 5.827 m² dengan RMSe 412,97 m², memenuhi ketentuan batas toleransi beda luas 10%. Toleransi yang diperbolehkan menurut ketentuan adalah 10% X 59.532.813 = 5.953.281 m², dimana diasumsikan laporan WP merupakan data SISMIOP dan hasil penjumlahan menurut citra adalah peta digital. Toleransi tersebut sebenarnya sangat besar apabila diterapkan pada objek pajak sektor perkebunan yang rata-rata memiliki areal kebun sangat luas.

IV.3.2 Analisis Beda Luas Kelas Klasifikasi Berdasarkan Tutupan Lahan (Land

Cover)

Hasil klasifikasi berdasarkan tutupan lahan (land cover) menghasilkan luas masing-masing kelas klasifikasi seperti pada tabel IV.2 berikut ini.

Tabel IV.2 Luas kelas klasifikasi berdasarkan tutupan lahan

Nomor Kelas Menurut Tutupan Lahan (Land Cover) Luas (m²) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Areal Kebun Klasifikasi A Areal Kebun Klasifikasi B Areal Kebun Klasifikasi C Areal Kebun Klasifikasi D Areal Kebun Klasifikasi E Areal Kebun Klasifikasi F Areal Kebun Klasifikasi G Awan Batas Blok 3.437.365 14.284.433 12.203.092 22.206.046 1.600.464 1.707.111 2.843.844 379.361 802.619

Luas Areal Kebun 59.464.335

10. Bangunan 62.651

(4)

Apabila dibandingkan dengan luasan menurut peta WP maka hasilnya seperti pada tabel berikut :

Tabel IV.3 Perbandingan luas kelas hasil klasifikasi dengan luas menurut peta WP berdasarkan tutupan lahan

No.

Peta WP Hasil klasifikasi (m²) % 1. Areal Kebun Klasifikasi A 4,144,402 3,437,365 707,037 17.06 2. Areal Kebun Klasifikasi B 10,116,053 14,284,433 4,168,380 41.21 3. Areal Kebun Klasifikasi C 13,680,346 12,203,092 1,477,254 10.80 4. Areal Kebun Klasifikasi D 29,443,115 22,206,046 7,237,069 24.58 5. Areal Kebun Klasifikasi E 356,800 1,600,464 1,243,664 348.56 6. Areal Kebun Klasifikasi F 1,165,215 1,707,111 541,896 46.51 7. Areal Kebun Klasifikasi G 626,882 2,843,844 2,216,962 353.65

Luas Areal Kebun 59,532,813 58,282,355 1,250,458

8. Bangunan 23,157 62,651 39,482 170.5

Luas berdasarkan Luas (m²) Selisih

Tutupan Lahan (Land Cover )

Terdapat perbedaan luas yang sangat besar antara peta WP dengan hasil klasifikasi, dengan demikian selisih luas antar kelas yang diperoleh melebihi batas toleransi 10%.

IV.3.3 Analisis Beda Luas Kelas Klasifikasi Berdasarkan Penggunaan Lahan

(Land Use)

Berdasarkan penggunaan lahan apabila dibandingkan antara hasil klasifikasi dengan peta WP maka menunjukkan hasil akumulasi sebagaimana disajikan pada Tabel IV.4 :

Tabel IV.4 Perbandingan penggunaan lahan (land use) yang sesuai/tidak sesuai antara peta WP dengan hasil klasifikasi

No Penggunaan Lahan Jumlah

(Land Use ) 1 0 1 0 1 Klas A 11 59 70 15.71 84.29 2 Klas B 121 65 186 65.05 34.95 3 Klas C 40 157 197 20.30 79.70 4 Klas D 288 70 358 80.45 19.55 5 Klas E 4 1 5 80.00 20.00 6 Klas F 6 1 7 85.71 14.29 7 Klas G 0 2 2 0.00 100.00 Notasi %

(5)

Selanjutnya apabila hasil klasifikasi dibandingkan dengan interpreatasi visual menurut penggunaan lahannya maka hasilnya seperti pada tabel berikut ;

Tabel IV.5 Perbandingan penggunaan lahan (land use) yang sesuai/tidak sesuai antara interpretasi visual dengan hasil klasifikasi

No

Penggunaan Lahan

Jumlah

(Land Use )

1

0

1

0

1

Klas A

14

83

97

14.43

85.57

2

Klas B

149

87

236

63.14

36.86

3

Klas C

72

241

313

23.00

77.00

4

Klas D

403

200

603

66.83

33.17

5

Klas E

4

4

8

50.00

50.00

6

Klas F

12

3

15

80.00

20.00

7

Klas G

0

9

9

0.00

100.00

Notasi

%

Tabel IV.4 dan IV.5 menunjukkan bahwa hasil klasifikasi citra lebih mendekati kesesuaian dengan peta WP untuk kelas tanaman kelapa sawit (kelas A, B, D, E, dan F) dibandingkan dengan interpretasi visual walaupun dengan selisih tidak besar. Namun demikian luasan hasil klasifikasi masing-masing kelas tidak memenuhi batas toleransi seperti yang disyaratkan KEP-533/PJ/2000 yaitu sebesar 10%.

IV.4 Analisis Uji Ketelitian Klasifikasi

Analisis dilakukan dengan menggunakan rumus II.1 dan II.2. Hasil uji ketelitian klasifikasi sebagaimana pada Tabel IV.6 berikut :

(6)

Tabel IV.6 Uji ketelitian klasifikasi

Hasil

Jumlah

Omisi

MA

Uji

A

B

C

D

E

F

G

%

A

907,065

593,561

841,757

577,800

24,231

504,569

696,546

4,145,529

3,238,464

21.62

B

44,503

7,419,746

2,460,111

176,805

-

18,684

-

10,119,849

2,700,103

33.09

C

4,733

8,560,731

3,101,981

1,989,765

-

-

12,634

13,669,844

10,567,863

16.85

D

-

3,134,617

474,747

25,833,563

-

-

-

29,442,927

3,609,364

80.26

E

-

15,855

-

-

340,992

-

-

356,847

15,855

89.48

F

-

-

332,661

-

-

832,592

-

1,165,253

332,661

49.31

G

-

-

626,737

-

-

-

-

626,737

626,737

-Jumlah 956,301

19,724,510

7,837,994

28,577,933

365,223

1,355,845

709,180

59,526,986

21,091,047

Komisi

49,236

12,304,764

4,736,013

2,744,370

24,231

523,253

709,180

21,091,047

Hasil Interpretasi Digital

Ketelitian seluruh klasifikasi (KH) adalah =

X 100% = 64,57%

Ketelitian terbaik pada interpretasi kelas tanaman sawit usia 4 tahun keatas (kelas D), dan kelas E. Sementara ketelitian terendah pada kelas G (tidak terklasifikasikan (0%) dan kelas C (16,85%).

Hasil tersebut berarti klasfikasi digital akan lebih akurat apabila digunakan pada tanaman sawit yang telah berumur 4 tahun. Sementara akan buruk jika digunakan untuk tanaman sawit dibawah umur tersebut.

Kesesuaian hasil interpretasi digital dengan peta Wajib Pajak tiap-tiap kelas dapat diuraikan sebagai berikut :

(7)

 Interpretasi digital terhadap Kelas A

K

Gambar IV.4 Overlay Kelas A menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital

Hasil interpretasi digital terhadap kelas A (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.4 menghasilkan ketelitian 15,71%. Irisan antar kelas A di peta WP dengan kelas A menurut interpretasi digital terdapat pada 11 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas B : 20%, Kelas C : 27,14%, Kelas D : 10%, Kelas E : 4,29%, Kelas F : 12,86%, dan Kelas G : 10%. Dengan demikian citra Ikonos kurang baik dalam mengidentifikasi areal kelas A.

Kelas A

Kelas A menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas :

Kelas B

Kelas E Kelas D

Kelas C

(8)

 Interpretasi digital terhadap Kelas B

Gambar IV. Hasil overlay peta WP dengan hasil interpretasi digital kelas B

Gambar IV.5 Overlay Kelas B menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital

Hasil interpretasi digital terhadap kelas B (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.5 menunjukkan ketelitian 65,05%. Irisan antar kelas B di peta WP dengan kelas B menurut interpretasi digital terdapat pada 121 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas A : 1,08%, Kelas C : 30,65%, Kelas D : 2,15%, dan Kelas F : 1,08%. Bila ditinjau dari luasannya maka luas menurut hasil interpretasi digital lebih luas daripada luas di peta WP. Hal ini dimungkinkan karena besarnya komisi yang masuk ke Kelas B.

Kelas A

Kelas B menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas :

Kelas B

Kelas F Kelas D

(9)

 Interpretasi digital terhadap Kelas C

Gambar IV.6 Overlay Kelas C menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital

Hasil interpretasi digital terhadap kelas C (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.6 menunjukkan ketelitian 20,30%. Irisan antar kelas C di peta WP dengan kelas C menurut interpretasi digital terdapat pada 40 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas A : 0,51%, Kelas B : 67,00%, Kelas D : 11,17%, dan Kelas G : 1,02%.

Kelas A

Kelas C menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas :

Kelas B

Kelas G Kelas D

(10)

 Interpretasi digital terhadap Kelas D

Gambar IV.7 Overlay Kelas D menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital

Hasil interpretasi digital terhadap kelas D (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.7 menunjukkan ketelitian 80,45%. Irisan antar kelas D di peta WP dengan kelas D menurut interpretasi digital terdapat pada 288 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas B : 17,32%, dan Kelas C : 2,23%. Hasil ini menunjukkan bahwa citra Ikonos cukup baik dalam mengidentifikasi areal kelas D.

Kelas B

Kelas D menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas :

Kelas D Kelas C

(11)

 Interpretasi digital terhadap Kelas E

Gambar IV.8 Overlay Kelas E menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital

Hasil interpretasi digital terhadap kelas E (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.8 menunjukkan ketelitian 80,00%. Irisan antar kelas E di peta WP dengan kelas E menurut interpretasi digital terdapat pada 4 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas B : 20,00%. Ditinjau dari luasnya, maka terdapat komisi yang cukup besar pada kelas E.

Kelas B

Kelas E menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas :

(12)

 Interpretasi digital terhadap Kelas F

Gambar IV.9 Overlay Kelas F menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital

Hasil interpretasi digital terhadap kelas F (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.9 menunjukkan ketelitian 85,71%. Irisan antar kelas F di peta WP dengan kelas F menurut interpretasi digital terdapat pada 6 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas C : 14,29%.

Kelas C

Kelas F menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas :

(13)

 Interpretasi digital terhadap Kelas G

Gambar IV.10 Overlay Kelas G menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital

Hasil interpretasi digital terhadap kelas G (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.10 menunjukkan ketelitian 0%. Hal ini dimungkinkan karena kelas G menurut peta wajib pajak berupa lahan rerumputan yang mirip dengan kelas F. Diklasifikasikan menjadi kelas C dimungkinkan karena nilai spektralnya yang lebih mendekati kelas C.

Kelas C

(14)

IV.5 Analisis Hasil Uji Statistik

Hasil analisis uji statistik seperti pada tabel IV.7 (perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran J dan K) berikut ini:

Tabel IV.7 Hasil uji t-test

Kelas Jumlah Hasil

Region t hitung t tabel Keputusan

A 6 -0.584 ± 3.182 H₀ gagal ditolak

B 24 -0.538 ± 2.069 H₀ gagal ditolak

C 53 -1.976 ± 2.007 H₀ gagal ditolak

D 86 0.089 ± 1.988 H₀ gagal ditolak

Dari hasil uji statistik menunjukkan H₀ gagal ditolak untuk semua kelas tanaman kelapa sawit, maka disimpulkan tidak ada perbedaan luas yang signifikan antara luas menurut peta WP dengan luas hasil perkalian jumlah pohon dengan rata-rata hitung luas/pohon. Untuk selisih luas sesuai batas toleransi 10%, pada semua kelas ada yang melebihi batas toleransi selisih luas per-regionnya, namun untuk akumulasi luas masih dalam batas toleransi. Hal tersebut dimungkinkan karena ;

• Untuk kelas A karena pohon kelapa sawit yang berumur 1 tahun masih mempunyai dimensi yang lebih kecil dari resolusi spasial citra sehingga agak sukar menginterpretasikan dan membedakannya dengan keadaan alam sekelilingnya.

• Lahan kosong yang cukup luas diantara tanaman sawit dimungkinkan karena tanaman yang mati atau kondisi alam.

Dengan demikian penghitungan luas dengan menggunakan rata-rata hitung luas/pohon dapat digunakan.

IV.6 Analisis Pemanfaatan NJOP Sebagai Nilai Pasar atau Nilai Wajar

Aktiva Tetap

IV.6.1 Introduksi Masalah

Keputusan Menteri Keuangan 486/KMK.03/2002, tanggal 28-11-2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan dalam pasal 4 berbunyi ;

(15)

(1) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang diakui /memperoleh ijin pemerintah.

(2) Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai tersebut ternyata tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan.

Namun pada kenyataannya tidak terdapat peraturan yang mengatur masalah pasal 4 ayat (2) diatas, sehingga tidak ada standar nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang dapat digunakan untuk mengetahui suatu aktiva tetap telah dinilai sesuai nilai pasar atau nilai wajarnya.

IV.6.2 Ketentuan Hukum dan Teori

 Agar terselenggaranya penegakkan hukum (law enforcement) menghendaki 4 syarat yaitu : (Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1987)

l. Adanya peraturan.

2. Adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu.

3. Adanya fasilitas untuk rnendukung pelaksanaan peraturan tersebut

4. Adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan itu Memperhatikan hal tersebut maka dalam penilaian kembali aktiva tetap syarat pertama tidak terpenuhi dimana tidak ada peraturan yang jelas menyangkut standar nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap yang bisa digunakan.

 Salah satu dari prinsip pemungutan pajak menurut Adam Smith (Adam

Smith’s Canons) adalah Certainty atau kepastian. Harus ada kepastian hukum

mengenai subjek, objek, dan besarnya pajak. Sehubungan hal tersebut maka tidak ada ketentuan selanjutnya yang mengatur pelaksanaan dari pasal 4 ayat (2). Tidak ada kejelasan nilai pasar atau nilai wajar bagaimana yang memenuhi kriteria tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga harus ditetapkan kembali oleh Dirjen Pajak dan nilai pasar atau nilai wajar apa yang akan ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Hal ini berhubungan dengan

(16)

kepastian besarnya PPh final atas penilaian kembali aktiva tetap. Apakah nilai pasar atau nilai wajar yang telah ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai telah mencerminkan keadaan sebenarnya sehingga pajak terutang akan sama dengan apa yang telah dihitung/diperhitungkan oleh WP, atau DJP akan menetapkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap yang baru karena merasa nilai pasar tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

 Pelimpahan wewenang dari Menteri Keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak (sesuai Pasal 4 ayat (2) ) dan Direktur Jenderal Pajak ke Kepala Kantor Wilayah (Keputusan Dirjen Pajak Nomor 519/PJ./2002 tanggal 02-12-2002) merupakan pelimpahan wewenang penetapan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap apabila ada permohonan dengan nilai yang tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

IV.6.3 Fakta / Observasi

 NJOP sebagaimana yang telah diuraikan pada bab II merupakan harga rata-rata dari suatu objek pajak atau aktiva tetap yang ditetapkan oleh DJP melalui teknik penilaian dengan menggunakan pendekatan data pasar, pendekatan biaya, dan pendekatan kapitalisasi pendapatan yang sama sebagaimana diatur dalam Standar Penilaian Indonesia (SPI).

 Sesuai dengan SE-09/PJ.6/2003 tanggal 6 Maret 2003 tentang Penerapan NJOP sama dengan Nilai Pasar disebutkan bahwa Penerapan Assesment Ratio (ASR) terhadap NJOP pada tingkat minimal 80% dari harga pasar. Dengan demikian maka NJOP yang ditetapkan minimal akan mencerminkan 80% dari harga pasar sebenarnya aktiva tetap.

 Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Gabungan Perusahaan Perkebunan Karet Indonesia (Gappindo), dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta DJP mengubah perhitungan PBB perkebunan. Tujuannya adalah agar penetapan NJOP areal perkebunan tidak naik setiap tahun karena usia tanaman dan produktivitas tanaman perkebunan semakin menurun. Sebaiknya dalam menetapkan PBB sektor perkebunan mempertimbangkan umur tanaman, tingkat produktivitas, volume produksi,

(17)

dan luas areal. Untuk itu mereka meminta pada pemerintah mengubah pola perhitungan NJOP yang dirasa kurang adil dan tidak tepat karena walaupun umur tanaman kelapa sawit sudah 25 tahun PBB yang harus dibayarkan tetap tinggi (E.L Gaol website 8 Oktober 2007).

 NJOP juga secara defacto telah digunakan oleh banyak instansi sebagai dasar keluarannya, sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut ;

Tabel IV.8 . Pemanfaatan NJOP oleh instansi pemerintah

Instansi Kepentingan Dasar Hukum

Direktorat Jenderal Pajak Dasar pengenaan PBB ; Dasar pengenaan BPHTB Dasar pengenaan PPh Final atas penghasilan dari pengalihan hak ;

Dasar pengenaan PPN Membangun Sendiri; Psl 6 UU No. 12/1985 jo UU No. 12/1994 UU No. 21/1997 jo UU No. 20/2000 UU No. 17/2000, PP No. 48/1994 jo. PP No. 79/1999 UU No. 18/2000, PP No. 143/2000 Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara

Lelang aset Negara Keppres No.21/1991

Badan Pertanahan Nasional Pungutan layanan pertanahan PP No. 46/2002 Direktorat Jenderal Anggaran Pengelola Kekayaan Pengelolaan barang/ kekayaan milik Negara

UU No. 17/2003, UU No.1/2004

Pemerintah Daerah Penyusunan neraca daerah

Penentuan ganti rugi

UUNo.33/2004, KepMendagri No. 29/2002, KepMendagri No.12/2003 Perpres No. 36/2005 Lembaga Keuangan Perbankan Lembaga Keuangan Bukan Perbankan Agunan Pinjaman

Penentuan nilai jual premi asuransi

Peraturan Bank Indonesia

No.6/19/PBI/2004

(18)

IV.6.4 Penarikan Kesimpulan

Berdasar ketentuan dan teori serta fakta yang ada maka kesimpulan yang dapat diambil adalah :

• NJOP merupakan produk internal DJP yang secara formal diberikan wewenang untuk menetapkan kembali nilai pasar apabila tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga DJP dapat memilih untuk menggunakan NJOP dalam menentukan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap dalam proses penelitian penilaian kembali aktiva tetap yang dilaksanakan DJP sendiri.

• Walaupun ada keberatan menyangkut NJOP sektor perkebunan dalam proses penghitungan menyangkut kriteria penilaian, namun NJOP merupakan satu-satunya standar nilai yang ada di Indonesia dan digunakan oleh berbagai instansi pemerintahan dalam menghitung nilai pasar aktiva tetapnya.

Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil adalah NJOP seharusnya dapat digunakan dalam proses penelitian permohonan penilaian kembali aktiva tetap dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai tersebut ternyata tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

IV.7 Penghitungan Nilai Pasar atau Nilai Wajar Aktiva Tetap

Contoh Penghitungan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap perkebunan dengan menggunakan data luasan areal kelas A s.d D hasil penghitungan pohon secara semi otomatis dan data lainnya hasil interpretasi visual menghasilkan jumlah NJOP Bumi sebesar Rp 304.564.520.785 dan NJOP Bangunan sebesar Rp 5.856.300.000. Nilai pasar tersebut merupakan nilai pasar tahun 2006 dengan NJOP & SIT berdasarkan keputusan Kakanwil DJP Jawa Barat Bagian II tahun 2006. Hasil perhitungan selengkapnya disajikan pada lampiran L.

Gambar

Gambar IV. 1. Histogram band citra
Gambar IV.3  Hasil klasifikasi areal perkebunan kelapa sawit
Tabel IV.2 Luas kelas klasifikasi berdasarkan tutupan lahan  Nomor  Kelas Menurut Tutupan Lahan
Tabel IV.4 Perbandingan penggunaan lahan (land use) yang sesuai/tidak sesuai  antara peta WP  dengan hasil klasifikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari perbandingan yang telh dilakukan, didapat kan hasil (1) jumlah variabel yang diubah pada kedua fase yaitu sebanyak 1 variabel; (2) perubahan arah kedua fase

Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat diketahui bahwa dari 20 responden 8 atau sebesar 40%, menyatakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler dalam membina potensi diri

Terima kasih, Ultimate Duo, kerana membolehkan kami menikmati kehidupan yang lebih aktif, cergas dan sihat, terutama sekali ketika mengembara ke seluruh dunia bersama. Mempunyai

Nama Ahli Waris BPS Bank Cabang No.. SYUKUR

Dikutip dari Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah dalam buku Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat (1981/1982), dilihat dari struktur bangunannya,

contingent asset (aset kontijensi) adalah aset yang mungkin timbul dari waktu lampau dan akan terjadi atau tidak akan terjadi tergantung pada kejadian yang akan terjadi pada masa

Dalam pencarian sebuah file , karakter dapat digunakan sebagai input untuk membandingkan setiap file di dalam media hard disk dan menentukan file mana yang

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah