• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya – Upaya ASEAN Dalam Menghadapi Polusi Udara Lintas Batas Negara Yang Disebabkan Oleh Kebakaran Hutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Upaya – Upaya ASEAN Dalam Menghadapi Polusi Udara Lintas Batas Negara Yang Disebabkan Oleh Kebakaran Hutan"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Alcamo, Joseph M dan Eliodoro Runca. Some Technical Dimensions of Transboundary Air Pollution dalam Transboundary Air Pollution, Edited by Cees Flinterman, Barbara Kwiatkowska, dan Johan G. Lammers. Netherlands : Martinus Nijhoff Publishers, 1986.

Atmawidjaja, Rubini. ”What to do with Forest Fire ”. International Workshop on Forest Fire Control and Suppression Aspects.

Colliard, C. A. Air Pollution Control in Europe.Council Of Europe EXP/Air. Oktober 1997.

Eagleton. Responsibility of State in International Law. New York University Press, 1928.

Gundling, Lothar. Multilateral Co – Operation of States Under the ECE Convention on Long – Range Transboundary Air Pollution. Netherlands : Martinus Nijhoff Publishers, 1986

Hardjasoemantri, Koesnadi. “Hukum Tata Lingkungan” Edisi ketujuh, Cetakan keenam belas. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2001

Kusumaatdmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung : Binacipta, 1977.

Paehlke, Robert C. Environmentalism and The Future Of Progresive Polityics. Massachusetts : Yale University Press, 1989.

Rahmadi, Takdir. Aspek – aspek Hukum Internasional Kebakaran Hutan. Jurnal Hukum Lingkungan Tahun III No. 1 Agustus 1999.

(2)

Santosa, Ahmad. Et. Al. Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Lability) di Bidang Lingkungan Hidup. Jakarta : Indonesian Center For Environmental Law (ICEL), 1997.

Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional (An introduction to Internastional Law), Jilid 2. Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja. Jakarta : Sinar Grafika, 1992.

Sughandy, Aca. ”Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Keanekaragaman Hayati”. Diskusi Nasional Kebakaran Hutan, Jakarta, 22 Oktober 1997

Wirawan, Nengah. “Bahaya Kebakaran Hutan dan Penengahannya”. Diskusi Nasional Kebakaran Hutan , Jakarta, 22 Oktober 1997.

Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan. ”Kebijaksanaan Pembukaan lahan Hutan di Bidang Pengusahaan Hutan”. Diskusi Nasional Kebakaran Hutan, Jakarta, 22 Oktober 1992

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN DAN KONVENSI

INTERNASIONAL

Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. PP No. 4 tahun 2001

ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Air Pollution. 1995

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 2002

The Convention on Long – Range Transboundary Air Pollution. 1979

ASEAN Environmental Education Plan. 2000 – 2005

(3)

WEBSITE

www. hukumonline. Com

www. kompasonline. Com

www. american. edu. HTM

www. aseansec. org

(4)

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Kusumaatdmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung : Binacipta, 1977

Rahmadi, Takdir. Aspek – aspek Hukum Internasional Kebakaran Hutan. Jurnal Hukum Lingkungan Tahun III No. 1 Agustus 1999

Riyadi, Slamet. Pencemaran Udara. Surabaya : Usaha Nasional, 1982

(5)

BAB III

PENGATURAN POLUSI UDARA LINTAS BATAS NEGARA DALAM LINGKUP HUKUM INTERNASIONAL

Berbicara mengenai sumber hukum internasional adalah tidak berbeda dengan cabang hukum internasional lainnya, sebab hukum lingkungan itu tak lain merupakan cabang khusus dari hukum umum. Sebenarnya hukum lingkungan internasional itu sendiri sudah dikenal jauh pada masa sejarah lahirnya hukum internasional. Walaupun masih terbatas untuk penerapan pada kasus – kasus tertentu, namun hal ini akan menjadi dasar pembentukan di masa depan.

Sepanjang abad 20 telah terjadi perkembangan yang meningkat dalam hukum internasional yang memfokuskan pada resolusi atas permasalahan lingkungan secara regional maupun global. Selama masa ini, prinsip – prinsip baru telah muncul yang memperhatikan tentang tanggung jawab negara untuk perlindungan lingkungan, kerjasama antar negara untuk mengatasi masalah lingkungan, dan keperluan untuk adanya suatu pendekatann secara “ekosistem” untuk menuju suatu perlindungan lingkungan.

Bersamaan dengan meningkatnya kesadaran secara global tentang adanya suatu keperluan untuk melindungi lingkungan, perkembangan – perkembangan hukum ini telah menaruh tanggung jawab negara untuk melindungi lingkungan secara lokal, regional dan global sebagai suatu prioritas dalam agenda internasional.

(6)

A. POLUSI UDARA LINTAS BATAS NEGARA DALAM LINGKUP HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

Dalam batas – batas yang wajar manusia dapat memilih kapan dan apa yang hendak dimakan atau diminum. Namun pilihan ini tidak tersedia dalam hal bernafas. Dalam keadaan baik ataupun buruk, dan tanpa memperdulikan kualitas udara itu sendiri, kita harus terus bernafas secara terus menerus. Apa yang berlaku bagi manusia dalam hal ini juga berlaku bagi makhluk hidup laninnya. Karena itulah kondisi udara di sekeliling kita merupakan suatu masalah yang langsung dan terus menerus. Bahwa udara yang terpolusi merusak kesehatan manusia, terutama pada sistem pernapasan kita, telah banyak dikemukakan dalam banyak penelitian – penelitian.

Polusi udara bukanlah suatu fenomena baru. Dalam studi komparatifnya tentang pengontrolan polusi udara, Profesor C. A. Colliard menyebutkan tentang14

Dengan kebangkitan revolusi industri di Eropa dan Amerika Utara, polusi udara menjadi suatu masalah serius yang membutuhkan adanya suatu peraturan yang tegas. Kombinasi dari cerobong – cerobong asap dan keadaan meteorologi yang tidak menguntungkan mengakibatkan adanya suatu konsentran polusi udara adanya catatan mengenai pengontrolan polusi udara sejak awal abad 14. Pada tahun 1306 Raja Edward I dari Inggris mengeluarkan suatu keputusan kerajaan yang melarang penggunaan batu bara dalam pemanas umum di Lomdon. Hukuman untuk pelangar peraturan ini adalah denda bagi pelanggaran pertama dan penghancuran pemanas itu bagi pelanggaran kedua. Pelanggaran ketiga dapat dijatuhi hukuman mati.

14

(7)

yang jauh lebih besar beberapa kali lipat dibandingkan awal sebelumnya. Walaupun tipe dan intensitas dari polusi udara itu berbeda – beda dari satu tempat ke tempat lainnya, kebanyakan masalah itu terjadi dalam skala lokal (meliputi hingga beberapa ratus kilometer) dan tidaklah lama (tingkat tertinggi polusi biasanya berlangsung hingga beberapa jam atau kurang). Karenanya polusi udara dianggap sebagai fenomena daerah kota dan industri dimana sumber polusi itu berada.

Dalam dua puluh tahun terakhir ini dimensi masalah polusi udara telah berubah secara drastis. Cerobong asap yang tinggi dan naiknya tingkatan polusi telah menjadikan apa yang tadinya suatu masalah lokal menjadi suatu masalah lintas batas negara. Bahkan kini dikemukakan bahwa zat pencemar tertentu di Eropa da Amerika Utara dapat terus berada di udara hingga beberapa hari dan melintasi lebih dari seribu kilometer sebelum akhirnya mendarat.

Masalah polusi udara lintas batas negara yang menjadi masalah bagi beberapa negara yang di dalam satu kawasan seperti Asia, dan terkena dampak dari polusi udara lintas batas negara tersebut dan masalah tersebut telah menjadi ruang lingkup di dalam hukum lingkungan internasional.

(8)

(Illegal Logging) yang juga dapat mengakibatkan bencana alam lainnya, seperti gempa bumi dan banjir.

Di Indonesia, yang juga termasuk Negara Anggota ASEAN, seperti yang tercantum dalam GBHN 1973 – 1978, Bab III Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang butir 10 dari pendahuluan15

Selain Indonesia, negara – negara lain yang masih termasuk Negara Anggota ASEAN seperti Philipina, Peraturan Perundang – undangan di bidang pengendalian dan pencegahan pencemaran (Presidential Decree), yaitu : P. D. No. 1151 tentang “ Philipine Environmental Policy of 1977”, dan P. D. No. 1152 tentang “ Philipine Environmental Code of 1977

: “Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber – sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hisup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang”.

16

Perkembangan, pengelolaan, konservasi serta pencegahan pencemaran hingga yang mencapai lintas batas negara memang menjadi suatu masalah yang cukup serius bagi negara –negara di dunia. The Rio Declaration On Environment Aid Development (Deklarasi Rio tentang Perkembangan Konservasi Lingkungan), juga Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang

yang semua Peraturan Perundang – undangan tersebut mengatur tentang Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pencegahan Pencemaran.

15

(9)

Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi ketetapan penting dalam hal lingkungan hidup.17

1. Skala dan defenisi dari polusi udara lintas batas negara

Walaupun polusi udara lintas batas mempunyai dasar ilmu pengetahuan, namun ia bukanlah suatu defenisi ilmu pengetahuan itu sendiri, dan bahkan mencakup sejumlah ide dan konsep yang saling berbenturan. Sebagai titik awal kita dapat membahas polusi udara lintas batas dari klasifikasi klasik tentang tingkat – tingkat berbeda dari perjalanan polusi udara itu di atmosfer. Hal ini meliputi : 18

a. Microscale (skala lokal) yang mempunyai dimensi yang jarang kira – kira sebesar lapisan perbatasan planet. Struktur yang berjalan dalam jarak ini biasanya berlangsung hingga beberapa menit.

b. Mesoscale, berjarak hingga beberapa ratus kilometer. Perjalanan atmosfer dalam jangkauan ini berlangsung hingga satu hari.

c. Synotic scale, mencapai hingga seribu kilometer dan berlangsung antara satu hingga lima hari.

Tipe – tipe masalah polusi udara yang berbeda – beda dihubungkan dengan skala – skala yang berbeda pula. Masalah polusi udara lokal terjadi dalam tingkatan micro dan meso, dan termasuk di dalamnya, sebagai contoh, karbon monoksida dalam jumlah besar dan photooksidan dikarenakan kenderaan

17

Ibid., hal. 546 – 574.

18

(10)

bermotor dan menaiknya konsentran sulfur dioksida dari pembakaran batu bara secara domestik.

Dua contoh terkenal tentang masalah polusi udara tingkat global adalah “efek rumah kaca” yang berhubungan dengan peningkatan karbon dioksida di dalam atmosfer, dan adanya kemungkinan penipisan lapisan ozon yang dikarenakan chlorofluorocarbon (CFC) dan emisi nitrogen oksida.

Diantara kedua skala ini yaitu skala meso dan synotic, adalah polusi udara lintas batas negara. Apabila tidak terdapat perbatasan politik diantara jangkauan polusi maka ini hanyalah sebuah polusi udara skala regional. Defenisi umum lainnya adalah perjalanan polusi udara secara jarak jauh. Karena itu, dari segi pandang secara teknik, polusi udara lintas batas negara adalah polusi udara skala meso atau synotic yang mempunyai aspek politik.

2. Jenis – jenis Polusi Udara Lintas Batas Negara

(11)

Tabel 1. Jangka waktu beberapa unsur – unsur dalam atmosfer.19

Unsur Jangka Waktu (dalam hari)

Logam 7.0 – 8.0

Besi 0.5 – 0.7

Cadmium 0.8 – 3.0

Nikel 0.5 – 1.0

Tembaga 0.2 – 1.0

Bukan Logam

Ozon 0.4 – 90.0

Nitric oxide 4.0 – 5.0

Nitrogen dioxide 2.0 – 8.0

Sulfur dioxide 0.01 – 7.0

Sulfate 3.0 – 5.0

Dikarenakan perbedaan dalam berat, zat besi akan jatuh lebih dekat dengan sumbernya dibandingkan dengan pollutan berbentuk gas seperti SO2, NOx,

atau O3. Sebagai contoh, jangkauan waktu yang diperkirakan dari unsur – unsur

tersebut dapat kita lihat dalam tabel 1 diatas. Dapat dilihat bahwa unsur bukan besi yang tercantum dalam tabel mempunyai jangkuan waktu lebih lama dari unsur besi.

19

(12)

3. Mekanisme Perjalanan Polusi Secara Jarak Jauh

Walaupun terdapat perbedaan komposisi dan akibat dari polusi udara lintas batas yang berbeda – beda, namun mereka seringkali dapat menempuh jarak yang jauh dikarenakan adanya persamaan situasi meteorologi. Di bawah ini adalah contoh situasi yang sering ditemukan pada perjalanan polusi jarak jauh di bagian bumi di atas khatulistiwa.20

20

Joseph M. Alcamo dan Eliodoro Runca, Loc. Cit.,hal. 4

Pada saat siang hari, dan di bawah langit yang cerah, zat pencemar bercampur secara sangat efektif ke dalam lapisan yang menyelimuti permukaan bumi hingga jarak antara 1 sampai 2 kilometer. Dalam lapisan ini zat pollutan tercampur oleh arus atmosfer yang biasa disebut “eddies”.

Pada malam hari zat pencemar berjalan dengan cara yang berbeda. Di bawah langit malam yang bersih maka permukaan bumi akan mendingin lebih cepat dari udara di atasnya. Ini menghasilkan adanya sebuah lapisan udara yang stabil yang berjarak dekat dengan tanah. Tidak banyak yang terjadi antara lapisan ini dengan lapisan di atasnya. Selain itu, angin yang berada di lapisan atas tidak diperlambat oleh gesekan dengan permukaan tanah seperti pada siang hari.

(13)

4. Kasus Awal Polusi Udara Lintas Batas Negara

Ada banyak kasus tentang polusi udara lintas batas negara, namun mungkin yang paling terkenal di antaranya adalah Trail Smelter case. Ini merupakan kasus polusi udara lintas batas negara yang terjadi antara Amerika dengan Canada.

Arbitrase timbul karena adanya tuntutan mengenai pabrik peleburan yang terletak di trail, (daerah British Columbia, Canada) yang terletak sekitar 20 kilometer sebelah utara dari perbatasan Amerika.21

21

www.american.edu /TED/TRAIL/. HTM tentang Trail Smelter Case

(14)

Antara tahun 1928 hingga 1935 pemerintah Amerika mengeluarkan keluhan kepada pemerintah Kanada yang menyatakan bahwa asap sulfur dioksida yang dikeluarkan oleh pabrik peleburan trail telah merusak Columbia River Valley. Pada tanggal 7 Agustus 1928 masalah ini dihadapkan kepada International Joint Commission oleh Amerika dan Kanada (IJC – UC) untuk mencari jalan tengahnya. Kemudian pada tanggal 28 Februari 1931 IJC – UC menyatakan bahwa pabrik Trail harus membatasi jumlah sulfur yang dikeluarkannya dan bahwa pemerintah Kanada harus membayar pemerintah Amerika sebesar US$ 350,00 sebagai ganti rugi atas kerusakan yang dialami Amerika.

Walaupun telah ada keputusan dari IJC – UC, namun keadaan di pabrik Trail tidaklah berubah. Ini mengakibatkan pemerintah Amerika kembali mengajukan keluhan pada pemerintah Kanada pada bulan Februari 1933. Keluhan – keluhan ini menimbulkan adanya suatu konvensi tentang asap buangan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 15 April 1935. Konvensi ini menyatakan perlu dibentuknya suatu Tribunal atau suatu Mahkamah Arbitrase yang bertugas menjawabempat pertanyaan ini : 22

1. Apakah pabrik Trail telah menimbulkan kerugian bagi negara bagian Washington mulai tanggal 1 Januari 1932 ?

2. Apabila pabrik Trail terbukti telah menimbulkan kerugian tersebut, apakah di masa mendatang pabrik ini akan dilarang untuk melakukan hal tersebut lagi ?

(15)

4. Apakah harus dibayarkan suatu bentuk kompensasi sehubungan dengan pertanyaan nomor 2 dan 3 ?

Setelah itu, baik pemerintah Amerika dan Kanada mengajukan bukti – bukti mereka di hadapan Tribunal pada bulan Januari 1938, Tribunal memberitahu kedua pemerintahan tersebut pada tanggal 16 April 1938 bahwa ia telah dapat menjawab pertanyaan pertama, namun masih membutuhkan waktu untuk menjawab ketiga pertanyaan lainnya. Ia juga mengajukan agar peleburan di trail dibatasi untuk mempelajari akibat – akibat dari gas sulfur yang dikeluarkan. Kedua pemerintahan menyetujui adanya masa percobaan untuk pembatasan ini (1938 – 1940). Sementara itu keputusan tribunal untuk pertanyaan pertama adalah bahwa pemerintah Kanada harus membayar sejumlah US$ 78,000 untuk ganti rugi kerusakan yang ditimbulkan pabrik Trail kepada negara bagian Washington sejak 1932 hingga 1 Oktober 1937. Biaya ini kebanyakan untuk mengganti rugi atas kerusakan tanah di sepanjang Columbia River Valley di Amerika. Tribunal memutuskan bahwa pemerintah Amerika tidak mengajukan bukti yang cukup kuat atas kerugian yang ditimbulkan oleh asap sulfur dioksida bagi hewan peternakan.

(16)

dikeluarkannya sesuai atau di bawah jumlah yang akan dikeluarkan Tribunal. Selanjutnya, salinan hasil ukur ini akan diberikan oleh kedua pemerintahan setiap bulannya untuk memeriksa apakah pabrik Trail bekerja sesuai dengan yang diinginkan. Apabila nanti terbukti bahwa pabrik Trail tidak dapat menjaga buangan sulfur dioksidanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan, maka pemerintah Amerika akan mendapat kompensasi sejumlah yang ditentukan oleh Tribunal dan pemerintah Kanada.

Tribunal sebelum memberi putusan dalam perkara ini berpegang pada pendapat Profesor Eagleton, yaitu “A state owes at all time of duty to protect other state agaism’t injurious acts by individuals from within its jurisdiction”.23

1. Kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan harus dapat dirasakan.

Terdapat dua pertanyaan Tribunal yang menangani perkara Trail Smelter ini. Pertama ialah bahwa Tribunal menyatakan pengertian kerusakan atau damage sebagai “tangible injury translatable into provable monetary damages”. Yang kedua ialah bahwa “that the claim could not be accepted unless the case is serious consequence and the injury established by clear and convincing evidence”.

Dari pertanyaan pertama dapat kita lihat adanya syarat pokok yaitu bahwa kerusakan atau damage tersebut harus menimbulkan suatu kerugian atau injury. Dengan mengkombinasikan kedua pertanyaan tersebut dapat ditarik kesimpulan batasan kerugian atau injury yang ditetapkan oleh para arbitor terdiri dari empat syarat yaitu :

2. Kerugian atau kerusakan harus dapat dibuktikan secara finansial. 3. Akibat yang ditimbulkan bersifat serius.

23

(17)

4. Harus didukung dengan bukti yang jelas dan meyakinkan. Batasan kerusakan yang demikian disebut dengan high – threshold atau batasan tinggi yang bersifat ketat karena syarat yang harus dipenuhi dapat dikatakan sangat berat.

Di samping itu Tribunal juga menyatakan bahwa baik hukum internasional maupun hukum perdata Amerika Serikat tidak membenarkan pernyataan tentang adanya “the right to use or permit to use as its territory in such a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another at the properties or persons thereof”.24

Pertama, ia merupakan konvensi multilateral pertama dalam bidang pengendalian polusi udara. Kedua, ia adalah konvensi pertama dalam

( “pencemaran dapat mengakibatkan kerugian terhadap lingkungan atau kerugian atas kepemilikan yang terdapat di wilayah korban itu sendiri”)

Pernyataan ini merupakan penegasan secara implisit bahwa pencemaran dalam dari kerusakan dapat mengakibatkan kerugian terhadap lingkungan atau setidaknya kerugian atas property atau kepemilikan yang terdapat di wilayah negara korban (injured state) itu sendiri.

B. THE CONVENTION ON LONG RANGE TRANSBOUNDARY AIR POLLUTION 1979

The convention on long Range Transboundary Air Pollution tahun 1979 (yang selanjutnya akan disebut Konvensi Geneva) merupakan suatu bentuk yang luar biasa.

24

(18)

perlindungan lingkungan hidup dimana hampir semua negara baik Eropa Barat dan Timur dan juga dari Amerika Utara turut berpartisipasi. Ketiga, ini adalah suatu konvensi dimana baik negara yang wilayah yurisdiksinya merupakan sumber polusi dan negara yang wilayah yurisdiksinya terkena polusi lintas batas itu saling bekerjasama. Oleh karena itu, pada pandangan pertama terlihat bahwa konvensi ini merupakan usaha yang sukses dalam bidang perlindungan lingkungan hidup.

Pada dasarnya konvensi ini merupakan hasil dari negara – negara Skandinavia untuk menyadarkan masyarakat internasional tentang polusi udara lintas batas negara dan masalah – masalah lain yang sehubungan dengannya, seperti hujan asam yang dianggap sebagai penyebab utama rusaknya danau – danau di Skandinavia.

(19)

ditandatangani di pertemuan tersebut oleh 35 negara partisipan termasuk komunitas eropa.

Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 Maret 1983 pada saat kedua puluh empat negara penandatangan telah meratifikasinya.

Isi Konvensi Geneva

Di satu sisi negara partisipan dari Eropa Barat dan Timur, dan juga negara – negara lain yang dengan cara lain melakukan atau terkena akibat dari polusi udara jarak jauh, akan menaruh harapan dengan adanya konvensi ini. Namun di sisi lain, harus disadari bahwa isi konvensi ini sangat terbatas. Dengan memandang pertanyaan penting mengenai bagaimana mengurangi dan mencegah polusi udara termasuk polusi udara jarak jauh, konvensi ini hanya memiliki kewajiban – kewajiban secara umum.

a. Manajemen Kualitas udara

Dalam konvensi ini manajemen kualitas udara hanya dijabarkan secara umum. Tidak ada kewajiban khusus, seperti mengurangi pembuangan asap zat pencemar tertentu dalam jumlah tertentu dan juga dalam jangka waktu tertentu, yang disetujui. Alasan dari ketidakadaan ini dapat ditemukan tidak hanya dari kurangnya bukti – bukti ilniah mengenai jenis, jumlah dan akibat dari zat – zat pencemar tertentu, tapi juga dari kurangnya keinginan politikuntuk ikut serta mengambil kewajiban khusus untuk mengurangi dan mencegah polusi udara. Pasal dalam konvensi Geneva yang berhubungan dengan hal ini dapat kita lihat dari pasal 2 yaitu : 25

25

(20)

“ The Contracting Parties, taking due to account of the facts and

problems involved, are determined to protect man and his environment agaisn’t

air pollution and shall endeavour to limit and, as far as possible, gradually

reduce and prevent air pollution including long – range transboundary air

pollution.”

(“Pihak – pihak yang mengadakan kontrak/perjanjian : disebabkan karena fakta dari laporan yang melibatkan masalah seperti yang ditetapkan yakni melindungi manusia dan lingkungannya terhadap polusi udara dan membatasinya sejauh mungkin sehingga akan berkurang dan mencegah meluasnya polusi udara”).

Seperti yang dapat kita lihat dalam pasal 2 diatas, yang menjadi kewajiban adalah

“…… are determined to protect and his environment agaisn’t air

pollution”(“Ditetapkan untuk mencegah manusia dan lingkungannya terhadap

polusi udara”)– dan tujuannya – “……to limit and gradually reduce and prevent

air pollution”. (“membatasinya dan perlahan – lahan menguranginya serta

mencegah polusi udara.”)

Selain itu terdapat usaha yang sama untuk mencegah kewajiban yang tertampau jauh mengenai manajemen kualitas udara seperti dalam pasal 6 konvensi Geneva :26

“ Taking into accounts articles 2 to 5, the ongoing research, exchange of

information and monitoring and the result theorof, the cost and effectivenees of

local and other remedies and, in order to combat air pollution, in particular that

(21)

to develop the best policies and strategies including air quality management

system and, as part of them, control measures compatible with balanced

development, in particular by using the best available technology which is

economically feasible and low – and non – waste technology.”

(“Mengenai laporan mencakup pasal 2 sampai 5 yakni mengenai penelitian yang sedang berlangsung, pertukaran informasi dan pencatatan hasilnya, biaya dan kemanjuran obat lokal dan lainnya dalam memberantas polusi udara, khususnya dari instalasi baru ataupun yang dibangun kembali maka setiap pihak yang mengadakan kontrak/perjanjian berusaha menjalankan kebijaksanaan yang terbaik termasuk sistem manajemen untuk kualitas udara dan bagian – bagiannya seperti nilai kontrol yang cocok dan seimbang dengan perkembangan, khususnya dengan mempergunakan teknologi terbaik yan secara ekonomi aman untuk dikerjakan.”)

Dapat dilihat, pasal 6 tidak memberikan insentif bagi negara partisipan untuk mengadopsi tindakan – tindakan pengendalian yang membatasi dan secara efektif mencegah polusi udara, justru pasal 6 memberikan segala kemungkinan untuk melakukan tindakan apapun selama tidak merusak susunan ekonomi yang ada.

b. Informasi dan Konsultasi

(22)

internasional.27

Menurut pasal 4 konvensi, negara – negara partisipan akan saling bertukar informasi dan menganalisa tindakan mereka, kegiatan ilmiah dan tindakan – tindakan secara teknik yang ditujukan untuk memerangi polusi udara. Bidang – bidang pertukaran informasi ditulis dalam pasal 8 konvensi Geneva yaitu :

Selama negara tidak dapat menyamakan standarnya untuk aktifitas yang berhubungan dengan rusaknya lingkungan, kewajiban untuk memberitahu dan berkonsultasi satu sama lain menjadi sangat penting. Dengan cara ini, setidaknya kesadaran tentang adanya polusi lingkungan lintas batas negara akan terus dipromosikan dan kesadaran itu sendiri merupakan langkah awal untuk mengambil tindakan pencegahan apapun.

28

27

Lothar Gundling, Multilateral Co – Operation Of States Under The ECE Convention on Long Range Transboundary Air pollution, Netherlands, Martinus Nijhoff Publishers, 1986, hal. 23.

“(a) data on emmisions at periods of time to be agrees upon, of agreed

air pollutants, starting with sulphur dioxide, coming from grid – units of agreed

size; or on the fluxes of agreed air pollutants, starting with sulphur dioxide,

across national borders, at distances and at periods of time to be agreed upon;

(b) major changes in national policies and in general industrial

development, and their potential impact, which would be likely to cause

significant change in long – range transboundary air pollution;

(c) control technologies for reducing air pollution relevant to long –

range transboundary air pollution;

(d) the projected cost of the emmisions control of sulphur compounds

(23)

(e) meteorological and physico – chemicals data relating to the processes

during transmission;

(f) physico – chemicals and biological data relating to the effects of long

– range transboundary air pollution and the extent of the damage which these

data indicate can be atributed to long – range transboundary air pollution;

(g) national, sub regional and regional policies and strategies for the

control of sulphur coumpounds and other major air pollutant.”

(“a. pencatatan/pengeluaran data pada setiap waktu telah disetujui yakni bahan penyebab polusi udara seperti sulfur dioxide yang berasal dari satuan jaringan listrik dengan ukuran tertentu atau bahan penyebab polusi udara yang berubah terus menerus yang dinilai dari sulfur dioxide melampaui batas nasional pada jarak dan periode yang telah disetujui ;

b. Perubahan utama pada kebijaksanaan nasional dan perkembangan yang berhubungan dengan industri secara umum serta yang dapat mempengaruhinya yang dapat menyebabkan perubahan yang nyata pada batas lintas polusi udara ;

c. Secara teknologi, kontrol untuk menurunkan polusi udara adalah relevan terhadap jarak jauh batas polusi udara ;

d. Biaya proyek kontrol pengeluaran/pencatatan dari bahan – bahan campuran sulfur dan bukan polusi udara pada skala nasional ;

e. Data – data yang berhubungan dengan meteorologi dan zat kimia yang berpengaruh terhadap manusia selama proses transmisi ;

(24)

kerusakan dimana data ini merupakan indikasi karena luasnya batas lintas polusi udara ;

g. Kebijaksanaan nasional, sub regional serta regional strategi (siasat) untuk mengkontrol bahan – bahan campuran sulfur dengan bahan – bahan penyebab polusi udara yang lain.”)

Pasal 5 menyatakan bahwa konsultasi harus diadakan pada saat – saat awal antara negara yang terkena akibat dari polusi udara jarak jauh dengan negara yang di dalam wilayah negara tersebut terdapat sumber dari polusi udara jarak jau tersebut.

Selain itu, sebuah negara dapat meminta konsultasi dari negara lain dengan syarat – syarat sebagai berikut :

1. pertama, apabila suatu negara terkena dampak dari polusi udara jarak jauh;

2. kedua, apabila negara yang dimintai konsultasi merupakan negara tempat sumber polusi udara jarak jauh itu berada; dan,

(25)

c. Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan

Implementasi dan perkembangan lebih lanjut tentang program kerjasama untuk mengawasi dan mengevaluasi perpindahan jarak jauh zat – zat pencemar di Eropa.

Pasal 7 dalam Konvensi Geneva menyatakan tentang kerjasama antara negara – negara partisipan dalam hak penelitian dan pengembangan. Bidang kerjasama yang dimaksud adalah : 29

29

Pasal 7, Konvensi Geneva, 1979

“ (a) existing and proposed technology for reducing emmisions of

sulphur coumpound and other major air pollutants, including technical and

economic feasibility, and environmental consequences;

(b) instrumentation and other technoques for monitoring and measuring

emmisions rates and ambient concentrations of air pollutants;

(c) improved models for a better understanding of the transmissions of

long – range transboundary air pollutions;

(d) the effects of sulphur coumpounds and other major air pollutants in

human health and the environment, including agriculture, forestry, materials,

aquatic and other natural ecosystems and visibility, with a view to estabilishing

a scientific basis for dose/effects relationships designed to protect the

environment;

(e) the economic, social and environmental assessment of alternative

measures for attaining environmental objectives including the reduction of long

(26)

(f) education and training programmes related to the environmental

aspects of pollution by sulphur coumpounds and other major pollutants.”

(“a. Teknologi yang ada dan dengan maksud untuk menurunkan akibat bahan – bahan penyebab utama polusi udara termasuk secara teknik dan tingkat keamanannya serta akibatnya terhadap lingkungan;

b. Alat – alat dan cara lain untuk memonitor dan mengukur kecepatan emisi dan konsentrasi bahan penyebab polusi udara;

c. Contoh yang dimanfaatkan untuk pengertian yang lebih baik dari polusi udara yang melebihi batas;

d. Akibat dari campuran bahan – bahan termasuk sulfur dan bahan utama lainnya yang menyebabkan polusi udara terhadap kesehatan manusia dan lingkungan termasuk pertanian, kehutanan, laut dan ekosistem alam lainnya dan jarak pandang dengan dilihat berdasarkan ilmu pengetahuan untuk mengetahui hubungan sebab akibatnya untuk melindungi lingkungan;

e. Penilaian ekonomi, kemasyarakatan serta lingkungan dengan nilai (ukuran) yang lain untuk mencapai suatu sasaran/tujuan termasuk menurunnya luas batas lintas polusi udara;

f. Pendidikan serta program pelatihan berhubungan dengan aspek terhadap lingkungan oleh polusi yang disebabkan oleh bahan – bahan sulfur dan bahan penyebab polusi lainnya.”)

d. Badan Eksekutif

(27)

menjaga implementasi dan perkembangan lebih lanjut dari konvensi itu sendiri. Untuk tujuan ini dua badan permanen yaitu sekretariat (pasal 11) dan badan eksekutif ( pasal 10 ). Badan eksekutif terdiri dari suatu majelis yang berisi wakil-wakil dari negara partisipan dan dinyatakan dalam rencana kerja senior advisors dalam ECE Government on Environmental problem. Badan ini mengadakan pertemuan secara teratur dan mempunyai tugas seperti yang ditulis dalam pasal 10 Konvensi Geneva :30

30

Pasal 10, Konvensi Geneva, 1979

Implementasi Konvensi Geneva

Apabila kita mencoba untuk mengevaluasi Konvensi Geneva secara keseluruhan maka kita akan mendapati bahwa hasil dari konvensi ini tidaklah terlalu memuaskan. Kewajiban untuk mengambil tindakan guna mengurangi polusi udara lintas batas hanya dituliskan secara umum. Tidak ada kewajiban dibawah Konvensi ini, untuk mengurangi zat-zat pencemar, seperti sulfur dioksida, dalam jangka waktu tertentu.

(28)

BAB IV

PENGATURAN ASEAN DALAM MENGHADAPI POLUSI UDARA LINTAS BATAS NEGARA

A. BENTUK KERJASAMA MENGENAI POLUSI UDARA LINTAS BATAS NEGARA YANG TERDAPAT DI ASEAN

1. ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources 1985 Masalah – masalah lingkungan mengandung dimensi internasional dan juga bersifat timbal balik, yaitu dalam arti, bahwa dalam suatu peristiwa sebuah negara menjadi penderita pencemaran lingkungan, tetapi dalam peristiwa lain, kegiatan – kegiatan di dalam negara itu merupakan sumber pencemar lingkungan lintas batas. Oleh sebab itu, perlindungan lingkungan dipandang sebagai sebuah kepentingan bersama yang dapat diwujudkan jika terdapat kerjasama antar negara dalam lingkup global maupun regional.

(29)

Jika negara – negara di kawasan Eropa Barat dan Amerika Utara dihadapkan pada masalah pencemaran udara lintas batas yang bersumber dari kegiatan industri yang telah mendorong mereka untuk menyepakati Konvensi Geneva 1979, maka negara – negara ASEAN dihadapkan pada masalah pencemaran udara lintas batas yang bersumber dari kebakaran hutan. Kebakaran hutan merupakan masalah lingkungan yang telah mendapatkan perhatian ASEAN sejak tahun 1985, yaitu melalui ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources 1985 (selanjutnya disebut ASEAN ACNN).31

ASEAN ACNN merupakan kerangka hukum kerjasama negara – negara ASEAN dalam bidang konservasi alam dan sumber daya alam secara umum. Namun di dalamnya ASEAN ACNN juga memuat kewajiban – kewajiban negara ASEAN untuk mencegah kebakaran hutan, sebagaimana tercermin dalam pasal 6 ayat 1 dan 2 yaitu :

32

a. control clearance of vegetation; prevent bush and forest

fire…”

“(1) The contracting parties shall, in the view of the role of vegetation and

forest cover in the functioning of natural ecosystems, take all necessary

measures to ensure the conservation of the vegetation cover and in particular of

the forest cover on lands under their jurisdiction.”

“(2) they, in particular, endeavor to :

31

Takdir Rahmadi, “Aspek-Aspek Hukum Kebakaran Hutan” Jurnal Hukum Lingkungan (Agustus 1999) hal. 87

32

(30)

(“ 1. Pihak yang mengadakan kontrak (perjanjian) pada peraturan tumbuhan serta hutan lindung terhadap kegunaan ekosistem yang alami mencakup semua nilai (ukuran) yang perlu untuk menjamin perlindungan alam terhadap tumbuhan yang dilindungi terutama terhadap hutan lindung pada daratan yang dikuasai hukum.)”

(“ 2. Terutama, mereka mengusahakan :

a. mengkontrol tumbuhan yang diizinkan; mencegah kebakaran semak belukar dan hutan…”)

Seperti yang telah dikatakan di atas, ASEAN ACNN memang tidak secara khusus membahas mengenai masalah polusi udara lintas batas. Karena itulah masih dibutuhkan suatu peraturan khusus yang memang ditujukan tentang hal ini. Selain karena memang sangat diperlukan, beberapa pasal dalam ASEAN ACNN juga tidak memuat suatu ketentuan yang jelas. Pasal 19 ASEAN ACNN secara spesifik menegaskan kewajiban negara untuk tidak menimbulkan polusi udara lintas batas, dimana hal ini diterima sebagai suatu prinsip internasional.33

33

Pasal 19 ayat 2 ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural

Permasalahannya terletak dimana ASEAN ACNN ini tidak memuat cara – cara ataupun standar yang berguna untuk mengurangi polusi tersebut.

(31)

Selain itu, dalam pasal 24 ayat 2 ASEAN ACNN ditulis bahwa untuk mengimplementasi perjanjian ini, negara anggota dapat mengadopsi ketentuan lain.34

Mengingat waktu terjadinya pencemaran udara lintas batas negara semakin lama dan dampak yang ditimbulkannya semakin buruk, maka menteri – menteri lingkungan hidup ASEAN menyepakati formula ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, Juni 1995 (selanjutnya disebut ASEAN CPTP). ASEAN CPTP memuat tiga bidang program, yaitu :

Apabila ini dihubungkan dengan pasal 19, yang mewajibkan negara anggota untuk mencegah terjadinya polusi udara lintas batas negara, maka adanya suatu ketentuan untuk mengatasi masalah itu merupakan cara yang terbaik untuk dilakukan di masa depan.

2. ASEAN Cooperation Plan on Transboundary pollution 1995

35

a. Transboundary atmospheric pollution (pencemaran udara lintas batas);

b. Transboundary movement of hazardous wastes (pergerakan limbah bahan berbahaya dan beracun lintas batas);

c. Transboundary shipborne pollution (pencemaran lintas batas bersumber dari kapal).

34

Pasal 24 ayat 2 ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources 1985

35

(32)

Isi ASEAN CPTP terdiri dari empat komponen, yaitu objectives (sasaran), strategies (strategi), activities (kegiatan) dan institutional arrangements (pengaturan kelembagaan).

Sasaran yang ingin dicapai melalui ASEAN CPTP di bidang pencemaran udara lintas batas adalah :

a. to assess the origin and cause(s), nature and extent of local and regional haze incidents (menganalisis asal dan sebab – sebab, sifat dan cakupan peristiwa – peristiwa asap di tingkat lokal dan regional; b. to prevent and control the sources of haze at both national and

regional levels by applying environmentally sound technologies in the assessment, mitigation and management of haze; and (mencegah dan mengendalikan sumber asap pada tingkat nasional dan regional dengan menerapkan teknologi yang berwawasan lingkungan dan dengan penguatan kemampuan analisis, minimalisasi dan pengendalian asap; dan

c. to develop and implement national and regional emergency response plans (mengembangkan dan melaksanakan rencana tanggap darurat di tingkat nasional dan regional).

(33)

pertanian dan transmigrasi. Untuk itu langkah – langkah berikut perlu diambil, yaitu :

a. timely detection and prevention of forest fires through early warning systems of the development of ground forces and preparedness of local communities (deteksi tepat waktu, pencegahan kebakaran hutan melalui sistem peringatan dini, penyebaran petugas – petugas dan penyiapan masyarakat lokal);

b. prohibit burning of biomass generated largely by developments projects during dry periods, particularly in the region affected by dry water (pelarangan pembakaran biomassa yang pada umumnya dilaksanakan melalui proyek – proyek pembangunan selama musim panas, terutama di wilayah – wilayah yang dipengaruhi oleh musim panas);

c. during haze periode, to minimize any generations of pollution from local sources, to activate communication network for the sharing information, and to activate relevant joint activities and; (selama terjadinya kabut asap, meminimalisasi terjadinya pencemaran yang berasal dari sumber – sumber lokal, mengaktifkan jaringan komunikasi untuk berbagai informasi dan mengaktifkan kegiatan – kegiatan bersama yang diperlukan dan);

(34)

Strategi jangka panjang adalah mendorong sektor – sektor ekonomi untuk tidak melakukan praktek – praktek pembakaran (zero – burning practices) dalam kegiatan pembukaan tanah baru, tetapi menerapkan metode – metode pengolahan lahan yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya, di dalam wilayah – wilayah yang mudah terbakar, misalnya wilayah dengan kandungan batubara dan lahan gambut, kegiatan investasi harus dilaksanakan dengan cara – cara yang tepat.

ASEAN sepakat untuk melaksanakan kegiatan – kegiatan berikut :

1. menetapakan “focal point” di tiap – tiap negara yang antara lain mempunyai fungsi – fungsi sebagai berikut :

a. melakukan inventarisasi sumber – sumber daya yang ada; b. menetapkan mekanisme penyebaran informasi regional; c. mengidentifikasi jenis informasi untuk disebarluaskan;

2. memperluas peran the ASEAN Specialized Meteorological Centre (ASMC) untuk mengembangkan model pergerakan udara agar dapat memprediksi alur dan penyebaran asap;

3. menetapkan prosedur pelaporan dan penyiagaan kebakaran hutan oleh aparat di bidang kehutanan dan yang terkait;

4. mengembangkan baku mutu udara bersama dan mengharmonisasikan teknik – teknik sampling;

5. mengembangkan sebuah sistem perangkat bahaya kebakaran regional; 6. berbagi pengetahuan dan teknologi pencegahan dan minimalisasi

kebakaran hutan dan sumber – sumber emisi lainnya;

(35)

8. memperluas peran “the ASEAN Institute of Forest Management” (AIFM) untuk memperkuat kapasitas negara anggota melalui pelatihan pengelolaan kebakaran hutan;

9. meningkatkan kemampuan nasional dan regional dalam mengatasi kebakaran hutan dan sumber – sumber emisi lainnnya.

Di bidang kelembagaan, masing – masing negara anggota ASEAN telah menetapakan “focal point”, sebagaimana dicantumkan dalam Annex A ASEAN CPTP, yaitu :

a. Di Brunei adalah Kepala Unit Lingkungan Menteri Pembangunan; b. Di Indonesia adalah Deputi Pengendalian Pencemaran BAPEDAL

(Badan Pengendalian Dampak Lingkungan)

c. Di Philipina adalah Direktur Biro Pengelolaan Lingkungan Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam;

d. Di Singapore adalah Kepala Bagian Perencanaan Strategis dan penelitian, Departemen Lingkungan;

e. Di Thailand adalah Direktur Jenderal Departemen Kehutanan.

Selain itu, ASEAN telah sepakat untuk mendayagunakan lembaga – lembaga di lingkungan ASEAN guna mengatasi pencemaran udara lintas batas negara, yaitu :

(36)

c. ASEAN Working Group on Forestry, ASEAN Joint Consultative Committee (JCC) Subcommitte on Forest, dan Brunei – Indonesia – Malaysia – Philipina (BIMP), East ASEAN Growth Areas (EAGA) Subcommitte on Forest.

3. Regional Haze Action Plan 1997

Para Menteri lingkungan ASEAN mengadakan pertemuan pada tanggal 22 – 23 Desember 1997 dan mengadopsi ASEAN Regional Haze Action Plan (RHAP) guna menaggulangi masalah polusi asap yang terjadi di ASEAN yang disebabkan oelh kebakaran hutan dan lahan.

Tujuan utama dari rencana ini adalah :

a. mencegah kebakaran hutan dan lahan melalui manajemen dan pengaturan yang lebih baik;

b. membentuk suatu mekanisme operasional guna mengawasi kebakaran hutan dan lahan;

c. menguatkan kapabilitas pemberantasan kebakaran hutan dan lahan regional.

Dalam RHAP ini juga disebutkan bahwa negara – negara anggota ASEAN akan membentuk suatu Rencana Nasional (National Plans) guna menyatukan kebijakan dan Strategi untuk mencegah dan mengurangi kebakaran hutan dan lahan.

(37)

a. Kebijakan untuk mengekang aktivitas yang dapat menimbulkan kebakaran hutan dan lahan dan mengontrol emisi yang dikeluarkan oleh sumber – sumber bergerak maupun yang tidak bergerak, termasuk pelarangan sistem pembakaran lahan secara terbuka dan kendali yang ketat akan praktek sistem pertanian dengan cara “tebang dan bakar” selama musim kemarau;

b. Strategi untuk mengendalikan aktivitas yang dapat menimbulkan kebakaran hutan dan lahan dan mengontrol pembuangan emisi dari sumber – sumber yang bergerak maupun tidak bergerak adalah : 1. pembentukan suatu peraturan manajemen kualitas udara guna

melarang pembakaran lahan; 2. penegakan hukum dan peraturan;

3. pengimplementasian suatu struktur pengawasan dan pelaporan kualitas udara, dan membentuk pengawasan sumber – sumber emisi lokal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak;

4. pembentukan suatu badan pengendali / komite yang mengembangkan strategi dan rencana penanggulangan guna menghadapi masalah kebakaran hutan;

(38)

c. Suatu bentuk pelayanan yang dapat mencegah aktivitas – aktivitas yang dapat menimbulkan kebakaran hutan dan lahan;

d. Prosedur pengoperasian untuk penggerakan mekanisme pencegahan meluasnya kebakaran hutan yang lebih cepat;

e. Pengembangan penggunaan lain biomassa dan cara – cara yang tepat untuk membuang sampah – sampah pertanian.

Rencana ini akan menegaskan sistem pengawasan dan peringatan awal akan adanya kebakaran hutan, pengumpulan secara sistematis kondisi – kondisi meteorologi dan penyebaran api dan asap, dan data – data yang dibutuhkan.

Sebagai bagian dari usaha ini, ASEAN Specialized Meteorological Centre (ASMC) akan lebih diperluas fungsinya. ASMC akan bertugas sebagai pusat informasi regional dalam mengumpulkan, menganalisa dan menelaah informasi yang diambil dari satelit dan data – data meteorologi yang dibutuhkan untuk mendeteksi dan mengawasi kebakaran hutan dan lahan dan terjadinya polusi asap.

1. ASEAN Environmental Education Action Plan 2000 – 2005

(39)

Environmental Education (EE) atau pendidikan lingkungan telah didefenisikan sebagai proses untuk membantu masyarakat, melalui pendidikan formal dan non formal, untuk mendapatkan pengertian, keahlian, dan nilai – nilai yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi sebagai bagian masyarakat yang aktif dan terinformasi dalam perkembangan masyarakat yang sadar lingkungan dan adil sosial.36

a. perkembangan sumber daya manusia untuk EE : guru – guru yang dapat secara efektif mengajar pendidikan lingkungan, guru yang Program ini bertujuan untuk menggunakan pengetahuan dan keahlian untuk melindungi, menjaga dan mengeksploitasi lingkungan dengan cara sebaik – baiknya hingga menguntungkan generasi masa sekarang dan masa depan. Selain itu ia juga mencakup dan mempelajari bagaimana menggunakan teknologi baru, meningkatkan produktivitas, menghindari musibah lingkungan, mengurangi kemiskinan, memberikan kesempatan – kesempatan baru dan membuat keputusan yang bijaksana.

Salah satu perhatian utama di antara negara – negara anggota ASEAN adalah bagaimana mempromosikan kesadaran atas lingkungan lokal / nasional di antara generasi muda di sekolah dan di luar sekolah, orang – orang pemerintahan, dan masyarakat lainnya. karena besarnya perbedaan geografi, geologi, iklim dan juga budaya di antara negara – negara anggota ASEAN, masalah lingkungan yang dihadapi juga berbeda – beda.

Masalah lain yang mendapat perhatian khusus adalah :

36

(40)

dapat menulis buku dan bahan ajar lainnya tentang EE untuk digunakan di sekolah, pelatihan guru dalam bidang EE

b. integrasi tentang EE yang lebih efektif dalam kurikulum formal c. kerjasama institusional / antar departemen yang lebih besar dalam

merencanakan dan mengimplementasikan kegiatan dan proyek EE d. partisipasi publik yang lebih besar dalam kegiatan EE dan dalam

menyelesaikan masalah lingkungan

e. lebih banyak informasi dasar tentang lingkungan lokal / nasional f. bahan – bahan EE untuk masyarakat umum dalam bentuk

sederhana dan ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti g. buku – buku tentang EE bagi pelajar setingkat SD dan SMP h. ahli – ahli lingkungan yang akan bertugas sebagai konsultan EE i. sebuah rencana kerja EE dalam tingkatan nasional bagi negara –

negara yang belum mempunyainya

j. alokasi dana yang lebih besar guna membiayai program EE dalam tingkatan nasional untuk mendukung proyek – proyek seperti pelatihan dan penulisan buku

(41)

1. Penginstitusional EE dalam semua tingkatan pendidikan, dari tingkat Taman Kanak – Kanak hingga Universitas, termasuk universitas pendidikan pengajar.

2. Membuat suatu kurikulum rencana kerja EE untuk pendidikan umum dimana negara anggota akan menggunakannya sebagai titik awal dalam mengembangkan kurikulum EE mereka sendiri, yang didasarkan pada kebutuhan, tujuan, budaya, praktek, dan sumber daya alam dan manusia yang tersedia

3. Melengkapi pengajar dengan bahan – bahan pendukung EE, dan mendorong sekolah – sekolah untuk mengembangkan Pusat Pendidikan EE mereka sendiri

4. Menyiapkan suatu sumber ajaran tentang EE mengenai lingkungan lokal dan regional ASEAN bagi pengajar

5. Mengadakan seminar kerja untuk pengembangan sumber daya manusia dalam EE

6. Mendorong penggunaan permasalahan lingkungan lokal dan regional, pengalaman dan praktek dalam menangani masalah lingkungan untuk mengembangkan pengajaran dan bahan ajar EE 7. Mengembangkan : (a) keahlian bekerja dengan orang lain; (b)

keahlian yang dibutuhkan dalam zaman informasi ini; dan (c) nilai – nilai dan prilaku yang mementingkan arti lingkungan

(42)

9. Mengadakan kampanye sadar lingkungan yang lebih banyak bagi sekolah dan masyarakat umum

10.Mendorong partisipasi publik dan juga perusahaan – perusahaan umum dan organisasi non pemerintahan dalam program – program lingkungan

11.Mendirikan perpustakaan EE bagi generasi muda yang tidak bersekolah

12.Menerjemahkan buku – buku tentang lingkungan

13.Mengadakan seminar EE bagi wanita, kaum muda, dan bagian – bagian lain dari masyarakat

14.Bertujuan untuk merubah pola pikir masyarakat umum hingga berpikiran sadar lingkungan

15.Mendukung EE dalam mengembangkan : kapabilitas sumber daya manusia dan bahan – bahan pendidikan

16.Menyediakan pengetahuan lingkungan secara dasar untuk semua badan pemerintahan, dan masyarakat umum lewat seminar ataupun diskusi dan melalui informasi, pendidikan dan komunikasi EE

17.Mengumpulkan dan membangun suatu pusat data tentang informasi lingkungan dan teknik pengajaran untuk masyarakat ASEAN

(43)

19.Mengenal strategi EE yang berhasil di suatu negara anggota, dimana negara anggota lainnya dapat mengadaptasi cara itu

20.Berbagi bahan pendukung EE : Video, buku, poster, dan lain – lain. Sesama negara ASEAN

21.Mendirikan suatu Pusat Pendidikan Lingkungan ASEAN

2. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2002

Pada tanggal 10 Juni 2002 para menteri Lingkungan Hidup ASEAN menandatangani ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution di Kuala Lumpur, Malaysia. Perjanjian ini mengikat negara – negara anggotanya untuk saling bekerjasama dalam mencegah polusi asap dengan cara mengendalikan kebakaran, membentuk suatu sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan teknologi serta penyediaan bantuan apabila diperlukan. Perjanjian ini merupakan perjanjian pertama di dunia yang khusus membahas tentang polusi asap lintas batas negara.

Tujuan perjanjian ini adalah mencegah dan mengawasi polusi asap lintas batas negara yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan yang harus dikurangi ataupun ditiadakan, melalui usaha nasional dan kerjasama regional dan internasional yang lebih ditingkatkan lagi.38

Dalam perjanjian ini disebutkan juga kewajiban – kewajiban bagi negara – negara anggota yaitu :39

1. Bekerjasama dalam mengembangkan dan mengimplementasikan peraturan – peraturan yang mencegah dan mengawasi polusi asap lintas batas negara

38

Pasal 2, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2002.

39

(44)

yang disebabkan oleh kebakaran hutan atau lahan yang harus dikurangi, dan untuk mengendalikan sumber kebakaran, termasuk pemantauan sumber kebakaran, pengembangan suatu sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan teknologi, dan penyediaan bantuan apabila diperlukan. 2. Apabila polusi asap lintas batas negara bersumber dari wilayah yurisdiksi

suatu negara, maka negara itu harus segera membantu permintaan tentang informasi atau konsultasi sehubungan dengan kebakaran itu dari negara atau negara – negara yang terkena polusi asap itu, dengan cara yang sedapat mungkin meminimalisir akibat – akibat dari polusi tersebut.

3. Mengambil tindakan – tindakan legislatif, administratif, dan / atau tindakan lainnnya untuk mengimplementasikan kewajiban negara anggota dalam perjanjian ini.

Dalam pengimplementasian perjanjian ini, maka negara anggota akan mematuhi prinsip – prinsip di bawah ini :40

(45)

2. Dalam semangat solidaritas dan kerjasama dan sehubungan dengan kebutuhan, kapabilitas dan situasi negara masing – masing, maka negara – negara anggota akan meningkatkan kerjasama dan koordinasi untuk mencegah dan mengawasi polusi asap lintas batas negara yang harus dikurangi.

3. Negara – negara anggota harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah dan mengawasi polusi asap lintas batas negara yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan, untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkannnya. Apabila terdapat ancaman serius dari polusi asap lintas batas negara ini, maka tindakan – tindakan pencegahan akan diambil oleh negara yang bersangkutan.

4. Negara anggota harus mengusahakan penggunaan sumber alamnya, termasuk hutan dan lahan, dalam cara yang tidak merusak lingkungan dan berkepanjangan.

5. Negara anggota, dalam menghadapi masalah polusi asap lintas batas negara, harus melibatkan semua pihak yang terlibat, seperti masyarakat lokal, organisasi non pemerintah, petani, dan perusahaan – perusahaan pribadi.

(46)

menangani akibat – akibat yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan atau lahan, terutama polusi asap yang ditimbulkan karenannya.41

Namun, peraturan – peraturan dalam perjanjian ini hanya dapat diberlakukan dalam 60 hari setelah diratifikasi oleh keenam negara penandatangan, tanpa adanya batasan waktu apabila tidak dapat mematuhi syarat tersebut.42

3. 1st Meeting Of The Sub-Regional Ministerial Steering Committee (Msc) On Trans-Boundary Haze Pollution Pada 10th Asean Ministerial Meeting On The Environment (10th Amme) Dan 5th Asean Plus Three Environment Ministers Meeting (Emm)

Ini dikarenakan faktor yang mendasari perjanjian ini adalah kebersamaan minat dalam menghadapi masalah polusi asap yang terjadi di Asia.

43

41

Pasal 5 ayat (1), ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2002

42

Pasal 29 ayat (1), ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2002

(47)

Sidang ke-10 ASEAN Ministerial Meeting on the Environment dan Sidang ke-5 ASEAN Plus Three EMM dipimpin oleh Filipina sebagai Chairman dan Singapura sebagai Vice-Chairman. Pertemuan dihadiri oleh para Menteri Negara-negara ASEAN yang menangani isu Lingkungan Hidup, serta para Menteri Lingkungan Hidup Cina, Jepang, dan Republik Korea.

Pertemuan membahas kerjasama regional di bidang lingkungan hidup, serta menyepakati Cebu Resolution on Sustainable Development. Dalam pertemuan ke-3 Governing Board mengenai ASEAN Centre for Biodiversity (ACB) terdapat beberapa pokok bahasan, seperti proses rekrutmen staf, pengadaan perlengkapan IT, rancangan kerja serta anggaran. ACB akan membuka kembali lowongan untuk jabatan Executive Director serta Director Programme Development and Implementation.

Pertemuan ASEAN untuk persiapan 10th AMME membahas isu-isu penting yang perlu ditindaklanjuti, antara lain:

1. Draft ASEAN Framework Agreement on Access to, and Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from the Utilisation of Biological and Genetic Resources dimana baru tiga negara yang telah menandatangani yakni Filipina, Laos dan Singapura;

(48)

3. Pertemuan menyepakati indikator lingkungan untuk Clean Air, Clean Water dan Clean Land, dan juga ASEAN Environmentally Sustainable Cities Award yang kriterianya akan dikembangkan lebih lanjut oleh ASEAN Working Group on Environmentally Sustainable Cities (AWGESC);

4. Pada agenda pembahasan Trans-boundary Haze Pollution, ASEAN Specialized Meteorological Centre (ASMC) menyampaikan perkembangan terkini mengenai asap dan cuaca;

5. Dalam rangka implementasi ASEAN Agreement on Trans-boundary Haze Pollution, pertemuan merekomendasikan untuk mengadopsi ASEAN Peatland Management Strategy (APMS), dan menindaklanjuti implementasi dan finalisasi National Action Plan oleh masing-masing negara anggota. Pertemuan menyepakati pula agar TOR Panel of ASEAN Experts on Fire-and-Haze Assessment and Coordination dapat ditiinjau ulang, terutama terhadap prosedur operasional Panel, berdasarkan pengalaman dari 3 (tiga) misi di Sumatra dan Kalimantan. Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan workshop yang telah dijadwalkan pada kuartal pertama tahun 2007;

(49)

Ministerial Steering Committee on Trans-Boundary Haze Pollution, and the Sub-regional Technical Working Group on Trans-boundary Haze Pollution serta Indonesia's Plan of Action in Dealing with Transboundary Haze Pollution.

7. Pertemuan ke-1 Ministerial Steering Committee menyepakati pula proposal Indonesia bahwa negara-negara anggota MSC dapat membantu peningkatan kapasitas di satu atau lebih wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, Menteri LH Indonesia secara aklamasi telah ditunjuk menjadi Ketua MSC, dan Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan sebagai Ketua TWG untuk periode 2 (dua) tahun pertama.

Pokok-pokok pertemuan ASEAN- Plus Three antara lain sbb :

a. Pertemuan membahas perkembangan kerjasama, komitmen serta sektor-sektor potensial dalam implementasi kerjasama ASEAN dengan Negara-negara plus three.

(50)

B. PERATURAN – PERATURAN MENGENAI POLUSI UDARA YANG TERDAPAT DI NEGARA – NEGARA ASEAN

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau Lahan

Selama ini penanganan kebakaran hutan dan lahan dianggap masih bersifat reaktif, parsial, tidak komprehensif dan jangka pendek. Hampir dapat dipastikan, pendekatan ini tidak akan memecahkan muara persoalan yang menyebabkan serta memicu kebakaran hutan dan lahan yang dialami Indonesia.

Sejak bencana kebakaran hutan yang terjadi awal dekade ini, berbagai studi dan kajian serta bantuan dari berbagai negara sebenarnya telah dilakukan. Namun pemerintah sampai saat ini tidak mampu memanfaatkan serta mengoptimalkan berbagai hasil kajian dan bantuan UNDP.

Di sisi lain, UU kehutanan No. 41 tahun 1999 tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran hutan secara terintegrasi. Sebagai contoh, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU kehutanan ternyata dapat dikecualikan untuk tujuan – tujuan khusus sepanjang mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Pasal ini jelas – jelas membuka peluang dihidupkannya kembali pembukaan lahan dengan cara pembakaran (land clearance by burning).

(51)

No. 4 tahun 2001 dapat kita lihat dalam pasal 11, yang berbunyi sebagai berikut :44

Selain itu juga lebih diambil tindakan – tindakan pencegahan kebakaran hutan seperti yang tercantum dalam pasal 12 dan pasal 13. pasal 12 berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang dilarang melakukan pembakaran hutan dan atau lahan.”

45

Pasal 13 berbunyi sebagai berikut :

“ Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau

pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan

atau lahan.”

46

Selain adanya tindakan pencegahan terdapat juga peraturan yang menyatakan kewajiban untuk membayar ganti rugi bagi yang melanggar ketentuan pasal 11, pasal 12, dan pasal 13 sehingga menimbulkan akibat kerusakan dan atau pencemaran lingkungan.

“ Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak

besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup

yang berkaitan dengan kebakran hutan dan atau lahan wajib mencegah

terjadinya kebakaran hutan dan lahan di lokasi usahanya.”

47

Walaupun begitu penetapan besarnya ganti rugi belumlah ditetapkan karena akan diatur secara tersendiri dengan peraturan pemerintah.48

44

Pasal 11, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.

45

Pasal 12, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001

46

Pasal 13, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001

47

Pasal 49 ayat 1, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001

48

(52)

2. Malaysia Environmental Quality Act 1974

Rencana kerja hukum Malaysia dalam mengendalikan kebakaran hutan dan polusi asap mencakup denda keras bagi pembakaran hutan yang dilakukan tanpa izin, walaupun hal ini tidak selalu dilaksanakan di daerah – daerah yang terpencil. Jalan dan infrastruktur komunikasi untuk mencapai daerah yang akan dibuka biasanya dalam kondisi yang sangat baik, hingga sangat menunjang jalannya kapasitas pemberlakuan peraturan tersebut.

Melihat bahwa Malaysia sedang berada dalam proses menguatkan kapasitas itu untuk mencegah pembakaran tanpa izin, bahwa Malaysia juga mendekati akhir dari proses pembaharuan daerah, baik rencana kerja secara hukum maupun secara institusional untuk menghadapi masalah kebakaran hutan dan polusi asap nampaknya sangat efektif dalam menghadapi ancaman adanya kebakaran hutan. Nampaknya tidak ada inkonsistensi antara rencana kerja hukum dan institusionalnya dalam menghadapi maslah itu.

Salah satu hal yang patut dipuji di dalamnya adalah adanya kebijakan tegas (tanpa terdapat pengecualian) tentang pelarangan pembukaan lahan tanpa pembakaran.

Ancaman hukuman bagi pelanggar pasal ini (baik bagi pemilik maupun penggarap lahan) adalah 500.000 Ringgit dan atau 5 tahun penjara.

3. Singapore Environmental Pollution Control (Air Impurities) 2000

(53)

Singapore ditujukan bagi kebakaran strukural dan bukanlah kebakaran hutan. Industri – industri dan pusat pembangkit tenaga diperlengkapi dengan peralatan pengendalian polusi agar sejalan dengan standar emisi udara yang diperbolehkan. Standar emisi udara ini telah diperbaiki dan dispesifikasi dalam Environment Pollution Control 2000 ini, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Peraturan ini akan menggantikan Clean Air (standards) regulations, yang telah berlaku sejak tahun 1978.

Industri yang telah ada akan diberikan waktu selama 3 tahun untuk menyesuaikan standar emisi dari peralatan yang mereka miliki sesuai dengan standar yang baru ini.

4. Philipina

Selain pencegahan terhadap polusi udara lintas batas negara yang disebabkn oleh kebakaran hutan, philpina juga membentuk badan – badan yang bergerak dalam hal pencegahan pencemaran dan perlindungan lingkungan hidup di philipina. Salah satunya adalah National Environmental Protection Council (NEPC)49

a. Mengadakan rasionalisasi fungsi lembaga – lembaga pemerintah yang ditugaskan untuk melindungi lingkungan hidup dan untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

yang berfungsi sebagai berikut :

b. Merumuskan kebijaksanaan dan mengeluarkan pedoman guna penetapan baku mutu lingkungan dan analisis mengenai dampak lingkungan.

49

(54)

c. Mengajukan rancangan peraturan perundang – undangan baru atau perubahan atas peraturan perundang – undangan yang ada guna menghadapi perubahan – perubahan dalam keadaan lingkungan hidup.

d. Menilai analisis mengenai dampak lingkungan dari proyek – proyek yang diajukan oleh lembaga pemerintahan.

e. Memonitor proyek – proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta guna memperoleh kepastian apakah pelaksanaan proyek – proyek tersebut sejalan dengan prioritas lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

(55)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Secara umum pengertian polusi udara lintas batas negara atau transboundary air pollution adalah keadaan dimana dalam atmosfir masuk zat – zat pencemar dimana zat – zat tersebut terus berjalan hingga memasuki wilayah negara lain. Kebakaran hutan merupakan masalah yang dihadapi oleh manusia sejak zaman dahulu. Namun kebakaran hutan yang terjadi di masa sekarang merupakan kebakaran berskala besar yang biasanya disebabkan oleh kegiatan manusia itu sendiri. Kebakaran yang terjadi di zaman sekarang tidak saja menimbulkan kerugian bagi negara tempat kebakaran itu terjadi, namun juga menimbulkan kerugian pada negara lain karena timbulnya polusi udara lintas batas negara akibat kebakaran hutan tersebut. Dampak dari kebakaran hutan ini sangatlah luas, karena selain merusak kesehatan manusia (terutama pada alat pernapasan), juga merusak keseimbangan lingkungan hidup.

Ada banyak cara terjadinya polusi udara ini, dimana salah satunya adalah disebabkan adanya suatu kebakaran hutan dalam skala besar. Kebakaran ini sendiri bisa saja disebabkan oleh bencana alam ataupun karena perbuatan manusia. Kebakaran hutan yang terjad di negara – negara Asia Tenggara biasanya disebabkan karena pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat.

(56)

timbul tidak lagi hanya mengganggu negara yang wilayah yurisdiksinya menjadi sumber dari polusi itu, namun juga mengganggu wilayah yurisdiksi negara lain. Inilah yang disebut polusi udara lintas batas negara.

2. Penerapan mengenai polusi udara lintas batas dalam konteks Konvensi Internasional diterapkan pada Konvensi Geneva 1979 yang merupakan konvensi pertama yang secara multilateral mengatur tentang pengendalian polusi udara. Ia juga merupakan konvensi dimana baik negara yang wilayah yurisdiksinya merupakan sumber polusi dan negara yang wilayah yurisdiksinya terkena dampak dari polusi udara lintas batas itu saling bekerjasama.

Walaupun begitu isi dari Konvensi ini kurang maksimal, karena di dalamnya tidak memuat tentang adanya kewajiban – kewajiban khusus bagi negara partisipan untuk mengurangi pembuangan zat pencemar tertentu, dalam jumlah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.

(57)

3. Penanganan masalah – masalah polusi udara lintas batas dalam ASEAN yaitu dibuatnya ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution 1995, dimana di dalamnya dibahas secara lebih spesifik mengenai mencegah dan mengendalikan sumber asap pada tingkat nasional maupun regional dengan menerapkan teknologi yang berwawasan lingkungan.

Selain itu beberapa negara anggota ASEAN telah membuat peraturan di negaranya masing – masing yang intinya adalah melarang pembakaran hutan tanpa adanya pengecualian. Namun peraturan semacam ini belum dilaksanakan di seluruh negara anggota ASEAN.

Pada bulan Juni 2002 negara – negara ASEAN menandatangani ASEAN Agreement on Transboubdary Haze Pollution. Perjanjian ini merupakan perjanjian pertama di dunia yang secara khusus membahas mengenai polusi asap lintas batas negara. Di dalamnya disebutkan kewajiban bagi negara – negara anggota ASEAN untuk saling bekerjasama dalam mencegah dan mengawasi polusi asap lintas batas negara yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan atau lahan dan juga pengembangan sistem peringatan dini akan adanya bahaya kebakaran hutan. Selain itu negara anggota juga diwajibkan untuk mengambil tindakan legislatif, administratif ataupun tindakan lainnya guna mengimplementasikan perjanjian ini.

(58)

B. SARAN

Para negara anggota ASEAN telah menyadari pentingnya bahaya polusi udara yang disebabkan oleh kebakaran hutan. Hal ini perlu tetap dijaga agar di masa mendatang tidak ada lagi ancaman seperti ini.

1. Apabila di kemudian hari terjadi lagi bahaya polusi udara yang disebabkan oleh kebakaran hutan, maka hendaknya negara – negara anggota ASEAN secepat mungkin turut serta membantu negara yang wilayah yurisdiksinya menjadi tempat kebakaran hutan tersebut, guna mencegah bertambah luasnya kebakaran hutan tersebut yang kemungkinan akan menghasilkan polusi udara lintas batas negara.

2. Perlunya negara – negara anggota ASEAN untuk lebih menegaskan peraturan negaranya masing – masing tentang pelarangan adanya pembakaran hutan tanpa kecuali, dimana apabila hal ini dilanggar maka akan mendapat hukuman yang berat. Hal ini diperlukan guna mencegah kemungkinan pembakaran hutan di masa depan.

(59)

BAB II

KARAKTERISTIK POLUSI UDARA LINTAS BATAS NEGARA YANG DISEBABKAN OLEH KEBAKARAN HUTAN

Kehidupan generasi mendatang sangatlah tergantung pada generasi sekarang, di mana kehidupan masa kini akan menentukan kualitas lingkungan hidup dan kesejahteraan manusia di masa yang akan datang. Dalam kehidupan masa sekarang ini ada empat permasalahan pokok lingkungan yang berdampak global, yaitu :

a. perubahan iklim, termasuk peningkatan suhu bumi secara global; b. lubang ozon di atmosfer;

c. ancaman terhadap punahnya species flora dan fauna; d. polusi dari bahan kimia.

Menurut temuan para pakar, pada dasarnya peristiwa kebakaran hutan di kawasan Asia Tenggara merupakan gejala yang terjadi sejak zaman yang dinamakan zaman Pleistocene.5

Masalah – masalah lingkungan mengandung dimensi internasional dan juga bersifat timbal balik, yaitu dalam arti, bahwa dalam suatu peristiwa sebuah negara menjadi penderita pencemaran lingkungan, tetapi dalam peristiwa lain kegiatan – kegiatan di dalam negara itu merupakan sumber pencemaran

Namun, sudah barang tentu peristiwa kebakaran pada zaman itubelum mempunyai makna jika dilihat dari segi pengelolaan lingkungan hidup maupun hubungan internasional. Berbeda halnya dengan peristiwa kebakaran hutan pada dasawarsa 1980 dan 1990 – an, serangkaian peristiwa ini dipandang sebagai sebuah malapetaka lingkungan regional.

5

(60)

lingkungan hidup lintas batas. Oleh sebab itu, perlindungan lingkungan dipandang sebagai sebuah kepentingan bersama yang dapat diwujudkan jika terdapat kerjasama antar negara dalam lingkup lokal maupun regional.

Salah satu masalah lingkungan yang kini sedang dihadapi masyarakat internasional adalah masalah pencemaran udara. Pencemaran udara lintas batas merupakan suatu masalah lingkungan yang sangat serius. Selain karena dampak negatifnya terhadap kesehatan manusia, polusi udara yang disebabkan oleh kebakaran hutan juga menimbulkan akibat – akibat ekologis dikarenakan rusaknya hutan tropis yang amat bernilai.

Defenisi pencemaran udara bila kita pelajari di berbagai kepustakaan ternyata tidak ada satu pun yang sama antara yang satu dengan yang lainnya, dimana umumnya lebih banyak menengahkan pengertian – pengertian melalui perumpamaan yang dirangkaikan sebagai suatu defenisi.

Istilah pencemaran sendiri mulai dipergunakan di Indonesia untuk pertama kalinya untuk menerjemahkan istilah asing “pollution” pada seminar biologi II di Ciawi, Bogor pada tahun 1970. Sejak itu mulailah istilah ini menyebar dan merata dalam bahasa Indonesia, baik dalam penggunaan di media massa atau dipergunakan di lembaga – lembaga resmi.

Gambar

Tabel 1. Jangka waktu beberapa unsur – unsur dalam atmosfer.19

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan yang dimaksud dengan Gharib pada sanad saja adalah Hadits yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkannya dari salah

Kelas verba yang ditemukan pada data terdiri dari (1) verba murni, yakni verba yang tidak berasal dari kelas kata lain, (2) verba denominal, yakni verba yang terbentuk dari nomina,

Selain hubungan kualitas mengajar guru terhadap motivasi belajar peserta didik, dibawah ini adalah poin-poin tentang hubungan guru dengan peserta didik baik itu dalam

Berdasarkan masalah yang telah peneliti rumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang tepat (sahih, valid, benar) dan dapat

I løpet av 1960-tallet ble imidlertid kjøkkentøyproduksjonen i Holmestrand fortrengt av andre typer ferdigvarer, og det kan synes som om Nordisk ga avkall på en produksjon som

Universitas Negeri Semarang (UNNES) adalah salah satu lembaga pendidikan tenaga pendidikan yang menyelenggarakan PPL disamping universitas- universitas pendidikan

Penguatan wadah pusat kajian dan penelitian khazanah lokal Islam dalam lingkup kebudayaan dan peradaban Jawa Barat, lebih khusus Sunda di Fakultas Adab dan

Penelitian ini menganalisis bentuk tahapan pelayanan, strategi serta fungsi dari setiap tahapan pelayanan anak pada Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) “Turikale”