BAB III KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pluralisme Agama
Bertolak dari akar kata yang pertama yaitu pluralisme, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari kata “plural” yang berarti banyak atau majemuk. Atau meminjam definisi Martin H. Manser dalam Oxford Learner‟s Pocket Dictionary: “Plural (form of a word) used of referring to more than one”.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme diartikan sebagai hal yang mengatakan jamak atau tidak satu .2 Selanjutnya kata “agama” menurut Harun Nasution berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata “agama” tersusun dari dua kata, a = tidak, dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Adalagi yang mengatakan bahwa “agama” berarti teks atau kitab suci, dan selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa gam berarti tuntunan. Memang agama mengandung ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.3
Secara istilah, pengertian pluralisme agama bisa dilihat dari beberapa pendapat para tokoh di antaranya:
1. Menurut Alwi Shihab, pengertian pluralisme dapat disimpulkan menjadi 3 yaitu: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan
1
Marsen, Martin H, Oxford Leaner‟s Pokcet Dictionary, (Oxford University, 1999), Third Edition, h. 329
2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka),h. 691
tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Dalam hal ini kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Maksudnya walaupun suatu ras dan bangsa tersebut hidup berdampingan tetapi tidak ada interksi sosial. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Paham relativisme menganggap “semua agama adalah sama”. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut. Selanjutnya Alwi mengatakan bahwa pluralisme berarti tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.4
2. Syamsul Ma’arif mendefinisikan pluralisme adalah suatu sikap saling mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi tercapainya kerukunan antarumat beragama. Dan dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, umat beragama diharapkan masih memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing.5
4Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, (Bandung: Mizan, 1999) h. 41-42
5Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), h. 17
3. Menurut Nurcholis Madjid, Pluralisme agama tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, berdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme agama harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of civility).6 4. Ulil Abshar Abdallah, Koordinator JIL, juga memberi definisi bahwa
Pluralisme agama yaitu bukan berarti menganggap bahwa semua agama itu sama. Karena menurut Ulil istilah pluralisme agama pada awalnya ditujukan pada agama-agama semith atau agama langit. Jadi lebih tepatnya kalau pluralisme agama diartikan, bahwa semua agama semith berasal dari yang sama, yaitu tauhid. Sebab akar dari semua agama semith yaitu tauhid.7
5. Husaen Muhammad menjelaskan bahwa Pluralisme Agama dapat dilihat dari tiga sisi yaitu, pertama dari sudut sosial, yaitu memandang semua agama berhak untuk ada dan hidup, artinya semua umat beragama sama-sama belajar untuk toleran dan menghormati iman atau kepercayaan dari setiap penganut agama lain. Kedua etika atau moral yaitu semua umat beragama memandang bahwa moral atau etika dari masing-masing agama bersifat relative dan sah, apabila umat beragama menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, maka didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain. Ketiga teologi filosofis, yaitu semua
6Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta Utara: Pt RajaGrafindo Persada, 2004 ), h. 39
agama pada hakikatnya setara, sama-sama benar dan sama menyelamatkan. Artinya semua agama menuju pada ketuhanan yang maha esa.8
6. MUI mendefinisikan pluralisme agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif.
Dengan melihat berbagai definisi tentang pluralisme agama di atas, maka secara umum pengertian pluralisme agama dapat dipahami sebagai suatu kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing.9 Oleh karenanya pluralisme harus diamalkan berupa sikap saling mengerti, memahami, dan menghormati antar umat beragama serta mengakui hak agama lain dan memahami perbedaan guna tercapainya kerukunan umat beragama dan terjalin pertalian sejati dalam kebhinekaan. Walaupun terdapat perbedaan pemaknaan MUI terhadap konsep pluralisme agama, namun penulis tidak mempersoalkannya. Karena memang MUI sebagai lembaga keagamaan menolak paham pluralisme yang ingin menyamakan semua agama. Tetapi pluralisme yang dimaknai sebagai perbedaan agama MUI tidak masalah.
B. Sejarah Pluralisme Agama
Sejarah mengenai awal pertama kali munculnya pluralisme agama menurut Anis Malik Thoha ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan
8 www.digilib.uinsby.ac.id. Pdf (diakses pada: 24/08/17) pkl 21.00 wib 9 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 14
bahwa pluralisme agama berawal dari agama Kristen yang dimulai setelah Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an yang mendeklerasikan “keselamatan umum” bahkan untuk agama-agama di luar Kristen. Gagasan pluralisme ini sebenarnya adalah sebagai upaya peletakan landasan teologis Kristen untuk berinteraksi dan bertoleransi dengan agama-agama lain. Versi kedua menyebutkan bahwa pluralisme agama berasal dari India. Rammohan Ray (1773-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj yang semula pemeluk agama Hindu, telah mempelajari konsep keimanan terhadap Tuhan dari sumber-sumber Islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan Satu dan persamaan antar agama. Selain itu, Sri Rama Krishna (1834-1886), seorang mistis Bengali, setelah mengarungi pengembaraan spritual antar agama (passing over) dari agama Hindu ke Islam, kemudian ke Kristen dan akhirnya kembali ke Hindu lagi, juga menceritakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam agama-agama sebenarnya tidaklah berarti, karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya masalah ekspresi. Perbedaan tersebut ia misalkan seperti Bahasa Bangal, Urdu dan Inggris yang mempunyai ungkapan yang berbeda-beda dalam medeskripsikan “air”, namun hakikat air adalah air. Maka menurutnya, semua agama mengantarkan manusia kepada satu tujuan yang sama, maka mengubah seseorang dari satu ke agama yang lain (prosilitasi) merupakan tindakan yang tidak bisa dijustifikasi, di samping merupakan tindakan yang sia-sia.10
10Ibid., h. 21
Gagasan utama dari Ramakrishna adalah persahabatan dan toleransi penuh antar agama. Gagsan tersebut kemudian berkembang hingga keluar wilayah India berkat kedua muridnya, Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda (1982-1902). Ketika berkunjung ke Eropa, Sen sempat berjumpa dan berdiskusi dengan F. Max Muller (1823-1900), Bapak ilmu Perbandingan Agama modern di Barat. Pada kesempatan itu Sen menyampaikan gagasan- gagasan pluralisme yang diterima dari gurunya. Sedangkan Vivekananda berkesempatan untuk menyampaikan gagasan Ramakrishna di depan Parlemen Agama Dunia di Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1893. Dengan demikian, ia disebut sebagai peletak dasar gerakan Hindu Ortodok Baru yang mengajarkan bahwa semua agama adalah baik dan kebenaran yang paling tinggi adalah pengakuan terhadap kenyataan ini. Menyusul kemudian tokoh-tokoh India lainnya seperti Mahatma Ghandi (1869-1948) dan Servepalli Radhakrishnan (1888-1975) yang juga memiliki gagasan pluralisme agama yang sama.11
Dari uraian di atas terlihat perbedaan mendasar antara gagasan pluralisme yang dicetuskan oleh teolog India dengan pemikirian teolog Barat, khususnya Eropa. Konsep pluralisme agama di India lebih mempunyai akar teologisnya, karena dasar pemikiran tersebut tetap bersumber kepada Kitab Suci Hindu, seperti saling dimilikinya kebenaran yang mengantarkan kepada jalan menuju Tuhan. Konsep pluralisme agama di India muncul dalam
11Ibid., h. 22
wacana teologis, sedangkan di Barat gagasan ini merupakan produk filsafat modern yang muncul pada masa pencerahan Eropa.12
Sementara itu dalam dunia Islam, menurut Anis Malik Thoha, pemikiran pluralisme agama adalah perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern terhadap dunia Islam. Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam baru muncul pasca perang dunia II, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan berinteraksi langsung dengan budaya Barat.13
Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan Islam.14
Di Indonesia, paham pluralisme agama masuk ketika para cendikiawan muslim membuka kran liberalisasi seperti yang diusung oleh Nurcholis Madjid. Berawal dari sini pluralisme menjadi tren dalam kehidupan umat beragama dengan dalih untuk mencegah dan meredam konflik antar umat beragama.15
12Ibid., h. 23
13ibid
14ibid
C. Faktor-Faktor Munculnya Pluralisme Agama
Menurut Anis Malik Thoha, sebab lahirnya teori pluralisme agama banyak dan beragam, sekaligus kompleks. Namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal (sosio-politis dan ilmiah).
1. Faktor Internal
Faktor internal di sini yaitu mengenai masalah teologis. Keyakinan sesorang yang serba mutlak dan absolut bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar dan paling superior, adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal aqidah, mazhab, dan ideologi (baik yang berasal dari wahyu Allah maupun dari sumber lainnya). Kenyataan (absolutisme agama) ini hampir tak satupun yang mempertanyakannya atau mempertentangkannya, hingga datangnya era modern di mana faham “relativitas agama” mulai dikenal dan menyebar secara luas di kalangan para pemikir dan intelektual, khususnya pada dekade-dekade terakhir abad ke-20.16 Pemikiran relativisme ini merupakan sebuah sikap pluralisme terhadap agama.
2. Faktor Eksternal a. Sosio-politis
Di antara faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya wacana-wacana sosio-politis, demokrasi,
16Ibid., h.25
dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa (nation-state), dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal dengan “globalisasi”, yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad.
Proses ini bermula semenjak pemikiran manusia mengenal “liberalisme” yang menorompetkan irama-irama kebebasan, toleransi, kesamaan dan pluralisme. Liberalisme inilah yang menjadi cikal bakal pluralisme agama. Pada awalnya liberalisme hanya menyangkut mengenai masalah politik belaka, namun pada akhirnya menyangkut masalah keagaman juga. Politik liberal atau proses demokratisasi telah menciptakan perubahan yang sistematis dan luar biasa dalam sikap dan pandangan manusia terhadap agama secara umum. Sehingga dari sikap ini muncullah pluralisme agama.
b. Faktor Keilmuan: (gerakan kajian-kajian “ilmiah” Modern terhadap Agama-agama)
Pada hakikatnya, terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan munculnya pluralisme. Namun yang berkaitan langsung dengan timbulnya teori pluralisme ini menurut Anis Malik Thoha, adalah maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia atau yang sering dikenal dengan studi perbandingan agama.
Di antara temuan dan kesimpulan penting yang telah dicapai dalam disiplin Perbandingan Agama ini dengan berbagai trennya (secara historis, fenomenologis, sosiologis, psikologis, dan filosofis), adalah bahwa
agama-agama di dunia hanyalah merupakan ekspresi atau manifestasi yang beragam dari suatu hakikat metafisik yang absolut dan tunggal, dengan kata lain semua agama adalah sama. Kesimpulan ini didasarkan pada sebuah premis yang mereka bangun bahwasanya agama adalah sikap dan respons manusia terhadap suatu hakikat ketuhanan yang absolut.17
D. Islam dan Pluralisme
Pengakuan terhadap kemajemukan atau pluralitas merupakan salah satu ciri dari pemikiran postmodernisme.18 Salah satu bentuk kemajemukan tersebut adalah dalam hal agama. Untuk itu pengakuan terhadap pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan. Faisal dalam bukunya menulis:
“….Pluralitas sudah menjadi suatu keniscayaan yang taken for granted di era ini. Pluralitas agama adalah salah satu realitas yang akan selalu mewarnai dunia. Pluralitas atau keragaman agama, baik secara teoritis teologis konseptual maupun praksis sosiologis empiris, telah menjadi sesuatu yang tidak bisa diingkari. Karenanya, menyikapi realitas pluralitas merupakan sebuah keniscayaan pula…”19
Islam adalah salah satu agama samawi yang mempunyai banyak penganut. Untuk itu sangat penting untuk melihat bagaimana Islam memandang pluralisme. Dalam hal ini penulis akan melihatnya dari dua aspek, yaitu dari Al-Qur’an dan kesaksian sejarah Islam mulai dari masa Rasulullah SAW hingga masa Khalifah.
1. Pluralisme dalam Al-Qur’an 17Anis Malik Thoha, op.cit., h. 44
18Faisal, Hubungan Antar Agama, Hubungan Islam Kristen Menurut Mohammad Natsir, Hayfa Press, h. 23
Al-Qur’an telah memberi banyak isyarat-isyarat tentang pluralisme agama di antaranya adalah firman Allah dalam surah Al-Kafirun ayat 6, artinya: “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”. Dalam Al-Qur’an juga Allah menjelaskan eksistensi agama-agama lain ketika menegaskan: “Dan jika Tuhan berkehendak, maka semua yang ada di bumi bisa menjadi beriman.” Allah berfirman dalam Al-Quran:
Artinya:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. Al-Maidah: 48)
Ayat di atas menurut Faisal dapat dipahami bahwa Al-Qur’an sendiri mengkonfirmasi eksistensi agama-agama di luar Islam. Walaupun terdapat perbedaan mengenai agama-agama yang dimaksud, apakah agama
yang datang sebelum Islam yang masih asli atau juga termasuk agama-agama yang dianggap sudah terdistorsi (menyimpang) seperti yang ada saat ini.20
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa, dalam Surah Al-Maidah: 48, Allah tidak menghendaki seluruh umat manusia menjadi satu umat. Hal ini dikarenakan Allah hendak menguji manusia dengan perbedaan potensi yang dimiliki. Jangan menghabiskan waktu atau tenaga untuk memperdebatkan perbedaan dan perselisihan yang terjadi. Allah juga menganugrahkan manusia akal supaya bisa digunakan untuk memilih dan memilah. Berlomba-lombalah berbuat kebajikan, karena hanya kepada Allah semua akan kembali.21
Prof Dr. Hamka di dalam Tafsir Al-Azhar juga mengatakan bahwa dalam ayat tersebut Allah mengatakan bahwa Ia kuasa untuk menjadikan syariat manusia itu satu saja sejak zaman Adam sampai Muhammad. Namun Allah tidak menjadikan demikian, manusia tidak hanya diberi insting, tetapi juga diberi akal. Maka di ujilah manusia dengan akal tersebut untuk menyesuaikan hidupnya dalam alam sekeliling dan dianjurkan untuk menggunakan akal tersebut untuk berlomba-lomba melakukan perbuatan baik. Dengan diberinya kebebasan berpikir untuk menuju kebaikan, maka sudah tentu terdapat perselisihan pendapat dan ijtihad.22
20Faisal, op.cit, h. 59
21M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Tanggerang: Lentera Hati, 2002), h. 112 22Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pt Pustaka Panjimas, 1982) juz 6, h. 349
Dalam Tafsir Ibnu Kasir, Al-Imam Abul Fida Isma‟il menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah Swt. telah menetapkan berbagai macam syari’at untuk menguji hamba-hambaNya terhadap apa yang disyari’atkan kepada mereka. Allah akan memberi pahala atau siksa terhadap perbuatan manusia. Maka Allah menganjurkan untuk berbuat kebajikan dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya. Yakni dalam hal taat kepada Allah dan mengikuti syari’atnya. Kepada Allah semua akan kembali, dan pada hari kiamat nanti Allah akan memberitahu kebenaran mengenai apa yang diperselisihan.23
Di ayat lain Al-Qur’an menyatakan bahwa perbedaan di antara umat manusia, warna kulit, bentuk rupa, ras, suku, budaya, bahasa dan agama adalah wajar, Allah bahkan melukiskan ideologi dan agama sebagai rahmat. Allah menganugrahkan nikmat akal kepada manusia, kemudian dengan akal tersebut Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi dari Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 256:
Artinya:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar
23Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 6 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), h. 498-499
dengan jalan yang sesat. Barang siapa yang ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”.24
M. Quraish Shihab menjelaskan, tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ketika seseorang telah memilih satu akidah maka ia terikat dengan tuntunan-tuntunannya. Melalui ayat ini juga Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaaan menyebabkan jiwa tidak damai, untuk itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan karena sudah jelas antara jalan yang lurus dan yang sesat.25
Dalam buku yang berjudul Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Ikhwan juga memberi pendapat bahwa, surat Al-Baqarah ayat 256 mengandung penghormatan terhadap hak setiap orang untuk memeluk suatu agama atau keyakinan. Ia menulis:
“Ayat ini mengandung penghormatan terhadap hak setiap orang untuk memeluk suatu agama atau keyakinan. Tidak seorangpun yang berhak untuk memaksa orang lain untuk memeluk suatu agama atau keyakinan, meskipun secara obyektif agama yang ditawarkannya adalah agama yang paling benar dan sempurna.” Ia melanjutkan dengan menulis:
“Allah SWT menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai oleh Allah SWT. Ajaran Islampun menyuruh umatnya untuk mengajak manusia untuk memeluk agama Islam. Akan tetapi, semua itu tidak berarti ada hak untuk
24Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah Oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, h. 42
memaksakan ajaran Islam kepada seseorang. Islam harus disebarkan melalui cara-cara yang baik dan bijaksana...”.26
Menurut M. Natsir, sebagaimana penulis kutip dari buku Faisal Hubungan Antar Agama mengatakan bahwa Islam dengan tegas memberi kemerdekanan beragama. “tidak ada paksaan dalam agama”, merupakan dasar pandangan Islam terhadap agama-agama secara umum. Ajaran ini sudah dipraktikkan Nabi Muhammad SAW. Natsir mengatakan:
“Kemerdekaan beragama itu, adalah masih bersifat relative di dunia Barat sampai sekarang, padahal di Negara-negara Islam, kemerdekaan beragama sudah dijamin dan dipraktikkan sejak masa Muhammad Saw..”.27
Abudurrahman Wahid dalam bukunya Islamku Islam Anda Islam Kita, mengutip salah satu ayat Al-Qur’an dan mengatakan bahwa Islam menurut ia mengakui perbedaan. Perbedaan akan senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Perbedaan tersebut di antaranya adalah perbedaan keyakinan keagamaan. Ia menulis:
“Kitab suci al-Qur’an menyatakan, sesungguhnya telah Ku ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan Ku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal (QS al-Hujurat: 13), menunjukkan kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan (Tafarruq)”.28
Selain ayat-ayat di atas yang telah penulis kemukakan, terdapat ayat lain yang mendukung pluralisme dengan redaksi yang berbeda. Di
26Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), h. 62-63 27Faisal, op.cit, h. 34
28Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006) h. 134
antaranya adalah dalam surat Al-baqarah ayat 62 dan surat Al-Hajj ayat 17: Artinya:
“Sesungguhnya orang mukmin, orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang-orang-orang Shabiin29, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah30, hari kemudian dan beramal saleh31, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah:62)32
Artinya:
“Sesungguhnya orang beriman, orang Yahudi, orang-orang Sabiin33, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (Q.S. Al-Hajj:17)34
Al-Qur’an juga menekankan sisi keadilan dalam kehidupan manusia, baik kehidupan kolektif maupun individual. Secara umum
29Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
30Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah Termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.
31Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan ibadah atau tidak.
32Departemen Agama RI, op.cit., h. 10
33Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa
Qur’an menggunakan kata „adl untuk menyatakan keadilan. Kata „adl yaitu berarti suatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan “hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan”. Prinsip keadilan yang diajarkan Islam juga didorong oleh Al-Qur’an yang menganjurkan agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama warga masyarakat, jujur dalam bersikap dan lain-lain. Dengan demikian, wawasan keadilan tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro saja, melainkan juga dalam lingkup makro dari kehidupan masyarakat itu sendiri. Bersikap adil tidak hanya dituntut kepada sesama muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Di antaranya adalah bersikap adil kepada mereka untuk bebas mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama mereka masing-masing.35
2. Pluralisme Agama dalam Sejarah Islam a. Masa Nabi Muhammad SAW
Ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Yathrib (Madinah), beliau merintis sebuah negara Islam dengan membuat landasan konstitusional masyarakat kota yang kemudian dikenal dengan “Piagam Madinah” atau “Konstitusi Madinah”. Terhadap Piagam ini, Anis Malik Thoha mengatakan bahwa ini merupakan teladan tentang keadilan dan
35Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
toleransi yang luar biasa indah bagi pola hubungan masyarakat yang pluralistik. Muhammad Saw memberikan pengakuan de jure kepada orang Yahudi terhadap agama dan umat yang independen dengan status “otonomi” di bawah pemerintahan Islam. Perlakuan ini tidak hanya kepada orang Yahudi, namun juga terhadap orang Kristen Arab dari Najran dan juga kepada pemeluk agama Majusi, dengan memerintahkan para gubernur agar mereka diperlakukan seperti Ahli kitab, yaitu mereka mendapatkan hak perlindungan seperti layaknya penduduk dengan kewajiban membayar jizyah.36
Tentang dokumen ini, Moshe Gil mencatat, “The document known as the constitution of Medina is certainly one of the most remarkable documents in the history of early Islam (dokumen yang dikenal sebagai Konstitusi Madinah adalah jelas-jelas merupakan salah satu dari dokumen yang luar biasa dalam sejarah awal-awal Islam). Haekal menyebut “Perjanjian Madinah” sebagai dokumen politik yang menetapkan kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, keselamatan harta benda, dan larangan orang melakukan kejahatan.37 Begitu juga menurut Syamsul Maarif yang mengatakan bahwa “Piagam Madinah” merupakan bukti adanya kerjasama kaum Muslimin dengan kelompok agama lain. Sekaligus menunjukkan bahwa Rasulullah telah melembagakan asas
36Anis Malik Thoha, op.cit., h. 220
37Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 70
toleransi beragama yang dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surat Al-Baqarah: 156, Al-Maidah: 48, dan Al-Kafirun: 6).38
Menurut A. Ubaedillah, dalam Piagam Madinah terdapat dua prinsip pokok. Pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non-muslim didasarkan pada prinsip: (1) berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga, (2) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, (3) membela mereka yang teraniaya, (4) saling menasehati, (5) menghormati kebebasan beragama.39
b. Masa Khulafa al-Rashidin
Pada masa Khulafa al-Rashidin, wilayah kedaulatan Islam semakin luas. Seiring dengan itu masyarakatnya juga bertambah banyak, kompleks dan pluralistik. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh para khalifah adalah mengikuti apa yang dijalankan oleh Rasulullah Saw. terutama apa yang dilakukan oleh khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) dalam meratifikasi perjanjian yang dibuat Rasulullah dengan umat Kristen Najran. Pada masa itu pemerintahan Islam memberlakukan peraturan yang sama dengan penduduk-penduduk wilayah lain yang berada di bawah naungan kekhalifahan Islam. Mereka diberi hak untuk membunyikan
38Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005) h. 62
39A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi Hak Asasi Manusia
bel gereja mereka kapan saja, kecuali pada waktu shalat, dan dibenarkan mengusung prosesi tiang salib pada hari-hari besar mereka.40
Pada masa kekhalifahan Umayyah di Damaskus, kekuasaan Islam sudah sampai di anak-benua India. Para khalifah memperlakukan para pemeluk agama Hindu dan Budha sama seperti umat Yahudi dan Nasrani, yaitu memberikan perlindungan keamanan dan kebebasan beragama serta status otonomi kepada mereka selama tidak memusuhi dan mematuhi ketentuan membayar jizyah. Begitu juga halnya pada masa pemerintahan Khilafah Utsmaniyah, diberlakukan “Sistem Millet” yaitu sistem yang mengatur hubungan umat Islam dengan non-Muslim. Dalam sistem ini, hak non-muslim yang hidup di tengah masyarakat Islam dilindungi dan diperlakukan sama seperti pada masa Rasulullah dan masa Khulafa al-Rasyidin.41
40Anis Malik Thoha, op.cit., h. 226 41Ibid., h. 227