• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN NASIONAL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) TAHUN 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN NASIONAL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) TAHUN 2010"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN NASIONAL

RISET KESEHATAN DASAR

(RISKESDAS)

TAHUN 2010

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji syukur kepada Allah SWT selalu kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNYA Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 telah dapat terselesaiakan. Di dalam Laporan ini dimunculkan perkembangan status kesehatan masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan indikator MDG’s untuk tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Hasil Riskesdas 2010 mencakup indikator MDG’s nomor 1,4,5,6 dan 7, yaitu : status gizi balita, tingkat konsumsi energi per kapita, kesehatan reproduksi yang diwakili dengan indikator penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, cakupan penggunanaan kotrasepsi oleh perempuan WUS, cakupan imunisasi campak kelompok umur 12-23 bulan, prevalensi TB paru dan malaria, pengetahuan pencegahan HIV/AID, akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi dasar.

Pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2010 dilakukan Juni-Juli 2010, di 33 provinsi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) mengerahkan sejumlah enumerator untuk setiap kabupaten/kota, seluruh peneliti Balitbangkes, dosen Poltekkes, Jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Perguruan Tinggi. Untuk data kesehatan masyarakat, berhasil dihimpun data dasar kesehatan dari 33 provinsi dan 440 kabupaten/kota. Untuk biomedis, berhasil dihimpun dan diperiksa spesimen dahak dan darah dari sampel anggota rumah tangga.

Proses manajemen data mulai dari data dikumpulkan dan dientry ke komputer dilakukan di masing-masing daerah, kemudian data cleaning dilakukan di Badan litbangkes. Proses manajemen data, pengolahan dan analisis ini sungguh memakan waktu, stamina dan pikiran, sehingga tidaklah mengherankan bila diwarnai dengan dinamika kehidupan yang indah dalam dunia ilmiah.

Perkenankanlah kami menyampaikan penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus atas semua kerja cerdas dan penuh dedikasi dari seluruh peneliti, litkayasa dan staf Balitbangkes, rekan sekerja dari BPS, para pakar dari Perguruan Tinggi, Para Dosen Poltekkes, Penanggung Jawab Operasional dari jajaran Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, seluruh enumerator serta semua pihak yang telah berpartisipasi mensukseskan Riskesdas. Simpati mendalam disertai doa kami haturkan kepada mereka yang mengalami kecelakaan sewaktu melaksanakan Riskesdas.

Secara khusus, perkenankan ucapan terima kasih kami dan para peneliti kepada Ibu Menteri Kesehatan yang telah memberi kepercayaan kepada kita semua, anak bangsa, dalam menunjukkan karya baktinya.

Kami telah berupaya maksimal, namun pasti masih banyak kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Untuk itu kami mohon kritik, masukan dan saran, demi penyempurnaan Riskesdas dimasa yang akan datang..

Billahit taufiq walhidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, 17 Agustus 2010 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SH, Msi, SpF(K)

(3)

SAMBUTAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan bimbinganNya, Kementerian Kesehatan saat ini telah mempunyai indikator MDG’s berbasis komunitas, yang mencakup seluruh Provinsi melalui Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2010.

Riskesdas telah menghasilkan serangkaian informasi situasi kesehatan berbasis komunitas yang spesifik berkaitan indikator MDG’s 1,4,5,6 dan 7, sehingga merupakan masukan yang amat berarti bagi perencanaan bahkan perumusan kebijakan dan intervensi yang lebih terarah, lebih efektif dan lebih efisien.

Saya minta semua pelaksana program untuk memanfaatkan data Riskesdas 2010 dalam menghasilkan rumusan kebijakan dan program yang komprehensif. Demikian pula penggunaan indikator sasaran keberhasilan dan tahapan/mekanisme pengukurannya menjadi lebih jelas dalam mempercepat upaya peningkatan derajat kesehatan secara nasional dan daerah.

Saya juga mengundang para pakar baik dari Perguruan Tinggi, pemerhati kesehatan dan juga peneliti Balitbangkes, untuk mengkaji dengan cepat apakah melalui Riskesdas dapat dikeluarkan berbagai asupan baru bagi Sistem Kesehatan Nasional yang lebih tepat untuk tatanan kesehatan di Indonesia.

Saya menyampaikan ucapan selamat dan penghargaan yang tinggi kepada peneliti Balitbangkes, para enumerator, para penanggung jawab teknis dari Balitbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, Puskesmas PRM/labkesda, para pakar dari Universitas dan BPS serta semua yang teribat dalam Riskesdas ini. Karya anda telah mengubah secara mendasar perencanaan kesehatan di negeri ini, yang pada gilirannya akan mempercepat upaya pencapaian target pembangunan nasional di bidang kesehatan.

Khusus untuk para peneliti Balitbangkes, teruslah berkarya, tanpa bosan mencari terobosan riset baik dalam lingkup kesehatan masyarakat, kedokteran klinis maupun biomolekuler yang sifatnya translating research into policy, dengan tetap menjunjung tinggi nilai yang kita anut, integritas, kerjasama tim serta transparan dan akuntabel.

Billahit taufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 17 Agustus 2010 Menteri Kesehatan Republik Indonesia Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH., DR.PH.

(4)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Riskesdas 2010 merupakan kegiatan riset kesehatan berbasis masyarakat yang diarahkan untuk mengevaluasi pencapaian indikator Millenium Development Goals (MDGs) bidang kesehatan di tingkat nasional dan provinsi.

Tujuan Riskesdas 2010 adalah mengumpulkan dan menganalisis data indikator MDG’s kesehatan dan faktor yang mempengaruhinya. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan merupakan penelitian non-intervensi. Populasi sampel adalah seluruh rumah tangga di Indonesia. Pemilihan sampel dilakukan secara random dalam dua tahap. Tahap pertama melakukan pemilihan Blok Sensus (BS) dan tahap kedua pemilihan Rumah tangga (ruta) sebanyak 25 ruta setiap BS. Besar sampel sebanyak 2800 BS, diantaranya 823 BS sebagai sampel biomedis (malaria dan TB). Sampel BS tersebut tersebar di 33 dan 441 kabupaten/kota.

Data yang dikumpulkan meliputi keterangan ruta dan anggota ruta. Keterangan ruta meliputi identitas ruta, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran ruta. Keterangan individu meliputi identitas individu, penyakit menular, pengetahuan dan perilaku kesehatan, kesehatan anak, kesehatan ibu, cara KB, kehamilan dan pemeriksaan sesudah melahirkan, keguguran dan kehamilan yang tidak diinginkan, perilaku seksual, konsumsi makan dalam 24 jam kemarin. Pengukuran tinggi badan/panjang badan dan berat badan dilakukan pada setiap responde, dan pemeriksaan darah malaria dilakukan dengan Rapid

Diagnostic Test (RDT), sedangkan untuk TB paru dilakukan pemeriksaan dahak pagi dan

sewaktu hanya pada kelompok umur 15 tahun ke atas.

Pengumpulan data dan entri data dilakukan oleh tenaga terlatih dengan kualifikasi minimal tamat D3 kesehatan. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab Tehnis Kabupaten, kemudian melakukan pengiriman data secara elektronik kepada tim manajemen data pusat.

Pengumpulan data di beberapa daerah telah mulai dilakukan sejak bulan Juni 2010 berakhir pada tanggal 8 Agustus 2010 untuk dilakukan pengolahan dan analisis. Pada tanggal tersebut sejumlah 2704 BS sampel yang terkumpul datanya atau sekitar 96.5% dari 2800 BS sampel siap untuk dianalisis.

Hasil analisis dapat dilaporkan sebagai berikut: Prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9 persen diantaranya 4,9 persen yang gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang menurut provinsi yang tertinggi adalah Provinsi NTB (30,5%), dan terendah adalah Provinsi Sulut (10,6%). Sementara itu prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar 35,6 persen, dengan rentang 22,5 persen (DI Yogyakarta) sampai 58,4 persen (NTT). Prevalensi balita kurus (wasting) secara nasional adalah sebesar 13,3 persen, dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Jambi (20%), dan terendah adalah Bangka Belitung (7,6%)..

(5)

Hasil Riskesdas 2010 menunjukan 40,6 persen penduduk mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan kelompok umur dijumpai 24,4 persen Balita, 41,2 persen anak usia sekolah, 54,5 persen remaja, 40.2 persen Dewasa, serta 44,2 persen ibu hamil mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal. Sementara itu proporsi penduduk tertinggi dengan konsumsi <70% AKG adalah NTB (46,6%), dan terendah adalah provinsi Bengkulu (23,7%).

Proporsi anak 12-23 bulan yang memperoleh imunisasi campak pada Riskesdas 2010 ini adalah sebesar 74,5 persen. Proporsi anak 12-23 bulan yang memperoleh imunisasi campak menurut provinsi yang terbaik adalah DI Yogyakarta (96,4%) dan terendah adalah Papua (47,4%).

Untuk kesehatan ibu, secara nasional 82,3 persen kelahiran sudah dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. Tenaga kesehatan terlatih di wilayah perdesaan perlu lebih ditingkatkan agar kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan tidak jauh berbeda dengan kelompok penduduk perkotaan, demikian juga perhatian perlu dipusatkan pada penduduk miskin. Demikian pula halnya pada provinsi seperti Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat perlu mendapatkan perhatian agar proporsi perempuan usia reproduktif dapat lebih banyak mendapatkan pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan.

Pemanfaatan Polindes/Poskesdes sebagai tempat pelayanan terdekat ke masyarakat juga perlu ditingkatkan, karena hanya 1,5 persen yang memanfaatkan untuk persalinan. Walaupun secara nasional 59,4 persen perempuan usia reproduktif menggunakan fasilitas kesehatan untuk persalinan, akan tetapi di beberapa provinsi penggunaan fasilitas kesehatan untuk melahirkan masih sangat rendah, seperti 7,8 persen di Sulawesi Tenggara, 8 persen di Maluku Utara, atau 12,1 persen di Sulawesi Tengah.

Pemeriksaan kehamilan dengan tenaga kesehatan sudah lebih baik, yaitu 84%. Akan tetapi masih ada 2,8 persen tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, dan 3,2 persen masih memeriksakan kehamilan ke dukun. Selain itu diketahui akses (K1) adalah 92,8% ibu hamil mengikuti pelayanan antenatal, akan tetapi hanya 61,3 persen selama kehamilan memeriksakan kehamilan minimal 4 kali (K4).

Penggunaan alat/cara KB diketahui hanya 53,9 persen pada perempuan pernah kawin umur 15-49 tahun. Secara nasional masih ada 19% perempuan pernah kawin usia reproduktif yang tidak menggunakan alat/cara KB untuk mencegah/menunda kehamilan, dan 27,1 persen yang pernah ber KB akan tetapi sekarang tidak menggunakan. Disparitas menurut provinsi dapat diketahui dari yang terendah di Papua Barat (31,9%) dan tertinggi di Bali (64,3%).

Terpantau juga jenis penggunaan alat/cara KB yang masih dominan adalah dengan suntikan yaitu 31,1 persen. Kelompok penduduk di perdesaan cenderung lebih banyak menggunakan suntikan untuk pencegahan kehamilan dibanding perkotaan. Sebagian besar pelayanan KB dilakukan oleh bidan praktek (52,5%), dan hanya 12 persen di Puskesmas, serta 4,1 persen di Polindes/Poskesdes.

(6)

Pada kelompok penduduk yang tidak menggunakan alat/cara KB, terdeteksi secara nasional 14,0 persen sebenarnya mereka membutuhkan akan tetapi tidak terpenuhi (unmet

need). Variasi antar provinsi, dijumpai cukup lebar dari yang tertinggi di Papua Barat

(32,9%) dan terendah di Bali (8,7%).

Masalah lain yang perlu mendapat perhatian untuk mempercepat penurunan kematian ibu adalah mengupayakan penundaan perkawinan menjadi usia 20 tahun. Karena secara nasional persentase menikah pada usia di bawah 20 tahun masih cukup tinggi (46,4%). Secara nasional prevalensi penduduk umur 15-24 tahun yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS adalah 75,0 persen. Pada penduduk laki-laki meningkat 11 persen, sedangkan pada perempuan meningkat sebanyak 12 persen dibandingkan Riskesdas 2007. Prevalensi lebih tinggi pada penduduk belum kawin, di daerah perkotaan, pendidikan lebih tinggi, penduduk yang masih sekolah dan dengan pekerjaan sebagai pegawai atau wiraswasta, juga pada penduduk dengan status ekonomi lebih tinggi.Menurut provinsi rentangan berkisar 44,3-93,7 persen. Paling rendah di provinsi Gorontalo dan tertinggi di provinsi DI.Yogyakarta. Masih ada 21 provinsi berada dibawah rata-rata nasional.

Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun dengan pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS secara nasional yaitu 18,5 persen. Menurut provinsi rentangan berkisar 8,4-35,8 persen. Paling rendah di provinsi Gorontalo dan tertinggi di provinsi Bali. Masih ada 21 provinsi berada dibawah rata-rata nasional. .

Insiden Parasit Malaria (API) dalam satu tahun terakhir (2009-2010) berdasarkan hasil pemeriksaan darah malaria pada saat wawancara adalah 24 permil. Rentang API Nasional adalah antara 0,3 persen (Bali) dan 31,4 persen (Papua). Sebanyak 20 provinsi dan semuanya di luar Jawa-Bali mempunyai API diatas API Nasional. Dari hasil wawancara, penggunaan Artemisinin Combination based Therapy (ACT) di Indonesia hanya mencapai 49,1 persen, dan hanya 75,5 persen yang mendapat pengobatan dalam 24 jam pertama sakit atau menderita demam, serta 89,6 persen yang diminum dengan dosis lengkap. Khusus pada balita, penggunaan ACT lebih rendah yaitu 34,3 persen, 80,6 persen yang mendapat pengobatan dalam 24 jam pertama sakit atau menderita demam, dan 83,4 persen yang diminum dengan dosis lengkap. Jadi penderita malaria semua kelompok umur yang mendapat pengobatan efektif adalah 33,6 persen, sedangkan pada balita hanya 21,9 persen. Dari hasil wawancara Riskesdas 2010, cakupan total kelambunisasi dengan dan tanpa diproteksi insektisida adalah 26,1 persen, dan cakupan kelambunisasi dengan diproteksi insektisida adalah 12,5 persen pada responden semua kelompok umur. Sedangkan cakupan kelambunisasi khusus pada balita dengan dan tanpa diproteksi insektisida adalah 32,7 persen, dan cakupan kelambunisasi dengan diproteksi insektisida adalah 16,0 persen.

Prevalensi TB berdasarkan pengakuan responden yang diagnosis tenaga kesehatan secara nasional sebesar 0.7 persen. Prevalensi TB berdasarkan pengakuan responden yang diagnosis tenaga kesehatan menurut provinsi yang tertinggi adalah Provinsi Papua (1,5%) dan terendah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, DI Yogyakarta, dan Bali (0,3%). Proporsi pemanfaatan OAT DOTS pada Riskesdas 2010 (83,2%) lebih baik dibandingkan dengan cakupan DOTS yang dilaporkan oleh P2PL tahun 2008 (66,25%).

(7)

Proporsi rumahtangga yang menggunakan air perpipaan terlindung sebesar 16,14 persen, tertinggi di Provinsi Sulawesi Tenggara (44,79%) dan terendah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (0,85%). Sedangkan sarana non perpipaan terlindung secara nasional adalah 56,69 persen, tertinggi di Provinsi Gorontalo (66,5%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur (29,75%). Bila sarana perpipaan terlindung dan non perpipaan terlindung dijumlahkan, maka secara nasional terdapat 72,83 persen yang akses terhadap sumber air terlindung, tertinggi di Provinsi Jawa Tengah 84,91 persen dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau (45,74%). Lebih lanjut dari hasil Riskesdas 2010 diketahui proporsi rumahtangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung dan berkelanjutan (layak) adalah 45,27 persen .

Akses penduduk atau rumahtangga terhadap fasilitas sanitasi layak sebesar 55,53 persen, paling tinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (25,35%).

(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2 Sambutan Menteri Kesehatan Kesehatan Republik Indonesia 3 Ringkasan Eksekutif 4 Daftar Isi 8 BAB 1 Pendahuluan 9 BAB 2 Metodologi 12

1. Disain 12

2. Lokasi 12

3. Populasi dan Sampel 12

4. Variabel 15

5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpul Data 16

6. Manajemen Data 16 BAB 3 Hasil dan Pembahasan 17

1. Goal 1 MDG 17

2. Goal 4 MDG 33

3. Goal 5 MDG 40

4. Goal 6 MDG 68

5. Goal 7 MDG 96 BAB 4 Kesimpulan 108 Lampiran

109

(9)

BAB I. PENDAHULUAN

Visi Kementerian Kesehatan adalah “Masyarakat Sehat yang mandiri dan berkeadilan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui

pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.

Salah satu strateginya adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk itu diperlukan data kesehatan dasar yang dapat dikumpulkan secara berkesinambungan.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas berskala nasional sampai tingkat kabupaten/kota. Riskesdas ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI. Riskesdas direncanakan dilaksanakan secara periodik, dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan yang telah dilaksanakan, sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan.

Pada tahun 2007 Badan Litbangkes telah melakukan Riskesdas pertama, meliputi semua indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan (lingkungan fisik), konsumsi rumahtangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layananan, pembiayaan kesehatan). Telah dikumpulkan pula sekitar 33.000 sampel serum, bekuan darah, dan sediaan apus, untuk test-test lanjutan di laboratorium Badan Litbangkes. Hasil Riskesdas 2007 telah dimanfaatkan oleh penyelenggara program, terutama Kementerian Kesehatan; oleh Bappenas, untuk evaluasi program pembangunan termasuk pengembangan rencana kebijakan pembangunan kesehatan jangka menengah (RPJMN 2010-2014), dan oleh beberapa kabupaten/kota dalam merencanakan, mengalokasikan anggaran, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi program-program kesehatan berbasis bukti (evidence-based

planning). Komposit beberapa indikator Riskesdas 2007 juga telah digunakan sebagai model

Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) di Indonesia untuk melihat peringkat Kabupaten/Kota.

Riskesdas 2010 bertepatan dengan tahun akan dilaksanakannya pertemuan puncak tingkat tinggi Majelis Umum PBB untuk mengevaluasi pencapaian deklarasi Millenium Development

(10)

universal primary education, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,

menurunkan kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan tuberkulosis, memastikan lingkungan yang kesinambungan, mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Dalam rangka mendukung pertemuan tersebut dan mendapatkan data kesehatan terkini yang faktual, Riskesdas 2010 difokuskan pada indikator-indikator pencapaian MDGs dan data pendukung lainnya. Untuk menjaga kesinambungan, Riskesdas serupa 2007 direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2013.

Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2010 yaitu: 1) Bagaimanakah status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia pada tahun 2010 di tingkat nasional dan provinsi?; dan 2) Bagaimana faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia di tingkat nasional dan provinsi?

Tujuan umum adalah memperoleh gambaran pencapaian target indikator MDG khusus kesehatan pada tahun 2010 berdasarkan Provinsi dan Nasional. Tujuan khsuusnya adalah untuk: a) Menilai status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia pada tahun 2010 di tingkat nasional dan provinsi, dan b) Memperoleh gambaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia di tingkat nasional dan provinsi.

Beberapa indikator MDGs kesehatan yang dikumpulkan melalui Riskesdas 2010 adalah status gizi balita dan konsumsi (memberantas kelaparan), status kesehatan ibu dan anak (menurunkan kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu), prevalensi malaria dan tuberkulosis (menurunkan angka kesakitan), akses sumber air minum yang aman dan fasilitas sanitasi dasar. Data tersebut dikumpulkan seperti pada Riskesdas 2007 yaitu melalui wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan laboratorium untuk kepastian penyakit malaria dan tuberkulosis yang dilakukan di lapangan (darah malaria) dan Laboratorium Puskesmas yang direkomendasi (dahak tuberkulosis). Beberapa indikator MDGs kesehatan lainnya yaitu prevalensi HIV/AIDS dan angka kematian anak tidak dapat dikumpulkan melalui Riskesdas 2010 karena memerlukan penelitian khusus atau didapat dari sumber data lain.

Riskesdas 2010 adalah Riskesdas MDGs karena menghasilkan beberapa indikator MDGs kesehatan nasional (Indonesia) yang berbasis bukti, dan komitmen kesehatan tingkat nasional dan global sebagai bahan penilaian pencapaian MDGs di tahun 2015. Selain itu, juga sebagai sarana untuk mengevaluasi perkembangan beberapa status kesehatan masyarakat Indonesia di tingkat nasional dan provinsi, perubahan masalah kesehatan di tingkat nasional dan provinsi, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatan di tingkat nasional dan provinsi dalam tiga tahun terakhir.

Pengumpulan data Riskesdas 2010 dilakukan segera setelah selesainya Sensus Penduduk 2010. Pengorganisasian Riskesdas 2010 sama dengan Riskesdas 2007 dilaksanakan sepenuhnya oleh seluruh jajaran Balitbangkes dengan melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk metodologi dan penentuan sampel nasional dan provinsi, serta melibatkan penyelenggara program terkait, organisasi profesi, perguruan tinggi, lembaga penelitian, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(11)

Proses pengumpulan data dilakukan dibawah koordinasi Balitbangkes yang terbagi menjadi empat koordinator wilayah sebagai berikut:

a. Koordinator Wilayah 1 dengan penanggung-jawab Puslitbang Ekologi & Status Kesehatan untuk: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Banten, dan Papua Barat.

b. Koordinator Wilayah 2 dengan penanggung- jawab Puslitbang Biomedis dan Farmasi untuk: Provinsi Riau, Kep.Riau, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan

c. Koordinator Wilayah 3 dengan penanggung-jawab Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan untuk: Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, dan Maluku Utara.

d. Koordinator Wilayah 4 dengan penanggung-jawab Puslitbang Gizi dan Makanan untuk: Provinsi Bengkulu, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua.

Pengembangan kuesioner dan pedoman dilakukan oleh tim teknis Balitbangkes dan dilakukan pelatihan berjenjang mulai dari pelatih tingkat pusat sampai ke enumerator sebagai pengumpul data di lapangan. Keseluruhan proses Riskesdas 2010 dimulai semenjak bulan februari 2010 sampai data selesai dikumpulan pada minggu pertama Agustus 2010.

Riskesdas 2010 memberikan manfaat untuk memantau indikator MDGsn khusus kesehatan sehingga dapat digunakan untuk mempertajam strategi kebijakan pembangunan kesehatan dalam mempercepat pencapaian MDG 2015.

Riskesdas 2010 telah mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (lihat lampiran).

(12)

BAB II. METODOLOGI

1. Disain

Riskesdas adalah sebuah survei yang dilakukan secara cross sectional yang bersifat deskriptif. Disain Riskesdas terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Indonesia, yang mewakili penduduk di tingkat nasional dan provinsi dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan untuk kepentingan pencapaian MDGs.

2. Lokasi

Sampel Riskesdas 2010 mewakili nasional dan 33 provinsi yang tersebar di 441 Kabupaten/Kota dari total 497 Kabupaten/Kota di Indonesia. Sampai dengan laporan ini dibuat, beberapa catatan berkenan dengan lokasi adalah sebagai berikut:

a) Dalam proses pengumpulan data, terjadi 43 pergantian BS dari 2800 BS yang telah ditetapkan semula, hal ini disebabkan karena BS semula terpilih jumlah rumah tangga yang akan menjadi sampel tidak terpenuhi dengan kriteria yang sudah ditetapkan

b) Ada 1 kabupaten di Provinsi Papua (Kabupaten Nduga) yang tidak dapat dikunjungi dalam periode waktu pengumpulan data Riskesdas.

c) Sehubungan dengan waktu untuk analisis indikator MDG sudah harus dilaksanakan, maka dari 2800 BS yang seharusnya menjadi sampel Riskesdas hanya dapat diolah sejumlah 2704 BS atau 96,5 persen (lihat tabel 1)

3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam Riskesdas 2010 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 33 provinsi yang tersebar di 441 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga dalam Riskesdas 2010 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling yang sama dengan Riskesdas 2007/Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian singkat cara penghitungan dan cara penarikan sampel dimaksud.

Penarikan Sampel Blok Sensus

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas memilih BS yang telah dikumpulkan SP 2010. Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi, rasio perkotaan/perdesaan, dan prevalensi malaria/TB-paru hasil Riskesdas 2007. Dari setiap provinsi diambil sejumlah blok sensus yang representative terhadap jumlah rumah tangga/anggota rumah tangga di provinsi tersebut. Riskesdas berhasil mengumpulkan seluruh BS kecuali di kabupaten Nduga, Papua. Akan tetapi karena analisis harus segera dilakukan maka 94 BS yang belum sempat terkirim ke manajemen data pusat per tanggal 12 Agustus 2010, tidak bisa diikutkan untuk proses analisis.

(13)

Penarikan Sampel Rumah Tangga/Anggota Rumah Tangga

Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling), yang menjadi sampel rumah tangga dari jumlah rumah tangga di blok sensus tersebut.

Tabel 1

Jumlah Sampel Blok Sensus (BS) menurut Provinsi, Riskesdas 2010

Provinsi Jml BS-Sampel Jml BS-yang diolah Jml BS yang belum diolah

Nanggroe Aceh Darussalam 53 51 2 Sumatera Utara 128 117 11 Sumatera Barat 54 52 2 Riau 66 64 2 Jambi 40 33 7 Sumatera Selatan 83 82 1 Bengkulu 29 29 0 Lampung 86 84 2 Bangka Belitung 23 23 0 Kepulauan Riau 28 28 0 DKI Jakarta 111 111 0 Jawa Barat 494 487 7 Jawa Tengah 343 343 0 DI Yogyakarta 54 54 0 Jawa Timur 410 410 0 Banten 117 115 2 Bali 49 49 0 Nusa Tenggara Barat 64 64 0 Nusa Tenggara Timur 50 31 19 Kalimantan Barat 53 40 13 Kalimantan Tengah 35 35 0 Kalimantan Selatan 50 50 0 Kalimantan Timur 46 46 0 Sulawesi Utara 38 32 6 Sulawesi Tengah 34 26 8 Sulawesi Selatan 85 85 0 Sulawesi Tenggara 33 33 0 Gorontalo 23 23 0 Sulawesi Barat 22 22 0 Maluku 23 23 0 Maluku Utara 19 19 0 Papua Barat 22 21 1 Papua 35 22 13 Indonesia 2800 2704 96

Secara keseluruhan, jumlah sampel rumah tangga dari 2704 BS adalah 66.906, dengan jumlah individu 241.946. Jumlah rumah tangga yang diharapkan terkumpul adalah 70.000 dari 2800

(14)

sampel yang diharapkan. Tidak semua 2704 BS dapat mengumpulkan masing-masing 25 rumah tangga sampel. Seharusnya dari 2704 BS akan terkumpul 67.600, artinya ada 694 rumah tangga yang tidak ditemukan pada saat pengumpulan data. Distribusi jumlah rumah tangga dan anggota rumah tangga dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2.

Distribusi sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga menurut Provinsi, Riskesdas 2010 PROVINSI Jml BS Jumlah Rumah tangga*) Jumlah ART yang terkumpul Sampel seharusnya Yang terkumpul

Nanggroe Aceh Darussalam 51 1,275 1,268 4,899 Sumatera Utara 117 2,925 2,851 11,320 Sumatera Barat 52 1,300 1,300 5,123 Riau 64 1,600 1,590 6,310 Jambi 33 825 816 3,075 Sumatera Selatan 82 2,050 2,039 7,940 Bengkulu 29 725 725 2,694 Lampung 84 2,100 2,099 7,496 Bangka Belitung 23 575 575 2,050 Kepulauan Riau 28 700 678 2,320 DKI Jakarta 111 2,775 2,662 9,031 Jawa Barat 487 12,175 12,096 41,738 Jawa Tengah 343 8,575 8,529 29,517 DI Yogyakarta 54 1,350 1,350 4,325 Jawa Timur 410 10,250 10,180 35,367 Banten 115 2,875 2,800 10,703 Bali 49 1,225 1,218 4,493 Nusa Tenggara Barat 64 1,600 1,599 5,597 Nusa Tenggara Timur 31 775 774 3,506 Kalimantan Barat 40 1,000 968 3,780 Kalimantan Tengah 35 875 874 3,076 Kalimantan Selatan 50 1,250 1,235 4,227 Kalimantan Timur 46 1,150 1,140 4,201 Sulawesi Utara 32 800 771 2,652 Sulawesi Tengah 26 650 644 2,362 Sulawesi Selatan 85 2,125 2,118 8,296 Sulawesi Tenggara 33 825 825 3,400 Gorontalo 23 575 575 2,174 Sulawesi Barat 22 550 550 2,106 Maluku 23 575 571 2,385 Maluku Utara 19 475 473 1,994 Papua Barat 21 525 499 2,009 Papua 22 550 514 1,780 INDONESIA 2,704 67,600 66,906 241,946 *) Jumlah rumah tangga seharusnya adalah 25 per BS

(15)

Penarikan Sampel Biomedis

Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 2800 BS yang mewakili nasional atau sejumlah 823 BS. Pada BS yang terpilih untuk biomedis, rumah tangganya dan anggota rumah tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dialkukan pemeriksaan biomedis. Untuk pemeriksaan malaria, seluruh anggota rumah tangga dari 823 BS dilakukan pengambilan darah, dan anggota rumah tangga usia 15 tahun keatas yang dilakukan pengambilan sputum/dahak pagi dan sewaktu untuk pemeriksaan TB paru.

4. Variabel

Berbagai pertanyaan terkait dengan indikator MDG bidang kesehatan dioperasionalisasikan menjadi pertanyaan riset dan akhirnya dikembangkan menjadi variabel yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai cara. Dalam Riskesdas 2010 terdapat kurang lebih 315 variabel yang tersebar dalam 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok sebagai berikut:

a. Kuesioner rumah tangga (RKD10.RT) yang terdiri dari: Blok I tentang pengenalan tempat (11 variabel); Blok II tentang keterangan rumah tangga (4 variabel); Blok III tentang keterangan pengumpul data (6 variabel); Blok IV tentang anggota rumah tangga (13 variabel); Blok V tentang dasilitas pelayanan kesehatan (18 variabel); Blok VI tentang sanitasi lingkungan (20 variabel);

Blok VII tentang Pengeluaran Rumah Tangga (39 variabel) b. Kuesioner individu (RKD10.IND), yang terdiri dari:

Blok VIII ini dikelompokkan menjadi

i. Blok VIII-A tentang identifikasi responden (4 variabel);

ii. Blok VIII-B tentang penyakit menular: Malaria (10 variabel), TB paru (9 variabel) iii. Blok VIII-C tentang pengetahuan dan perilaku (22 variabel)

iv. Blok VIII-D tentang kesehatan reproduksi, yang terdiri dari 6 sub-blok: 1. Da. Masa reproduksi perempuan (6 variabel)

2. Db Fertilitas (11 variabel) 3. Dc Alat/cara KB (8 variabel)

4. Dd Kehamilan, persalinan, pemeriksaan sesudah melahirkan (41 variabel) 5. De Keguguran dan Kehamilan yang tidak diinginkan (10 variabel)

6. Perilaku seksual (6 variabel)

v. Blok VIII-E tentang kesehatan anak , yang terdiri dari 2 sub-blok: 1. Kesehatan bayi dan anak balita (22 variabel);

2. ASI dan MP-ASI (10 variabel)

vi. Blok IX- tentang konsumsi makanan individu (jumlah variabel tergantung makanan yang dikonsumsi;

Blok X tentang pengukuran tinggi/panjang badan dan berat badan (5 variabel) Blok XI tentang Pemeriksaan laboratorium (7 variabel).

(16)

5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data

Pelaksanaan Riskesdas 2010 menggunakan berbagai alat pengumpul data dan berbagai cara pengumpulan data, dengan rincian sebagai berikut:

a. Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD10.RT

Responden untuk Kuesioner RKD10.RT adalah Kepala Keluarga atau Ibu Rumah Tangga atau Anggota Rumah Tangga yang dapat memberikan informasi

Dalam Kuesioner RKD10.RT terdapat keterangan anggota rumah tangga termasuk variabel yang dapat menunjukkan apakah anggota rumah tangga diwawancarai atau tidak, diwakili atau tidak diwakili.

b. Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD10.IND

Secara umum, responden untuk Kuesioner RKD10.IND adalah setiap anggota rumah tangga. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam kondisi sakit atau orang tua maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang menjadi pendampingnya;

Anggota rumah tangga semua umur menjadi unit analisis untuk pertanyaan mengenai

penyakit menular malaria dan TB paru, pengukuran berat badan, tinggi badan / panjang badan; konsumsi individu, dan pada BS biomedis dilakukan pemeriksaan darah malaria untuk deteksi antigen plasmodium dengan menggunakan dipstick (Rapid Diagnostic

Test/RDT).

Anggota rumah tangga berumur = 15 tahun menjadi unit analisis untuk pertanyaan

pengetahuan dan perilaku tentanh HIV/AIDS, pencegahan TB paru, pencegahan malaria, pengetahuan tembakau, dan konsumsi jamu/obat tradisional, dan pada BS biomedis dilakukan pemeriksaan TB Paru dengan mengambil sputum pagi dan sewaktu.

Anggota rumah tangga perempuan berumur 10-59 tahun menjadi unit analisis untuk

pertanyaan Kesehatan Reproduksi

Anggota rumah tangga berumur 0-59 bulan menjadi unit analisis untuk pertanyaan

kesehatan anak;

Anggota rumah tangga berumur 10-24 tahun menjadi unit analisis untuk pertanyaan

mengenai perilaku seksual;

c. Untuk biomedis, hasil pemeriksaan darah malaria dan sputum digunakan formulir tersendiri (form M1, M2, T1, T2, Mt1, MT2).

6. Manajemen Data

Balitbangkes membentuk tim manajemen data pusat yang mengkoordinasikan seluruh proses yaitu:

Bersama dengan BPS mengembangkan program data entry yang digunakan oleh enumerator setelah data dikumpulkan di lapangan

Setelah data entry dilakukan di lapangan, data langsung dikirim via email ke tim manajemen Pusat untuk dilakukan pemeriksaan kelengkapan dan data cleaning

(17)

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan tujuan dari Riskesdas 2010 yaitu memberikan informasi terkini keadaan kesehaatan masyarakat berkaitan dengan MDG, maka hasil dan pembahasan berikut khusus menyajikan indikator untuk menjawab goal 1, 4, 5,6, dan 7. Beberapa indikator terkait goal dimaksud juga disajikan agar informasi yang disajikan menjadi lebih lengkap.

1. Goal 1 – MDG

Target:

Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015.

Indikator:

1. Prevalensi balita kurang gizi (berat badan rendah, pendek, dan kurus)

2. Proporsi penduduk dengan asupan kalori dibawah tingkat konsumsi minimum

STATUS GIZI PADA BALITA

Seperti halnya pada Riskesdas 2007, status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Indikator status gizi yang digunakan adalah: Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Untuk menilai status gizi balita digunakan Standar Antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau yang disebut dengan “Standar

WHO 2005”. Dalam Millenium Development Goal (MDGs), indikator status gizi yang dipakai

adalah BB/U dan angka prevalensi status “underweight” (gizi kurang dan buruk atau disingkat “Gizi Burkur”) dijadikan dasar untuk menilai pencapaian MDGs. Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) disajikan pada Tabel 1.

1.1. Status Gizi Balita Tingkat Nasional

Secara nasional prevalensi balita “gizi burkur” menurun sebanyak 0,5 persen yaitu dari 18,4 persen pada tahun 2007 menjadi 17,9 persen pada tahun 2010. Demikian pula halnya dengan prevalensi balita pendek yang menurun sebanyak 1,2 persen yaitu dari 36,8 persen pada tahun 2007 menjadi 35,6 persen pada tahun 2010, dan prevalensi balita kurus menurun sebanyak 0,3 persen yaitu dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 13,3 persen pada tahun 2010 (Tabel 1.1). Untuk prevalensi masing-masing indikator menurut BB/U, TB/U dan BB/TB dapat dilihat pada tabel 1.1a, 1.1b, 1.1c.

1.2. Status Gizi Balita Di Daerah Kota dan Desa

Terdapat perbedaan perkembangan Prevalensi Balita Gizi Burkur, Balita Pendek dan Balita Kurus dari tahun 2007 ke 2010 antara daerah Kota dan Desa. Di daerah Kota secara umum terjadi penurunan prevalensi Balita Gizi Burkur, Balita Pendek dan Balita Kurus. Di daerah Desa tidak terjadi penurunan prevalensi.

(18)

Di daerah Kota prevalensi balita Gizi Burkur menurun dari 15,9 persen tahun 2007 menjadi 15,2 persen tahun 2010 (Gambar 1.1), prevalensi balita pendek turun dari 32,7 persen tahun 2007 menjadi 31,4 persen tahun 2010 (Gambar 1.2), dan prevalensi balita kurus turun dari 13,1 persen tahun 2007 menjadi 12,5 persen tahun 2010 (Gambar 1.3).

TABEL 1.1. STATUS GIZI BALITA PADA TAHUN 2007 DAN 2010

BB/U TB/U BB/TB PROVINSI GIZI BURKUR PENDEK KURUS

2007 2010 2007 2010 2007 2010 11. Nanggroe Aceh Darussalam 26,5 23,7 44,6 38,9 18,3 14,2 12. Sumatera Utara 22,8 21,4 43,1 42,3 17,0 14,0 13. Sumatera Barat 20,2 17,1 36,5 32,8 15,3 8,2 14. R i a u 21,4 16,2 33,0 32,2 22,1 17,2 15. Jambi 18,9 19,6 36,4 30,2 19,2 20,0 16. Sumatera Selatan 18,3 19,9 44,7 40,4 15,8 14,6 17. Bengkulu 16,8 15,3 36,0 31,6 14,1 17,8 18. Lampung 17,5 13,4 38,7 36,3 13,7 13,9 19. Bangka Belitung 18,3 14,9 35,5 29,0 10,8 7,6 21. Kepulauan Riau 12,4 14,0 26,2 26,9 13,5 7,9 31. DKI Jakarta 12,9 11,3 26,7 26,6 16,9 11,3 32. Jawa Barat 15,0 13,0 35,5 33,6 9,0 11,0 33. Jawa Tengah 16,1 15,7 36,5 33,9 11,8 14,2 34. DI Yogyakarta 10,9 11,2 27,6 22,5 9,0 9,1 35. Jawa Timur 17,5 17,1 34,8 35,9 13,7 14,2 36. Banten 16,7 18,5 39,0 33,5 14,1 14,1 51. B a l i 11,4 11,0 31,0 29,3 10,0 13,2 52. Nusa Tenggara Barat 24,8 30,5 43,7 48,2 15,5 14,0 53. Nusa Tenggara Timur 33,6 29,4 46,8 58,4 20,0 13,2 61. Kalimantan Barat 22,5 29,1 39,3 39,7 17,3 16,7 62. Kalimantan Tengah 24,3 27,6 42,7 39,6 16,9 15,6 63. Kalimantan Selatan 26,6 22,9 41,8 35,3 16,3 15,6 64. Kalimantan Timur 19,3 17,1 35,2 29,1 15,9 12,9 71. Sulawesi Utara 15,7 10,6 31,2 27,8 10,2 9,2 72. Sulawesi Tengah 27,6 26,5 40,4 36,2 15,5 14,8 73. Sulawesi Selatan 17,6 25,0 29,1 38,9 13,7 12,0 74. Sulawesi Tenggara 22,8 22,8 40,5 37,8 14,7 15,8 75. Gorontalo 25,4 26,5 39,9 40,3 16,6 11,9 76. Sulawesi Barat 25,4 20,5 44,5 41,6 16,8 16,7 81. Maluku 27,8 26,2 45,8 37,5 17,2 13,2 82. Maluku Utara 22,8 23,6 40,2 29,4 14,8 17,8 91. Papua Barat 23,1 26,5 39,4 49,2 16,4 11,4 94. P a p u a 21,3 16,2 37,7 28,3 12,4 13,8 INDONESIA 18,4 17,9 36,8 35,6 13,6 13,3

(19)

Tabel 1.1a. Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk (BB/U) Menurut Provinsi Tahun 2010

Provinsi Status Gizi BB/U Gizi buruk Gizi

kurang

Gizi Buruk+ Gizi Kurang 11. Nanggroe Aceh Darussalam 7,1 16,6 23,7 12. Sumatera Utara 7,8 13,5 21,4 13. Sumatera Barat 2,8 14,4 17,1 14. R i a u 4,8 11,4 16,2 15. Jambi 5,4 14,3 19,6 16. Sumatera Selatan 5,5 14,4 19,9 17. Bengkulu 4,3 11,0 15,3 18. Lampung 3,5 10,0 13,4 19. Bangka Belitung 3,2 11,7 14,9 21. Kepulauan Riau 4,3 9,8 14,0 31. DKI Jakarta 2,6 8,7 11,3 32. Jawa Barat 3,1 9,9 13,0 33. Jawa Tengah 3,3 12,4 15,7 34. DI Yogyakarta 1,4 9,9 11,2 35. Jawa Timur 4,8 12,3 17,1 36. Banten 4,8 13,7 18,5 51. B a l i 1,7 9,2 11,0 52. Nusa Tenggara Barat 10,6 19,9 30,5 53. Nusa Tenggara Timur 9,0 20,4 29,4 61. Kalimantan Barat 9,5 19,7 29,1 62. Kalimantan Tengah 5,3 22,3 27,6 63. Kalimantan Selatan 6,0 16,8 22,9 64. Kalimantan Timur 4,4 12,7 17,1 71. Sulawesi Utara 3,8 6,8 10,6 72. Sulawesi Tengah 7,9 18,6 26,5 73. Sulawesi Selatan 6,4 18,6 25,0 74. Sulawesi Tenggara 6,5 16,3 22,8 75. Gorontalo 11,2 15,3 26,5 76. Sulawesi Barat 7,6 12,9 20,5 81. Maluku 8,4 17,8 26,2 82. Maluku Utara 5,7 17,9 23,6 91. Papua Barat 9,1 17,4 26,5 94. P a p u a 6,3 10,0 16,2 INDONESIA 4,9 13,0 17,9

(20)

TABEL 1.1b. Prevalensi Balita Pendek dan Sangat (TB/U) Menurut Provinsi Tahun 2010

Provinsi

Status Gizi TB/U Sangat

pendek Pendek

Pendek+ Sangat pendek 11. Nanggroe Aceh Darussalam 24,2 14,8 38,9 12. Sumatera Utara 23,4 18,9 42,3 13. Sumatera Barat 14,3 18,4 32,8 14. R i a u 19,6 12,5 32,2 15. Jambi 15,4 14,8 30,2 16. Sumatera Selatan 23,1 17,3 40,4 17. Bengkulu 18,3 13,3 31,6 18. Lampung 20,6 15,6 36,3 19. Bangka Belitung 12,5 16,6 29,0 21. Kepulauan Riau 11,4 15,5 26,9 31. DKI Jakarta 14,3 12,3 26,6 32. Jawa Barat 16,6 17,1 33,6 33. Jawa Tengah 16,9 17,0 33,9 34. DI Yogyakarta 10,2 12,3 22,5 35. Jawa Timur 20,9 14,9 35,9 36. Banten 16,5 17,0 33,5 51. B a l i 14,0 15,3 29,3 52. Nusa Tenggara Barat 27,8 20,5 48,2 53. Nusa Tenggara Timur 30,9 27,5 58,4 61. Kalimantan Barat 20,7 19,0 39,7 62. Kalimantan Tengah 18,0 21,6 39,6 63. Kalimantan Selatan 15,9 19,4 35,3 64. Kalimantan Timur 14,4 14,7 29,1 71. Sulawesi Utara 12,7 15,1 27,8 72. Sulawesi Tengah 16,0 20,1 36,2 73. Sulawesi Selatan 15,8 23,1 38,9 74. Sulawesi Tenggara 20,8 17,0 37,8 75. Gorontalo 21,6 18,7 40,3 76. Sulawesi Barat 21,6 20,0 41,6 81. Maluku 16,5 21,0 37,5 82. Maluku Utara 14,4 15,0 29,4 91. Papua Barat 28,6 20,6 49,2 94. P a p u a 13,3 15,0 28,3 INDONESIA 18,5 17,1 35,6

(21)

TABEL 1.1c. Prevalensi Balita Kurus dan Sangat kurus (BB/TB) Menurut Provinsi Tahun 2010 Provinsi Status Gizi BB/TB Sangat kurus Kurus Kurus+ Sangat kurus 11. Nanggroe Aceh Darussalam 6,3 7,9 14,2 12. Sumatera Utara 5,6 8,4 14,0 13. Sumatera Barat 4,0 4,2 8,2 14. R i a u 9,2 8,0 17,2 15. Jambi 11,3 8,7 20,0 16. Sumatera Selatan 7,3 7,3 14,6 17. Bengkulu 9,7 8,1 17,8 18. Lampung 5,4 8,5 13,9 19. Bangka Belitung 1,7 5,8 7,6 21. Kepulauan Riau 2,0 6,0 7,9 31. DKI Jakarta 4,4 6,9 11,3 32. Jawa Barat 4,6 6,4 11,0 33. Jawa Tengah 6,4 7,8 14,2 34. DI Yogyakarta 2,6 6,5 9,1 35. Jawa Timur 7,3 6,8 14,2 36. Banten 6,2 7,9 14,1 51. B a l i 5,2 7,9 13,2 52. Nusa Tenggara Barat 5,9 8,0 14,0 53. Nusa Tenggara Timur 6,8 6,4 13,2 61. Kalimantan Barat 7,6 9,1 16,7 62. Kalimantan Tengah 6,0 9,6 15,6 63. Kalimantan Selatan 8,4 7,2 15,6 64. Kalimantan Timur 5,8 7,1 12,9 71. Sulawesi Utara 2,6 6,7 9,2 72. Sulawesi Tengah 8,4 6,4 14,8 73. Sulawesi Selatan 4,8 7,2 12,0 74. Sulawesi Tenggara 6,2 9,6 15,8 75. Gorontalo 4,1 7,7 11,9 76. Sulawesi Barat 6,1 10,6 16,7 81. Maluku 6,3 6,9 13,2 82. Maluku Utara 6,4 11,3 17,8 91. Papua Barat 6,0 5,5 11,4 94. P a p u a 8,2 5,7 13,8 INDONESIA 6,0 7,3 13,3

(22)

(23)

1.3. Status Gizi Balita Menurut Kuintil Pendapatan Keluarga

Kuintil pendapatan keluarga terdiri dari kuintil 1 sampai kuintil 5. Kuintil 1 adalah kelompok pendapatan terendah dan kuintil 5 adalah kelompok pendapatan tertinggi. Dari Gambar 1.4, 1.5 dan 1.6 secara umum dapat dilihat bahwa penurunan prevalensi balita gizi burkur, balita pendek dan balita kurus terjadi pada kuintil 3, kuintil 4 dan kuintil 5, sedangkan prevalensi untuk ketiga jenis masalah gizi balita pada kuintil 1 dan kuintil 2 terlihat meningkat atau relative tetap.

Dengan demikian keluarga yang masuk 2 kelompok pendapatan terendah atau keluarga yang tergolong miskin masih belum menunjukkan adanya peningkatan status gizi pada balitanya.

(24)

1.4. Status Gizi Balita Menurut Jenis Kelamin

Status gizi balita perempuan secara umum lebih baik dari balita laki-laki baik pada tahun 2007 maupun tahun 2010. Prevalensi balita gizi burkur, pendek dan kurus secara umum lebih rendah pada balita perempuan dibanding dengan balita laki-laki. Demikian pula penurunan prevalensi balita yang bermasalah gizi secara umum lebih besar terjadi pada balita perempuan disbanding dengan balita laki-laki, terutama pada prevalensi balita gizi burkur dan balita pendek (Gambar 1.7, 1.8 dan 1.9).

(25)

Prevalensi balita gizi burkur pada balita perempuan menurun dari 17,7 persen tahun 2007 menjadi 16,7 persen tahun 2010 atau turun sebesar 1 persen, sedangkan pada balita laki-laki tidak terjadi penurunan atau tetap 19,1 persen. Demikian pula halnya dengan prevalensi pendek, pada balita perempuan turun dari 35,8 persen tahun 2007 menjadi 33,9 persen tahun 2010 atau turun sebesar 1,9 persen, sedangkan pada balita laki-laki penurunan prevalensi terlihat kecil yaitu dari 37,7 persen tahun 2007 menjadi 37,3 persen tahun 2010 atau turun sebesar 0,4 persen. Penurunan prevalensi kurus terlihat lebih tinggi pada balita laki-laki yaitu sebesar 0,7 persen, sedangkan pada balita perempuan sebesar 0,2 persen.

1.5. Status Gizi Balita Tingkat Provinsi

Ditinjau dari prevalensi Balita Gizi Burkur pada tahun 2010 ada 20 provinsi yang menurun prevalensi dan 13 provinsi meningkat atau relative tetap. Provinsi Sulawesi Utara memiliki prevalensi balita gizi burkur paling rendah yaitu 10,0 persen dan Provinsi NTB memiliki prevalensi tertinggi yaitu 30,5 persen (Gambar 1.10).

Dalam hal prevalensi Balita Pendek pada tahun 2010 ada 25 provinsi yang menurun prevalensinya dan 8 provinsi yang meningkat atau relative tetap prevalensinya. Provinsi DI Yogyakarta memiliki prevalensi pendek terendah yaitu 22,5 persen dan Provinsi NTT memiliki prevalensi tertinggi yaitu 58,4 persen. (Gambar 1.11)

Demikian pula dengan prevalensi Balita Kurus, terdapat 20 provinsi yang menurun prevalensinya dan 13 provinsi meningkat atau relative tetap. Provinsi Bangka Belitung memiliki prevalensi terendah yaitu 7,6 persen dan Provinsi Jambi memiliki prevalensi tertinggi yaitu 20,0 persen (Gambar 1.12).

1.6. Trend Prevalensi Balita Gizi Burkur dari Tahun 1989 – 2010

Pencapaian MDG berdasarkan indicator status gizi balita disajikan pada Gambar 1.13 trend prevalensi balita gizi burkur dari tahun 1989 – 2010. Secara umum dapat dilihat penurunan prevalensi balita gizi burkur dari tahun 1989 ke tahun 2010. Pada tahun 1989 prevalensi gizi burkur sebesar 31 persen yang diharapkan menjadi separuhnya yaitu 15,5 persen pada tahun 2015.

Pencapaian indicator MDG pada tahun 2010 berdasarkan prevalensi gizi burkur adalah 17,9 persen. Dengan demikian dalamk kurun waktu 5 tahun mendatang Indonesia harus menurunkan prevalensi balita gizi burkur sebesar 2,4 persen yang berarti rata-rata dalam setahun harus turun sebesar 0,5 persen.

(26)
(27)
(28)

(29)

KONSUMSI ENERGI DIBAWAH KEBUTUHAN MINIMAL

Tujuan MDG’s nomor satu adalah “Menanggulangi Kemiskinan dan `Kelaparan” dan didalamnya terdapat target “menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya”, yang dijabarkan dalam indikator “Proporsi penduduk yang berada di

bawah konsumsi minimum”. Sesuai dengan indikator diatas, maka pada Risksdas 2010 telah

dikumpulkan data konsumsi energi individu, dimana setiap anggota rumah tangga diwawancara konsumsi makan sehari (24 jam yang lalu), sedangkan pada Riskesdas 2007, data konsumsi energi adalah data konsumsi rumah tangga, dimana ibu atau orang yang menyediakan makan untuk semua anggota rumah tangga yang diwawancara dengan memperhitungkan jumlah orang menurut umur dan jenis kelamin yang makan dirumah dan yang makan diluar rumah. Konsumsi energi per kapita penduduk pada data Riskesdas 2007 dihitung berdasarkan konsumsi energi rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga yang sudah distandarisasi menurut umur dan jenis kelamin, serta dikoreksi dengan jumlah tamu yang ikut makan dirumah tangga tersebut (menurut umur dan jenis kelamin). Proporsi penduduk yang mengkonsumsi energi lebih rendah dari 70 % dari 2100 kkal.

Oleh sebab itu data konsumsi energi Riskesdas 2010 lebih akurat, sebab angka yang diperoleh merupakan angka konsumsi energi individu (anggota rumah tangga). Kebutuhan konsumsi energi setiap individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin serta status hamil atau menyusui (bagi individu wanita). Proporsi penduduk dengan konsumsi energi dibawah kebutuhan minimal dihitung berdasarkan konsumsi energi penduduk dibandingkan kebutuhannya sesuai umur, jenis kelamin dan status kehamilan (bagi ibu hamil). Acuan

(30)

kecukupan yang digunakan adalah “Tabel Angka Kecukupan Gizi 2004 Bagi Orang Indonesia” dalam Widya Karya Pangan dan Gizi Tahun 2004.

Hasil Riskesdas 2010, konsumsi penduduk di Indonesia yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (lebih rendah dari 70 % dari angka kecukupan gizi bagi orang Indonesia (tahun 2004) adalah sebanyak 40,6 %. Proporsi defisit energi < 70 % terbanyak pada usia remaja (54,5%), dan terendah pada anak balita (24,4 %).

Tabel 1.2. Proporsi Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % Angka Kecukupan Gizi) - Riskesdas 2010

Kelompok Umur % Balita 24,4 Anak Sekolah 41,2 Remaja 54,5 Dewasa 40,2 Ibu Hamil 44,2 Total 40,6

Gambar 1.14. Proporsi (%) Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % AKG 2004) – Riskesdas 2010 24,4 41,2 54,5 40,2 44,2 40,6 0 10 20 30 40 50 60

Balita Anak Sek Remaja

Dewasa Hamil Total

%

Proporsi penduduk yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (<70% dari AKG) lebih banyak pada penduduk di desa dari pada penduduk di kota. Menurut kuintil pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi kuintil pengeluaran rumah tangga semakin sedikit penduduk yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (<70% AKG). Pada penduduk dengan kuintil pengeluaran rumah tangga terendah (kuintil 1) sebanyak 46,6 % penduduk yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (70 %), dan sebaliknya pada

(31)

kuintil pengeluaran rumah tangga tertinggi (kuintil 5), sebanyak 34,3 persen penduduk yang mengonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (< 70 % AKG).

Tabel 1.3. Proporsi Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % Angka Kecukupan Gizi) Menurut Desa dan Kota – Riskesdas 2010

Kelompok Umur %

Kota 39,9 Desa 41,3

Total 40,6

Gambar 1.15. Proporsi (%) Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % AKG 2004) di Kota dan Di Desa

39,9 41,3 40,6 39 39,5 40 40,5 41 41,5

Kota Desa Total

%

Tabel 1.4. Proporsi Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % Angka Kecukupan Gizi)

Menurut Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga - Riskesdas 2010 Tingkat pengeluaran/kapita % Kuintil 1 46,6 Kuintil 2 43,2 Kuintil 3 40,5 Kuintil 4 37,3 Kuintil 5 34,3 Total 40,6

(32)

Gambar 1.16. Proporsi (%) Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % AKG 2004)

Menurut Kuintil Pengeluaran RT-Riskesdas 2010

46,6 43,2 40,5 37,3 34,3 40,6 0 10 20 30 40 50

Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Total %

Pada tahun 2007, proporsi konsumsi energi dibawah kebutuhan minimal 43 persen lebih banyak dibanding pada tahun 2010 yaitu sebanyak 40,6 persen. Menurut provinsi, pada tahun 2007, provinsi dengan penduduk mengkonsumsi energi dibawah kebutuhannya tertinggi di provinsi Bengkulu (67%), dan terendah di provinsi Jawa Timur (26,1%). Pada tahun 2010, provinsi yang penduduknya mengkonsumsi energi lebih rendah dari kebutuhannya dengan jumlah tertinggi adalah provinsi Nusa Tenggara Barat (46,6%) dan provinsi dengan proprosi konsumsi energi dibawah kebutuhan terendah adalah di provinsi Bengkulu 23,8 persen.

(33)

2. Goal 4 – MDG

Menurunkan Kematian Anak

Target:

Menurunkan Angka kematian balita hingga dua-pertiga dalam kurun waktu 1990-2015

1. Imunisasi campak pada anak 12-23 bulan

Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit pada anak. Program imunisasi untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) pada anak yang dicakup dalam PPI adalah satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak.

Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu, imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal empat minggu, dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.

Dalam Riskesdas, informasi tentang cakupan imunisasi ditanyakan pada ibu atau anggota rumahtangga lain yang mempunyai balita umur 0 – 59 bulan. Informasi tentang imunisasi dikumpulkan dengan tiga cara yaitu:

Wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah-tangga yang mengetahui, Catatan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) atau Buku KIA, dan

Buku catatan kesehatan anak lainnya.

Bila salah satu dari ketiga sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis tersebut.

Selain untuk tiap-tiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, tiga kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Oleh karena jadwal tiap jenis imunisasi berbeda, cakupan imunisasi yang dianalisis hanya pada anak usia 12 – 23 bulan.

Imunisasi campak merupakan salah satu dari indikator dalam Millenium Development Goals (MDGs). Oleh karena Riskesdas 2010 ditujukan pada indikator yang ada dalam MDGs, dalam laporan ini hanya analisis untuk imunisasi campak. Cakupan imunisasi campak pada anak umur 12 – 23 bulan dapat dilihat pada dua tabel (Tabel 4.1 s/d Tabel 4.2) menurut provinsi dan karakteristik responden.

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat secara keseluruhan, cakupan imunisasi campak dalam Riskesdas sebesar 74,5 persen, menurun 6,1 persen dibanding Riskesdas 2007 (81,6%). Cakupan imunisasi terendah di provinsi Papua (47,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (96,4%). Terdapat 19 provinsi cakupan imunisasi campak di bawah rata-rata nasional.

(34)

Bila cakupan imunisasi campak dibandingkan antara Riskesdas 2007 dan 2010 per provinsi, hanya ada empat provinsi dengan cakupan imunisasi campak yang naik pada tahun 2010, sedangkan provinsi lainnya relatif sama atau menurun. Kenaikan cakupan imunisasi campak antara 2,5-6,8 persen dan penurunan antara 0,2-22,5 persen.

Tabel 4.1. Persentase Anak Umur 12-23 Bulan yang Mendapatkan Imunisasi Campak Menurut Provinsi, Riskesdas 2007, 2010

Provinsi Persentase cakupan imunisasi campak Riskesdas 2007 Riskesdas 2010

Nanggroe Aceh Darussalam 69,5 60,2 Sumatera Utara 71,2 62,5 Sumatera Barat 75,4 67,6 Riau 84,1 62,6 Jambi 78,0 71,4 Sumatera Selatan 83,5 72,3 Bengkulu 96,0 75,0 Lampung 90,3 83,7 Kep. Bangka Belitung 77,1 76,7 Kepulauan Riau 88,9 91,4 DKI Jakarta 85,4 77,1 Jawa Barat 78,9 72,1 Jawa Tengah 89,1 86,5 DI Yogyakarta 99,2 96,4 Jawa Timur 83,3 83,1 Banten 62,5 69,3 Bali 95,7 86,4 Nusa Tenggara Barat 94,1 86,5 Nusa Tenggara Timur 81,6 70,9 Kalimantan Barat 77,0 59,6 Kalimantan Tengah 77,3 83,3 Kalimantan Selatan 81,7 69,2 Kalimantan Timur 90,8 80,3 Sulawesi Utara 85,9 90,6 Sulawesi Tengah 84,3 61,8 Sulasewi Selatan 83,5 76,5 Sulawesi Tenggara 85,4 64,6 Gorontalo 87,1 68,2 Sulawesi Barat 78,5 57,7 Maluku 72,1 63,0 Maluku Utara 85,5 67,9 Papua Barat 80,8 73,9 Papua 68,7 47,4 INDONESIA 81,6 74,5

Tabel 4.2 menunjukkan cakupan imunisasi campak menurut karakteristik daerah, rumahtangga, dan anak. Terlihat dalam tabel, cakupan imunisasi campak di perkotaan lebih tinggi (79,3%) dibanding di perdesaan (69,3%). Dengan demikian terdapat perbedaan cakupan sebesar 9,7

(35)

persen antara daerah perkotaan dan perdesaan, lebih tinggi perbedaan tersebut dibanding tahun 2007 yang hanya 7,2 persen.

Bila dibandingkan menurut jenis kelamin, tidak banyak terdapat perbedaan cakupan imunisasi campak antara anak laki-laki dan perempuan, baik dalam tahun 2007 maupun 2010.

Pada tabel 4.2 juga dapat dilihat variasi yang lebar cakupan imunisasi campak menurut pendidikan kepala keluarga. Terdapat tren cakupan imunisasi campak yang meningkat seiring dengan makin tingginya pendidikan. Cakupan imunisasi campak terendah bila pendidikan kepala keluarga tidak sekolah (59,1%) dan tertinggi pada pendidikan kepala keluarga tamat perguruan tinggi (86,4%). Dengan demikian terdapat kesenjangan cakupan sebesar 27,3 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2007 yang hanya sebesar 21,5 persen.

Cakupan imunisasi campak menurut pekerjaan kepala keluarga yang terendah pada petani/ nelayan/ buruh (67,5%) dan tertinggi pada PNS/ Polri/ TNI (86,9%). Keadaan tersebut serupa dengan hasil Riskesdas 2007.

Tabel 4.2. Persentase Anak Umur 12-23 Bulan yang Mendapatkan Imunisasi Campak Menurut Karakteristik Responden, Riskesdas 2007, 2010

Karakteristik Penduduk Persentase cakupan imunisasi campak Riskesdas 2007 Riskesdas 2010

Tipe daerah

Perkotaan 86,0 79,3 Perdesaan 78,8 69,6 Jenis kelamin anak

Laki-laki 82,0 74,2 Perempuan 81,2 74,7 Pendidikan kepala keluarga

Tidak sekolah 71,6 59,1 Tidak tamat SD 74,1 64,6 Tamat SD 78,2 69,8 Tamat SMP 82,3 77,1 Tamat SMA 88,6 80,9 Tamat Perg. Tinggi 93,1 86,4 Pekerjaan kepala keluarga

Tidak bekerja 80,8 74,5 Ibu rumahtangga 85,7 -- PNS/ Polri/ TNI 91,9 86,9 Wiraswasta 83,9 79,2 Petani/ Nelayan/ Buruh 77,4 67,5 Lainnya 83,6 79,2 Tingkat pengeluaran per kapita

Kuintil 1 78,1 65,0 Kuintil 2 78,5 71,3 Kuintil 3 83,1 78,0 Kuintil 4 84,3 81,0 Kuintil 5 86,8 86,1

Karakteristik rumahtangga lain dalam analisis ini adalah tingkat pengeluaran per kapita yang dibagi menjadi lima kelompok yaitu kuintil 1 yaitu kelompok terendah sampai kuintil 5 yaitu

(36)

kelompok tertinggi. Ada kecenderungan semakin tinggi pengeluaran per kapita semakin tinggi pula cakupan imunisasi campak. Cakupan imunisasi campak pada kuintil 1 sebesar 65,0 persen dibanding 86,1 persen pada kuintil 5. Dengan demikian terdapat perbedaan 21,1 persen pada tahun 2010, lebih tinggi dibanding tahun 2007 yang hanya 8,7 persen.

2. Kunjungan Neonatus

Pemeriksaan neonatus dalam Riskesdas ditanyakan pada ibu yang mempunyai bayi. Dalam Tabel 4.3 terlihat bahwa secara keseluruhan pada tahun 2010 sebanyak 60,6 persen neonatus umur 3-7 hari dan 37,7 persen neonatus umur 8-28 hari mendapatkan pemeriksaan dari tenaga kesehatan. Hasil tersebut lebih baik bila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 sebesar 57,6 persen dan 33,5 persen.

Pemeriksaan neonatus umur 3-7 hari terendah pada tahun 2010 terdapat di Papua Barat (17,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (84,8%). Untuk neonatus umur 8-28 hari cakupan pemeriksaan kesehatan terendah di Sulawesi Barat (9,1%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (66,7%).

Tabel 4.4 memberi gambaran tentang pemeriksaan neonatus menurut karakteristik bayi, tipe daerah dan rumah tangga pada Riskesdas 2007 dan 2010. Terlihat bahwa persentase cakupan baik pemeriksaan neonatus umur 3-7 hari dan 8-28 hari tidak berbeda menurut jenis kelamin bayi.

Menurut tipe daerah, pemeriksaan neonatos pada tahun 2010 di perkotaan lebih tinggi dibanding di perdesaan. Terdapat hubungan positif antara pemeriksaan neonatus dengan tingkat pendidikan kepala keluarga maupun tingkat pengeluaran per kapita. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga maupun pengeluaran per kapita, semakin tinggi persentase cakupan pemeriksaan kesehatan pada neonatus.

3. Pemberian ASI Eksklusif

Pemberian ASI eksklusif ditanyakan pada Riskesdas 2010, tetapi tidak ditanyakan pada Riskesdas 2007. Bayi di bawah 6 bulan mendapatkan ASI eksklusif jika saat pengumpulan data ibunya menyatakan bahwa bayinya masih mendapatkan ASI, belum pernah mendapatkan MP-ASI, dan dalam 24 jam yang lalu tidak mendapatkan makanan selain ASI. Oleh karena jumlah bayi di bawah 6 bulan hanya sedikit, tidak bisa dianalisis menurut provinsi dan hanya dapat dianalisis menurut karakteristik responden yang terlihat dalam Tabel 4.5.

Pemberian ASI eksklusif secara keseluruan pada umur 0-1 bulan, 2-3 bulan, dan 4-5 bulan berturut-turut adalah 45,4 persen, 38,3 persen, dan 31,0 persen. ASI eksklusif lebih tinggi di daerah perdesaan dibanding daerah perkotaan.

Tidak ada perbedaan ASI eksklusif menurut jenis kelamin bayi. Demikian juga tidak ada pola hubungan yang jelas antara pemberian ASI eksklusif dan tingkat pendidikan orangtua. Hubungan yang jelas baru terlihat antara pemberian ASI eksklusif dan tingkat pengeluaran per

(37)

kapita. Semakin tinggi pengeluaran per kapita rumahtangga, semakin menurun pemberian ASI eksklusif baik di kelompok umur bayi 0-1 bulan, 2-3 bulan, maupun 4-5 bulan.

Tabel 4.3. Persentase Cakupan Pemeriksaan Neonatus Menurut Provinsi, Riskesdas 2007- 2010 Provinsi Pemeriksaan neonatus Umur 3-7 hari (KN1) Pemeriksaan neonatus Umur 8-28 hari (KN2) 2007 2010 2007 2010

Nanggroe Aceh Darussalam 56,5 66,3 36,1 26,4 Sumatera Utara 66,7 64,5 28,5 21,9 Sumatera Barat 49,7 48,4 35,0 28,6 Riau 50,0 38,3 32,6 13,8 Jambi 53,8 61,9 30,2 19,4 Sumatera Selatan 42,9 55,2 27,4 33,3 Bengkulu 70,3 54,5 28,3 21,9 Lampung 64,4 59,8 29,2 43,3 Kep. Bangka Belitung 45,1 52,0 22,7 30,8 Kepulauan Riau 64,2 58,1 44,9 34,9 DKI Jakarta 66,5 67,6 54,9 52,0 Jawa Barat 58,7 64,3 39,8 46,6 Jawa Tengah 65,6 72,5 35,2 48,1 DI Yogyakarta 81,8 84,8 66,9 66,7 Jawa Timur 63,9 75,6 41,2 50,3 Banten 43,7 56,3 28,1 32,3 Bali 49,1 63,6 39,9 57,1 Nusa Tenggara Barat 58,0 50,0 33,9 43,6 Nusa Tenggara Timur 42,2 38,9 34,1 26,4 Kalimantan Barat 50,1 53,2 19,8 19,2 Kalimantan Tengah 58,4 51,2 21,7 12,2 Kalimantan Selatan 69,0 68,4 26,6 15,4 Kalimantan Timur 62,9 57,9 37,0 42,1 Sulawesi Utara 55,2 54,5 41,1 39,4 Sulawesi Tengah 59,4 34,5 29,0 18,2 Sulasewi Selatan 54,5 44,5 25,6 29,2 Sulawesi Tenggara 63,3 39,4 31,1 24,2 Gorontalo 44,7 26,3 25,4 15,8 Sulawesi Barat 47,3 40,9 30,5 9,1 Maluku 45,6 25,0 35,2 14,8 Maluku Utara 68,8 25,0 62,0 12,5 Papua Barat 39,8 17,4 26,5 17,4 Papua 27,2 36,6 23,8 26,8 INDONESIA 57,6 60,6 33,5 37,7

(38)

Tabel 4.4. Persentase Cakupan Pemeriksaan Neonatus Menurut Karakteristik Responden, Riskesdas 2007, 2010

Karakteristik responden

2007 2010 2007 2010

Tipe daerah

Perkotaan 65,7 68,2 41,2 45,2 Perdesaan 52,3 52,7 28,6 29,7 Jenis kelamin anak

Laki-laki 57,0 61,7 33,3 39,7 Perempuan 58,2 59,5 33,8 35,5 Pendidikan kepala keluarga

Tidak sekolah 46,5 50,0 24,7 33,3 Tidak tamat SD 52,3 51,4 29,0 32,8 Tamat SD 54,0 55,0 31,2 31,5 Tamat SMP 59,5 60,9 33,5 36,3 Tamat SMA 63,0 67,9 37,3 44,7 Tamat Perg. Tinggi 69,9 79,6 46,8 57,1 Pekerjaan kepala keluarga

Tidak bekerja 64,0 62,1 41,4 47,7 Ibu rumahtangga 60,4 -- 36,5 -- PNS/ Polri/ TNI 65,8 74,9 42,0 54,2 Wiraswasta 63,7 66,1 37,9 41,2 Petani/ Nelayan/ Buruh 51,5 53,1 27,9 31,3 Lainnya 62,4 67,5 37,2 41,6 Tkt pengeluaran per kapita

Kuintil 1 50,8 49,1 28,5 29,3 Kuintil 2 55,2 57,7 30,7 31,5 Kuintil 3 59,1 64,3 32,2 39,3 Kuintil 4 60,8 66,4 37,7 44,1 Kuintil 5 65,1 74,5 40,9 52,7

(39)

Tabel 4.5. Persentase Pemberian ASI Eksklusif Menurut Umur Anak dan Karakteristik Responden, Riskesdas 2007, 2010

Karakteristik responden Umur anak

0-1 bln 2-3 bln 4-5 bln

Tipe daerah

Perkotaan 41,7 34,8 26,9 Perdesaan 50,0 41,7 34,8 Jenis kelamin anak

Laki-laki 45,0 39,4 29,7 Perempuan 45,8 37,0 32,4 Pendidikan kepala keluarga

Tidak sekolah 40,0 38,1 33,3 Tidak tamat SD 44,4 43,8 36,3 Tamat SD 51,3 40,5 30,2 Tamat SMP 42,2 36,7 29,3 Tamat SMA 44,3 35,6 30,7 Tamat Perg. Tinggi 36,7 34,6 30,9 Pekerjaan kepala keluarga

Tidak bekerja 47,4 33,3 22,2 PNS/ Polri/ TNI 43,2 36,5 31,7 Wiraswasta 37,5 34,0 34,9 Petani/ Nelayan/ Buruh 51,5 42,6 29,5 Lainnya 71,4 39,1 25,0 Tkt pengeluaran per kapita

Kuintil 1 51,8 52,3 37,2 Kuintil 2 50,0 40,4 35,3 Kuintil 3 44,8 32,3 33,6 Kuintil 4 41,2 36,3 23,1 Kuintil 5 36,5 21,6 18,2 INDONESIA 45,4 38,3 31,0

Gambar

Tabel  1.2. Proporsi Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (&lt; 70
Gambar 1.16. Proporsi (%) Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal  (&lt; 70 % AKG 2004)
Grafik 5.2. Kecenderungan Proporsi Pertolongan Kelahiran oleh Tenaga Kesehatan  Indonesia 1990-2010
Tabel 5.6. Proporsi Pertolongan Kelahiran oleh Tenaga Kesehatan menurut  Karakterisitik Penduduk, Indonesia 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga kedua metoda ini bisa dianalogikan untuk saling memperbaiki, terutama metoda engineering yang menghitung harga pesawat dengan laju produksi pada tahap manufacturing

Bahwa penanganan benturan kepentingan yang terjadi di perusahaan adalah sangat penting sehingga dapat tercipta pengelolaan perusahaan yang baik, serta hubungan yang

Sering kali kita jumpai orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan faktor produksi modal hanyalah uang. Pendapat tersebut kurang tepat. Dalam ilmu ekonomi, yang dimaksud

Ada beberapa persyaratan umum yang harus dilakukan pada proses pemotongannya diantaranya: menggunakan pahat potong yang standar geometrinya, pemasangan

Fitogeografi dan Zoogeografi adalah bagian dari ilmu pengetahuan biogeografi yang mempelajari studi dan deskripsi perbedaan fenomena distribusi vegetasi

Alhamdulillahirobbil’alamin , puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehungga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah

Kemudian dikemukakan oleh Luthans (Simamora, 2004) disebutkan bahwa iklim organisasi adalah lingkungan internal atau psikologi organisasi. Iklim organisasi

Jumlah penduduk yang besar merupakan modal dasar pembangunan nasional bagi bangsa Indonesia, apabila dapat dibina dan dikerahkan sebagai tenaga kerja yang