• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN, PROBOLINGGO: KAJIAN PRAGMATIK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN, PROBOLINGGO: KAJIAN PRAGMATIK."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT

MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN,

PROBOLINGGO: KAJIAN PRAGMATIK

A N W A R I NIM 1390161008

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT

MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN,

PROBOLINGGO: KAJIAN PRAGMATIK

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Linguistik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

A N W A R I NIM 1390161008

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 14 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No. 1643/UN14.4/HK/2016 Tanggal 14 April 2016

Ketua : Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.

Anggota :

1. Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum. 2. Dr. Putu Sutama, M.S.

(5)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : A N W A R I, S.S.

NIM : 1390161008

Prog. Studi : Magister (S2) Linguistik Pascasarjana Universitas Udayana

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini bebas plagiat. Apabila di

kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima

sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 14 April 2016

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

wadlurriyaatinaa qurrata a’yuniwwaj’alnaa lilmuttaqiyna imaamaa. Rabbanaa taqabbal minnaa innaka antassamiy’ul aliym, watub alainaa innaka

antattawwaburrahiym.

Pertama, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Maulana Azzawajallah

Allah Swt (subhanahu wataala) karena atas karunia dan limpahan rahmat-Nya

penulis masih diberi umur panjang, kesehatan yang berkah sehingga tesis ini dapat

diselesaikan dengan baik. Penulis lemah tanpa keagungan-Mu dan penulis tidak

akan sempurna tanpa kekuasaan-Mu ya Rabb. Tidak ada kata lain selain penulis

haturkan sujud, iman, dan takwa hanya kepada Engkaulah ya Rabb.

Kedua, selawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan

Nabi Muhammad SAW (Sallallahu Alaihi Wasallam) sebagai utusan Allah yang

telah membawa umat Islam dari alam kegelapan menuju alam yang

terang-menderang. Berkat taufiq dan hidayah-Nya pula penulis dapat membedakan yang

baik dan yang buruk, serta yang hak dan yang batil.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor

Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD., atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Magister Linguistik di Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Sudewi,

Sp. S (K)., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi

mahasiswa Program Magister Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Udayana, yakni Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.,

atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program

(7)

juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.,

dan Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum., selaku Ketua Program dan Sekretaris

Program Studi Magister Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana yang telah memberikan motivasi selama proses pembelajaran, baik

dalam kelas maupun di luar kelas. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan

kepada Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik

yang dengan sabar memberikan bimbingan dan saran kepada penulis selama

mengikuti kuliah Program Magister Linguistik pada Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr.

Made Budiarsa, M.A. selaku Pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah

memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran kepada penulis selama

bimbingan tesis. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. I Wayan

Simpen, M.Hum. selaku Pembimbing II yang juga dengan penuh perhatian,

kesabaran dalam memberikan bimbingan, motivasi, dan saran kepada penulis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para penguji tesis, yakni

Dr. Putu Sutama, M.S., Dr. I Ketut Jirnaya, M.S., Dr. I Made Rajeg, M.Hum.,

yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini

dapat terwujud. Berkat masukan dan saran yang diberikan, penulis lebih

memahami penulisan karya ilmiah secara mendalam.

Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada semua guru yang telah mendidik penulis sejak penulis masih duduk di

Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi. Berkat ilmu yang kalian ajarkan,

penulis dapat menjalani pendidikan sampai saat ini.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada staf pengajar

pada Program Magister Linguistik, yakni 1) Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S., 2)

Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., 3) Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum., 4)

Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D., 5) Prof. Dr. Aron Meko Mbete, 6) Prof. Dr.

Ida Bagus Putra Yadnya, M.A., 7) Prof. Dr. I Dewa Komang Tantra, M.Sc., 8)

Prof. Dr. I Gusti Made Sutjaja, M.A., 9) Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.,

(8)

M.A., 12) Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., 13) Prof. Dr. Drs. I Ketut

Riana, S.U., 14) Prof. Dr. I Made Suastra, Ph.D., 15) Prof. Dr. Made Budiarsa,

M.A., 16) Dr. A.A Putu Putra, M.Hum., 17) Dr. Made Sri Satyawati, M.Hum, 18)

Dr. I Wayan Arka, M.A., M.Phil., 19) Dr. Ni Luh Ketut Mas Indrawati, TEFL.,

M.A., 20) Dr. Putu Sutama, M.S., 21) Dr. I Made Netra, S.S., M.Hum., 22) Dr. Ni

Wayan Sukarini, M.Hum., 23) Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S., 24) Dr. Ni Made

Suryati, M.Hum., 25) Dr. I Nyoman Sedeng, M.Hum., 26) Dr. Ni Nyoman Seri

Malini, S.S., M.Hum., atas ilmu dan pengalaman yang diberikan kepada penulis

sehingga dapat membuka cakrawala baru bagi penulis ke depannya.

Terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh staf administrasi dan

perpustakaan Program Magister Linguistik Universitas Udayana, yakni I Nyoman

Sadra, S.S., I Ketut Ebuh, S.Sos., I Gusti Agung Ayu Supadmini, Ni Nyoman Adi

Triani, S.E., Ida Bagus Suanda, S.Sos., Ni Nyoman Sumerti, dan Ni Nyoman

Sukartini atas pelayanan prima yang telah diberikan kepada penulis selama

mengikuti pendidikan di Universitas Udayana.

Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada teman-teman sejawat

dan seperjuangan angkatan 2013, yakni Anak Agung Gede Suhita Wirakusuma,

S.S., Antonio Constantino Soares, S.S., Arif Rahman Hadi, S.S., Dewanto, S.S.,

Dwi Lina Sari Tanjung, S.S., Eunike Ade Rolike, S.S., Gede Doddi Raditya

Diputra, S.S., Gek Wulan Novi Utami, S.S., I Gusti Ngurah Ariesta, S.Pd., Ni Luh

Ernawati, S.S., Ni Luh Yuniarti, S.S., Ni Made Sri Ramayanti, S.S., Nissa

Puspitaning Adni, S.S., Ni Putu Candra Lestari, S.S., Ni Wayan Prilyasinta, S.S.,

Ni Wayan Sri Darmayani, S.S., Putu Eka Guna Yasa, S.S., Setyarti, S.S., Wiwik

Marlia, S.Pd., atas kebersamaan, kekompakan, dan masukan lewat diskusi baik di

dalam maupun di luar kelas berkaitan dengan persoalan kelinguistikan yang

penulis hadapi. Berkat variasi ilmu yang kalian tekuni, penulis dapat belajar dan

memahami kajian ilmu kelinguistikan satu demi satu.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat seperjuangan

Eka Yusriansyah, S.Pd., Rahmat Said, S.Pd., Sarifudin Detikoa, S.Pd., Herfan

Sukardi, S.S., dan Maria Imaculada Sarmento, S.S., atas kebersamaan dan

(9)

Denpasar. Kebersamaan dan kebaikan kalian akan selalu menjadi pelajaran

berharga bagi penulis.

Penulis ucapkan terima kasih juga kepada sahabat penulis yang turut

membantu dan menemani penulis selama proses pengambilan data, yakni

Muhammad Hosen, S.Kom., dan Babur Rahman, S.Pd.I. atas bantuan kalian

semua data dapat terkumpul. Terima kasih pula kepada saudara penulis,

Muhibbatuzzakiyah, S.Pd.I., yang turut membantu dalam proses pengumpulan

data hingga semuanya berjalan dengan baik.

Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada keluarga yang telah

menganggap penulis anak, yakni Ibu I Gusti Agung Ayu Supadmini dan Bapak I

Nyoman Sundra atas kebaikan yang diberikan kepada penulis selama tinggal di

Denpasar. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada keluarga

besar I Nyoman Sudarsana, Ni Ketut Nurini, Komang Denni Suarsana, A.P.Par.,

Ni Wayan Sri Darmayani, S.S., atas kebaikan yang diberikan kepada penulis

selama menempuh pendidikan di Denpasar, serta menjadikan penulis bagian

keluarga. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak

Mujiono (Pak Dina) dan Ibu Eris Farlina (Ibu Dina) yang telah menjadikan

penulis bagian keluarga, memberi kebaikan, dan memotivasi, serta membantu

penulis dengan setulus hati selama penulis tinggal di Denpasar. Kebaikan kalian

semua sangat berharga dan penulis kenang selamanya.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar di

Bali, yakni, Dewo, Lisiyati, Dedy Julian, Gede, Bli Bagus, Ibu Asma dan Pak

Mat, Buk Lis, Buk Umi, Buk Vero, Mas Ali dan Mbak Ani, Om Makruf, Eva

Fitriah, Mas Yono, Mbok Ngah, Mas Yoto, Mas Vian, Mas Slamet, Suud, Yusuf,

Dicky, Buk Ana Rambo, Buk Putri, Pak Bambang, Hilda Ilham, Mama Lia

(Mama Alan), Mbak Hanif dan Mas Mislar, atas bantuan dan kebaikannya selama

penulis menjalani kehidupan dan pendidikan di Denpasar. Kebaikan kalian akan

selalu penulis kenang selamanya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Trawi dan Abdurrahman,

S.H., selaku Kepala Desa Kalidandan dan Sekretaris Desa Kalidandan yang telah

(10)

ucapkan terima kasih kepada informan kunci, Pak Budianto, S.Pd.I., Pak

Abdurrahman, S.H., Pak Karto (Busmin), dan Buk Saniti (Sumardi) atas segala

kerjasama dalam memberikan data dan informasi yang penulis butuhkan selama

proses pengumpulan data.

Pada kesempatan ini, rasa ta’dzim dan ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Kusno dan Ibu Misnari

(Kusniati) yang telah merawat, mendidik, memberi kasih sayang, dan usaha yang

gigih demi kelancaran penulis dalam menuntut ilmu dari Sekolah Dasar hingga

pada Pendidikan Magister, serta doa dalam setiap sujud yang selalu dipanjatkan

agar penulis selalu diberikan kesehatan oleh Allah dalam menjalani segala

kewajiban dan aktivitas. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada

saudara kandung penulis, yakni Siti Zulaiha (Buk Ayun), ipar penulis, yakni

Suradi (Pak Ayun), ponakan penulis, yakni Siti Nur Ayuni, nenek penulis, yakni

Nyai Biro yang telah mendoakan penulis agar selalu diberikan keselamatan dan

kelancaran selama menempuh pendidikan di Denpasar. Tak lupa pula ucapan

terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada tanteku Ibu Samiya yang telah

memberikan kebaikan dan merawat penulis dari kecil hingga dewasa ini.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada tunangan

penulis, yakni Nurul Lailatul Chotimah, S.Kep. Ners., yang telah mendukung dan

memotivasi penulis hingga tesis ini terwujud. Berkat dorongan dan dukungan

yang diberikan dapat menguatkan penulis dalam menjalankan kewajiban

akademik.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua

pihak yang telah membantu hingga tesis ini dapat diselesaikan. Semoga Allah

Yang Mahakuasa selalu memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kalian semua.

Amin Allahumma Amin.

Denpasar, 14 April 2016

(11)

ABSTRAK

TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN, PROBOLINGGO:

KAJIAN PRAGMATIK

Penelitian tuturan upacara pernikahan ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode simak (metode obeservasi). Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori pragmatik, teori bahasa, konteks, dan teks.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan ditemukan jenis tindak tutur, yaitu (1) tindak tutur langsung (24 data), (2) tindak tutur tidak langsung (2 data), (3) tindak tutur literal (6 data), (4) tindak tutur tidak literal (3 data), (5) tindak tutur langsung literal (3 data), (6) tindak tutur tidak langsung literal (1 data), (7) tindak tutur langsung tidak literal (2 data), dan (8) tindak tutur tidak langsung tidak literal (2 data). Dalam tuturan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo penutur cenderung menggunakan tindak tutur langsung.

Tindak ilokusi yang ditemukan ialah (1) atanyah ‘bertanya’, (2) mintah

‘melamar’, (3) erestoeh ‘restu’, (4) jenjih ‘janji’, (5) nyuon se sanget ‘memohon

dengan sangat’, (6) rakerah ‘prediksi’, (7) dekgik ‘menyusul’, (8) dua’ ‘salam’,

(9) ngormat ‘penghormatan’, (10) nyupreh ridha ‘memohon doa’, (11) saksek’en

‘saksikan’, (12) nukol/maceplos ‘memukul’, (13) pesa/talak ‘cerai’, (14)

istiqomah delem bejeng ‘istikomah dalam salat’, (15) awasiat ‘berwasiat’, (16)

anikah’agin ‘menikahkan’, (17) neremah ‘menerima’, (18) nyirenagin

‘menyerahkan’, (19) songkan ‘segan-segan’, (20) ambu ‘berhenti’, (21) bentoh

‘membantu’, (22) niroan ‘mencontoh’, (23) jek apermainagin perkabinan ‘jangan

main-main dalam menikah’, (24) permintaan ‘permintaan’, (25) pasra

‘memasrahkan’, (26) kasok’on ‘berterima kasih’, (27) ngambhul ‘minggat’, (28)

tak rukun ‘tidak harmonis’, (29) tak kenal ‘tidak kenal’, (30) taoh kadek ‘kenal

lebih dulu’, (31) ende’en ‘gampangan’, (32) nyesel ‘penyesalan’, (33)

kekecewaan ‘kecewa’, (34) mintah pendapat ‘minta pendapat’, (35) sabbher

‘sabar’, (36) tak inmainan ‘tidak main-main’, (37) laep ‘paceklik’, (38) nispah

‘penyesalan yang mendalam', (39) ngandung kade’ ‘hamil lebih dulu/hamil di luar

nikah’, (40) kalak ‘mengambil’, (41) pemberitaoan ‘mengumumkan’, dan (42)

menegaskan ‘menegaskan’,

Ideologi yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura yang dibangun oleh tuturan tradisi ialah (1) keberkahan keturunan, (2) keberkahan umur, (3) keberkahan rezeki, (4) kekuatan, dan (5) penyucian diri. Ideologi ini juga didukung oleh nilai, yakni (1) kesucian, (2) keselamatan, (3) perlindungan, (4) pertanggungjawaban secara jasmani dan rohani, (5) kesungguhan, (6) penghormatan, (7) permohonan, dan (8) kemudahan dalam mencari rezeki.

(12)

ABSTRACT

WEDDING CEREMONY DISCOURSE OF MADURESE AT KALIDANDAN VILLAGE, PAKUNIRAN, PROBOLINGGO:

PRAGMATIC PERSPECTIVE

This research used qualitative descriptive approach with listening method (observation method). Theories used in this research are the theory of pragmatics and the theory of language, context, and text.

The results of the analysis show that there are eight types of speech act found. They are (1) direct speech act (24 data), (2) indirect speech act (2 data), (3) literal speech act (6 data), (4) nonliteral speech act (3 data), (5) direct literal speech act (3 data), (6) indirect literal speech act (1 data), (7) direct nonliteral speech act (2 data), and (8) indirect nonliteral speech act (2 data). In wedding ceremony discourse done by Madurese at Kalidandan village, Pakuniran, Probolinggo, the speakers of BMd tend to use direct speech act.

In terms of illocutionary act, there are fourty two illocutionary force found. They are (1) questioning, (2) propose marriage to, (3) blessing, (4) promise, (5) forces of imploring, (6) predicting, (7) later, (8) praying, (9) respectful, (10) looking for blessing, (11) testify, (12) hit, (13) divorce, (14) stay in pray, (15) give exhortation, (16) take in marriage, (17) receiving, (18) pass in, (19) willingly, (20) stop, (21) helping, (22) imitate, (23) do not play around in marriage, (24) requesting, (25) fate, (26) grateful, (27) getting out of house, (28) not harmonious, (29) not to know, (30) knowing at first, (31) easy in hand, (32) regret, (33) disappointed, (34) asking for opinion, (35) patient, (36) serious, (37) scarcity before harvesting time, (38) deep regret, (39) pregnant under married, (40) taking, (41) announcement, and (42) asserting/clarifying.

Ideology in wedding ceremony discourse of Madurese that is constracted by traditional discourse, the following ideologies were (1) blessing descent, (2) blessing age, (3) blessing sustenance, (4) power, and (5) ablutions. Ideology also supported by values, those are (1) purity, (2) safety/rescuer, (3) protection, (4) responsibility in physic and spiritual, (5) truth, (6) homage, (7) requesting, and (8) easy in looking for some gifts.

(13)

DAFTAR ISI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ...10

2.2 Konsep ...16

2.2.1 Tuturan Upacara Pernikahan ...16

2.2.2 Konteks dalam Pragmatik ...18

2.2.3 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan ...21

2.3 Landasan Teori ...22

2.3.1 Tindak Tutur...22

(14)

1. Tindak Lokusi ...27

2. Tindak Ilokusi ...27

3. Tindak Perlokusi ...28

2.3.1.2 Jenis Tindak Tutur...29

1. Tindak Tutur Langsung ...29

2. Tindak Tutur Tidak Langsung ...30

3. Tindak Tutur Literal ...32

4. Tindak Tutur Tidak Literal...32

5. Tindak Tutur Langsung Literal ...33

6. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...34

7. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ...35

8. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...36

2.3.1.3 Fungsi Tindak Tutur ...37

2.3.2 Teori Bahasa, Konteks, dan Teks ...39

2.4 Model Penelitian ...40

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ...42

3.2 Lokasi Penelitian ...43

3.3 Jenis dan Sumber Data ...43

3.4 Instrumen Penelitian...45

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...45

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ...47

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis ...47

BAB IV LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA DAN BAHASA MASYARAKAT KALIDANDAN 4.1 Sejarah Desa Kalidandan ...48

4.1.1 Sejarah Pemerintahan Desa Kalidandan ...49

4.1.2 Sejarah Pembangunan Desa Kalidandan ...49

4.2 Letak Geografis Desa Kalidandan ...50

4.3 Jumlah Penduduk Desa Kalidandan ...51

4.4 Mata Pencaharian Masyarakat Kalidandan ...51

4.5 Tingkat Pendidikan Masyarakat Kalidandan ...52

4.6 Sistem Kepercayaan Masyarakat Kalidandan ...52

4.7 Sistem Pernikahan Masyarakat Kalidandan ...52

4.7.1 Tunangan (Bekalan) ...53

4.7.2 Pernikahan (Kabin) ...54

4.8 Bahasa Asli Masyarakat Kalidandan ...54

(15)

BAB V TINDAK TUTUR DALAM TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT KALIDANDAN

5.1 Pengantar ...56

5.2 Jenis Tindak Tutur...56

5.2.1 Tindak Tutur Langsung ...60

5.2.2 Tindak Tutur Tidak Langsung ...77

5.2.3 Tindak Tutur Literal ...78

5.2.4 Tindak Tutur Tidak Literal ...83

5.2.5 Tindak Tutur Langsung Literal ...85

5.2.6 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...88

5.2.7 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...89

5.2.8 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...90

5.3 Tuturan Upacara PernikahanMasyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...92

BAB VI TINDAK ILOKUSI TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT KALIDANDAN 6.1 Pengantar ...96

6.2 Tindak Ilokusi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura ...97

6.2.1 Ilokusi Tindak Tutur Langsung ...97

6.2.2 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung ...113

6.2.3 Ilokusi Tindak Tutur Literal ...115

6.2.4 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Literal ...120

6.2.5 Ilokusi Tindak Tutur Langsung Literal ...122

6.2.6 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...124

6.2.7 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...125

6.2.8 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...127

6.3 Tindak Ilokusi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...130

BAB VII IDEOLOGI TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT KALIDANDAN 7.1 Pengantar ...133

7.2 Tradisi Siraman (Pandebeen) ...134

7.3 Ideologi Pernikahan ...135

7.3.1 Nilai Bulan Baik Pernikahan ...136

7.3.2 Nilai Tradisi Siraman (Pandebeen) ...137

7.4 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...137

(16)

7.4.2 Nilai Sarana pada Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura ...163

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan ...177

8.2 Saran ...179

DAFTAR PUSTAKA ...180

Lampiran 1 Korpus Data Tuturan Peminangan (bekalan) ...184

Lampiran 2 Korpus Data Tuturan Prapernikahan ...186

Lampiran 3 Korpus Data Tuturan Pernikahan ...189

Lampiran 4 Korpus Data Tuturan Siraman ...195

Lampiran 5 Korpus Data Pascapernikahan ...202

Lampiran 6 Bulan Masehi, Hijriyah, dan Pengucapan Bahasa Madura ....206

Lampiran 7 Data Tuturan Upacara dan Tuturan Tradisi ...207

Lampiran 8 Identitas Informan ...220

Lampiran 9 Daftar Tanyaan Wawancara (Panduan) ...222

Lampiran 10 Peta Kecamatan Pakuniran, Desa Kalidandan ...223

Lampiran 11 Foto Penelitian...224

Lampiran 12 Surat Keterangan Selesai Penelitian ...245

(17)

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang dan Singkatan Arti/Keterangan

# Kalimat

‘…’ Arti

Memiliki hubungan bawahan

Memiliki hubungan timbal balik

BMd Bahasa Madura

TT Tindak Tutur

TL Tindak Tutur Langsung

TTL Tindak Tutur Tidak Langsung

TLit Tindak Tutur Literal

TTLit Tindak Tutur Tidak Literal

TLLit Tindak Tutur Langsung Literal

TTLLit Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

TLTLit Tindak Tutur Langsung Tidak Literal

TTLTLit Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

AT Aspek Tradisi

DR Data Rekam

PN Penutur

PT Petutur/Mitra Tutur

PM Peminangan

PRP Prapernikahan

P Pernikahan

PSCP Pascapernikahan

SR Siraman

PS Prinsip Santun

DT Daftar Tanyaan

(18)

DAFTAR BAGAN DAN TABEL

Halaman

1. Bagan 1 Model Penelitian ...40

2. Tabel 1 Modus Tuturan Langsung ...30

3. Tabel 2 Modus Tuturan Tidak Langsung ...31

4. Tabel 3 Jenis Tindak Tutur ...37

5. Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Kalidandan ...51

6. Tabel 1 Tindak Tutur Langsung ...60

7. Tabel 2 Tindak Tutur Tidak Langsung ...77

8. Tabel 3 Tindak Tutur Literal ...79

9. Tabel 4 Tindak Tutur Tidak Literal ...83

10. Tabel 5 Tindak Tutur Langsung Literal ...86

11. Tabel 6 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...88

12. Tabel 7 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ...89

13. Tabel 8 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...91

14. Tabel 9 Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...93

15. Tabel 1 Ilokusi Tindak Tutur Langsung ...98

16. Tabel 2 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung ...114

17. Tabel 3 Ilokusi Tindak Tutur Literal ...115

18. Tabel 4 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Literal ...120

19. Tabel 5 Ilokusi Tindak Tutur Langsung Literal ...123

20. Tabel 6 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...125

21. Tabel 7 Ilokusi Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ...126

22. Tabel 8 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...128

23. Tabel 9 Tindak Ilokusi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...130

24. Tabel 1 Ideologi Medan pada Tuturan Upacara Pernikahan ...138

25. Tabel 2 Ideologi Pelibat pada Tuturan Upacara Pernikahan ...150

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Korpus Data Tuturan Peminangan (bekalan) ...184

Lampiran 2 Korpus Data Tuturan Prapernikahan ...186

Lampiran 3 Korpus Data Tuturan Pernikahan ...189

Lampiran 4 Korpus Data Tuturan Siraman ...195

Lampiran 5 Korpus Data Pascapernikahan ...202

Lampiran 6 Bulan Masehi, Hijriyah, dan Pengucapan Bahasa Madura ...206

Lampiran 7 Data Tuturan Upacara dan Tuturan Tradisi ...207

Lampiran 8 Identitas Informan...220

Lampiran 9 Daftar Tanyaan Wawancara (Panduan) ...222

Lampiran 10 Peta Kecamatan Pakuniran, Desa Kalidandan ...223

Lampiran 11 Foto Penelitian ...224

Lampiran 12 Surat Keterangan Selesai Penelitian ...245

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Fungsi-fungsi itu kemudian diringkas dan dikonseptualisasi sedemikian rupa

menjadi tiga jenis fungsi di dalam bahasa, yaitu fungsi ideasional, interpersonal,

dan tekstual. Tiga fungsi ini dikenal dengan metafungsi bahasa (Sinar, 2012:22).

Metafungsi bahasa hadir pada setiap penggunaan bahasa dalam

konteks-konteks sosial. Fungsi-fungsi ini, yaitu ideasional (logika dan eksperensial),

interpersonal, dan tekstual mempresentasikan organisasi bahasa. Di dalamnya ada

sistem semantik, sistem pragmatik, sistem leksikogramatika, dan sistem fonologi.

Sistem semantik terdiri atas makna dalam teks, sistem pragmatik terdiri atas

makna dalam konteks, sistem leksikogramatika terdiri atas sintaksis, morfologi,

dan leksis, sedangkan sistem fonologi terdiri atas bunyi dalam fonem. Berbicara

tentang gramatika, fungsi logika manusia direalisasikan melalui sistem

kompleksitas klausa, fungsi eksperensial direalisasikan melalui sistem

transitivitas, fungsi interpersonal direalisasikan melalui sistem modus, dan fungsi

tekstual direalisasikan melalui sistem tema bahasa (Halliday, 1978:129). Secara

semiotis, bahasa dilihat sebagai sebuah sistem dari sistem-sistem yang mencakup

dan mempekerjakan tiga metafungsi utama di atas sehingga bahasa menjadi

relevan dengan konteks.

Fungsi ideasional adalah bahasa sebagai representasi atau refleksi, tempat

(21)

interpersonal adalah bahasa sebagai alat memberi dan menerima maklumat atau

kegiatan, yaitu penutur sebagai penyusup realitas menerangkan tafsiran realitas

intersubjektif. Fungsi tekstual adalah bahasa sebagai pesan atau relevan dengan

penutur menerjemahkan realitas semiotik dengan menghubungkan realitas konteks

tempat pembuatan makna bahasa (Martin, 1993:145).

Bahasa itu berbeda-beda karena penutur berasal dari latar belakang yang

berbeda dan bahasa yang digunakan itu sendiri jelas berbeda. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Kress dan Hodge (1979:1) bahwa bahasa yang dimiliki oleh

individu didapatkan dari masyarakat tempat mereka tinggal atau hidup. Setiap

bangsa memiliki bahasa tersendiri dengan dialek, aturan, logat, dan pola

masing-masing. Oleh karena itu, pada saat orang bicara, dialek, aturan, logat, dan pola

yang digunakan akan dibangun oleh masyarakat dalam berkomunikasi sehari-hari.

Bahasa juga merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat. Masyarakat penutur

suatu bahasa akan memperlihatkan latar belakang budaya pada saat berbahasa

atau berkomunikasi dengan orang lain.

Sapir dan Whorf (1956:34) menyatakan bahwa bahasa dan masyarakat

memiliki hubungan. Selanjutnya, dinyatakan bahwa dunia nyata manusia

dibangun oleh kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok. Hal ini membuktikan

bahwa bahasa, budaya, dan masyarakat berada dalam suatu keadaan yang tidak

bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bahasa memegang peranan penting

dalam kehidupan manusia. Bahasa membawa karakteristik budaya dan pikiran

(22)

Bahasa merupakan alat ekspresi yang dapat mengungkapkan pikiran,

perasaan, dan psikomotorik penutur suatu bahasa. Pikiran, perasaan, dan

psikomotorik manusia menghasilkan produk kebudayaan (Bawa, 2004:4).

Kebudayaan itu sendiri termasuk konvensi atau tradisi penggunaan unsur-unsur

linguistik secara relatif membuat suatu kelompok dapat berbicara, berperilaku

dalam konteks atau situasi sosial antara kelompok satu dan yang lainnya (Foley,

1977:250).

Bahasa digunakan dalam konteks tempat penutur menggunakan bahasa.

Mereka dapat berkomunikasi karena memahami teks, konteks, dan pola atau

struktur teks (Yule, 1996:1). Dalam hal ini, dipahami adanya suatu asumsi yang

mengarah pada suatu generalisasi, yaitu setiap bahasa memiliki tuturan yang

terikat dengan konteks situasi.

Tidak ada tuturan atau pembicaraan yang terlepas atau terjadi tanpa

konteks situasi. Oleh karena itu, setiap maksud dapat dituturkan atau diungkapkan

dengan berbagai bentuk atau modus tertentu. Artinya, setiap fungsi bahasa atau

maksud tertentu, apakah memerintah, meminta, menawarkan, menolak,

menginformasikan, dan sejenisnya dapat diungkapkan dengan berbagai modus

tuturan.

Dalam penggunaan bahasa, diyakini bahwa makna sangat erat

berhubungan dengan bentuk. Namun, setiap bahasa memiliki kekhasan dan

keunikan tersendiri. Demikian pula halnya bahasa Madura memiliki kekhasan dan

keunikan. Salah satu keunikan tersebut diwujudkan dalam tuturan upacara

(23)

Tuturan terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu peminangan (bekalan),

prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan. Dalam upacara pernikahan

BMd, ditemukan adanya tuturan oleh pihak pembicara laki-laki dan pihak

perempuan. Tiap-tiap tuturan dapat mengandung maksud yang berbeda-beda,

bergantung pada konteks situasinya. Adanya variasi bentuk, fungsi, dan makna

ditentukan berdasarkan penggunaan bahasa menurut konteks situasi penutur,

tradisi, dan budaya setempat.

Masyarakat di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo merupakan

masyarakat Madura yang tinggal di Jawa. Pada umumnya masyarakat Madura

yang tinggal di sekitar Pulau Madura masih mempertahankan BMd sampai saat

ini. BMd menempati posisi keempat pada tiga belas besar bahasa daerah terbesar

di Indonesia setelah Jawa, Sunda, dan Melayu. Adapun jumlah penuturnya

mencapai kurang lebih 13,7 juta jiwa (Soegianto dkk., 1986:1). Selain di Pulau

Madura, BMd juga digunakan di kepulauan kecil di sekitarnya, seperti di Pulau

Raas, Kangean, Spudi, Sapeken, Gayam, Masalembu, dan kepulauan kecil lainnya

di sebelah timur Pulau Madura. Dari Gresik, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang,

Jember, Bondowoso, Situbondo, hingga Banyuwangi Jawa Timur juga masih

merupakan wilayah tutur BMd.

Adapun penutur BMd di Desa Kalidandan, Kecamatan Pakuniran,

Kabupaten Probolinggo berjumlah 979 penutur. Mereka berkomunikasi dengan

BMd dalam kehidupan sehari-hari. BMd digunakan sebagai bahasa ibu untuk

berinteraksi antara masyarakat satu dan yang lainnya. Selain itu, BMd banyak

(24)

kesenian, adat istiadat dan ritual keagamaan, baik secara aktif maupun pasif.

Penggunaan BMd sebagai sarana dapat dipahami bahwa penutur (Pn) dan petutur

(Pt) memiliki hubungan langsung yang dapat memberikan gambaran, situasi,

nilai-nilai, tradisi, dan budaya.

Hodge dan Kress (1988:74) mengatakan bahwa banyak ritual yang

melahirkan teks dan konteks dalam masyarakat tutur. Ada dua ritual yang secara

umum terdapat pada hampir setiap budaya, yaitu perkawinan dan kematian

(penguburan). Masyarakat Probolinggo, khususnya di Desa Kalidandan,

Kecamatan Pakuniran memiliki beberapa ritual, antara lain kelahiran, pernikahan,

kematian, pembuatan rumah baru (rokat), dan ritual hasil panen. Secara umum,

tuturan upacara pernikahan yang ada di Probolinggo, di kota dan di desa

khususnya, di Desa Kalidandan dan di Madura itu sendiri hampir sama, yaitu

adanya tahapan tuturan peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan

pascapernikahan. Di balik kesamaan yang ada, terdapat beberapa perbedaan

secara lintas tutur, yaitu tuturan terjadi dalam aspek tradisi. Adanya perbedaan

tersebut disebabkan oleh budaya dan lingkungan penutur (ethnography and

echology of speaking).

Dalam susunan tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo terdapat hubungan antarbagian sehingga

membentuk satu kesatuan teks dan konteks. Struktur tuturan upacara pernikahan

di atas adalah adanya kesatuan (unity) yang menunjuk pada struktur global untuk

mengetahui bentuk dan isi pesannya. Perspektif wacana pernikahan adalah sebuah

(25)

pembuka (opening), isi (body), dan penutup (closing) yang secara simultan ketiga

struktur tersebut membentuk suatu organisme makna untuk mencapai fungsi dan

tujuan sosial. Tuturan upacara pernikahan BMd merupakan objek kajian yang

kompleks karena memiliki beberapa tahapan, yaitu peminangan (bekalan),

prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan. Objek penelitian pernikahan ini

adalah pernikahan standar yang bersifat saling merujuk dan saling menentukan

untuk pemahaman secara utuh. Berikut ini adalah fenomena kebahasaan tuturan

prapernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

(1) Dekremah hubungnah Adek‟en Li, wak lah rukun ben sering ekonik‟in perna roma berek ben roma temor?

‘Bagaimanakah hubungan Adikmu Li, sudah serasi dan sering dijemput

menginap di rumah barat dan rumah timur?’

(2) Ye ruah An, ngko‟ lah ngabele ka epak ben emak, can ngko‟ lah soro

pakabin kade‟, lah slameten cak ocaan nasek spereng, mun gun parlonah pagik dibudih. Gutsekgut abereng tak nyaman cacanah oreng ben pole

tako‟ bedeh budinah, jek nyamanah „pereng ben sendok pasteh aklettek‟ ben cak-ocak konanah „tekginah gunung gik tekgien rebbenah‟.

‘Ya itu An, saya sudah katakan sama bapak dan ibu, suruh nikahkan dulu

diselameti walaupun nasi sepiring, resepsinya nanti menyusul. Sering bersama tidak enak omongan orang dan lagi takut ada belakangnya, namanya ‘piring dan sendok pasti terjadi gesekan bunyi’ dan kata sesepuh

kita ‘tingginya gunung masih tinggian rumputnya’.

Dari parameter tuturan di atas, tuturan (1) dan (2) dapat dihubungkan

dengan konteks situasi sehingga makna tersebut sangat dinamis pada konteks

situasi penggunaan BMd, yaitu keadaan penutur (Pn), petutur (Pt), dan latar

belakang atau setting-nya. Dalam konteks ini tuturan (1) tidak hanya bertanya,

tetapi juga mengandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak

(26)

Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan,

Pakuniran, Probolinggo menarik dan urgen untuk diteliti dengan alasan berikut.

Pertama, di samping belum ada penelitian dengan topik ini juga terdapat sejumlah

hal yang menarik, yaitu tuturan upacara pernikahan BMd memiliki tahapan dari

peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan. Selain

itu, tuturan tradisi yang menimbulkan nilai ideologi. Kedua, tuturan upacara

pernikahan BMd mengandung banyak unsur pragmatik yang menarik untuk

dikaji. Ketiga, BMd yang digunakan oleh penutur (Pn) masih natural. Artinya,

BMd yang digunakan masih belum tersentuh bahasa yang lain.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena di atas, beberapa permasalahan dapat

diformulasikan sebagai berikut.

1. Tindak tutur apa sajakah yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan

masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo?

2. Tindak ilokusi apakah yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan

masyarakat Maduradi Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo?

3. Ideologi apakah yang tercermin di balik tuturan upacara pernikahan

(27)

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang diformulasikan di atas, maka

penelitian ini dilakukan dengan dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

Kedua tujuan penelitian tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Umum

1. Menerapkan dan mengembangkan ilmu pragmatik BMd dalam kegiatan

upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

2. Mengembangkan keuniversalan teori pragmatik untuk menganalisis tindak tutur

dalam upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran,

Probolinggo. Di samping itu, juga menggunakan teori bahasa, konteks, dan

teks untuk menganalisis ideologi yang tercermin dalam kegiatan upacara

pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan,

Pakuniran, Probolinggo.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan dan menganalisis jenis tindak tutur BMd yang dibangun dalam

kegiatan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

2. Menemukan dan mendeskripsikan tindak ilokusi dalam kegiatan upacara

pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan,

(28)

3. Menemukan dan menganalisis ideologi yang tercermin di balik tuturan upacara

pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diarahkan kepada dua manfaat, yaitu manfaat

teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat penelitian ini dapat dijabarkan

sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

1. Memperkaya khazanah linguistik, khususnya linguistik makro dalam usaha

memperoleh pengetahuan yang berhubungan dengan pragmatik BMd.

2. Memperkokoh teori pragmatik dan teori bahasa, konteks, dan teks terhadap

penggunaan bahasa Austronesia. Hasil penelitian ini nantinya dapat

dimanfaatkan untuk menunjukkan fenomena khas, baik tradisi maupun budaya

yang ada pada bahasa Madura (BMd), khususnya BMd dalam tuturan upacara

pernikahanmasyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data dan informasi

tentang karakteristik tindak tutur yang berupa tindak tutur literal dan kontekstual

BMd. Selanjutnya dapat menjadi sarana dokumentasi BMd, keabsahan untuk

mengembangkan BMd sehingga BMd dapat dijaga dan dilestarikan

(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura kajian pragmatik dipilih

sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan penelitian

lain yang menggunakan bahasa Madura (BMd) pada tataran pragmatik. Oleh

karena itu, diperlukan tinjauan beberapa karya tulis yang membahas masalah

dalam ritual atau upacara pernikahan yang tentunya akan banyak membantu

penelitian ini. Selain itu, tinjauan ini akan memberikan gambaran bahwa apa yang

dibahas dalam penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah

ada. Penjelasan hasil penelitian dipaparkan secara ringkas berikut ini.

Handayani (2003) menulis tesis berjudul “Wacana Kayob dalam

Masyarakat Biak: Aanalisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Masyarakat Biak di

Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua memiliki ragam sastra lisan yang

berhubungan dengan ritual kematian, yaitu kayob. Penggunaan kayob dalam ritual

kematian mengalami pergeseran dengan masuknya pengaruh agama Kristen

Protestan. Kayob memiliki bentuk, fungsi, dan makna sehingga kayob

menempatkan dua dimensi, yaitu waktu lampau dan waktu kini. Dalam dimensi

lampau, tuturan kayob bersifat sangat sakral dan wajib dilaksanakan. Tujuan

tuturan kayob untuk menghormati arwah jenazah dan arwah para leluhur. Dimensi

waktu kini menempatkan kayob sebagai warisan budaya. Tujuan tuturan kayob,

(30)

Handayani menunjukkan bahwa bentuk kayob memiliki beberapa ciri, yakni

terdapat pola-pola formula dalam baris-baris kayob, jenis-jenis formula tersebut

adalah formula satu baris, setengah baris, dan satu kata. Ia juga mendeskripsikan

bahwa dalam wacana kayob yang ditelitinya ditemukan adanya tema, gaya bahasa,

dan estetika bunyi kayob. Fungsi yang terdapat dalam kayob meliputi fungsi

religius, fungsi sosiologis, fungsi ekonomis, dan fungsi apresiatif reflektif.

Analisis makna dalam syair kayob memiliki makna kepercayaan, makna sosial,

dan makna didaktis. Penelitian tersebut belum lengkap karena tidak dibahas secara

tuntas terutama nilai-nilai yang tercermin di balik wacana tersebut. Hal tersebut

perlu tinjauan lagi karena penelitian tersebut hanya memberikan deskripsi bentuk,

fungsi, dan makna.

Netra (2005) menyusun tesis berjudul “Eksplikasi Makna Ilokusional

Tuturan Upacara Memadik di Denpasar: Sebuah Kajian Metabahasa Semantik

Alami (MSA)”. Aspek yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah jenis tindak

tutur, makna ilokusional, dan eksplikasi makna ilokusional dengan teori tindak

tutur dan MSA. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan

bahwa tuturan upacara memadik di Denpasar dibangun oleh jenis tindak tutur dan

cultural scripts. Jenis tindak tutur yang ditemukan adalah (1) TT langsung (TL),

(2) TT tidak langsung (TTL), (3) TT literal (TLit), (4) TT tidak literal (TTLit), (5)

TT langsung literal (TLLit), (6) TT tidak langsung literal (TTLLit), (7) TT

langsung tidak literal (TLTLit), dan (8) TT tidak langsung tidak literal (TTLTLit).

Tuturan juga dibangun oleh cultural scripts pada tataran leksikon dan tata bahasa

(31)

MEMIKIRKAN, MENGETAHUI, MERASAKAN, MENGINGINKAN,

MELIHAT, dan MENDENGAR. Di pihak lain tipe tindakan dibangun oleh

MELAKUKAN dan MENGATAKAN. Penelitian tersebut perlu kelanjutan

karena sejauh ini belum dikaji ideologi tuturan upacara memadik di Denpasar.

Namun, hasil penelitian tersebut memberikan hal yang sangat bermanfaat bagi

peneliti, terutama dalam menganalisis tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang

dibahas dalam penelitian tersebut. Walaupun objek penelitian tersebut berbeda

dengan objek yang dikaji oleh peneliti, penelitian tersebut dapat dijadikan kajian

pustaka yang memberikan sumbangan bagi peneliti untuk dijadikan bahan

pembanding.

Sastriadi (2006) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Tawur pada

Masyarakat Dayak Kaharingan di Kalimantan Tengah: Sebuah Kajian Wacana”.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa TRT memiliki sejumlah dimensi

struktur tekstual pada tataran superstruktur, yaitu struktur makro dan struktur

mikro. Pada tataran struktur makro TRT mengandung tema tentang permohonan

kepada roh beras untuk menyampaikan permohonan manusia kepada sahur

parapah „dewa‟. Pada tataran struktur mikro TRT ditemukan adanya paralelisme

leksikogramatikal pada unsur perangkat diad yang berpasangan berjumlah

maksimal sepuluh kata dalam klausa dan terdapat perangkat diad tunggal (tidak

memiliki pasangan). Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam TRT yang ditelitinya

ditemukan adanya makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna yang

berkenaan dengan ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan

(32)

tersebut belum mengkaji konteks situasi, seperti medan, pelibat, sarana, konteks

budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang tercermin dari TRT tersebut

sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian agar terjadi kesempurnaan. Akan

tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat bagi peneliti dalam hal

mengetahui struktur teks ritual TRT.

Sutama (2010) menyusun disertasi berjudul “Teks Ritual „Pawiwahan‟

Masyarakat Adat Bali: Analisis Linguistik Sistemik Fungsional”. Ia mengkaji

keseluruhan bagian perkawinan yang dimulai dari marerasan (tahap pertemuan

awal antara keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin

perempuan) sampai pada majauman (mengesahkan pernikahan). Struktur dikaji

secara menyeluruh karena fakta menunjukkan bahwa bagian yang satu dengan

yang lainnya tidak membutuhkan jarak waktu yang lama. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa teks ritual pawiwahan masyarakat adat Bali memiliki

sejumlah dimensi struktur, yaitu (a) budaya yang berkaitan dengan adat tradisi, (b)

struktur makro yang berkaitan dengan konteks sosial, (c) struktur mikro yang

berkaitan dengan alur pesan dan informasi, dan (d) struktur makna. Ia juga

mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya

sistem mood, transitivitas, dan tema-rema. Penelitian tersebut memberikan

kontribusi kepada peneliti dalam hal mengetahui struktur ritual „pawiwahan

masyarakat adat Bali sehingga dapat dijadikan pembanding dan rujukan.

Lanny (2013) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Kelahiran Orang Boti

di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur: Kajian Linguistik Kebudayaan”. Suku

(33)

bahwa tuturan kelahiran orang Boti memiliki tujuh tahapan ritual, yaitu Onen toit

li‟ana, Na‟aup, Lef usaf, Onen na‟po li ana usan, Kanaf, Tapoitan li‟ana, Eu‟nak

funu. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam tuturan kelahiran orang Boti yang

ditelitinya ditemukan adanya (a) gaya bahasa, (b) fungi, (c) makna, dan (d) nilai.

Gaya bahasa meliputi metafora dan paralelisme. Fungsi meliputi fungsi magis,

fungsi emotif, dan fungsi konatif. Makna meliputi makna didaktis, makna religi,

dan makna sosiologis. Nilai meliputi nilai pendidikan, nilai hidup, dan nilai

budaya. Penelitian tersebut tidak membahas konteks situasi seperti medan (field),

pelibat (tenor), sarana (mode), dan konteks ideologi yang tercermin di balik

tuturan ritual kelahiran orang Boti sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian

agar terjadi kesempurnaan. Akan tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat

bagi peneliti dalam hal mengetahui tahapan tuturan ritual kelahiran orang Boti.

Magdalena (2013) menulis disertasi berjudul “Teks Kette Katonga Weri

Kawendo pada Masyarakat Adat Weweha di Pulau Sumba: Analisis Linguistik

Sistemik Fungsional”. Data lisan diperoleh melalui metode observasi dan

wawancara dengan teknik perekaman empat acara KKWK pada masyarakat adat

Weweha di dua kecamatan dan di Kabupaten Sumba Barat Daya. Data dianalisis

dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif tepatnya metode padan. Hasil

analisis disajikan dalam bentuk formal, informal, dan gabungan dari keduanya.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa leksikogramatika teks dalam

KKWK mencakup transitivitas, modus, dan tema. Transitivitas memiliki tiga

unsur pokok, yaitu (a) partisipan direalisasikan oleh kelompok nomina dan

(34)

verbal, proses relasional, proses wujud, proses mental, dan perilaku. Modus

meliputi indikatif dan imperatif. Di pihak lain tema meliputi topik, interpersonal,

dan tekstual. KKWK juga memiliki konteks situasi yang meliputi medan, pelibat,

dan sarana. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya

ditemukan adanya ideologi teks yang mencerminkan nilai-nilai penghormatan,

persatuan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesepakatan. Dalam penelitian tersebut

permasalahan dibahas secara lengkap. Penelitian tersebut memberikan kontribusi

bagi peneliti dalam hal menentukan ideologi sehingga dapat dijadikan rujukan dan

pembanding.

Suwendi (2013) menyusun tesis berjudul “Wacana Ritual Caru Eka Sata

Ayam Brumbun: Sebuah Analisis Linguistik Kebudayaan”. Ritual caru eka sata

ayam brumbun termasuk ritual bhuta yadnya. Caru ini menggunakan seekor ayam

brumbun sebagai sarana persembahan. Teks wacana ritual CES AB disusun dalam

bahasa Bali Kawi, yakni bahasa Bali yang banyak menyerap kosakata dan afiks

bahasa Jawa Kuno (Kawi). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa CES AB

memiliki beberapa struktur, seperti struktur skematik teks yang meliputi tiga

bagian, yaitu (a) bagian pendahuluan yang terdiri atas teks durmanggala, teks

biakaon, teks prayascita, dan teks pangulapan, yang semuanya disebut

pangresikan; (b) bagian isi yang merupakan bagian utama teks, yang juga disebut

inti caru; (c) bagian penutup yang disebut panyineb puja. Ia juga mendeskripsikan

bahwa dalam teks wacana ritual CES AB yang ditelitinya ditemukan beberapa

fungsi dan nilai, yaitu (1) fungsi magis yang mencerminkan adanya kekuatan

(35)

(3) fungsi emotif. Di pihak lain nilai yang terkandung di dalam teks CES AB

meliputi nilai religius, nilai permohonan, nilai ekonomi, dan nilai keharmonisan.

Penelitian tersebut hanya mengkaji struktur dasar, yaitu struktur teks, fungsi, dan

nilai. Penelitian tersebut belum memberikan deskripsi konteks situasi, seperti

medan, pelibat, sarana, konteks budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang

tercermin di balik CES AB.

2.2 Konsep

Ada beberapa konsep operasional yang dipaparkan berdasarkan objek

dalam penelitian ini. Konsep dipaparkan dengan tujuan dapat menyatukan

persepsi untuk memberikan kemudahan dan gambaran yang jelas tentang arah

penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kridalaksana (2008:132) bahwa

konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau bahasa yang memerlukan

penggunaan akal budi untuk memahaminya.

2.2.1 Tuturan Upacara Pernikahan

Tuturan merupakan penggunaan bahasa yang dianggap sebagai alat

komunikasi yang dilakukan oleh seseorang pada situasi tertentu sehingga dapat

dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang berhubungan dengan

komponen fisik dan psikologis bahasa itu sendiri. Hal ini merupakan kebebasan

untuk melakukan interpretasi dari apa yang akan dikatakannya, seperti tuturan

upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan,

(36)

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo memiliki beberapa tahapan, yaitu tahapan

peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan.

Penggunaan tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengacu pada peristiwa tutur

tertentu. Dengan demikian, dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang

berhubungan dengan komponen fisik dan psikologis.

Tuturan diartikan sebagai ekspresi bahasa yang digunakan oleh penuturnya

dalam konteks tertentu, sedangkan kalimat merupakan ekspresi bahasa yang

digunakan oleh penuturnya yang tidak terikat konteks tertentu. Artinya, tuturan

mencari maksud, sedangkan kalimat mencari makna (Matthew, 1997:393). Van

Dijk (1943:1) mengatakan sebagai berikut.

speech acts usually do not come alone. They may occur in ordered sequences of speech acts accomplished by one speaker or by subsequent speaker, e.g. in the course of a vonversation. Much in the same way as sentences may occur in sequences which should satisfy a number of constraints, e.g. those of semantic coherence, in order to be acceptable as discourse, we should expect that speech act sequences are not arbitrary. They must also satisfy a number of constraints. One of the obvious tasks for an extension of a theory of speech acts within linguistic pragmatics. Then, is the formulation of these constraints.

Tuturan biasanya tidak hadir sendirian. Tuturan dapat terjadi dalam urutan

pesan yang disempurnakan oleh penutur dan petutur berikutnya dalam rangkaian

percakapan. Banyak cara dalam sebuah kalimat yang dapat terjadi secara

berurutan dan dapat memenuhi angka ketidakleluasaan, seperti dalam semantik

sebagai wacana yang menghasilkan tindak tutur yang berurutan dan tidak

(37)

2.2.2 Konteks dalam Pragmatik

Sebelum dijelaskan makna tindak tutur, dipandang perlu dipahami makna

semantik dan pragmatik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini Leech

(1983:5--6) memaparkan makna sebagai berikut.

semantics and pragmatics in practice, the problem of distinguishing

„language‟ (langue) and „language use‟ (parole) has centred on a

boundary dispute between semantics and pragmatics. Both fields are concerned with meaning, but the difference between them can be traced to two different users of the verb to mean:

[1] what does X mean? [2] what did you mean by X? Semantics traditionally deals with meaning as a dyadic relation, as in

[1], while pragmatics deals with meaning as a triadic relation. As in [2], thus meaning in pragmatics as defined relative to a speaker or user of the language. Whereas meaning in semantics is defined purely as a property of expression in a given language, in abstraction from particular situation, speakers, or hearer.

Berdasarkan paparan Leech di atas, dapat dipahami bahwa pragmatik

mempunyai kaitan yang erat dengan semantik. Semantik memperlakukan makna

sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi „diadik‟ seperti pada „apa

maksudnya X‟. Di pihak lain pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu

hubungan yang melibatkan tiga segi „triadik‟ seperti pada „apa maksudnya dengan

↓‟. Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberikan definisi dalam

hubungannya dengan penutur atau pengguna bahasa. Di pihak lain dalam

semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam

suatu bahasa tertentu, artinya terpisah dari situasi penutur dan lawan tuturnya.

Kiefer (1980:9) menegaskan bahwa pragmatics is concerned with the way

in which the interpretation of syntactically defined expressions depends on the

(38)

interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu. Cara

menginterpretasikan ungkapan tersebut bergantung pada kondisi-kondisi khusus

penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks.

Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatics is the study of those

relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in

the structure of language. Artinya, pragmatik merupakan kajian hubungan antara

bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur

bahasa.

Mey (1993:42) menekankan konteks dan mengatakan bahwa pragmatics is

the study of conditions of human language uses as these are determined by the

context of society. Artinya, pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan

bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya.

Parker (1986:11) mengatakan bahwa: pragmatics is the study of how

language is used for communication. Pragmatik adalahkajian tentang bagaimana

bahasa digunakan untuk berkomunikasi dan menegaskan bahwa pragmatik tidak

menelaah struktur bahasa secara internal seperti tata bahasa, tetapi menelaah

secara eksternal.

Konteks menurut Preston (1984) adalah segenap informasi yang berada di

sekitar penggunaan bahasa, bahkan termasuk juga penggunaan bahasa yang ada di

sekitarnya (yang mendahahului ataupun sesudahnya). Dengan demikian, konteks

dapat dibedakan menjadi konteks bahasa dan konteks non-bahasa. Konteks

nonbahasa dapat dibedakan menjadi (1) konteks dialektal, di antaranya meliputi

(39)

diatipik meliputi setting (tempat dan jarak interaksi), topik pembicaraan dan

fungsi, (3) konteks realisasi meliputi cara dan saluran yang digunakan orang untuk

menyampaikan pesan, yaitu pesan tertulis dan lisan, sedangkan saluran berupa

telepon, telegram, ataupun bersemuka.

Suyono (1990:20) mengatakan bahwa konteks meliputi konteks fisik dan

konteks sosial psikologis. Konteks fisik, misalnya berupa tempat, waktu, dan

hal-hal fisik lain yang dapat diindra. Di pihak lain konteks sosial psikologis, misalnya

berupa hubungan antarpesan, keadaan batin para pemeran, latar belakang sosial

ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Konteks didefinisikan oleh Mey (1993:38)

sebagai berikut.

The surroundings in the widest sense that enable the participants in the communication process to interact and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible.

Situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur

berkomunikasi, dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami.

Artinya, situasi yang dapat menimbulkan seseorang berujar karena situasi tersebut

tidak mendukung keadaan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa untuk

menyampaikan suatu maksud atau fungsi sebuah makna kepada orang lain, bukan

hanya dengan satu modus tuturan, melainkan dengan banyak modus tuturan,

bergantung pada konteks situasi di mana bahasa itu digunakan atau dituturkan.

Hymes (1972:10--14) mengemukakan unsur-unsur yang dapat membentuk

(40)

a) The form and content of the message (bentuk dan isi pesan).

b) The setting (perangkat lingkungan khas, misalnya waktu dan tempat).

c) The intent and effect of the communication (maksud dan dampak komunikasi).

d) The key (kunci atau petunjuk).

e) The medium (perantara).

f) The genre (genre).

g) The norm of interaction (norma interaksi).

2.2.3 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan

Konsep ideologi dalam penelitian ini adalah seperangkat kepercayaan

suatu kelompok masyarakat yang direalisasikan dalam tuturan dan tindakan. Di

samping itu, juga dapat mengikat dan mempersatukan mereka secara

turun-temurun.

Berkenaan dengan pandangan tersebut, analisis ideologi sangat erat

berkaitan dengan bahasa karena bahasa merupakan media dasar makna

(pemaknaan) yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Dengan kata lain,

bahasa mengandung makna yang ada hubungannya dengan ideologi penggunaan

bahasa.

Ideologi tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses tersendiri dan

sampai pada suatu keyakinan yang menjadikannya sebagai penyatu dalam suatu

kelompok masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martin (1997:237) bahwa

ideologi merujuk pada posisi kekuatan dan asumsi bahwa semua yang berinteraksi

(41)

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini dikerangkai oleh dua teori, yaitu (1) teori pragmatik dan (2)

teori bahasa, konteks, dan teks. Teori pragmatik (Leech, 1983; Wijana, 1996)

digunakan untuk menganalisis dua permasalahan. Pertama, tindak tutur yang

ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua, tindak tutur yang memperlihatkan

tindak ilokusi dalam tuturan pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan,

Pakuniran, Probolinggo. Di pihak lain teori bahasa, konteks, dan teks (Halliday,

1985) untuk menganalisis permasalahan yang ketiga, yaitu ideologi yang

tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua teori ini saling melengkapi sebagai

teori utama dan teori pendukung untuk menjawab permasalahan dalam penelitian

bahasa Madura (BMd). Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan jelas

tentang kedua teori yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan secara

terperinci di bawah ini.

2.3.1 Tindak Tutur

Berkaitan dengan bahasa dan konteks penggunaannya, Austin (1962)

dalam bukunya yang berjudul How to do things with Words mengatakan bahwa

suatu ekspresi tutur dapat digunakan untuk melakukan sesuatu selain untuk

mengatakan sesuatu. Dalam hal ini lebih lanjut dia berpendapat bahwa suatu

(42)

atau pernyataan belum tentu digunakan untuk mengatakan pernyataan, tetapi juga

dimaksudkan untuk bertanya, memerintah, dan sejenisnya (Austin, 1962:98--99).

Jika seseorang mengatakan “saya berjanji” (I promise), dia sebenarnya

tidak hanya mengucapkan ujaran tersebut, tetapi juga melakukan tindakan

berjanji. Dia berjanji akan melakukan hal yang diujarkan (Nadar, 2009:11).

Tuturan ini disebut tuturan performatif dan kata kerja yang digunakan dalam

tuturan ini juga disebut kata kerja performatif (Austin, 1962; Searle, 1977;

Cummings, 2007; Leech, 1983; Levinson, 1983:229--232).

Cohen (2008:2) menambahkan bahwa tindak tutur sering, tetapi tidak

selalu merupakan suatu bahasa yang terpola dan bersifat rutin dari penutur asli,

penutur, dan penulis nonasli yang secara pragmatik dianggap berkompeten

walaupun dengan berbagai versi dialeknya menggunakan bahasa tersebut dengan

fungsi-fungsi bahasanya, seperti mengucapkan terima kasih, memuji, meminta,

menolak, dan mengeluh. Menurutnya, selama ini pendekatan tradisional sudah

sering digunakan dalam menganalisis tindak tutur yang dalam implementasinya

jauh dari interaksi situasional.

Terkait dengan pendapat Cohen, Searle (1977:22) juga mengatakan hal

yang senada, yaitu menggunakan suatu bahasa berarti kita terlibat dalam suatu

bentuk tindakan atau berbicara adalah melakukan suatu tindakan menurut aturan.

Ujaran seperti (a) Sam smokes habitually, (b) Does Sam smoke habitually, (c)

Sam, smoke habitually, dan (d) Would that Sam smoke habitually merupakan

(43)

suatu penegasan (assertion), (b) bertanya, (c) memberikan perintah (giving an

order), dan (d) menyatakan harapan atau keinginan.

Pendekatan baru yang diajukan oleh Kasper (2006) dalam menganalisis

tindak tutur adalah discursive pragmatics, yaitu suatu pendekatan pragmatik yang

melibatkan analisis percakapan. Pendekatan ini tidak hanya menyokong kajian

tindak tutur dalam wacana atau dalam interaksi, tetapi juga melalui wacana

dengan menggunakan pendekatan conversations analysis (CA) terhadap tindakan,

arti, dan konteks dalam mempelajari tindak tutur.

Austin (1962), Searle (1977), Leech (1983), dan (Nadar, 2011:11--12)

mengatakan bahwa ada tiga syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi agar suatu

tindakan dapat berlaku atau terlaksana. Ahli linguistik menyebutnya dengan

istilah felicity conditions. Kondisi tersebut diformulasikan menjadi tiga bagian,

yaitu seperti berikut.

1. The person and circumtances must be appropriate, yaitu adanya kesesuaian

antara pelaku dan situasi. Tuturan untuk pengantin pada saat perkawinan atau

pria dan wanita yang sedang menikah “saya nyatakan Anda berdua sebagai

suami istri” hanya dapat berlaku jika yang mengucapkan adalah seorang yang

memegang wewenang untuk mengucapkan tuturan tersebut, misalnya pendeta

atau pastor.

2. The act must be executed completely and correctly by all participants, yaitu

tindakan tersebut harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua

(44)

menunjukkan kesalahnnya ataupun peraturan yang menggariskan bahwa dia

bersalah dianggap tidak valid.

3. The participants must have the appropriate intentions, yaitu pelaku harus

mempunyai maksud yang sesuai. Tuturan “Saya akan menemui Anda di kantor

pukul tiga” dianggap tidak valid jika penutur tidak bisa datang karena sudah

membuat janji dengan pihak lain.

Searle (1977:23--24) di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The

Philoshopy of Language mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya

ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak

lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi

(perlocutionary act).

Leech (1983:198--199) di dalam bukunya Principles of Pragmatics juga

mengatakan hal yang senada bahwa cara yang tepat untuk mengawali suatu kajian

mengenai verba tindak tutur adalah dengan menyajikan pembagian tindak tutur,

yaitu lokusi (locutionary), ilokusi (illocutionary), dan perlokusi (perlocutionary).

Nababan (1987:4) juga membedakan tindak bahasa secara analitis yang terjadi

secara serentak menjadi tiga macam, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan

tindak perlokusi.

Levinson (1983:236) states that “but if this notion that, in uttering sentences, one is also doing things, is to be clear, we must first clarify in what ways in uttering a sentence one might be said to be performing actions. Austin isolates three basic senses in which in saying something one is doing something, and hence three kinds of acts that are simultaneously performed: locutionary act,

Gambar

Tabel 1 Modus Tuturan
Tabel 2 Modus Tuturan
Tabel 3 Jenis Tindak Tutur

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat Batak Karo (Kajian Pragmatik) yang bertujuan untuk mengetahui apa saja jenis tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi yang digunakan pada upacara

Bentuk tindak tutur tidak langsung tidak literaldiantaranya meliputi: (a) bentuk tuturan yang berupa sindiran terdapat satu tuturan, (b) bentuk tuturan yang berupa

orang lain. Pelanggaran maksim simpati terlihat pada tuturan Miun, “ Bagus ”. Tuturan tersebut termasuk tindak tutur asertif, karena penutur menyatakan. sesuatu. Amel

Berdasarkan data di atas, tindak tutur deklaratif ditunjukkan oleh tuturan yang diungkapkan oleh Vicky Prasetyo yaitu “Jangan pernah bingung”. Tindak tutur

pernikahan di Manokwari.Tujuan penelitian yakni, (a) mendeskripsikan bentuk tindak tutur ilokusi dalam tradisi “Minang” pernikahan di Manokwari, (b) mendeskripsikan

upacara perkawinan masyarakat Batak Toba terdapat tiga belas jenis tindak tutur,. yaitu tindak tutur bersalam, memberkati, memohon, memuji,

Bentuk tindak tutur tidak langsung tidak literaldiantaranya meliputi: (a) bentuk tuturan yang berupa sindiran terdapat satu tuturan, (b) bentuk tuturan yang berupa

Dengan melihat penanda dalam tuturan yakni kata harapan „harapan‟ yang digunakan penutur dapat disimpulkan bahwa tuturan data 7 merupakan tindak tutur direktif harapan.. Kata harapan