TESIS
TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT
MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN,
PROBOLINGGO: KAJIAN PRAGMATIK
A N W A R I NIM 1390161008
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT
MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN,
PROBOLINGGO: KAJIAN PRAGMATIK
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Linguistik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
A N W A R I NIM 1390161008
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 14 April 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No. 1643/UN14.4/HK/2016 Tanggal 14 April 2016
Ketua : Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.
Anggota :
1. Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum. 2. Dr. Putu Sutama, M.S.
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : A N W A R I, S.S.
NIM : 1390161008
Prog. Studi : Magister (S2) Linguistik Pascasarjana Universitas Udayana
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima
sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 14 April 2016
UCAPAN TERIMA KASIH
wadlurriyaatinaa qurrata a’yuniwwaj’alnaa lilmuttaqiyna imaamaa. Rabbanaa taqabbal minnaa innaka antassamiy’ul aliym, watub alainaa innaka
antattawwaburrahiym.
Pertama, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Maulana Azzawajallah
Allah Swt (subhanahu wataala) karena atas karunia dan limpahan rahmat-Nya
penulis masih diberi umur panjang, kesehatan yang berkah sehingga tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik. Penulis lemah tanpa keagungan-Mu dan penulis tidak
akan sempurna tanpa kekuasaan-Mu ya Rabb. Tidak ada kata lain selain penulis
haturkan sujud, iman, dan takwa hanya kepada Engkaulah ya Rabb.
Kedua, selawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW (Sallallahu Alaihi Wasallam) sebagai utusan Allah yang
telah membawa umat Islam dari alam kegelapan menuju alam yang
terang-menderang. Berkat taufiq dan hidayah-Nya pula penulis dapat membedakan yang
baik dan yang buruk, serta yang hak dan yang batil.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD., atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister Linguistik di Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Sudewi,
Sp. S (K)., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi
mahasiswa Program Magister Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Udayana, yakni Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.,
atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program
juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.,
dan Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum., selaku Ketua Program dan Sekretaris
Program Studi Magister Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana yang telah memberikan motivasi selama proses pembelajaran, baik
dalam kelas maupun di luar kelas. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik
yang dengan sabar memberikan bimbingan dan saran kepada penulis selama
mengikuti kuliah Program Magister Linguistik pada Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr.
Made Budiarsa, M.A. selaku Pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah
memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran kepada penulis selama
bimbingan tesis. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. I Wayan
Simpen, M.Hum. selaku Pembimbing II yang juga dengan penuh perhatian,
kesabaran dalam memberikan bimbingan, motivasi, dan saran kepada penulis.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para penguji tesis, yakni
Dr. Putu Sutama, M.S., Dr. I Ketut Jirnaya, M.S., Dr. I Made Rajeg, M.Hum.,
yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini
dapat terwujud. Berkat masukan dan saran yang diberikan, penulis lebih
memahami penulisan karya ilmiah secara mendalam.
Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada semua guru yang telah mendidik penulis sejak penulis masih duduk di
Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi. Berkat ilmu yang kalian ajarkan,
penulis dapat menjalani pendidikan sampai saat ini.
Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada staf pengajar
pada Program Magister Linguistik, yakni 1) Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S., 2)
Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., 3) Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum., 4)
Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D., 5) Prof. Dr. Aron Meko Mbete, 6) Prof. Dr.
Ida Bagus Putra Yadnya, M.A., 7) Prof. Dr. I Dewa Komang Tantra, M.Sc., 8)
Prof. Dr. I Gusti Made Sutjaja, M.A., 9) Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.,
M.A., 12) Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., 13) Prof. Dr. Drs. I Ketut
Riana, S.U., 14) Prof. Dr. I Made Suastra, Ph.D., 15) Prof. Dr. Made Budiarsa,
M.A., 16) Dr. A.A Putu Putra, M.Hum., 17) Dr. Made Sri Satyawati, M.Hum, 18)
Dr. I Wayan Arka, M.A., M.Phil., 19) Dr. Ni Luh Ketut Mas Indrawati, TEFL.,
M.A., 20) Dr. Putu Sutama, M.S., 21) Dr. I Made Netra, S.S., M.Hum., 22) Dr. Ni
Wayan Sukarini, M.Hum., 23) Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S., 24) Dr. Ni Made
Suryati, M.Hum., 25) Dr. I Nyoman Sedeng, M.Hum., 26) Dr. Ni Nyoman Seri
Malini, S.S., M.Hum., atas ilmu dan pengalaman yang diberikan kepada penulis
sehingga dapat membuka cakrawala baru bagi penulis ke depannya.
Terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh staf administrasi dan
perpustakaan Program Magister Linguistik Universitas Udayana, yakni I Nyoman
Sadra, S.S., I Ketut Ebuh, S.Sos., I Gusti Agung Ayu Supadmini, Ni Nyoman Adi
Triani, S.E., Ida Bagus Suanda, S.Sos., Ni Nyoman Sumerti, dan Ni Nyoman
Sukartini atas pelayanan prima yang telah diberikan kepada penulis selama
mengikuti pendidikan di Universitas Udayana.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada teman-teman sejawat
dan seperjuangan angkatan 2013, yakni Anak Agung Gede Suhita Wirakusuma,
S.S., Antonio Constantino Soares, S.S., Arif Rahman Hadi, S.S., Dewanto, S.S.,
Dwi Lina Sari Tanjung, S.S., Eunike Ade Rolike, S.S., Gede Doddi Raditya
Diputra, S.S., Gek Wulan Novi Utami, S.S., I Gusti Ngurah Ariesta, S.Pd., Ni Luh
Ernawati, S.S., Ni Luh Yuniarti, S.S., Ni Made Sri Ramayanti, S.S., Nissa
Puspitaning Adni, S.S., Ni Putu Candra Lestari, S.S., Ni Wayan Prilyasinta, S.S.,
Ni Wayan Sri Darmayani, S.S., Putu Eka Guna Yasa, S.S., Setyarti, S.S., Wiwik
Marlia, S.Pd., atas kebersamaan, kekompakan, dan masukan lewat diskusi baik di
dalam maupun di luar kelas berkaitan dengan persoalan kelinguistikan yang
penulis hadapi. Berkat variasi ilmu yang kalian tekuni, penulis dapat belajar dan
memahami kajian ilmu kelinguistikan satu demi satu.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat seperjuangan
Eka Yusriansyah, S.Pd., Rahmat Said, S.Pd., Sarifudin Detikoa, S.Pd., Herfan
Sukardi, S.S., dan Maria Imaculada Sarmento, S.S., atas kebersamaan dan
Denpasar. Kebersamaan dan kebaikan kalian akan selalu menjadi pelajaran
berharga bagi penulis.
Penulis ucapkan terima kasih juga kepada sahabat penulis yang turut
membantu dan menemani penulis selama proses pengambilan data, yakni
Muhammad Hosen, S.Kom., dan Babur Rahman, S.Pd.I. atas bantuan kalian
semua data dapat terkumpul. Terima kasih pula kepada saudara penulis,
Muhibbatuzzakiyah, S.Pd.I., yang turut membantu dalam proses pengumpulan
data hingga semuanya berjalan dengan baik.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada keluarga yang telah
menganggap penulis anak, yakni Ibu I Gusti Agung Ayu Supadmini dan Bapak I
Nyoman Sundra atas kebaikan yang diberikan kepada penulis selama tinggal di
Denpasar. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada keluarga
besar I Nyoman Sudarsana, Ni Ketut Nurini, Komang Denni Suarsana, A.P.Par.,
Ni Wayan Sri Darmayani, S.S., atas kebaikan yang diberikan kepada penulis
selama menempuh pendidikan di Denpasar, serta menjadikan penulis bagian
keluarga. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak
Mujiono (Pak Dina) dan Ibu Eris Farlina (Ibu Dina) yang telah menjadikan
penulis bagian keluarga, memberi kebaikan, dan memotivasi, serta membantu
penulis dengan setulus hati selama penulis tinggal di Denpasar. Kebaikan kalian
semua sangat berharga dan penulis kenang selamanya.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar di
Bali, yakni, Dewo, Lisiyati, Dedy Julian, Gede, Bli Bagus, Ibu Asma dan Pak
Mat, Buk Lis, Buk Umi, Buk Vero, Mas Ali dan Mbak Ani, Om Makruf, Eva
Fitriah, Mas Yono, Mbok Ngah, Mas Yoto, Mas Vian, Mas Slamet, Suud, Yusuf,
Dicky, Buk Ana Rambo, Buk Putri, Pak Bambang, Hilda Ilham, Mama Lia
(Mama Alan), Mbak Hanif dan Mas Mislar, atas bantuan dan kebaikannya selama
penulis menjalani kehidupan dan pendidikan di Denpasar. Kebaikan kalian akan
selalu penulis kenang selamanya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Trawi dan Abdurrahman,
S.H., selaku Kepala Desa Kalidandan dan Sekretaris Desa Kalidandan yang telah
ucapkan terima kasih kepada informan kunci, Pak Budianto, S.Pd.I., Pak
Abdurrahman, S.H., Pak Karto (Busmin), dan Buk Saniti (Sumardi) atas segala
kerjasama dalam memberikan data dan informasi yang penulis butuhkan selama
proses pengumpulan data.
Pada kesempatan ini, rasa ta’dzim dan ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Kusno dan Ibu Misnari
(Kusniati) yang telah merawat, mendidik, memberi kasih sayang, dan usaha yang
gigih demi kelancaran penulis dalam menuntut ilmu dari Sekolah Dasar hingga
pada Pendidikan Magister, serta doa dalam setiap sujud yang selalu dipanjatkan
agar penulis selalu diberikan kesehatan oleh Allah dalam menjalani segala
kewajiban dan aktivitas. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada
saudara kandung penulis, yakni Siti Zulaiha (Buk Ayun), ipar penulis, yakni
Suradi (Pak Ayun), ponakan penulis, yakni Siti Nur Ayuni, nenek penulis, yakni
Nyai Biro yang telah mendoakan penulis agar selalu diberikan keselamatan dan
kelancaran selama menempuh pendidikan di Denpasar. Tak lupa pula ucapan
terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada tanteku Ibu Samiya yang telah
memberikan kebaikan dan merawat penulis dari kecil hingga dewasa ini.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada tunangan
penulis, yakni Nurul Lailatul Chotimah, S.Kep. Ners., yang telah mendukung dan
memotivasi penulis hingga tesis ini terwujud. Berkat dorongan dan dukungan
yang diberikan dapat menguatkan penulis dalam menjalankan kewajiban
akademik.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua
pihak yang telah membantu hingga tesis ini dapat diselesaikan. Semoga Allah
Yang Mahakuasa selalu memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kalian semua.
Amin Allahumma Amin.
Denpasar, 14 April 2016
ABSTRAK
TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN, PROBOLINGGO:
KAJIAN PRAGMATIK
Penelitian tuturan upacara pernikahan ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode simak (metode obeservasi). Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori pragmatik, teori bahasa, konteks, dan teks.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan ditemukan jenis tindak tutur, yaitu (1) tindak tutur langsung (24 data), (2) tindak tutur tidak langsung (2 data), (3) tindak tutur literal (6 data), (4) tindak tutur tidak literal (3 data), (5) tindak tutur langsung literal (3 data), (6) tindak tutur tidak langsung literal (1 data), (7) tindak tutur langsung tidak literal (2 data), dan (8) tindak tutur tidak langsung tidak literal (2 data). Dalam tuturan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo penutur cenderung menggunakan tindak tutur langsung.
Tindak ilokusi yang ditemukan ialah (1) atanyah ‘bertanya’, (2) mintah
‘melamar’, (3) erestoeh ‘restu’, (4) jenjih ‘janji’, (5) nyuon se sanget ‘memohon
dengan sangat’, (6) rakerah ‘prediksi’, (7) dekgik ‘menyusul’, (8) dua’ ‘salam’,
(9) ngormat ‘penghormatan’, (10) nyupreh ridha ‘memohon doa’, (11) saksek’en
‘saksikan’, (12) nukol/maceplos ‘memukul’, (13) pesa/talak ‘cerai’, (14)
istiqomah delem bejeng ‘istikomah dalam salat’, (15) awasiat ‘berwasiat’, (16)
anikah’agin ‘menikahkan’, (17) neremah ‘menerima’, (18) nyirenagin
‘menyerahkan’, (19) songkan ‘segan-segan’, (20) ambu ‘berhenti’, (21) bentoh
‘membantu’, (22) niroan ‘mencontoh’, (23) jek apermainagin perkabinan ‘jangan
main-main dalam menikah’, (24) permintaan ‘permintaan’, (25) pasra
‘memasrahkan’, (26) kasok’on ‘berterima kasih’, (27) ngambhul ‘minggat’, (28)
tak rukun ‘tidak harmonis’, (29) tak kenal ‘tidak kenal’, (30) taoh kadek ‘kenal
lebih dulu’, (31) ende’en ‘gampangan’, (32) nyesel ‘penyesalan’, (33)
kekecewaan ‘kecewa’, (34) mintah pendapat ‘minta pendapat’, (35) sabbher
‘sabar’, (36) tak inmainan ‘tidak main-main’, (37) laep ‘paceklik’, (38) nispah
‘penyesalan yang mendalam', (39) ngandung kade’ ‘hamil lebih dulu/hamil di luar
nikah’, (40) kalak ‘mengambil’, (41) pemberitaoan ‘mengumumkan’, dan (42)
menegaskan ‘menegaskan’,
Ideologi yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura yang dibangun oleh tuturan tradisi ialah (1) keberkahan keturunan, (2) keberkahan umur, (3) keberkahan rezeki, (4) kekuatan, dan (5) penyucian diri. Ideologi ini juga didukung oleh nilai, yakni (1) kesucian, (2) keselamatan, (3) perlindungan, (4) pertanggungjawaban secara jasmani dan rohani, (5) kesungguhan, (6) penghormatan, (7) permohonan, dan (8) kemudahan dalam mencari rezeki.
ABSTRACT
WEDDING CEREMONY DISCOURSE OF MADURESE AT KALIDANDAN VILLAGE, PAKUNIRAN, PROBOLINGGO:
PRAGMATIC PERSPECTIVE
This research used qualitative descriptive approach with listening method (observation method). Theories used in this research are the theory of pragmatics and the theory of language, context, and text.
The results of the analysis show that there are eight types of speech act found. They are (1) direct speech act (24 data), (2) indirect speech act (2 data), (3) literal speech act (6 data), (4) nonliteral speech act (3 data), (5) direct literal speech act (3 data), (6) indirect literal speech act (1 data), (7) direct nonliteral speech act (2 data), and (8) indirect nonliteral speech act (2 data). In wedding ceremony discourse done by Madurese at Kalidandan village, Pakuniran, Probolinggo, the speakers of BMd tend to use direct speech act.
In terms of illocutionary act, there are fourty two illocutionary force found. They are (1) questioning, (2) propose marriage to, (3) blessing, (4) promise, (5) forces of imploring, (6) predicting, (7) later, (8) praying, (9) respectful, (10) looking for blessing, (11) testify, (12) hit, (13) divorce, (14) stay in pray, (15) give exhortation, (16) take in marriage, (17) receiving, (18) pass in, (19) willingly, (20) stop, (21) helping, (22) imitate, (23) do not play around in marriage, (24) requesting, (25) fate, (26) grateful, (27) getting out of house, (28) not harmonious, (29) not to know, (30) knowing at first, (31) easy in hand, (32) regret, (33) disappointed, (34) asking for opinion, (35) patient, (36) serious, (37) scarcity before harvesting time, (38) deep regret, (39) pregnant under married, (40) taking, (41) announcement, and (42) asserting/clarifying.
Ideology in wedding ceremony discourse of Madurese that is constracted by traditional discourse, the following ideologies were (1) blessing descent, (2) blessing age, (3) blessing sustenance, (4) power, and (5) ablutions. Ideology also supported by values, those are (1) purity, (2) safety/rescuer, (3) protection, (4) responsibility in physic and spiritual, (5) truth, (6) homage, (7) requesting, and (8) easy in looking for some gifts.
DAFTAR ISI
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ...10
2.2 Konsep ...16
2.2.1 Tuturan Upacara Pernikahan ...16
2.2.2 Konteks dalam Pragmatik ...18
2.2.3 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan ...21
2.3 Landasan Teori ...22
2.3.1 Tindak Tutur...22
1. Tindak Lokusi ...27
2. Tindak Ilokusi ...27
3. Tindak Perlokusi ...28
2.3.1.2 Jenis Tindak Tutur...29
1. Tindak Tutur Langsung ...29
2. Tindak Tutur Tidak Langsung ...30
3. Tindak Tutur Literal ...32
4. Tindak Tutur Tidak Literal...32
5. Tindak Tutur Langsung Literal ...33
6. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...34
7. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ...35
8. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...36
2.3.1.3 Fungsi Tindak Tutur ...37
2.3.2 Teori Bahasa, Konteks, dan Teks ...39
2.4 Model Penelitian ...40
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ...42
3.2 Lokasi Penelitian ...43
3.3 Jenis dan Sumber Data ...43
3.4 Instrumen Penelitian...45
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...45
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ...47
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis ...47
BAB IV LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA DAN BAHASA MASYARAKAT KALIDANDAN 4.1 Sejarah Desa Kalidandan ...48
4.1.1 Sejarah Pemerintahan Desa Kalidandan ...49
4.1.2 Sejarah Pembangunan Desa Kalidandan ...49
4.2 Letak Geografis Desa Kalidandan ...50
4.3 Jumlah Penduduk Desa Kalidandan ...51
4.4 Mata Pencaharian Masyarakat Kalidandan ...51
4.5 Tingkat Pendidikan Masyarakat Kalidandan ...52
4.6 Sistem Kepercayaan Masyarakat Kalidandan ...52
4.7 Sistem Pernikahan Masyarakat Kalidandan ...52
4.7.1 Tunangan (Bekalan) ...53
4.7.2 Pernikahan (Kabin) ...54
4.8 Bahasa Asli Masyarakat Kalidandan ...54
BAB V TINDAK TUTUR DALAM TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT KALIDANDAN
5.1 Pengantar ...56
5.2 Jenis Tindak Tutur...56
5.2.1 Tindak Tutur Langsung ...60
5.2.2 Tindak Tutur Tidak Langsung ...77
5.2.3 Tindak Tutur Literal ...78
5.2.4 Tindak Tutur Tidak Literal ...83
5.2.5 Tindak Tutur Langsung Literal ...85
5.2.6 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...88
5.2.7 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...89
5.2.8 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...90
5.3 Tuturan Upacara PernikahanMasyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...92
BAB VI TINDAK ILOKUSI TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT KALIDANDAN 6.1 Pengantar ...96
6.2 Tindak Ilokusi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura ...97
6.2.1 Ilokusi Tindak Tutur Langsung ...97
6.2.2 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung ...113
6.2.3 Ilokusi Tindak Tutur Literal ...115
6.2.4 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Literal ...120
6.2.5 Ilokusi Tindak Tutur Langsung Literal ...122
6.2.6 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...124
6.2.7 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...125
6.2.8 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...127
6.3 Tindak Ilokusi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...130
BAB VII IDEOLOGI TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT KALIDANDAN 7.1 Pengantar ...133
7.2 Tradisi Siraman (Pandebeen) ...134
7.3 Ideologi Pernikahan ...135
7.3.1 Nilai Bulan Baik Pernikahan ...136
7.3.2 Nilai Tradisi Siraman (Pandebeen) ...137
7.4 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...137
7.4.2 Nilai Sarana pada Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura ...163
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan ...177
8.2 Saran ...179
DAFTAR PUSTAKA ...180
Lampiran 1 Korpus Data Tuturan Peminangan (bekalan) ...184
Lampiran 2 Korpus Data Tuturan Prapernikahan ...186
Lampiran 3 Korpus Data Tuturan Pernikahan ...189
Lampiran 4 Korpus Data Tuturan Siraman ...195
Lampiran 5 Korpus Data Pascapernikahan ...202
Lampiran 6 Bulan Masehi, Hijriyah, dan Pengucapan Bahasa Madura ....206
Lampiran 7 Data Tuturan Upacara dan Tuturan Tradisi ...207
Lampiran 8 Identitas Informan ...220
Lampiran 9 Daftar Tanyaan Wawancara (Panduan) ...222
Lampiran 10 Peta Kecamatan Pakuniran, Desa Kalidandan ...223
Lampiran 11 Foto Penelitian...224
Lampiran 12 Surat Keterangan Selesai Penelitian ...245
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang dan Singkatan Arti/Keterangan
# Kalimat
‘…’ Arti
Memiliki hubungan bawahan
Memiliki hubungan timbal balik
BMd Bahasa Madura
TT Tindak Tutur
TL Tindak Tutur Langsung
TTL Tindak Tutur Tidak Langsung
TLit Tindak Tutur Literal
TTLit Tindak Tutur Tidak Literal
TLLit Tindak Tutur Langsung Literal
TTLLit Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
TLTLit Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
TTLTLit Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
AT Aspek Tradisi
DR Data Rekam
PN Penutur
PT Petutur/Mitra Tutur
PM Peminangan
PRP Prapernikahan
P Pernikahan
PSCP Pascapernikahan
SR Siraman
PS Prinsip Santun
DT Daftar Tanyaan
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
Halaman
1. Bagan 1 Model Penelitian ...40
2. Tabel 1 Modus Tuturan Langsung ...30
3. Tabel 2 Modus Tuturan Tidak Langsung ...31
4. Tabel 3 Jenis Tindak Tutur ...37
5. Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Kalidandan ...51
6. Tabel 1 Tindak Tutur Langsung ...60
7. Tabel 2 Tindak Tutur Tidak Langsung ...77
8. Tabel 3 Tindak Tutur Literal ...79
9. Tabel 4 Tindak Tutur Tidak Literal ...83
10. Tabel 5 Tindak Tutur Langsung Literal ...86
11. Tabel 6 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...88
12. Tabel 7 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ...89
13. Tabel 8 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...91
14. Tabel 9 Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...93
15. Tabel 1 Ilokusi Tindak Tutur Langsung ...98
16. Tabel 2 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung ...114
17. Tabel 3 Ilokusi Tindak Tutur Literal ...115
18. Tabel 4 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Literal ...120
19. Tabel 5 Ilokusi Tindak Tutur Langsung Literal ...123
20. Tabel 6 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...125
21. Tabel 7 Ilokusi Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ...126
22. Tabel 8 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...128
23. Tabel 9 Tindak Ilokusi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...130
24. Tabel 1 Ideologi Medan pada Tuturan Upacara Pernikahan ...138
25. Tabel 2 Ideologi Pelibat pada Tuturan Upacara Pernikahan ...150
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Korpus Data Tuturan Peminangan (bekalan) ...184
Lampiran 2 Korpus Data Tuturan Prapernikahan ...186
Lampiran 3 Korpus Data Tuturan Pernikahan ...189
Lampiran 4 Korpus Data Tuturan Siraman ...195
Lampiran 5 Korpus Data Pascapernikahan ...202
Lampiran 6 Bulan Masehi, Hijriyah, dan Pengucapan Bahasa Madura ...206
Lampiran 7 Data Tuturan Upacara dan Tuturan Tradisi ...207
Lampiran 8 Identitas Informan...220
Lampiran 9 Daftar Tanyaan Wawancara (Panduan) ...222
Lampiran 10 Peta Kecamatan Pakuniran, Desa Kalidandan ...223
Lampiran 11 Foto Penelitian ...224
Lampiran 12 Surat Keterangan Selesai Penelitian ...245
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Fungsi-fungsi itu kemudian diringkas dan dikonseptualisasi sedemikian rupa
menjadi tiga jenis fungsi di dalam bahasa, yaitu fungsi ideasional, interpersonal,
dan tekstual. Tiga fungsi ini dikenal dengan metafungsi bahasa (Sinar, 2012:22).
Metafungsi bahasa hadir pada setiap penggunaan bahasa dalam
konteks-konteks sosial. Fungsi-fungsi ini, yaitu ideasional (logika dan eksperensial),
interpersonal, dan tekstual mempresentasikan organisasi bahasa. Di dalamnya ada
sistem semantik, sistem pragmatik, sistem leksikogramatika, dan sistem fonologi.
Sistem semantik terdiri atas makna dalam teks, sistem pragmatik terdiri atas
makna dalam konteks, sistem leksikogramatika terdiri atas sintaksis, morfologi,
dan leksis, sedangkan sistem fonologi terdiri atas bunyi dalam fonem. Berbicara
tentang gramatika, fungsi logika manusia direalisasikan melalui sistem
kompleksitas klausa, fungsi eksperensial direalisasikan melalui sistem
transitivitas, fungsi interpersonal direalisasikan melalui sistem modus, dan fungsi
tekstual direalisasikan melalui sistem tema bahasa (Halliday, 1978:129). Secara
semiotis, bahasa dilihat sebagai sebuah sistem dari sistem-sistem yang mencakup
dan mempekerjakan tiga metafungsi utama di atas sehingga bahasa menjadi
relevan dengan konteks.
Fungsi ideasional adalah bahasa sebagai representasi atau refleksi, tempat
interpersonal adalah bahasa sebagai alat memberi dan menerima maklumat atau
kegiatan, yaitu penutur sebagai penyusup realitas menerangkan tafsiran realitas
intersubjektif. Fungsi tekstual adalah bahasa sebagai pesan atau relevan dengan
penutur menerjemahkan realitas semiotik dengan menghubungkan realitas konteks
tempat pembuatan makna bahasa (Martin, 1993:145).
Bahasa itu berbeda-beda karena penutur berasal dari latar belakang yang
berbeda dan bahasa yang digunakan itu sendiri jelas berbeda. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Kress dan Hodge (1979:1) bahwa bahasa yang dimiliki oleh
individu didapatkan dari masyarakat tempat mereka tinggal atau hidup. Setiap
bangsa memiliki bahasa tersendiri dengan dialek, aturan, logat, dan pola
masing-masing. Oleh karena itu, pada saat orang bicara, dialek, aturan, logat, dan pola
yang digunakan akan dibangun oleh masyarakat dalam berkomunikasi sehari-hari.
Bahasa juga merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat. Masyarakat penutur
suatu bahasa akan memperlihatkan latar belakang budaya pada saat berbahasa
atau berkomunikasi dengan orang lain.
Sapir dan Whorf (1956:34) menyatakan bahwa bahasa dan masyarakat
memiliki hubungan. Selanjutnya, dinyatakan bahwa dunia nyata manusia
dibangun oleh kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok. Hal ini membuktikan
bahwa bahasa, budaya, dan masyarakat berada dalam suatu keadaan yang tidak
bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bahasa memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia. Bahasa membawa karakteristik budaya dan pikiran
Bahasa merupakan alat ekspresi yang dapat mengungkapkan pikiran,
perasaan, dan psikomotorik penutur suatu bahasa. Pikiran, perasaan, dan
psikomotorik manusia menghasilkan produk kebudayaan (Bawa, 2004:4).
Kebudayaan itu sendiri termasuk konvensi atau tradisi penggunaan unsur-unsur
linguistik secara relatif membuat suatu kelompok dapat berbicara, berperilaku
dalam konteks atau situasi sosial antara kelompok satu dan yang lainnya (Foley,
1977:250).
Bahasa digunakan dalam konteks tempat penutur menggunakan bahasa.
Mereka dapat berkomunikasi karena memahami teks, konteks, dan pola atau
struktur teks (Yule, 1996:1). Dalam hal ini, dipahami adanya suatu asumsi yang
mengarah pada suatu generalisasi, yaitu setiap bahasa memiliki tuturan yang
terikat dengan konteks situasi.
Tidak ada tuturan atau pembicaraan yang terlepas atau terjadi tanpa
konteks situasi. Oleh karena itu, setiap maksud dapat dituturkan atau diungkapkan
dengan berbagai bentuk atau modus tertentu. Artinya, setiap fungsi bahasa atau
maksud tertentu, apakah memerintah, meminta, menawarkan, menolak,
menginformasikan, dan sejenisnya dapat diungkapkan dengan berbagai modus
tuturan.
Dalam penggunaan bahasa, diyakini bahwa makna sangat erat
berhubungan dengan bentuk. Namun, setiap bahasa memiliki kekhasan dan
keunikan tersendiri. Demikian pula halnya bahasa Madura memiliki kekhasan dan
keunikan. Salah satu keunikan tersebut diwujudkan dalam tuturan upacara
Tuturan terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu peminangan (bekalan),
prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan. Dalam upacara pernikahan
BMd, ditemukan adanya tuturan oleh pihak pembicara laki-laki dan pihak
perempuan. Tiap-tiap tuturan dapat mengandung maksud yang berbeda-beda,
bergantung pada konteks situasinya. Adanya variasi bentuk, fungsi, dan makna
ditentukan berdasarkan penggunaan bahasa menurut konteks situasi penutur,
tradisi, dan budaya setempat.
Masyarakat di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo merupakan
masyarakat Madura yang tinggal di Jawa. Pada umumnya masyarakat Madura
yang tinggal di sekitar Pulau Madura masih mempertahankan BMd sampai saat
ini. BMd menempati posisi keempat pada tiga belas besar bahasa daerah terbesar
di Indonesia setelah Jawa, Sunda, dan Melayu. Adapun jumlah penuturnya
mencapai kurang lebih 13,7 juta jiwa (Soegianto dkk., 1986:1). Selain di Pulau
Madura, BMd juga digunakan di kepulauan kecil di sekitarnya, seperti di Pulau
Raas, Kangean, Spudi, Sapeken, Gayam, Masalembu, dan kepulauan kecil lainnya
di sebelah timur Pulau Madura. Dari Gresik, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang,
Jember, Bondowoso, Situbondo, hingga Banyuwangi Jawa Timur juga masih
merupakan wilayah tutur BMd.
Adapun penutur BMd di Desa Kalidandan, Kecamatan Pakuniran,
Kabupaten Probolinggo berjumlah 979 penutur. Mereka berkomunikasi dengan
BMd dalam kehidupan sehari-hari. BMd digunakan sebagai bahasa ibu untuk
berinteraksi antara masyarakat satu dan yang lainnya. Selain itu, BMd banyak
kesenian, adat istiadat dan ritual keagamaan, baik secara aktif maupun pasif.
Penggunaan BMd sebagai sarana dapat dipahami bahwa penutur (Pn) dan petutur
(Pt) memiliki hubungan langsung yang dapat memberikan gambaran, situasi,
nilai-nilai, tradisi, dan budaya.
Hodge dan Kress (1988:74) mengatakan bahwa banyak ritual yang
melahirkan teks dan konteks dalam masyarakat tutur. Ada dua ritual yang secara
umum terdapat pada hampir setiap budaya, yaitu perkawinan dan kematian
(penguburan). Masyarakat Probolinggo, khususnya di Desa Kalidandan,
Kecamatan Pakuniran memiliki beberapa ritual, antara lain kelahiran, pernikahan,
kematian, pembuatan rumah baru (rokat), dan ritual hasil panen. Secara umum,
tuturan upacara pernikahan yang ada di Probolinggo, di kota dan di desa
khususnya, di Desa Kalidandan dan di Madura itu sendiri hampir sama, yaitu
adanya tahapan tuturan peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan
pascapernikahan. Di balik kesamaan yang ada, terdapat beberapa perbedaan
secara lintas tutur, yaitu tuturan terjadi dalam aspek tradisi. Adanya perbedaan
tersebut disebabkan oleh budaya dan lingkungan penutur (ethnography and
echology of speaking).
Dalam susunan tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo terdapat hubungan antarbagian sehingga
membentuk satu kesatuan teks dan konteks. Struktur tuturan upacara pernikahan
di atas adalah adanya kesatuan (unity) yang menunjuk pada struktur global untuk
mengetahui bentuk dan isi pesannya. Perspektif wacana pernikahan adalah sebuah
pembuka (opening), isi (body), dan penutup (closing) yang secara simultan ketiga
struktur tersebut membentuk suatu organisme makna untuk mencapai fungsi dan
tujuan sosial. Tuturan upacara pernikahan BMd merupakan objek kajian yang
kompleks karena memiliki beberapa tahapan, yaitu peminangan (bekalan),
prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan. Objek penelitian pernikahan ini
adalah pernikahan standar yang bersifat saling merujuk dan saling menentukan
untuk pemahaman secara utuh. Berikut ini adalah fenomena kebahasaan tuturan
prapernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.
(1) Dekremah hubungnah Adek‟en Li, wak lah rukun ben sering ekonik‟in perna roma berek ben roma temor?
‘Bagaimanakah hubungan Adikmu Li, sudah serasi dan sering dijemput
menginap di rumah barat dan rumah timur?’
(2) Ye ruah An, ngko‟ lah ngabele ka epak ben emak, can ngko‟ lah soro
pakabin kade‟, lah slameten cak ocaan nasek spereng, mun gun parlonah pagik dibudih. Gutsekgut abereng tak nyaman cacanah oreng ben pole
tako‟ bedeh budinah, jek nyamanah „pereng ben sendok pasteh aklettek‟ ben cak-ocak konanah „tekginah gunung gik tekgien rebbenah‟.
‘Ya itu An, saya sudah katakan sama bapak dan ibu, suruh nikahkan dulu
diselameti walaupun nasi sepiring, resepsinya nanti menyusul. Sering bersama tidak enak omongan orang dan lagi takut ada belakangnya, namanya ‘piring dan sendok pasti terjadi gesekan bunyi’ dan kata sesepuh
kita ‘tingginya gunung masih tinggian rumputnya’.
Dari parameter tuturan di atas, tuturan (1) dan (2) dapat dihubungkan
dengan konteks situasi sehingga makna tersebut sangat dinamis pada konteks
situasi penggunaan BMd, yaitu keadaan penutur (Pn), petutur (Pt), dan latar
belakang atau setting-nya. Dalam konteks ini tuturan (1) tidak hanya bertanya,
tetapi juga mengandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak
Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan,
Pakuniran, Probolinggo menarik dan urgen untuk diteliti dengan alasan berikut.
Pertama, di samping belum ada penelitian dengan topik ini juga terdapat sejumlah
hal yang menarik, yaitu tuturan upacara pernikahan BMd memiliki tahapan dari
peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan. Selain
itu, tuturan tradisi yang menimbulkan nilai ideologi. Kedua, tuturan upacara
pernikahan BMd mengandung banyak unsur pragmatik yang menarik untuk
dikaji. Ketiga, BMd yang digunakan oleh penutur (Pn) masih natural. Artinya,
BMd yang digunakan masih belum tersentuh bahasa yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena di atas, beberapa permasalahan dapat
diformulasikan sebagai berikut.
1. Tindak tutur apa sajakah yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan
masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo?
2. Tindak ilokusi apakah yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan
masyarakat Maduradi Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo?
3. Ideologi apakah yang tercermin di balik tuturan upacara pernikahan
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang diformulasikan di atas, maka
penelitian ini dilakukan dengan dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Kedua tujuan penelitian tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
1. Menerapkan dan mengembangkan ilmu pragmatik BMd dalam kegiatan
upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.
2. Mengembangkan keuniversalan teori pragmatik untuk menganalisis tindak tutur
dalam upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran,
Probolinggo. Di samping itu, juga menggunakan teori bahasa, konteks, dan
teks untuk menganalisis ideologi yang tercermin dalam kegiatan upacara
pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan,
Pakuniran, Probolinggo.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan dan menganalisis jenis tindak tutur BMd yang dibangun dalam
kegiatan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.
2. Menemukan dan mendeskripsikan tindak ilokusi dalam kegiatan upacara
pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan,
3. Menemukan dan menganalisis ideologi yang tercermin di balik tuturan upacara
pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diarahkan kepada dua manfaat, yaitu manfaat
teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat penelitian ini dapat dijabarkan
sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
1. Memperkaya khazanah linguistik, khususnya linguistik makro dalam usaha
memperoleh pengetahuan yang berhubungan dengan pragmatik BMd.
2. Memperkokoh teori pragmatik dan teori bahasa, konteks, dan teks terhadap
penggunaan bahasa Austronesia. Hasil penelitian ini nantinya dapat
dimanfaatkan untuk menunjukkan fenomena khas, baik tradisi maupun budaya
yang ada pada bahasa Madura (BMd), khususnya BMd dalam tuturan upacara
pernikahanmasyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data dan informasi
tentang karakteristik tindak tutur yang berupa tindak tutur literal dan kontekstual
BMd. Selanjutnya dapat menjadi sarana dokumentasi BMd, keabsahan untuk
mengembangkan BMd sehingga BMd dapat dijaga dan dilestarikan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura kajian pragmatik dipilih
sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan penelitian
lain yang menggunakan bahasa Madura (BMd) pada tataran pragmatik. Oleh
karena itu, diperlukan tinjauan beberapa karya tulis yang membahas masalah
dalam ritual atau upacara pernikahan yang tentunya akan banyak membantu
penelitian ini. Selain itu, tinjauan ini akan memberikan gambaran bahwa apa yang
dibahas dalam penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah
ada. Penjelasan hasil penelitian dipaparkan secara ringkas berikut ini.
Handayani (2003) menulis tesis berjudul “Wacana Kayob dalam
Masyarakat Biak: Aanalisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Masyarakat Biak di
Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua memiliki ragam sastra lisan yang
berhubungan dengan ritual kematian, yaitu kayob. Penggunaan kayob dalam ritual
kematian mengalami pergeseran dengan masuknya pengaruh agama Kristen
Protestan. Kayob memiliki bentuk, fungsi, dan makna sehingga kayob
menempatkan dua dimensi, yaitu waktu lampau dan waktu kini. Dalam dimensi
lampau, tuturan kayob bersifat sangat sakral dan wajib dilaksanakan. Tujuan
tuturan kayob untuk menghormati arwah jenazah dan arwah para leluhur. Dimensi
waktu kini menempatkan kayob sebagai warisan budaya. Tujuan tuturan kayob,
Handayani menunjukkan bahwa bentuk kayob memiliki beberapa ciri, yakni
terdapat pola-pola formula dalam baris-baris kayob, jenis-jenis formula tersebut
adalah formula satu baris, setengah baris, dan satu kata. Ia juga mendeskripsikan
bahwa dalam wacana kayob yang ditelitinya ditemukan adanya tema, gaya bahasa,
dan estetika bunyi kayob. Fungsi yang terdapat dalam kayob meliputi fungsi
religius, fungsi sosiologis, fungsi ekonomis, dan fungsi apresiatif reflektif.
Analisis makna dalam syair kayob memiliki makna kepercayaan, makna sosial,
dan makna didaktis. Penelitian tersebut belum lengkap karena tidak dibahas secara
tuntas terutama nilai-nilai yang tercermin di balik wacana tersebut. Hal tersebut
perlu tinjauan lagi karena penelitian tersebut hanya memberikan deskripsi bentuk,
fungsi, dan makna.
Netra (2005) menyusun tesis berjudul “Eksplikasi Makna Ilokusional
Tuturan Upacara Memadik di Denpasar: Sebuah Kajian Metabahasa Semantik
Alami (MSA)”. Aspek yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah jenis tindak
tutur, makna ilokusional, dan eksplikasi makna ilokusional dengan teori tindak
tutur dan MSA. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan
bahwa tuturan upacara memadik di Denpasar dibangun oleh jenis tindak tutur dan
cultural scripts. Jenis tindak tutur yang ditemukan adalah (1) TT langsung (TL),
(2) TT tidak langsung (TTL), (3) TT literal (TLit), (4) TT tidak literal (TTLit), (5)
TT langsung literal (TLLit), (6) TT tidak langsung literal (TTLLit), (7) TT
langsung tidak literal (TLTLit), dan (8) TT tidak langsung tidak literal (TTLTLit).
Tuturan juga dibangun oleh cultural scripts pada tataran leksikon dan tata bahasa
MEMIKIRKAN, MENGETAHUI, MERASAKAN, MENGINGINKAN,
MELIHAT, dan MENDENGAR. Di pihak lain tipe tindakan dibangun oleh
MELAKUKAN dan MENGATAKAN. Penelitian tersebut perlu kelanjutan
karena sejauh ini belum dikaji ideologi tuturan upacara memadik di Denpasar.
Namun, hasil penelitian tersebut memberikan hal yang sangat bermanfaat bagi
peneliti, terutama dalam menganalisis tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang
dibahas dalam penelitian tersebut. Walaupun objek penelitian tersebut berbeda
dengan objek yang dikaji oleh peneliti, penelitian tersebut dapat dijadikan kajian
pustaka yang memberikan sumbangan bagi peneliti untuk dijadikan bahan
pembanding.
Sastriadi (2006) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Tawur pada
Masyarakat Dayak Kaharingan di Kalimantan Tengah: Sebuah Kajian Wacana”.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa TRT memiliki sejumlah dimensi
struktur tekstual pada tataran superstruktur, yaitu struktur makro dan struktur
mikro. Pada tataran struktur makro TRT mengandung tema tentang permohonan
kepada roh beras untuk menyampaikan permohonan manusia kepada sahur
parapah „dewa‟. Pada tataran struktur mikro TRT ditemukan adanya paralelisme
leksikogramatikal pada unsur perangkat diad yang berpasangan berjumlah
maksimal sepuluh kata dalam klausa dan terdapat perangkat diad tunggal (tidak
memiliki pasangan). Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam TRT yang ditelitinya
ditemukan adanya makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna yang
berkenaan dengan ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
tersebut belum mengkaji konteks situasi, seperti medan, pelibat, sarana, konteks
budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang tercermin dari TRT tersebut
sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian agar terjadi kesempurnaan. Akan
tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat bagi peneliti dalam hal
mengetahui struktur teks ritual TRT.
Sutama (2010) menyusun disertasi berjudul “Teks Ritual „Pawiwahan‟
Masyarakat Adat Bali: Analisis Linguistik Sistemik Fungsional”. Ia mengkaji
keseluruhan bagian perkawinan yang dimulai dari marerasan (tahap pertemuan
awal antara keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin
perempuan) sampai pada majauman (mengesahkan pernikahan). Struktur dikaji
secara menyeluruh karena fakta menunjukkan bahwa bagian yang satu dengan
yang lainnya tidak membutuhkan jarak waktu yang lama. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa teks ritual pawiwahan masyarakat adat Bali memiliki
sejumlah dimensi struktur, yaitu (a) budaya yang berkaitan dengan adat tradisi, (b)
struktur makro yang berkaitan dengan konteks sosial, (c) struktur mikro yang
berkaitan dengan alur pesan dan informasi, dan (d) struktur makna. Ia juga
mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya
sistem mood, transitivitas, dan tema-rema. Penelitian tersebut memberikan
kontribusi kepada peneliti dalam hal mengetahui struktur ritual „pawiwahan‟
masyarakat adat Bali sehingga dapat dijadikan pembanding dan rujukan.
Lanny (2013) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Kelahiran Orang Boti
di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur: Kajian Linguistik Kebudayaan”. Suku
bahwa tuturan kelahiran orang Boti memiliki tujuh tahapan ritual, yaitu Onen toit
li‟ana, Na‟aup, Lef usaf, Onen na‟po li ana usan, Kanaf, Tapoitan li‟ana, Eu‟nak
funu. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam tuturan kelahiran orang Boti yang
ditelitinya ditemukan adanya (a) gaya bahasa, (b) fungi, (c) makna, dan (d) nilai.
Gaya bahasa meliputi metafora dan paralelisme. Fungsi meliputi fungsi magis,
fungsi emotif, dan fungsi konatif. Makna meliputi makna didaktis, makna religi,
dan makna sosiologis. Nilai meliputi nilai pendidikan, nilai hidup, dan nilai
budaya. Penelitian tersebut tidak membahas konteks situasi seperti medan (field),
pelibat (tenor), sarana (mode), dan konteks ideologi yang tercermin di balik
tuturan ritual kelahiran orang Boti sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian
agar terjadi kesempurnaan. Akan tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat
bagi peneliti dalam hal mengetahui tahapan tuturan ritual kelahiran orang Boti.
Magdalena (2013) menulis disertasi berjudul “Teks Kette Katonga Weri
Kawendo pada Masyarakat Adat Weweha di Pulau Sumba: Analisis Linguistik
Sistemik Fungsional”. Data lisan diperoleh melalui metode observasi dan
wawancara dengan teknik perekaman empat acara KKWK pada masyarakat adat
Weweha di dua kecamatan dan di Kabupaten Sumba Barat Daya. Data dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif tepatnya metode padan. Hasil
analisis disajikan dalam bentuk formal, informal, dan gabungan dari keduanya.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa leksikogramatika teks dalam
KKWK mencakup transitivitas, modus, dan tema. Transitivitas memiliki tiga
unsur pokok, yaitu (a) partisipan direalisasikan oleh kelompok nomina dan
verbal, proses relasional, proses wujud, proses mental, dan perilaku. Modus
meliputi indikatif dan imperatif. Di pihak lain tema meliputi topik, interpersonal,
dan tekstual. KKWK juga memiliki konteks situasi yang meliputi medan, pelibat,
dan sarana. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya
ditemukan adanya ideologi teks yang mencerminkan nilai-nilai penghormatan,
persatuan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesepakatan. Dalam penelitian tersebut
permasalahan dibahas secara lengkap. Penelitian tersebut memberikan kontribusi
bagi peneliti dalam hal menentukan ideologi sehingga dapat dijadikan rujukan dan
pembanding.
Suwendi (2013) menyusun tesis berjudul “Wacana Ritual Caru Eka Sata
Ayam Brumbun: Sebuah Analisis Linguistik Kebudayaan”. Ritual caru eka sata
ayam brumbun termasuk ritual bhuta yadnya. Caru ini menggunakan seekor ayam
brumbun sebagai sarana persembahan. Teks wacana ritual CES AB disusun dalam
bahasa Bali Kawi, yakni bahasa Bali yang banyak menyerap kosakata dan afiks
bahasa Jawa Kuno (Kawi). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa CES AB
memiliki beberapa struktur, seperti struktur skematik teks yang meliputi tiga
bagian, yaitu (a) bagian pendahuluan yang terdiri atas teks durmanggala, teks
biakaon, teks prayascita, dan teks pangulapan, yang semuanya disebut
pangresikan; (b) bagian isi yang merupakan bagian utama teks, yang juga disebut
inti caru; (c) bagian penutup yang disebut panyineb puja. Ia juga mendeskripsikan
bahwa dalam teks wacana ritual CES AB yang ditelitinya ditemukan beberapa
fungsi dan nilai, yaitu (1) fungsi magis yang mencerminkan adanya kekuatan
(3) fungsi emotif. Di pihak lain nilai yang terkandung di dalam teks CES AB
meliputi nilai religius, nilai permohonan, nilai ekonomi, dan nilai keharmonisan.
Penelitian tersebut hanya mengkaji struktur dasar, yaitu struktur teks, fungsi, dan
nilai. Penelitian tersebut belum memberikan deskripsi konteks situasi, seperti
medan, pelibat, sarana, konteks budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang
tercermin di balik CES AB.
2.2 Konsep
Ada beberapa konsep operasional yang dipaparkan berdasarkan objek
dalam penelitian ini. Konsep dipaparkan dengan tujuan dapat menyatukan
persepsi untuk memberikan kemudahan dan gambaran yang jelas tentang arah
penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kridalaksana (2008:132) bahwa
konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau bahasa yang memerlukan
penggunaan akal budi untuk memahaminya.
2.2.1 Tuturan Upacara Pernikahan
Tuturan merupakan penggunaan bahasa yang dianggap sebagai alat
komunikasi yang dilakukan oleh seseorang pada situasi tertentu sehingga dapat
dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang berhubungan dengan
komponen fisik dan psikologis bahasa itu sendiri. Hal ini merupakan kebebasan
untuk melakukan interpretasi dari apa yang akan dikatakannya, seperti tuturan
upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan,
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo memiliki beberapa tahapan, yaitu tahapan
peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan.
Penggunaan tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengacu pada peristiwa tutur
tertentu. Dengan demikian, dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang
berhubungan dengan komponen fisik dan psikologis.
Tuturan diartikan sebagai ekspresi bahasa yang digunakan oleh penuturnya
dalam konteks tertentu, sedangkan kalimat merupakan ekspresi bahasa yang
digunakan oleh penuturnya yang tidak terikat konteks tertentu. Artinya, tuturan
mencari maksud, sedangkan kalimat mencari makna (Matthew, 1997:393). Van
Dijk (1943:1) mengatakan sebagai berikut.
speech acts usually do not come alone. They may occur in ordered sequences of speech acts accomplished by one speaker or by subsequent speaker, e.g. in the course of a vonversation. Much in the same way as sentences may occur in sequences which should satisfy a number of constraints, e.g. those of semantic coherence, in order to be acceptable as discourse, we should expect that speech act sequences are not arbitrary. They must also satisfy a number of constraints. One of the obvious tasks for an extension of a theory of speech acts within linguistic pragmatics. Then, is the formulation of these constraints.
Tuturan biasanya tidak hadir sendirian. Tuturan dapat terjadi dalam urutan
pesan yang disempurnakan oleh penutur dan petutur berikutnya dalam rangkaian
percakapan. Banyak cara dalam sebuah kalimat yang dapat terjadi secara
berurutan dan dapat memenuhi angka ketidakleluasaan, seperti dalam semantik
sebagai wacana yang menghasilkan tindak tutur yang berurutan dan tidak
2.2.2 Konteks dalam Pragmatik
Sebelum dijelaskan makna tindak tutur, dipandang perlu dipahami makna
semantik dan pragmatik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini Leech
(1983:5--6) memaparkan makna sebagai berikut.
semantics and pragmatics in practice, the problem of distinguishing
„language‟ (langue) and „language use‟ (parole) has centred on a
boundary dispute between semantics and pragmatics. Both fields are concerned with meaning, but the difference between them can be traced to two different users of the verb to mean:
[1] what does X mean? [2] what did you mean by X? Semantics traditionally deals with meaning as a dyadic relation, as in
[1], while pragmatics deals with meaning as a triadic relation. As in [2], thus meaning in pragmatics as defined relative to a speaker or user of the language. Whereas meaning in semantics is defined purely as a property of expression in a given language, in abstraction from particular situation, speakers, or hearer.
Berdasarkan paparan Leech di atas, dapat dipahami bahwa pragmatik
mempunyai kaitan yang erat dengan semantik. Semantik memperlakukan makna
sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi „diadik‟ seperti pada „apa
maksudnya X‟. Di pihak lain pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu
hubungan yang melibatkan tiga segi „triadik‟ seperti pada „apa maksudnya dengan
↓‟. Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberikan definisi dalam
hubungannya dengan penutur atau pengguna bahasa. Di pihak lain dalam
semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam
suatu bahasa tertentu, artinya terpisah dari situasi penutur dan lawan tuturnya.
Kiefer (1980:9) menegaskan bahwa pragmatics is concerned with the way
in which the interpretation of syntactically defined expressions depends on the
interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu. Cara
menginterpretasikan ungkapan tersebut bergantung pada kondisi-kondisi khusus
penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks.
Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatics is the study of those
relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in
the structure of language. Artinya, pragmatik merupakan kajian hubungan antara
bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur
bahasa.
Mey (1993:42) menekankan konteks dan mengatakan bahwa pragmatics is
the study of conditions of human language uses as these are determined by the
context of society. Artinya, pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan
bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya.
Parker (1986:11) mengatakan bahwa: pragmatics is the study of how
language is used for communication. Pragmatik adalahkajian tentang bagaimana
bahasa digunakan untuk berkomunikasi dan menegaskan bahwa pragmatik tidak
menelaah struktur bahasa secara internal seperti tata bahasa, tetapi menelaah
secara eksternal.
Konteks menurut Preston (1984) adalah segenap informasi yang berada di
sekitar penggunaan bahasa, bahkan termasuk juga penggunaan bahasa yang ada di
sekitarnya (yang mendahahului ataupun sesudahnya). Dengan demikian, konteks
dapat dibedakan menjadi konteks bahasa dan konteks non-bahasa. Konteks
nonbahasa dapat dibedakan menjadi (1) konteks dialektal, di antaranya meliputi
diatipik meliputi setting (tempat dan jarak interaksi), topik pembicaraan dan
fungsi, (3) konteks realisasi meliputi cara dan saluran yang digunakan orang untuk
menyampaikan pesan, yaitu pesan tertulis dan lisan, sedangkan saluran berupa
telepon, telegram, ataupun bersemuka.
Suyono (1990:20) mengatakan bahwa konteks meliputi konteks fisik dan
konteks sosial psikologis. Konteks fisik, misalnya berupa tempat, waktu, dan
hal-hal fisik lain yang dapat diindra. Di pihak lain konteks sosial psikologis, misalnya
berupa hubungan antarpesan, keadaan batin para pemeran, latar belakang sosial
ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Konteks didefinisikan oleh Mey (1993:38)
sebagai berikut.
The surroundings in the widest sense that enable the participants in the communication process to interact and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible.
Situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur
berkomunikasi, dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami.
Artinya, situasi yang dapat menimbulkan seseorang berujar karena situasi tersebut
tidak mendukung keadaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa untuk
menyampaikan suatu maksud atau fungsi sebuah makna kepada orang lain, bukan
hanya dengan satu modus tuturan, melainkan dengan banyak modus tuturan,
bergantung pada konteks situasi di mana bahasa itu digunakan atau dituturkan.
Hymes (1972:10--14) mengemukakan unsur-unsur yang dapat membentuk
a) The form and content of the message (bentuk dan isi pesan).
b) The setting (perangkat lingkungan khas, misalnya waktu dan tempat).
c) The intent and effect of the communication (maksud dan dampak komunikasi).
d) The key (kunci atau petunjuk).
e) The medium (perantara).
f) The genre (genre).
g) The norm of interaction (norma interaksi).
2.2.3 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan
Konsep ideologi dalam penelitian ini adalah seperangkat kepercayaan
suatu kelompok masyarakat yang direalisasikan dalam tuturan dan tindakan. Di
samping itu, juga dapat mengikat dan mempersatukan mereka secara
turun-temurun.
Berkenaan dengan pandangan tersebut, analisis ideologi sangat erat
berkaitan dengan bahasa karena bahasa merupakan media dasar makna
(pemaknaan) yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Dengan kata lain,
bahasa mengandung makna yang ada hubungannya dengan ideologi penggunaan
bahasa.
Ideologi tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses tersendiri dan
sampai pada suatu keyakinan yang menjadikannya sebagai penyatu dalam suatu
kelompok masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martin (1997:237) bahwa
ideologi merujuk pada posisi kekuatan dan asumsi bahwa semua yang berinteraksi
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini dikerangkai oleh dua teori, yaitu (1) teori pragmatik dan (2)
teori bahasa, konteks, dan teks. Teori pragmatik (Leech, 1983; Wijana, 1996)
digunakan untuk menganalisis dua permasalahan. Pertama, tindak tutur yang
ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua, tindak tutur yang memperlihatkan
tindak ilokusi dalam tuturan pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan,
Pakuniran, Probolinggo. Di pihak lain teori bahasa, konteks, dan teks (Halliday,
1985) untuk menganalisis permasalahan yang ketiga, yaitu ideologi yang
tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua teori ini saling melengkapi sebagai
teori utama dan teori pendukung untuk menjawab permasalahan dalam penelitian
bahasa Madura (BMd). Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan jelas
tentang kedua teori yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan secara
terperinci di bawah ini.
2.3.1 Tindak Tutur
Berkaitan dengan bahasa dan konteks penggunaannya, Austin (1962)
dalam bukunya yang berjudul How to do things with Words mengatakan bahwa
suatu ekspresi tutur dapat digunakan untuk melakukan sesuatu selain untuk
mengatakan sesuatu. Dalam hal ini lebih lanjut dia berpendapat bahwa suatu
atau pernyataan belum tentu digunakan untuk mengatakan pernyataan, tetapi juga
dimaksudkan untuk bertanya, memerintah, dan sejenisnya (Austin, 1962:98--99).
Jika seseorang mengatakan “saya berjanji” (I promise), dia sebenarnya
tidak hanya mengucapkan ujaran tersebut, tetapi juga melakukan tindakan
berjanji. Dia berjanji akan melakukan hal yang diujarkan (Nadar, 2009:11).
Tuturan ini disebut tuturan performatif dan kata kerja yang digunakan dalam
tuturan ini juga disebut kata kerja performatif (Austin, 1962; Searle, 1977;
Cummings, 2007; Leech, 1983; Levinson, 1983:229--232).
Cohen (2008:2) menambahkan bahwa tindak tutur sering, tetapi tidak
selalu merupakan suatu bahasa yang terpola dan bersifat rutin dari penutur asli,
penutur, dan penulis nonasli yang secara pragmatik dianggap berkompeten
walaupun dengan berbagai versi dialeknya menggunakan bahasa tersebut dengan
fungsi-fungsi bahasanya, seperti mengucapkan terima kasih, memuji, meminta,
menolak, dan mengeluh. Menurutnya, selama ini pendekatan tradisional sudah
sering digunakan dalam menganalisis tindak tutur yang dalam implementasinya
jauh dari interaksi situasional.
Terkait dengan pendapat Cohen, Searle (1977:22) juga mengatakan hal
yang senada, yaitu menggunakan suatu bahasa berarti kita terlibat dalam suatu
bentuk tindakan atau berbicara adalah melakukan suatu tindakan menurut aturan.
Ujaran seperti (a) Sam smokes habitually, (b) Does Sam smoke habitually, (c)
Sam, smoke habitually, dan (d) Would that Sam smoke habitually merupakan
suatu penegasan (assertion), (b) bertanya, (c) memberikan perintah (giving an
order), dan (d) menyatakan harapan atau keinginan.
Pendekatan baru yang diajukan oleh Kasper (2006) dalam menganalisis
tindak tutur adalah discursive pragmatics, yaitu suatu pendekatan pragmatik yang
melibatkan analisis percakapan. Pendekatan ini tidak hanya menyokong kajian
tindak tutur dalam wacana atau dalam interaksi, tetapi juga melalui wacana
dengan menggunakan pendekatan conversations analysis (CA) terhadap tindakan,
arti, dan konteks dalam mempelajari tindak tutur.
Austin (1962), Searle (1977), Leech (1983), dan (Nadar, 2011:11--12)
mengatakan bahwa ada tiga syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi agar suatu
tindakan dapat berlaku atau terlaksana. Ahli linguistik menyebutnya dengan
istilah felicity conditions. Kondisi tersebut diformulasikan menjadi tiga bagian,
yaitu seperti berikut.
1. The person and circumtances must be appropriate, yaitu adanya kesesuaian
antara pelaku dan situasi. Tuturan untuk pengantin pada saat perkawinan atau
pria dan wanita yang sedang menikah “saya nyatakan Anda berdua sebagai
suami istri” hanya dapat berlaku jika yang mengucapkan adalah seorang yang
memegang wewenang untuk mengucapkan tuturan tersebut, misalnya pendeta
atau pastor.
2. The act must be executed completely and correctly by all participants, yaitu
tindakan tersebut harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua
menunjukkan kesalahnnya ataupun peraturan yang menggariskan bahwa dia
bersalah dianggap tidak valid.
3. The participants must have the appropriate intentions, yaitu pelaku harus
mempunyai maksud yang sesuai. Tuturan “Saya akan menemui Anda di kantor
pukul tiga” dianggap tidak valid jika penutur tidak bisa datang karena sudah
membuat janji dengan pihak lain.
Searle (1977:23--24) di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The
Philoshopy of Language mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya
ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak
lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act).
Leech (1983:198--199) di dalam bukunya Principles of Pragmatics juga
mengatakan hal yang senada bahwa cara yang tepat untuk mengawali suatu kajian
mengenai verba tindak tutur adalah dengan menyajikan pembagian tindak tutur,
yaitu lokusi (locutionary), ilokusi (illocutionary), dan perlokusi (perlocutionary).
Nababan (1987:4) juga membedakan tindak bahasa secara analitis yang terjadi
secara serentak menjadi tiga macam, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan
tindak perlokusi.
Levinson (1983:236) states that “but if this notion that, in uttering sentences, one is also doing things, is to be clear, we must first clarify in what ways in uttering a sentence one might be said to be performing actions. Austin isolates three basic senses in which in saying something one is doing something, and hence three kinds of acts that are simultaneously performed: locutionary act,