6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Tanaman Daun Sendok (Plantago major L. ) 2.1.1. Taksonomi
Daun sendok (Plantago major L.) adalah tanaman semak tahunan yang sering ada disekeliling kita dan digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk mengatasi keluhan-keluhan penyakit tertentu. Semua bagian pada tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional.
Klasifikasi dari tanaman tanaman Plantago major L. menurut Blacker (1965), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Tubiflorae Suku : Plantaginaceae Marga : Plantago
Jenis : Plantago major.L
Gambar 2.1 Plantago major.L (James H.Miller, 2005)
2.1.2 Nama Daerah Plantago major.L
Nama daerah daun sendok antara lain di Jawa: Meloh kiloh, otot-ototan, suri pandak, sembung otot, sangkuwah, sangkubah, sangkabuah. Sulawesi: torongoat.
Sumatra: Ekor angina, daun urat-urat, daun urat, kuping menjangan .Sunda: ceuli, ceuli uncal, ki urat ( Prawirosujanto, 1997).
2.1.3 Morfologi Tanaman
Plantago major L.termasuk dalam keluarga tanaman berbunga (Plantaginaceae) dan merupakan tanaman semak menahun yang ukurannya 10-30 cm. Tanaman daun sendok tidak memiliki batang. Akar dari tanaman daun sendok merupakan akar tunggang dan berwarna putih. Daun tanaman Plantago major L. bersatu, roset, berbentuk bulat telur sampai elips, bertangkai agak panjang, tepi daun bergerigi dengan ukuran panjang 5 – 10 cm, lebar 4-9 cm. Bunga Plantago major L. mempunyai ukuran panjang 5 – 20 cm. Bunga dengan daun pelindung berbentuk bulat telur. Buah pada Plantago major L. memiliki ukuran panjang 2 – 4 cm. Biji tanaman Plantago major L.
berbentuk elips dengan warna coklat tua sampai agak hitam (Pangeman, 1999).
Menurut Sudarsono et al.,(2002) juga menjelaskan tentang morfologi tanaman Plantago major L. yaitu: buah berbentuk lonjong bulat memanjang. Biji 1-4 pada setiap ruang buah, dengan 4-21 biji perbuah, berwarna hitam ,berlendiri dan basah. Bunga banci tersusun dalam bulir majemuk 1-35 cm , berbentuk silinder, dengan panjang tangkai bulir 4-60 cm , berbentuk bulat, tidak berongga. Kelopak dengan segmen oval memanjang , ujung agak runcing atau tumpul. Mahkota bersegmen 1-1,7 mm.
2.1.4 Distribusi dan Habitat Plantago major.L
Tanaman Plantago major. L semula adalah tanaman liar yang tersebar sangat luas di kawasan beriklim sedang, dengan dataran tinggi kawasan tropis. Di Pulau Jawa dapat tumbuh dari permukaan laut dengan ketinggian 3300 mdpl, tetapi banyak juga yang tumbuh pada ketinggian 700 mdpl atau lebih. Plantago major.L ini merupakan jenis Plantago yang paling banyak tumbuh di Asia Tenggara. Habitat untuk tanaman
Plantago major.L adalah di padang rumput, lahan pertanian, tepi sungai, di hutan , di
tepi jalan terutama pada area tanah yang subur (Steenis et al., 1972).
2.1.5 Kandungan Fitokimia Plantago major.L
Daun dari Plantago major L. mengandung ascorbic acid, chlorogenic-acid, ursolic-acid, choline, fiber, sorbitol, salicylic-acid, tannin dan flavonoid (Duke J. A., 2010). Hasil skrining fitokimia ekstrak daun Plantago major L. menunjukkan bahwa bagian daun mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, terpenoid, dan steroid.
Sedangkan bagian batang tidak mengandung flavonoid, dan bagian akar tidak mengandung saponin. Dari hasil analisa GC-MS diduga bahwa komponen senyawa alkaloid adalah turunan kuinolin, senyawa terpenoid diduga berupa beta-karoten, dan senyawa steroid diduga berupa fukosterol, stigmasterol, dan beta-sitosterol. Selain itu berdasarkan hasil GC-MS ditemukan juga asam-asam organik dan senyawa-senyawa sakarida (Rosyd, 2008).
Total kandungan asam lemak dalam daun Plantago major L. utama adalah 286 mg per 100 g bahan tanaman segar: asam lemak utama adalah asam linolenat, linoleat, dan asam palmitat, tetapi sejumlah kecil asam stearat, oleat, dan miristat juga terdeteksi. Daun Plantago major.L mengandung polisakarida seperti plantaglucide, glucomannan, PMIa (31% arabinose, 32% galactose, 6% rhamnose, dan 7%
galacturonic acid) dan PMII (mengandung polygalacturonan halus dan dua daerah bercabang berbeda), raffinose dan stachyose diisolasi dari daun (masing-masing 0,3 dan 4,5 mg/g berat kering). Plantago mengandung lendir, asam silikat, seng, silika, dan kalium (Stanisavljević et al., 2008). Biji Plantago major L. mengandung protein, musilago, aucubin, asam suksinat, adenine cholin, katalpol, syringing, asam lemak (palmitat, stearat, arakidat, oleat, linolenat dan lenoleat), serta flavanone glycoside..
Pinkan (2013) menyebutkan bahwa daun dari Plantago major L. mengandung senyawa acubin dan glikosida iridoid.
Herba Plantago major L. mengandung senyawa aktif seperti senyawa fenolik, tannin, alkaloid, flavonoid, saponin, sterol, glikosida iridoid, terpenoid, plantagin, kalium, vitamin A; B1; C, asam sitrat, dan senyawa benzoate (asam vanilat). P.major
L. memiliki turunan utama asam caffeic yaitu Plantamajoside. Flavonoid yang diisolasi dari Plantago major L. adalah apigenin, baicalein, baicalin, luteolin, hispidullin, plantaginnin, scutellarein, nepetin, dan homoplantaginnin. (Stanisavljević et al., 2008).
2.1.6 Manfaat Plantago major.L
Plantago major.L memiliki manfaat antara lain sebagai antivirus, antijamur, antiinflamasi. Turunan asam caffeic utama dalam Plantago major L. adalah Plantamajoside yang memiliki aktivitas anti-inflamasi, antioksidan, antibakteri, dan antijamur. Flavonoid seperti apigenin, baicalein, baicalin, luteolin, hispidulin, plantaginin, scutellarein,nepetin,dan homoplantaginnin diisolasi dari Plantago major L. yang dikenal dengan aktivitas biologisnya, termasuk antiallergenic, antivirus, anti- aksi inflamasi, dan vasodilatasi serta kemampuannya menginduksi kematian sel karsinoma. Alkaloid merupakan senyawa metabolit sekunder yang paling banyak memiliki atom nitrogen yang ditemukan di jaringan hewa dan tumbuhan. Sebagian besar senyawa alkaloid bersumber dari tumbuhan. Senyawa ini berkhasiat sebagai anti mikroba,anti malaria, dan antifungi ( Wink, 2008). Tanin yang terkandung dalam daun sendok akan bersifat sebagai derivate gugus fenol yang memiliki kandungan alkohol sehingga dapat bekerja sebagai penghambat pertumbuhan terhadap Candida tropicalis, Candida albicans, dan juga sebagai anti Staphilococcus aureus (Pudjaatmaka, 1999).
Ekstrak etanol daun Plantago major L. yang diujikan terhadap Candida albicans dengan ekstrak 20mg/ml menunjukkan zona hambat sebesar 17mm dengan kontrol positif Erytromycin 0.05mg/ml yang menunjukkan zona hambat sebesar 23mm. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan dari daun Plantago major mampu memberikan efektivitas sebagai antijamur (Stanisavljevic et al., 2008). Dalam penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol Plantago major. L memiliki aktifitas sebagai antijamur yang mirip dengan agen antijamur sintetis itraconazole 10mcg.
Karima, Farida and Mihoub, (2015) melaporkan bahwa ekstraksi Plantago major L. menggunakan petroleum ether, ethyl acetate, dan air tidak menunjukkan adanya efek antijamur terhadap Candida albicans (Karima, Farida and Mihoub, 2015). Aktivitas antijamur tertinggi diamati dengan ekstrak etanol daun Plantago major L. bahkan pada
konsentrasi rendah 20 ppm (aktivitas 78%) yang diujikan terhadap Candida albicans, Candida glabrata, dan Candida krusei. Dalam konsentrasi yang sama ekstrak biji etanol memiliki aktivitas sangat rendah (25%). Aktivitas antijamur dari kedua ekstrak tersebut meningkat dengan cara yang tergantung konsentrasi, hingga 60 ppm. Tingkat aktivitas antioksidan untuk kedua ekstrak sangat dekat dalam konsentrasi 100ppm.
Ekstrak air panas dan dingin daun Plantago major L. lebih efektif daripada ekstrak biji.
Juga diamati bahwa ekstrak etanol lebih aktif daripada ekstrak air panas dan dingin dari sampel yang diteliti Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat antijamur yang diujikan terhadap Candida albicans, Candida glabrata, dan Candida krusei, disebabkan oleh gugus hidroksil yang ada dalam senyawa fenolik daun Plantago major L.. Konsentrasi ekstrak 0,8 mg/g memiliki aktivitas antijamur 89,3 ± 1,5%. Kandungan totalfenol pada daun yang bertanggung jawab atas aktivitas antijamur, diukur sebesar 31 ± 4mg/g.
Mekanisme lain yang bertanggung jawab atas aktivitas antijamur Plantago major L.
adalah bahwa flavonoid yang sangat aktif yang memiliki 3', 4'-dihidroksi ditempati cincin B dan / atau kelompok 3-OH yang dapat merangkul radikal oksigen dan menguranginya menjadi zat yang dinetralkan seperti air (Nazarizadeh et al., 2013).
2.2 Tinjauan Tentang Candida albicans 2.2.1. Taksonomi Candida albicans
Menurut Waluyo, (2004) taksonomi Candida albicans adalah sebagai berikut:
Kingdom : Fungi Divisi : Thallophyta Subdivisi : Fungi
Class : Deuteromycetes
Order : Moniliales
Family : Cryptococcaceae
Genus : Candida
Species : Candida albicans
2.2.2. Tinjauan Candida albicans
Candida albicans merupakan suatu organisme yang mempunyai dua bentuk, yaitu secara dimorphic atau simultan organisme. Bentuk yang pertama adalah fungal foam yang dapat memproduksi root-like structure atau akar yang panjang yang dapat masuk kedalam mukosa. Bentuk kedua yaitu yeast-like state ( non-invasif). Candida albicans tumbuh dengan cepat pada suhu 25- 370 C pada media pembenihan yang sederhana dengan pembentukan tunas untuk memperbanyak diri, dan spora jamur yang disebut dengan blastospora atau sel khamir/sel ragi. Candida albicans merupakan suatu ragi dimana akan menghasilkan pseudomiselium dalam jaringan yang merupakan suatu anggota dari flora normal selaput mukosa pada genital wanita maupun pernafasan (Jawetz et al., 2001).
2.2.3 Morfologi Candida albicans
Candida albicans merupakan sel ragi yang bertunas dengan bentuk oval 3-6 μm.
Ketika tunas terus tumbuh tetapi gagal melepaskan diri akan menghasilkan rantai sel yang memanjang yang tertarik atau terjepit pada septasi diantara sel. Candida albicans bersifat dimorfik , selain menghasilkan ragi dan pseudohifa, Candida juga dapat menghasilkan hifa sejati (Brooks et al.,2007). Pada media agar dalam waktu 24 jam pada suhu 370 C, spesies Candida albicans akan menghasilkan koloni lunak yang berwarna krem dengan bau seperti ragi. Pseudohifa tumbuh terendam di bawah permukaan agar. Untuk membedakan Candida albicans dengan spesies yang lain adalah dengan melakukan uji morfologi dengan cara menginkubasi dalam serum selama ± 90 menit pada suhu 370 C. Sel ragi pada Candida albicans akan mulai
Gambar 2.2 Jamur Candida albicans (Waluyo, 2004)
terbentuk hifa sejati, pada media yang nutrisinya kurang, Candoda albicans akan menghasilkan klamidospora sferis yang besar. Untuk memperkuat identifikasi spesies isolat Candida albicans dapat dilakukan dengan uji asimilasi dan fermentasi gula.
(Mitchel, 2016)
Beberapa bagian morfologi dari Candida albicans ,antara lain : 1. Membran sel.
Membran sel dari Candida albicans terdiri atas 2 lapis membran atau lipid bilayer yang merupakan lapisan paling dalam yang menutupi sitoplasma sel jamur.
Membaran sel tersebut mengandung sterol yang hampir sama seperti yang dimiliki sel tubuh manusia. Ergosteron adalah sterol utama pada membran sel Candida albicans.
2. Dinding sel.
Dinding sel merupakan lapisan luar yang mengelilingi membran sel. Pada Candida albicans dinding sel sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan beberapa protein seperti glukan, manaprotein, dan khitin.
3. Kapsul sel
Kapsul sel Candida albicans merupaka suatu polisakarida yang melapisi dinding selnya. Kapsul ini berfungsi untuk melindungi jamur terhadap sel fagositnya (Gladwin,2000).
2.2.4 Virulensi Candida albicans
Faktor virulensi dari Candida albicans meliputi dimorfisme morfologi, phenothypic switching, sekresi enzim hidrolitik, dan adhesi. Dimorfisme morfoloi adalah suatu kemampuan perubahan bentuk antara sel yeast uniseluler dengan sel hifa.
Phenothypic switching merupakan proses perubahan beberapa sifat molekuler dan biokimia pada patogen yang berguna sebagai pertahanan dari hidup jamur dalam organisme host.
2.2.4 Patogenesis Candida albicans
Candida albicans merupakan suatu jamur dimorfik yang sering terdapat pada makhluk hidup termasuk manusia. Infeksi oleh jamur Candida albicans memiliki 4
bentuk infeksi, antara lain adalah Pseudomembranous candidiasis, Angular cheilitis, Hyperplastic candidiasis, dan Erythematous candidiasis. Candida albicans dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan kelaian didalam organ tubuh manusia maupun hewan. Faktor rentan dapat menyababkan Candida albicans dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan penyakit yang disebut kandidiasis. Kandidiasis adalah suatu infeksi akut atau subakut yang dapat menyerang berbagai jaringan tubuh.
Misalnya adalah kandidiasis vagina (vaginitis), kandidiasis mulut ( sariawan), dan kandidiasis kulit yang bersifat (Tjay dan Rahardja, 2003).
Adhesi merupakan faktor yang berpengaruh pada proses infeksi dan patogenitas.
Perubahan yang terjadi dari bentuk khamir ke filamen dan produksi enzim ekstraseluler (Naglik et al., 2004). Adhesi melibatkan interaksi antara reseptor dam ligan pada sel inang dan proses melekatnya sel Candida albicans ke sel inang. Perubahan bentuk dari khamir ke filamen diketahui berhubungan dengan patogenitas dan proses penyerangan Candida terhadap sel inang yang diikuti pembentukan lapisan biofilm sebagai salah satu cara Candida albicans. untuk mempertahankan diri dari obat antifungi. Produksi dari enzim hidrolitik ektraseluler yaitu aspartyl proteinase sering dihubungkan dengan patogenitas Candida albicans (Naglik et al., 2004).
2.2.5 Gambaran Klinik
Faktor penyebab terjadinya infeksi Candida albicans adalah diabetes mellitus, imunodefisiensi, kateter air kemih yang terpasang terus-menerus, pemberian antimikroba (mengubah flora bakteri normal), penyalah gunaan narkotika intravena,dan juga kortikosteroid (Jawetz et al., 2005).
1. Genitalia wanita
Vulvovaginitis terjadi menyerupai sariawan tetapi menimbulkan iritasi,gatal yang hebat, dan pengeluaran secret. Hilangnya pH asam merupakan predisposisi timbulnya vulvovaginitis kandida. Dalam keadaan pH normal,asam akan dipertahankan oleh bakteri vagina. Diabetes, progesterone ,kehamilan, atau pengobatan antibiotika (Jawetz et al., 2005).
2. Mulut
Infeksi mulut (sariawan), terutama pada bayi, terjadi pada selaput mukosa pipi dan tampak sebagai bercak putih yang terdiri atas epitel dan pseudomiselium.
Pertumbuhan Candida albicans didalam mulut akan lebih subur bila disertai dengan antibiotic, imunodefisiensi, kortikosteroid, dan kadar glukosa yang tinggi (Jawetz et al., 2005).
2.2.6 Imunitas
Respon imun cell-mediated, terutama pada sel-sel CD4 sangat penting untuk mengendalikan kandidiasis mukokutan (Jawetz et al., 2005). Pada serum manusia mengandung antibody IgG yang dapat mengumpalkan Candida albicans in vitro yang memungkinkan bersifat kandidiasis (Jawetz et al., 2005).
2.3 Terapi 2.3.1 Antijamur
Antijamur merupakan bagian antibiotik yang dapat memperlambat maupun membunuh jamur, sedangkan antibiotik sendiri merupakan suatu bahan kimia yang diperoleh dari atau dibentuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Jawetz et al., 1994).
Menurut indikasi klinis obat antijamur dibedakan menjadi 2 macam , yaitu:
1. Antijamur untuk infeksi sistemik, yaitu : Imidazole(ketoconazol, mikonazol, flukonazol), amfiterisin B, hidroksisistilbamidin, dan flusitosin.
2. Antijamur untuk infeksi mukokutan dan dermatofit ,yaitu : nistatin, griseofulfin, tolnaftat, golongan imidazole(tiokonazol, klotrimazol, isokonazol, ekonazol, bifonazol, dan mikonazol)
2.3.2 Obat antijamur golongan Polien ( Nistatin)
Nistatin berasal dari Streptomyces noursei, namanya diambil dari New York State Departement Health (1951)
Gambar 2.3 Struktur Kimia Nistatin New York State Departement Health (1951)
Nistatin (Candistatin, Mycostatin), diisolasi dari Streptomyces noursei, dan tersedia dalam berbagai bentuk, seperti suspensi oral, pil oral, krim topikal. Nistatin digunakan secara oral maupun lokal, untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Candida sp. Nistatin tidak terserap ketika berada di saluran gastrointestinal saat diberikan secara oral, sehingga penggunaan nistatin topikal dianggap sebagai jalur administrasi yang paling umum dalam kedokteran gigi, karena paparan sistemik minimal. Selanjutnya, nistatin juga berperan penting dalam profilaksis kandidiasis oral dan sistemik pada bayi baru lahir dan prematur, bayi, dan pasien dengan immunocompromised (misalnya, pasien AIDS, pasien kanker, dan penerima transplantasi organ), karena dikaitkan dengan rendahnya insiden interaksi obat dan biaya yang dapat diterima, terutama di negara-negara berkembang. Dosis umum yang disarankan untuk penggunaan nistatin topical adalah 200.000-600.000 IU/hari untuk anak-anak dan orang dewasa, dan 100.000-200.000 IU/hari untuk bayi dan bayi baru lahir. Durasi pengobatan dapat bervariasi dari 1 atau 2 sampai 4 minggu (Lyu et. al., 2016).
2.3.3 Mekanisme kerja Nistati
Nistatin akan diikat oleh jamur. Aktivitas antijamur tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada membran sel jamur terutama ergosterol. Sehingga mengakibatkan gangguan pada permeabilitas membrane sel jamur dan mekanisme transpornya. Kompleks polien-ergostrerol yang terjadi dapat membentuk satu pori, dan melalui pori tersebut konstituen esensial sel jamur bocor keluar sehingga menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur (Lyu et al., 2016).
2.4 Mekanisme Obat antijamur
Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi sterol membran plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur yaitu β glukan, mannooprotein, dan kitin (Gubbins et al., 2009).
1.Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol.
Ergosterol merupakan suatu komponen penting untuk menjaga integritas membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja dari obat antijamur secara langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membran sel jamur, hal ini akan menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor ergosterol) (Gubbins et al., 2009).
2. Sintesis asam nukleat
Kerja dari obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5FC), dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel jamur 5FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fluoro deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA (Gubbins et al., 2009).
1. Unsur utama dinding sel jamur
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur penyangga adalah β glukan
Obat antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan β1, 3 glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila β glukan tidakterbentuk,
integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis (Gubbins et al., 2009).
2.5 Resistensi antijamur
Resistensi antijamur merupakan penyesuaian sel jamur yang stabil, yang didapat akibat obat-obat antijamur, sehingga mengakibatkan sensitivitas terhadap antijamur tersebut berkurang dibandingkan dengan keadaan normal. Secara umum, jamur dapat mengalami resistensi secara intrinsik terhadap obat-obat antijamur (resistensi primer) atau resistensi dapat terjadi sebagai respons terhadap pajanan obat antijamur selama pengobatan (resistensi sekunder). 11-13 Kegagalan respons klinis merupakan kegagalan terapi yang sesuai untuk indikasi tertentu dalam menghasilkan respons klinis. Penyebab kegagalan klinis dapat berupa resistensi antijamur, namun penyebab lain misalnya gangguan fungsi imunitas, bioavailabilitas yang buruk dari obat yang diberikan atau peningkatan metabolisme obat dapat menjadi penyebab dari kegagalan terapi.
Komponen resistensi obat antijamur secara klinis dihubungkan dengan faktor-faktor dari pejamu, obat dan jamur. Faktor pejamu yang paling penting untuk melawan infeksi adalah status imunitas pejamu, lokasi infeksi, keparahan penyakit, terdapat alat yang terpasang dalam tubuh pejamu (kateter, gigi palsu atau katup jantung buatan) serta ketidakpatuhan pasien. Obat fungistatik akan lebih mempercepat resistensi dibandingkan dengan obat fungisidal. Dosis obat antijamur, termasuk kuantitas, frekuensi, jadwal pemberian, dan dosis kumulatif juga dapat berperan dalam keberhasilan pengobatan infeksi jamur. Pemberian obat antijamur bersamaan dengan obat lain juga dapat mengubah efektivitas obat anti jamur.
Beberapa faktor dari jamur dapat berpengaruh terhadap kejadian resistensi, misalnya jenis spesies atau galur serta tipe sel yang dapat mengubah efektivitas terapi (Loeffler J et al., 2003).
2.6 Uji Kepekaan terhadap aktifits antimikroba secara invitro
Aktivitas antimikroba diukur secara in vitro untuk menentukan kepekaan antimikroba (Jawetz et al., 2012).
1. Potensi agen antibakteri dalam larutan.
2. Konsentrasinya dalam cairan tubuh
3. Ketentuan mikroorganisme tertentu terhadap obat dengan konsentrasi tertentu.
Dalam uji kepekaan antimikroba terhadap obat-obatan secara in bitro bertujuan untuk mengetahui obat antimikroba yang masih dapat digunakan mengatasi infeksi suatu mikroba ( Dzen et al., 2003). Metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas antimikroba secara in vitro yaitu sebagai berikut:
2.6.1 Metode Difusi Cakram
Prinsip dari metode difusi cakram yaitu obat dijenuhkan ke dalam kertas saring (cakram kertas). Cakram kertas yang mengandung obat tertentu di tanam pada media pembenihan agar padat yang telah di campur dengan mikroba yang diuji, kemudian di inkubasikan 37oC selama 18-24 jam. Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih disekitar cakram kertas yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen et al., 2003).
Pencelupan cakram kertas ke dalam larutan sampel sampai merata di seluruh permukaan cakram kertas. Cakram dicelupkan ke dalam larutan sampel sampai merata di seluruh permukaan cakram dengan berbagai macam konsentrasi yang telah disiapkan. Konsentrasi terendah dari sampel yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji merupakan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM).
Penuangan media nutrient agar (NA) yang telah disterilkan ke dalam petridish.
Agar-agar biasanya mengandung (berat/volume): 30,0% infus daging sapi; 1,75%
kasein hidrolisat; 0,15% tepung; agar agar 1,7%; pH disesuaikan ke netral pada suhu 25°C (Ngaisah, 2010; Choma, 2011).
Media nutrient agar (NA) yang telah dingin dan memadat selanjutnya di tanami jamur. Jamur yang di tanam diratakan hingga seluruh permukan nutrient agar (NA) dengan menggunakan spreader. Kemudian cakram tersebut diletakkan dalam media nutrient agar (NA) yang telah ditanami jamur. Langkah selanjutnya dilakukan dengan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Penghambatan pertumbuhan di sekitar masing-masing cakram diukur dengan skala millimeter. Aktivitas antijamur terbesar
ditunjukkan oleh luas diameter zona bening terbesar yang terbentuk dari konsentrasi tersebut. Konsentrasi terkecil dari sampel yang mampu menghambat jamur yang diinokulasikan dengan terbentuknya zona bening merupakan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) dari sampel tersebut. (Ngaisah, 2010).
2.6.2 Metode Dilusi
Cara ini digunakan untuk menentukan Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) dari obat antimikroba. Pripsip dari metode Dilusi Tabung yaitu menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Kemudian masing-masing tabung diisi dengan obat yang telah diencerkan secara serial. Selanjutnya seri tabung diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung (Dzen et al., 2003). Dengan prinsip yaitu, obat dijenuhkan ke dalam kertas saring (cakram kertas). Cakram kertas yang mengandung obat tertentu ditanam pada media perbenihan agar padat yang telah dicampurkan dengan mikroba yang diuji, kemudian diinkubasi 37°C selama 18-24 jam. Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih disekitar cakram kertas yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen et al,. 2003).
Konsentrasi terendah obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat. Selanjutnya (pada dilusi agar) biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan dan keesokan harinya diamati ada tidaknya koloni mikroba yang tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KHM dari obat terhadap bakteri uji (Dzen et al., 2003).
2.7 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode pemisahan fisikokimia.
Lapisan pemisah terdiri dari fase diam, ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita, setelah plat atau lapisan
dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).
Pendeteksian bercak hasil dari pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254nm) atau gelombang panjang (365nm), jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Stahl, 1985).
1. Fase Diam
Penyerap yang banyak digunakan yaitu silika gel, kieselgur, selulosa, dan lain- lain. Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya (Stahl, 1985).
2. Fase Gerak
Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler.
Yang digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan, bila diperlukan, sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka banding campuran dinyatakan dalam bagian volume sedemikian rupa sehingga volume total 100, misalnya, benzena-kloroform-asam asetat 96% dengan perbandingan 50:40:10 (Stahl, 1985).
2.8 Metode Bioautografi
Bioautografi adalah metode pendeteksian yang digunakan untuk mememukan suatu senyawa antimikroba yang belum teridentifikasi dengan cara melokalisir aktivitas antimikroba tersebut pada suatu kromatogram. Metode ini memanfaatkan pengerjaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pada bioautogafi ini didasarkan atas
efek biologi berupa antibakteri, antitumor, antiprotozoa, dan lain-lain dari substansi yang diteliti. Ciri khas dari prosedur bioautografi adalah didasarkan atas teknik difusi agar, dimana senyawa antimikrobanya dipindahkan dari lapisan KLT ke medium agar yang telah diinokulasikan dengan merata bakteri uji yang peka. Dari hasil inkubasi pada suhu dan waktu tertentu akan terlihat zona hambat di sekeliling spot dari KLT yang telah ditempelkan pada media agar. Bioautografi dapat dibagi menjadi tiga metode, yaitu :
1. Bioautografi Kontak
Bioautografi kontak yaitu suatu senyawa antimikroba dipindahkan dari lempeng KLT ke medium agar yang telah diinokulasikan bakteri uji yang peka secara merata dan melakukan kontak langsung (Dewanjee et al., 2014). Metode ini didasarkan atas difusi dari senyawa yang telah dipisahkan dengan Kromatogafi Lapis Tipis (KLT) atau kromatografi kertas. Lempeng kromatografi tersebut ditempatkan di atas permukaan Nutrien Agar yang telah di inokulasikan dengan mikroorganisme yang sensitif terhadap senyawa antimikroba yang dianalisis. Setelah 15-30 menit, lempeng kromatografi tersebut dipindahkan dari permukaan medium. Senyawa antimikroba yang telah berdifusi dari lempeng kromatogram ke dalam media agar akan menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi pada waktu dan suhu yang tepat sampai noda yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme uji tampak pada permukaan membentuk zona yang jernih. Untuk memperjelas digunakan indikator aktivitas dehidrogenase (Dewanjee et al., 2014).
2. Bioautografi Langsung (Deteksi KLT)
Bioautografi langsung, yaitu dimana mikroorganismenya tumbuh secara langsung di atas lempeng Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Prinsip kerja dari metode ini adalah suspensi mikroorganisme uji yang peka dalam medium cair disemprotkan pada permukaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang telah dihilangkan sisa-sisa eluen yang menempel pada lempeng kromatogram. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu dan waktu tertentu (Dewanjee et al., 2014).
3. Bioautografi Perendaman (Agar Overlay Bioautografi)
Bioautografi perendaman, di mana medium agar telah diinokulasikan dengan suspensi bakteri dituang di atas lempeng Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pada prakteknya metode ini dilakukan sebagai berikut yaitu bahwa lempeng kromatografi yang telah dielusi diletakkan dalam cawan petri, sehingga permukaan tertutup oleh medium agar yang berfungsi sebagai base layer. Setelah base layernya memadat, dituangkan medium yang telah disuspensikan mikroba uji yang berfungsi sebagai seed layer. Kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai (Dewanjee et al., 2014).
Salah satu keuntungan metode bioautografi dibandingkan dengan metode lain seperti difusi agar dan pengenceran adalah dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas biologi secara langsung dari senyawa yang komplek, terutama yang terkait dengan kemampuan suatu senyawa untuk menghambat pertumbuhan mikroba, selain itu untuk pemisahan dan identifikasi. Kelebihan lainnya, metode bioautografi tersebut cepat, mudah dilakukan, hanya membutuhkan peralatan sederhana dan interpretasi hasilnya relatif mudah dan akurat tertentu (Kusumaningtyas et al., 2008).
2.9 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Farmakope Indonesia edisi IV, 1995).
2.10 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan memeprmudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Prinsip dasar ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam pelarut non-polar. Serbuk
simplisia diekstraksi berturut-turut dengan pelarut yang berbeda polaritasnya (Harbone,1996).
1. Maserasi
Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut diam atau dengan adanya pengadukan beberapa kali pada suhu ruangan. Metode ini dapat dilakukan dengan cara merendam bahan dengan sekali- kali dilakukan pengadukan.
Pada umumnya perendaman dilakukan selama 24 jam, kemudian pelarut diganti dengan pelarut baru. Maserasi juga dapat dilakukan dengan pengadukan secara berkesinambungan (maserasi kinetik). Kelebihan dari metode ini yaitu efektif untuk sneyawa yang tidak tahan panas (terdegradasi karena panas), pelaratan yang digunakan relatif sederhana, murah, dan mudah didapat. Namun metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu waktu ekstraksi yang lama, membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak dan adanya kemungkinan bahwa senyawa tertentu tidak dapat diekstrak karena kelarutannya yang rendah pada suhu ruang (Sarker et al., 2006).
2. Maserasi Ultrasonik
Sonikasi merupakan salah satu teknik ekstraksi yang menggunakan energi tambahan berupa vibrasi ultrasonik untuk meningkatkan interaksi antara zat yang akan diambil dengan pelarutnya. Penggunaan ultrasonik pada dasarnya menggunakan prinsip dasar yaitu dengan mengamati sifat akustik gelombang ultrasonik yang dirambatkan melalui medium yang dilewati. Pada saat gelombang merambat, medium yang dilewatinya akan mengalami getaran. Getaran akan memberikan pengadukan yang intensif terhadap proses ekstraksi. Pengadukan akan meningkatkan osmosis antara bahan dengan pelarut sehingga akan meningkatkan proses ekstraksi.
3. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (Exhausive extraction) yang umumnya dilakukan pada tempetatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Ditjen POM, 2000).
2.11 Pelarut
Pelarut adalah benda cair atau gas yang dapat melarutkan benda padat, cair atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Berbagai macam pelarut dapat digunakan untuk ekstraksi, akan tetapi pelarut toksik harus dihindari (Agoes, 2007). Dalam penelitian ini digunakan pelarut etanol.
2.12 Pemilihan Pelarut
Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
1. Bersifat selektif.
2. Pelarut harus dapat melarutkan semua zat wangi dengan cepat dan sempurna serta memungkinkan dapat melarutkan bahan seperti lilin, pigmen, dan albumin.
3. Mempunyai titik didih yang cukup rendah. Hal ini supaya pelarut dapat mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi namun titik didih pelarut tidak boleh terlalu rendah karena akan mengakibatkan kehilangan zat berkhasiat yang disebabkan oleh penguapan.
4. Bersifat Inert,yaitu pelarut tidak bereaksi dengan komponen minyak.
5. Mudah didapatkan dan murah(Guenther, 1987).
2.13 Pelarut Etanol
Etanol juga disebut dengan etil alkohol, dengan rumus kimia C2H5OH atau CH3CH2OH ,dengan titik didihnya 78,4°C. Karakteristik etanol yaitu, berupa zat cair, berbau khas, tidak berwarna, mudah menguap dan terbakar, penggunaan etanol sebagai pelarut untuk zat organik maupun zat anorganik( Endah,dkk 2007).