BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Mahar
1. Pengertian Mahar
Secara etimologi pengertian mahar adalah maskawin. Secara istilah mahar artinya sebuah pemberian yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita sebagai tanda ketulusan hati dari calon suami, atau bisa dikatakan suatu pemberian yang wajib diberikan oleh calon suami kepada calon istri yang berupa benda maupun jasa.1 Sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. An-Nisa‟ ayat 4.2
Ayat di atas menjelaskan bahwa suatu mahar hanya diberikan kepada calon perempuan yang akan dinikahi, bukan kepada selainnya.
Seorang istri yang menerima mahar, berhak atas penggunaannya, dan dianjurkan agar menerima suatu mahar dengan penuh kerelaan hati, tanpa melihat nominal atau besar kecil suatu barang. Tidak ada orang lain yang berhak menggunakan atau mengambil atas uang mahar, kecuali pengantin perempuan tersebut, bahkan seorang suami tidak berhak mengambil kembali kecuali atas izin istri.
1 Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat (Seri Buku Daras). (Jakarta: KENCANA, 2015), 84.
2 Q.S. An-Nisa (4): 4
بًئٌ ِشَي بًئٍَُِْ ُُِٕهُكَف بًغْفََ ُُِّْي ٍءًَْش ٍَْع ْىُكَن ٍَْبِغ ٌِْئَف ۚ ًتَهْذَِ ٍَِِّٓحبَقُذَص َءبَغُِّنا إُحآ َٔ
“Dan berikanlah kepada perempuan (yang kamu nikahi) itu maskawin (mahar) mereka sebagai pemberian, apabila mereka berbaik hati kepadamu (rela hatinya) tentang suatu yang kamu berikan itu, makanlah olehmu harta itu secara senang hati pula”.
Berikut merupakan definisi mahar dari empat madzhab, yakni: 3 a) Imam Syafi‟i mengatakan, bahwasannya mahar merupakan suatu
yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahi, agar dapat memiliki atau menguasai seluruh anggota badannya.
b) Bagi sebagaian madzhab dari Hanafiyah mendefinisikan mahar sebagai apa yang menjadi hak istri dengan sebab akad nikah atau wathi.
c) Menurut madzhab Malikiyah, mahar adalah sesuatu yang membuat seorang istri menjadi, untuk memperlihatkan bahwa suami senang kepadanya.
d) Sedangkan, menurut madzhab Hanabilah, mahar merupakan sebuah konpensasi di dalam suatu pernikahan.
Kemudian apabila seorang suami ingin menceraikan istrinya, maka suami tidak boleh mengambil mahar yang dulu diberikan sekecil apapun itu, agar tidak berdosa dan berdusta atas akad nikah yang telah diucapkkan dahulu. Seperti yang dikatakan dalam Q.S. An-Nisa‟ ayat:
204 bahwa apabila seorang suami ingin mengganti istrinya dengan seorang yang lain, sedang ia telah memberikan mahar yang banyak
3 Kosim, Fiqh Munahakat (dalam kajian filsafat hukum Islam dan keberdayaannya dalam politik hukum ketatanegaraan Indonesia). (Depok: Rajawali Pers, 2019). 73
4 Q.S. An-Nisa (4): 20
َف ا ًسبَطُِْق ٍَُّْاَذْدِإ ْىُخٍَْحآ َٔ ٍج ْٔ َص ٌَبَكَي ٍج ْٔ َص َلاَذْبِخْعا ُىُحْد َسَأ ٌِْإ َٔ
بًٍُِبُي بًًْثِإ َٔ بًَبَخُْٓب ََُُّٔزُخْؤَحَأ ۚ بًئٍَْش ُُِّْي أُزُخْؤَح َلَ
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang (mahar) sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya Kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”
(bukan termasuk nafkah) kepada istri yang dahulu, maka ia tidak berhak mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut.
2. Dasar Hukum Mahar dalam Hukum Islam
Adapun dasar hukum pemberian mahar dalam dasar hukum Islam yakni al-Qur‟an dan as-Sunnah yakni:
a) Q.S An-Nisa‟ ayat: 4
Ayat ini menjelaskan bahwa bagi para laki-laki yang ingin menikah, dituntut untuk memberikan mahar yang baik dan penuh kerelaan kepada perempuan. Dan tidak ada larangan laki-laki untuk mengkonsumsi dari mahar yang diberikan kepada perempuan (istrinya) tersebut.5
b) Q.S An-Nisa‟ ayat 24
Ayat ini menjelaskan bahwa dalam pemberian mahar tidak mengapa jika diantara para pihak (laki-laki dan perempuan) saling merelakan akan kurang atau lebihnya dari suatu mahar yang wajib.6
5 Q.S. An-Nisa (4): 4
تَه ۡذَِ ٍَِِّٓخٰـَقُذَص َءۤبَغُِّنٱ ۟إُحاَء َٔ
ء ۡیَش ٍَع ۡىُكَن ٍَ ۡبِغ ٌِئَف ࣰۚ
ُِّۡي ࣲ ظ ۡفََ ُّ
ࣰ ـٍَُِْۤ ُُِٕهُكَف ا
ࣰ ـٌۤ ِشَّي ا
ࣰا
"Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati".
6 Q.S. An-Nisa (4): 24
َءا َس َٔ بَي ْىُكَن َّم ِدُأ َٔ ۚ ْىُكٍَْهَع ِ َّاللَّ َةبَخِك ۖ ْىُكَُبًٌََْأ ْجَكَهَي بَي َّلَِّإ ِءبَغُِّنا ٍَِي ُثبََُصْذًُْنا َٔ
ُِ ِصْذُي ْىُكِنا َْٕيَؤِب إَُُخْبَح ٌَْأ ْىُكِنَٰر ۚ ٍٍَ ِذِفبَغُي َشٍَْغ ٍٍَ
ِِّب ْىُخٍَْظا َشَح بًٍَِف ْىُكٍَْهَع َحبَُُج َلَّ َٔ ۚ ًتَعٌ ِشَف ٍَُّْ َسُٕجُأ ٍَُُّْٕحآَف ٍَُُِّْٓي ِِّب ْىُخْعَخًَْخْعا بًََف بًًٍِكَد بًًٍِهَع ٌَبَك َ َّاللَّ ٌَِّإ ۚ ِتَعٌ ِشَفْنا ِذْعَب ٍِْي
"Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya, bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana".
c) Q.S An-Nisa‟ ayat: 25
Ayat ini menjelaskan bahwa laki-laki yang akan menikah untuk memberikan mahar yang pantas kepada pihak perempuan. Karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina, dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.7
Adapun hadits yang menerangkan tentang mahar, diantaranya yaitu: hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:8
ُدْبَع اَنَ ثَّدَح َلاَق ٍدْعَس ِنْب ٍلْهَس ْنَع ٍمِزاَح ِبَِأ ْنَع ٌكِلاَم َنَاَرَ بْخَأ َفُسوُي ُنْب ﷲ
َق ِّنِّإ هّللّا َلوُسَرَيَ ْتَلاَقَ ف َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُهّللّا َلَص ِهّللّا ِلوُسَر َلَِإ َأَرْما ْتَءاَج َكَل ُتْبَىَوْد
ِنآْرُقْلا ْنِم َكَعَم اَِبِ اَهَكاَنْجَّوَز ْدَق َلاَقاَهيِنْجِّوَز ٌلُجَر َلاَقَ ف يِسْفَ ن ْنِم
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Hazim dari Sahal bin Sa’ad berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Saw. lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku menawarkan diriku untuk engkau.” Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: “Nikahkanlah aku dengannya!” beliau
7 Q.S. An Nisa (4): 25
َف ٍْ ِي ْىُكَُبًٌََْأ ْجَكَهَي بَي ًٍَِْف ِثبَُِي ْؤًُْنا ِثبََُصْذًُْنا َخِكٌَُْ ٌَْأ ًلَّ َْٕغ ْىُكُِْي ْعِطَخْغٌَ ْىَن ٍَْي َٔ
ْىُكُعْعَب ۚ ْىُكَِبًٌَِئِب ُىَهْعَأ ُ َّاللَّ َٔ ۚ ِثبَُِي ْؤًُْنا ُىُكِحبٍََخ
ْعَب ٍِْي َّخُي َلَّ َٔ ٍثبَذِفبَغُي َشٍَْغ ٍثبََُصْذُي ِفٔ ُشْعًَْنبِب ٍَُّْ َسُٕجُأ ٍَُُّْٕحآ َٔ ٍَِِّٓهَْْأ ٌِْرِئِب ٍَُُّْٕذِكَْبَف ۚ ٍط ٍٍََْحَأ ٌِْئَف ٍَّ ِصْدُأ اَرِئَف ۚ ٌٍاَذْخَأ ِثاَز ِخ
َٰر ۚ ِةاَزَعْنا ٍَِي ِثبََُصْذًُْنا ىَهَع بَي ُفْصَِ ٍٍََِّْٓهَعَف ٍتَش ِدبَفِب ٌىٍ ِد َس ٌسُٕفَغ ُ َّاللَّ َٔ ۗ ْىُكَن ٌشٍَْخ أ ُشِبْصَح ٌَْأ َٔ ۚ ْىُكُِْي َجََُعْنا ًَِشَخ ًٍَِْن َكِن
"Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina, dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.
Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang".
8 Hadits Imam Al-Bukhari Kitab Al-Wakalah Nomor 2144
berkata: “Kami nikahkan kamu dengannya dengan mahar bacaan al-Qur’an yang ada padamu.”
3. Syarat dan Macam Mahar
Syarat mahar di dalam buku fikih munakahat yang ditulis oleh Abdul Rahman Ghazali, menuliskan beberapa syarat sahnya mahar yang diberikan untuk calon mempelai perempuan, antara lain: 9
a) Hartanya berharga, walaupun tidak ada ketentuan sedikit banyaknya atau besar kecilnya jumlah mahar yang diberikan, hendaknya mahar tersebut tetaplah berharga, meskipun sedikit.
b) Bukan berupa barang hasil dari ghasab. Ghasab maksudnya adalah barang orang lain yang diambil tanpa seizin pemilik, namun tidak bermaksud mengambil selamanya, dengan niat dikembalikan suatu saat. Hukum memberi mahar hasil barang ghasab tidak sah.
c) Barangnya bersifat suci, maksudnya adalah bukan suatu barang yang sifatnya diharamkan.
d) Barangnya jelas keadaanya, tidak sah apabila mahar yang tidak jelas atau jenisnya tidak disebutkan.
Mahar dalam Islam terbagi menjadi 2 macam yaitu mahar Musamma dan mahar Mitsil, berikut penjelasannya:
9 Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat (Seri Buku Daras). (Jakarta: KENCANA, 2015), 88.
a) Mahar Musamma
Merupakan sebuah mahar yang disepakati oleh calon mempelai laki-laki dan perempuan, yang disebutkan di dalam redaksi adat. Dalam buku fiqh munakahat oleh Dr. H. Kosim, M.Ag dijelaskan definisi mahar mutsamma adalah mahar yang disebutkan, maksudnya yakni antara calon mempelai wanita dan mempelai pria berunding untuk menentukan jumlah maskawin yang diberikan.10
b) Mahar Mitsil
Mahar mitsil merupakan sebuah mahar yang tidak disebutkan seberapa besar kadarnya ketika sebelum dan saat melangsungkan pernikahan, atau mahar yang diukur dengan mahar yang telah diterima oleh keluarga terdekat, dengan pertimbangan status sosial, kecantikan dan lainnya.11
Menurut menurut Hanafiyah merupakan mahar yang disamakan pada saat waktu akad dari jalur bapaknya bukan dari jalur istrinya, atau disamakan dari jalur saudara perempuan, bibi, anak perempuan paman, atau dengan sifat yang disukai oleh adat daerahnya. Dan ada syarat dalam penentuan mahar mitsil dengan mendatangkan saksi yaitu 2 perempuan dan 2
10 Kosim, Fiqh Munahakat (Dalam Kajian Filsafat Hukum Islam Dan Keberdayaannya Dalam Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia). (Depok: Rajawali Pers, 2019), 75.
11 Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat (Seri Buku Daras). (Jakarta: KENCANA, 2015), 84.
laki-laki, jika tidak ada saksi maka dengan sumpahnya seorang suami.12
Sedangkan menurut Syafi‟iyah, mahar mitsil adalah mahar disamakan dengan jalur perempuan ashabah. Berbeda dengan Hanabilah, yaitu disamakan dengan seluruh keluarga baik dari jalur ayah ataupun ibu. Sedangkan Malikiyah, mahar yang disamakan dengan mahar keluarga istri terdekat dalam kondisi khusus, yaitu perihal kebangsawanan, kecantikan, harta, seperti saudara kandung atau saudara seayah.13
4. Ukuran Mahar
Dalam kitab Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan bahwa Jumhur fuqaha‟ sepakat, mahar tidak memiliki batas maksimal.14 Dalam buku fikih munakahat juga menyebutkan bahwa para ulama‟ sepakat menyatakan mahar tidak ada batas maksimal, akan tetapi para ulama‟
berbeda pendapat mengenai batas minimal pemberian mahar.15 Karena tidak ada syari‟at yang membatasi pemberian mahar untuk pihak perempuan.
12 Kosim, Fiqh Munahakat (Dalam Kajian Filsafat Hukum Islam Dan Keberdayaannya Dalam Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia). (Depok: Rajawali Pers, 2019), 77.
13 Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat (Seri Buku Daras). (Jakarta: KENCANA, 2015), 90.
14 Wahbah az-Zuhaili, Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Pernikahan, Talak, Khulu’, Meng-Illa Istri,Li’an, Zhihar, Masa Iddah), trans. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011), 234.
15 Kosim, Fiqh Munahakat (Dalam Kajian Filsafat Hukum Islam Dan Keberdayaannya Dalam Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia). (Depok: Rajawali Pers, 2019), 77.
Akan tetapi disunnahkan untuk meringankan jumlah mahar dan tidak berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Saw.16
َّنِإ ٌةَنْؤُم ُهُرَسْيَأ ٌةَكَرَ ب ِحاَكِّنلا َمَظْعَأ
“Sesungguhnya keberkahan pernikahan yang paling besar adalah orang yang maharnya paling rendah.”
Apabila meminta mahar dalam jumlah yang banyak kepada calon suami dan hal tersebut memberatkan pihak laki-laki (suami), maka itu termasuk hal yang tercela.17 Disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang seorang laki-laki yang mengkhabarkan kepada Rasulullah bahwasanya ia telah menikahi wanita Anshar, lantas Rasulullah bertanya “Berapa mahar yang engkau berikan?”, “Empat uqiyah” jawabnya. Lantas Rasulullah SAW.
bertanya kepadanya: “Empat uqiyah? kalian seakan-akan menambang perak dari sisi gunung ini… ”18
16 Wahbah az-Zuhaili, Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Pernikahan, Talak, Khulu’, Meng-Illa Istri,Li’an, Zhihar, Masa Iddah), trans. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011), 234.
17 Muhammad bin Sayyid Al-Khauli, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah fi Fiqhil Mar-ah Al- Muslimah, terj. Umar Mujtahid (Jakarta, 2016), 389.
18 Shohih Muslim Kitab Nikah Bab Nadbu An-Nadzari ila wajhi al-mar’ati wa kaffaiha li man yuridu tazawwajuha Nomor 1424.
َءبَج : َلبَق ,َة َشٌْ َشُْ ًِْبَأ ٍَْع صلى الله عليه وسلم َُّن َلبَقَف ، ِسبَصََْ ْلْا ٍَِي ًةَأ َشْيا ُجْج ّْٔ َضَح ًَِِّْإ : َلبَقَف ، صلى الله عليه وسلم ًِِّبَُّنا َىنِإ ٌمُج َس
ًِْف ٌَِّئَف ، بٍََْٓنِإ َث ْشَيََ ْمَْ :
َهَع : َلبَق ، بٍََْٓنِإ ُث ْشَيََ ْذَق : َلبَق ؟ بًئٍَْش ِسبَصََْ ْلْا ٌِ ٍُُْٕع
؟ ٍقا ََٔأ ٍعَب ْسَأ ىَهَع : صلى الله عليه وسلم ًُِّبَُّنا َُّن َلبَقَف ،ٍقا ََٔأ ٍعَب ْسَأ ىَهَع : َلبَق ؟ بََٓخْج َّٔ َضَح ْىَك ى
ِمَبَجْنا اَزَْ ِض ْشُع ٍِْي َتَّعِفْنا ٌَ ُْٕخ ِذَُْح بًََََّؤَك Artinya: Dari Abi Hurairah berkata: telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. dan berkata: “Sesungguhnya aku memutuskan untuk menikahi wanita dari Anshar”. Nabi SAW.
bertanya kepadanya: “Apakah engkau sudah melihatnya? karena dimata kaum Anshar ada sesuatu”. Lalu orang tersebut menjawab: “Aku sudah melihatnya”. Beliau bertanya lagi: “Berapa mahar engkau untuk menikahinya?” Orang tersebut menjawab: “Empat uqiyah.” Nabi SAW.
bersabda: “Empat uqiyah? Seakan-akan kalian memahat perak dari gunung ini…”
Pemaparan hadits di atas merupakan pengingkaran Rasulullah SAW. terhadap mahar yang diberikan para suami tersebut berkenaan dengan kondisi mereka. Untuk itu dapat disimpulkan bahwasanya acuan pemberian mahar yaitu kondisi ekonomi dari calon suami.
Setelah menukil hadist tentang mahar, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Hadits-hadits ini secara eksplisit menunjukkan bahwa hukum berlebihan dalam menetapkan jumlah mahar adalah makruh, sebab persoalan ini sedikit berkah dan mempersulit calon mempelai pria (apabila tidak mampu).”19
B. Maṣlahah Mursalah
1. Pengertian Maṣlahah Mursalah
Secara etimologi, maṣlahah merupakan kata yang berasal dari Bahasa Arab yang dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia yakni berupa kata maslahat, yang artinya mendatangkan kebaikan atau yang dapat memberi manfaat dan menolak kerusakan.20
Menurut Imam Ghazali dalam buku berjudul Ushul Fiqh oleh Abd. Rahman Dahlan mengemukakan, pada dasarnya kata al- maṣlahah memiliki pengertian menggapai manfaat atau menghindari
dari kemudharatan (bahaya).21 Di dalam jurnal “Maslahah Mursalah menurut Al-Ghazali” yang ditulis oleh Syarif Hidayatullah, Al-Ghazali
19 Ibid.
20 Hendri Herman dan Mashudi, “Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Penentuan Hukum Islam”. Jurnal Hukum Islam. Vol. 4 No.1 (Maret, 2018), 64. Dalam buku yang ditulis oleh Agus Miswanto, “Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam” (Yogyakarta: UIMMA PRESS, 2018), hal.
161. Menyebutkan kata maslahah (تذهصًنا) berasal dari soluha-yaslahu-sulhan-maslahah ( -َخَهَص ُخَهْصٌَ
ًبذْهُص-
ًتَذَهْصَي- ) yang berarti baik, cocok, selaras, berguna.
21 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. (Jakarta: AMZAH, 2014). 305
mendefinisikan Maṣlahah Mursalah dalam bukunya al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul mengemukakan bahwa: 22
ٌَّيَّعُم ٌّصَن ِراَبِتْعِْلِْبِ َلََو ِنَلاْطُبْلِبِ ِعْرَّشلا َنِم ُوَل ْدَهْشَي َْلَ اَم ُةَحَلْصَم ْلا .
“Maṣlahah al-Mursalah adalah apa yang tidak ada dalil baginya dari shara’ dalam bentuk nas tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”
Sebenarnya begitu banyak definisi maṣlahah mursalah yang dikemukakan oleh para ulama‟ fikih, dari seluruh definisi tersebut mengandung definisi yang sama. Perkataan Abdul Wahab al-Khallaf di dalam jurnal Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Penentuan Hukum Islam yang ditulis oleh Hendri dan Mashudi, beliau mendefinisikan
“maṣlahah mursalah” sebagai suatu maṣlahah yang tidak ada dalil syara’ kemudian diupayakan untuk dicari tahu hukumnya”.23 Adapun definisi lain menurut Muhammad Abu Zahrah, “Maṣlahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya”.24
Dan yang terakhir menurut Amir Syaifuddin membagi bentuk maṣlahah menjadi dua bagian:
a) Yang pertama mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut jalb al-manafi’
(membawa manfaat).
22 Syarif Hidayatullah, “Maslahah Mursalah menurut Al-Ghazali”. Jurnal Al-Mizan.
(Februari, 2018) 116.
23 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. (Jakarta: AMZAH, 2014), 306.
24 Ibid.
b) Yang kedua yaitu menghindari ummat manusia dari kerusakan juga keburukan yang disebut dar’u al mafasid.25 Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan secara garis besar maṣlahah mursalah yaitu menetapkan hukum dalam hal- hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an ataupun as- Sunnah dengan perimbangan atau tujuan untuk kemaslahatan hidup manusia yang berpegang pada asas memberi atau mengambil manfaat dan menolak kerusakan.26
2. Macam-macam maslahah mursalah a. Maṣlahah Dharuriyat
Makna ḍaruriyyat secara etimologi adalah sesuatu yang menjadi kedaruratan bagi kehidupan manusia.27 Secara terminologi maksudnya adalah segala sesuatu yang harus ada guna tegaknya kehidupan manusia, yang bersifat diniyyah maupun dunyawiyyah.
Apabila maṣlahah dharuriyat tidak ada maka rusaklah kehidupan di dunia. Adapun tingkatan maṣlahah ḍaruriyat yakni memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, dan memelihara keturunan.28
1) Memelihara Agama, agar dapat memelihara agama untuk itu disyariatkan untuk menjaga dan membersihkan jiwa dengan
25 Nasrun Haroen, Ushul Fikih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1422 H/2001 M), cet.III, Jilid I, hlm. 114.
26 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. (Jakarta: AMZAH, 2014), 305.
27 Agus Miswanto, “Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam” (Yogyakarta: UIMMA PRESS, 2018), hal. 165.
28 Ibid., 306.
menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuhan yang Maha Esa, berdasarkan Q.S Al-Baqarah: 2129
Dalam memelihara agama maka kita diperintahkan untuk mengamalkan perintah agama seperti menjalankan ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.30
2) Memelihara Jiwa, maksud dari memelihara jiwa yaitu tidak ada pertumpahan darah antara manusia dengan manusia yang lain.
Berdasarkan Q.S. Al-Ma‟idah ayat 32: 31
Betapa berharganya setiap jiwa seorang manusia sehingga ada perintah untuk saling melindungi tiap-tiap jiwa, sehingga jangan sampai ada pertumpahan darah. Adapaun hukuman bagi seorang yang menyakiti manusia lainnya, disebut dengan qiṣaṣ.
3) Memelihara Keturunan, untuk menjaga keturunan yang baik maka ada anjuran untuk melaksanakan suatu pernikahan agar ada batasan dan ikatan untuk saling menjaga antara laki-laki dan perempuan.
29 Q.S. Al-Baqarah (2): 21
ِهْبَق ٍِْي ٌٍَِْزَّنا َٔ ْىُكَقَهَخ ْيِزَّنا ْىُكَّب َس أُذُبْعا ُطبَُّنا بٌََُّٓأ بٌَ
ٌَ ُْٕقَّخَح ْىُكَّهَعَن ْىُك
“Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa.”
30 Fathur Rohman, “Maqasid Al-Syari‟ah Dalam Perspektif Al-Syatibi”. ISTI’DAL Jurnal Studi Hukum Islam Vol. 4 No. 2 (Juli-Desember 2017), 171.
31 Q.S. Al-Ma‟idah (5): 32
ِض ْسَ ْلْا ًِف ٍدبَغَف َْٔأ ٍظْفََ ِشٍَُِْب ًبغْفََ َمَخَق ٍَْي َََُّّأ َمٍِْئا َشْعِإ ًَُِب ىَهَع بَُْبَخَك َكِناَر ِمَجَأ ٍِْي ٍَْي َٔ بًعًٍَِْج َطبَُّنا َمَخَق بًََََّؤَكَف
ٍَْدَأ بًََََّؤَكَف بَْبٍَْدَأ ْسَ ْلْا ىِف َكِناَر َذْعَب ْىُُِْٓي ا ًشٍِْثَك ٌَِّإ َّىُث ِثبٍََُِّبْنبِب بَُُهُع ُس ْىُْٓحَءبَج ْذَقَن َٔ بًعًٍَِْج َطبَُّنا ب
ٌَ ُْٕف ِشْغًُِن ِض
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Isra‟il, bahwa: barangsiapa yang membunuh seseorangg manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelek kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
4) Memelihara Harta Benda, dalam penjagaan harta dan benda maka agama mewajibkan zakat, menghalalkan jual beli, mengharamkan riba dan melarang untuk menimbun harta benda agar dapat menguntungkan dikemudian hari, Islam juga mengharamkan mencuri bahkan mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak baik. Seperti yang dikatakan dalam Q.S An-Nisa‟: 2932
Selain itu ada hukuman bagi orang-orang yang mengambil hak orang lain seperti mencuri, merampok dan lain sebagainya, hukuman bagi orang yang mencuri yaitu potong tangan, dan hukuman bagi perampok yaitu pengasingan dan hukuman mati.33
5) Memelihara Akal, dalam hal menjaga akal agar tetap sehat dan waras maka Allah mengharamkan untuk mengkonsumsi minuman keras.34 Dalam Q.S Al-Ma‟idah: 9035
b. Maṣlahah Hajjiyyah
Secara etimologi Hajiyat adalah kebutuhan, yaitu sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia.36 Secara terminologi makna Maṣlahah
32 Q.S An-Nisa‟ (4): 29
َح ٍَْع ًة َسبَجِح ٌَ ُْٕكَح ٌَْأ َّلَِّإ ِمِغبَبْن بِب ْىُكٍََُْب ْىُكَنا َْٕيَأ ا ُْٕهُكْؤَح َلَّ ا َُُْٕيآ ٌٍَِْزَّنا بٌََُّٓأ بٌَ
ا ُْٕهُخْقَح َلَّ َٔ ْىُكُِْي ٍضا َش
بًًٍْ ِد َس ْىُكِب ٌَبَك َالله ٌَِّإ ْىُكَغُفََْأ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”
33 Fathur Rohman, “Maqasid Al-Syari’ah Dalam Perspektif Al-Syatibi”. 172.
34 Ibid, 174.
35 Q.S Al-Ma‟idah (5): 90
ُةبَصََْ ْلْا َٔ ُشِغًٍَْْنا َٔ ُشًَْخْنا بًَََِّإ ا َُُْٕيآ ٌٍَِْزَّنا بٌََُّٓأ بٌَ
ٌَ ُْٕذِهْفُح ْىُكَهَعَن ُِ ُْٕبَُِخْجبَف ٌِبَطٍَّْشنا ِمًََع ٍِّْي ٌظْج ِس ُو َلَّ ْصَ ْلَّا َٔ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum khamar, berjudi (berkorban untu) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Hajjiyyah yaitu suatu perbuatan yang dapat meringankan beban maupun kesulitan manusia, namun tidak terkait dengan dasar yang lainnya. Perbuatan ini merupakan kemerdekaan individu dalam beragama, contohnya:37
1) Adat dan kebiasaan, dibolehkannya memburu binatang, menikmati makanan lezat, memakai pakaian bagus dan menempati tempat tinggal yang bagus dan indah.
2) Bidang ibadah, adanya rukhsoh (keringanan) bagi orang yang bepergian jauh dibolehkan jama’ dan qasar, dibolehkannya shalat sambil duduk atau berbaring bagi orang yang sedang sakit, keringanan puasa Ramadhan bagi orang tua, wanita hamil, dan orang sakit. Dan yang terakhir gugurnya kewajiban shalat bagi wanita yang sedang haid, dan nifas.
3) Bidang mu‟amalat, dibolehkannya transaksi guna memeuhi kebutuhan, dibolehkannya hutang piutang dan juga dibolehkannya memutuskan tali pernikahan apabila sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilanjutkan contohnya, murtad, melanggar perintah Allah, dan lain sebagainya.
36 Agus Miswanto, “Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam” (Yogyakarta: UIMMA PRESS, 2018), hal. 167.
37 Hendri Herman dan Mashudi, “Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Penentuan Hukum Islam”. Jurnal Hukum Islam. Vol. 4 No 1 (Maret, 2018) 69.
c. Maṣlahah Tahsiniyyah
Secara etimologi Tahsiniyat adalah hiasan, sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka untuk memperelok dan mempercantik kehidupannya.38 Secara terminologi Maṣlahah Tahsiniyyah yaitu penjagaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan keindahan, kesempurnaan, kepatutan, maupun kehormatan. Contohnya:
1) Dalam bidang ibadah yakni thaharah, menutup aurat, memakai perhiasan, memakai parfum ke masjid maupun pertemuan yang lain, ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT seperti shalat, puasa, sedekah dan lainnya.
2) Bidang mu‟amalat yaitu hukum tidak dibolehkannya menjual barang haram dan najis dan membahayakan, perdagangan manusia dan melamar gadis yang telah dilamar oleh orang lain.
3) Bidang adat yakni menghindari makan dan minum secara berlebihan, menujukkan tata krama, baik dalam hal makan maupun sopan santun terhadap yang lebih tua.
4) Bidang pidana yaitu haramnya membunuh maupun menindas anak-anak dan wanita, pembunuhan berantai, kewajiban dalam memenuhi janji, dan segala sesuatu yang mengarah kepada kerusakan.39
38 Agus Miswanto, “Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam” (Yogyakarta: UIMMA PRESS, 2018), hal. 168.
39 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. (Jakarta: AMZAH, 2014), 311.
3. Maṣlahah Mursalah Menurut Jumhur Ulama’
Adapun pandangan Maṣlahah Mursalah menurut pendapat- pendapat para ulama‟ yakni:
a. Imam Madzhab Maliki, Hambali dan as-Syaithibi
Pendapat dari ulama‟ Malikiyah dan Hanabilah menjadikan maṣlahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dan
mereka dianggap sebagai ulama‟ fiqih yang paling banyak dalam penerapannya. Begitupun pendapat dari Imam Syathibi berpendapat bahwasannya kualitas dan keberadaan maṣlahah mursalah bersifat (qath’i) pasti, walaupun terkadang dalam penerapannya bisa bersifat relatif (zhanni).40
Sedangkan Imam Malik, memiliki tiga syarat untuk dijadikan dasar pembentukan hukum, di dalam maṣlahah mursalah:
1) Kasus yang ditangani haruslah kasus dalam bidang mu‟amalah, sehingga penilaian dalam penalaran kasusnya tidak boleh menyangkut segi ibadah.
2) Kepentingannya harus sesuai dengan hukum islam atau syari‟ah dan tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum yang ada di dalamnya.
3) Kepentigannya berupa hal pokok dan bersifat darurat, bukan perihal yang bersifat penyempurna. Seperti tindakan dalam memelihara agama, jiwa, akan, keturunan, kehidupan
40 Ibid., 310.
dan kekayaan. Hal-hal yang darurat, sangkut pautnya dengan usaha dalam memperbaiki kehidupan, sedangkan kepentingan yang bersifat penyempurna tidak diutamakan sebab berkenaan dengan perhiasan dan tambah-tambahan saja.41
b. Jumhur Ulama‟
Mayoritas ulama‟ menyepakati bahwasannya maṣlahah mursalah merupakan sebuah pondasi yang baik guna terbentuknya hukum islam. Namun, jumhur Hanafiyah dan Syafi‟iyah memiliki pendapat bahwa mengenai maṣlahah ini dimasukkan di bawah qiyas, sehingga ketika terdapat hukum asal yang dapat diqiyaskan terdapat juga illat munḍabith (tepat). Sesuai dengan pemahaman ini akan berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan oleh syara‟.
Pada hakikatnya, empat imam madzhab mengakui adanya maṣlahah mursalah, hanya saja jumhur ulama‟ Hanafiyah dan
Syafi‟iyah berupaya untuk memasukkan maṣlahah ini kedalam qiyas. Tujuannya guna memelihara hukum agar selalu berhati-hati dalam proses pembentukan sebuah hukum. Sedangkan golongan jumhur Malikiyah dan Hanabiyah menjadikan maṣlahah sebagai
41 Ibid, 311.
dalil yang berdiri sendiri yang disebut sebagai maṣlahah mursalah.42
c. Najmuddin at-Thufi
Menurut at-Thufi maṣlahah adalah hujjah terkuat yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum, at-Thufi tidak membagi maṣlahah sebagaimana ulama‟ yang lainnya. Akan tetapi ada tiga
prinsip yang dianut oleh at Thufi, prinsip inilah yang menyebabkan pandangan at Thufi berbeda dengan pandangan jumhur ulama‟:43 1) Akal bebas merupakan penentu kemaslahatan dan
kemafsadatan khususnya pada bidang mu‟amalah dan „urf.
Untuk itu dalam menentukan kemaslahatan dan kemudharatan cukup dengan akal saja. Berbeda dengan pandangan jumur ulama‟, bahwa kemaslahatan dan kemudharatan memang dapat dicapai dengan akal, akan tetapi kemaslahatan harus mendapat dukungan dari nash atau ijma’ baik dalam segi bentuk, sifat, maupun jenisnya.
2) Maṣlahah merupakan suatu dalil yang mandiri dalam menetukan suatu hukum. Untuk itu, maṣlahah tidak membutuhkan dalil pendukung, karena maṣlahah semata-mata berdasarkan pada akal.
3) Maṣlahah berlaku hanya dalam perkara mu‟amalah dan „urf, adapun dalam masalah ibadah dan lainnya tidak termasuk
42 Imron Rosyadi, “Pemikiran Asy-Syatibi tentang Maslahah Mursalah”. Profetika Jurnal Studi Islam, Vol 14 (Juni, 2013) 83.
43 Ibid, 83.
kedalam maṣlahah, contohnya shalat subuh dua rakaat, puasa pada bulan Ramadhan.
d. Hasbi ash-Shiddieqy
Pendapat Habib Ash-Shiddieqy mengenai penetapan hukum (tasyri’) bahwa tidak ada perselisihan pada jumhur ulama‟, selama dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia yang bersifat ḍaruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Bagi Ash-Shiddieqy “Berhujjah dengan maṣlahah mursalah dan membina hukum di atasnya, merupakan suatu keharusan. Itulah yang sesuai dengan syari‟at Islam, dengan demikian hukum-hukum Islam dapat berjalan beriringan dengan suatu masa dan ini merupakan jalan yang ditempuh oleh para sahabat. Menolak maṣlahah mursalah sama seperti membekukan syari‟at Islam, sebab keragaman maṣlahah yang terus tumbuh tidak bisa didasarkan pada satu dalil tertentu.”44
4. Penerapan Maṣlahah Mursalah
Adapun beberapa penerapan maṣlahah mursalah yang dilakukan oleh para sahabat maupun ulama‟ antara lain:
a. Ketika Usman bin Affan menulis dan mengumpulkan al-Qur‟an.
Rasulullah SAW, tidak pernah memerintah maupun melakukan perkara ini, akan tetapi untuk sebuah maṣlahah yakni menjaga al- Qur‟an agar tetap terjaga dari seiring perkembangan zaman, agar
44 Hendri Herman dan Mashudi, “Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Penentuan Hukum Islam”. Jurnal Hukum Islam, Vol 4 No. 1 (Maret, 2018), 74.
tidak kehilangan kemutawatirannya sebab banyaknya hafidz yang meninggal dari generasi para sahabat.45
b. Pada saat pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama untuk menggantikan Nabi Muhammad SAW, dalam rangka memimpin ummat dan meneruskan estafet kepemimpinan dan dakwah, serta menjaga syari‟at yag dibawa oleh Nabi Muhammad. Ketika itu peran seorang pemimpin sangat dibutuhkan, untuk itu terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin merupakan suatu maṣlahat. Walaupun tidak ada anjuran maupun dalil khusus yang membenarkan atapun menyalahkannya.46
c. Adanya fatwa dari Majelis Ulama‟ Indonesia mengenai keharusan
“setifikat halal” untuk produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan lainnya. Dalam hal ini tidak ada teks naṣ yang mengajurkannya secara langsung, akan tetapi demi kemaslahatan masyarakat maka fatwa dari MUI merupakan suatu pertimbangan berdasarkan maṣlahah mursalah.47
C. Teori Hukum Adat
1. Teori Receptio In Complexu
Receptio in complexu berarti penerimaan penuh atau penerimaan lengkap. Pendiri teori ini adalah Lodewijk Williem Christian Van den Berg. Ia mengatakan bagi pemeluk agama tertentu berlaku hukum
45 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. (Jakarta: AMZAH, 2014), 321
46 Ibid.
47 Hendri Herman dan Mashudi, “Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Penentuan Hukum Islam”. Jurnal Hukum Islam, Vol 4 No. 1 (Maret, 2018), 75.
agamanya.48 Bagi umat Islam, berlaku syariat Islam sepenuhnya karena mereka telah memeluk agama Islam, meskipun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.49
2. Teori Receptie
Secara bahasa, kata resepsi berarti penerimaan atau pertemuan.
Teori tersebut membahas tentang kedudukan hukum adat dan hukum Islam di Indonesia. Hukum adat adalah penerima dan hukum Islam adalah yang diterima, dalam arti hukum Islam diterima. Oleh karena itu, hukum Islam hanya dapat diterapkan jika diterima atau masuk ke dalam hukum adat. Jadi, secara lahiriah itu tidak lagi menjadi hukum Islam, tetapi menjadi hukum adat. Teori ini didukung oleh Bertrand ter Haar kemudian dikembangkan oleh van Vollenhoven dengan membangun teori yang disebut “area hukum” dan “komunitas otonomi”.50
Teori receptie menyatakan bahwa bagi masyarakat adat pada dasarnya berlaku hukum adat. Adapun hukum Islam hanya berlaku bagi masyarakat adat jika norma-norma hukum Islam telah diterima oleh masyarakat tersebut sebagai hukum adat. Pencetus Teori Receptie itu sendiri adalah Christian Snouck Hurgronje (1857-193G).51 Jadi, dalam hal ini hukum adatlah yang menentukan adanya syariah. Dari sinilah
48 Abd. Rauf, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Hukum Islam”, Jurnal Tahkim, Vol. IX No. 1 (Juni, 2013), 30.
49 Abdullah Jarir, “Teori-Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia”, Jurnal Al- Ahkam, Vol. 14 No. 2 (Desember-Juli, 2018), 82.
50 Abd. Rauf, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Hukum Islam”, Jurnal Tahkim, Vol. IX No. 1 (Juni, 2013), 30.
51 Abdullah Jarir, “Teori-Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia”, Jurnal Al- Ahkam, Vol. 14 No. 2 (Desember-Juli, 2018), 84-85.
muncul teori penerimaan bahwa “tidak semua bagian dari hukum agama dapat diterima dalam hukum adat, hukum syariah hanya sebagian saja. Hukum adat, yaitu aspek-aspek yang sangat pribadi dari kehidupan manusia khususnya yang berkaitan erat dengan keyakinan batin; seperti hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris, dan lain-lain.52
3. Teori Receptio A Contrario
Prof. Hazairin menyebut Teori Receptie adalah “teori iblis” karena mengajak dan mengajarkan umat Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Untuk melawan teori receptie tersebut, Prof. Hazairin mencetuskan teori receptie exit. Yang menunjukkan bahwa Teori receptie harus exit (keluar) karena bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah.53
Hazairin meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia sangat berarti bagi pelaksanaan ajaran agama yang harus dianut di Indonesia. Bagi penduduk muslim harus mentaati hukum Islam, bukan karena ajaran hukum tersebut telah diterima oleh hukum adat.54
Teori receptio a contrario dikemukakan oleh Sayuti Thalib dan merupakan pengembangan dari teori receptie exit Prof. Hazairin.55 Secara bahasa teori receptio a contrario berarti penerimaan yang tidak
52 Ahmad Badrut Tamam, “Telaah Atas Teori-Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia”, Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, Vol. 1 No. 2 (Desember, 2017), 74.
53 Ibid, 76
54 Abdullah Jarir, “Teori-Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia”, Jurnal Al- Ahkam, Vol. 14 No. 2 (Desember-Juli, 2018), 87.
55 Ibid, 88.
bertentangan. Artinya, hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia adalah hukum Islam. Hukum Adat bisa berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.56
Sayuti Thalib berpendapat bahwa: 1) Bagi orang Islam berlaku hukum Islam. 2) Harus sesuai dengan keyakinan dan keinginan serta cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya. 3) Hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.57 Untuk kemudian dikenal dengan teori receptio a contrario (penerimaan yang sebaliknya).
D. Gambaran Umum Desa Gurun Tuo 1. Sejarah Singkat Desa GurunTuo
Desa Gurun Tuo merupakan sebuah kampung kecil yang dikelilingi hutan lebat, dan desa-desa tetangga yang berada disekitarnya. Menurut sejarah dan asal usul nama desa Gurun Tuo berasal dari Gurun Betuah. Gurun disini artinya bukan hamparan padang pasir atau tanah tandus yang gersang, tapi sebutan nama gurun merupakan nama sejenis tumbuhan semak atau rumput berdaun panjang sempit (seperti tumbuhan ilalang) yang banyak tumbuh dipinggir sungai. Sedangkan kata bertuah merupakan kata sifat yang menerangkan bahwa rumput gurun tersebut.58 Pengaruh dari dialek
56 Abd. Rauf, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Hukum Islam”, Jurnal Tahkim, Vol. IX No. 1 (Juni, 2013), 31.
57 Abdullah Jarir, “Teori-Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia”, Jurnal Al- Ahkam, Vol. 14 No. 2 (Desember-Juli, 2018), 88.
58 Wawancara dengan Abdullah Shoefie selaku tokoh agama sekaligus tokoh adat desa Gurun Tuo, via telepon tanggal 5 Oktober 2021.
Bahasa Jambi yang kebanyakan berakhiran huruf “O” menjadikan penyebutan desa gurun betuah menjadi gurun tuo, untuk itu sampai sekarang penyebutannya adalah desa Gurun Tuo.59
2. Lokasi Desa Gurun Tuo
Gambar: Peta Desa Gurun Tuo
Desa Gurun Tuo terletak di kecamatan Mandiangin, kabupaten Sarolangun, provinsi Jambi. Desa ini berada di kilometer 145 lintas Jambi-Sarolangun.
Desa Gurun Tuo terletak di pinggiran sungai Tembesi, anak sungai Batang Hari, yang merupakan salah satu iconic dari provinsi Jambi.
Desa ini pun dulunya bukan lah sebuah desa yang berada dipinggir jalan raya seperti desa-desa lain, pada umumnya di kabupaten
59 Ibid.
Sarolangun. Itu berarti, desa Gurun Tuo tidak bisa di akses dengan kendaraan bermobil. Namun setelah kependudukan melesat, masyarakat desa Gurun Tuo mulai bermukim di seberang sungai, ke arah Jalan Raya. Bertujuan agar mempermudah akses, baik dalam hal ekonomi maupun sosial. Terdapat jembatan gantung yang diberikan oleh pemerintah sebagai satu-satunya akses masyarakat untuk menghunbungkan antar desa yang berada di tepi Jalan Raya, dengan desa yang berada diseberang Sungai Tembesi.60
3. Keadaan Sosial a. Kependudukan
Pembangunan kualitas manusia merupakan perhatian yang harus dijaga, sebab sumber daya manusia berperan penting bagi subjek dan objek pembangunan yang mencangkup seluruh siklus kehidupan manusia. Berdasarkan data yang diambil dari dokumen Desa Gurun Tuo, tahun 2021. Keadaan Sumber Daya Manusia saat ini cukup baik dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Desa Gurun Tuo yang berada di sisi sungai Tembesi (bukan di sisi jalan raya) mempunyai 4 (empat) dusun, masing-masing:
Dusun 1: 63 Kepala keluarga.
Dusun 2: 66 Kepala keluarga.
Dusun 3: 62 Kepala keluarga.
Dusun 4: 82 Kepala keluarga.
60 Wawancara dengan Fawwaz Alexander selaku kepala desa Gurun Tuo, via telepon tanggal 8 Oktober 2021.
SAD (suku anak dalam), memiliki 37 Kepala keluarga
dan di masukkan kedalam dusun 1 (satu).61
Apabila dikalkulasikan jumlah jiwa dari setiap dusun yang ada di desa Gurun Tuo saat ini, termasuk warga SAD (suku anak dalam), maka masyarakat Gurun Tuo berjumlah 1071 jiwa.
b. Kehidupan Bermasyarakat
Masyarakat yang hidup di desa Guru Tuo semuanya bersuku melayu, dan menganut agama Islam. Hanya beberapa kepala keluarga saja yang bersuku jawa, dan mereka pun bukan termasuk pribumi desa Gurun Tuo. Pribumi yang penulis maksud adalah mereka yang lahir di atas tanah Gurun Tuo, dan bukan bersuku jawa, atau suku apapun selain suku Melayu Jambi.
Keluarga yang bersuku jawa di desa Gurun Tuo pada mulanya mereka yang lahir di tanah jawa, lalu setelah dewasa mereka bertranmigrasi atau merantau dikarenakan oleh suatu alasan tertentu sehingga mengharuskan mereka menegakkan pemukiman, dan berbaur dengan masyarakat melayu, termasuk di desa Gurun Tuo.62
Pada mulanya masyarakat desa Gurun Tuo sangat menganggap rendah mereka yang bersuku jawa ataupun sunda. Hal ini dapat dibuktikan dari penempatan tempat tinggal mereka yang
61 Wawancara dengan Muhammad Muslim selaku perangkat desa Gurun Tuo, via telepon tanggal 10 Oktober 2021.
62 Wawancara dengan Muhammad Mun‟im selaku tokoh adat desa Gurun Tuo, via telepon tanggal 11 Oktober 2021.
bersuku selain melayu (jawa/sunda), akan di tempatkan di ujung desa, seakan-akan mereka diasingkan dan mendapat diskriminasi oleh suku pribumi. Mereka selaku pribumi beranggapan bahwa mereka sebagai tuan rumah, sehingga banyak pekerjaan-pekerjan rendah yang mereka perkerjakan kepada mereka yang bersuku jawa.63
Mereka pribumi pada mulanya sangat menjaga jarak, dan membatasi sosialisasi dengan mereka yang bersuku jawa ataupun sunda. Namun, setelah sekian lama, baik suku melayu sebagai pribumi maupun masyarakat yang bersuku jawa/sunda sudah tidak ada lagi perbedaan dalam sosial.
Penempatan tempat tinggal pun sudah tidak dibeda-bedakan lagi. Bahkan kelangsungan pernikahan antara suku melayu dan suku jawa/sunda pun sudah menjadi hal yang lumrah di desa Gurun Tuo, sekarang ini. Namun untuk norma-norma dan aturan adat yang berlaku, tentunya semua masyarakat disana masih berpegang dengan tradisi dan Adat Melayu yang telah mendarah daging semenjak dahulu. Sekalipun yang melangsungkan pernikahan tersebut adalah orang yang sama-sama bersuku jawa (bukan melayu), mereka harus ikut konsep, adat, dan tatacara pernikahan
63 Ibid.
adat melayu yang sudah di pegang oleh semua masyarakat desa Gurun Tuo.64
c. Kehidupan Beragama
Desa ini adalah desa yang kuat pemahaman Ilmu Islam.
Pada akhir abad 18, dan awal abad 19, banyak penduduk desa Gurun Tuo yang pergi berlajar keislaman ke Makkah, ataupun Mesir, dan kebiasaan ini masih berlanjut di masa sekarang ini.
Masyarakat desa Gurun Tuo, dulunya bukan lah masyarakat yang menganut faham tertentu, atau ikut organisasi tertentu dalam hal keagamaan. Masyarakat Gurun Tuo merupakan masyarakat bebas madzhab, mereka mengikuti ajaran yang di ajarkan kepada mereka dari bapak, ataupun kakek-kakek mereka yang berlajar di tanah suci.65
Mayoritas penduduk Desa Gurun Tuo merupakan pemeluk Agama Islam, hanya sebagian kecil, atau beberapa kepala keluarga saja yang beragama Kristen, khususnya Suku Anak Dalam, yang berada di pedalaman hutan, desa Gurun Tuo. 66
d. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan guna memajukan kesejahteraan umat. Berdasarkan data dokumentasi Desa Gurun Tuo pada Tahun 2019, sejumlah 434
64 Ibid.
65 Wawancara dengan Abdullah Shoefie selaku tokoh agama sekaligus tokoh adat desa Gurun Tuo, via telepon tanggal 5 Oktober 2021.
66 Ibid.
penduduk tamatan Sekolah Dasar, 280 tamat Sekolah Menengah Pertama, 197 tamat Sekolah Menengah Atas, sejumlah 43 penduduk saat ini sedang menempuh Sarjana, dan 77 penduduk tidak bersekolah.67
Kendala utama masyarakat Gurun Tuo dalam meneruskan pendidikan, tidak lain hanyalah faktor ekonomi. Hal ini dikarenakan, mayoritas masyarakat Gurun Tuo, hanyalah petani karet biasa, petani kelapa sawit, atau buruh pabrik. Pendapatan masyarakat hanya untuk hidup seadanya, oleh karen itu tidak memungkinkan mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang Universitas. Namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang hidup menengah ke atas. 68
67 Wawancara dengan Muhammad Muslim selaku perangkat desa Gurun Tuo, via telepon tanggal 11 Oktober 2021.
68 Ibid.