• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji efek antiinflamasi analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) pada mencit putih betina galur Swiss.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji efek antiinflamasi analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) pada mencit putih betina galur Swiss."

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

xi

INTISARI

Buah belimbing (Arverrhoa carambola L.) dikenal karena bentuk bintangya yang unik dan dapat digunakan sebagai obat tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran khasiat jus buah belimbing sebagai obat antiinflamasi dan analgesik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subyek uji yang digunakan adalah mencit putih betina galurSwiss, berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram.

Obyek uji dalam penelitian ini adalah jus buah belimbing yang terbagi dalam 3 peringkat dosis, yaitu 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB. Penelitian pertama merupakan penelitian daya antiinflamasi dengan menggunakan karagenin sebagai penginduksi edema pada telapak kaki mencit dan diklofenak 4,48 mg/kg BB sebagai kontol positifnya. Penelitian kedua merupakan penelitian daya analgesik mengunakan metode geliat, dengan asam asetat sebagai pengiduksi geliat dan parasetamol 91 mg/kg BB sebagai kontrol positif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus buah belimbing dosis 3,34 dan 6,67 g/kg BB terbukti memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Daya antiinflamasi jus buah belimbing dosis 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB berturut-turut adalah 22,91%; 54,58%; dan 36,06%; sedangkan daya analgetikanya sebesar 3,24%; 70,27%; dan 56,76%. Dosis optimal jus buah belimbing yang berkhasiat sebagai antiinflamasi maupun analgesik yaitu dosis 3,34 g/kg BB.

(2)

xii

ABSTRACT

Starfruit (Averrhoa carambola L.) is known for its uniqueness star shape and can be used as traditional medicine. This study aims to prove that starfruit juice really has anti-inflammatory and analgesic effect. This is a pure experimental research with one-way pattern, random and complete research design. The subject of this study was Swiss white female mice which ranging age are 2-3 months and its weight between 20-30 g.

The object of this study was star fruit juice which doses are divided into 3 groups, 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW. The anti-inflammatory test using carrageenin-induced edema in hind paw of the mice assay and diclofenac 4,48 mg/kg BW as positive control was performed first. Then the study continued with analgesic assay using writhing test, acetic acid as the writhing inducer and acetaminophen 91 mg/kg BW as the positive control.

The result shows that the star fruit juice at the dose 3,34 and 6,67 g/kg BW has anti-inflammatory and analgesic effect. The anti-inflammatory potency of the star fruit juice at the dose 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW were 22,91%; 54,58% and 36,06%; the analgesic potency were 3,24%; 70,27%; and 56,76%, respectively. The optimal dose of star fruit juice to get both anti-inflammatory and analgesic effect is 3,34 g/kg BW.

(3)

(Averrhoa carambolaL.) PADA MENCIT PUTIH BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Dewi Susanti

NIM: 068114126

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

ii

UJI EFEK ANTIINFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH BELIMBING (Averrhoa carambolaL.) PADA MENCIT PUTIH BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Dewi Susanti NIM: 068114126

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)
(6)
(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tuhanku,,

Engkau yang selalu berbicara padaku ketika aku kesepian Memberikanku dukungan ketika aku dirundung kecemasan

Mendengarkan suaraku saat aku jatuh

Engkau yang sudi menjadi penghiburan bagiku dalam perjalanan, Tempat berteduh di waktu hujan,

Tempat bernaung di kala panas, Tongkat penuntun dalam kelelahan,

Dan penolong dalam bahaya Engkau yang membuatku berhasil

Mencapai tujuanku, Sekarang, dan juga nanti

Pada akhir hidupku

Tulisan ini saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus,

walaupun karya ini terlalu kecil untuk sebuah ungkapan syukur,

Mama dan Papa, yang telah melahirkan, mendidik, dan mengasihi saya

selalu,

Kakak saya tercinta Yuli Suprihatini, yang tidak pernah berhenti menyayangi

dan mengajari saya arti berjuang yang sesungguhnya,

Ayis Suti Wibowo dan Anjar Murtiningsih, kakak kandung sekaligus pengganti

orangtua bagi saya

(8)
(9)

vii

PRAKATA

Rasa syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, sebab atas segala anugerah dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Efek Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Belimbing (Averhoa carambolaL.) Pada Mencit Putih Betina Galur Swiss”, dengan baik.

Dari awal proses penyusunan proposal skripsi, pelaksanaan penelitian sampai pada tahap penulisan skripsi, banyak hambatan dan kedala yang terjadi. Namun, berkat adanya dukungan, doa, bantuan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak, semua bisa terselaikan dengan baik. Sehingga pada kesempatan ini, dengan segenap hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rita Suhadi, MSi., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukkan, dan saran selama penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan

masukkan, saran, dan kritik yang membangun, serta berbagai referensi buku dan jurnal.

4. Ibu Phebe Hendra, Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukkan, saran, dan kritik yang membangun.

(10)

viii

6. Mama, Papa, dan Ci Yuli di Surga, yang selalu menjadi motivasi penulis untuk memberikan yang terbaik.

7. Kakak saya, Ayis Suti Wibowo, atas kasih sayang, pengorbanan, motivasi yang selalu menguatkan, dan selalu ada baik dalam keadaan bahagia maupun di saat paling buruk dalam hidup penulis.

8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Farmasi yang telah berbagi pengetahuan.

9. Fakultas Teknik Mekatronika Universitas Sanata Dharma yang telah bersedia memberikan pinjaman alat berupa Jangka Sorong untuk penelitian ini.

10. Mas Parjiman, Mas Heru, dan Mas Kayat, selaku laboran yang banyak membantu proses penelitian.

11. Keluarga saya terkasih di Purworejo, Bulek Sutarni, Lek Madi, Budhe Legiem, Bayu, Bela, Erlin, Mas Ripto. Juga seluruh keluarga di Jakarta, Bogor, Bandung,love you all!

12. Keluarga Purnomo, Om Cipto, Tante Yana, Ci Yoana, Kak Ino, Ezer, Edo. Serta keluarga Meilina D. Pattikawa dan Patrick Gunawan Hartono, atas segala ketulusan hati menjadikan penulis selayaknya keluarga.

13. Rekan penelitian ini, Tanti, Jeffry, dan Ricky, Gun, Felix, untuk tenaga, waktu, dan pikiran yang secara tulus diberikan.

(11)

ix

In, Dek Adrian, Mbak Indira, Dek Ardo, Mbak Nunung, Bu Yeti untuk kehangatan sebuah keluarga.

15. Keluarga Su (baik), Cita, Krisna, Ginji, dan Fea, atas persahabatan yang unik dan indah.

16. Para sahabat, Della, Esti, Helen, Mike, Devita, Rere, Lita, Grace, Wiwit, Ciput, Henny, Riri, Jati, Sammy, atas dukungan dan semangat yang diberikan. Ryan, atas pinjamanblender-nya. Dan seluruh teman-teman angkatan 2006. 17. Reynold Steve McWhiter and all his family there,thanks for the love and care

you gave to me.

18. Semua teman dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga Tuhan selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya, atas segala kebaikan dan jasa yang telah diberikan.

(12)
(13)

xi

INTISARI

Buah belimbing (Arverrhoa carambola L.) dikenal karena bentuk bintangya yang unik dan dapat digunakan sebagai obat tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran khasiat jus buah belimbing sebagai obat antiinflamasi dan analgesik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subyek uji yang digunakan adalah mencit putih betina galurSwiss, berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram.

Obyek uji dalam penelitian ini adalah jus buah belimbing yang terbagi dalam 3 peringkat dosis, yaitu 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB. Penelitian pertama merupakan penelitian daya antiinflamasi dengan menggunakan karagenin sebagai penginduksi edema pada telapak kaki mencit dan diklofenak 4,48 mg/kg BB sebagai kontol positifnya. Penelitian kedua merupakan penelitian daya analgesik mengunakan metode geliat, dengan asam asetat sebagai pengiduksi geliat dan parasetamol 91 mg/kg BB sebagai kontrol positif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus buah belimbing dosis 3,34 dan 6,67 g/kg BB terbukti memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Daya antiinflamasi jus buah belimbing dosis 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB berturut-turut adalah 22,91%; 54,58%; dan 36,06%; sedangkan daya analgetikanya sebesar 3,24%; 70,27%; dan 56,76%. Dosis optimal jus buah belimbing yang berkhasiat sebagai antiinflamasi maupun analgesik yaitu dosis 3,34 g/kg BB.

(14)

xii

ABSTRACT

Starfruit (Averrhoa carambola L.) is known for its uniqueness star shape and can be used as traditional medicine. This study aims to prove that starfruit juice really has anti-inflammatory and analgesic effect. This is a pure experimental research with one-way pattern, random and complete research design. The subject of this study was Swiss white female mice which ranging age are 2-3 months and its weight between 20-30 g.

The object of this study was star fruit juice which doses are divided into 3 groups, 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW. The anti-inflammatory test using carrageenin-induced edema in hind paw of the mice assay and diclofenac 4,48 mg/kg BW as positive control was performed first. Then the study continued with analgesic assay using writhing test, acetic acid as the writhing inducer and acetaminophen 91 mg/kg BW as the positive control.

The result shows that the star fruit juice at the dose 3,34 and 6,67 g/kg BW has anti-inflammatory and analgesic effect. The anti-inflammatory potency of the star fruit juice at the dose 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW were 22,91%; 54,58% and 36,06%; the analgesic potency were 3,24%; 70,27%; and 56,76%, respectively. The optimal dose of star fruit juice to get both anti-inflammatory and analgesic effect is 3,34 g/kg BW.

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... …iii

HALAMAN PENGESAHAN……….iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………...v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….vi

PRAKATA………..vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..x

INTISARI……….xi

ABSTRACT………....xii

DAFTAR ISI………..xiii

DAFTAR GAMBAR...xviii

DAFTAR LAMPIRAN………...xx

BAB I PENGANTAR………...…1

A. Latar Belakang... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 7

B. Tujuan Penelitian... 7

(16)

xiv

2. Tujuan khusus... 7

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA………..9

A. Belimbing ... 9

1. Sistematika ... 9

2. Kandungan kimia ... 9

3. Kegunaan... 9

4. Morfologi tanaman ... 10

B. Flavonoid ... 10

C. Peradangan ... 11

1. Pengertian peradangan ... 11

2. Terjadinya radang... 12

3. Tanda-tanda peradangan... 16

D. Nyeri ... 18

1. Pengertian nyeri... 18

2. Terjadinya nyeri ... 19

3. Jenis nyeri... 22

E. Antiinflamasi ... 23

F. Diklofenak ... 24

G. Analgetika... 25

(17)

xv

I. Metode Pengujian Daya Antiinflamasi ... 28

J. Metode Pengujian Daya Analgetika ... 30

K. Landasan Teori ... 37

L. Hipotesis ... 38

BAB III METODE PENELITIAN……….39

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 39

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 39

1. Variabel utama ... 39

2. Variabel Pengacau ... 39

3. Definisi Operasional... 40

C. Bahan Penelitian... 41

D. Alat Penelitian ... 42

E. Tata Cara Penelitian ... 42

1. Penelitian efek antiinflamasi ... 42

2. Penelitian efek analgesik ... 48

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………...55

A. Determinasi Tanaman... 55

B. Penelitian Efek dan Daya Antiinflamasi ... 55

(18)

xvi

2. Efek dan Daya Antiinflamasi Jus Buah Belimbing... 62

C. Penelitian Efek dan Daya Analgesik Jus Buah Belimbing... 75

1. Uji Pendahuluan ... 75

2. Efek dan Daya Analgesik Jus Buah Belimbing... 81

D. Perbandingan Hasil Uji Daya Antiinflamasi dan Analgesik ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...93

A. Kesimpulan... 93

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA……… 94

LAMPIRAN………... 97

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

(21)

xix

Gambar 13. Pembentukan prostaglandin melalui adisi karbon 9 dan 11 oleh radikal

superoksid ... 72

Gambar 14. Reaksi penangkapan radikal hidroksil oleh katekin... 73

Gambar 15. Hasil penetapan dosis efektif asam asetat ... 76

Gambar 16. Hasil orientasi dosis efektif parasetamol ... 78

Gambar 17. Hasil orientasi selang waktu pemberian asam asetat ... 80

Gambar 18. Diagram rata-rata % perubahan penghambatan geliat terhadap kontrol positif ... 86

Gambar 19. Grafik profil geliat kelompok perlakuan jus buah belimbing dan parasetamol ... 88

(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

(23)

xxi

Lampiran 14. Data penetapan dosis asam asetat dan analisis statistiknya... 119 Lampiran 15. Data penetapan dosis efektif parasetamol dan analisis statistiknya ... 121 Lampiran 16. Data penetapan rentang waktu pemberian rangsang geliat ... 124 Lampiran 17. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik beserta analisis statistiknya………127 Lampiran 18. Data % penghambatan geliat terhadap kontrol negatif pada uji analgesik

(24)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Peradangan merupakan reaksi kompleks dalam jaringan yang melibatkan respon pembuluh darah dan leukosit. Peradangan mungkin menjadi berbahaya dalam beberapa situasi. Mekanisme peradangan untuk menghancurkan penginvasi dan jaringan nekrosis memiliki kemampuan intrinsik untuk merusak jaringan normal. Ketika peradangan tidak tepat sasaran dan merusak jaringan itu sendiri atau peradangan tidak terkontrol dengan baik, maka hal ini bisa menjadi penyebab kerusakan dan penyakit (Kumar, Abbas, Fausto, dan Aster, 2010).

(25)

Ketika terjadi kerusakan jaringan, dan adanya pelepasan prostaglandin, neuropeptida, dan sitokin, salah satu simpton lokal peradangan adalah nyeri (dolor) (Kumar dkk., 2010).

Nyeri merupakan pengalaman subyektif, yang sulit untuk dideskripsikan secara pasti, meskipun kita semua tahu apa yang dimaksud dengan nyeri (Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2007). Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya. Pada beberapa penyakit, misalnya pada tumor ganas dalam fase akhir, meringankan nyeri kadang-kadang merupakan satu-satunya tindakan yang berharga (Mutschler, 1986).

(26)

Beberapa senyawa alam yang terdapat dalam tumbuhan memiliki aktivitas sebagai penghambat radikal bebas atau secara luas dikenal sebagai senyawa antioksidan. Salah satu tanaman yang memiliki kandungan senyawa antioksidan adalah belimbing(Averrhoa carambolaL.) yang merupakan suku oksalidaceae. Buah belimbing, memiliki kandungan polifenol dan asam askorbat yang diketahui sebagai antioksidan (Wakte, Patil, Patil, dan Phatak, 2007). Hal ini dikuatkan dengan hasil penelitian (Sari, 2008) yang menyatakan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing (Averrhoa carambola L.) memiliki aktivitas antioksidan yang ditunjukkan oleh nilai IC50 sebesar 28,82 ± 0,04 µg/mL, sehingga digolongkan sebagai antioksidan kuat, karena nilai IC50 kurang dari 200 µg/mL. Selain itu, sebelumnya juga pernah dilakukan pengujian beberapa efek farmakologi buah Averrhoa carambolaLinn pada hewan percobaan, yang salah satunya menunjukkan adanya efek analgesik sari buah pada dosis 2,5; 5; dan 10 ml/kg BB (Rianti, Padmawinata, dan Andreanus, 1978).

Berdasarkan pada uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ada tidaknya efek antiinflamasi dan analgesik pada jus buah belimbing manis. Dalam penelitian ini digunakan jus, bukan sari, karena di masyarakat jus lebih terjangkau dibandingkan sari, karena dalam pembuatan sari dibutuhkan alatjuice extractor, yang cukup mahal.

(27)

digunakan metode geliat, karena metode ini dapat mendeteksi baik analgesik sentral maupun perifer. Metode ini juga telah banyak digunakan dan direkomendasikan sebagai suatu metode skrining yang cukup sederhana (Vogel, 2002).

1. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang muncul dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) mempunyai efek antiinflamasi dan atau analgesik?

b. Seberapa besar daya antiinflamasi dan atau analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambolaL.)?

2. Keaslian penelitian

Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti dan sejauh pengetahuan peneliti, penelitian tentang efek antiinflamasi dan analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan yaitu:

(28)

buah segar) hanya menunjukkan efek hipoglikemik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah pada penelitian ini digunakan sari buah belimbing, sedangkan penulis menggunakan jus buah. Selain itu, dosis yang digunakan penulis juga tidak sama dengan penelitian sebelumnya.

b. Daya Antioksidan Ekstrak Etanol 96% Buah Belimbing(Averrhoa carambola L.) dengan metode 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) (Sari, 2008), dan disimpulkan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing memiliki aktivitas antioksidan yang ditunjukkan oleh nilai IC50 sebesar 28,82 ± 0,04 µg/mL, sehingga digolongkan sebagai antioksidan kuat, karena nilai IC50kurang dari 200 µg/mL. Kandungan senyawa yang bertanggung jawab sebagai antioksidan adalah polifenol dan vitamin C.

c. Antioxidant and Antimicrobial Activities of Averrhoa carrambola L. Fruit (Wakte dkk., 2007), dan disimpulkan bahwa daya antioksidan ekstrak Averrhoa carambola L. bergantung pada konsentrasi dan tingkat kematangan buah. Nilai IC50muda, setengah masak, dan masak secara berurutan 300, 250, dan 250 µg/mL.

(29)

dan C-4’. Identifikasi dengan spektrofotometer inframerah diduga bahwa isolat flavonoid mengandung gugus OH, C-H aromatik, C-H alifatik, C=C aromatik, C-O alkohol dan tidak adanya gugus C=O. Dan fraksi tersebut diduga dapat menghambat bakteri gram positif dan gram negatif mulai dari konsentrasi 500 ppm dan 100 ppm.

(30)

3. Manfaat penelitian

Dengan adanya penelitian tentang daya antiinflamasi dan analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) diharapkan akan diperoleh manfaat sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi terutama dalam bidang ilmu kefarmasian mengenai khasiat buah belimbing (Averrhoa carambolaL.) sebagai antiinflamasi dan analgesik.

b. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam penyediaan obat tradisional sebagai alternatif dalam mengurangi peradangan dan rasa nyeri.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai khasiat jus buah belimbing terutama yang digunakan sebagai antiinflamasi dan pengurang rasa nyeri.

2. Tujuan khusus

(31)
(32)

9

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Belimbing

1. Sistematika

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Gymnospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Geranilases Famili : Oxalidaceae Genus : Averrhoa

Spesies :Averrhoa carambolaL. (Lawrence, 1951)

2. Kandungan kimia

Buah belimbing mengandung asam oksalat (0,03% dari berat buah segar), vitamin C (0,05% dari berat buah segar), monopolisakarida, karotenoid (Heber, 2007), serta katekin (Sukadana, 2009).

3. Kegunaan

(33)

4. Morfologi tanaman

Merupakan tanaman berbatang kayu yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5 meter. Bentuk daunnya berubah-ubah dan memiliki panjang 10-12 cm. bunganya berwarna keunguan, yang tumbuh pada cabang tanaman. Bentuk bunga radial dan strukturnya bersusun lima. Buahnya merupakan buah berair, panjangnya mendekati 10 cm, dan tersusun dari lima sisi dan bentuknya menyerupai bintang jika diiris secara melintang. Jika masak akan berwarna kuning tua (Heber, 2007).

B. Flavonoid

O

OH OH

HO

OH OH

Gambar 1. Struktur katekin

(Strobel, Allard, Perez-Acle, Calderon, Aldunate, dan Leighton, 2005)

(34)

Flavonoid dikenal sebagai kelator transisi logam; sebagian besar uji inhibisi lipid peroksidasi mengukur kombinasi aktivitas pengkelat transisi logam (biasanya besi) dan penangkapan radikal bebas. Flavonoid memiliki elemen struktur kimia yang mungkin bertanggung jawab atas aktivitas antioksidan. Penelitian terkini oleh Dr. Van Acker dan koleganya di Belanda menunjukkan bahwa flavonoid dapat menggantikan vitamin E sebagai chain-breaking anti-oxidant di dalam membran mikrosomal liver. Peran flavonoid sebagai antioksidan dalam sistem pertahanan tubuh bisa didapatkan dengan komsumsi flavonoid 50-800 mg perhari. Kapasitas flavonoid sebagai antioksidan bergantung pada struktur molekulnya. Posisi dari gugus hidroksil dan rantai lain dalam stuktur kimia flavonoid penting untuk aktivitas antioksidan dan penangkapan radikal bebas (Watson, 2001; Buhler and Miranda, 2000).

C. Peradangan

1. Pengertian peradangan

(35)

2. Terjadinya radang

Inflamasi akut merupakan respon cepat tubuh dengan mengirim leukosit dan protein plasma, seperti antibodi, menuju ke daerah infeksi atau kerusakan jaringan. Inflamasi akut memiliki 3 komponen utama: (1) perubahan dalam kemampuan vaskuler yang menyebabkan meningkatnya kecepatan alir darah, (2) perubahan struktural dalam mikrovaskuler yang memungkinkan protein plasma dan leukosit dari sirkulasi mikro, terakumulasi di daerah yang rusak, dan terkaktivasinya kedua komponen tersebut berfungsi untuk mengeliminiasi agen penyebab kerusakan (Kumar dkk., 2010).

(36)

produksi beberapa mediator inflamasi, pada umumnya bradikinin, yang berhubungan dengan kejadian seluler. Sel yang terkait dengan inflamasi, beberapa (sel endotelial vaskuler, sel mast, dan makrofag jaringan) normalnya berada di jaringan ketika platelet dan leukosit meningkatkan akses ke area inflamasi (Rang dkk., 2007).

Gambar 2. Diagram ringkas dari pembentukkan mediator inflamasi yang berasal dari fosfolipid dengan garis besar aksinya dan tempat aksi obat

antiinflamasi (Rang dkk., 2007).

(37)

Langkah awal dan batas kecepatan sintesis eicosanoid bergantung pada pembebasan asam arakidonat, baik dengan satu tahap (dengan bantuan fosfolipase A2) maupun dua tahap (dengan bantuan IP, inositol, fosfat, DAG, diasilgliserol). Tetapi, fosfolipase A2 (PLA2) memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan asam arakidonat intraseluler (gambar 2). Berbagai stimulan dapat membebaskan asam arakidonat, tergantung pada tipe sel. Kerusakan sel umumnya juga memicu proses pembebasan asam arakidonat.

Asam arakidonat dimetabolisme melalui beberapa cara (gambar 2), yaitu: 1. oleh enzim siklooksigenase (COX) yang terdiri dari dari dua bentuk, COX-1dan

COX-2. Enzim ini mengawali biosintesis prostaglandin dan tromboksan.

2. oleh lipoksigenase yang mengawali sintesis leukotrien, lipoksin dan komponen lain (Rang dkk., 2007).

Radikal bebas oksigen akan terlepas secara ekstraseluler dari leukosit setelah adanya pemaparan mikrobia, kemotaksin, dan kompleks imun, atau mengikuti tantangan fagositik. Produksi radikal bebas oksigen bergantung pada aktivasi sistem oksidasi NADPH. Anion superoksida, hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil, merupakan spesies utama yang diproduksi oleh sel, dan anion superoksida dapat berinteraksi dengan NO untuk membentuk spesies nitrogen reaktif (Kumar dkk., 2010).

(38)

penelitian oleh Babior pada tahun 1987, menunjukkan bahwa neutrofil yang teraktivasi juga memproduksi radikal oksigen superoksida (O. ).Superoksida dapat menghasilkan hidrogen peroksida dengan serangkaian reaksi (1):

2O. + 2H+→H2O2+ O2 (1)

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwaO. dan H2O2juga dihasilkan pada aktivasi sel fagosit lain, meliputi monosit, makrofag, dan eusinofil. H2O2 dapat dengan mudah terpenetrasi ke membran sel, sedangkan O. tidak bisa. Kemudian dengan adanya keberadaan ion dari transisi logam yang sesuai (biasanya besi), H2O2 dapat berinteraksi dengan reduksi ion besi sehingga membentuk spesies oksidasi tinggi, yang paling penting adalah radikal hidroksil (.OH) yang menuju peroksidasi lipid.

Fe2++ H2O2→ kompleks intermediet → Fe3++.OH + OH- (2) Reaksi (2) dapat terjadi secara ekstraseluler jika medium di sekitar fagosit yang teraktivasi mengandung ion besi. Derivat fagosit O. dimungkinkan berperan dalam mengatur ion besi ke dalam bentuk reduksi:

(39)

terpenetrasi ke dalam sel dan bereaksi dengan ion besi untuk membentuk .OH (Halliwell, Hoult, and Blake, 1988).

3. Tanda-tanda peradangan

Peradangan akut adalah respon langsung dari tubuh terhadap cidera atau kematian sel. Tanda-tanda pokok peradangan menurut Price dan Wilson (1995), mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), tumor (pembengkakan), dolor (nyeri), danfungsio laesa(perubahan fungsi).

a. Rubor

Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Pada waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai darah pada daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau terisi sebagian saja, meregang dengan cepat sehingga menjadi terisi penuh dengan darah. Keadaan tersebut dinamakan hyperimia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamin.

b. Kalor

(40)

hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37oC, yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah (pada suhu 37oC) yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang mengalami peradangan, lebih banyak daripada yang disalurkan ke daerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah perdangan yang terjadi pada organ dalam, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu 37oC, dan hyperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.

c. Tumor

Segi paling mencolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkakan lokal. Pembengkakan ditimbulkan oleh adanya migrasi cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada awal peradangan, sebagian besar isi dari eksudat adalah cairan plasma, tetapi kemudian sel-sel darah putih akan meninggalkan aliran darah kemudian tertimbun sebagai bagian dari eksudat.

d. Dolor

(41)

Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.

e. Fungsio laesa

Fungsio laesa adalah salah satu reaksi peradangan yang terlihat mudah untuk dimengerti, mengapa bagian yang bengkak terasa nyeri dan berfungsi secara abnormal. Namun, sebetulnya tidak diketahui secara mendalam bagaimana mekanisme terganggunya fungsi jaringan oleh adanya peradangan (Price dan Wilson, 1995).

D. Nyeri

1. Pengertian nyeri

Nyeri merupakan pengalaman subyektif, yang sulit untuk dideskripsikan secara pasti, meskipun kita semua tahu apa yang dimaksud dengan nyeri. Secara khusus, nyeri merujuk pada sebuah respon yang ditujukan pada kejadian yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti luka, inflamasi atau kanker, tetapi nyeri yang hebat dapat muncul tersendiri oleh sebab yang tidak pasti (misal: neuralgia trigeminal), atau tetap bertahan lama setelah sembuhnya luka. Nyeri juga dapat muncul sebagai akibat dari adanya kerusakan otak atau saraf (misal: pasca stroke atau infeksi herpes) (Rang dkk., 2007).

(42)

kecacatan dan stress; secara umum hal itu memiliki respon yang kurang baik terhadap obat analgesik konvensional dibanding dengan menghilangkan penyebab langsung. Pada kasus ini, kita perlu memikirkan itilah nyeri dalam konteks kelainan fungsi saraf, dibandingkan pada schizophrenia atau epilepsi, lebih dari sekedar respon normal terhadap luka pada jaringan. Namun demikian, diperlukan pembedaan dua komponen, salah satu atau keduanya yang terlibat dalam keadaan nyeri patologis: (i) saraf aferen nosiseptot perifer, yang teraktivasi oleh rangsang noksius; (ii) mekanisme sentral oleh adanya input aferen yang menghasilkan sensasi nyeri (Rang dkk., 2007).

2. Terjadinya nyeri

Menurut Raja dkk., 1999; Cesare & McNaughton, 1997; Julius & Basbaum, 2001 (cit., Rang dkk., 2007), pada kondisi normal, nyeri dihubungkan pada aktivitas elektrik dalam diameter kecil pada serat utama aferen saraf perifer. Saraf ini memiliki sensor ujung di jaringan perifer dan dapat teraktivasi oleh berbagai macam rangsang (mekanik, termal, kimia).

(43)

kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8g/L) terbukti sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri terhadap zat nyeri lain, sehingga senyawa ini bersama-sama dengan senyawa yang dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak berkhasiat, dapat menimbulkan nyeri. Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri. Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri yang paling efektif dari kelompok transmitter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini adalah kinin, khususnya bradikinin, yang termasuk senyawa penyebab nyeri terkuat. Prostaglandin, yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri, mensensibilisasi reseptor nyeri dan di samping itu menjadi penentu dalam nyeri yang lama (Mutschler, 1986). Selain prostaglandin, ada juga substantsi P yang bekerja meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut saraf nyeri tetapi tidak secara langung merangsangnya (Guyton, 1986). Pembentukan prostaglandin dapat dilihat pada gambar 2.

Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya poriosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kepala. Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan (Guyton, 1986).

(44)

dorsal sumsum tulang belakang. Pada tempat kontak awal ini bertemu tidak hanya serabut aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi di sini juga terjadi refleks somatik dan vegetatif awal (misalnya menarik tangan pada waktu tangan tersentuh benda panas, terbentuknya eritema lokal) melalui interneuron. Disamping itu pada tempat ini juga terjadi pengaruh terhadap serabut aferen melaui sistem penghambatan nyeri menurun. Di bawah ini merupakan bagan proses terjadinya nyeri (gambar 3):

Rasa nyeri Lokalisasi nyeri

Reaksi

Impuls penghantaran nyeri yang meningkat Reaksi nyeri

Inhibisi nyeri endogen

Gambar 3.Terjadinya nyeri; penghantaran impuls; lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri endogen dalam bagan sederhana

(45)

3. Jenis nyeri

a. Nyeri somatik

Nyeri somatik dibagi menjadi nyeri permukaan dan nyeri dalam: 1) Nyeri permukaan

Disebut nyeri permukaan apabila rangsang bertempat dalam kulit. Mempunyai karakter ringan, dapat dilokalisasi dengan baik dan hilang cepat setelah berakhirnya rangsang.

2) Nyeri dalam

Disebut nyeri dalam apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot, persendian, tulang atau dari jaringan ikat. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya. Nyeri dalam seringkali diikuti oleh reaksi vegetatif seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah.

b. Nyeri viseral (dalaman)

(46)

E. Antiinflamasi

Obat-obat AINS merupakan obat modern yang paling luas penggunaannya. Obat AINS meliputi berbagai kelas terapi yang berbeda. Sebagian besar obat-obat tersebut memiliki tiga efek, yaitu:

1. efek antiinflamasi: memodifikasi reaksi inflamasi 2. efek analgesik: mengurangi nyeri berat jangka pendek 3. efek antipiretik: menurunkan kenaikan temperatur

Secara umum, berbagai efek tersebut berhubungan dengan aksi primer dari obat, yaitu menghambat siklooksigenase arakidonat sehingga produksi prostaglandin dan tromboksan juga terhambat. Meskipun demikian masing-masing obat memiliki mekanisme aksi yang berbeda-beda (Rang dkk., 2007).

(47)

penghambatan COX (misalnya sulindac), dalam mengurangi kerusakan jaringan (Rang dkk., 2007).

Obat antiinflamasi dapat mempengaruhi kerusakan oksidan dengan berbagai cara, yaitu: (1) menghambat langsung oksidan reaktif seperti radikal hidroksil (.OH) dan asam hipoklorid (HOCl), (2) menghambat produksi oksidan (O.) oleh neutrofil, monosit, dan makrofag sehingga mengurangi pembentukan H2O2yang mengakibatka .

OH ikut terhambat (Halliwell dkk., 1988).

Obat AINS juga efektif melawan nyeri yang berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan karena dapat mengurangi produksi prostaglandin yang berfungsi mensensitisasi nosiseptor inflamasi seperti bradikinin (Rang dkk., 2007).

F. Diklofenak

CH2CO2H Cl

Cl

Gambar 4. Struktur diklofenak (Dollery, 1999)

(48)

antara 30-70% karena metabolisme lintas pertama. Obat ini memiliki waktu-paruh 1-2 jam. Seperti flurbiprofen, ia menumpuk di dalam cairan sinovial, dengan waktu-paruh 2-6 jam dalam kompartemen ini. Metabolisme berlangsung dengan CYP3A4 dan CYP2C9 menjadi metabolit tidak aktif. Klirens empedu bisa mencapai 30% dari klirens total (Shearn, 2002).

Diklofenak merupakan obat AINS yang poten. Diklofenak menghambat aktivitas siklooksigenase sehingga produksi prostaglandin di jaringan berkurang. Diklofenak digunakan secara luas untuk pengobatan rheumatoid arthritis dan ostheoarthritis. Pada mencit, kadar diklofenak tertinggi ditemukan pada hati, empedu, dan ginjal (Dollery, 1999).

G. Analgetika

(49)

1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostagladin dengan analgetika yang bekerja di perifer,

2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,

3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut sensorik dengan anestetika konduksi,

4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat dengan analgetika yang bekerja pada pusat atau obat narkosis,

5. mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (trankuilansia, neuroleptika, antidepresiva) (Mutschler, 1986).

Psikofarmaka Anestetika,

Analgetika yang bekerja sentral

Saraf Anestetika konduksi

Reseptor nyeri Anestetika permukaan

Analgesik yang bekerja perifer

Gambar 5. Bagan kemungkinan pengaruh macam-macam obat terhadap nyeri (menurut Keldel)

(Mutschler, 1986).

Otak

(50)

H. Parasetamol

NHCOCH3

HO

Gambar 6. Struktur parasetamol (Anonim, 1995)

Parasetamol memiliki pemerian berupa serbuk hablur berwarna putih, tidak berbau dan berasa sedikit pahit. Parasetamol larut dalam air mendidih, dalam natrium hidroksida 1 N, dan mudah larut dalam etanol (Anonim, 1995).

Asetaminofen atau parasetamol adalah metabolit aktif dari fenasetin yang bertanggung jawab akan efek analgesiknya. Parasetamol diberikan secara oral dan penyerapannya dipengaruhi oleh tingkat pengosongan perut (Shearn, 2002).

Parasetamol tidak memiliki efek antiinflamasi yang signifikan, tetapi digunakan secara luas sebagai analgesik ringan untuk nyeri yang tidak disertai peradangan. Parasetamol diabsorbsi dengan baik secara peroral dan tidak menyebabkan iritasi lambung (Neal, 1997).

(51)

I. Metode Pengujian Daya Antiinflamasi

Efek antiinflamasi dapat diukur dengan menggunakan carain vitromaupunin vivo. Secara umum, metode pengujian obat antiinflamasi terbagi menurut lama terjadinya edema yaitu inflamasi akut, subakut, dan kronik. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur daya antiinflamasi adalah sebagai berikut:

1. Metodein vitro

Metode ini digunakan untuk mengetahui peran dan pengaruh substansi-substansi fisiologis yang terlibat dalam proses inflamasi. Substansi-substansi-substansi tersebut antara lain: histamin, serotonin, bradikinin, substansi P, dan lain-lain. Beberapa contoh percobaan in vitro adalah: pengikatan reseptor 3H-Bradikinin, substansi P dan golongan takikinin, karakterisasi agonis dan antagonis neurokinin, pengukuran kemotaksis leukosit polimorfonuklear (Vogel, 2002). 2. Metodein vivo

a. Uji permeabilitas vaskuler

(52)

intrakutan. Kenaikan permeabilitas dapat diamati dengan menginjeksikan pewarnaEvan’s bluepada kulit yang diinduksi (Vogel, 2002).

b. Uji granuloma

Hewan uji yang berupa tikus putih betina galur Wistar diinjeksi dengan 10-25 mL udara secara subkutan pada bagian punggungnya, kemudian 0,50 mL minyak Croton dan karagenin sebagai iritan ditambahkan untuk mencegah udara keluar. Obat yang akan diuji mulai diberikan setiap hari secara peroral setelah pembentukan kantong edema. Pada hari kedua setelah pembentukan kantung edema, udara dikeluarkan. Untuk uji aktivitas lokal, obat yang diuji diinjeksikan pada kantong udara pada saat bersamaan dengan iritan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot, selanjutnya diukur volume cairannya. Uji ini lebih responsif untuk uji obat antiinflamasi steroid daripada nonsteroid (Vogel, 2002). Persen inhibisi granuloma dihitung dengan membandingkan volume cairan eksudat kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (Khanna dan Sharma, 2001).

c. Edema pada kaki

(53)

tikus diinjeksi dengan 0,05 ml larutan karagenin 1% secara subkutan pada telapak kaki kirinya. Besar edema diukur sesaat setelah injeksi, dan pada jam ke 3, 6 dan 24 jam setelah injeksi.

d. Uji eritema UV

Hewan uji marmot, 16 jam sebelum perlakuan dicukur pada bagian punggungnya, kemudian diolesi barium sulfida. Dua puluh menit kemudian dibersihkan dengan air hangat. Pada hari berikutnya, zat uji mulai diberikan secara peroral (10 mL/kg), 30 menit sebelum pemaparan UV. Setelah dilakukan pemaparan UV selama 30 menit, dilakukan pengamatan terjadinya eritema. Kelemahan metode ini adalah subyektivitas dalam menghitung jumlah eritema, administrasi zat uji kortikosteroid secara sistemik kurang efektif dibandingkan secara topikal, dan uji ini tidak dapat digunakan untuk mengukur durasi efek antiinflamasi (Vogel, 2002).

J. Metode Pengujian Daya Analgetika

(54)

harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri (Anonim, 1991).

Pengujian daya analgesik dapat menggunakan berbagi metode. Metode pengujian daya analgesik berdasarkan pada jenis analgesik yang terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan analgesik narkotika dan analgesik non narkotika. Pengujian daya analgesik menurut Turner (1965) tersebut, yaitu:

1. Golongan analgesik narkotika a. metode jepit ekor

(55)

b. metode rangsang panas

Sebagian besar uji respon dari rangsang panas dilakukan dengan penempatan hewan uji di atas permukaan panas atau pencelupan ekor hewan uji ke dalam air panas. Metode lempeng panas menggunakan hewan uji mencit yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral, yang dijatuhkan perlahan-lahan ke atas lempeng panas yang terdiri dari silinder penahan. Kisaran suhu lempeng panas berkisar antara 50oC sampai 55oC, dilengkapi dengan penangas tembaga yang berisi campuran yang sebanding dengan campuran aseton dan etil format yang mendidih.

Waktu reaksi diambil sebagai perpanjangan jarak waktu dari saat mencit menyentuh lempeng panas sampai ketika mencit menjilati kaki belakangnya atau melompat-lompat keluar dari silinder. Semua tanda kegelisahan lain seperti menendang-nendang atau berputar-putar selanjutnya diabaikan. Metode ini hanya berguna untuk mendeteksi analgesik golongan narkotika dan tidak sesuai untuk menguji analgesik golongan non-narkotik. c. metode pengukuran tekanan

(56)

diletakkan pada posisi vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari syringe yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan sistem hidrolik pada syringeyang pertama lalu dengan ekor tkus. Penurunan tekanan yang sama pada syringe yang kedua selanjutnya akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus. Manometer dibaca ketika tikus memberikan respon yaitu respon tikus yang pertama yaitu meronta-ronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) tanda kesakitan.

d. metode potensi petidin

Metode ini tidak selalu sesuai untuk uji penapisan analgesik karena membutuhkan jumlah hewan uji yang relatif banyak, akan tetapi metode ini dapat digunakan untuk memperluas hasil dari uji penapisan. Semua substansi yang diperkirakan memiliki aktivitas analgesik maupun sedatif dapat diuji dengan metode ini. Tiap kelompok mencit yang terdiri dari 20 ekor mencit, setengah kelompok dibagi menjadi 3 bagian dan diberikan petidin dengan dosis 2, 4, dan 8 mg/kg BB. Setengah yang lain diberi petidin dengan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgesik dihitung dengan bantuan metode rangsang panas.

e. metode antagonis nalorfin

(57)

sebagian besar aksi morfin. Hewan uji yang biasa digunakan dalam metode ini adalah mencit, tikus, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik (pirinitramida) kemudian segera diikuti dengan pemberian morfin (5-10 mg/kg BB) secara intravena. Efek toksik dapat dilawan dalam waktu satu menit dengan pemberian injeksi nalorfin 1,25 mg/kg BB secara intravena. Berdasarkan teori, nalorfin dapat menggeser ikatan morfin dengan reseptornya sehingga akan meniadakan efek dari morfin. Nalorfin pada dosis 5 mg/kg mampu membalikkan 10 mg/kg morfin. Pada kenyataannya, seluruh obat yang berpotensi sebagai analgesik narkotik dapat dilawan dengan nalorfin.

f. metode kejang oksitosin

(58)

g. metode pencelupan pada air panas

Pada metode ini tikus disuntik secara intraperitoneal dengan senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan ke dalam air panas (suhu 58oC). Respon tikus terlihat dari hentakan ekornya yang menghindari air panas. Munculnya reaksi yang khas yaitu sentakan ekor yang keras, dicatat waktunya. Uji ini diulang kembali setiap 30 menit setelah menit ke 15 penyuntikan. Jika mencit tetap tidak beraksi dalam waktu 6 detik, mencit diangkat dari penangas.

2. Golongan analgesik non narkotika a. metode geliat

(59)

Daya analgesik dihitung dengan persamaan menurut Handershot dan Forsaith (1959) sebagai berikut:

% daya analgesik= 100-(P/K x 100%) Keterangan:

P: jumlah geliat mencit pada kelompok perlakuan K: rata-rata jumlah geliat mencit pada kelompok kontrol b. meotode rektodolorimetri

Pada metode ini tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut kemudian dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Ujung yang lainnya lagi dihubungkan pada ekor hewan uji. Sebuah amperemeter yang peka terhadap adanya perubahan tengangan sebesar 0,1 volt selanjutnya dihubungkan dengan konduktor yang berada di gulungan bagian atas. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan terikan tikus adalah 1-2 volt.

c. metode podolorimeter

(60)

K. Landasan Teori

Neutrofil dan makrofag jika terlepas dari endotelium, maka akan segera bermigrasi ke daerah kemotaksin. Di sana neutrofil dan makrofag akan memproduksi eicosanoid, enzim proteolitik, radikal oksigen superoksida dan H2O2. H2O2 lebih lanjut dapat berinteraksi dengan ion besi (Fe2+), menghasilkan radikal hidroksil (.OH) yang reaktif sekali menuju peroksidasi lipid (Halliwell dkk., 1988). .OH dapat menyerang asam arakidonat sehingga terbentuk senyawa baru yang kemudian dapat diserang oleh O. , sehingga terbentuklah prostaglandin yang menyebabkan peradangan (Fessenden dan Fessenden, 1982). Selain menyebabkan peradangan, prostaglandin yang terlepas dapat mensensitisasi reseptor nyeri (nosiseptor) sehingga akan timbul rasa nyeri.

Pendekatan dari penelitian ini adalah adanya kandungan antioksidan dalam buah belimbing, yaitu katekin (Sukadana, 2009) pada buah belimbing mampu menangkap radikal O. dan.OH, sehingga kedua radikal tersebut tidak menyerang asam arakidonat. Dengan begitu maka pembentukkan prostaglandin menjadi terhambat

(61)

Untuk menguji efek antiinflamasi digunakan metode edema pada kaki, karena metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan telah terbukti cocok untuk skrining sebaik untuk evaluasi mendalam (Vogel, 2002). Sedang untuk menguji ada tidaknya efek analgesik, dalam penelitian ini digunakan metode geliat. Metode ini digunakan karena sensitif, sederhana, dan repsodusibel untuk skrining analgesik lemah (Turner, 1965). Selain itu, metode ini dapat mendeteksi baik analgesik sentral maupun perifer. Metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan bisa dierkomendasikan sebagai metode skrining yang sederhana (Vogel, 2002).

L. Hipotesis

(62)

39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian uji efek analgesik dan antiinflamasi jus buah belimbing ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel utama

Variabel utama dalam penelitian ini yaitu: a. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis jus buah belimbing. b. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah besar edema pada kaki hewan uji dan jumlah geliat yang dihasilkan setelah perlakuan dengan jus buah belimbing.

2. Variabel Pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

(63)

seperti yang terurai pada pengumpulan bahan, jalur pemberian jus dilakukan secara peroral, jalur pemberian rangsang nyeri secara intraperitoneal, jalur pemberian rangsang inflamasi secara subplantar.

b. Variabel pengacau tidak terkendali

Pada penelitian ini, variabel pengacau yang tidak dapat dikendalikan adalah keadaan patologis dari mencit, kemampuan tubuh mencit untuk mengabsorbsi jus buah belimbing, dan kemampuan mencit untuk beradaptasi dengan peradangan maupun rasa nyeri.

3. Definisi Operasional

a. Jus buah belimbing adalah jus dengan konsentrasi 20% yang diperoleh dengan cara mencampurkan 50 ml aquadest dan 10 gram buah belimbing segar yang dipotong melintang dengan ketebalan ± 1 cm kemudian dijus dengan menggunakan blender merk Philips.

b. Uji daya antiinflamasi adalah uji dengan menggunakan mencit galur Swiss sebagai hewan uji yang dibuat radang telapak kaki kirinya, sedangkan telapak kaki kanan hanya ditusuk dengan jarum injeksi. Pengukuran diameter kedua kaki belakang mencit dilakukan dengan menggunakan jangka sorong (Digital Caliper Mitutoyo), kemudian dibandingkan dengan perlakuan peroral jus buah belimbing.

(64)

diamati jumlah geliat mencit dan dibandingkan dengan perlakuan peroral jus buah belimbing.

d. Geliat didefinisikan sebagai sebuah perenggangan, tarikan ke satu sisi, penarikan satu kaki belakang ke arah belakang, peregangan abdomen, dan penarikan kepala dan kaki secara ekstrim ke arah belakang (opistotonus), seingga dengan begitu bagian perut mencit menyentuh alas (Turner, 1965)

C. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Untuk uji efek antiinflamasi

a. Buah belimbing (Averrhoa carambola L.) yang diperoleh dari supermarket Superindo (Belimbing Bali) yang dibeli pada periode September 2009 -Februari 2010.

b. Larutan kalium diklofenak 3% sebagai kontrol positif c. Larutan karagenin 1% sebagai zat penginduksi edema d. Aquadest sebagai kontrol negatif

2. Untuk uji efek analgesik

a. Buah belimbing (Averrhoa carambola L.) yang diperoleh dari supermarket Superindo (Belimbing Bali)

(65)

d. Larutan CMC Na 1%, sebagai kontrol negatif

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Neraca analitik (Mettler Toledo)

2. Spuit peroral dan injeksi 1 mL (Terumo) 3. Stopwatch

4. Alat-alat gelas: gelas beker, gelas ukur, pengaduk, pipet tetes 5. Jangka sorong (Digital Caliper) Mitutoyo 0-2 mm grad. 0,01 mm 6. Kotak kaca tempat pengamatan

7. Blender merk Phillips

E. Tata Cara Penelitian

1. Penelitian efek antiinflamasi

a. Pengumpulan bahan penelitian

Bahan uji yang berupa buah belimbing yang diperoleh dari supermarket Superindo (Belimbing Bali), dengan kriteria pemilihan sebagai berikut: (1) berwarna kuning kecoklatan; (2) berdiameter tengah ± 5,5 cm; (3) memiliki panjang ± 14 cm; dan (4) memiliki berat ± 250 gram.

(66)

Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; NaCl 0,9% (Otsuka) dan tablet Cataflam D50 (Novartis Indonesia) yang mengandung kalium diklofenak 50 mg.

b. Pembuatan larutan kaium diklofenak 0,2%

Larutan diklofenak dibuat dengan cara menimbang dengan seksama bahan yang setara dengan 200 mg serbuk diklofenak kemudian dilarutkan dalam sedikit aquadest. Setelah itu, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, ditambah aquadest hingga tanda batas 100 mL, kemudian digojog.

c. Pembuatan larutan karagenin 1%

Larutan karagenin 1% dibuat dengan cara menimbang dengan seksama 0,10 gram serbuk karagenin kemudian dilarutkan dalam sedikit aquadest. Setelah itu, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambah aquadest hingga tanda batas 10 mL, kemudian digojog.

d. Seleksi hewan uji

(67)

jam dengan cara tidak diberi makan, tetapi tetap diberikan minum. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi variasi akibat adanya asupan makanan.

e. Penetapan kriteria peradangan

Respon yang diamati pada uji efek antiinflamasi ini berupa besar peradangan. Kriteria peradangan perlu ditetapkan untuk mendapatkan keterulangan hasil. Peradangan pada kaki hewan uji diukur menggunakan jangka sorong (Digital Caliper) Mitutoyo 0-2 mm grad. 0,01 mm; dengan cara mengukur diameter peradangan pada telapak kaki hewan uji.

f. Penetapan rentang waktu pengukuran edema setelah injeksi subplantar karagenin 1%

Pada penetapan ini digunakan 12 ekor mencit betina, yang terbagi dalam 4 kelompok. Masing-masing mencit diinjeksi dengan karagenin 1% dengan dosis 25 mg/kg BB pada kaki belakang sebelah kiri secara subplantar, sedangkan kaki belakang sebelah kanan hanya ditusuk menggunakan jarum injeksi sebagai pembanding. Kemudian mencit dikorbankan pada jam ke 1, 2, 3, dan 4 setelah injeksi karagenin 1%. Berdasarkan hasil yang diperoleh akan dipilih rentang waktu yang menghasilkan edema maksimal.

g. Penetapan dosis efektif diklofenak

(68)

menggunakan natrium diklofenak. Menurut penelitian, dosis natrium diklofenak untuk tikus dengan berat badan 250 gram adalah 40 mg/kgBB. Dosis natrium diklofenak untuk tikus dengan berat badan 200 gram adalah:

200 g × 40 mg/kg BB

250 g = 32 mg/kg BB

Dari tikus dengan berat badan 200 gram kemudian dikonversikan ke mencit dengan berat badan 20 gram, perhitungannya sebagai berikut:

32 mg/kg BB × 0,14 = 4,48 mg/kg BB

Dari hasil perhitungan tersebut kemudian dibuat variasi dosis dengan menurunkan dan menaikkan dosis sebesar satu seperempat kali dosis terhitung. Dosis yang digunakan sebagai dosis penetapan adalah 3,36; 4,48, dan 5,6 mg/kg BB. Dari hasil penetapan diketahui bahwa dosis yang paling efektif untuk mengurangi peradangan adalah pada dosis 4,48 mg/kg BB.

h. Penetapan waktu pemberian dosis efektif diklofenak

(69)

sampai saat injeksi karagenin, yang mampu menurunkan edema secara berarti.

i. Penentuan dosis jus buah belimbing

Dalam penelitian ini, jus buah belimbing dibuat dalam tiga peringkat dosis yaitu, 1,67; 3,34; 6,67 g/kg BB. Hal ini didasarkan pada hasil penetapan konsentrasi terpekat jus yang masih dapat dihisap dan dikeluarkan dengan lancar oleh spuit injeksi peroral. Penetapan awal dimulai dengan konsentrasi 100%, kemudian secara bertahap diturunkan hingga didapatkan konsentrasi optimal, yaitu 20% (0,2 g/mL). Selanjutnya dilakukan perhitungan dosis jus buah belimbing yang diuraikan sebagai berikut:

D × BB = C × V Keterangan:

D = dosis (mg/kg) BB = berat badan (g) C = konsentrasi (g/ml) V = volume

D =C × V BB

D =0,2 g/mL × 1mL 30g

(70)

Dosis II : × 6,67 g/kg = 3,34 g/kgBB Dosis I : × 3,34 g/kg = 1,67 g/kgBB

j. Uji efek antiinflamasi

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 30 ekor mencit yang dibagi secara acak menjadi 6 kelompok, sebagai berikut: Kelompok I : kontrol negatif (karagenin 1%)

Kelompok II : kontrol negatif (aquadest)

Kelompok III : kontrol positif (diklofenak secara peroral dengan dosis 4,48 mg/kg BB

Kelompok IV : perlakuan jus belimbing dengan dosis 1,67 g/kg BB Kelompok V : perlakuan jus belimbing dengan dosis 3,34 g/kg BB Kelompok VI : perlakuan jus belimbing dengan dosis 6,67 g/kg BB

Setelah hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan secara peroral, 15 menit kemudian diinjeksi dengan larutan karagenin 1% secara subplantar pada kaki kiri, sementara kaki kanan disuntik dengan spuit tanpa larutan karagenin. Tiga jam kemudian, masing-masing kaki mencit diukur diameter telapak kakinya dengan menggunakan jangka sorong.

k. Perhitungan % daya antiinflamasi

(71)

% daya Antiin lamasi =U−D

U × 100%

Keterangan :

U = nilai rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)

D = nilai rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)

l. Perhitungan potensi relatif antiinflamasi terhadap kontrol positif

Potensi relatif =daya antiin lamasi sediaan uji

daya antiin lamasi diklofenakx 100%

2. Penelitian efek analgesik

a. Pengumpulan bahan penelitian

Bahan uji yang berupa buah belimbing yang diperoleh dari supermarket Superindo (Belimbing Bali), dengan kriteria pemilihan sebagai berikut: (1) berwarna kuning kecoklatan; (2) berdiameter tengah ± 5,5 cm; (3) memiliki panjang ± 14 cm; dan (4) memiliki berat ± 250 gram.

(72)

b. Pembuatan asam asetat 1%

Larutan asam asetat dibuat dengan cara pengenceran dari larutan asam asetat glasial 100% v/v dengan volume pengambilan dihitung dengan menggunakan rumus:

volume1x konsentrasi1= volume2x konsentrasi2

Sebanyak 0,25 mL asam asetat glasial 100% diencerkan dengan aquadest hingga volume 25,00 mL menggunakan labu ukur 25 mL.

c. Pembuatan larutan CMC Na 1%

Larutan CMC Na 1% dibuat dengan cara menimbang dengan seksama 1 gram serbuk CMC Na kemudian ditaburkan di atas permukaan air panas sedikit demi sedikit sehingga seluruhnya menutupi bagian atas permukaan air secara merata, lalu biarkan mengembang semalam. Pada hari berikutnya, larutan yang terbentuk diaduk kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan tambahkan aquadest hingga tanda batas 100 mL, kemudian gojog.

d. Pembuatan suspensi parasetamol 0,3% dalam CMC Na 1%

(73)

e. Seleksi hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram. Semua hewan uji sebelum diberi perlakuan, diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu dengan kondisi yang sama, yaitu dipelihara dengan kondisi dan perlakuan yang sama meliputi kandang, pakan dan minum. Dan sebelum hari pengujian, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 18-24 jam dengan cara tidak diberi makan, tetapi tetap diberikan minum. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi variasi akibat adanya asupan makanan.

f. Penetapan dosis asam asetat

Penetapan dosis asetat dilakukan dengan tujuan untuk menentukan dosis yang menghasilkan jumlah geliat yang tidak terlalu sedikit sehingga sampel tidak dapat mengukur analgetik yang lemah, subyek uji masih dapat memberikan respon, namun juga tidak terlalu banyak sehingga memudahkan dalam pengamatan. Untuk penetapan ini digunakan empat dosis, yaitu 25; 50; 75; dan 100 mg/kg BB.

g. Penetapan dosis parasetamol

(74)

parasetamol yang lazim digunakan pada orang dewasa (50 kg) adalah 0,5 gram. Kemudian dosis tersebut dikonversikan ke mencit 20 g, dengan perhitungan sebagai berikut:

Dosis untuk manusia 70 kg

Dosis = × 0,5 g = 0,7 g/70 kg BB manusia Konversi dosis ke mencit 20 g

Dosis =0,7g × 0,0026 = 1,82 × 10 g/20g BB mencit Maka dosis parasetamol yang digunakan adalah:

× (1,82 × 10 g/20g) =0,091 g/kg BB = 91,00 mg/kg BB.

Kemudian dibuat 3 peringkat dosis untuk ditetapkan manakah yang paling efektif dalam menghambat rasa nyeri, yaitu 68,25; 91,00; 113,75 mg/kg BB. Dari hasil penetapan diketahui bahwa dosis 91,00 mg/kg BB secara signifikan dapat menghambat rasa nyeri dibandingkan 2 dosis lainnya sehingga dosis 91,00 mg/kg BB yang kemudian dipakai dalam penelitian.

h. Penetapan rentang waktu pemberian rangsang geliat

(75)

mg/kg secara peroral 5, 10, dan 15 menit sebelum dilakukan injeksi dengan asam asetat yang diperoleh dari penetapan sebelumnya, yaitu 25 mg/kg BB.

i. Uji efek analgesik

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 25 ekor mencit yang dibagi menjadi 5 kelompok secara acak, sebagai berikut: Kelompok I : kontrol negatif (aquadest 25 mg/kg BB)

Kelompok II : kontrol positif (suspensi parasetamol secara peroral dengan dosis 91 mg/kg BB)

Kelompok III : perlakuan jus belimbing dengan dosis 1,67 g/kg BB Kelompok IV : perlakuan jus belimbing dengan dosis 3,34 g/kg BB Kelompok V : perlakuan jus belimbing dengan dosis 6,67 g/kg BB

Setelah hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan secara peroral, 15 menit kemudian diinjeksi dengan larutan asam asetat 1% secara intraperitoneal. Segera setelah itu, diamati geliat yang muncul tiap 5 menit selama total waktu pengamatan 60 menit.

j. Perhitungan % proteksi geliat

Besarnya penghambatan jumlah geliat dihitung dengan persamaan Handerson dan Forsaith yaitu :

% proteksi geliat = 100%− P

K × 100% Keterangan :

(76)

K = jumlah kumulatif geliat hewan uji kontrol

k. Perhitungan %perubahan penghambatan geliat terhadap kontrol positif

%perubahan penghambatan rangsang =P−Kp

Kp × 100%

Keterangan :

P = % daya analgesik pada tiap kelompok perlakuan

K = rata-rata % daya analgesik pada kelompok kontrol positif

F. Tata Cara Analisis Hasil

Hasil olahan data yang berupa % daya antiinflamasi dan % daya analgesik selanjutnya akan diuji secara statistik untuk mengetahui apakah besar daya antiinflamasi dan antiinflamasi jus buah belimbing tersebut berbeda bermakna atau tidak jika dibandingkan dengan kontrol negatif dan kontrol positif. Langkah awal dalam analisis adalah dengan melakukan uji statistik non parametris dengan metode Kolmogorov-Smirnov dimana akan diketahui apakah data yang didapat terdistribusi normal atau tidak.

Jika data terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%. ANOVA digunakan karena dalam penelitian ini dikehendaki perbandingan rata-rata lebih dari dua kelompok, sehingga akan lebih efektif dibanding menggunakan uji T (Student’s test).

(77)

satu arah adalah untuk membandingkan lebih dari dua rata-rata. Sedangkan gunanya untuk mengetahui apakah ada beda bermakna antar kelompok satu dengan lainnya. Dikatakan berbeda bermakna jika nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 (p ≤ 0,05). Jika p > 0,05 maka dikatakan berbeda tidak bermakna.

(78)

55

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tanaman

Pada penelitian ini digunakan jus buah yang didapatkan dari buah belimbing yang dipotong melintang kemudian ditambahkan air dan di jus menggunakan blender merk Phillips. Buah belimbing yang akan digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu dideterminasi untuk memastikan bahwa yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah benar-benar buah belimbing (Averrhoa carambola L.). Determinasi dilakukan oleh bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.

Berdasarkan hasil determinasi yang dilakukan, diketahui bahwa sampel yang digunakan dalam pembuatan jus buah belimbing adalah benar-benar bagian dari tumbuhan belimbing (Averrhoa carambolaL.).

B. Penelitian Efek dan Daya Antiinflamasi

1. Uji Pendahuluan

(79)

a. Orientasi rentang waktu pengukuran edema setelah injeksi karagenin 1% secara subplantar

Tujuan dari orientasi ini adalah untuk mengetahui waktu yang optimum untuk dilakukannya pengukuran edema setelah injeksi karagenin 1%. Alasan pemilihan karagenin sebagai zat penginduksi edema, antara lain: karagenin merupakan salah satu iritan yang sering digunakan dalam prediksi efektivitas potensial terapeutik dari obat-obat antiinflamasi dan dalam penggunaannya tidak membutuhkan perlakuan khusus.

Hasil orientasi waktu pengukuran edema pada kaki mencit setelah injeksi karagenin 1% subplantar dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Data edema yang terjadi pada kaki mencit pada rentang waktu tertentu setelah injeksi karagenin 1% subplantar

(80)

Data hasil orientasi tersebut kemudian dianalisis statistik nonparametrik dengan menggunakan analisis Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui distribusi data tersebut. Dari analisis Kolmogorov-Smirnov dapat diketahui bahwa data orientasi waktu pengukuran edema setelah injeksi karagenin 1% memiliki distribusi normal.

Selanjutnya dilakukan analisis statistik parametrik dengan menggunakan ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95%. Dari hasil analisis variansi terdapat beda bermakna dengan nilai probabilitas 0,000 (p≤0,05) antar kelompok perlakuan yaitu beda rentang waktu pengukuran edema. Selanjutnya data diuji dengan uji Scheffe dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui letak perbedaan antar kelompok perlakuan.

Tabel I. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok rentang waktu pengukuran edema pada kaki mencit setelah injeksi karagenin 1%

Keterangan:

bb : berbeda bermakna (p≤0,05) btb : berbeda tidak bermakna (p > 0,05)

pengukuran edema dilakukan dengan variansi jam ke 1, 2, 3, dan 4 setelah injeksi karagenin 1% subplantar

Dari uji Scheffe (tabel I) dapat diketahui bahwa pengukuran edema yang dilakukan 3 jam setelah injeksi karagenin berbeda bermakna terhadap kelompok

Kelompok

perlakuan 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam

1 jam btb bb btb

2 jam btb bb btb

3 jam bb bb bb

(81)

perlakuan 1, 2, dan 4 jam. Hal tersebut menunjukkan bahwa edema yang terjadi setelah rentang waktu 3 jam secara bermakna lebih besar dibandingkan dengan ketiga kelimpok perlakuan lainnya. Oleh karena itu, pada langkah penelitian selanjutnya akan digunakan rentang waktu pengukuran edema 3 jam setelah dilakukan injeksi karagenin 1%.

b. Orientasi dosis efektif kalium diklofenak

Kalium diklofenak merupakan kontrol positif dalam penelitian ini, yang dayanya akan dibandingkan dengan jus buah belimbing yang efeknya sebagai antiinflamasi belum diketahui. Diklofenak dipilih sebagai kontrol positif untuk mewakili obat antiinflamasi non steroid (AINS).

Tujuan dari orientasi dosis efektif diklofenak adalah untuk menentukkan dosis diklofenak yang paling efektif sebagai antiinflamasi bagi mencit dalam penelitian ini.

Gambar 8. Data hasil orientasi dosis efektif diklofenak

(82)

Data bobot edema kemudian dianalsis dengan ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil analisis statistik, diketahui bahwa antar kelompok perlakuan berbeda bermakna, hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas 0,001 (p ≤ 0,05). Sehingga analisis data dilanjutkan dengan uji Scheffe.

Tabel II. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok dosis diklofenak

Kelompok

perlakuan 1 2 3

1 bb bb

2 bb bb

3 bb bb

Keterangan:

bb : berbeda bermakna (p≤0,05) Kelompok 1 : Dosis diklofenak 3,36 mg/kg BB Kelompok 2 : Dosis diklofenak 4,48 mg/kg BB Kelompok 3 : Dosis diklofenak 5,60 mg/kg BB

(83)

c. Orientasi waktu pemberian dosis efektif diklofenak

Penentuan waktu pemberian dosis efektif diklofenak sebelum diinjeksi karagenin 1% subplantar dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh waktu efektif diklofenak mulai memberikan efek menghambat edema yang terjadi oleh adanya induksi karagenin 1%.

Gambar 9. Data hasil orientasi wakt efektif diklofenak

Keterangan:

Pemberian diklofenak 15, 30, 45, dan 60 menit sebelum injeksi karagenin 1% :standard error

(84)

Tabel III. Ringkasan hasil ujiScheffekelompok antar waktu pemberian dosis

bb : berbeda bermakna btb : berbeda tidak bermakna

Kelompok 1 : pemberian diklofenak 15 menit sebelum injeksi karagenin 1% Kelompok 2 : pemberian diklofenak 30 menit sebelum injeksi karagenin 1% Kelompok 3 : pemberian diklofenak 45 menit sebelum injeksi karagenin 1% Kelompok 4 : pemberian diklofenak 60 menit sebelum injeksi karagenin 1%

Dari uji Scheffe (tabel III) dapat diketahui bahwa rata-rata edema yang terjadi pada kelompok perlakuan 1 berbeda bermakna dengan ketiga kelompok perlakuan lainnya. Hal ini menegaskan bahwa pemberian dosis efektif diklofenak 15 menit sebelum injeksi karagenin 1% subplantar paling optimal dalam menghambat terjadinya edema dibanding ketiga kelompok perlakuan lainnya. Oleh karena itu, pada langkah penelitian selanjutnya digunakan waktu pemberian dosis efektif diklofenak 15 menit sebelum injeksi karagenin 1% subplantar. d. Penentuan dosis jus buah belimbing

(85)

injeksi peroral. Pada konsentrasi 25% dan 22,5%, jus secara perlahan dapat diambil dengan spuit namun tidak bisa diinjeksikan karena masih terdapat serat buah yang cukup banyak. Pada konsentrasi 20%, dengan lancar jus dapat diambil dan diinjeksikan keluar spuit injeksi peroral. Dari orientasi di atas, maka dalam penelitian ini ditetapkan menggunakan konsentrasi 20%.

Setelah ditetapkan konsentrasi yang akan dipakai dalam penelitian, maka selanjutnya dilakukan penetapan dosis. Dosis tertinggi dihitung dari persamaan dosis x berat badan = konsentrasi x volume pemberian, kemudian dari dosis III (6,67 g/kg BB) dibuat peringkat dosis II (3,34 g/kg BB) dan dosis I (1,67 g/kg BB). Perhitungan dapat dilihat pada lamiran 10.

2. Efek dan Daya Antiinflamasi Jus Buah Belimbing

Penelitian uji daya antiinflamasi JBB pada mencit betina ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sekaligus besarnya kemampuan JBB dengan dosis 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB sebagai antiinflamasi. Daya antiinflamasi ditandai dengan penurunan diameter kaki mencit setelah diinjeksi karagenin 1% secara subplantar setelah 15 menit sebelumnya mencit diberi JBB secara peroral. Besarnya daya antiinflamasi dapat dilihat berdasarkan hasil persen daya antiinflamasi yang dihitung berdasarkan metode Langford dkk. (1972).

(86)

digunakan karagenin 1% karena telah secara luas digunakan untuk memprediksi efektivitas potensial terapetik dari obat-obat antiinflamasi, baik dari golongan steroid maupun nonsteroid. Selain itu, karagenin 1% tidak menimbulkan kerusakan jaringan pada kaki mencit.

Aquadest dipilih sebagai kontrol negatif karena merupakan pelarut dalam pembuatan JBB maupun larutan diklofenak. Tujuan dari adanya kontrol negatif ini untuk mengetahui apakah aquadest mempunyai pengaruh terhadap aktivitas antiinflamasi pada JBB dan diklofenak atau tidak, juga sebagai pembanding aktivitas antiinflamasi.

Pengukuran edema dilakukan dengan menggunakan jangka sorong, yaitu dengan mengukur diameter edema yang terjadi pada telapak kaki mencit. Penggunaan jangka sorong memiliki kelebihan dibandingkan metode pengukuran dengan potong kaki. Kelebihannya yaitu hewan uji tidak perlu dibunuh untuk pengukuran edema dan kesalahan daerah pemotongan (yang seharusnya tepat dilakukan di sendi torsocrural) dapat dihindari, sehingga data yang diperoleh lebih valid. Selain itu, metode pengukuran dengan jangka sorong dapat dipergunakan untuk mengukur edema yang terjadi dari waktu ke waktu. Sehingga, dapat dilihat profil kerja obat dalam menekan inflamasi dari waktu ke waktu.

Gambar

Gambar 14. Reaksi penangkapan radikal hidroksil oleh katekin...............................
Gambar 1. Struktur katekin
Gambar 2. Diagram ringkas dari pembentukkan mediator inflamasi yang
gambar 2.Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul : Efek Antioksidan Ekstrak Buah Belimbing Wuluh ( Averrhoa bilimbi Linn.) terhadap Kadar Serum Glutamic Piruvic Transaminase Mencit.. yang Dipapar

Skripsi ini berjudul “Uji efek ekstrak etanol 70% buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan galur wistar” yang disusun

Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: apakah ekstrak etanol daun belimbing wuluh Averrhoa bilimbi (Linn.) mempunyai daya antiinflamasi pada

ekstrak etanol buah belimbing wuluh ( Averrhoa bilimbi L.) pada hewan coba mencit ( Mus musculus albinus ), mengetahui selang Lethal Dose 50 ekstrak etanol buah belimbing wuluh,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan jus buah belimbing manis dosis 125; 250, dan 500 mg/kg bb masing-masing meredakan 15,36% ; 42,80%;64,45% radang

Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: apakah ekstrak etanol daun belimbing wuluh Averrhoa bilimbi (Linn.) mempunyai daya antiinflamasi pada tikus

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa Ekstrak buah belimbing manis (Averrhoa carambola L) dapat digunakan sebagai larvasida terhadap larva Aedes

THE EFFECT OF STAR FRUIT (Averrhoa carambola L.) JUICE ON DECREASING LDL CHOLESTEROL LEVEL IN MALE WISTAR RATS.. Chindy Arya Sari, 2014; 1 st Tutor: Fenny, dr.,