• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan perkembangan stasiun kereta api Tugu di Yogyakarta 1887-1930.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sejarah dan perkembangan stasiun kereta api Tugu di Yogyakarta 1887-1930."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

i ABSTRAK

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930

Skripsi ini mengambil tema penelitian seputar sejarah dari Stasiun Tugu Yogyakarta, sebuah stasiun kereta api yang sudah beroperasi sejak masa Hindia Belanda hingga di masa modern seperti sekarang ini. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana latar belakang pembangunan stasiun tersebut di Yogyakarta, perkembangan apa saja yang muncul setelah stasiun tersebut selesai dan beroperasi, serta sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan dari terbentuknya Stasiun Tugu bagi masyarakat Yogyakarta.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan observasi lapangan. Selain itu, dalam melaksanakan analisis data dilakukan kritik sumber setelah ditemukannya berbagai macam sumber yang sesuai dengan kebutuhan penilitian sehingga dapat dibandingkan dan memunculkan sebuah kesimpulan yang menjadi jawaban dari penelitian ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana dalam kemunculannya, Stasiun Tugu Yogyakarta merupakan wujud turut campurnya dua kekuasaan yang memiliki pengaruh besar bagi Yogyakarta, yaitu perusahaan kereta api dan tram Negara

Belanda SS (De Staatspoor en Tramwegen) yang menjadi perpanjangan tangan dari

Pemerintah Hindia Belanda, serta Kesultanan Yogyakarta. Hal ini merupakan sesuatu yang unik di Hindia Belanda, mengingat bagaimana dalam menerapkan kebijakannya, Belanda selalu berhasil menekan pemerintahan lokal di Hindia Belanda.

Selain itu, Stasiun Tugu yang dikelola oleh SS merupakan sebuah usaha pemerintah untuk ikut serta dalam bisnis transportasi. Hal ini sangat tidak umum mengingat bagaimana di Hindia Belanda urusan transportasi kereta api sudah

dikuasai oleh NISM (Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschppij) yang merupakan

perusahaan swasta. Sesuai dengan konsep liberalisme yang mulai berkembang di Eropa dan terus menjalar ke seluruh dunia.

Setelah dilakukannya penelitian dapat dilihat bagaimana sejarah transportasi lebih dari sekedar pembangunan alat transportasi dan fasilitas pendukungnya. Ada banyak sekali tangan-tangan tidak terlihat yang memiliki kepentingan dalam pembangunan fasilitas tersebut dengan berbagai motif. Seperti motif politik dan ekonomi dalam Stasiun Tugu. Tidak hanya berperan sebagai sarana pengangkutan hasil bumi yang laku di pasar dunia, Stasiun Tugu menjadi wujud kekuatan dan pengaruh Keraton Yogyakarta.

(2)

ii ABSTRACT

THE HISTORY AND DEVELOPMENT OF TUGU RAILWAY STATION IN YOGYAKARTA 1887-1930

This Thesis have a theme about the history of Tugu Railway Station, a railway station that have been operated from the time of Dutch Indies until the modern time. The purpose of this thesis is to know the background of the construction from this railway station in Yogyakarta, the development that rise after the railway station have been finished and operated, and how far the effect that come from the construction of Tugu Railway Station for the citizen of Yogyakarta.

The methods that used are literature studies and field observations. Moreover, in carrying out data analysis performed after the discovery of source criticism various sources to suit the needs research that can be compared and conclusions of a one raises an answer from this research

The result from this study show how in the appearance, Tugu Railway Station is the embodiment of two great power that have a big influence for Yogyakarta, that

is the state railway and tram company, SS (De Staatspoor en Tramwegen) that

become the extension from the Dutch Government and The Sultanate of Yogyakarta. This is something unique in Dutch Indies, from how to apply the policies, Dutch always give the pressure to the local government in Dutch Indies.

Beside that, Tugu Railway Station that operate under the management of SS was the work of the state to join in the transportation business. This is the anomaly, if we remember in the Dutch Indies, the railway connection have been controlled by the

NISM (Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschppij), the private company. in

accordance with the concept of liberalism that began to develop in Europe and continues to spread throughout the world.

After the research have been done, we can see how far the history of transportation more than just the construction of supporting facilities. There were so many invisible hands that have the control in the development of that facilities with so many motive behind them. Like the politic and economic motive in Tugu Railway Station. Not only serves as a means of transporting agricultural products sold in the world market, Tugu Station to form the power and influence of Yogyakarta Palace.

(3)

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

Rechardus Deaz Prabowo NIM: 094314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

Rechardus Deaz Prabowo NIM: 094314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)

ii SKRIPSI

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930

Disusun Oleh:

Nama : Rechardus Deaz Prabowo NIM : 094314002

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I Tanggal

(6)

iii SKRIPSI

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Nama : Rechardus Deaz Prabowo

NIM : 094314002

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada Tanggal 18 September 2013 Dan menyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan Ketua : Drs. Silverio R. L. A. Sampurno, M. Hum. ……….. Sekretaris : Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum ……….. Anggota : 1. Dr. H. Purwanta, M. A. ……….. 2. Drs. Ign. Sandiwan Suharso ……….. 3. Drs. Silverio R. L. A. Sampurno, M. Hum. ………..

Yogyakarta, 29 November 2013 Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma Dekan

(7)

iv

PERSEMBAHAN

 Pertama-tama, skripsi ini saya persembahkan kepada keluarga saya, Paulus

Suwondo, Kristina Triani, Mbah Suyatmi, dan Yohanes Davin Dwiatmoko,

yang dengan penuh pengertian serta dukungan doa dan tenaga telah

menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsinya.

 Kepada para Dosen Ilmu Sejarah Sanata Dharma yang dengan senang hati

memberikan perhatian kepada penulis selama proses perkuliahan dan

penulisan Skripsi.

 Selanjutnya kepada teman-teman seperjuangan natas dan keluarga besar Ilmu

Sejarah yang dengan suka cita menjadi tempat berkumpul dan berdiskusi

(8)

v MOTTO

The beginning of all things are small

(9)

vi Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa isi dalam karya skripsi ini tidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 30 Agustus 2013

(10)
(11)

viii

KATA PENGANTAR

Selama menginjakkan kaki ke Universitas Sanata Dharma dan menjalani studi

di Program Studi Ilmu Sejarah, sering muncul pertanyaan dalam benak saya,

“Bagaimana toh rasanya menulis skripsi.” Setelah menjalani hari demi hari, bulan

demi bulan, da semester demi semester, akhirnya tiba juga bagi saya saat yang

menentukan dalam hidup seorang mahasiswa tingkat akhir, dimulainya proses

penulisan skripsi.

Dengan semangat bak pejuang ’45, yang memegang bendera merah putih di

tangan kiri dan senapan di tangan kanan, saya memasuki ruangan guru pembimbing

akademik sambil dengan mantap berkata, “Pak, saya mau mengambil mata kuliah

skripsi.” Maka dimulailah saat-saat mendebarkan dan mencengangkan selama saya

menjadi mahasisa S-1 Ilmu Sejarah Sanata Dharma, membuat skripsi haruslah

disertai kemauan yang kuat, akal yang sehat, serta waktu yang harus dimanfaatkan

sebaik-baiknya.

Dengan berbagai cobaan dan rintangan, sudah banyak sekali tulisan yang

dikoreksi, buku-buku yang terbaca, perpustakaan yang didatangi, diskusi yang

dilakukan, serta kembali lagi untuk menulis dan menulis mengingat waktu yang

kunjung habis. Ada satu titik dimana akhirnya saya mulai jenuh dengan skripsi.

(12)

ix

bersiap menuju dunia kerja, mulai jarang sekali ke kampus karena sedikitnya mata

kuliah dan teman-teman yang juga sibuk karena skripsi, Tiba-tiba muncul rasa

keterasingan dan semangat menulis skripsi pun mengedur dan pikiran mulai teralih ke

kegiatan lain.

Tanpa bermaksud menjadikan kata pengantar menjadi ajang curhat, akhirnya

skripsi ini selesai dengan akhir ang cukup membahagiakan. Semangat yang tadinya

mengendur mulai menguat sampai karya ilmiah seorang mahasiswa ini menjadi layak

untuk dibaca dan dikaji lebih lanjut bagi para peneliti atau mahasiswa di masa

mendatang.

Tentu saja dalam enulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh dukungan

moral dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itulah dalam kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua saya yang selalu menunggu di rumah, Paulus Suwondo dan

Kristina Triani, terima kasih atas bimbingan, perhatian, serta kesabaran dalam

menunggu selesainya studi penulis di Ilmu Sejarah.

2. Kepada para dosen Ilmu Sejarah USD,yang telah membimbing penulis selama

4 tahun di perkuliahan, Drs. Silverio R. L. A. Sampurno, Drs. H. Purwanta,

M. A, Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum, Drs.

Manu Joyoatmojo, Dra. Lucia Juningsih, M. Hum, DR. F.X. Baskara T.

(13)

x

3. Kepada teman-teman Ilmu Sejarah ankatan 2009, Belo, Amor, Maksi, Avent,

Ayunda, Silvi, Sari, Yuli, terima kasih atas kebersamaannya selama menjalani

kuliah di Ilmu Sejarah.

4. Kepanda teman-teman natas dari segala angkatan, mulai dari Al, Fafa, Sita,

Bayu, Tara, Endi, Erda, Pita, Veta, Putri, Bertha, Ayu, Towo, Bayu

Pamungkas, Garit, Ayu, Vania, Wendi, Lia, Nana, Nino, Hana, Sari, Ansel,

Tasya, Gita, Bayu, dan kawan-kawan lainnya, sungguh sangat berterimakasih

saya telah diterima di rumah natas, rumah jurnalistik yang penuh dengan

canda, tawa, diskusi, emosi, serta suka duka yang kita lewati bersama.

5. Kepada teman-teman SMA Sedes Sapientiae Bedono yang kuliah di

Yogyakarta, terlebih Pandur, Reza, dan Mario yang kembali membuat saya

fokus dan melepas keraguan saya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi

ini.

6. Terimakasih kepada perpustakaan-perpustakaan yang ada di Yogyakarta yang

telah menyediakan sumber pustaka, mulai dari Perpustakaan Universitas

Sanata Dharma (khususnya Mbak Sandra dan Pak Sudrajad), Perpustakaan

FIB UGM, Perpustakaan Pusat Studi Kawasan dan Pedesaan UGM dan

Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Karta Pustaka, Perpustakaan Pusat

Yogyakarta, dan Balai kearsipan Yogyakarta atas segala sumber-sumber yang

(14)

xi

7. Kepada teman-teman PKM-P Mendut Sojiwan (Diah, Lia, Milli, Irawan)

dan Pak Hery sebagai pembimbing yang sudah memberi kenangan dan

kesempatan untuk merasakan pengalaman sebagai peneliti dan petualang.

8. Dan yang terakhir, saya sangat berterima kasih kepada mereka yang telah

membatu saya di tengah-tengah kesulitan maupun dalam lautan kegembiraan.

Saya sungguh berterima kasih,. Walaupun nama-nama mereka tidak dapat

saya tambahkan mengungat terbatasnya jumlah halaman, maupun karena

memori saya yang terbatas sehingga saya tidak bisa mengingat nama kalian.

Tetapi satu kata yang bisa saya ucapkan. Terima kasih atas kenangan berkesan

yang telah kalian berikan.

Sebelum mengucapkan terima kasih, penulis ingin berpesan bahwa karya ini

merupakan batu pijakan bagi karya-karya selanjutnya. Tentu saja bukan tidak

mungkin bila tema yang penulis angkat akan terus muncul. Hal ini dikarenakan tidak

ada sesuatu yang baru di dunia ini, yang berbeda adalah dari perspektif mana kita

melihat karya tersebut. Karena itu jangan ragu untuk penulis-penulis berikutnya.

Masih ada banyak sekali tema-tema yang bisa kalian tulis. Masih banyak

sumber-sumber yang menunggu untuk dibuka dan dianalisa.

Yogyakarta, 30 Agustus 2013

(15)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….….iv HALAMAN MOTTO ………..v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………....vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….vii

KATA PENGANTAR ………...…viii DAFTAR ISI ………..xii

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK………xiiv

DAFTAR GAMBAR………..xv ABSTRAK ………...xvi

ABSTRACT ………...…..xvii

BAB I PENDAHULUAN ……….1

A. Latar Belakang ………..1

B. Perumusan Masalah ………..7

C. Pembatasan Masalah ……….8

D. Tujuan Penulisan ………..9

E. Manfaat Penelitian ………9

F. Tinjauan Pustaka ……….10

G. Landasan Teori ………...13 H. Metode Penelitian ………...15 I. Sistematika Penulisan ……….17 BAB II KONDISI WILAYAH YOGYAKARTA YANG MELATARBELAKANGI PEMBANGUNAN STASIUN KERETA API TUGU YOGYAKARTA ...19

A. Kondisi Kesultanan Yogyakarta Dan Persewaan Tanah Pada

(16)

xiii

B. Munculnya Kebutuhan Akan Sarana Transportasi Kereta Api Di

Yogyakarta ………..29

BAB III PEMBANGUNAN DAN PERKEMBANGAN STASIUN TUGU DI

YOGYAKARTA ………..36

A. Lahirnya Perusahaan Kereta Api SS dan Dimulainya Usaha Pemerintah Di

Bidang Kereta Api ………..………36

B. Munculnya Stasiun Kereta Api Di Yogyakarta ………..47

C. Berdirinya Stasiun Tugu Di Yogyakarta ………49

D. Perbandingan Stasiun Tugu Dan Lempuyangan Dalam Data Statistik……...63

BAB IV PENGARUH YANG MUNCUL DARI PEMBANGUNAN DAN

AKTIVITAS STASIUN TUGU BAGI KOTA

YOGYAKARTA ……….70

A. Perubahan Sosial Yang Terjadi Bagi Masyarakat Pribumi DI Yogyakarta

Pasca Pembangunan Stasiun Kereta Api Tugu………….……….70

BAB V PENUTUP………..84

A. Kesimpulan ……….84

B. Saran ………...89

DAFTAR PUSTAKA ……….91

(17)

xiv

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

3.1Perbandingan Keuntungan Dan Kerugian Dari Pembangunan Perusahaan Kereta

Api Milik Pemerintah

Belanda ………...………..…………40

3.2Jumlah Keuntungan Dan Kerugian Perusahaan SS Di Jalur

Yogyakarta-Cilacap………..……….60

3.3Total Pengeluaran Perusahaan Kereta Api SS Dan NISM Di Pulau Jawa Tahun

1980...65

3.4Total Pendapatan Perusahaan Kereta Api SS Dan NISM Di Pulau Jawa Tahun

1890...65

3.5Rincian Pendapatan Perusahaan Kereta Api SS Dan NISM Di Pulau Jawa Tahun

1890...67 4.1 Perbandingan Jumlah Penumpang Yang Diangkut Kereta SS Dan NISM Di

Yogyakarta Tahun 1890……….………...77

4.2Lalu Lintas Penumpang Di Jalur Kereta Api Dari Semarang Menuju

Vorstenlanden (Yogyakarta & Semarang) …………..………..79

6.1 Daftar Perusahaan Perkebunan Swasta Di Yogyakarta Tahun 1890…….…….100 6.2 Daftar Perusahaan Perkebunan Swasta Yang Membuat Kontrak Persewaan Tanah

(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

3.1Peta jalur kereta api Yogyakarta yang melewati sebelah barat Yogyakarta……..59

6.1PetaYogyakarta ……….….…..96

6.2Jalur Kereta Api Uap Di Kota Yogyakarta………..…………..97

6.3Stasiun Tugu Pada Saat Selesai Dibangun………..………..98

6.4Stasiun Tugu Saat Masih Dipakai Untuk Mengangkut Hasil Bumi Ke Pelabuhan

Cilacap………...98

6.5Stasiun Tugu Setelah Direnovasi Untuk Mengakomodasi Kereta

Penumpang………..………...99

(19)

xvi ABSTRAK

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930

Skripsi ini mengambil tema penelitian seputar sejarah dari Stasiun Tugu Yogyakarta, sebuah stasiun kereta api yang sudah beroperasi sejak masa Hindia Belanda hingga di masa modern seperti sekarang ini. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana latar belakang pembangunan stasiun tersebut di Yogyakarta, perkembangan apa saja yang muncul setelah stasiun tersebut selesai dan beroperasi, serta sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan dari terbentuknya Stasiun Tugu bagi masyarakat Yogyakarta.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan observasi lapangan. Selain itu, dalam melaksanakan analisis data dilakukan kritik sumber setelah ditemukannya berbagai macam sumber yang sesuai dengan kebutuhan penilitian sehingga dapat dibandingkan dan memunculkan sebuah kesimpulan yang menjadi jawaban dari penelitian ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana dalam kemunculannya, Stasiun Tugu Yogyakarta merupakan wujud turut campurnya dua kekuasaan yang memiliki pengaruh besar bagi Yogyakarta, yaitu perusahaan kereta api dan tram Negara

Belanda SS (De Staatspoor en Tramwegen) yang menjadi perpanjangan tangan dari

Pemerintah Hindia Belanda, serta Kesultanan Yogyakarta. Hal ini merupakan sesuatu yang unik di Hindia Belanda, mengingat bagaimana dalam menerapkan kebijakannya, Belanda selalu berhasil menekan pemerintahan lokal di Hindia Belanda.

Selain itu, Stasiun Tugu yang dikelola oleh SS merupakan sebuah usaha pemerintah untuk ikut serta dalam bisnis transportasi. Hal ini sangat tidak umum mengingat bagaimana di Hindia Belanda urusan transportasi kereta api sudah

dikuasai oleh NISM (Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschppij) yang merupakan

perusahaan swasta. Sesuai dengan konsep liberalisme yang mulai berkembang di Eropa dan terus menjalar ke seluruh dunia.

Setelah dilakukannya penelitian dapat dilihat bagaimana sejarah transportasi lebih dari sekedar pembangunan alat transportasi dan fasilitas pendukungnya. Ada banyak sekali tangan-tangan tidak terlihat yang memiliki kepentingan dalam pembangunan fasilitas tersebut dengan berbagai motif. Seperti motif politik dan ekonomi dalam Stasiun Tugu. Tidak hanya berperan sebagai sarana pengangkutan hasil bumi yang laku di pasar dunia, Stasiun Tugu menjadi wujud kekuatan dan pengaruh Keraton Yogyakarta.

(20)

xvii ABSTRACT

THE HISTORY AND DEVELOPMENT OF TUGU RAILWAY STATION IN YOGYAKARTA 1887-1930

This Thesis have a theme about the history of Tugu Railway Station, a railway station that have been operated from the time of Dutch Indies until the modern time. The purpose of this thesis is to know the background of the construction from this railway station in Yogyakarta, the development that rise after the railway station have been finished and operated, and how far the effect that come from the construction of Tugu Railway Station for the citizen of Yogyakarta.

The methods that used are literature studies and field observations. Moreover, in carrying out data analysis performed after the discovery of source criticism various sources to suit the needs research that can be compared and conclusions of a one raises an answer from this research

The result from this study show how in the appearance, Tugu Railway Station is the embodiment of two great power that have a big influence for Yogyakarta, that

is the state railway and tram company, SS (De Staatspoor en Tramwegen) that

become the extension from the Dutch Government and The Sultanate of Yogyakarta. This is something unique in Dutch Indies, from how to apply the policies, Dutch always give the pressure to the local government in Dutch Indies.

Beside that, Tugu Railway Station that operate under the management of SS was the work of the state to join in the transportation business. This is the anomaly, if we remember in the Dutch Indies, the railway connection have been controlled by the

NISM (Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschppij), the private company. in

accordance with the concept of liberalism that began to develop in Europe and continues to spread throughout the world.

After the research have been done, we can see how far the history of transportation more than just the construction of supporting facilities. There were so many invisible hands that have the control in the development of that facilities with so many motive behind them. Like the politic and economic motive in Tugu Railway Station. Not only serves as a means of transporting agricultural products sold in the world market, Tugu Station to form the power and influence of Yogyakarta Palace.

(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah:

Sejak zaman dahulu transportasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dalam kehidupan manusia. Dari zaman manusia purba sampai di masa modern

seperti sekarang ini manusia terus berupaya memecahkan permasalahan dalam

transportasi yang semakin kompleks dalam perjalanan waktu. Hal ini dikarenakan

manusia merupakan makhluk yang dinamis yang selalu bergerak mengatasi

rintangan alam. Selain berhubungan dengan bidang sosial, transportasi juga

memiliki hubungan erat dengan bidang ekonomi serta politik. Oleh karena itulah

persoalan transportasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan

manusia dari masa ke masa. Hal inilah yang menjadikan manusia mampu

membuat perahu untuk menyebrangi sungai serta menjinakkan hewan liar seperti

kuda, kerbau, dan lainnya untuk ditunggangi. Penemuan manusia di bidang

transportasi semakin berkembang semenjak ditemukannya roda oleh bangsa

Sumeria guna menopang beban gerobak yang ditarik oleh hewan dan

ditemukannya mesin uap oleh James Watt.1

Penemuan kedua benda diatas merevolusi sarana transportasi dalam

kehidupan manusia. Ditemukannya Roda membuat manusia mampu membawa

barang lebih banyak karena dibantu oleh gerobak yang ditarik oleh hewan.

1

Dick, Howard, et al. Cities, Transport and Communications, The

(22)

2

Berbeda dengan sebelum ditemukannya roda dimana setiap orang hanya bisa

membawa barang secara terbatas dengan tangannya. Sedangkan ditemukannya

mesin uap oleh James Watt di Inggris tahun 1776 membawa perubahan besar

dalam dunia industri, dimana dengan ditemukannya mesin yang mampu bergerak

dengan menggunakan tenaga uap mulai menggantikan tenaga manusia dan hewan

dalam kegiatan industri.

Lahirnya kereta api uap secara langsung berhubungan dan mempengaruhi

bidang sosial, ekonomi dan politik. Salah satu contoh nyata adalah persaingan

antara perusahaan transportasi milik negara dengan perusahaan swasta serta

hubungannya dengan kolonialisme. Kedua contoh tersebut bisa dilihat pada

kemunculan kereta api uap di Hindia Belanda pada masa kolonial.

Kemunculan kereta api uap di wilayah Asia dimulai oleh Inggris yang

membangun jalur kereta api uap di India pada tahun 1853. Belanda adalah negara

kedua yang membangun jalur kereta api uap di Hindia Belanda. Wilayah-wilayah

lainnya yang menyusul adalah Jepang (1872), Cina (1875), Myanmar (1877),

Turki (1888). Sementara wilayah lainnya di Asia Tenggara seperti Malaysia,

Singapura, Thailand, Filipina baru menyusul sesudahnya.2

Selesainya Perang Jawa tahun 1830, menjadi awal dimulainya usaha

mengembalikan kas negara yang kosong karena perang. Akhirnya, muncul sebuah

2

Setijowarno, Djoko, “Moda Kereta Api Pantas Dilirik Kembali” dalam

(23)

3

gagasan pelaksanaan kebijakan pertanian yang disebut dengan cultuurstelsel3 atas

usul Gubernur Jendral Johanes Van den Bosch. Selain cultuurstelsel, di wilayah

Vorstenlanden seperti Yogyakarta dan Surakarta dikenal usaha sewa menyewa

tanah lungguh kepada pihak swasta. Sistem ini diatur berdasarkan kesepakatan

antara pihak koloni dan pihak yang menyewakan lahan guna dipakai untuk daerah

perkebunan.4 Hasil dari usaha-usaha di atas dengan cepat menutupi kas Belanda

yang habis, bahkan Belanda mengalami surplus. Maraknya pertumbuhan daerah

perkebunan serta kendala di bidang transportasi mengakibatkan munculnya

keinginan untuk membangun jalur kereta api.5

Dimulai dari usul seorang kolonel yang bernama Jhr. Van Der Wijk pada

tahun 1840, pembangunan jalur kereta api uap mulai terealisasi tanggal 7 Juni

1864. Rutenya dimulai dari Semarang menuju Tanggung, Grobogan. Dengan

diawali pencangkulan tanah oleh Gubernur Jendral Baron Sloet van den Beele

3

Sulistyo, Bambang, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah,

Yogyakarta:1995) Hal. 9. Masa pemberlakuan sistem tanam terkoordinasi antara pusat sampai daerah pelosok. Dimana rakyat tidak lagi menyerahkan uang melainkan hasil bumi yang laku di pasaran dunia dan bisa diekspor Belanda.

Karena hal tersebut nantinya sistem ini akan dikenal sebagai sistem Dwang Stelsel

(tanam paksa). 4

J. H, Houben, Vincent, Keraton dan Kompeni, (Yogyakarta:2002)

Hal.512-524. Sebelum dimulainya pembangunan kereta api di Pulau Jawa, Hindia

Belanda mengalami masa Cuultuurstelsel. Hanya Yogyakarta dan Surakarta

wilayah yang tidak mengalaminya. Sebaliknya, pemerintah maupun pengusaha Belanda dapat menyewa lahan milik pegawai Kraton sesuai dengan syarat dan ketentuan yang disepakati kedua belah pihak.

5

Mrazek, Rudolf, Engginers of Happy Land: Perkembangan Teknologi

(24)

4

sebagai penanda dimulainya pembangunan jalur kereta api uap dan konstruksi

jalurnya yang dipegang oleh Nederlandsch-Indisch Spoorweg Maatscappij

(NISM)6, perusahaan swasta yang bergerak dalam usaha kereta api uap.

Pembangunan jalur tersebut terus melebar dari Semarang menuju daerah-daerah

perkebunan inti yang menjadi penyokong kelangsungan Hindia Belanda.

Rute Semarang-Tanggung dibuka tanggal 10 Februari 1870. Bersamaan

dengan tanggal tersebut, jalur kereta api uap telah menembus Surakarta walaupun

proyek ini sempat mengalami masalah keuangan. Akhirnya tanggal 10 Juni 1872,

jalur yang menuju Yogyakarta berhasil diselesaikan. Kehadiran transportasi kereta

api uap ini menjadi bukti bagaimana Belanda membutuhkan modal yang sangat

besar untuk menyangga jalannya kolonialisme di Hindia Belanda. 7

Kemunculan awalnya yang diusulkan oleh seorang pegawai militer

menandakan peran politik dari jalur kereta api uap tersebut guna memadamkan

sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro yang masih tersebar di wilayah sekitar

Semarang, Kedu, Bagelen, hingga Banyumas8, selain dari peran ekonominya

6

Selanjutnya disingkat NISM dalam karya ini. NISM pula yang membangun jalur Batavia-Buitenzorg sepanjang 54 Km. Pembangunan jalur kereta api uap di Jawa akhirnya diserahkan oleh perusahaan swasta karena pihak pemerintah Belanda masih belum memiliki dana yang cukup. Selain itu, ada kemungkinan Belanda merasa perlu melakukan uji coba yang dilakukan oleh perusahaan swasta ini untuk mengetahui seberapa efektif dan menguntungkan kehadiran moda transportasi yang tergolong baru ini, sebelum Belanda ikut terjun dalam usaha pembangunan jalur dan stasiun kereta api uap di Hindia Belanda.

7

Caldwell, Malcolm, & Utrecht, Ernst, Sejarah Alternatif Indonesia,

(Yogyakarta:2011) Hal. 76 8

Subarkah, Imam, Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita, (Bandung:1992)

(25)

5

setelah munculnya industri perkebunan dan pertanian yang dikelola oleh

orang-orang Belanda. 9

Yang unik dalam pembangunan jalur dan stasiun kereta api uap di Hindia

Belanda adalah pembangunannya yang menghubungkan daerah hulu sebagai

daerah inti pemasok hasil perkebunan komoditas ekspor hingga bermuara ke

pelabuhan-pelabuhan terdekat sebelum akhirnya barang muatan tadi dikapalkan

dan dijual ke pasar internasional.10

Kemunculan jalur kereta api uap beserta stasiun-stasiunnya di Yogyakarta

tumbuh bersamaan dengan semakin meningkatnya usaha sewa menyewa tanah

lungguh pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII. Tanah-tanah

tersebut disewakan untuk menanam komodititas ekspor yang laku di pasaran

dunia, seperti tembakau, kopi, nila, serta primadona ekspor wilayah ini, tebu. 11

Banyaknya perkebunan swasta dari hasil persewaan tanah menimbulkan

masalah dalam pengangkutannya menuju pelabuhan Semarang. Pada masa ini,

9

Supangkat, Eddy, Ambarawa Kota Lokomotif Tua, (Salatiga:2008) Hal.

2. Sama seperti di Semarang, dimana di sana terdapat banyak sekali perkebunan-perkebunan swasta kepunyaan pihak asing yang jumlahnya mencapai 80 buah lebih.

10

Dick, Howard & Rimmer, Peter J., Cities, Transport and

Communications (NewYork:2003) Hal. 64. Disini dijelaskan bagaimana dalam struktur rel kereta api di Asia Tenggara, pasti menghubungkan antara daerah

pedalaman (hinterland) menuju kota-kota pelabuhan sebagai upaya negara-negara

penjajah untuk memasarkan hasil bumi dari negara jajahannya ke pasar dunia. 11

Zuhdi, Susanto, Cilacap 1830-1942, Bangkit dan Runtuhnya Suatu

(26)

6

untuk mengangkut hasil bumi dipergunakan alat transportasi tradisional seperti

gerobak, cikar, maupun andong yang masih ditarik sapi, kerbau, atau kuda. Ada

berbagai resiko yang dihadapi, baik dalam segi waktu, keamanan, kualitas dan

kuantitas barang yang dikirim. Karena pertimbangan tersebut, ditambah dengan

persaingan Belanda dengan negara kolonial lainnya di Asia Tenggara membuat

Belanda merasa perlu untuk membangun jalur kereta api uap di Yogyakarta.

Sebagai kelanjutan dari pembangunan stasiun dan jalur kereta api uap dari

Semarang, dibangunlah stasiun Lempuyangan oleh NISM tanggal 2 Maret 1872.

Jalur Semarang-Yogyakarta terhubung tanggal 10 Juni 1872.

Melihat keuntungan yang didapat oleh NISM, Pemerintah Kolonial

Belanda mulai tertarik untuk menjajaki usaha transportasi kereta api uap.

Pemerintah pusat merasa perlu memaksimalkan keuntungan yang didapat dengan

membangun jalur-jalur kereta api yang menghubungkan kota Yogyakarta dengan

kota-kota lainnya. Hasil dari keputusan tersebut adalah selesainya pembangunan

Stasiun Tugu Yogyakarta tanggal 12 Mei 1887 dibawah kendali perusahaan kereta

dan trem negeri Belanda, De Staatspoor en Tramwegen (SS).12

Dipilihnya Yogyakarta pada tahun 1887 sebagai unsur spasial dan

temporal karena Yogyakarta pada masa itu memiliki usaha sewa menyewa tanah

lungguh yang terus meningkat hingga pada masa pemerintahan Sultan

Hamengkubuwana VII. Dengan banyak persewaan tanah oleh investor Belanda

menyebabkan munculnya kebutuhan akan pengadaan alat transportasi yang cepat,

12

Ballegoijen de Jong, Michiel van, Spoorwegstations Op Java,

(27)

7

aman, dan efektif untuk mengantarnya ke pelabuhan terdekat sebelum menuju

pasar dunia. Peluang ini menjadi rebutan antara SS dan NISM dalam

mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Sedangan dipilihnya Stasiun Tugu sebagai objek dari karya ini karena

keunikan yang dimilikinya dimana stasiun milik pemerintah tersebut muncul di

tengah-tengah masa liberalisme yang memberikan peran lebih pada golongan

swasta dalam bidang ekonomi sedangkan peran pemerintah hanya terbatas pada

bidang pemerintahan dan pembuat kebijakan. Apalagi stasiun tersebut muncul di

tengah kota Yogyakarta yang dekat sekali dengan Stasiun Lempuyangan yang

dimiliki oleh NISM.

Selain itu, terdapat lebih dari satu kepentingan dalam pembangunan

Stasiun Tugu. Tidak hanya dari pemerintah Belanda yang memutuskan

membangun Stasiun Tugu untuk ikut serta dalam persaingan dengan Stasiun

Lempuyangan yang dimanajemeni oleh NISM. Keraton Yogyakarta ikut serta

dengan peran yang bahkan cukup vital. Hal ini dikarenakan dari keinginan

Keraton Yogyakarta dalam mengundang investor asing untuk menanam modal di

tanah-tanah lungguh yang disewakan.13

B. Perumusan Masalah

Munculnya jalur kereta api di Jawa merupakan tanda mulai stabilnya

kekuasaan kolonial sehingga membuat pemerintah Belanda dapat memasukkan

13

Widiyasuti, 1999, “Aspek Legal Formal Tanah Lungguh Di Kasultanan

(28)

8

investasinya (baik perusahaan negeri maupun swasta) ke Nusantara, baik ke

daerah yang secara administratif berada dalam kontrol Hindia Belanda maupun

dalam kerajaan-kerajaan yang masih memiliki kedaulatan dan dapat diajak bekerja

sama dengan Belanda.

Revolusi dalam bidang transportasi baik secara langsung maupun tidak

langsung merubah hampir segala aspek dalam kehidupan manusia. Terlebih

setelah ditemukannya mesin uap yang membuat jarak dan waktu dapat diatasi

dengan bantuan mesin serta mengangkut segala macam hasil bumi dan

menghemat biaya operasional sehingga keuntungan yang didapat berlipat ganda.

Dengan demikian beberapa permasalahan yang hendak diajukan dalam

penelitian kali ini adalah;

1. Bagaimana latar belakang pembangunan Stasiun Kereta Api Tugu di

Yogyakarta?

2. Bagaimana perkembangan stasiun kereta api Tugu di Yogyakarta hingga

tahun 1930?

3. Sejauh mana pengaruh yang muncul dari terbentuknya Stasiun Tugu bagi

masyarakat di Yogyakarta?

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan perumusan masalah, pembatasan dibuat agar pembahasan

permasalahan tidak meluas. Batasan-batasan yang digunakan adalah:

1. Faktor-faktor yang melandasi berdiri dan berkembangnya Stasiun Tugu

(29)

9

2. Pengaruh yang ditimbulkan atas berdiri dan berkembangnya Stasiun

Tugu bagi lingkungan masyarakat di sekitarnya.

D. Tujuan Penelitian

a. Akademis

Penulisan karya ini diharapkan dapat menjelaskan sejarah

berdirinya Stasiun Tugu serta pengaruhnya bagi masyarakat Yogyakarta.

b. Praktis

Penulisan karya ini diharapkan mampu memberi gambaran tentang

kemuculan perusahaan kereta api milik pemerintah, persaingan yang

dihadapi dengan perusahaan kereta swasta, serta pengaruhnya

perkembangan Stasiun Tugu bagi masyarakat Yogyakarta yang dibahas

dalam karya ini.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah:

a. Akademis

Penulisan karya ini diharapkan dapat memberikan wacana baru

dalam melihat kemunculan sebuah sarana dan prasarana transportasi yang

cukup modern di masanya serta dinamika apa saja yang terjadi dalam

(30)

10

b. Praktis

Penulisan karya ini diharapkan dapat menjadi batu pijakan bagi

para peneliti selanjutnya yang berminat melakukan penelitian seputar

kereta api uap di Indonesia.

F. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian yang membahas tentang sejarah perkereta-apian di

Indonesia tentunya tidak bisa lepas dari buku-buku yang sudah membahas

perkembangan perkereta-apian sejak mesin uap hingga mesin diesel dan listrik

yang dipakai sekarang. Karenanya penelitian ini tidak bisa serta merta lepas dari

hasil penelitian tentang sejarah transportasi di Indonesia pada masa Hindia

Belanda.

Hanya saja, cukup disayangkan bila melihat masih sedikitnya buku-buku

yang membahas secara serius mengenai sejarah perkereta-apian yang ditulis oleh

orang Indonesia sendiri, karena kebanyakan masih berupa tulisan mengenai

wacana pengembangan kereta api dan pembahasan dalam segi tehnik dan

arsitektural. Buku-buku yang membahas tentang sejarah perkereta-apian di

Indonesia pun kebanyakan ditulis oleh penulis asing.

Buku sejarah perkereta-apian karya Jan de Bruin yang berjudul “Het

Indische Spoor in Oorlogstijd” merupakan buku yang membahas kondisi perkeretaapian Hindia Belanda sejak masa awal pembangunan hingga masa

Perang Dunia II dan Perang Kemerdekaan Indonesia. Dalam buku ini diterangkan

(31)

perusahaan-11

perusahaan yang pernah beroperasi di Hindia Belanda. Namun, karena cakupan

waktunya berfokus pada masa perang di Hindia Belanda, perkembangan pada

masa sebelum perang hanya menjadi latar belakang yang singkat.

Yang membedakan karya Jan de Bruin dengan penelitian ini adalah

pemilihan sudut pandang yang berbeda, yaitu mengambil sejarah lokal dari sebuah

stasiun kereta api di Yogyakarta, yaitu Stasiun Kereta Api Tugu. Topik

pembahasannya dimulai dari latar belakang berdirinya stasiun hingga pengaruh

yang muncul sejak stasiun tersebut beroperasi bagi masyarakat Yogyakarta.

Waktu yang ditentukan untuk penelitian pun dibatasi sejak tahun 1887 hingga

1930, yaitu sejak stasiun itu berdiri hingga pengaruh yang ditimbulkan bagi

masyarakat Yogyakarta sampai tahun 1930.

Selain buku karya Jan de Bruin, juga terdapat jurnal ilmiah yang

membahas tentang sejarah perkembangan kereta api di jalur Stasiun Willem I

Ambarawa-Semarang-Vorstenlanden dengan judul “KERETA API

AMBARAWA – YOGYAKARTA SUATU KAJIAN SEJARAH SOSIAL

EKONOMI PADA ABAD 19” karya Sri Retna Astuti dalam Laporan Penelitian

JARAHNITRA nomer 002/P/1994.

Topik pembahasan dari karya Sri Retna Astuti adalah perkembangan sosial

ekonomi yang terjadi di jalur kereta yang menuju utara (Semarang). Karenanya,

topik yang ditulis dalam karya tersebut adalah perusahaan kereta api NISM,

perusahaan kereta api swasta yang melayani jalur Semarang Vorstenlanden.

(32)

12

penjelasan yang ringkas mengenai pengaruh akibat munculnya alat transportasi

kereta api di tempat-tempat yang dilaluinya.

Yang membedakan penelitian ini dengan karya Sri Retna Astuti adalah

objek penelitian yang diteliti. Objek penelitian tersebut adalah stasiun kereta api

yang didirikan oleh badan usaha milik Belanda (SS), Stasiun Tugu yang memiliki

akses menuju Pelabuhan Cilacap. Karena didirikan oleh badan usaha milik negara

Belanda, sudah pasti perusahaan tersebut adalah perusahaan milik negara.

Selain melihat dari buku maupun jurnal ilmiah yang memiliki kesamaan

tema, dalam penulisan karya ilmiah ini juga dilihat skripsi-skripsi dengan tema

yang sama. Dari pencarian ditemukan 2 buah skripsi yang membahas tentang

kereta api uap dan stasiun tugu.

Skripsi pertama karangan Annasia Resta Darmayanti dari Universitas Sanata Dharma dengan judul “Sejarah Perkereta-apian di Indonesia 1945-1995”.

Skripsi ini menjadi pengantar ringkas untuk melihat bagaimana perkembangan

kereta api di Indonesia pada masa-masa kemerdekaan dan perang kemerdekaan,

sehingga bisa menjadi pembanding dengan karya Jan de Bruin. Walaupun karya

ini berupaya membahas perjalanan kereta api Indonesia, pokok bahasannya hanya

menyentuh perkembangan kereta api di Pulau Jawa saja dan sedikit sekali

informasi penting mengenai perkembangan kereta api di Indonesia setelah perang

kemerdekaan selesai.

Penelitian ini tentu saja berbeda dengan skripsi karya Annasia Resta

Darmayanti, ruang lingkup pembahasannya lebih kecil, yaitu stasiun kereta api

(33)

13

lokal tentang latar belakang pendirian dan pengaruh dari stasiun tersebut di

Yogyakarta.

Skripsi kedua karya Tiyas Adi Putra dari Universitas Gajah Mada yang

berjudul “Latar Belakang Pemilihan Lokasi Stasiun Tugu dan Stasiun

Lempuyangan Yogyakarta”. Skripsi ini juga membahas tema yang hampir sama

dengan karya ilmiah ini dan menjadi pengantar yang bagus dalam membahas

seluk-beluk stasiun kereta api Tugu dan Lempuyangan. Hanya saja fokus

permasalahan lebih mentitikberatkan pada segi-segi arsitektural dan letak

geografis dari kedua stasiun tersebut daripada tentang peristiwa yang menjadi

dasar dari pembangunan Stasiun Tugu.

Perbedaan antara penelitian ini dengan skripsi karangan Tiyas Adi Putra

terletak dari pembahasannya. Bila skripsi Tiyas Adi Putra terfokus pada

permasalahan segi arsitektural, dan letak geografis pada Stasiun Tugu dan

Lempuyangan, skripsi ini membahas kondisi yang melatarbelakangi berdirinya

stasiun kereta api Tugu dan pengaruh yang muncul sejak stasiun tersebut

beroperasi hingga tahun 1930.

G. Landasan Teori

Buku yang berjudul “Transportation and Politics” karangan Roy L. Wolfe,

seorang ahli geografi dari Kanada ini menjelaskan kaitan antara sarana

transportasi dengan politik secara gamblang14, bahkan hubungannya antara

14

Wolfe, Roy I., Transportation and Politics, (New Jersey: 1963). Hal. 70

(34)

14

transportasi kereta api uap pada masa kolonialisme yang banyak bermunculan di

negara-negara Asia Tenggara, serta peran negara kolonial dalam perkembangan

sarana transportasi tersebut.15

Hal ini diperkuat dalam buku karangan Howard Dick dan Peter J. Rimmer yang berjudul “Cities, Transport and Communications, The Integration of South

East Asia since 1850” yang melihat hubungan antara tumbuhnya sarana transportasi pada masa kolonialisme di Asia Tenggara yang menghubungkan .

Buku ini menjelaskan bagaimana dalam pembangunan sarana transportasi kereta

api uap yang awalnya bertujuan menghubungkan antara daerah hulu sebagai

penghasil sumber daya alam dengan daerah hilir atau pelabuhan yang menjadi

pintu masuk bagi perdagangan dunia juga mengakibatkan tumbuhnya kegiatan

ekonomi lain yang menggunakan sarana transportasi tersebut sebagai sarana

penunjangnya.16

keamanan untuk menangkal ancaman dari dalam maupun dari luar, serta sebagai sarana ekonomi yang membantu memperlancar arus transportasi barang dan kegiatan operasional dalam rangka ekspoitasi di daerah koloni tersebut.

15

Wolfe, Roy I., Ibid., Hal 77. Kemunculan sarana kereta api uap di

daerah kolonial menjawab tantangan alam dan tantangan zaman yang menuntut kecepatan dan terbukanya akses daerah terpencil dalam rangka penetrasi ekonomi.

16

Dick, Howard et.al., Cities, Transport and Communications, The

(35)

15

Untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi pada masarakat

Yogyakarta dari kehadiran Steasiun Tugu Yogyakarta dipakailah buku karya Piotr

Sztompka yang berjudul “Sosiologi Perubahan Sosial”. Buku ini memiliki

penjelasan yang cukup mendalam tentang perubahan sosial masyarakat.

Perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan yang berkaitan dengan struktur

masyarakat yang menyentuh inti realitas sosial.17 Munculnya perubahan sosial

bisa disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah kehadiran sebuah

teknologi baru yang diikuti dengan perubahan struktur masyarakat yang mendasar,

seperti munculnya sarana pendidikan yang memberi akses pendidikan kepada

masyarakat, tergantikannya tenaga manusia dan hewan oleh tenaga mesin dan

berubahnya pola hidup masyarakat dari petani yang tinggal di desa menjadi buruh

yang tinggal di pinggir kota yang menjadi pemicu bagi perubahan sosial dalam

sebuah masyarakat (seperti perubahan pekerjaan, teknologi, serta pandangan

hidup dan nilai) dan sejauh mana kemampuan dari masyarakat di daerah tersebut

untuk beradaptasi menghadapi perubahan yang terjadi di lingkungannya. 18

H. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini cakupan tempat yang akan

diteliti adalah Stasiun Kereta Api Tugu, Kota Yogyakarta. Selain stasiun,

penelitian juga akan dilakukan di Perusahaan Kereta Api Yogyakarta dan

17

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta:2011). Hal. 17.

18

(36)

16

di perpustakaan Univ. Sanata Dharma serta perpustakaan lain di D. I.

Yogyakarta. Tidak lupa juga gedung arsip D. I. Yogyakarta maupun di

Jakarta untuk mendapatkan data yang sekiranya sesuai dengan tema

penulisan karya ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melaksanakan penelitian ini digunakan dua teknik utama,

yaitu studi pustaka dan observasi lapangan. Studi pustaka dilakukan di

perpustakaan maupun gedung arsip guna mendapatkan data tertulis. Selain

melakukan studi pustaka dilakukan juga observasi lapangan untuk

mencocokan data tertulis yang didapat dari buku maupun arsip di lapangan.

3. Analisis Data

Data-data yang sudah berhasil dikumpulkan baik dari hasil studi

pustaka maupun observasi akan dianalisa sesuai dengan konteks zaman di

masa itu. Nantinya data tersebut akan dilakukan penyocokan data dengan

saling melakukan cek pada data lainnya yang berkaitan dengan tema

penelitian ini sehingga muncul pembacaan kritis dengan lebih dari satu

sumber. Bila penyocokan data sudah dilakukan akan ditemukan gambaran

komprehensif dalam melihat perkembangan Stasiun Kereta Api Tugu serta

dampak dan pengaruhnya bagi masyarakat Kota Yogyakarta, baik sebelum

maupun sesudah pembangunan stasiun tersebut dalam bidang sosial

maupun ekonomi.

Analisa yang digunakan didasari oleh teori-teori yang dipinjam

(37)

17

perubahan sosial dari sosiologi yang menjelaskan perubahan dalam

masyarakat yang disebabkan dari dampak kemajuan teknologi transportasi

yang tentunya baik secara langsung maupun tidak langsung membawa

pengaruh dalam perubahan masyarakat, pengaruh antara munculnya

transportasi dengan kepentingan politik, serta digunakan pendekatan ilmu

transportasi untuk mengetahui bagaimana awal mula kemunculan sarana

dan prasarana pendukung dalam kegiatan eksploitasi sumber daya daerah

koloni oleh para penjajah.

I. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, penulisan karya ilmiah ini dibagi dalam 5 bab dan 1

lampiran, diantaranya sebagai berikut:

BAB I, merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang penulisan

karya ilmiah ini dan permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka,

karangka teori, pendekatan, metode penelitian, dan penggunaan sumber serta

sistematika penulisan.

BAB II, membahas mengenai latar belakang pemilihan lokasi stasiun Tugu

di Yogyakarta dan kondisi sosial ekonomi yang menyebabkan perlu dibukanya

Stasiun Tugu di Yogyakarta.

BAB III, membahas mengenai sejarah pembangunan stasiun Tugu di Kota

(38)

18

BAB IV, membahas tentang dampak-dampak yang timbul dari selesainya

pembangunan dan aktivitas dari stasiun Tugu di Yogyakarta bagi masyarakat Kota

Yogyakarta.

BAB V, yang merupakan bab terakhir berisi kesimpulan yang dapat

dipetik dari uraian dan analisis di atas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

(39)

19 BAB II

KONDISI WILAYAH YOGYAKARTA PADA MASA HAMENGKUBUWANA VII YANG MELATARBELAKANGI PEMBANGUNAN STASIUN KERETA API TUGU YOGYAKARTA

A. Kondisi Kesultanan Yogyakarta Dan Persawaan Tanah Pada Masa Hamengkubuwana VII

Sejarah terbentuk dan berkembangnya kota-kota di Nusantara dibagi

menjadi dua bagian, yaitu kota tradisional dan kota kolonial. Kota-kota tradisional

di Nusantara, terutama di Jawa, berkembang dengan memperhatikan konsep

kosmologis serta kearifan lokal yang didapat dari bentuk hubungan timbal balik

antara lingkungan dengan manusia serta tidak melupakan unsur-unsur religi yang

terkandung di dalamnya. Hal ini bisa kita lihat dengan munculnya elemen-elemen

seperti adanya keraton, alun-alun, masjid, pasar, dan tembok maupun benteng

yang melindunginya.1 Tanggal dari kelahiran sebuah kota tradisional biasanya

terpapar dalam bentuk historiografi tradisional, seperti dalam prasasti, serat, babad,

maupun rontal. Walaupun tidak jarang tanggal keberadaan kota tersebut tidak

jelas karena berbagai mitos yang melekat.

Perkembangan kota-kota Kolonial di Nusantara bermula searah dengan

interaksi penduduk Pribumi dengan pendatang Eropa. Kota-kota ini terbentuk

untuk memfasilitasi pendatang Eropa yang datang ke wilayah koloninya yang

berada di Asia maupun Eropa. Kondisi ini sering menyebabkan munculnya

ketidakseimbangan antara penduduk Pribumi dan Barat yang tinggal dan

1

Basundoro, Purnawan, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta:2012) Hal.

(40)

20

menyebabkan berbagai macam bentuk perlawanan untuk mengusir pendatang

Eropa yang menjajah. Berdirinya kota-kota kolonial menandakan sudah semakin

kondusifnya kondisi daerah koloni. ada beberapa ciri dari kota-kota kolonial,

seperti adanya pemukiman masyarakat kolonial. adanya garnisun (pemukiman

tentara) untuk tujuan keamanan, gudang untuk menyimpan barang hasil bumi

yang diperdagangkan di dunia internasional, serta terdapat tempat dimana para

penguasa kolonial dapat mengadakan perjanjian dagang dengan penguasa

pribumi.2

Wilayah Yogyakarta merupakan sebuah wilayah yang terbentuk dengan

mengikuti prinsip perkembangan kota-kota tradisional di Nusantara. Dalam

sejarahnya, wilayah Yogyakarta terbentuk dari Perjanjian Giyanti yang membagi

Kesultanan Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan

Kesunanan Surakarta. Perjanjian yang diprakarsai oleh Gubernur Jendral Hartingh

ini ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III pada tanggal

13 Februari 1755.3

2

Ibid., hal. 84 3

Sri Mulyati, 1996, Perkembangan Kota Yogyakarta Tahun 1756-1824

(Tinjauan Tata Kota), Skripsi, Universitas Indonesia, unpublished, Hal. 29. Perjanjian Gianti lahir sebagai buah perseteruan Antara R. M. Said yang tidak puas dengan semakin gencarnya pengaruh VOC dalam keraton hingga Pakubuwana II mengikat perjanjian dengan VOC dalam hal monopoli

perdagangan dan pegangkutan di Mataram (Lih. Darmosugito, Kota Jogjakarta

200 tahun, (Yogyakarta:1956) Hal. 8 tentang “Perjanjian Ponorogo” yang

(41)

21

Wilayah Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III terdiri dari daerah

Pajang, Sukowati, Jogorogo, Ponorogo, sebagan Pacitan, Kediri, Blitar dengan

Srengat (termasuk Lodoyo), Pace (Nganjuk-Berbek), Wirosobo (Mojoagung),

Blora, Banyumas, Banyumas (termasuk Pamerden atau Banyumas Timur dan

Dayeuhluhur), Keduwang di sebelah tenggara Surakarta, serta sebagian Kedu

yang dibagi dua.4

Sedangkan wilayah Kesultanan Yogyakarta hasil Perjanjian Giyanti yang

dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Hamengku Buwono I

diantaranya adalah Madiun, Magetan, Caruban, sebagian Pacitan, Kertosono,

Kalangbret dan Ngrowo (Tulungagung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro),

Teras Karas (Ngawen), Selo (daerah Grobogan), Warung (di Blora), Bagelen,

Rema (Karanganyar), serta sebagian wilayah Kedu.5

Berdirinya Kesultanan Yogyakarta tidak hanya menjadikan

Hamengkubuwana I menjadi raja di wilayah tersebut, tetapi juga mengakomodasi

Belanda yang ingin menyewa tanah lungguh di Yogyakarta.6 Dengan munculnya

persewaan tanah ini, secara perlahan namun pasti warna-warna kota kolonial

4

Juwono, Harto, 2011, Persewaan Tanah Di Kesunanan Surakarta Dan

Kesultanan Yogyakarta 1818-1912: Penerapan Prinsip Konkordari Di Wilayah

Projo Kejawen”, Disertasi Universitas Indonesia. unpublished, hal. 125

5

Ibid.

6

(42)

22

mulai nampak dengan jelas, seperti munculnya wilayah perkantoran dan tangsi

militer orang Belanda, kehadiran gereja katolik Kota Baru maupun protestan di

sebelah utara rumah Residen Yogyakarta, serta adanya daerah perumahan untuk

orang-orang Belanda di daerah Bintaran dan Kota Baru.

Persewaan Tanah di Kesultanan Yogyakarta semakin meningkat jumlah

dan luasnya pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VII. Hal ini disebabkan

keadaan Hindia Belanda pada masa sebelumnya mengalami masa-masa sulit,

seperti terjadinya Perang Jawa pada tahun 1825-1830, hingga selesainya Perang

Jawa dan dimulainya masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel) tahun 18307 hingga

340 Meskipun wilayah Yogyakarta yang termasuk dalam Vorstenlanden tidak

mengalami kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel), wilayah ini mengalami

persewaan tanah yang diatur dalam perjanjian sewa tanah antara penyewa tanah dengan Kesultanan Yogyakarta dan Gubernur Jendral Hindia Belanda. Tercatat setidaknya pada tahun 1839 di Yogyakara terdapat 20 perkebunan swasta dengan luas 5.210 bau, sepuluh tahun kemudian meningkat 12.836 bau. Tahun 1851 ada 43 perkebunan dengan luas 13.023 bau, tahun 1861 meningkat 51 perkebunan dengan luas 56.000 bau, lalu tahun 1864 ada 53 perkebunan. Pada tahun 1865 ada 57 perkebunan dan tahun 1869 bertambah satu lagi. Bertambahnya persewaan tanah di Yogyakarta yang memasok barang kebutuhan di pasar Eropa seperti gula, kopi, dan indigo disebabkan oleh tingkat kesuburan tanahnya yang lebih tinggi dari daerah lain serta tersedianya tenaga kerja yang berlimpah. Selain itu, wilayah

Vorstenlanden merupakan wilayah dimana eksploitasi oleh perusahaan swasta diperbolehkan dengan aturan yang ketat. Hal ini sungguh berbeda dengan wilayah Jawa lainnya yang mengalami masa Tanam Paksa dan berada di bawah eksploitasi pemerintah Belanda. Hal ini disebabkan karena persewaan tanah lungguh yang dimiliki oleh para pegawai Keraton dan kerabat Sultan kepada perusahaan perkebunan swasta. Kepemilikan tanah lungguh biasanya disertai dengan rakyat yang berada di dalamnya, sehingga selain mendapatkan tanah, perusahaan yang menyewa tanah tersebut juga mendapat tenaga kerja untuk mengolah lahannya.

(Bdk. Vincent J. H. Houben, Economic Policy In The Principalities Of Central

(43)

23

Ada beberapa peristiwa yang menjadikan masa pemerintahan

Hamengkubuwana VII (1877-1921) menjadi masa yang penting dalam penyewaan

tanah di Yogyakarta, yaitu penandatanganan perjanjian dengan pemerintah Hindia

Belanda yang diwakili oleh residen Belanda B. Van Baak untuk melakukan

reorganisasi kebijakan agraris, perbaikan lembaga peradilan dan keamanan, serta

pemeliharaan sarana transportasi.8

Ketiga buah perjanjian diatas menjadi pemicu terjadinya peningkatan

aktifitas persewaan tanah di Yogyakarta pada masa pemerintahan

Hamengkubuwana VII. Pertama, reorganisasi kebijakan agraris menciptakan

sistem pengaturan dan pemilikan tanah yang baru dengan dasar persewaan tanah

yang kembali. Kebijakan reorganisasi agraria yang dilakukan di Yogyakarta tahun

1912-1918 dilakukan untuk memperbaharui sistem tanah lungguhnya yang dinilai

ketinggalan zaman oleh pejabat residen Belanda.9 Kebijakan reorganisasi agraria

8

Poerwokusumo, Soedarisman, Kasultanan Yogyakarta,

(Yogyakarta:1985) Hal. 38. 9

Sesana, Riya, 2011, Intrik Politik Dan Pergantian Tahta Di Kesultanan

Yogyakarta 1877-1921, Tesis, Universitas Indonesia. unpublished, hal. 30. kebijakan dihilangkannya sistem lungguh di Yogyakarta diusulkan Belanda untuk mengakomodasi kebutuhan penyewa tanah akan tanah pertanian yang dapat disewa. Bila sebelumnya untuk menyewa tanah diharuskan meminta izin kepada Keraton Yogyakarta dan Gubernur Hindia Belanda, dengan diterapkannya peraturan ini hanya diperlukan izin dari Gubernur saja. Meskipun begitu, tidak semua tanah lungguh benar-benar menghilang di Yogyakarta. Hal ini dikarenakan keputusan sultan untuk tetap mempertahankan tanah lungguh di kalangan kerabat keraton karena banyak anggota keluarganya yang memiliki tanah dengan status

milik pribadi.(Ibid., Hal. 59) Kebijakan reorganisasi agraria tahun 1912 sendiri

merupakan pengembangan daru UU Agraria 1870 (bdk. Kartodirjo, Sartono, et. al.

Sejarah Perkebunan Di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi (Yogyakarta: 1991)

Hal. 80 dan Sievers, Allen M,. The Mystical World Of Indonesia:Culture And

(44)

24

ini memberi kebebasan bagi perusahaan swasta untuk menanamkan modal

termasuk di daerah Vorstenlanden sehingga menyebabkan berkembangnya

perusahaan perkebunan swasta (onderneming).

Kedua, kebijakan untuk memperbaiki lembaga peradilan10 dan institusi keamanan. Perlunya perbaikan institusi keamanan guna menjaga perkebunan

swasta dari tindakan kriminalitas seperti perampokan atau pembakar ladang

perkebunan.11 Untuk mengatasinya, dibentuklah Bupati Gunung atau Bupati Polisi

yang bertugas menjaga keamanan di wilayah yang diampunya.12 Munculnya

10

Widiyastuti, 1999, Aspek Legal Formal Tanah Lungguh Di Kasultanan

Yogyakarta 1831-1918, Tesis, Universitas Gajah Mada. unpublished, hal. 151-161. Sebelum reorganisasi lembaga peradilan dilaksanakan, Kesultanan Yogyakarta memiliki empat lembaga peradilan, yaitu Pengadilan Pradata yang menangani perkara pidana (begal, kecu, penjarahan, pembunuhan, perang desa, dll) dan perdata (jual beli, pergadaian, pinjaman, dll) yang tidak berhubungan dengan tanah, Pengadilan Surambi yang mengurusi masalah pidana dan perdata, dengan berasaskan kitab fiqih dalam agama Islam, Pengadilan Balemangu yang mengurusi segala macam persoalan mengenai tanah dengan bersumber pada kitab

Angger-Angger, terlebih bagian Angger Sadasa yang mengurusi masalah pertanahan, dan Pengadilan Darah Dalem yang mengurusi permasalahan intern Keraton dan persoalan Putra Sentana Dalem.

11

W. Pranoto, Suhartono, Jawa Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis

1850-1942, (Yogyakarta:2010) Hal. 157-160 Aktifitas kecu (pencurian di malam hari) di Yogyakarta masuk pada tahap yang mencemaskan pada tahun 1850 seiring dengan munculnya perkebunanswasta di Yogyakarta. Karena tekanan hidup yang sulit (mulai dari sawah yang menjadi daerah perkebunan, adanya musim panceklik dan gagal panen) banyak orang yang menjadi kecu dan menjadikan daerah perkebunan swasta sebagai sasaran operasinya. Biasanya yang dirampok adalah hewan ternak maupun uang milik pengusaha perkebunan. Aktifitas pembakaran daerah perkebunan sendiri dilakukan oleh para petani yang merasa dirugikan oleh merebaknya daerah perkebunan swasta yang menggusur lahan pertanian rakyat, sehingga pembakaran ladang perkebunan dan bangunan pendukungnya dilakukan guna memuaskan rasa kesal mereka. Aktifitas pembakaran lahan semakin meluas sejak tahun 1860.

12

(45)

25

Bupati Gunung menjadi tanda dari keinginan serius Residen Yogyakarta dan

Kesultanan Yogyakarta untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah

Yogyakarta, terlebih di daerah perkebunan swasta.

Ketiga, perbaikan sarana transportasi seperti jalan raya dan jembatan. guna mengangkut hasil bumi yang diproduksi dari perkebunan swasta sebelum

dikirim menuju pasar Eropa lewat pelabuhan terdekat. Dengan diperbaikinya

jaringan jalan raya dan jembatan yang sebelumnya sempat rusak maupun terlantar

akibat Perang Jawa, menjadikan daerah perkebunan swasta tidak mengalami

kesulitan dalam mendistribusikan hasil produksinya menuju daerah pelabuhan.

Ketika masa Hamengkubuwana VI, pada tahun 1869 terdapat 58

perkebunan swasta di Yogyakarta, maka pada masa Hamengkubuwana VII jumlah

persewaan tanah terjadi peningkatan sejalan dengan munculnya peraturan yang

mengatur persewaan tanah. Terdapat 61 perusahaan perkebunan swasta yang

beroperasi mulai dari tahun 1890 hingga tahun 1921.13

Untuk lebih jelas, di bawah ini terdapat daftar perusahaan perkebunan

swasta yang melakukan aktifitas perkebunan pada tahun 189 dan daftar

perkebunan swasta yang membuat kontrak persewaan tanah di yogyakarta tahun

1920-1925. Perusahaan perkebunan tersebut bergerak di bidang usaha perkebunan

kopi, gula, dan indigo, karena ketiga komoditas tersebut merupakan komoditas

yang laku di pasaran Eropa.

13

(46)

26

Semakin maraknya perjanjian sewa tanah antara perusahaan perkebunan

swasta dengan kerabat maupun pegawai Keraton tentu saja menimbulkan

beberapa masalah tersendiri bagi Keraton Yogyakarta, terlebih setelah selesainya

Perang Jawa, Keraton Yogyakarta harus menanggung biaya perang yang

dikeluarkan oleh Belanda. Seperti diserahkannya daerah Mancanegara (Bagelen,

Banyumas, Kediri) kepada Belanda.14 Hal ini tentu saja memberatkan proses

pembagian tanah lungguh bagi pegawai dan kerabat Keraton. Untuk mengatasi hal

tersebut, Keraton Yogyakarta memberlakukan penggajian dengan menggunakan

uang, selain menggunakan tanah.15

Proses pembagian tanah lungguh mulai lebih selektif untuk menentukan

siapa saja yang benar-benar membutuhkan. Daerah yang masih bisa dikelola

sebagai tanah lungguh adalah daerah Mataram (Bantul, Sleman, Kalasan) dan

sebagian Kulonprogo.16 Wilayah tersebut dibagi dengan ketentuan 120 jung untuk

putra mahkota, dan 96 jung untuk patih.17 Setelah munculnya pemberian gaji

berupa uang, mulai banyak pejabat-pejabat keraton yang mendapatkan gaji berupa

14

Widiyastuti, op.cit., Hal. 106

15

Ibid., Hal. 138 Penggunaan uang untuk memberi gaji bagi pejabat Keraton dimulai tahun 1812, setelah Keraton Yogyakarta kehilangan wilayah Kedu. Sejak saat itu, pada tahun 1850-an, sistem pemberian gaji bagi pejabat keraton tidak hanya bertumpu pada tanah lungguh saja.Penerapan pemberian gaji berupa uang. Penggunaan uang yang semakin meluas di masa ini membuat pemanfaatan uang oleh para pejabat kesultanan digunakan untuk pemenuhan

kebutuhan sosial dan politiknya. (Ibid., Hal. 139)

16

Ibid., Hal. 119 17

(47)

27

uang dan tidak lagi mendapat tanah sebagai pendapatannya. Hal ini menandai

masuknya ekonomi moneter di Yogyakarta.

Munculnya ekonomi moneter tidak serta merta membuat pejabat keraton

menggantungkan hidupnya hanya dari uang gaji. Tanah-tanah lungguh yang

dimiliki banyak disewakan kepada perusahaan perkebunan swasta. Hal ini

dilakukan karena lebih menguntungkan bagi kas Keraton dan sebagai tambahan

penghasilan bagi pemilik tanah lungguh, selain gaji berupa uang yang diterima

dari keraton

Keuntungan yang didapat bagi keraton adalah biaya sewa yang ditanggung

para penyewa Eropa kepada para Patuh18 lebih banyak dibanding jumlah pajak untuk mengelolanya. Umumnya tinggal di wilayah Keraton (Kuthagara) atau Negaragung yang jauh dari tanah lungguhnya agar dapat dengan mudah diawasi

oleh Sultan. Dalam Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di

Pedesaan Surakarta 1830-1920. (Yogyakarta:1991) Hal. 2, patuh berarti pekerjaan yang sudah ditetapkan. Bila dilihat kembali dalam pengertian patuh pada paragraph ini, patuh merupakan orang yang telah ditetapkan status dan pekerjaannya oleh raja.

19

Petugas yang diserahi kewenangan oleh Patuh untuk memungut

sebagian hasil tanah yang menjadi hak penguasa dari rakyat yang berada di tanah

lungguh patuh tersebut. Karena kemampuannya, Patuh mempercayakan Bekel

untuk menghimpun dan mengorganisir tenaga kerja guna menghasilkan produk

(48)

28

dalam sistem persewaan.20 Sultan melihat keuntungan yang didapatkan oleh para

patuh dari hasil menyewakan tanah cukup signifikan. Karena pertimbangan

tersebut akhirnya pesewaan tanah dibolehkan oleh Sultan.21

Hal ini tentu saja berbeda pada sisi si penyewa tanah. Bagi pemilik

perkebunan swasta, munculnya persewaan tanah di wilayah Kesultanan

Yogyakarta menjadikan berkembangnya wilayah onderneming yang membuat

pemilik perkebunan swasta selalu mencari cara untuk memperluas tanah

perkebunan mereka. Hal ini yang menyebabkan tanah lungguh milik pejabat dan

kerabat Keraton Yogyakarta makin banyak disewa.

Persewaan tanah lungguh dinilai lebih menguntungkan karena berbagai

sebab, diantaranya:

1. Perkebunan Swasta bisa mengandalkan tenaga kerja rakyat yang ada di

wilayah yang disewanya.22

20

BPAD DIY, Praktek Persewaan Tanah Lungguh Di Kesultanan

Yogyakarta Pada Masa Sultan Hamengkubuwana VII Tahun 1877-1921.

(Yogyakarta: 2009) Hal. 7-8 21

Untuk mengetahui persebaran perkebunan kopi, indigo, dan tebu serta pabrik gula yang berdiri diatas tanah-tanah lungguh di Yogyakarta dapat dilihat pada peta di lampiran atau pada link http://kaarten.abc.ub.rug.nl/root/afz/indo/krt-1890-indo-djok-1/ diakses pada tanggal 28 Oktober 2013

22

Dalam sistem tanah lungguh, raja tidak hanya menyerahkan tanah saja kepada pejabat atau kerabat keraton, melainkan disertai dengan rakyat yang tinggal di dalamnya. Rakyat tersebut diharuskan untuk memberikan pajak kepada

para patuh maupun bekel, baik dengan hasil bumi maupun dengan kerja bakti. Hal

ini bisa dibuktikan dari satuan ukuran pada tanah di masa ini, yaitu dengan menggunakan bahu atau karya atau cacah, yang menerangkan jumlah tanah yang dapat dikerjakan seseorang dalam waktu sehari. Dengan cara ini, perusahaan perkebunan tidak harus mencari tenaga kerja dari tempat karena para penduduk dapat diperintahkan untuk bekerja di daerah perkebunan dengan komando para

Gambar

Tabel 3.1 Perbandingan Keuntungan Dan Kerugian Dari Pembangunan
Gambar 3.1, Peta Jalur Kereta Api Yogyakarta Yang Melewati Sebelah Barat
Tabel 3.2 Jumlah Keuntungan Dan Kerugian Perusahaan SS Di Jalur Yogyakarta-
Tabel 3.3 Total Pengeluaran Perusahaan Kereta Api SS Dan NISM Di Pulau Jawa Tahun 1890
+7

Referensi

Dokumen terkait

perbedaan kelelahan kerja yang terpapar iklim kerja panas pada pekerja bagian. Pengecekan dan Perbaikan

Obyek penelitian terbatas mengenai pengaruh tingkat pendidikan dan masa kerja terhadap prestasi kerja karyawan pada PT Kereta Api (Persero). DAOP VI Yogyakarta di Stasiun

Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 6 Yogyakarta telah melaksanakan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi pekerja di Unit Pembantu Teknis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: kondisi sarana dan prasarana di Taman Kanak-kanak YWKA Yogyakarta. Hal ini ditujukan agar pihak sekolah dapat mengetahui kondisi sarana

berjudul Analisis Antrian dalam Optimalisasi Sistem Pelayanan Kereta Api di Stasiun Purwosari dan Solo Balapan.. Dalam penulisan Laporan Tugas Akhir ini, penulis mendapat