i ABSTRAK
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930
Skripsi ini mengambil tema penelitian seputar sejarah dari Stasiun Tugu Yogyakarta, sebuah stasiun kereta api yang sudah beroperasi sejak masa Hindia Belanda hingga di masa modern seperti sekarang ini. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana latar belakang pembangunan stasiun tersebut di Yogyakarta, perkembangan apa saja yang muncul setelah stasiun tersebut selesai dan beroperasi, serta sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan dari terbentuknya Stasiun Tugu bagi masyarakat Yogyakarta.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan observasi lapangan. Selain itu, dalam melaksanakan analisis data dilakukan kritik sumber setelah ditemukannya berbagai macam sumber yang sesuai dengan kebutuhan penilitian sehingga dapat dibandingkan dan memunculkan sebuah kesimpulan yang menjadi jawaban dari penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana dalam kemunculannya, Stasiun Tugu Yogyakarta merupakan wujud turut campurnya dua kekuasaan yang memiliki pengaruh besar bagi Yogyakarta, yaitu perusahaan kereta api dan tram Negara
Belanda SS (De Staatspoor en Tramwegen) yang menjadi perpanjangan tangan dari
Pemerintah Hindia Belanda, serta Kesultanan Yogyakarta. Hal ini merupakan sesuatu yang unik di Hindia Belanda, mengingat bagaimana dalam menerapkan kebijakannya, Belanda selalu berhasil menekan pemerintahan lokal di Hindia Belanda.
Selain itu, Stasiun Tugu yang dikelola oleh SS merupakan sebuah usaha pemerintah untuk ikut serta dalam bisnis transportasi. Hal ini sangat tidak umum mengingat bagaimana di Hindia Belanda urusan transportasi kereta api sudah
dikuasai oleh NISM (Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschppij) yang merupakan
perusahaan swasta. Sesuai dengan konsep liberalisme yang mulai berkembang di Eropa dan terus menjalar ke seluruh dunia.
Setelah dilakukannya penelitian dapat dilihat bagaimana sejarah transportasi lebih dari sekedar pembangunan alat transportasi dan fasilitas pendukungnya. Ada banyak sekali tangan-tangan tidak terlihat yang memiliki kepentingan dalam pembangunan fasilitas tersebut dengan berbagai motif. Seperti motif politik dan ekonomi dalam Stasiun Tugu. Tidak hanya berperan sebagai sarana pengangkutan hasil bumi yang laku di pasar dunia, Stasiun Tugu menjadi wujud kekuatan dan pengaruh Keraton Yogyakarta.
ii ABSTRACT
THE HISTORY AND DEVELOPMENT OF TUGU RAILWAY STATION IN YOGYAKARTA 1887-1930
This Thesis have a theme about the history of Tugu Railway Station, a railway station that have been operated from the time of Dutch Indies until the modern time. The purpose of this thesis is to know the background of the construction from this railway station in Yogyakarta, the development that rise after the railway station have been finished and operated, and how far the effect that come from the construction of Tugu Railway Station for the citizen of Yogyakarta.
The methods that used are literature studies and field observations. Moreover, in carrying out data analysis performed after the discovery of source criticism various sources to suit the needs research that can be compared and conclusions of a one raises an answer from this research
The result from this study show how in the appearance, Tugu Railway Station is the embodiment of two great power that have a big influence for Yogyakarta, that
is the state railway and tram company, SS (De Staatspoor en Tramwegen) that
become the extension from the Dutch Government and The Sultanate of Yogyakarta. This is something unique in Dutch Indies, from how to apply the policies, Dutch always give the pressure to the local government in Dutch Indies.
Beside that, Tugu Railway Station that operate under the management of SS was the work of the state to join in the transportation business. This is the anomaly, if we remember in the Dutch Indies, the railway connection have been controlled by the
NISM (Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschppij), the private company. in
accordance with the concept of liberalism that began to develop in Europe and continues to spread throughout the world.
After the research have been done, we can see how far the history of transportation more than just the construction of supporting facilities. There were so many invisible hands that have the control in the development of that facilities with so many motive behind them. Like the politic and economic motive in Tugu Railway Station. Not only serves as a means of transporting agricultural products sold in the world market, Tugu Station to form the power and influence of Yogyakarta Palace.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
Rechardus Deaz Prabowo NIM: 094314002
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
Rechardus Deaz Prabowo NIM: 094314002
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii SKRIPSI
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930
Disusun Oleh:
Nama : Rechardus Deaz Prabowo NIM : 094314002
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I Tanggal
iii SKRIPSI
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930
Dipersiapkan dan ditulis oleh: Nama : Rechardus Deaz Prabowo
NIM : 094314002
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada Tanggal 18 September 2013 Dan menyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan Ketua : Drs. Silverio R. L. A. Sampurno, M. Hum. ……….. Sekretaris : Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum ……….. Anggota : 1. Dr. H. Purwanta, M. A. ……….. 2. Drs. Ign. Sandiwan Suharso ……….. 3. Drs. Silverio R. L. A. Sampurno, M. Hum. ………..
Yogyakarta, 29 November 2013 Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma Dekan
iv
PERSEMBAHAN
Pertama-tama, skripsi ini saya persembahkan kepada keluarga saya, Paulus
Suwondo, Kristina Triani, Mbah Suyatmi, dan Yohanes Davin Dwiatmoko,
yang dengan penuh pengertian serta dukungan doa dan tenaga telah
menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsinya.
Kepada para Dosen Ilmu Sejarah Sanata Dharma yang dengan senang hati
memberikan perhatian kepada penulis selama proses perkuliahan dan
penulisan Skripsi.
Selanjutnya kepada teman-teman seperjuangan natas dan keluarga besar Ilmu
Sejarah yang dengan suka cita menjadi tempat berkumpul dan berdiskusi
v MOTTO
The beginning of all things are small
vi Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa isi dalam karya skripsi ini tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 30 Agustus 2013
viii
KATA PENGANTAR
Selama menginjakkan kaki ke Universitas Sanata Dharma dan menjalani studi
di Program Studi Ilmu Sejarah, sering muncul pertanyaan dalam benak saya,
“Bagaimana toh rasanya menulis skripsi.” Setelah menjalani hari demi hari, bulan
demi bulan, da semester demi semester, akhirnya tiba juga bagi saya saat yang
menentukan dalam hidup seorang mahasiswa tingkat akhir, dimulainya proses
penulisan skripsi.
Dengan semangat bak pejuang ’45, yang memegang bendera merah putih di
tangan kiri dan senapan di tangan kanan, saya memasuki ruangan guru pembimbing
akademik sambil dengan mantap berkata, “Pak, saya mau mengambil mata kuliah
skripsi.” Maka dimulailah saat-saat mendebarkan dan mencengangkan selama saya
menjadi mahasisa S-1 Ilmu Sejarah Sanata Dharma, membuat skripsi haruslah
disertai kemauan yang kuat, akal yang sehat, serta waktu yang harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya.
Dengan berbagai cobaan dan rintangan, sudah banyak sekali tulisan yang
dikoreksi, buku-buku yang terbaca, perpustakaan yang didatangi, diskusi yang
dilakukan, serta kembali lagi untuk menulis dan menulis mengingat waktu yang
kunjung habis. Ada satu titik dimana akhirnya saya mulai jenuh dengan skripsi.
ix
bersiap menuju dunia kerja, mulai jarang sekali ke kampus karena sedikitnya mata
kuliah dan teman-teman yang juga sibuk karena skripsi, Tiba-tiba muncul rasa
keterasingan dan semangat menulis skripsi pun mengedur dan pikiran mulai teralih ke
kegiatan lain.
Tanpa bermaksud menjadikan kata pengantar menjadi ajang curhat, akhirnya
skripsi ini selesai dengan akhir ang cukup membahagiakan. Semangat yang tadinya
mengendur mulai menguat sampai karya ilmiah seorang mahasiswa ini menjadi layak
untuk dibaca dan dikaji lebih lanjut bagi para peneliti atau mahasiswa di masa
mendatang.
Tentu saja dalam enulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh dukungan
moral dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itulah dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua saya yang selalu menunggu di rumah, Paulus Suwondo dan
Kristina Triani, terima kasih atas bimbingan, perhatian, serta kesabaran dalam
menunggu selesainya studi penulis di Ilmu Sejarah.
2. Kepada para dosen Ilmu Sejarah USD,yang telah membimbing penulis selama
4 tahun di perkuliahan, Drs. Silverio R. L. A. Sampurno, Drs. H. Purwanta,
M. A, Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum, Drs.
Manu Joyoatmojo, Dra. Lucia Juningsih, M. Hum, DR. F.X. Baskara T.
x
3. Kepada teman-teman Ilmu Sejarah ankatan 2009, Belo, Amor, Maksi, Avent,
Ayunda, Silvi, Sari, Yuli, terima kasih atas kebersamaannya selama menjalani
kuliah di Ilmu Sejarah.
4. Kepanda teman-teman natas dari segala angkatan, mulai dari Al, Fafa, Sita,
Bayu, Tara, Endi, Erda, Pita, Veta, Putri, Bertha, Ayu, Towo, Bayu
Pamungkas, Garit, Ayu, Vania, Wendi, Lia, Nana, Nino, Hana, Sari, Ansel,
Tasya, Gita, Bayu, dan kawan-kawan lainnya, sungguh sangat berterimakasih
saya telah diterima di rumah natas, rumah jurnalistik yang penuh dengan
canda, tawa, diskusi, emosi, serta suka duka yang kita lewati bersama.
5. Kepada teman-teman SMA Sedes Sapientiae Bedono yang kuliah di
Yogyakarta, terlebih Pandur, Reza, dan Mario yang kembali membuat saya
fokus dan melepas keraguan saya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi
ini.
6. Terimakasih kepada perpustakaan-perpustakaan yang ada di Yogyakarta yang
telah menyediakan sumber pustaka, mulai dari Perpustakaan Universitas
Sanata Dharma (khususnya Mbak Sandra dan Pak Sudrajad), Perpustakaan
FIB UGM, Perpustakaan Pusat Studi Kawasan dan Pedesaan UGM dan
Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Karta Pustaka, Perpustakaan Pusat
Yogyakarta, dan Balai kearsipan Yogyakarta atas segala sumber-sumber yang
xi
7. Kepada teman-teman PKM-P Mendut Sojiwan (Diah, Lia, Milli, Irawan)
dan Pak Hery sebagai pembimbing yang sudah memberi kenangan dan
kesempatan untuk merasakan pengalaman sebagai peneliti dan petualang.
8. Dan yang terakhir, saya sangat berterima kasih kepada mereka yang telah
membatu saya di tengah-tengah kesulitan maupun dalam lautan kegembiraan.
Saya sungguh berterima kasih,. Walaupun nama-nama mereka tidak dapat
saya tambahkan mengungat terbatasnya jumlah halaman, maupun karena
memori saya yang terbatas sehingga saya tidak bisa mengingat nama kalian.
Tetapi satu kata yang bisa saya ucapkan. Terima kasih atas kenangan berkesan
yang telah kalian berikan.
Sebelum mengucapkan terima kasih, penulis ingin berpesan bahwa karya ini
merupakan batu pijakan bagi karya-karya selanjutnya. Tentu saja bukan tidak
mungkin bila tema yang penulis angkat akan terus muncul. Hal ini dikarenakan tidak
ada sesuatu yang baru di dunia ini, yang berbeda adalah dari perspektif mana kita
melihat karya tersebut. Karena itu jangan ragu untuk penulis-penulis berikutnya.
Masih ada banyak sekali tema-tema yang bisa kalian tulis. Masih banyak
sumber-sumber yang menunggu untuk dibuka dan dianalisa.
Yogyakarta, 30 Agustus 2013
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...ii
HALAMAN PENGESAHAN ……….iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….….iv HALAMAN MOTTO ………..v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………....vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….vii
KATA PENGANTAR ………...…viii DAFTAR ISI ………..xii
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK………xiiv
DAFTAR GAMBAR………..xv ABSTRAK ………...xvi
ABSTRACT ………...…..xvii
BAB I PENDAHULUAN ……….1
A. Latar Belakang ………..1
B. Perumusan Masalah ………..7
C. Pembatasan Masalah ……….8
D. Tujuan Penulisan ………..9
E. Manfaat Penelitian ………9
F. Tinjauan Pustaka ……….10
G. Landasan Teori ………...13 H. Metode Penelitian ………...15 I. Sistematika Penulisan ……….17 BAB II KONDISI WILAYAH YOGYAKARTA YANG MELATARBELAKANGI PEMBANGUNAN STASIUN KERETA API TUGU YOGYAKARTA ...19
A. Kondisi Kesultanan Yogyakarta Dan Persewaan Tanah Pada
xiii
B. Munculnya Kebutuhan Akan Sarana Transportasi Kereta Api Di
Yogyakarta ………..29
BAB III PEMBANGUNAN DAN PERKEMBANGAN STASIUN TUGU DI
YOGYAKARTA ………..36
A. Lahirnya Perusahaan Kereta Api SS dan Dimulainya Usaha Pemerintah Di
Bidang Kereta Api ………..………36
B. Munculnya Stasiun Kereta Api Di Yogyakarta ………..47
C. Berdirinya Stasiun Tugu Di Yogyakarta ………49
D. Perbandingan Stasiun Tugu Dan Lempuyangan Dalam Data Statistik……...63
BAB IV PENGARUH YANG MUNCUL DARI PEMBANGUNAN DAN
AKTIVITAS STASIUN TUGU BAGI KOTA
YOGYAKARTA ……….70
A. Perubahan Sosial Yang Terjadi Bagi Masyarakat Pribumi DI Yogyakarta
Pasca Pembangunan Stasiun Kereta Api Tugu………….……….70
BAB V PENUTUP………..84
A. Kesimpulan ……….84
B. Saran ………...89
DAFTAR PUSTAKA ……….91
xiv
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
3.1Perbandingan Keuntungan Dan Kerugian Dari Pembangunan Perusahaan Kereta
Api Milik Pemerintah
Belanda ………...………..…………40
3.2Jumlah Keuntungan Dan Kerugian Perusahaan SS Di Jalur
Yogyakarta-Cilacap………..……….60
3.3Total Pengeluaran Perusahaan Kereta Api SS Dan NISM Di Pulau Jawa Tahun
1980...65
3.4Total Pendapatan Perusahaan Kereta Api SS Dan NISM Di Pulau Jawa Tahun
1890...65
3.5Rincian Pendapatan Perusahaan Kereta Api SS Dan NISM Di Pulau Jawa Tahun
1890...67 4.1 Perbandingan Jumlah Penumpang Yang Diangkut Kereta SS Dan NISM Di
Yogyakarta Tahun 1890……….………...77
4.2Lalu Lintas Penumpang Di Jalur Kereta Api Dari Semarang Menuju
Vorstenlanden (Yogyakarta & Semarang) …………..………..79
6.1 Daftar Perusahaan Perkebunan Swasta Di Yogyakarta Tahun 1890…….…….100 6.2 Daftar Perusahaan Perkebunan Swasta Yang Membuat Kontrak Persewaan Tanah
xv
DAFTAR GAMBAR
3.1Peta jalur kereta api Yogyakarta yang melewati sebelah barat Yogyakarta……..59
6.1PetaYogyakarta ……….….…..96
6.2Jalur Kereta Api Uap Di Kota Yogyakarta………..…………..97
6.3Stasiun Tugu Pada Saat Selesai Dibangun………..………..98
6.4Stasiun Tugu Saat Masih Dipakai Untuk Mengangkut Hasil Bumi Ke Pelabuhan
Cilacap………...98
6.5Stasiun Tugu Setelah Direnovasi Untuk Mengakomodasi Kereta
Penumpang………..………...99
xvi ABSTRAK
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STASIUN KERETA API TUGU DI YOGYAKARTA 1887-1930
Skripsi ini mengambil tema penelitian seputar sejarah dari Stasiun Tugu Yogyakarta, sebuah stasiun kereta api yang sudah beroperasi sejak masa Hindia Belanda hingga di masa modern seperti sekarang ini. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana latar belakang pembangunan stasiun tersebut di Yogyakarta, perkembangan apa saja yang muncul setelah stasiun tersebut selesai dan beroperasi, serta sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan dari terbentuknya Stasiun Tugu bagi masyarakat Yogyakarta.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan observasi lapangan. Selain itu, dalam melaksanakan analisis data dilakukan kritik sumber setelah ditemukannya berbagai macam sumber yang sesuai dengan kebutuhan penilitian sehingga dapat dibandingkan dan memunculkan sebuah kesimpulan yang menjadi jawaban dari penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana dalam kemunculannya, Stasiun Tugu Yogyakarta merupakan wujud turut campurnya dua kekuasaan yang memiliki pengaruh besar bagi Yogyakarta, yaitu perusahaan kereta api dan tram Negara
Belanda SS (De Staatspoor en Tramwegen) yang menjadi perpanjangan tangan dari
Pemerintah Hindia Belanda, serta Kesultanan Yogyakarta. Hal ini merupakan sesuatu yang unik di Hindia Belanda, mengingat bagaimana dalam menerapkan kebijakannya, Belanda selalu berhasil menekan pemerintahan lokal di Hindia Belanda.
Selain itu, Stasiun Tugu yang dikelola oleh SS merupakan sebuah usaha pemerintah untuk ikut serta dalam bisnis transportasi. Hal ini sangat tidak umum mengingat bagaimana di Hindia Belanda urusan transportasi kereta api sudah
dikuasai oleh NISM (Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschppij) yang merupakan
perusahaan swasta. Sesuai dengan konsep liberalisme yang mulai berkembang di Eropa dan terus menjalar ke seluruh dunia.
Setelah dilakukannya penelitian dapat dilihat bagaimana sejarah transportasi lebih dari sekedar pembangunan alat transportasi dan fasilitas pendukungnya. Ada banyak sekali tangan-tangan tidak terlihat yang memiliki kepentingan dalam pembangunan fasilitas tersebut dengan berbagai motif. Seperti motif politik dan ekonomi dalam Stasiun Tugu. Tidak hanya berperan sebagai sarana pengangkutan hasil bumi yang laku di pasar dunia, Stasiun Tugu menjadi wujud kekuatan dan pengaruh Keraton Yogyakarta.
xvii ABSTRACT
THE HISTORY AND DEVELOPMENT OF TUGU RAILWAY STATION IN YOGYAKARTA 1887-1930
This Thesis have a theme about the history of Tugu Railway Station, a railway station that have been operated from the time of Dutch Indies until the modern time. The purpose of this thesis is to know the background of the construction from this railway station in Yogyakarta, the development that rise after the railway station have been finished and operated, and how far the effect that come from the construction of Tugu Railway Station for the citizen of Yogyakarta.
The methods that used are literature studies and field observations. Moreover, in carrying out data analysis performed after the discovery of source criticism various sources to suit the needs research that can be compared and conclusions of a one raises an answer from this research
The result from this study show how in the appearance, Tugu Railway Station is the embodiment of two great power that have a big influence for Yogyakarta, that
is the state railway and tram company, SS (De Staatspoor en Tramwegen) that
become the extension from the Dutch Government and The Sultanate of Yogyakarta. This is something unique in Dutch Indies, from how to apply the policies, Dutch always give the pressure to the local government in Dutch Indies.
Beside that, Tugu Railway Station that operate under the management of SS was the work of the state to join in the transportation business. This is the anomaly, if we remember in the Dutch Indies, the railway connection have been controlled by the
NISM (Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschppij), the private company. in
accordance with the concept of liberalism that began to develop in Europe and continues to spread throughout the world.
After the research have been done, we can see how far the history of transportation more than just the construction of supporting facilities. There were so many invisible hands that have the control in the development of that facilities with so many motive behind them. Like the politic and economic motive in Tugu Railway Station. Not only serves as a means of transporting agricultural products sold in the world market, Tugu Station to form the power and influence of Yogyakarta Palace.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah:
Sejak zaman dahulu transportasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dalam kehidupan manusia. Dari zaman manusia purba sampai di masa modern
seperti sekarang ini manusia terus berupaya memecahkan permasalahan dalam
transportasi yang semakin kompleks dalam perjalanan waktu. Hal ini dikarenakan
manusia merupakan makhluk yang dinamis yang selalu bergerak mengatasi
rintangan alam. Selain berhubungan dengan bidang sosial, transportasi juga
memiliki hubungan erat dengan bidang ekonomi serta politik. Oleh karena itulah
persoalan transportasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
manusia dari masa ke masa. Hal inilah yang menjadikan manusia mampu
membuat perahu untuk menyebrangi sungai serta menjinakkan hewan liar seperti
kuda, kerbau, dan lainnya untuk ditunggangi. Penemuan manusia di bidang
transportasi semakin berkembang semenjak ditemukannya roda oleh bangsa
Sumeria guna menopang beban gerobak yang ditarik oleh hewan dan
ditemukannya mesin uap oleh James Watt.1
Penemuan kedua benda diatas merevolusi sarana transportasi dalam
kehidupan manusia. Ditemukannya Roda membuat manusia mampu membawa
barang lebih banyak karena dibantu oleh gerobak yang ditarik oleh hewan.
1
Dick, Howard, et al. Cities, Transport and Communications, The
2
Berbeda dengan sebelum ditemukannya roda dimana setiap orang hanya bisa
membawa barang secara terbatas dengan tangannya. Sedangkan ditemukannya
mesin uap oleh James Watt di Inggris tahun 1776 membawa perubahan besar
dalam dunia industri, dimana dengan ditemukannya mesin yang mampu bergerak
dengan menggunakan tenaga uap mulai menggantikan tenaga manusia dan hewan
dalam kegiatan industri.
Lahirnya kereta api uap secara langsung berhubungan dan mempengaruhi
bidang sosial, ekonomi dan politik. Salah satu contoh nyata adalah persaingan
antara perusahaan transportasi milik negara dengan perusahaan swasta serta
hubungannya dengan kolonialisme. Kedua contoh tersebut bisa dilihat pada
kemunculan kereta api uap di Hindia Belanda pada masa kolonial.
Kemunculan kereta api uap di wilayah Asia dimulai oleh Inggris yang
membangun jalur kereta api uap di India pada tahun 1853. Belanda adalah negara
kedua yang membangun jalur kereta api uap di Hindia Belanda. Wilayah-wilayah
lainnya yang menyusul adalah Jepang (1872), Cina (1875), Myanmar (1877),
Turki (1888). Sementara wilayah lainnya di Asia Tenggara seperti Malaysia,
Singapura, Thailand, Filipina baru menyusul sesudahnya.2
Selesainya Perang Jawa tahun 1830, menjadi awal dimulainya usaha
mengembalikan kas negara yang kosong karena perang. Akhirnya, muncul sebuah
2
Setijowarno, Djoko, “Moda Kereta Api Pantas Dilirik Kembali” dalam
3
gagasan pelaksanaan kebijakan pertanian yang disebut dengan cultuurstelsel3 atas
usul Gubernur Jendral Johanes Van den Bosch. Selain cultuurstelsel, di wilayah
Vorstenlanden seperti Yogyakarta dan Surakarta dikenal usaha sewa menyewa
tanah lungguh kepada pihak swasta. Sistem ini diatur berdasarkan kesepakatan
antara pihak koloni dan pihak yang menyewakan lahan guna dipakai untuk daerah
perkebunan.4 Hasil dari usaha-usaha di atas dengan cepat menutupi kas Belanda
yang habis, bahkan Belanda mengalami surplus. Maraknya pertumbuhan daerah
perkebunan serta kendala di bidang transportasi mengakibatkan munculnya
keinginan untuk membangun jalur kereta api.5
Dimulai dari usul seorang kolonel yang bernama Jhr. Van Der Wijk pada
tahun 1840, pembangunan jalur kereta api uap mulai terealisasi tanggal 7 Juni
1864. Rutenya dimulai dari Semarang menuju Tanggung, Grobogan. Dengan
diawali pencangkulan tanah oleh Gubernur Jendral Baron Sloet van den Beele
3
Sulistyo, Bambang, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah,
Yogyakarta:1995) Hal. 9. Masa pemberlakuan sistem tanam terkoordinasi antara pusat sampai daerah pelosok. Dimana rakyat tidak lagi menyerahkan uang melainkan hasil bumi yang laku di pasaran dunia dan bisa diekspor Belanda.
Karena hal tersebut nantinya sistem ini akan dikenal sebagai sistem Dwang Stelsel
(tanam paksa). 4
J. H, Houben, Vincent, Keraton dan Kompeni, (Yogyakarta:2002)
Hal.512-524. Sebelum dimulainya pembangunan kereta api di Pulau Jawa, Hindia
Belanda mengalami masa Cuultuurstelsel. Hanya Yogyakarta dan Surakarta
wilayah yang tidak mengalaminya. Sebaliknya, pemerintah maupun pengusaha Belanda dapat menyewa lahan milik pegawai Kraton sesuai dengan syarat dan ketentuan yang disepakati kedua belah pihak.
5
Mrazek, Rudolf, Engginers of Happy Land: Perkembangan Teknologi
4
sebagai penanda dimulainya pembangunan jalur kereta api uap dan konstruksi
jalurnya yang dipegang oleh Nederlandsch-Indisch Spoorweg Maatscappij
(NISM)6, perusahaan swasta yang bergerak dalam usaha kereta api uap.
Pembangunan jalur tersebut terus melebar dari Semarang menuju daerah-daerah
perkebunan inti yang menjadi penyokong kelangsungan Hindia Belanda.
Rute Semarang-Tanggung dibuka tanggal 10 Februari 1870. Bersamaan
dengan tanggal tersebut, jalur kereta api uap telah menembus Surakarta walaupun
proyek ini sempat mengalami masalah keuangan. Akhirnya tanggal 10 Juni 1872,
jalur yang menuju Yogyakarta berhasil diselesaikan. Kehadiran transportasi kereta
api uap ini menjadi bukti bagaimana Belanda membutuhkan modal yang sangat
besar untuk menyangga jalannya kolonialisme di Hindia Belanda. 7
Kemunculan awalnya yang diusulkan oleh seorang pegawai militer
menandakan peran politik dari jalur kereta api uap tersebut guna memadamkan
sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro yang masih tersebar di wilayah sekitar
Semarang, Kedu, Bagelen, hingga Banyumas8, selain dari peran ekonominya
6
Selanjutnya disingkat NISM dalam karya ini. NISM pula yang membangun jalur Batavia-Buitenzorg sepanjang 54 Km. Pembangunan jalur kereta api uap di Jawa akhirnya diserahkan oleh perusahaan swasta karena pihak pemerintah Belanda masih belum memiliki dana yang cukup. Selain itu, ada kemungkinan Belanda merasa perlu melakukan uji coba yang dilakukan oleh perusahaan swasta ini untuk mengetahui seberapa efektif dan menguntungkan kehadiran moda transportasi yang tergolong baru ini, sebelum Belanda ikut terjun dalam usaha pembangunan jalur dan stasiun kereta api uap di Hindia Belanda.
7
Caldwell, Malcolm, & Utrecht, Ernst, Sejarah Alternatif Indonesia,
(Yogyakarta:2011) Hal. 76 8
Subarkah, Imam, Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita, (Bandung:1992)
5
setelah munculnya industri perkebunan dan pertanian yang dikelola oleh
orang-orang Belanda. 9
Yang unik dalam pembangunan jalur dan stasiun kereta api uap di Hindia
Belanda adalah pembangunannya yang menghubungkan daerah hulu sebagai
daerah inti pemasok hasil perkebunan komoditas ekspor hingga bermuara ke
pelabuhan-pelabuhan terdekat sebelum akhirnya barang muatan tadi dikapalkan
dan dijual ke pasar internasional.10
Kemunculan jalur kereta api uap beserta stasiun-stasiunnya di Yogyakarta
tumbuh bersamaan dengan semakin meningkatnya usaha sewa menyewa tanah
lungguh pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII. Tanah-tanah
tersebut disewakan untuk menanam komodititas ekspor yang laku di pasaran
dunia, seperti tembakau, kopi, nila, serta primadona ekspor wilayah ini, tebu. 11
Banyaknya perkebunan swasta dari hasil persewaan tanah menimbulkan
masalah dalam pengangkutannya menuju pelabuhan Semarang. Pada masa ini,
9
Supangkat, Eddy, Ambarawa Kota Lokomotif Tua, (Salatiga:2008) Hal.
2. Sama seperti di Semarang, dimana di sana terdapat banyak sekali perkebunan-perkebunan swasta kepunyaan pihak asing yang jumlahnya mencapai 80 buah lebih.
10
Dick, Howard & Rimmer, Peter J., Cities, Transport and
Communications (NewYork:2003) Hal. 64. Disini dijelaskan bagaimana dalam struktur rel kereta api di Asia Tenggara, pasti menghubungkan antara daerah
pedalaman (hinterland) menuju kota-kota pelabuhan sebagai upaya negara-negara
penjajah untuk memasarkan hasil bumi dari negara jajahannya ke pasar dunia. 11
Zuhdi, Susanto, Cilacap 1830-1942, Bangkit dan Runtuhnya Suatu
6
untuk mengangkut hasil bumi dipergunakan alat transportasi tradisional seperti
gerobak, cikar, maupun andong yang masih ditarik sapi, kerbau, atau kuda. Ada
berbagai resiko yang dihadapi, baik dalam segi waktu, keamanan, kualitas dan
kuantitas barang yang dikirim. Karena pertimbangan tersebut, ditambah dengan
persaingan Belanda dengan negara kolonial lainnya di Asia Tenggara membuat
Belanda merasa perlu untuk membangun jalur kereta api uap di Yogyakarta.
Sebagai kelanjutan dari pembangunan stasiun dan jalur kereta api uap dari
Semarang, dibangunlah stasiun Lempuyangan oleh NISM tanggal 2 Maret 1872.
Jalur Semarang-Yogyakarta terhubung tanggal 10 Juni 1872.
Melihat keuntungan yang didapat oleh NISM, Pemerintah Kolonial
Belanda mulai tertarik untuk menjajaki usaha transportasi kereta api uap.
Pemerintah pusat merasa perlu memaksimalkan keuntungan yang didapat dengan
membangun jalur-jalur kereta api yang menghubungkan kota Yogyakarta dengan
kota-kota lainnya. Hasil dari keputusan tersebut adalah selesainya pembangunan
Stasiun Tugu Yogyakarta tanggal 12 Mei 1887 dibawah kendali perusahaan kereta
dan trem negeri Belanda, De Staatspoor en Tramwegen (SS).12
Dipilihnya Yogyakarta pada tahun 1887 sebagai unsur spasial dan
temporal karena Yogyakarta pada masa itu memiliki usaha sewa menyewa tanah
lungguh yang terus meningkat hingga pada masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwana VII. Dengan banyak persewaan tanah oleh investor Belanda
menyebabkan munculnya kebutuhan akan pengadaan alat transportasi yang cepat,
12
Ballegoijen de Jong, Michiel van, Spoorwegstations Op Java,
7
aman, dan efektif untuk mengantarnya ke pelabuhan terdekat sebelum menuju
pasar dunia. Peluang ini menjadi rebutan antara SS dan NISM dalam
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sedangan dipilihnya Stasiun Tugu sebagai objek dari karya ini karena
keunikan yang dimilikinya dimana stasiun milik pemerintah tersebut muncul di
tengah-tengah masa liberalisme yang memberikan peran lebih pada golongan
swasta dalam bidang ekonomi sedangkan peran pemerintah hanya terbatas pada
bidang pemerintahan dan pembuat kebijakan. Apalagi stasiun tersebut muncul di
tengah kota Yogyakarta yang dekat sekali dengan Stasiun Lempuyangan yang
dimiliki oleh NISM.
Selain itu, terdapat lebih dari satu kepentingan dalam pembangunan
Stasiun Tugu. Tidak hanya dari pemerintah Belanda yang memutuskan
membangun Stasiun Tugu untuk ikut serta dalam persaingan dengan Stasiun
Lempuyangan yang dimanajemeni oleh NISM. Keraton Yogyakarta ikut serta
dengan peran yang bahkan cukup vital. Hal ini dikarenakan dari keinginan
Keraton Yogyakarta dalam mengundang investor asing untuk menanam modal di
tanah-tanah lungguh yang disewakan.13
B. Perumusan Masalah
Munculnya jalur kereta api di Jawa merupakan tanda mulai stabilnya
kekuasaan kolonial sehingga membuat pemerintah Belanda dapat memasukkan
13
Widiyasuti, 1999, “Aspek Legal Formal Tanah Lungguh Di Kasultanan
8
investasinya (baik perusahaan negeri maupun swasta) ke Nusantara, baik ke
daerah yang secara administratif berada dalam kontrol Hindia Belanda maupun
dalam kerajaan-kerajaan yang masih memiliki kedaulatan dan dapat diajak bekerja
sama dengan Belanda.
Revolusi dalam bidang transportasi baik secara langsung maupun tidak
langsung merubah hampir segala aspek dalam kehidupan manusia. Terlebih
setelah ditemukannya mesin uap yang membuat jarak dan waktu dapat diatasi
dengan bantuan mesin serta mengangkut segala macam hasil bumi dan
menghemat biaya operasional sehingga keuntungan yang didapat berlipat ganda.
Dengan demikian beberapa permasalahan yang hendak diajukan dalam
penelitian kali ini adalah;
1. Bagaimana latar belakang pembangunan Stasiun Kereta Api Tugu di
Yogyakarta?
2. Bagaimana perkembangan stasiun kereta api Tugu di Yogyakarta hingga
tahun 1930?
3. Sejauh mana pengaruh yang muncul dari terbentuknya Stasiun Tugu bagi
masyarakat di Yogyakarta?
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah, pembatasan dibuat agar pembahasan
permasalahan tidak meluas. Batasan-batasan yang digunakan adalah:
1. Faktor-faktor yang melandasi berdiri dan berkembangnya Stasiun Tugu
9
2. Pengaruh yang ditimbulkan atas berdiri dan berkembangnya Stasiun
Tugu bagi lingkungan masyarakat di sekitarnya.
D. Tujuan Penelitian
a. Akademis
Penulisan karya ini diharapkan dapat menjelaskan sejarah
berdirinya Stasiun Tugu serta pengaruhnya bagi masyarakat Yogyakarta.
b. Praktis
Penulisan karya ini diharapkan mampu memberi gambaran tentang
kemuculan perusahaan kereta api milik pemerintah, persaingan yang
dihadapi dengan perusahaan kereta swasta, serta pengaruhnya
perkembangan Stasiun Tugu bagi masyarakat Yogyakarta yang dibahas
dalam karya ini.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah:
a. Akademis
Penulisan karya ini diharapkan dapat memberikan wacana baru
dalam melihat kemunculan sebuah sarana dan prasarana transportasi yang
cukup modern di masanya serta dinamika apa saja yang terjadi dalam
10
b. Praktis
Penulisan karya ini diharapkan dapat menjadi batu pijakan bagi
para peneliti selanjutnya yang berminat melakukan penelitian seputar
kereta api uap di Indonesia.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian yang membahas tentang sejarah perkereta-apian di
Indonesia tentunya tidak bisa lepas dari buku-buku yang sudah membahas
perkembangan perkereta-apian sejak mesin uap hingga mesin diesel dan listrik
yang dipakai sekarang. Karenanya penelitian ini tidak bisa serta merta lepas dari
hasil penelitian tentang sejarah transportasi di Indonesia pada masa Hindia
Belanda.
Hanya saja, cukup disayangkan bila melihat masih sedikitnya buku-buku
yang membahas secara serius mengenai sejarah perkereta-apian yang ditulis oleh
orang Indonesia sendiri, karena kebanyakan masih berupa tulisan mengenai
wacana pengembangan kereta api dan pembahasan dalam segi tehnik dan
arsitektural. Buku-buku yang membahas tentang sejarah perkereta-apian di
Indonesia pun kebanyakan ditulis oleh penulis asing.
Buku sejarah perkereta-apian karya Jan de Bruin yang berjudul “Het
Indische Spoor in Oorlogstijd” merupakan buku yang membahas kondisi perkeretaapian Hindia Belanda sejak masa awal pembangunan hingga masa
Perang Dunia II dan Perang Kemerdekaan Indonesia. Dalam buku ini diterangkan
perusahaan-11
perusahaan yang pernah beroperasi di Hindia Belanda. Namun, karena cakupan
waktunya berfokus pada masa perang di Hindia Belanda, perkembangan pada
masa sebelum perang hanya menjadi latar belakang yang singkat.
Yang membedakan karya Jan de Bruin dengan penelitian ini adalah
pemilihan sudut pandang yang berbeda, yaitu mengambil sejarah lokal dari sebuah
stasiun kereta api di Yogyakarta, yaitu Stasiun Kereta Api Tugu. Topik
pembahasannya dimulai dari latar belakang berdirinya stasiun hingga pengaruh
yang muncul sejak stasiun tersebut beroperasi bagi masyarakat Yogyakarta.
Waktu yang ditentukan untuk penelitian pun dibatasi sejak tahun 1887 hingga
1930, yaitu sejak stasiun itu berdiri hingga pengaruh yang ditimbulkan bagi
masyarakat Yogyakarta sampai tahun 1930.
Selain buku karya Jan de Bruin, juga terdapat jurnal ilmiah yang
membahas tentang sejarah perkembangan kereta api di jalur Stasiun Willem I
Ambarawa-Semarang-Vorstenlanden dengan judul “KERETA API
AMBARAWA – YOGYAKARTA SUATU KAJIAN SEJARAH SOSIAL
EKONOMI PADA ABAD 19” karya Sri Retna Astuti dalam Laporan Penelitian
JARAHNITRA nomer 002/P/1994.
Topik pembahasan dari karya Sri Retna Astuti adalah perkembangan sosial
ekonomi yang terjadi di jalur kereta yang menuju utara (Semarang). Karenanya,
topik yang ditulis dalam karya tersebut adalah perusahaan kereta api NISM,
perusahaan kereta api swasta yang melayani jalur Semarang Vorstenlanden.
12
penjelasan yang ringkas mengenai pengaruh akibat munculnya alat transportasi
kereta api di tempat-tempat yang dilaluinya.
Yang membedakan penelitian ini dengan karya Sri Retna Astuti adalah
objek penelitian yang diteliti. Objek penelitian tersebut adalah stasiun kereta api
yang didirikan oleh badan usaha milik Belanda (SS), Stasiun Tugu yang memiliki
akses menuju Pelabuhan Cilacap. Karena didirikan oleh badan usaha milik negara
Belanda, sudah pasti perusahaan tersebut adalah perusahaan milik negara.
Selain melihat dari buku maupun jurnal ilmiah yang memiliki kesamaan
tema, dalam penulisan karya ilmiah ini juga dilihat skripsi-skripsi dengan tema
yang sama. Dari pencarian ditemukan 2 buah skripsi yang membahas tentang
kereta api uap dan stasiun tugu.
Skripsi pertama karangan Annasia Resta Darmayanti dari Universitas Sanata Dharma dengan judul “Sejarah Perkereta-apian di Indonesia 1945-1995”.
Skripsi ini menjadi pengantar ringkas untuk melihat bagaimana perkembangan
kereta api di Indonesia pada masa-masa kemerdekaan dan perang kemerdekaan,
sehingga bisa menjadi pembanding dengan karya Jan de Bruin. Walaupun karya
ini berupaya membahas perjalanan kereta api Indonesia, pokok bahasannya hanya
menyentuh perkembangan kereta api di Pulau Jawa saja dan sedikit sekali
informasi penting mengenai perkembangan kereta api di Indonesia setelah perang
kemerdekaan selesai.
Penelitian ini tentu saja berbeda dengan skripsi karya Annasia Resta
Darmayanti, ruang lingkup pembahasannya lebih kecil, yaitu stasiun kereta api
13
lokal tentang latar belakang pendirian dan pengaruh dari stasiun tersebut di
Yogyakarta.
Skripsi kedua karya Tiyas Adi Putra dari Universitas Gajah Mada yang
berjudul “Latar Belakang Pemilihan Lokasi Stasiun Tugu dan Stasiun
Lempuyangan Yogyakarta”. Skripsi ini juga membahas tema yang hampir sama
dengan karya ilmiah ini dan menjadi pengantar yang bagus dalam membahas
seluk-beluk stasiun kereta api Tugu dan Lempuyangan. Hanya saja fokus
permasalahan lebih mentitikberatkan pada segi-segi arsitektural dan letak
geografis dari kedua stasiun tersebut daripada tentang peristiwa yang menjadi
dasar dari pembangunan Stasiun Tugu.
Perbedaan antara penelitian ini dengan skripsi karangan Tiyas Adi Putra
terletak dari pembahasannya. Bila skripsi Tiyas Adi Putra terfokus pada
permasalahan segi arsitektural, dan letak geografis pada Stasiun Tugu dan
Lempuyangan, skripsi ini membahas kondisi yang melatarbelakangi berdirinya
stasiun kereta api Tugu dan pengaruh yang muncul sejak stasiun tersebut
beroperasi hingga tahun 1930.
G. Landasan Teori
Buku yang berjudul “Transportation and Politics” karangan Roy L. Wolfe,
seorang ahli geografi dari Kanada ini menjelaskan kaitan antara sarana
transportasi dengan politik secara gamblang14, bahkan hubungannya antara
14
Wolfe, Roy I., Transportation and Politics, (New Jersey: 1963). Hal. 70
14
transportasi kereta api uap pada masa kolonialisme yang banyak bermunculan di
negara-negara Asia Tenggara, serta peran negara kolonial dalam perkembangan
sarana transportasi tersebut.15
Hal ini diperkuat dalam buku karangan Howard Dick dan Peter J. Rimmer yang berjudul “Cities, Transport and Communications, The Integration of South
East Asia since 1850” yang melihat hubungan antara tumbuhnya sarana transportasi pada masa kolonialisme di Asia Tenggara yang menghubungkan .
Buku ini menjelaskan bagaimana dalam pembangunan sarana transportasi kereta
api uap yang awalnya bertujuan menghubungkan antara daerah hulu sebagai
penghasil sumber daya alam dengan daerah hilir atau pelabuhan yang menjadi
pintu masuk bagi perdagangan dunia juga mengakibatkan tumbuhnya kegiatan
ekonomi lain yang menggunakan sarana transportasi tersebut sebagai sarana
penunjangnya.16
keamanan untuk menangkal ancaman dari dalam maupun dari luar, serta sebagai sarana ekonomi yang membantu memperlancar arus transportasi barang dan kegiatan operasional dalam rangka ekspoitasi di daerah koloni tersebut.
15
Wolfe, Roy I., Ibid., Hal 77. Kemunculan sarana kereta api uap di
daerah kolonial menjawab tantangan alam dan tantangan zaman yang menuntut kecepatan dan terbukanya akses daerah terpencil dalam rangka penetrasi ekonomi.
16
Dick, Howard et.al., Cities, Transport and Communications, The
15
Untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi pada masarakat
Yogyakarta dari kehadiran Steasiun Tugu Yogyakarta dipakailah buku karya Piotr
Sztompka yang berjudul “Sosiologi Perubahan Sosial”. Buku ini memiliki
penjelasan yang cukup mendalam tentang perubahan sosial masyarakat.
Perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan yang berkaitan dengan struktur
masyarakat yang menyentuh inti realitas sosial.17 Munculnya perubahan sosial
bisa disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah kehadiran sebuah
teknologi baru yang diikuti dengan perubahan struktur masyarakat yang mendasar,
seperti munculnya sarana pendidikan yang memberi akses pendidikan kepada
masyarakat, tergantikannya tenaga manusia dan hewan oleh tenaga mesin dan
berubahnya pola hidup masyarakat dari petani yang tinggal di desa menjadi buruh
yang tinggal di pinggir kota yang menjadi pemicu bagi perubahan sosial dalam
sebuah masyarakat (seperti perubahan pekerjaan, teknologi, serta pandangan
hidup dan nilai) dan sejauh mana kemampuan dari masyarakat di daerah tersebut
untuk beradaptasi menghadapi perubahan yang terjadi di lingkungannya. 18
H. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini cakupan tempat yang akan
diteliti adalah Stasiun Kereta Api Tugu, Kota Yogyakarta. Selain stasiun,
penelitian juga akan dilakukan di Perusahaan Kereta Api Yogyakarta dan
17
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta:2011). Hal. 17.
18
16
di perpustakaan Univ. Sanata Dharma serta perpustakaan lain di D. I.
Yogyakarta. Tidak lupa juga gedung arsip D. I. Yogyakarta maupun di
Jakarta untuk mendapatkan data yang sekiranya sesuai dengan tema
penulisan karya ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melaksanakan penelitian ini digunakan dua teknik utama,
yaitu studi pustaka dan observasi lapangan. Studi pustaka dilakukan di
perpustakaan maupun gedung arsip guna mendapatkan data tertulis. Selain
melakukan studi pustaka dilakukan juga observasi lapangan untuk
mencocokan data tertulis yang didapat dari buku maupun arsip di lapangan.
3. Analisis Data
Data-data yang sudah berhasil dikumpulkan baik dari hasil studi
pustaka maupun observasi akan dianalisa sesuai dengan konteks zaman di
masa itu. Nantinya data tersebut akan dilakukan penyocokan data dengan
saling melakukan cek pada data lainnya yang berkaitan dengan tema
penelitian ini sehingga muncul pembacaan kritis dengan lebih dari satu
sumber. Bila penyocokan data sudah dilakukan akan ditemukan gambaran
komprehensif dalam melihat perkembangan Stasiun Kereta Api Tugu serta
dampak dan pengaruhnya bagi masyarakat Kota Yogyakarta, baik sebelum
maupun sesudah pembangunan stasiun tersebut dalam bidang sosial
maupun ekonomi.
Analisa yang digunakan didasari oleh teori-teori yang dipinjam
17
perubahan sosial dari sosiologi yang menjelaskan perubahan dalam
masyarakat yang disebabkan dari dampak kemajuan teknologi transportasi
yang tentunya baik secara langsung maupun tidak langsung membawa
pengaruh dalam perubahan masyarakat, pengaruh antara munculnya
transportasi dengan kepentingan politik, serta digunakan pendekatan ilmu
transportasi untuk mengetahui bagaimana awal mula kemunculan sarana
dan prasarana pendukung dalam kegiatan eksploitasi sumber daya daerah
koloni oleh para penjajah.
I. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan, penulisan karya ilmiah ini dibagi dalam 5 bab dan 1
lampiran, diantaranya sebagai berikut:
BAB I, merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang penulisan
karya ilmiah ini dan permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka,
karangka teori, pendekatan, metode penelitian, dan penggunaan sumber serta
sistematika penulisan.
BAB II, membahas mengenai latar belakang pemilihan lokasi stasiun Tugu
di Yogyakarta dan kondisi sosial ekonomi yang menyebabkan perlu dibukanya
Stasiun Tugu di Yogyakarta.
BAB III, membahas mengenai sejarah pembangunan stasiun Tugu di Kota
18
BAB IV, membahas tentang dampak-dampak yang timbul dari selesainya
pembangunan dan aktivitas dari stasiun Tugu di Yogyakarta bagi masyarakat Kota
Yogyakarta.
BAB V, yang merupakan bab terakhir berisi kesimpulan yang dapat
dipetik dari uraian dan analisis di atas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
19 BAB II
KONDISI WILAYAH YOGYAKARTA PADA MASA HAMENGKUBUWANA VII YANG MELATARBELAKANGI PEMBANGUNAN STASIUN KERETA API TUGU YOGYAKARTA
A. Kondisi Kesultanan Yogyakarta Dan Persawaan Tanah Pada Masa Hamengkubuwana VII
Sejarah terbentuk dan berkembangnya kota-kota di Nusantara dibagi
menjadi dua bagian, yaitu kota tradisional dan kota kolonial. Kota-kota tradisional
di Nusantara, terutama di Jawa, berkembang dengan memperhatikan konsep
kosmologis serta kearifan lokal yang didapat dari bentuk hubungan timbal balik
antara lingkungan dengan manusia serta tidak melupakan unsur-unsur religi yang
terkandung di dalamnya. Hal ini bisa kita lihat dengan munculnya elemen-elemen
seperti adanya keraton, alun-alun, masjid, pasar, dan tembok maupun benteng
yang melindunginya.1 Tanggal dari kelahiran sebuah kota tradisional biasanya
terpapar dalam bentuk historiografi tradisional, seperti dalam prasasti, serat, babad,
maupun rontal. Walaupun tidak jarang tanggal keberadaan kota tersebut tidak
jelas karena berbagai mitos yang melekat.
Perkembangan kota-kota Kolonial di Nusantara bermula searah dengan
interaksi penduduk Pribumi dengan pendatang Eropa. Kota-kota ini terbentuk
untuk memfasilitasi pendatang Eropa yang datang ke wilayah koloninya yang
berada di Asia maupun Eropa. Kondisi ini sering menyebabkan munculnya
ketidakseimbangan antara penduduk Pribumi dan Barat yang tinggal dan
1
Basundoro, Purnawan, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta:2012) Hal.
20
menyebabkan berbagai macam bentuk perlawanan untuk mengusir pendatang
Eropa yang menjajah. Berdirinya kota-kota kolonial menandakan sudah semakin
kondusifnya kondisi daerah koloni. ada beberapa ciri dari kota-kota kolonial,
seperti adanya pemukiman masyarakat kolonial. adanya garnisun (pemukiman
tentara) untuk tujuan keamanan, gudang untuk menyimpan barang hasil bumi
yang diperdagangkan di dunia internasional, serta terdapat tempat dimana para
penguasa kolonial dapat mengadakan perjanjian dagang dengan penguasa
pribumi.2
Wilayah Yogyakarta merupakan sebuah wilayah yang terbentuk dengan
mengikuti prinsip perkembangan kota-kota tradisional di Nusantara. Dalam
sejarahnya, wilayah Yogyakarta terbentuk dari Perjanjian Giyanti yang membagi
Kesultanan Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Kesunanan Surakarta. Perjanjian yang diprakarsai oleh Gubernur Jendral Hartingh
ini ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III pada tanggal
13 Februari 1755.3
2
Ibid., hal. 84 3
Sri Mulyati, 1996, Perkembangan Kota Yogyakarta Tahun 1756-1824
(Tinjauan Tata Kota), Skripsi, Universitas Indonesia, unpublished, Hal. 29. Perjanjian Gianti lahir sebagai buah perseteruan Antara R. M. Said yang tidak puas dengan semakin gencarnya pengaruh VOC dalam keraton hingga Pakubuwana II mengikat perjanjian dengan VOC dalam hal monopoli
perdagangan dan pegangkutan di Mataram (Lih. Darmosugito, Kota Jogjakarta
200 tahun, (Yogyakarta:1956) Hal. 8 tentang “Perjanjian Ponorogo” yang
21
Wilayah Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III terdiri dari daerah
Pajang, Sukowati, Jogorogo, Ponorogo, sebagan Pacitan, Kediri, Blitar dengan
Srengat (termasuk Lodoyo), Pace (Nganjuk-Berbek), Wirosobo (Mojoagung),
Blora, Banyumas, Banyumas (termasuk Pamerden atau Banyumas Timur dan
Dayeuhluhur), Keduwang di sebelah tenggara Surakarta, serta sebagian Kedu
yang dibagi dua.4
Sedangkan wilayah Kesultanan Yogyakarta hasil Perjanjian Giyanti yang
dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Hamengku Buwono I
diantaranya adalah Madiun, Magetan, Caruban, sebagian Pacitan, Kertosono,
Kalangbret dan Ngrowo (Tulungagung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro),
Teras Karas (Ngawen), Selo (daerah Grobogan), Warung (di Blora), Bagelen,
Rema (Karanganyar), serta sebagian wilayah Kedu.5
Berdirinya Kesultanan Yogyakarta tidak hanya menjadikan
Hamengkubuwana I menjadi raja di wilayah tersebut, tetapi juga mengakomodasi
Belanda yang ingin menyewa tanah lungguh di Yogyakarta.6 Dengan munculnya
persewaan tanah ini, secara perlahan namun pasti warna-warna kota kolonial
4
Juwono, Harto, 2011, “Persewaan Tanah Di Kesunanan Surakarta Dan
Kesultanan Yogyakarta 1818-1912: Penerapan Prinsip Konkordari Di Wilayah
Projo Kejawen”, Disertasi Universitas Indonesia. unpublished, hal. 125
5
Ibid.
6
22
mulai nampak dengan jelas, seperti munculnya wilayah perkantoran dan tangsi
militer orang Belanda, kehadiran gereja katolik Kota Baru maupun protestan di
sebelah utara rumah Residen Yogyakarta, serta adanya daerah perumahan untuk
orang-orang Belanda di daerah Bintaran dan Kota Baru.
Persewaan Tanah di Kesultanan Yogyakarta semakin meningkat jumlah
dan luasnya pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VII. Hal ini disebabkan
keadaan Hindia Belanda pada masa sebelumnya mengalami masa-masa sulit,
seperti terjadinya Perang Jawa pada tahun 1825-1830, hingga selesainya Perang
Jawa dan dimulainya masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel) tahun 18307 hingga
340 Meskipun wilayah Yogyakarta yang termasuk dalam Vorstenlanden tidak
mengalami kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel), wilayah ini mengalami
persewaan tanah yang diatur dalam perjanjian sewa tanah antara penyewa tanah dengan Kesultanan Yogyakarta dan Gubernur Jendral Hindia Belanda. Tercatat setidaknya pada tahun 1839 di Yogyakara terdapat 20 perkebunan swasta dengan luas 5.210 bau, sepuluh tahun kemudian meningkat 12.836 bau. Tahun 1851 ada 43 perkebunan dengan luas 13.023 bau, tahun 1861 meningkat 51 perkebunan dengan luas 56.000 bau, lalu tahun 1864 ada 53 perkebunan. Pada tahun 1865 ada 57 perkebunan dan tahun 1869 bertambah satu lagi. Bertambahnya persewaan tanah di Yogyakarta yang memasok barang kebutuhan di pasar Eropa seperti gula, kopi, dan indigo disebabkan oleh tingkat kesuburan tanahnya yang lebih tinggi dari daerah lain serta tersedianya tenaga kerja yang berlimpah. Selain itu, wilayah
Vorstenlanden merupakan wilayah dimana eksploitasi oleh perusahaan swasta diperbolehkan dengan aturan yang ketat. Hal ini sungguh berbeda dengan wilayah Jawa lainnya yang mengalami masa Tanam Paksa dan berada di bawah eksploitasi pemerintah Belanda. Hal ini disebabkan karena persewaan tanah lungguh yang dimiliki oleh para pegawai Keraton dan kerabat Sultan kepada perusahaan perkebunan swasta. Kepemilikan tanah lungguh biasanya disertai dengan rakyat yang berada di dalamnya, sehingga selain mendapatkan tanah, perusahaan yang menyewa tanah tersebut juga mendapat tenaga kerja untuk mengolah lahannya.
(Bdk. Vincent J. H. Houben, Economic Policy In The Principalities Of Central
23
Ada beberapa peristiwa yang menjadikan masa pemerintahan
Hamengkubuwana VII (1877-1921) menjadi masa yang penting dalam penyewaan
tanah di Yogyakarta, yaitu penandatanganan perjanjian dengan pemerintah Hindia
Belanda yang diwakili oleh residen Belanda B. Van Baak untuk melakukan
reorganisasi kebijakan agraris, perbaikan lembaga peradilan dan keamanan, serta
pemeliharaan sarana transportasi.8
Ketiga buah perjanjian diatas menjadi pemicu terjadinya peningkatan
aktifitas persewaan tanah di Yogyakarta pada masa pemerintahan
Hamengkubuwana VII. Pertama, reorganisasi kebijakan agraris menciptakan
sistem pengaturan dan pemilikan tanah yang baru dengan dasar persewaan tanah
yang kembali. Kebijakan reorganisasi agraria yang dilakukan di Yogyakarta tahun
1912-1918 dilakukan untuk memperbaharui sistem tanah lungguhnya yang dinilai
ketinggalan zaman oleh pejabat residen Belanda.9 Kebijakan reorganisasi agraria
8
Poerwokusumo, Soedarisman, Kasultanan Yogyakarta,
(Yogyakarta:1985) Hal. 38. 9
Sesana, Riya, 2011, Intrik Politik Dan Pergantian Tahta Di Kesultanan
Yogyakarta 1877-1921, Tesis, Universitas Indonesia. unpublished, hal. 30. kebijakan dihilangkannya sistem lungguh di Yogyakarta diusulkan Belanda untuk mengakomodasi kebutuhan penyewa tanah akan tanah pertanian yang dapat disewa. Bila sebelumnya untuk menyewa tanah diharuskan meminta izin kepada Keraton Yogyakarta dan Gubernur Hindia Belanda, dengan diterapkannya peraturan ini hanya diperlukan izin dari Gubernur saja. Meskipun begitu, tidak semua tanah lungguh benar-benar menghilang di Yogyakarta. Hal ini dikarenakan keputusan sultan untuk tetap mempertahankan tanah lungguh di kalangan kerabat keraton karena banyak anggota keluarganya yang memiliki tanah dengan status
milik pribadi.(Ibid., Hal. 59) Kebijakan reorganisasi agraria tahun 1912 sendiri
merupakan pengembangan daru UU Agraria 1870 (bdk. Kartodirjo, Sartono, et. al.
Sejarah Perkebunan Di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi (Yogyakarta: 1991)
Hal. 80 dan Sievers, Allen M,. The Mystical World Of Indonesia:Culture And
24
ini memberi kebebasan bagi perusahaan swasta untuk menanamkan modal
termasuk di daerah Vorstenlanden sehingga menyebabkan berkembangnya
perusahaan perkebunan swasta (onderneming).
Kedua, kebijakan untuk memperbaiki lembaga peradilan10 dan institusi keamanan. Perlunya perbaikan institusi keamanan guna menjaga perkebunan
swasta dari tindakan kriminalitas seperti perampokan atau pembakar ladang
perkebunan.11 Untuk mengatasinya, dibentuklah Bupati Gunung atau Bupati Polisi
yang bertugas menjaga keamanan di wilayah yang diampunya.12 Munculnya
10
Widiyastuti, 1999, Aspek Legal Formal Tanah Lungguh Di Kasultanan
Yogyakarta 1831-1918, Tesis, Universitas Gajah Mada. unpublished, hal. 151-161. Sebelum reorganisasi lembaga peradilan dilaksanakan, Kesultanan Yogyakarta memiliki empat lembaga peradilan, yaitu Pengadilan Pradata yang menangani perkara pidana (begal, kecu, penjarahan, pembunuhan, perang desa, dll) dan perdata (jual beli, pergadaian, pinjaman, dll) yang tidak berhubungan dengan tanah, Pengadilan Surambi yang mengurusi masalah pidana dan perdata, dengan berasaskan kitab fiqih dalam agama Islam, Pengadilan Balemangu yang mengurusi segala macam persoalan mengenai tanah dengan bersumber pada kitab
Angger-Angger, terlebih bagian Angger Sadasa yang mengurusi masalah pertanahan, dan Pengadilan Darah Dalem yang mengurusi permasalahan intern Keraton dan persoalan Putra Sentana Dalem.
11
W. Pranoto, Suhartono, Jawa Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis
1850-1942, (Yogyakarta:2010) Hal. 157-160 Aktifitas kecu (pencurian di malam hari) di Yogyakarta masuk pada tahap yang mencemaskan pada tahun 1850 seiring dengan munculnya perkebunanswasta di Yogyakarta. Karena tekanan hidup yang sulit (mulai dari sawah yang menjadi daerah perkebunan, adanya musim panceklik dan gagal panen) banyak orang yang menjadi kecu dan menjadikan daerah perkebunan swasta sebagai sasaran operasinya. Biasanya yang dirampok adalah hewan ternak maupun uang milik pengusaha perkebunan. Aktifitas pembakaran daerah perkebunan sendiri dilakukan oleh para petani yang merasa dirugikan oleh merebaknya daerah perkebunan swasta yang menggusur lahan pertanian rakyat, sehingga pembakaran ladang perkebunan dan bangunan pendukungnya dilakukan guna memuaskan rasa kesal mereka. Aktifitas pembakaran lahan semakin meluas sejak tahun 1860.
12
25
Bupati Gunung menjadi tanda dari keinginan serius Residen Yogyakarta dan
Kesultanan Yogyakarta untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah
Yogyakarta, terlebih di daerah perkebunan swasta.
Ketiga, perbaikan sarana transportasi seperti jalan raya dan jembatan. guna mengangkut hasil bumi yang diproduksi dari perkebunan swasta sebelum
dikirim menuju pasar Eropa lewat pelabuhan terdekat. Dengan diperbaikinya
jaringan jalan raya dan jembatan yang sebelumnya sempat rusak maupun terlantar
akibat Perang Jawa, menjadikan daerah perkebunan swasta tidak mengalami
kesulitan dalam mendistribusikan hasil produksinya menuju daerah pelabuhan.
Ketika masa Hamengkubuwana VI, pada tahun 1869 terdapat 58
perkebunan swasta di Yogyakarta, maka pada masa Hamengkubuwana VII jumlah
persewaan tanah terjadi peningkatan sejalan dengan munculnya peraturan yang
mengatur persewaan tanah. Terdapat 61 perusahaan perkebunan swasta yang
beroperasi mulai dari tahun 1890 hingga tahun 1921.13
Untuk lebih jelas, di bawah ini terdapat daftar perusahaan perkebunan
swasta yang melakukan aktifitas perkebunan pada tahun 189 dan daftar
perkebunan swasta yang membuat kontrak persewaan tanah di yogyakarta tahun
1920-1925. Perusahaan perkebunan tersebut bergerak di bidang usaha perkebunan
kopi, gula, dan indigo, karena ketiga komoditas tersebut merupakan komoditas
yang laku di pasaran Eropa.
13
26
Semakin maraknya perjanjian sewa tanah antara perusahaan perkebunan
swasta dengan kerabat maupun pegawai Keraton tentu saja menimbulkan
beberapa masalah tersendiri bagi Keraton Yogyakarta, terlebih setelah selesainya
Perang Jawa, Keraton Yogyakarta harus menanggung biaya perang yang
dikeluarkan oleh Belanda. Seperti diserahkannya daerah Mancanegara (Bagelen,
Banyumas, Kediri) kepada Belanda.14 Hal ini tentu saja memberatkan proses
pembagian tanah lungguh bagi pegawai dan kerabat Keraton. Untuk mengatasi hal
tersebut, Keraton Yogyakarta memberlakukan penggajian dengan menggunakan
uang, selain menggunakan tanah.15
Proses pembagian tanah lungguh mulai lebih selektif untuk menentukan
siapa saja yang benar-benar membutuhkan. Daerah yang masih bisa dikelola
sebagai tanah lungguh adalah daerah Mataram (Bantul, Sleman, Kalasan) dan
sebagian Kulonprogo.16 Wilayah tersebut dibagi dengan ketentuan 120 jung untuk
putra mahkota, dan 96 jung untuk patih.17 Setelah munculnya pemberian gaji
berupa uang, mulai banyak pejabat-pejabat keraton yang mendapatkan gaji berupa
14
Widiyastuti, op.cit., Hal. 106
15
Ibid., Hal. 138 Penggunaan uang untuk memberi gaji bagi pejabat Keraton dimulai tahun 1812, setelah Keraton Yogyakarta kehilangan wilayah Kedu. Sejak saat itu, pada tahun 1850-an, sistem pemberian gaji bagi pejabat keraton tidak hanya bertumpu pada tanah lungguh saja.Penerapan pemberian gaji berupa uang. Penggunaan uang yang semakin meluas di masa ini membuat pemanfaatan uang oleh para pejabat kesultanan digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan sosial dan politiknya. (Ibid., Hal. 139)
16
Ibid., Hal. 119 17
27
uang dan tidak lagi mendapat tanah sebagai pendapatannya. Hal ini menandai
masuknya ekonomi moneter di Yogyakarta.
Munculnya ekonomi moneter tidak serta merta membuat pejabat keraton
menggantungkan hidupnya hanya dari uang gaji. Tanah-tanah lungguh yang
dimiliki banyak disewakan kepada perusahaan perkebunan swasta. Hal ini
dilakukan karena lebih menguntungkan bagi kas Keraton dan sebagai tambahan
penghasilan bagi pemilik tanah lungguh, selain gaji berupa uang yang diterima
dari keraton
Keuntungan yang didapat bagi keraton adalah biaya sewa yang ditanggung
para penyewa Eropa kepada para Patuh18 lebih banyak dibanding jumlah pajak untuk mengelolanya. Umumnya tinggal di wilayah Keraton (Kuthagara) atau Negaragung yang jauh dari tanah lungguhnya agar dapat dengan mudah diawasi
oleh Sultan. Dalam Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di
Pedesaan Surakarta 1830-1920. (Yogyakarta:1991) Hal. 2, patuh berarti pekerjaan yang sudah ditetapkan. Bila dilihat kembali dalam pengertian patuh pada paragraph ini, patuh merupakan orang yang telah ditetapkan status dan pekerjaannya oleh raja.
19
Petugas yang diserahi kewenangan oleh Patuh untuk memungut
sebagian hasil tanah yang menjadi hak penguasa dari rakyat yang berada di tanah
lungguh patuh tersebut. Karena kemampuannya, Patuh mempercayakan Bekel
untuk menghimpun dan mengorganisir tenaga kerja guna menghasilkan produk
28
dalam sistem persewaan.20 Sultan melihat keuntungan yang didapatkan oleh para
patuh dari hasil menyewakan tanah cukup signifikan. Karena pertimbangan
tersebut akhirnya pesewaan tanah dibolehkan oleh Sultan.21
Hal ini tentu saja berbeda pada sisi si penyewa tanah. Bagi pemilik
perkebunan swasta, munculnya persewaan tanah di wilayah Kesultanan
Yogyakarta menjadikan berkembangnya wilayah onderneming yang membuat
pemilik perkebunan swasta selalu mencari cara untuk memperluas tanah
perkebunan mereka. Hal ini yang menyebabkan tanah lungguh milik pejabat dan
kerabat Keraton Yogyakarta makin banyak disewa.
Persewaan tanah lungguh dinilai lebih menguntungkan karena berbagai
sebab, diantaranya:
1. Perkebunan Swasta bisa mengandalkan tenaga kerja rakyat yang ada di
wilayah yang disewanya.22
20
BPAD DIY, Praktek Persewaan Tanah Lungguh Di Kesultanan
Yogyakarta Pada Masa Sultan Hamengkubuwana VII Tahun 1877-1921.
(Yogyakarta: 2009) Hal. 7-8 21
Untuk mengetahui persebaran perkebunan kopi, indigo, dan tebu serta pabrik gula yang berdiri diatas tanah-tanah lungguh di Yogyakarta dapat dilihat pada peta di lampiran atau pada link http://kaarten.abc.ub.rug.nl/root/afz/indo/krt-1890-indo-djok-1/ diakses pada tanggal 28 Oktober 2013
22
Dalam sistem tanah lungguh, raja tidak hanya menyerahkan tanah saja kepada pejabat atau kerabat keraton, melainkan disertai dengan rakyat yang tinggal di dalamnya. Rakyat tersebut diharuskan untuk memberikan pajak kepada
para patuh maupun bekel, baik dengan hasil bumi maupun dengan kerja bakti. Hal
ini bisa dibuktikan dari satuan ukuran pada tanah di masa ini, yaitu dengan menggunakan bahu atau karya atau cacah, yang menerangkan jumlah tanah yang dapat dikerjakan seseorang dalam waktu sehari. Dengan cara ini, perusahaan perkebunan tidak harus mencari tenaga kerja dari tempat karena para penduduk dapat diperintahkan untuk bekerja di daerah perkebunan dengan komando para