• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi pengobatan pada kasus diabetes melitus dengan komplikasi nefropati diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi pengobatan pada kasus diabetes melitus dengan komplikasi nefropati diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005."

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

ix

INTISARI

Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai dengan hiperglikemia. Diabetes Melitus dapat mengakibatkan komplikasi kronis yaitu pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis. Pasien dengan komplikasi nefropati diabetik meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya prevalensi penyakit DM. Terapi pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik meliputi kontrol tekanan darah, pengendalian kadar gula darah, dan pembatasan asupan protein.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengobatan pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan evaluasi pengobatan dilakukan berdasarkan Drug Related Problem (DRP).

Hasil penelitian ini adalah kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak berjenis kelamin laki-laki, paling banyak berusia 45-64 tahun (80,0%), diagnosis terbanyak DM dengan nefropati (76,7%), dan paling banyak kerusakan ginjal tingkat 4 dan 5 (40,0%) . Sebanyak 15 kelas terapi diberikan dan kelas terapi terbanyak vitamin dan mineral (96,7%) diikuti obat sistem kardiovaskuler (93,3%). Analisis DRP didapatkan 10 kasus dari 30 kasus mengalami DRP, 8 kasus aktual DRP butuh obat, 7 kasus aktual DRP tidak perlu obat, 1 kasus aktual DRP ADR, dan 2 kasus potensial DRP ADR. Hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak pulang dalam keadaan membaik (67,7%) dan paling banyak dirawat selama 1-7 hari (56,7%).

(2)

x

ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is a group of metabolic disorders of fat, carbohydrate, and protein metabolism that characterized by hyperglycaemia. Diabetes Mellitus can cause chronic complication at eye, kidney, vein and nerve accompanied lesion at basalis membrane. Patients DM with diabetic nephropathy complication mount every year in a row with the height of DM prevalence. Therapy for patients DM with diabetic nephropathy complication including blood pressure control, control of blood sugar rate, and protein restriction.

This research is done to evaluate medication DM patient with diabetic nephropathy complication in Impatience Ward of Bethesda Yogyakarta Hospital period of year 2005. This research is including non experimental research with descriptive evaluative device and intake of data done by retrospective. Data analysis done descriptively and medication evaluation done based on Drug Related Problem (DRP).

This research results are DM with diabetic nephropathy complication cases most have men genders (56,7%), most have ages 45-64 year old (80,0%), the most diagnosed is DM with nephropathy (76,7%) and most have group 4 and 5 for renal impairment (40,0%). Counted 15 therapy classes given and the most therapy class is mineral and vitamins (96,7%) followed by cardiovascular system drug (93,3%). Analysis of DRP got 10 cases experience DRP, 8 cases actual DRP need for additional drug therapy, 7 cases actual DRP unnecessary drug therapy, 1 case actual DRP ADR, and 2 cases potential DRP ADR.

(3)

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

M. Rianasari Dwi Swastika

NIM : 038114003

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

M. Rianasari Dwi Swastika

NIM : 038114003

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005

Yang diajukan oleh:

M. Rianasari Dwi Swastika

NIM : 038114003

telah disetujui oleh

Pembimbing

(6)

iii

Pengesahan Skripsi

Berjudul

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005

Oleh :

M. Rianasari Dwi Swastika NIM : 038114003

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma pada tanggal :

14 Mei 2007

Mengetahui

Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma

Dekan

Rita Suhadi, M.Si., Apt.

Pembimbing :

dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. ...

Panitia Penguji :

1. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. ...

2. Rita Suhadi, M.Si., Apt. ...

(7)

iv

There can

be miracles when you

Believe

……….

though hope is frail, it’s hard to kill

Who knows

what

Miracles

you can

Achieve

……….

when

you

believe, somehow

you

will

you

W

ILL when you BELIEVE

……….

(When You Believe¸ OST The Prince of Egypt)

Untuk segala sesuatu ada waktunya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya.

(Pengkotbah 3 : 1, 11)

Kupersembahkan karya ini untuk :

yang tercinta

Bapak

dan

Ibu

,

mas

Ari

,

David

,

dan

Ave

,

mas

Nugroho

,

(8)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Mei 2007 Penulis

(9)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

perlindunganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005” ini.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi.

Skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada uluran tangan dari pihak-pihak yang

dengan kesediaan dan kelegaan hati membantu penulis dari awal sampai akhir proses

penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Direktur Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada

penulis untuk melakukan penelitian di Unit Rekam Medis.

3. Bapak Siswuryanto selaku Kepala Unit Rekam Medis RS Bethesda Yogyakarta

yang telah membantu peneliti selama pengambilan data.

4. Bapak Darsono dan segenap staf Unit Rekam Medis RS Bethesda Yogyakarta

yang telah membantu peneliti dalam mencari data.

5. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes., selaku dosen pembimbing. Terimakasih atas

bimbingan, kesabaran dan masukan-masukannya selama penelitian dan

(10)

vii

6. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih atas

masukan, saran, dan kritik yang menyempurnakan skripsi ini.

7. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih atas

masukan, saran, dan kritik yang menyempurnakan skripsi ini.

8. Bapak Yoseph dan Ibu Marcia, atas doa, cinta, bimbingan, harapan dan kasih

sayang yang selalu tercurah kepada penulis. Tanpa dukungan bapak-ibu kuliahku

tak akan lancar.

9. Mas Ari, David, Ave, terimakasih untuk keceriaan yang telah dihadirkan dalam

hidup penulis. Tawa kalian membuatku selalu semangat.

10.Mas Yusuf Nugroho Sukarno, untuk semuanya. Terimakasih untuk masukan,

semangat, dukungan, dan bantuannya walau kadang hanya lewat doa. Penulis

tidak akan bisa melewati ini semua tanpa bantuan mas.

11.Teman-teman angkatan 10 VL untuk semua ceritanya dan kenangannya.

12.Teman-teman angkatan 2003, khususnya kelas A, kelompok praktikum A,

senang bisa mengenal dan bekerja sama dengan kalian.

13.Anak-anak kost Banana Home, Eta, Prita, Mekar, Deta, Vita, Dian, Mbak Cicil,

Tika, Ratih, Mbak Purba, terima kasih karena kehadiran kalian membuat hidupku

sedikit lebih berkembang.

14.Nugraheni Angger dan Antonia Ari, atas kebersamaannya di Unit Rekam Medis

RS Bethesda Yogyakarta.

15.Semua pihak yang telah membantu dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu

per satu, terimakasih banyak.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu pula

(11)

viii

sedalam-dalamnya apabila ada kesalahan baik dalam tulisan yang terdapat dalam

skripsi ini maupun tingkah laku dan perkataan penulis.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca.

Selain itu besar harapan penulis, semoga karya ini dapat mengisi pembangunan

bangsa ini.

(12)

ix

INTISARI

Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai dengan hiperglikemia. Diabetes Melitus dapat mengakibatkan komplikasi kronis yaitu pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis. Pasien dengan komplikasi nefropati diabetik meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya prevalensi penyakit DM. Terapi pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik meliputi kontrol tekanan darah, pengendalian kadar gula darah, dan pembatasan asupan protein.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengobatan pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan evaluasi pengobatan dilakukan berdasarkan Drug Related Problem (DRP).

Hasil penelitian ini adalah kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak berjenis kelamin laki-laki, paling banyak berusia 45-64 tahun (80,0%), diagnosis terbanyak DM dengan nefropati (76,7%), dan paling banyak kerusakan ginjal tingkat 4 dan 5 (40,0%) . Sebanyak 15 kelas terapi diberikan dan kelas terapi terbanyak vitamin dan mineral (96,7%) diikuti obat sistem kardiovaskuler (93,3%). Analisis DRP didapatkan 10 kasus dari 30 kasus mengalami DRP, 8 kasus aktual DRP butuh obat, 7 kasus aktual DRP tidak perlu obat, 1 kasus aktual DRP ADR, dan 2 kasus potensial DRP ADR. Hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak pulang dalam keadaan membaik (67,7%) dan paling banyak dirawat selama 1-7 hari (56,7%).

(13)

x

ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is a group of metabolic disorders of fat, carbohydrate, and protein metabolism that characterized by hyperglycaemia. Diabetes Mellitus can cause chronic complication at eye, kidney, vein and nerve accompanied lesion at basalis membrane. Patients DM with diabetic nephropathy complication mount every year in a row with the height of DM prevalence. Therapy for patients DM with diabetic nephropathy complication including blood pressure control, control of blood sugar rate, and protein restriction.

This research is done to evaluate medication DM patient with diabetic nephropathy complication in Impatience Ward of Bethesda Yogyakarta Hospital period of year 2005. This research is including non experimental research with descriptive evaluative device and intake of data done by retrospective. Data analysis done descriptively and medication evaluation done based on Drug Related Problem (DRP).

This research results are DM with diabetic nephropathy complication cases most have men genders (56,7%), most have ages 45-64 year old (80,0%), the most diagnosed is DM with nephropathy (76,7%) and most have group 4 and 5 for renal impairment (40,0%). Counted 15 therapy classes given and the most therapy class is mineral and vitamins (96,7%) followed by cardiovascular system drug (93,3%). Analysis of DRP got 10 cases experience DRP, 8 cases actual DRP need for additional drug therapy, 7 cases actual DRP unnecessary drug therapy, 1 case actual DRP ADR, and 2 cases potential DRP ADR.

(14)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PRAKATA... vi

INTISARI... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan Masalah ... 4

2. Keaslian Penelitian... 4

3. Manfaat Penelitian ... 6

a. Manfaat Teoritis ... 6

b. Manfaat Praktis ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan Umum ... 7

(15)

xii

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Diabetes Melitus ... 8

1. Definisi, Gejala, dan Tanda Diabetes Melitus ... 8

2. Patofisiologi Diabetes Melitus ... 9

3. Klasifikasi Diabetes Melitus ... 9

a. Diabetes Melitus Tipe 1 ... 9

b. Diabetes Melitus Tipe 2 ... 10

c. Diabetes Tipe Lain ... 11

d. Diabetes Melitus Gestational ... 12

4. Diagnosis Diabetes Melitus... 12

B. Komplikasi Nefropati Diabetik ... 13

1. Definisi Nefropati Diabetik... 13

2. Patofisiologi dan Gejala Nefropati Diabetik ... 14

3. Diagnosis... 16

4. Tahap Nefropati Diabetik... 17

C. Terapi Nefropati Diabetik ... 18

1. Tujuan Terapi ... 18

2. Strategi Terapi... 19

a. Terapi nonfarmakologi... 19

b. Terapi farmakologi ... 20

3. Rekomendasi ADA ... 28

D. Farmasi Klinik... 29

(16)

xiii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 33

A. Jenis Rancangan Penelitian ... 33

B. Definisi Operasional ... 33

C. Subjek Penelitian... 34

D. Bahan Penelitian... 35

E. Lokasi Penelitian... 35

F. Tata Cara Penelitian ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Gambaran Profil Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik .... 39

1. Gambaran Berdasarkan Jenis Kelamin ... 40

2. Gambaran Berdasarkan Usia... 40

3. Gambaran Berdasarkan Diagnosis ... 42

4. Gambaran Berdasarkan Tingkat Kerusakan Ginjal... 42

B. Gambaran Umum Pola Pengobatan pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik ... 43

C. Analisis Drug Related Problem (DRP)... 66

D. Hasil Pengobatan Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik ... 76

E. Rangkuman Pembahasan ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN... 86

(17)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Kategori Diagnosis Penyakit DM ... 13

Tabel II. Kategori Kadar Albumin dalam Urin... 16

Tabel III. Kerusakan Ginjal Berdasarkan Clcr... 17

Tabel IV. Sediaan Insulin dan Waktu Aksinya ... 27

Tabel V. Drug Related Problem dan Kemungkinan Penyebabnya ... 31

Tabel VI. Distribusi Macam-Macam Komplikasi Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS. Bethesda Tahun 2005 ... 39

Tabel VII. Distribusi Diagnosis pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005... 42

Tabel VIII. Distribusi Kelas Terapi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005... 44

Tabel IX. Golongan Obat Antidiabetik pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 45

Tabel X. Golongan dan Jenis Obat Antidiabetik pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 47

Tabel XI. Golongan dan Jenis Vitamin dan Mineral pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 50

Tabel XII. Golongan dan Jenis Obat Sistem Kardiovaskuler pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 53

(18)

xv

Tabel XIV. Golongan dan Jenis Obat Antianemia pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 56

Tabel XV. Golongan dan Jenis Obat Saluran Cerna pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 59

Tabel XVI. Golongan dan Jenis Obat Antiinfeksi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 60

Tabel XVII. Golongan dan Jenis Obat Nutrisi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 61

Tabel XVIII. Golongan dan Jenis Obat Saluran Urinaria pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 62

Tabel XIX. Golongan dan Jenis Obat Otot Skelet dan Sendi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005.. 62

Tabel XX. Golongan dan Jenis Obat Analgesik pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 63

Tabel XXI. Golongan dan Jenis Obat Sistem Pernafasan pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005.. 64

Tabel XXII. Golongan dan Jenis Obat Mata pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 64

Tabel XXIII. Golongan dan Jenis Obat Hormon pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 65

Tabel XXIV. Golongan dan Jenis Obat Lain-Lain pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 65

(19)

xvi

Tabel XXVI. Analisis DRP Kasus 2 ... 68

Tabel XXVII. Analisis DRP Kasus 3 ... 69

Tabel XXVIII.Analisis DRP Kasus 5 ... 70

Tabel XXIX. Analisis DRP Kasus 7 ... 71

Tabel XXX. Analisis DRP Kasus 15 ... 72

Tabel XXXI. Analisis DRP Kasus 16 ... 73

Tabel XXXII. Analisis DRP Kasus 17 ... 74

Tabel XXXIII.Analisis DRP Kasus 20 ... 75

Tabel XXXIV.Aktual DRP Efek Obat yang Tidak Diinginkan... 79

(20)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Grafik Distribusi Jenis Kelamin pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 40

Gambar 2. Grafik Distribusi Usia pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun

2005... 41

Gambar 3. Distribusi Tingkat Kerusakan Ginjal pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005... 43

Gambar 4. Grafik Keadaan Keluar pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 76

(21)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Rekam Medis Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Tahun 2005 ... 86

Lampiran 2. Daftar Nama Obat ... 100

Lampiran 3. Data Laboratorium dan Non Laboratorium... 106

Lampiran 4. Distribusi 10 Besar Penyakit, Komplikasi Penyakit Diabetes Melitus, dan Jumlah Pasien DM dari Tahun 2002 sampai September 2006... 126

Lampiran 5. Daftar Nilai Clearance Creatinin (Clcr) pada Kasus DM

(22)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penyakit diabetes melitus (DM), yang dikenal masyarakat sebagai penyakit

gula atau kencing manis terjadi pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar

gula (glukosa) dalam darah akibat kekurangan insulin atau reseptor insulin tidak

berfungsi baik. Diabetes Melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolisme

yang dikarakteristikan dengan hiperglikemia, disertai dengan abnormalitas

karbohidrat, lemak, dan protein, serta dapat mengakibatkan komplikasi kronis

termasuk mikrovaskular dan makrovaskular (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005).

Diabetes Melitus dibagi menjadi dua kelompok besar. Diabetes yang timbul akibat

kekurangan insulin disebut DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(IDDM). Diabetes oleh karena insulin tidak berfungsi dengan baik disebut DM tipe 2

atau Non- Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) prevalensi diabetes di seluruh

dunia mencapai sekitar 2,8% pada tahun 2000 dan diperkirakan akan meningkat

menjadi 4,4% pada tahun 2030. Total penderita diabetes meningkat dari 171 juta

jiwa pada 2000 menjadi 366 juta jiwa pada 2030. Kini jumlah penderita DM di

seluruh dunia diperkirakan mencapai 200 juta orang dan dari angka tersebut

diperkirakan sekitar 150 juta orang merupakan penderita DM tipe 2 (Anonim,

(23)

Indonesia, dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa, yang menderita DM

sekitar 10 juta jiwa. Hal tersebut membuat Indonesia menempati urutan keempat

negara dengan penderita DM terbanyak setelah India, Cina, dan Amerika Serikat.

Peningkatan jumlah penderita DM tersebut terjadi akibat pertumbuhan populasi,

penuaan, urbanisasi, peningkatan prevalensi obesitas, berkurangnya aktivitas fisik,

dan perubahan gaya hidup akibat dari perbaikan kemakmuran (Anonim, 2005c).

Komplikasi diabetes sangat luas, hingga mencakup hampir semua organ

tubuh. Salah satu komplikasi tersebut adalah nefropati diabetik. Nefropati diabetik

adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah (Anonim,

2003a). Kebocoran selaput penyaring darah tersebut dapat menyebabkan lolosnya

protein albumin ke dalam urin. Adanya albumin dalam urin (albuminuria) merupakan

indikasi terjadinya nefropati diabetik (albuminuria persisten pada kisaran

30-299 mg/24 jam/mikroalbuminuria) (Anonim, 2005a).

Apabila kadar albumin sudah diketahui meningkat sejak dini maka dapat

segera dilakukan terapi. Pengobatan sejak dini bisa menunda bahkan menghentikan

laju penyakit. Pengobatan meliputi kontrol tekanan darah. Tindakan ini dianggap

paling penting untuk melindungi fungsi ginjal. Selain itu dilakukan pengendalian

kadar gula darah dan pembatasan asupan protein (Anonim, 2003a).

Rumah sakit merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan di mana pasien

DM dan juga pasien DM yang telah diketahui memiliki albumin dalam urinnya

(indikasi dari terjadinya nefropati diabetik) bisa mendapatkan pengobatan yang tepat

untuk mencegah perkembangan penyakit tersebut ke arah yang semakin buruk.

Dalam pelayanannya seringkali kurang memperhitungkan bahaya atau resiko yang

(24)

Peran farmasis di rumah sakit sangat diperlukan untuk menghindarkan dan

meminimalkan bahaya atau resiko yang mungkin saja dapat muncul pada tindakan

medis dan pengobatan yang diberikan kepada pasien. Hal ini sesuai dengan adanya

paradigma Asuhan Kefarmasian, yaitu farmasis bertanggung jawab untuk

memastikan penderita memperoleh terapi obat yang aman, tepat, dan biaya terapi

yang efektif, serta memastikan terapi yang diberikan adalah yang diinginkan oleh

penderita. Di samping itu, Asuhan Kefarmasian juga merupakan tanggung jawab

farmasis dalam pemberian terapi obat yang bertujuan untuk mencapai hasil yang

dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. Kunci utamanya adalah pemantauan

terapi obat yang bertujuan untuk mengoptimalkan terapi dan meminimalkan efek

obat yang tidak diinginkan. Hal ini dapat dilakukan dengan sasaran utama

mengidentifikasi problem aktual dan potensial yang berkaitan dengan obat (actual

and potential DRP), penyelesaian problem aktual yang berkaitan dengan obat (actual

DRP), pencegahan problem potensial yang berkaitan dengan obat (potential DRP)

pada penatalaksanaan suatu penyakit (Seto, 2004).

Melihat bahaya kelanjutan dan bertambahnya penderita penyakit DM

beserta komplikasinya terutama nefropati diabetik maka perlu diadakan penelitian

ini. Penulis melakukan penelitian ini guna mengevaluasi pengobatan dan

kemungkinan terjadinya DRP pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda (RS Bethesda). Pengobatan yang

sesuai dapat menghambat laju perkembangan penyakit dan menghindarkan dari

komplikasi lain yang mungkin terjadi. Selain itu pengobatan yang sesuai juga

(25)

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan

beberapa permasalahan mengenai evaluasi pengobatan pada kasus DM dengan

komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta periode tahun 2005 seperti di bawah ini.

a. Seperti apakah gambaran profil kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik

di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005 yang

meliputi jumlah kasus komplikasi nefropati, jenis kelamin, usia, diagnosis, dan

tingkat kerusakan ginjal?

b. Seperti apakah pola pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati

diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005

yang meliputi golongan dan jenis obat?

c. Apakah jenis DRP yang timbul dalam pengobatan pada kasus DM dengan

komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda periode tahun

2005 yang meliputi : butuh obat (need for additional drug therapy), tidak perlu

obat (unnecessary drug therapy), obat tidak tepat (wrong drug), dosis terlalu

rendah (dosage too low), dosis terlalu tinggi (dosage too high), Adverse Drug

Reaction (ADR), serta ketidaktaatan pasien (uncomplience)?

d. Seperti apakah hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati

diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda periode tahun 2005 yang meliputi

lama tinggal pasien, izin kepulangan pasien, dan keadaan pasien saat keluar dari

rumah sakit?

2. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dan berhubungan dengan DM

(26)

Bethesda Yogyakarta (Periode Januari-Desember 1998)” oleh Nadeak (1995).

Penelitian ini berisi tentang pola penggunaan antidiabetika oral (ADO) yang meliputi

jenis ADO yang diberikan, cara pemberiannya, golongan ADO dan dosis pemakaian

ADO.

Suryawanti (1999) menulis “Pola Peresepan Obat Hipoglikemik Oral

(OHO) dan Studi Literatur Interaksi Obat pada Pasien DM di RS Bethesda

Yogyakarta periode Januari-Maret 2002”. Penelitian ini berisi tentang pola peresepan

obat hipoglikemi dan interaksi obat yang potensial terjadi.

De Paullin (2000) meneliti pola peresepan pada penderita gagal ginjal

kronis, yang tertulis dalam penelitian “Kajian Pola Peresepan pada Pasien Gagal

Ginjal Kronis Ditinjau dari Dosis, Interaksi, Efek Samping, dan Kontraindikasi

Obat”.

Retnari (2002) menulis “Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Komplikasi

Nefropati pada Kasus DM di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta

Periode 2005”. Penelitian ini berisi tentang evaluasi terhadap penatalaksanaan terapi

pada pasien DM dengan komplikasi nefropati.

Perbedaan antara penelitian ini dan penelitian terdahulu yaitu pada

penelitian terdahulu hanya melihat pola pengobatannya saja sedangkan pada

penelitian ini juga dilakukan evaluasi pengobatannya yaitu dengan menggunakan

DRP. Sama seperti penelitian ini yang akan mengevaluasi (salah satunya) tentang

interaksi obat, interaksi obat yang potensial terjadi juga pernah diteliti. Perbedaannya

adalah pada penelitian ini tidak hanya melihat antidiabetika oral saja melainkan

seluruh obat yang digunakan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di

(27)

subyeknya yaitu pasien DM sedangkan penelitian ini kasus DM dengan komplikasi

nefropati diabetik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh

Retnari (2002) adalah tempat dilakukannya penelitian. Pada penelitian Retnari

(2002) penelitian dilakukan di RS Panti Rapih Yogyakarta sedangkan penelitian ini

dilakukan di RS Bethesda Yogyakarta. Dengan demikian penelitian mengenai

Evaluasi Pengobatan pada Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Nefropati

Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Periode Tahun 2005 belum pernah

dilakukan.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut ini.

a. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan wacana

dalam evaluasi pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik

dan juga dalam mengembangkan konsep pelayanan farmasi klinik di Instalasi

Rawat Inap RS Bethesda.

b. Manfaat Praktis

1). Bagi RS Bethesda Yogyakarta hasil penelitian ini dapat memberikan

gambaran tentang pola peresepan yang dilakukan dalam pengobatan pada

kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS

Bethesda Yogyakarta.

2). Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan pada

kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik.

3). Dengan dilakukannya penelitian ini akan mendukung pelaksanaan konsep

(28)

B. Tujuan Penelitian 1. Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengobatan

yang diberikan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi

Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta selama tahun 2005.

2. Khusus

Tujuan khusus dari penelitian mengenai evaluasi pengobatan pada kasus

DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda

Yogyakarta periode tahun 2005 ini adalah :

a. mengetahui gambaran profil kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di

Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005 yang meliputi

jumlah kasus komplikasi nefropati, jenis kelamin, usia, diagnosis, dan tingkat

kerusakan ginjal

b. mengetahui pola pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati

diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005

yang meliputi golongan dan jenis obat

c. menggambarkan Drug Related Problem (DRP) yang timbul dalam pengobatan

pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS

Bethesda periode tahun 2005

d. mengetahui hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati

(29)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus 1. Definisi, Gejala, dan Tanda Diabetes Melitus

Secara umum diabetes melitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang

timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula

(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono,

2002). Diabetes Melitus merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan

protein yang ditandai dengan hiperglikemia serta dapat mengakibatkan komplikasi

kronis termasuk mikrovaskular dan makrovaskular (Triplitt dkk, 2005). Penyakit DM

merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan upaya penanganan yang tepat dan

serius. Jika tidak ditangani, penyakit tersebut akan membawa ke berbagai komplikasi

penyakit serius lainnya, seperti penyakit jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal

ginjal, dan kerusakan syaraf (Octa, 2003).

Gejala klasik dari penyakit DM adalah rasa haus yang berlebihan, sering

buang air kecil, terutama pada malam hari, penurunan berat badan. Selain itu terdapat

pula keluhan lain seperti rasa lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, merasa

cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan menjadi kabur, gairah seks menurun, luka yang

sukar sembuh (Suyono, 2002).

Diabetes melitus sendiri ditandai dengan hiperglikemia, perubahan

metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein serta meningkatnya resiko komplikasi

(30)

2. Patofisiologi Diabetes Melitus

Diabetes melitus ialah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi insulin

relatif maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam

sel terhambat serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50%

glukosa yang dimakan diubah menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen,

dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada DM semua proses tersebut

terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga energi utama diperoleh

dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia relatif tidak

berbahaya, kecuali bila kadar gula dalam darah tinggi sekali hingga darah menjadi

hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Glukosuria yang timbul lebih berbahaya

dibandingkan dengan hiperglikemia. Hal ini dikarenakan glukosa bersifat diuretik

osmotik, dengan adanya glukosa dalam urin maka diuresis akan sangat meningkat

disertai hilangnya berbagai elektrolit. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya

dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada penderita diabetes yang tidak diobati. Karena

adanya dehidrasi maka badan berusaha mengatasinya dengan banyak minum

(polidipsia). Badan kehilangan 4 kalori untuk setiap gram glukosa yang diekskresi.

Polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di hipotalamus oleh

kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu (Handoko dan Suharto, 1995).

3. Klasifikasi Diabetes Melitus

a. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes tipe 1 lebih dulu dikenal dengan sebutan Diabetes Melitus Tergantung

Insulin (DMTI) atau IDDM. Diabetes ini terjadi ketika sistem imun tubuh

(31)

berguna sebagai pengatur glukosa darah. Untuk mengatasi penyakit ini, penderita

membutuhkan insulin dari luar yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui

suntikan atau pompa. Terhitung 5% sampai 10% dari keseluruhan kasus diabetes

termasuk dalam diabetes tipe 1. Sampai saat ini belum diketahui cara mencegah

diabetes tipe ini (Anonim, 2003b)

Diabetes Melitus tipe ini merupakan hasil dari kerusakan autoimun sel β

pankreas. Tanda kerusakan imun sel β ditampakkan 90% pada waktu diagnosis,

termasuk antibodi sel islet, antibodi asam glutamat dekarboksilase, dan antibodi

untuk insulin. Diabetes Melitus tipe ini biasanya terjadi pada anak-anak dan anak

muda, tetapi bisa juga terjadi pada berbagai usia (Triplitt dkk, 2005).

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes tipe 2 lebih dulu disebut Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin

(DMTTI) atau NIDDM. Sekitar 90% sampai 95% dari seluruh penderita DM

termasuk dalam diabetes tipe ini. Biasanya, tipe ini dimulai dengan resistensi

insulin, suatu gangguan ketika sel tidak dapat menggunakan insulin sebagaimana

mestinya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan insulin, pankreas akan

kehilangan kemampuannya dalam menghasilkan insulin secara bertahap.

Diabetes tipe ini berhubungan dengan usia tua, obesitas, riwayat DM dalam

keluarga, riwayat DM Gestasional, kerusakan metabolisme glukosa, dan ras atau

etnik (Anonim, 2003b).

Diabetes Melitus tipe ini dikarakteristikan dengan resistensi insulin dan

sedikitnya sekresi insulin. Kebanyakan individu dengan DM tipe 2 menunjukkan

(32)

dislipidemia (level trigliserida yang tinggi dan level HDL-kolesterol yang

rendah) dan kenaikan level inhibitor plasminogen activator 1 (PA1) sering

muncul atau tampak pada penderita DM tipe ini (Triplitt dkk, 2005).

c. Diabetes tipe lain

1). Kerusakan genetik fungsi sel pankreas

Kromosom 20q, HNF-4α (dulu Maturity Onset Diabetes of The Youth /

MODY1); kromosom 7p, glukokinase (dulu MODY2); kromosom 12q,

HNF-1 (dulu MODY3); kromosom HNF-13q, faktor promoter insulin (dulu MODY4);

kromosom 17q, HNF-1 (dulu MODY5); Kromosom 2q (dulu MODY6);

mitokondria DNA.

MODY dikarakteristikan sebagai terganggunya sekresi insulin dengan

resistensi insulin yang kecil atau tidak resisten sama sekali. Ketidakmampuan

secara genetik untuk mengubah proinsulin menjadi insulin mengakibatkan

hiperglikemia ringan pada usia dini dan hal tersebut akan diwariskan pada

pola autosomal yang dominan (Triplitt dkk, 2005).

2). Kerusakan genetik dalam aksi atau kerja insulin

Resistensi insulin tipe 1, leprechaunism, sindrom Rabson-Mendenhall.

3). Penyakit pada eksokrin pankreas

Pankreatitis, pancreatectomy, neoplasia, cystic fibrosis, hemokromatosis.

4). Endokrinopati

Acromegaly, sindrom Cushing, glukagonoma, pheochromocytoma,

hipertiroidism, somatostatinoma, aldosteronoma.

5). Infeksi

(33)

6). Sindrom genetik lainnya yang kadang-kadang menyertai diabetes

Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram,

Friedreich’s ataxia, Huntington’s chorea, sindrom Laurence-Moon-Bieldel,

distropi miotonik (Triplitt dkk, 2005).

d. Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes Melitus Gestasional (DMG) merupakan intoleransi glukosa yang

pertama kali diketahui selama kehamilan. Komplikasi DMG terjadi sekitar 7%

dari semua kehamilan. Deteksi klinis penting agar terapi dapat dilakukan

sehingga cacat dan kematian perinatal dapat diturunkan (Triplitt dkk, 2005).

Selama kehamilan, diabetes gestasional memerlukan terapi untuk menormalkan

kadar gula darah ibu untuk mencegah komplikasi pada janin. Setelah melahirkan,

5% sampai 10% wanita dengan DMG mengalami diabetes tipe 2 (Anonim,

2003b).

4. Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis dari penyakit ini dapat menggunakan 3 kriteria yaitu :

a. kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl

b. tes toleransi kadar gula dalam darah setelah 2 jam ingesti glukosa secara oral ≥

200 mg/dl atau

c. kadar glukosa dalam plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan gejala-gejala diabetes

(Triplitt dkk, 2005).

World Health Organization (WHO) dan American Diabetes Association

(ADA) menetapkan kategori diagnosis penyakit DM seperti yang tercantum pada

(34)

Tabel I. Kategori Diagnosis Penyakit DM (Triplitt dkk, 2005)

Kategori Gula Darah Puasa

a

(mg/dL)

Gula Darah 2h ppgb (mg/dL)

Gula Darah Sewaktu (mg/dL)

Normal <100 <140 -

Impaired Fasting Glucose (IFG) atau Prediabetes

100-125 140-199 -

Diabetes Melitus ≥126 ≥200 ≥200 Keterangan :

a

Puasa didefinisikan tidak ada masukan makanan sedikitnya dalam waktu 8 jam terakhir

b

2h ppg=2 hour postload glucose (pengukuran gula darah setelah 2 jam pemberian glukosa) dengan Oral Glucose Tolerance Test (OGTT).

B. Komplikasi Nefropati Diabetik 1. Definisi Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput

penyaring darah. Sebagaimana diketahui, ginjal terdiri dari jutaan unit penyaring

(glomerulus). Setiap unit penyaring memiliki membran atau selaput penyaring.

Kadar gula darah tinggi secara perlahan akan merusak selaput penyaring ini. Gula

yang tinggi dalam darah akan bereaksi dengan protein sehingga mengubah struktur

dan fungsi sel, termasuk membran basal glomerulus. Akibatnya, penghalang protein

rusak dan terjadi kebocoran protein ke urin (albuminuria). Hal ini berpengaruh buruk

pada ginjal (Anonim, 2003a).

Nefropati diabetik adalah suatu komplikasi penyakit DM yang tidak

terkendali dengan baik (Astuti, 2000). Soman (2006) menuliskan nefropati diabetik

adalah sindrom klinis dengan karakteristik albuminuria (>300 mg/hari) yang

ditetapkan sedikitnya pada 2 kali pemeriksaan dengan selang waktu 3 sampai 6

bulan, penurunan tajam Glomerular Filtration Rate (GFR), dan peningkatan tekanan

(35)

kematian paling tinggi (Genuth, 2003). Sekitar 30% pasien DM tipe 1 dan kira-kira

20% pada pasien DM tipe 2 mengalami nefropati diabetik. Akan tetapi, kebanyakan

pasien DM dengan end-stage renal disease (ESRD) merupakan pasien DM tipe 2

karena prevalensi penyakit DM tipe 2 lebih besar daripada penyakit DM tipe 1 di

dunia (90% dari seluruh pasien DM) (O’Meara, Brady, dan Brenner, 2001).

2. Patofisiologi dan Gejala Nefropati Diabetik

Diabetik nefropati timbul utamanya karena kerusakan fungsi glomerulus.

Perubahan histologi glomerulus pada DM tipe 1 dan tipe 2 tidak dapat dibedakan dan

terjadi pada mayoritas pasien (McPhee, Lingappa, Ganong, danLange, 1995).

Secara histologi, menebalnya membran dasar kapiler merupakan perubahan

paling awal. Kemudian terjadi akumulasi materi mesangial yang berdifusi sepanjang

glomerulus. Ekskresi sedikit albumin dalam level abnormal (30-300 mg/hari) dalam

urin merupakan penanda fase awal nefropati. Seiring dengan meningkatnya materi

mesangial yang mengisi glomerulus, albuminuria meningkat dan kadang-kadang

terjadi proteinuria dalam jumlah besar (Genuth, 2003). Proteinuria terjadi selama 5

sampai 10 tahun sebelum gejala lain muncul dan akan mencapai tahap ESRD dalam

kurun waktu 2 sampai 6 tahun setelah terjadi proteinuria (Anonim, 2004a). Setelah

proteinuria (ekskresi protein total lebih dari 0,5 gram/hari) meningkat atau

berkembang, kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) akan menurun hampir mencapai

level ESRD. Insiden puncak nefropati kira-kira 15-17 tahun dan sedikit menurun

setelahnya. Jika hasil pemeriksaan tidak segera menunjukkan proteinuria dalam

kurun waktu 25-30 tahun durasi diabetes, resiko ESRD akan menurun. Bersamaan

(36)

terjadi. Hipertensi ini akan memperburuk nefropati diabetik dan merupakan

komponen penting dalam perkembangan gagal ginjal (Genuth, 2003).

Di saat pembuluh darah halus ginjal mengalami kerusakan akibat keracunan

gula, akan terjadi kebocoran protein dari dalam darah ke dalam urin. Dengan

kehilangan protein cukup banyak (melampaui 3500 mg sehari) maka kadar protein

dalam darah menjadi rendah. Cairan dalam pembuluh darah tidak dapat

dipertahankan dan akan merembes ke jaringan. Penimbunan cairan di dalam jaringan

akan mengakibatkan terjadinya pembengkakan di wajah, tangan, perut, dan tungkai

bawah (Astuti, 2000).

Gangguan ginjal menyebabkan fungsi ekskresi, filtrasi dan hormonal ginjal

terganggu. Akibat terganggunya pengeluaran zat-zat racun lewat urin, zat racun

tertimbun di tubuh. Tubuh membengkak dan timbul resiko kematian (Anonim,

2003a).

Tidak ada gejala awal dalam tahap mula nefropati diabetik. Sejumlah kecil

protein di dalam urin (mikroalbuminuria) merupakan tanda pertama kerusakan ginjal.

Seiring dengan perkembangan kerusakan ginjal, jumlah protein yang masuk ke

dalam urin semakin banyak (makroalbuminuria) dan tekanan darah meningkat.

Kadar kolesterol dan trigliserid akan meningkat juga. Sebagai penurunan fungsi

ginjal, tubuh akan membengkak dan terjadi pertama kali pada kaki dan betis

(Anonim, 2004b). Gejala nefropati diabetik baru terasa saat kerusakan ginjal telah

parah berupa bengkak pada kaki dan wajah, mual, muntah, lesu, sakit kepala, gatal,

sering cegukan, mengalami penurunan berat badan (Anonim, 2003a). Gejala

(37)

jumlah besar atau dikarenakan gagal ginjal. Gejala tersebut berupa pembengkakan

(biasanya di sekitar mata pada pagi hari dan kemudian tubuh akan membengkak

juga), urin yang berbuih, berat badan bertambah dengan tidak sengaja (karena

akumulasi cairan), pembengkakan pada kaki, nafsu makan yang berkurang, mual dan

muntah, merasa sakit, capai atau lelah, sakit kepala, sering cegukan (Anonim,

2004a).

3. Diagnosis

Pasien DM dinyatakan mengalami tahap awal nefropati diabetik jika pada 2

dari 3 kali pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan ditemukan albumin di dalam urin 24

jam ≥ 30 mg, dengan catatan tidak ditemukan penyebab albuminuria lain.

Tabel II. Kategori Kadar Albumin dalam Urin (Anonim, 2002b).

Kategori Urin 24 jam (mg/24 jam)

Urin dalam waktu tertentu (mg/menit)

Urin sewaktu (mg/mg kreatinin)

Normal < 30 <20 <30

Mikroalbuminuria 30-299 20-199 30-299

Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300

Mikroalbuminuria berarti ditemukan sejumlah kecil protein albumin di

dalam urin sesuai dengan kategori di atas. Mikroalbuminuria merupakan indikasi

adanya gangguan glomerulus pada stadium dini, dimana gangguan dapat diperbaiki

atau diobati sementara. Bila telah terjadi gagal ginjal maka pengobatan sulit

dilakukan (Anonim, 2002b).

Mikroalbuminuria dapat dilihat dengan 3 metode, yaitu :

a. pengukuran rasio albumin-kreatinin pada pengumpulan urin acak

b. pengumpulan urin 24 jam dengan kreatinin

c. pengumpulan urin selama waktu tertentu, misalnya 4 jam atau urin semalam

(38)

4. Tahap Nefropati Diabetik

Perkembangan nefropati diabetik dapat digambarkan dengan prediksi 5

tahap berikut :

a. Tahap 1, kerusakan ginjal diindikasikan dengan GFR di atas normal.

b. Tahap 2, GFR tetap meningkat atau telah kembali ke angka normal tetapi

kerusakan glomerulus telah berkembang menjadi mikroalbuminuria. Pasien pada

tahap 2 mengekskresi lebih dari 30 mg albumin dalam urinnya.

c. Tahap 3 (overt nephropathy), kerusakan glomerulus telah berkembang menjadi

albuminuria klinik dimana di dalam urin terdapat lebih dari 300 mg albumin.

d. Tahap 4, kerusakan glomerulus berlanjut dengan peningkatan jumlah albumin

dalam urin. Kemampuan menyaring dari ginjal mulai menurun, dan blood urea

nitrogen (BUN) dan creatinin (Cr) mulai meningkat.

e. Tahap 5 (end stage renal disease, ESRD), GFR turun kira-kira 10 mL/menit.

Pada tahap ini diperlukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis, peritoneal

dialisis, transplantasi ginjal (Anonim, 2002a).

Gambaran pasien dengan berbagai tingkat kerusakan ginjal berdasarkan

clearance creatinin (Clcr) dapat dilihat pada tabel III.

Tabel III. Kerusakan Ginjal Berdasarkan Clcr (Shargel, Wu-Pong, dan Yu, 2005).

Tingkat Gambaran Perkiraan Clcr (mL/menit)

1 Fungsi ginjal normal >80

2 Kerusakan ginjal ringan 50-80

3 Kerusakan ginjal sedang 30-50

4 Kerusakan ginjal berat 10-30

5 ESRD <10

(39)

C. Terapi Nefropati Diabetik 1. Tujuan Terapi

Tujuan terapi adalah untuk memperlambat laju kerusakan ginjal dan

mengontrol komplikasi terkait (Anonim, 2004a). Di samping itu, untuk mencegah

berkembangnya mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria, menghambat

turunnya fungsi ginjal pada pasien makroalbuminuria (Gross dkk, 2005). Terapi

untuk DM tipe 1 dan tipe 2 mengarah pada normoglikemia, mengurangi atau

menghambat laju komplikasi (retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan neuropati

diabetik). Semakin awal terapi dimulai akan semakin besar manfaatnya (Genuth,

2003).

Tujuan untuk perlindungan ginjal dan jantung pada terapi DM dengan

komplikasi nefropati mencakup :

a. kadar albumin

Tujuan terapi pada pasien dengan mikroalbuminuria adalah menurunkan kadar

albumin menjadi normoalbuminuria sedangkan tujuan terapi pasien yang

mengalami makroalbuminuria adalah menurunkan kadar protein sekecil

mungkin.

b. glomerular filtration rate (GFR)

GFR pasien dengan mikroalbuminuria harus dijaga agar tetap stabil sedangkan

pasien dengan keadaan makroalbuminuria penurunan GFR harus dijaga

<2ml/menit pertahun.

c. tekanan darah

Pada pasien DM secara umum tekanan darah dijaga tetap stabil dengan target

130/80 mmHg atau 125/75 mmHg pada pasien dengan proteinuria <1,0g/24 jam

(40)

d. kadar glycated hemoglobin (Hb A1c)

Uji klinis menunjukkan menjaga kadar Hb A1c <7% akan membantu mencegah

perkembangan mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria karena kadar Hb

A1c <7% berhubungan dengan penurunan resiko manifestasi nefropati secara

struktural dan klinis.

e. kadar LDL

Pada pasien DM umum kadar LDL kolesterol dijaga <100 mg/dl dan <70 mg/dl

untuk pasien dengan CVD

(Gross dkk, 2005).

Terapi pengganti ginjal berupa dialisis akan dilakukan bila Clcr mengalami

penurunan <30mL/menit/1,73m2. kriteria untuk memulai dialisis adalah status klinis

pasien yang berupa anorexia, mual, dan muntah, yang utamanya bila disertai dengan

penurunan berat badan, fatigue, dan penurunan albumin dalam serum, hipertensi

yang tidak terkontrol dan congestive heart failure (Elwell dan Foote, 2005).

2. Strategi Terapi

a. Terapi nonfarmakologi

1). Diet

Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua orang yang menderita DM.

Tujuan utamanya adalah mencapai keluaran metabolik yang optimal dan

sebagai pencegahan dan terapi untuk komplikasi (Triplitt dkk, 2005).

Mengganti daging merah dengan daging ayam dalam diet akan menurunkan

ekskresi albumin dalam urin sebesar 46% dan menurunkan kolesterol total,

kolesterol LDL, dan apoliprotein B pada pasien DM tipe 2 dengan

(41)

2). Olahraga

Olahraga aerobik dapat memperbaiki resistensi insulin dan mengontrol kadar

gula darah pada kebanyakan individu, menurunkan faktor resiko

kardiovaskular, berperan dalam menurunkan atau menjaga berat badan, dan

meningkatkan kesehatan (Triplitt dkk, 2005).

b. Terapi farmakologi

Pengobatan meliputi kontrol tekanan darah. Tindakan ini dianggap paling

penting untuk melindungi fungsi ginjal. Biasanya menggunakan penghambat enzim

pengonversi angiotensin (ACEI atau Angiotensin Converting Enzym Inhibitor) dan

atau penghambat reseptor angiotensin (ARBs) (Anonim, 2003a). Penghambat ACE

menurunkan level protein dalam urin dan memperlambat laju nefropati diabetik.

Banyak studi menunjukan Angiotensin Receptor Blockers (ARBs) memiliki

keuntungan yang sama dengan penghambat ACE. Faktanya, kombinasi keduanya

mungkin yang terbaik (Anonim, 2004b). Selain itu dilakukan pengendalian kadar

gula darah dan pembatasan asupan protein (0,6-0,8 gram per kilogram berat badan

per hari) (Anonim, 2003a).

Pencegahan yang paling baik untuk nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan

tipe 2 adalah mempertahankan tekanan darah tetap normal. Pada pasien DM tipe 1

dan tipe 2 normotensif yang memiliki mikroalbuminuria (30-300 mg/hari), uji klinik

menunjukkan bahwa terapi dengan ACE inhibitor menurunkan laju perkembangan

mikroalbuminuria menuju insufisiensi ginjal. Selain itu, mempertahankan glukosa

darah mendekati normal dengan terapi secara intensif juga dapat menurunkan resiko

(42)

berkembang, transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti yang lebih ditawarkan

(Genuth, 2003). Tindakan pencegahan yaitu dengan mengontrol kadar gula darah

(HbA1c <7%), mengontrol tekanan darah (tekanan darah <120/70 mmHg),

menghindari zat-zat yang potensial memperparah kerusakan ginjal seperti

antiinflamasi nonsteroid dan aminoglikosida (Soman, 2006).

1). Obat-obat untuk mengontrol tekanan darah dan untuk albuminuria

a). Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor bekerja dengan cara

menghambat kerja ACE sehingga perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II

dapat diblok. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat dan juga

menstimulasi sekresi aldosteron. Degradasi bradikinin juga diblok oleh ACEI.

Selain itu ACEI menstimulasi sintesis vasodilator lainnya seperti prostaglandin

E2 dan prostasiklin (Saseen dan Carter, 2005).

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor dapat menyebabkan

penurunan tekanan darah yang cepat terutama pada pasien dengan gagal ginjal

atau pasien yang mendapat terapi diuretik. ACEI harus diberikan dalam dosis

awal yang rendah dan bila mungkin terapi diuretik dihentikan selama beberapa

hari sebelum terapi dengan ACEI dimulai (Anonim, 2000).

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor ditoleransi dengan baik oleh

sebagian besar pasien tetapi bukan berarti tidak memiliki efek samping. ACEI

menurunkan aldosteron dan dapat menaikkan konsentrasi kalium dalam serum

(Saseen dan Carter, 2005). Efek samping ACEI antara lain hipotensi, pusing,

(43)

otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan. Captopril, enalapril,

lisinopril, perindropil, dan ramipril termasuk dalam ACEI (Anonim, 2000).

b). Angiotensin Receptor Blokers (ARBs)

Angiotensin Receptor Blokers bekerja dengan memblok secara langsung

reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang memperantarai efek angiotensin II pada

manusia seperti vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, pelepasan hormon

antidiuretik, dan konstriksi arteriola eferen glomerulus. ARBs tidak memblok

reseptor angiotensin tipe 2 (AT2). Oleh karena itu, efek menguntungkan dari

stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan

pertumbuhan sel) tidak terganggu ketika ARBs digunakan (Saseen dan Carter,

2005).

Losartan, valsartan, kandesartan, dan irbesartan termasuk ARBs yang

spesifik, sifatnya mirip dengan ACEI. Berbeda dengan ACEI, obat-obat golongan

ini tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainnya, sehingga

tampaknya tidak menimbulkan batuk kering persisten yang biasanya

mengganggu terapi dengan ACEI. Karena itu, obat-obat golongan ini merupakan

alternatif yang berguna untuk pasien yang harus menghentikan ACEI akibat

batuk yang persisten. Efek samping ARBs biasanya ringan. Hipotensi simtomatik

dapat terjadi, terutama pada pasien dengan deplesi cairan (misal yang mendapat

diuretik dosis tinggi). Hiperkalemia kadang-kadang terjadi; angiodema juga dapat

terjadi (Anonim, 2000).

2). Obat-obat untuk mengontrol kadar gula darah

Beberapa antidiabetik yang biasa digunakan untuk mengontrol kadar gula

(44)

a). Sulfonilurea

Sulfonilurea merupakan terapi farmakologi garis pertama untuk pasien

DM tipe 2 yang kadar gula darahnya gagal dikendalikan dengan diet dan

olahraga, sampai metformin dan antidiabetik lainnya tersedia di Amerika Serikat

(Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005). Beberapa derivat sulfonilurea telah

dipakai dalam terapi, semua pada dasarnya mempunyai mekanisme kerja yang

sama. Obat ini hanya berbeda dalam hal potensi serta farmakokinetik yang

mendasari perbedaan masa kerja (Handoko dan Suharto, 1995).

Sulfonilurea menstimulasi pelepasan insulin dan sel-sel pankreas.

Sulfonilurea dipercaya menghambat gerbang ion kalium dan menurunkan

potensial membran yang menyebabkan depolarisasi. Kemudian gerbang kalsium

akan terbuka, meningkatkan konsentrasi Ca2+ intraselular. Kenaikan konsentrasi

Ca2+ intraselular akhirnya akan menstimulasi sekresi insulin (Carlisle, Kroon, dan

Koda-Kimble, 2005). Obat ini membebaskan insulin yang dapat dimobilisasi dari

sel beta pankreas dan pada saat yang sama memperbaiki tanggapan terhadap

rangsang glukosa fisiologik. Ini berarti bahwa obat ini hanya berkhasiat jika

produksi insulin tubuh sendiri paling kurang sebagian masih bertahan, atau

dengan kata lain obat ini tidak berkhasiat jika tidak ada produksi insulin

(Mutschler, 1991).

Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil atau

menyusui, dan pasien yang alergi terhadap obat golongan sulfa. Efek samping

utama obat ini adalah kenaikan berat badan dan retensi air (Ana, 2006). Efek

(45)

Penggunaan sulfonilurea menunjukkan penurunan komplikasi

mikrovaskular pada pasien DM tipe 2 dalam UK Prospective Diabetes Study

Group (UKPDS) (Triplitt dkk, 2005).

b). Metformin (Biguanida)

Turunan biguanida telah digunakan sebagai antidiabetika oral. Dari

senyawa ini hanya metformin yang masih tersedia. Senyawa-senyawa lain dari

golongan ini harus ditarik dari perdagangan karena cukup sering menimbulkan

laktasidosis dengan sebagian menyebabkan kematian setelah pemberian

sediaan-sediaan ini, khususnya pada penderita insufisiensi ginjal. Metformin pun masih

boleh ditulis hanya dengan tindakan yang sangat hati-hati (Mutschler, 1991).

Metformin bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan

glukosa di jaringan. Jadi, obat ini hanya efektif bila terdapat insulin endogen.

Karena kerjanya yang berbeda dengan sulfonilurea, keduanya tidak dapat

dipertukarkan. Biguanida dapat digunakan sendiri atau bersama dengan golongan

sulfonilurea (Anonim, 2000). Metformin menurunkan gula darah plasma puasa

dan kadar insulin, memperbaiki profil lipid, dan tidak menaikan berat badan

(Powers, 2001).

Secara umum metformin dapat ditoleransi oleh pasien DM. Namun,

pada beberapa individu mengalami efek samping di gastrointestinal seperti diare,

anoreksia, dan mual. Efek samping ini dapat diminimalkan dengan menaikkan

dosis perlahan-lahan (Powers, 2001).

Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita dengan penyakit

hati berat, penyakit ginjal dengan uremia, dan penyakit jantung kongestif. Pada

keadaan gawat sebaiknya juga tidak diberikan biguanida (Handoko dan Suharto,

(46)

c). Penghambat α-Glukosidase

Penghambat α-Glukosidase menurunkan hiperglikemia setelah makan

dengan menunda absorpsi glukosa. Golongan ini tidak tergantung penggunaan

glukosa atau sekresi insulin (Powers, 2001). Penghambat α-Glukosidase bekerja

dengan menghambat glukosidase di mukosa usus halus. Enzim glukosidase

bertanggungjawab dalam pemecahan polisakarida dan disakarida menjadi

glukosa yang dapat diabsorbsi dan monosakarida lainnya. Hasil yang didapat dari

penghambatan enzim glukosidase adalah penundaan absorbsi glukosa sehingga

konsentrasi gula darah setelah makan dapat diturunkan (Carlisle, Kroon, dan

Koda-Kimble, 2005).

Efek samping penggunaan penghambat α-glukosidase yang paling sering

dilaporkan adalah produksi gas dalam perut, diare, dan nyeri abdominal. Efek

samping ini terjadi karena fermentasi dari karbohidrat yang tidak diabsorbsi

dalam usus halus (Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005).

d). Tiazolidindion

Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh

terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator

activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan

resistensi insulin. Senyawa-senyawa tiazolidindion juga menurunkan kecepatan

glikoneogenesis (Anonim, 2005b).

Pioglitazone mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan

meningkatkan jumlah protein transporter glukosa sehingga meningkatkan

(47)

Rosiglitazone bekerja dengan cara yang sama dengan pioglitazone. Obat ini

diekskresi melalui urin dan feses (Anonim, 2005b).

Tiazolidindion dikontraindikasikan untuk penderita DM tipe 1 karena

insulin dibutuhkan untuk kerja obat ini. Obat ini tidak boleh diberikan pada

pasien gagal jantung karena dapat memperberat edema (Carlisle, Kroon, dan

Koda-Kimble, 2005).

e). Meglitinida dan turunan fenilalanin

Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat

hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan

sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja

meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya

senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini

dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya

(Anonim, 2005b).

Repaglinida merupakan turunan asam benzoat dan mempunyai efek

hipoglikemik ringan sampai sedang. Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah

pemberian per oral dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping yang

mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna (Anonim, 2005b).

Nateglinida merupakan turunan fenilalanin dan memiliki cara kerja yang

mirip dengan repaglinida. Obat ini diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral

dan diekskresi terutama melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada

penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas (Anonim, 2005b).

f). Insulin

Insulin tergolong hormon polipeptida yang awalnya diekstraksi dari

(48)

rekombinan DNA menggunakan E. coli (Anonim, 2000). Insulin merupakan

hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi baik

metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Insulin

menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan,

menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan

glikogen dalam hati dan juga dalam otot dan mencegah penguraian glikogen,

menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa (Mutschler, 1991).

Ada beberapa bentuk insulin yang tersedia atau tengah dalam penelitian

yang ditunjukan pada tabel IV berikut.

Tabel IV. Sediaan Insulin dan Waktu Aksinya (Powers, 2001).

Waktu Aksi

No. Sediaan Insulin Onset (jam) 1. Short-acting

Lispro 2. Intermediate-acting

NPH 3. Long-acting

Ultralente Keterangan : * Glargine memiliki aktifitas puncak minimal.

Kebutuhan insulin pada penderita diabetes pada umumnya berkisar

antara 5-150 unit sehari tergantung dari keadaan penderita (Handoko dan

Suharto, 1995). Pada setiap pengobatan insulin terdapat bahaya hipoglikemik

akibat kelebihan dosis. Seorang penderita diabetes yang berpengalaman, yang

(49)

berlebihan, dapat mengimbangi kelebihan dosis insulin dengan mengkonsumsi

makanan yang kaya akan karbohidrat. Pada kasus yang parah dilakukan

pengobatan dengan pemberian glukosa secara parenteral (Mutschler, 1991).

Efek samping dari insulin adalah reaksi alergi. Reaksi ini dapat terjadi

secara sistemik atau lokal. Reaksi lokal terjadi 10 kali lebih sering daripada

reaksi sistemik terutama pada penggunaan yang kurang murni. Reaksi lokal

berupa eritem dan indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam beberapa menit

atau jam dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi ini biasanya terjadi

beberapa minggu sesudah pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau

infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik, penggunaan antiseptik

yang menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan

hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi kulit,

angioudem, gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare), dan gangguan

pernafasan (sesak nafas, asma) (Handoko dan Suharto, 1995).

3. Rekomendasi ADA

Rekomendasi perawatan nefropati diabetes menurut ADA :

a. Level A

1) Dalam terapi albuminuria atau nefropati ACEI dan ARBs dapat digunakan :

pada pasien DM tipe 1 dengan mikroalbuminuria, ACEI merupakan pilihan

pertama. Pada pasien DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria, ARBs merupakan

pilihan pertama.

2) Pada pasien DM tipe 2, hipertensi, makroalbuminuria, dan insufisiensi renal,

(50)

b. Level B

1) Pembatasan protein menjadi ≤0,8 g kg-1 perhari (~10% kalori harian) pada

pasien nefropati. Pembatasan lebih lanjut mungkin berguna dalam

memperlambat laju penurunan GFR pada pasien tertentu.

2) Kombinasi ACEI dan ARBs akan lebih banyak menurunkan albuminuria

daripada hanya menggunakan satu golongan obat saja.

c. Konsensus Ahli

1) Jika ACEI dan ARBs digunakan kadar kalium dalam serum dimonitor untuk

mencegah terjadinya hiperkalemia

(Molitch, 2004).

D. Farmasi Klinik

Farmasi klinik didefinisikan sebagai segala aktivitas yang dilakukan oleh

seorang farmasis dalam usahanya untuk mencapai terapi obat rasional yang aman,

tepat, dan cost effective. Kunci utamanya adalah pemantauan terapi obat yang

bertujuan untuk mengoptimalkan terapi dan meminimalkan efek obat yang tidak

diinginkan (Seto, Nita, dan Triana, 2004).

Praktek farmasi klinik yang didasarkan pada paradigma Asuhan

Kefarmasian tersebut tidak hanya dapat dipraktekkan di rumah sakit tetapi dapat juga

diterapkan pada area praktek kefarmasian lainnya, seperti di apotek, klinik, dan lain

sebagainya. Pada umumnya, praktek farmasi klinik lebih diterapkan di rumah sakit di

mana terdapat hubungan dan interaksi yang dekat antara farmasis, dokter, perawat,

dan tenaga kesehatan lainnya. Tetapi perlu diperhatikan juga bahwa sebagian obat

digunakan di luar rumah sakit, baik itu berupa obat yang dibeli di apotek dengan

(51)

Praktek farmasi klinik yang dilakukan oleh farmasis rumah sakit dapat

berbeda dengan yang dilakukan oleh farmasis komunitas tetapi perlu diingat bahwa

tujuannya selalu sama. Tujuan praktek farmasi klinik yaitu menyelesaikan problem

yang berkaitan dengan obat (Drug Related Problem atau DRP), serta menjamin

penggunaan obat yang aman dan tepat bagi tiap penderita (Seto dkk, 2004).

Fungsi utama dari seorang farmasis klinik adalah pengumpulan data

penderita, identifikasi problem, menyusun outcome yang diinginkan, mengevaluasi

pilihan terapi, individualisasi terapi obat, dan pemantauan outcome (Seto dkk, 2004).

E. Drug Related Problem (DRP)

Permasalahan dalam farmasi klinis terutama muncul karena pemakaian obat.

Drug Related Problem (DRP) atau sering diistilahkan dengan Drug Therapy

Problem (DTP) adalah kejadian atau efek tidak diharapkan yang dialami pasien

dalam proses terapi dengan obat dan secara aktual atau potensial bersamaan dengan

outcome yang diharapkan (Cipolle, Strand, dan Morley, 1998). Menurut Seto dkk

(2004) DRP adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan terapi obat

penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. Drug Related Problem terdiri

dari aktual DRP dan potensial DRP. Aktual DRP adalah problem yang sedang terjadi

berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada penderita. Sedangkan

potensial DRP adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan

terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita (Seto dkk, 2004).

Penelitian terhadap masalah-masalah dalam terapi merupakan kajian yang

menarik sekaligus menantang. Masalah-masalah dalam kajian DRP dirumuskan

dalam Pharmaceutical Care Practice oleh Cipolle dkk (h 82;1998).

Masalah-masalah dalam kajian DRP dapat ditunjukkan oleh kemungkinan penyebab DRP

Gambar

tabel I.
Tabel I. Kategori Diagnosis Penyakit DM (Triplitt dkk, 2005)a
Tabel II. Kategori Kadar Albumin dalam Urin (Anonim, 2002b).
Tabel IV. Sediaan Insulin dan Waktu Aksinya (Powers, 2001).
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Based on the findings of the grammatical accuracy, cohesion and coherence analysis, there are some errors that participants present in some categories of grammar

68/MPP/Kep/2/2003 Penjualan local produk tissue yang dilakukan antar pulau tidak termasuk dalam kelompok produk yang wajib PKAPT. Tidak

Tim Koordinasi Raskin Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari penanggung jawab, pengarah, ketua, sekretaris, beberapa koordinator bidang antara lain bidang perencanaan,

Segala syukur dan puji hanya untuk Allah Rabb semesta raya yang dengan nikmat kesempatan dan kehendak-Nya penulisan skripsi dengan judul Analisis Pengaruh Pendapatan Asli

Laba akuntansi didasarkan pada transaksi aktual yang dilakukan oleh perusahaan (terutama pendapatan yang timbul dari penjualan barang atau jasa dikurangi biaya yang diperlukan

Sejalan dengan hal di atas, Arikunto (1993) menyatakan bahwa “tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa, sehingga

Dalam desain kontrol pergerakan dan keseimbangan UAV helikopter ini dibutuhkan beberapa sensor sebagai umpan balik data yang akan diolah. Metode kontrol yang digunakan adalah