ix
INTISARI
Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai dengan hiperglikemia. Diabetes Melitus dapat mengakibatkan komplikasi kronis yaitu pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis. Pasien dengan komplikasi nefropati diabetik meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya prevalensi penyakit DM. Terapi pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik meliputi kontrol tekanan darah, pengendalian kadar gula darah, dan pembatasan asupan protein.
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengobatan pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan evaluasi pengobatan dilakukan berdasarkan Drug Related Problem (DRP).
Hasil penelitian ini adalah kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak berjenis kelamin laki-laki, paling banyak berusia 45-64 tahun (80,0%), diagnosis terbanyak DM dengan nefropati (76,7%), dan paling banyak kerusakan ginjal tingkat 4 dan 5 (40,0%) . Sebanyak 15 kelas terapi diberikan dan kelas terapi terbanyak vitamin dan mineral (96,7%) diikuti obat sistem kardiovaskuler (93,3%). Analisis DRP didapatkan 10 kasus dari 30 kasus mengalami DRP, 8 kasus aktual DRP butuh obat, 7 kasus aktual DRP tidak perlu obat, 1 kasus aktual DRP ADR, dan 2 kasus potensial DRP ADR. Hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak pulang dalam keadaan membaik (67,7%) dan paling banyak dirawat selama 1-7 hari (56,7%).
x
ABSTRACT
Diabetes Mellitus (DM) is a group of metabolic disorders of fat, carbohydrate, and protein metabolism that characterized by hyperglycaemia. Diabetes Mellitus can cause chronic complication at eye, kidney, vein and nerve accompanied lesion at basalis membrane. Patients DM with diabetic nephropathy complication mount every year in a row with the height of DM prevalence. Therapy for patients DM with diabetic nephropathy complication including blood pressure control, control of blood sugar rate, and protein restriction.
This research is done to evaluate medication DM patient with diabetic nephropathy complication in Impatience Ward of Bethesda Yogyakarta Hospital period of year 2005. This research is including non experimental research with descriptive evaluative device and intake of data done by retrospective. Data analysis done descriptively and medication evaluation done based on Drug Related Problem (DRP).
This research results are DM with diabetic nephropathy complication cases most have men genders (56,7%), most have ages 45-64 year old (80,0%), the most diagnosed is DM with nephropathy (76,7%) and most have group 4 and 5 for renal impairment (40,0%). Counted 15 therapy classes given and the most therapy class is mineral and vitamins (96,7%) followed by cardiovascular system drug (93,3%). Analysis of DRP got 10 cases experience DRP, 8 cases actual DRP need for additional drug therapy, 7 cases actual DRP unnecessary drug therapy, 1 case actual DRP ADR, and 2 cases potential DRP ADR.
EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
M. Rianasari Dwi Swastika
NIM : 038114003
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
M. Rianasari Dwi Swastika
NIM : 038114003
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005
Yang diajukan oleh:
M. Rianasari Dwi Swastika
NIM : 038114003
telah disetujui oleh
Pembimbing
iii
Pengesahan Skripsi
Berjudul
EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005
Oleh :
M. Rianasari Dwi Swastika NIM : 038114003
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma pada tanggal :
14 Mei 2007
Mengetahui
Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma
Dekan
Rita Suhadi, M.Si., Apt.
Pembimbing :
dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. ...
Panitia Penguji :
1. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. ...
2. Rita Suhadi, M.Si., Apt. ...
iv
There can
be miracles when you
Believe
……….
though hope is frail, it’s hard to kill
Who knows
what
Miracles
you can
Achieve
……….
when
you
believe, somehow
you
will
you
W
ILL when you BELIEVE
……….
(When You Believe¸ OST The Prince of Egypt)
Untuk segala sesuatu ada waktunya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya.
(Pengkotbah 3 : 1, 11)
Kupersembahkan karya ini untuk :
yang tercinta
Bapak
dan
Ibu
,
mas
Ari
,David
,dan
Ave
,mas
Nugroho
,
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Mei 2007 Penulis
vi
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
perlindunganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005” ini.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi.
Skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada uluran tangan dari pihak-pihak yang
dengan kesediaan dan kelegaan hati membantu penulis dari awal sampai akhir proses
penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Direktur Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk melakukan penelitian di Unit Rekam Medis.
3. Bapak Siswuryanto selaku Kepala Unit Rekam Medis RS Bethesda Yogyakarta
yang telah membantu peneliti selama pengambilan data.
4. Bapak Darsono dan segenap staf Unit Rekam Medis RS Bethesda Yogyakarta
yang telah membantu peneliti dalam mencari data.
5. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes., selaku dosen pembimbing. Terimakasih atas
bimbingan, kesabaran dan masukan-masukannya selama penelitian dan
vii
6. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih atas
masukan, saran, dan kritik yang menyempurnakan skripsi ini.
7. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih atas
masukan, saran, dan kritik yang menyempurnakan skripsi ini.
8. Bapak Yoseph dan Ibu Marcia, atas doa, cinta, bimbingan, harapan dan kasih
sayang yang selalu tercurah kepada penulis. Tanpa dukungan bapak-ibu kuliahku
tak akan lancar.
9. Mas Ari, David, Ave, terimakasih untuk keceriaan yang telah dihadirkan dalam
hidup penulis. Tawa kalian membuatku selalu semangat.
10.Mas Yusuf Nugroho Sukarno, untuk semuanya. Terimakasih untuk masukan,
semangat, dukungan, dan bantuannya walau kadang hanya lewat doa. Penulis
tidak akan bisa melewati ini semua tanpa bantuan mas.
11.Teman-teman angkatan 10 VL untuk semua ceritanya dan kenangannya.
12.Teman-teman angkatan 2003, khususnya kelas A, kelompok praktikum A,
senang bisa mengenal dan bekerja sama dengan kalian.
13.Anak-anak kost Banana Home, Eta, Prita, Mekar, Deta, Vita, Dian, Mbak Cicil,
Tika, Ratih, Mbak Purba, terima kasih karena kehadiran kalian membuat hidupku
sedikit lebih berkembang.
14.Nugraheni Angger dan Antonia Ari, atas kebersamaannya di Unit Rekam Medis
RS Bethesda Yogyakarta.
15.Semua pihak yang telah membantu dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu, terimakasih banyak.
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu pula
viii
sedalam-dalamnya apabila ada kesalahan baik dalam tulisan yang terdapat dalam
skripsi ini maupun tingkah laku dan perkataan penulis.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca.
Selain itu besar harapan penulis, semoga karya ini dapat mengisi pembangunan
bangsa ini.
ix
INTISARI
Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai dengan hiperglikemia. Diabetes Melitus dapat mengakibatkan komplikasi kronis yaitu pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis. Pasien dengan komplikasi nefropati diabetik meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya prevalensi penyakit DM. Terapi pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik meliputi kontrol tekanan darah, pengendalian kadar gula darah, dan pembatasan asupan protein.
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengobatan pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan evaluasi pengobatan dilakukan berdasarkan Drug Related Problem (DRP).
Hasil penelitian ini adalah kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak berjenis kelamin laki-laki, paling banyak berusia 45-64 tahun (80,0%), diagnosis terbanyak DM dengan nefropati (76,7%), dan paling banyak kerusakan ginjal tingkat 4 dan 5 (40,0%) . Sebanyak 15 kelas terapi diberikan dan kelas terapi terbanyak vitamin dan mineral (96,7%) diikuti obat sistem kardiovaskuler (93,3%). Analisis DRP didapatkan 10 kasus dari 30 kasus mengalami DRP, 8 kasus aktual DRP butuh obat, 7 kasus aktual DRP tidak perlu obat, 1 kasus aktual DRP ADR, dan 2 kasus potensial DRP ADR. Hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak pulang dalam keadaan membaik (67,7%) dan paling banyak dirawat selama 1-7 hari (56,7%).
x
ABSTRACT
Diabetes Mellitus (DM) is a group of metabolic disorders of fat, carbohydrate, and protein metabolism that characterized by hyperglycaemia. Diabetes Mellitus can cause chronic complication at eye, kidney, vein and nerve accompanied lesion at basalis membrane. Patients DM with diabetic nephropathy complication mount every year in a row with the height of DM prevalence. Therapy for patients DM with diabetic nephropathy complication including blood pressure control, control of blood sugar rate, and protein restriction.
This research is done to evaluate medication DM patient with diabetic nephropathy complication in Impatience Ward of Bethesda Yogyakarta Hospital period of year 2005. This research is including non experimental research with descriptive evaluative device and intake of data done by retrospective. Data analysis done descriptively and medication evaluation done based on Drug Related Problem (DRP).
This research results are DM with diabetic nephropathy complication cases most have men genders (56,7%), most have ages 45-64 year old (80,0%), the most diagnosed is DM with nephropathy (76,7%) and most have group 4 and 5 for renal impairment (40,0%). Counted 15 therapy classes given and the most therapy class is mineral and vitamins (96,7%) followed by cardiovascular system drug (93,3%). Analysis of DRP got 10 cases experience DRP, 8 cases actual DRP need for additional drug therapy, 7 cases actual DRP unnecessary drug therapy, 1 case actual DRP ADR, and 2 cases potential DRP ADR.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
PRAKATA... vi
INTISARI... ix
ABSTRACT... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan Masalah ... 4
2. Keaslian Penelitian... 4
3. Manfaat Penelitian ... 6
a. Manfaat Teoritis ... 6
b. Manfaat Praktis ... 6
B. Tujuan Penelitian ... 7
1. Tujuan Umum ... 7
xii
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 8
A. Diabetes Melitus ... 8
1. Definisi, Gejala, dan Tanda Diabetes Melitus ... 8
2. Patofisiologi Diabetes Melitus ... 9
3. Klasifikasi Diabetes Melitus ... 9
a. Diabetes Melitus Tipe 1 ... 9
b. Diabetes Melitus Tipe 2 ... 10
c. Diabetes Tipe Lain ... 11
d. Diabetes Melitus Gestational ... 12
4. Diagnosis Diabetes Melitus... 12
B. Komplikasi Nefropati Diabetik ... 13
1. Definisi Nefropati Diabetik... 13
2. Patofisiologi dan Gejala Nefropati Diabetik ... 14
3. Diagnosis... 16
4. Tahap Nefropati Diabetik... 17
C. Terapi Nefropati Diabetik ... 18
1. Tujuan Terapi ... 18
2. Strategi Terapi... 19
a. Terapi nonfarmakologi... 19
b. Terapi farmakologi ... 20
3. Rekomendasi ADA ... 28
D. Farmasi Klinik... 29
xiii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 33
A. Jenis Rancangan Penelitian ... 33
B. Definisi Operasional ... 33
C. Subjek Penelitian... 34
D. Bahan Penelitian... 35
E. Lokasi Penelitian... 35
F. Tata Cara Penelitian ... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
A. Gambaran Profil Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik .... 39
1. Gambaran Berdasarkan Jenis Kelamin ... 40
2. Gambaran Berdasarkan Usia... 40
3. Gambaran Berdasarkan Diagnosis ... 42
4. Gambaran Berdasarkan Tingkat Kerusakan Ginjal... 42
B. Gambaran Umum Pola Pengobatan pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik ... 43
C. Analisis Drug Related Problem (DRP)... 66
D. Hasil Pengobatan Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik ... 76
E. Rangkuman Pembahasan ... 78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 83
LAMPIRAN... 86
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Kategori Diagnosis Penyakit DM ... 13
Tabel II. Kategori Kadar Albumin dalam Urin... 16
Tabel III. Kerusakan Ginjal Berdasarkan Clcr... 17
Tabel IV. Sediaan Insulin dan Waktu Aksinya ... 27
Tabel V. Drug Related Problem dan Kemungkinan Penyebabnya ... 31
Tabel VI. Distribusi Macam-Macam Komplikasi Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS. Bethesda Tahun 2005 ... 39
Tabel VII. Distribusi Diagnosis pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005... 42
Tabel VIII. Distribusi Kelas Terapi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005... 44
Tabel IX. Golongan Obat Antidiabetik pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 45
Tabel X. Golongan dan Jenis Obat Antidiabetik pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 47
Tabel XI. Golongan dan Jenis Vitamin dan Mineral pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 50
Tabel XII. Golongan dan Jenis Obat Sistem Kardiovaskuler pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 53
xv
Tabel XIV. Golongan dan Jenis Obat Antianemia pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 56
Tabel XV. Golongan dan Jenis Obat Saluran Cerna pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 59
Tabel XVI. Golongan dan Jenis Obat Antiinfeksi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 60
Tabel XVII. Golongan dan Jenis Obat Nutrisi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 61
Tabel XVIII. Golongan dan Jenis Obat Saluran Urinaria pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 62
Tabel XIX. Golongan dan Jenis Obat Otot Skelet dan Sendi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005.. 62
Tabel XX. Golongan dan Jenis Obat Analgesik pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 63
Tabel XXI. Golongan dan Jenis Obat Sistem Pernafasan pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005.. 64
Tabel XXII. Golongan dan Jenis Obat Mata pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 64
Tabel XXIII. Golongan dan Jenis Obat Hormon pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 65
Tabel XXIV. Golongan dan Jenis Obat Lain-Lain pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 65
xvi
Tabel XXVI. Analisis DRP Kasus 2 ... 68
Tabel XXVII. Analisis DRP Kasus 3 ... 69
Tabel XXVIII.Analisis DRP Kasus 5 ... 70
Tabel XXIX. Analisis DRP Kasus 7 ... 71
Tabel XXX. Analisis DRP Kasus 15 ... 72
Tabel XXXI. Analisis DRP Kasus 16 ... 73
Tabel XXXII. Analisis DRP Kasus 17 ... 74
Tabel XXXIII.Analisis DRP Kasus 20 ... 75
Tabel XXXIV.Aktual DRP Efek Obat yang Tidak Diinginkan... 79
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Grafik Distribusi Jenis Kelamin pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 40
Gambar 2. Grafik Distribusi Usia pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun
2005... 41
Gambar 3. Distribusi Tingkat Kerusakan Ginjal pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005... 43
Gambar 4. Grafik Keadaan Keluar pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 76
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Rekam Medis Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Tahun 2005 ... 86
Lampiran 2. Daftar Nama Obat ... 100
Lampiran 3. Data Laboratorium dan Non Laboratorium... 106
Lampiran 4. Distribusi 10 Besar Penyakit, Komplikasi Penyakit Diabetes Melitus, dan Jumlah Pasien DM dari Tahun 2002 sampai September 2006... 126
Lampiran 5. Daftar Nilai Clearance Creatinin (Clcr) pada Kasus DM
1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Penyakit diabetes melitus (DM), yang dikenal masyarakat sebagai penyakit
gula atau kencing manis terjadi pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar
gula (glukosa) dalam darah akibat kekurangan insulin atau reseptor insulin tidak
berfungsi baik. Diabetes Melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolisme
yang dikarakteristikan dengan hiperglikemia, disertai dengan abnormalitas
karbohidrat, lemak, dan protein, serta dapat mengakibatkan komplikasi kronis
termasuk mikrovaskular dan makrovaskular (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005).
Diabetes Melitus dibagi menjadi dua kelompok besar. Diabetes yang timbul akibat
kekurangan insulin disebut DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM). Diabetes oleh karena insulin tidak berfungsi dengan baik disebut DM tipe 2
atau Non- Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) prevalensi diabetes di seluruh
dunia mencapai sekitar 2,8% pada tahun 2000 dan diperkirakan akan meningkat
menjadi 4,4% pada tahun 2030. Total penderita diabetes meningkat dari 171 juta
jiwa pada 2000 menjadi 366 juta jiwa pada 2030. Kini jumlah penderita DM di
seluruh dunia diperkirakan mencapai 200 juta orang dan dari angka tersebut
diperkirakan sekitar 150 juta orang merupakan penderita DM tipe 2 (Anonim,
Indonesia, dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa, yang menderita DM
sekitar 10 juta jiwa. Hal tersebut membuat Indonesia menempati urutan keempat
negara dengan penderita DM terbanyak setelah India, Cina, dan Amerika Serikat.
Peningkatan jumlah penderita DM tersebut terjadi akibat pertumbuhan populasi,
penuaan, urbanisasi, peningkatan prevalensi obesitas, berkurangnya aktivitas fisik,
dan perubahan gaya hidup akibat dari perbaikan kemakmuran (Anonim, 2005c).
Komplikasi diabetes sangat luas, hingga mencakup hampir semua organ
tubuh. Salah satu komplikasi tersebut adalah nefropati diabetik. Nefropati diabetik
adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah (Anonim,
2003a). Kebocoran selaput penyaring darah tersebut dapat menyebabkan lolosnya
protein albumin ke dalam urin. Adanya albumin dalam urin (albuminuria) merupakan
indikasi terjadinya nefropati diabetik (albuminuria persisten pada kisaran
30-299 mg/24 jam/mikroalbuminuria) (Anonim, 2005a).
Apabila kadar albumin sudah diketahui meningkat sejak dini maka dapat
segera dilakukan terapi. Pengobatan sejak dini bisa menunda bahkan menghentikan
laju penyakit. Pengobatan meliputi kontrol tekanan darah. Tindakan ini dianggap
paling penting untuk melindungi fungsi ginjal. Selain itu dilakukan pengendalian
kadar gula darah dan pembatasan asupan protein (Anonim, 2003a).
Rumah sakit merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan di mana pasien
DM dan juga pasien DM yang telah diketahui memiliki albumin dalam urinnya
(indikasi dari terjadinya nefropati diabetik) bisa mendapatkan pengobatan yang tepat
untuk mencegah perkembangan penyakit tersebut ke arah yang semakin buruk.
Dalam pelayanannya seringkali kurang memperhitungkan bahaya atau resiko yang
Peran farmasis di rumah sakit sangat diperlukan untuk menghindarkan dan
meminimalkan bahaya atau resiko yang mungkin saja dapat muncul pada tindakan
medis dan pengobatan yang diberikan kepada pasien. Hal ini sesuai dengan adanya
paradigma Asuhan Kefarmasian, yaitu farmasis bertanggung jawab untuk
memastikan penderita memperoleh terapi obat yang aman, tepat, dan biaya terapi
yang efektif, serta memastikan terapi yang diberikan adalah yang diinginkan oleh
penderita. Di samping itu, Asuhan Kefarmasian juga merupakan tanggung jawab
farmasis dalam pemberian terapi obat yang bertujuan untuk mencapai hasil yang
dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. Kunci utamanya adalah pemantauan
terapi obat yang bertujuan untuk mengoptimalkan terapi dan meminimalkan efek
obat yang tidak diinginkan. Hal ini dapat dilakukan dengan sasaran utama
mengidentifikasi problem aktual dan potensial yang berkaitan dengan obat (actual
and potential DRP), penyelesaian problem aktual yang berkaitan dengan obat (actual
DRP), pencegahan problem potensial yang berkaitan dengan obat (potential DRP)
pada penatalaksanaan suatu penyakit (Seto, 2004).
Melihat bahaya kelanjutan dan bertambahnya penderita penyakit DM
beserta komplikasinya terutama nefropati diabetik maka perlu diadakan penelitian
ini. Penulis melakukan penelitian ini guna mengevaluasi pengobatan dan
kemungkinan terjadinya DRP pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda (RS Bethesda). Pengobatan yang
sesuai dapat menghambat laju perkembangan penyakit dan menghindarkan dari
komplikasi lain yang mungkin terjadi. Selain itu pengobatan yang sesuai juga
1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan
beberapa permasalahan mengenai evaluasi pengobatan pada kasus DM dengan
komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta periode tahun 2005 seperti di bawah ini.
a. Seperti apakah gambaran profil kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik
di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005 yang
meliputi jumlah kasus komplikasi nefropati, jenis kelamin, usia, diagnosis, dan
tingkat kerusakan ginjal?
b. Seperti apakah pola pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati
diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005
yang meliputi golongan dan jenis obat?
c. Apakah jenis DRP yang timbul dalam pengobatan pada kasus DM dengan
komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda periode tahun
2005 yang meliputi : butuh obat (need for additional drug therapy), tidak perlu
obat (unnecessary drug therapy), obat tidak tepat (wrong drug), dosis terlalu
rendah (dosage too low), dosis terlalu tinggi (dosage too high), Adverse Drug
Reaction (ADR), serta ketidaktaatan pasien (uncomplience)?
d. Seperti apakah hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati
diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda periode tahun 2005 yang meliputi
lama tinggal pasien, izin kepulangan pasien, dan keadaan pasien saat keluar dari
rumah sakit?
2. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dan berhubungan dengan DM
Bethesda Yogyakarta (Periode Januari-Desember 1998)” oleh Nadeak (1995).
Penelitian ini berisi tentang pola penggunaan antidiabetika oral (ADO) yang meliputi
jenis ADO yang diberikan, cara pemberiannya, golongan ADO dan dosis pemakaian
ADO.
Suryawanti (1999) menulis “Pola Peresepan Obat Hipoglikemik Oral
(OHO) dan Studi Literatur Interaksi Obat pada Pasien DM di RS Bethesda
Yogyakarta periode Januari-Maret 2002”. Penelitian ini berisi tentang pola peresepan
obat hipoglikemi dan interaksi obat yang potensial terjadi.
De Paullin (2000) meneliti pola peresepan pada penderita gagal ginjal
kronis, yang tertulis dalam penelitian “Kajian Pola Peresepan pada Pasien Gagal
Ginjal Kronis Ditinjau dari Dosis, Interaksi, Efek Samping, dan Kontraindikasi
Obat”.
Retnari (2002) menulis “Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Komplikasi
Nefropati pada Kasus DM di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta
Periode 2005”. Penelitian ini berisi tentang evaluasi terhadap penatalaksanaan terapi
pada pasien DM dengan komplikasi nefropati.
Perbedaan antara penelitian ini dan penelitian terdahulu yaitu pada
penelitian terdahulu hanya melihat pola pengobatannya saja sedangkan pada
penelitian ini juga dilakukan evaluasi pengobatannya yaitu dengan menggunakan
DRP. Sama seperti penelitian ini yang akan mengevaluasi (salah satunya) tentang
interaksi obat, interaksi obat yang potensial terjadi juga pernah diteliti. Perbedaannya
adalah pada penelitian ini tidak hanya melihat antidiabetika oral saja melainkan
seluruh obat yang digunakan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di
subyeknya yaitu pasien DM sedangkan penelitian ini kasus DM dengan komplikasi
nefropati diabetik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
Retnari (2002) adalah tempat dilakukannya penelitian. Pada penelitian Retnari
(2002) penelitian dilakukan di RS Panti Rapih Yogyakarta sedangkan penelitian ini
dilakukan di RS Bethesda Yogyakarta. Dengan demikian penelitian mengenai
Evaluasi Pengobatan pada Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Nefropati
Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Periode Tahun 2005 belum pernah
dilakukan.
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut ini.
a. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan wacana
dalam evaluasi pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik
dan juga dalam mengembangkan konsep pelayanan farmasi klinik di Instalasi
Rawat Inap RS Bethesda.
b. Manfaat Praktis
1). Bagi RS Bethesda Yogyakarta hasil penelitian ini dapat memberikan
gambaran tentang pola peresepan yang dilakukan dalam pengobatan pada
kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS
Bethesda Yogyakarta.
2). Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan pada
kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik.
3). Dengan dilakukannya penelitian ini akan mendukung pelaksanaan konsep
B. Tujuan Penelitian 1. Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengobatan
yang diberikan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi
Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta selama tahun 2005.
2. Khusus
Tujuan khusus dari penelitian mengenai evaluasi pengobatan pada kasus
DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda
Yogyakarta periode tahun 2005 ini adalah :
a. mengetahui gambaran profil kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di
Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005 yang meliputi
jumlah kasus komplikasi nefropati, jenis kelamin, usia, diagnosis, dan tingkat
kerusakan ginjal
b. mengetahui pola pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati
diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005
yang meliputi golongan dan jenis obat
c. menggambarkan Drug Related Problem (DRP) yang timbul dalam pengobatan
pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS
Bethesda periode tahun 2005
d. mengetahui hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati
8
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus 1. Definisi, Gejala, dan Tanda Diabetes Melitus
Secara umum diabetes melitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang
timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono,
2002). Diabetes Melitus merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein yang ditandai dengan hiperglikemia serta dapat mengakibatkan komplikasi
kronis termasuk mikrovaskular dan makrovaskular (Triplitt dkk, 2005). Penyakit DM
merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan upaya penanganan yang tepat dan
serius. Jika tidak ditangani, penyakit tersebut akan membawa ke berbagai komplikasi
penyakit serius lainnya, seperti penyakit jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal
ginjal, dan kerusakan syaraf (Octa, 2003).
Gejala klasik dari penyakit DM adalah rasa haus yang berlebihan, sering
buang air kecil, terutama pada malam hari, penurunan berat badan. Selain itu terdapat
pula keluhan lain seperti rasa lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, merasa
cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan menjadi kabur, gairah seks menurun, luka yang
sukar sembuh (Suyono, 2002).
Diabetes melitus sendiri ditandai dengan hiperglikemia, perubahan
metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein serta meningkatnya resiko komplikasi
2. Patofisiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus ialah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi insulin
relatif maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam
sel terhambat serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50%
glukosa yang dimakan diubah menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen,
dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada DM semua proses tersebut
terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga energi utama diperoleh
dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia relatif tidak
berbahaya, kecuali bila kadar gula dalam darah tinggi sekali hingga darah menjadi
hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Glukosuria yang timbul lebih berbahaya
dibandingkan dengan hiperglikemia. Hal ini dikarenakan glukosa bersifat diuretik
osmotik, dengan adanya glukosa dalam urin maka diuresis akan sangat meningkat
disertai hilangnya berbagai elektrolit. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada penderita diabetes yang tidak diobati. Karena
adanya dehidrasi maka badan berusaha mengatasinya dengan banyak minum
(polidipsia). Badan kehilangan 4 kalori untuk setiap gram glukosa yang diekskresi.
Polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di hipotalamus oleh
kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu (Handoko dan Suharto, 1995).
3. Klasifikasi Diabetes Melitus
a. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 lebih dulu dikenal dengan sebutan Diabetes Melitus Tergantung
Insulin (DMTI) atau IDDM. Diabetes ini terjadi ketika sistem imun tubuh
berguna sebagai pengatur glukosa darah. Untuk mengatasi penyakit ini, penderita
membutuhkan insulin dari luar yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui
suntikan atau pompa. Terhitung 5% sampai 10% dari keseluruhan kasus diabetes
termasuk dalam diabetes tipe 1. Sampai saat ini belum diketahui cara mencegah
diabetes tipe ini (Anonim, 2003b)
Diabetes Melitus tipe ini merupakan hasil dari kerusakan autoimun sel β
pankreas. Tanda kerusakan imun sel β ditampakkan 90% pada waktu diagnosis,
termasuk antibodi sel islet, antibodi asam glutamat dekarboksilase, dan antibodi
untuk insulin. Diabetes Melitus tipe ini biasanya terjadi pada anak-anak dan anak
muda, tetapi bisa juga terjadi pada berbagai usia (Triplitt dkk, 2005).
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes tipe 2 lebih dulu disebut Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin
(DMTTI) atau NIDDM. Sekitar 90% sampai 95% dari seluruh penderita DM
termasuk dalam diabetes tipe ini. Biasanya, tipe ini dimulai dengan resistensi
insulin, suatu gangguan ketika sel tidak dapat menggunakan insulin sebagaimana
mestinya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan insulin, pankreas akan
kehilangan kemampuannya dalam menghasilkan insulin secara bertahap.
Diabetes tipe ini berhubungan dengan usia tua, obesitas, riwayat DM dalam
keluarga, riwayat DM Gestasional, kerusakan metabolisme glukosa, dan ras atau
etnik (Anonim, 2003b).
Diabetes Melitus tipe ini dikarakteristikan dengan resistensi insulin dan
sedikitnya sekresi insulin. Kebanyakan individu dengan DM tipe 2 menunjukkan
dislipidemia (level trigliserida yang tinggi dan level HDL-kolesterol yang
rendah) dan kenaikan level inhibitor plasminogen activator 1 (PA1) sering
muncul atau tampak pada penderita DM tipe ini (Triplitt dkk, 2005).
c. Diabetes tipe lain
1). Kerusakan genetik fungsi sel pankreas
Kromosom 20q, HNF-4α (dulu Maturity Onset Diabetes of The Youth /
MODY1); kromosom 7p, glukokinase (dulu MODY2); kromosom 12q,
HNF-1 (dulu MODY3); kromosom HNF-13q, faktor promoter insulin (dulu MODY4);
kromosom 17q, HNF-1 (dulu MODY5); Kromosom 2q (dulu MODY6);
mitokondria DNA.
MODY dikarakteristikan sebagai terganggunya sekresi insulin dengan
resistensi insulin yang kecil atau tidak resisten sama sekali. Ketidakmampuan
secara genetik untuk mengubah proinsulin menjadi insulin mengakibatkan
hiperglikemia ringan pada usia dini dan hal tersebut akan diwariskan pada
pola autosomal yang dominan (Triplitt dkk, 2005).
2). Kerusakan genetik dalam aksi atau kerja insulin
Resistensi insulin tipe 1, leprechaunism, sindrom Rabson-Mendenhall.
3). Penyakit pada eksokrin pankreas
Pankreatitis, pancreatectomy, neoplasia, cystic fibrosis, hemokromatosis.
4). Endokrinopati
Acromegaly, sindrom Cushing, glukagonoma, pheochromocytoma,
hipertiroidism, somatostatinoma, aldosteronoma.
5). Infeksi
6). Sindrom genetik lainnya yang kadang-kadang menyertai diabetes
Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram,
Friedreich’s ataxia, Huntington’s chorea, sindrom Laurence-Moon-Bieldel,
distropi miotonik (Triplitt dkk, 2005).
d. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes Melitus Gestasional (DMG) merupakan intoleransi glukosa yang
pertama kali diketahui selama kehamilan. Komplikasi DMG terjadi sekitar 7%
dari semua kehamilan. Deteksi klinis penting agar terapi dapat dilakukan
sehingga cacat dan kematian perinatal dapat diturunkan (Triplitt dkk, 2005).
Selama kehamilan, diabetes gestasional memerlukan terapi untuk menormalkan
kadar gula darah ibu untuk mencegah komplikasi pada janin. Setelah melahirkan,
5% sampai 10% wanita dengan DMG mengalami diabetes tipe 2 (Anonim,
2003b).
4. Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis dari penyakit ini dapat menggunakan 3 kriteria yaitu :
a. kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl
b. tes toleransi kadar gula dalam darah setelah 2 jam ingesti glukosa secara oral ≥
200 mg/dl atau
c. kadar glukosa dalam plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan gejala-gejala diabetes
(Triplitt dkk, 2005).
World Health Organization (WHO) dan American Diabetes Association
(ADA) menetapkan kategori diagnosis penyakit DM seperti yang tercantum pada
Tabel I. Kategori Diagnosis Penyakit DM (Triplitt dkk, 2005)
Kategori Gula Darah Puasa
a
(mg/dL)
Gula Darah 2h ppgb (mg/dL)
Gula Darah Sewaktu (mg/dL)
Normal <100 <140 -
Impaired Fasting Glucose (IFG) atau Prediabetes
100-125 140-199 -
Diabetes Melitus ≥126 ≥200 ≥200 Keterangan :
a
Puasa didefinisikan tidak ada masukan makanan sedikitnya dalam waktu 8 jam terakhir
b
2h ppg=2 hour postload glucose (pengukuran gula darah setelah 2 jam pemberian glukosa) dengan Oral Glucose Tolerance Test (OGTT).
B. Komplikasi Nefropati Diabetik 1. Definisi Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput
penyaring darah. Sebagaimana diketahui, ginjal terdiri dari jutaan unit penyaring
(glomerulus). Setiap unit penyaring memiliki membran atau selaput penyaring.
Kadar gula darah tinggi secara perlahan akan merusak selaput penyaring ini. Gula
yang tinggi dalam darah akan bereaksi dengan protein sehingga mengubah struktur
dan fungsi sel, termasuk membran basal glomerulus. Akibatnya, penghalang protein
rusak dan terjadi kebocoran protein ke urin (albuminuria). Hal ini berpengaruh buruk
pada ginjal (Anonim, 2003a).
Nefropati diabetik adalah suatu komplikasi penyakit DM yang tidak
terkendali dengan baik (Astuti, 2000). Soman (2006) menuliskan nefropati diabetik
adalah sindrom klinis dengan karakteristik albuminuria (>300 mg/hari) yang
ditetapkan sedikitnya pada 2 kali pemeriksaan dengan selang waktu 3 sampai 6
bulan, penurunan tajam Glomerular Filtration Rate (GFR), dan peningkatan tekanan
kematian paling tinggi (Genuth, 2003). Sekitar 30% pasien DM tipe 1 dan kira-kira
20% pada pasien DM tipe 2 mengalami nefropati diabetik. Akan tetapi, kebanyakan
pasien DM dengan end-stage renal disease (ESRD) merupakan pasien DM tipe 2
karena prevalensi penyakit DM tipe 2 lebih besar daripada penyakit DM tipe 1 di
dunia (90% dari seluruh pasien DM) (O’Meara, Brady, dan Brenner, 2001).
2. Patofisiologi dan Gejala Nefropati Diabetik
Diabetik nefropati timbul utamanya karena kerusakan fungsi glomerulus.
Perubahan histologi glomerulus pada DM tipe 1 dan tipe 2 tidak dapat dibedakan dan
terjadi pada mayoritas pasien (McPhee, Lingappa, Ganong, danLange, 1995).
Secara histologi, menebalnya membran dasar kapiler merupakan perubahan
paling awal. Kemudian terjadi akumulasi materi mesangial yang berdifusi sepanjang
glomerulus. Ekskresi sedikit albumin dalam level abnormal (30-300 mg/hari) dalam
urin merupakan penanda fase awal nefropati. Seiring dengan meningkatnya materi
mesangial yang mengisi glomerulus, albuminuria meningkat dan kadang-kadang
terjadi proteinuria dalam jumlah besar (Genuth, 2003). Proteinuria terjadi selama 5
sampai 10 tahun sebelum gejala lain muncul dan akan mencapai tahap ESRD dalam
kurun waktu 2 sampai 6 tahun setelah terjadi proteinuria (Anonim, 2004a). Setelah
proteinuria (ekskresi protein total lebih dari 0,5 gram/hari) meningkat atau
berkembang, kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) akan menurun hampir mencapai
level ESRD. Insiden puncak nefropati kira-kira 15-17 tahun dan sedikit menurun
setelahnya. Jika hasil pemeriksaan tidak segera menunjukkan proteinuria dalam
kurun waktu 25-30 tahun durasi diabetes, resiko ESRD akan menurun. Bersamaan
terjadi. Hipertensi ini akan memperburuk nefropati diabetik dan merupakan
komponen penting dalam perkembangan gagal ginjal (Genuth, 2003).
Di saat pembuluh darah halus ginjal mengalami kerusakan akibat keracunan
gula, akan terjadi kebocoran protein dari dalam darah ke dalam urin. Dengan
kehilangan protein cukup banyak (melampaui 3500 mg sehari) maka kadar protein
dalam darah menjadi rendah. Cairan dalam pembuluh darah tidak dapat
dipertahankan dan akan merembes ke jaringan. Penimbunan cairan di dalam jaringan
akan mengakibatkan terjadinya pembengkakan di wajah, tangan, perut, dan tungkai
bawah (Astuti, 2000).
Gangguan ginjal menyebabkan fungsi ekskresi, filtrasi dan hormonal ginjal
terganggu. Akibat terganggunya pengeluaran zat-zat racun lewat urin, zat racun
tertimbun di tubuh. Tubuh membengkak dan timbul resiko kematian (Anonim,
2003a).
Tidak ada gejala awal dalam tahap mula nefropati diabetik. Sejumlah kecil
protein di dalam urin (mikroalbuminuria) merupakan tanda pertama kerusakan ginjal.
Seiring dengan perkembangan kerusakan ginjal, jumlah protein yang masuk ke
dalam urin semakin banyak (makroalbuminuria) dan tekanan darah meningkat.
Kadar kolesterol dan trigliserid akan meningkat juga. Sebagai penurunan fungsi
ginjal, tubuh akan membengkak dan terjadi pertama kali pada kaki dan betis
(Anonim, 2004b). Gejala nefropati diabetik baru terasa saat kerusakan ginjal telah
parah berupa bengkak pada kaki dan wajah, mual, muntah, lesu, sakit kepala, gatal,
sering cegukan, mengalami penurunan berat badan (Anonim, 2003a). Gejala
jumlah besar atau dikarenakan gagal ginjal. Gejala tersebut berupa pembengkakan
(biasanya di sekitar mata pada pagi hari dan kemudian tubuh akan membengkak
juga), urin yang berbuih, berat badan bertambah dengan tidak sengaja (karena
akumulasi cairan), pembengkakan pada kaki, nafsu makan yang berkurang, mual dan
muntah, merasa sakit, capai atau lelah, sakit kepala, sering cegukan (Anonim,
2004a).
3. Diagnosis
Pasien DM dinyatakan mengalami tahap awal nefropati diabetik jika pada 2
dari 3 kali pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan ditemukan albumin di dalam urin 24
jam ≥ 30 mg, dengan catatan tidak ditemukan penyebab albuminuria lain.
Tabel II. Kategori Kadar Albumin dalam Urin (Anonim, 2002b).
Kategori Urin 24 jam (mg/24 jam)
Urin dalam waktu tertentu (mg/menit)
Urin sewaktu (mg/mg kreatinin)
Normal < 30 <20 <30
Mikroalbuminuria 30-299 20-199 30-299
Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300
Mikroalbuminuria berarti ditemukan sejumlah kecil protein albumin di
dalam urin sesuai dengan kategori di atas. Mikroalbuminuria merupakan indikasi
adanya gangguan glomerulus pada stadium dini, dimana gangguan dapat diperbaiki
atau diobati sementara. Bila telah terjadi gagal ginjal maka pengobatan sulit
dilakukan (Anonim, 2002b).
Mikroalbuminuria dapat dilihat dengan 3 metode, yaitu :
a. pengukuran rasio albumin-kreatinin pada pengumpulan urin acak
b. pengumpulan urin 24 jam dengan kreatinin
c. pengumpulan urin selama waktu tertentu, misalnya 4 jam atau urin semalam
4. Tahap Nefropati Diabetik
Perkembangan nefropati diabetik dapat digambarkan dengan prediksi 5
tahap berikut :
a. Tahap 1, kerusakan ginjal diindikasikan dengan GFR di atas normal.
b. Tahap 2, GFR tetap meningkat atau telah kembali ke angka normal tetapi
kerusakan glomerulus telah berkembang menjadi mikroalbuminuria. Pasien pada
tahap 2 mengekskresi lebih dari 30 mg albumin dalam urinnya.
c. Tahap 3 (overt nephropathy), kerusakan glomerulus telah berkembang menjadi
albuminuria klinik dimana di dalam urin terdapat lebih dari 300 mg albumin.
d. Tahap 4, kerusakan glomerulus berlanjut dengan peningkatan jumlah albumin
dalam urin. Kemampuan menyaring dari ginjal mulai menurun, dan blood urea
nitrogen (BUN) dan creatinin (Cr) mulai meningkat.
e. Tahap 5 (end stage renal disease, ESRD), GFR turun kira-kira 10 mL/menit.
Pada tahap ini diperlukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis, peritoneal
dialisis, transplantasi ginjal (Anonim, 2002a).
Gambaran pasien dengan berbagai tingkat kerusakan ginjal berdasarkan
clearance creatinin (Clcr) dapat dilihat pada tabel III.
Tabel III. Kerusakan Ginjal Berdasarkan Clcr (Shargel, Wu-Pong, dan Yu, 2005).
Tingkat Gambaran Perkiraan Clcr (mL/menit)
1 Fungsi ginjal normal >80
2 Kerusakan ginjal ringan 50-80
3 Kerusakan ginjal sedang 30-50
4 Kerusakan ginjal berat 10-30
5 ESRD <10
C. Terapi Nefropati Diabetik 1. Tujuan Terapi
Tujuan terapi adalah untuk memperlambat laju kerusakan ginjal dan
mengontrol komplikasi terkait (Anonim, 2004a). Di samping itu, untuk mencegah
berkembangnya mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria, menghambat
turunnya fungsi ginjal pada pasien makroalbuminuria (Gross dkk, 2005). Terapi
untuk DM tipe 1 dan tipe 2 mengarah pada normoglikemia, mengurangi atau
menghambat laju komplikasi (retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan neuropati
diabetik). Semakin awal terapi dimulai akan semakin besar manfaatnya (Genuth,
2003).
Tujuan untuk perlindungan ginjal dan jantung pada terapi DM dengan
komplikasi nefropati mencakup :
a. kadar albumin
Tujuan terapi pada pasien dengan mikroalbuminuria adalah menurunkan kadar
albumin menjadi normoalbuminuria sedangkan tujuan terapi pasien yang
mengalami makroalbuminuria adalah menurunkan kadar protein sekecil
mungkin.
b. glomerular filtration rate (GFR)
GFR pasien dengan mikroalbuminuria harus dijaga agar tetap stabil sedangkan
pasien dengan keadaan makroalbuminuria penurunan GFR harus dijaga
<2ml/menit pertahun.
c. tekanan darah
Pada pasien DM secara umum tekanan darah dijaga tetap stabil dengan target
130/80 mmHg atau 125/75 mmHg pada pasien dengan proteinuria <1,0g/24 jam
d. kadar glycated hemoglobin (Hb A1c)
Uji klinis menunjukkan menjaga kadar Hb A1c <7% akan membantu mencegah
perkembangan mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria karena kadar Hb
A1c <7% berhubungan dengan penurunan resiko manifestasi nefropati secara
struktural dan klinis.
e. kadar LDL
Pada pasien DM umum kadar LDL kolesterol dijaga <100 mg/dl dan <70 mg/dl
untuk pasien dengan CVD
(Gross dkk, 2005).
Terapi pengganti ginjal berupa dialisis akan dilakukan bila Clcr mengalami
penurunan <30mL/menit/1,73m2. kriteria untuk memulai dialisis adalah status klinis
pasien yang berupa anorexia, mual, dan muntah, yang utamanya bila disertai dengan
penurunan berat badan, fatigue, dan penurunan albumin dalam serum, hipertensi
yang tidak terkontrol dan congestive heart failure (Elwell dan Foote, 2005).
2. Strategi Terapi
a. Terapi nonfarmakologi
1). Diet
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua orang yang menderita DM.
Tujuan utamanya adalah mencapai keluaran metabolik yang optimal dan
sebagai pencegahan dan terapi untuk komplikasi (Triplitt dkk, 2005).
Mengganti daging merah dengan daging ayam dalam diet akan menurunkan
ekskresi albumin dalam urin sebesar 46% dan menurunkan kolesterol total,
kolesterol LDL, dan apoliprotein B pada pasien DM tipe 2 dengan
2). Olahraga
Olahraga aerobik dapat memperbaiki resistensi insulin dan mengontrol kadar
gula darah pada kebanyakan individu, menurunkan faktor resiko
kardiovaskular, berperan dalam menurunkan atau menjaga berat badan, dan
meningkatkan kesehatan (Triplitt dkk, 2005).
b. Terapi farmakologi
Pengobatan meliputi kontrol tekanan darah. Tindakan ini dianggap paling
penting untuk melindungi fungsi ginjal. Biasanya menggunakan penghambat enzim
pengonversi angiotensin (ACEI atau Angiotensin Converting Enzym Inhibitor) dan
atau penghambat reseptor angiotensin (ARBs) (Anonim, 2003a). Penghambat ACE
menurunkan level protein dalam urin dan memperlambat laju nefropati diabetik.
Banyak studi menunjukan Angiotensin Receptor Blockers (ARBs) memiliki
keuntungan yang sama dengan penghambat ACE. Faktanya, kombinasi keduanya
mungkin yang terbaik (Anonim, 2004b). Selain itu dilakukan pengendalian kadar
gula darah dan pembatasan asupan protein (0,6-0,8 gram per kilogram berat badan
per hari) (Anonim, 2003a).
Pencegahan yang paling baik untuk nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan
tipe 2 adalah mempertahankan tekanan darah tetap normal. Pada pasien DM tipe 1
dan tipe 2 normotensif yang memiliki mikroalbuminuria (30-300 mg/hari), uji klinik
menunjukkan bahwa terapi dengan ACE inhibitor menurunkan laju perkembangan
mikroalbuminuria menuju insufisiensi ginjal. Selain itu, mempertahankan glukosa
darah mendekati normal dengan terapi secara intensif juga dapat menurunkan resiko
berkembang, transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti yang lebih ditawarkan
(Genuth, 2003). Tindakan pencegahan yaitu dengan mengontrol kadar gula darah
(HbA1c <7%), mengontrol tekanan darah (tekanan darah <120/70 mmHg),
menghindari zat-zat yang potensial memperparah kerusakan ginjal seperti
antiinflamasi nonsteroid dan aminoglikosida (Soman, 2006).
1). Obat-obat untuk mengontrol tekanan darah dan untuk albuminuria
a). Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor bekerja dengan cara
menghambat kerja ACE sehingga perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II
dapat diblok. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat dan juga
menstimulasi sekresi aldosteron. Degradasi bradikinin juga diblok oleh ACEI.
Selain itu ACEI menstimulasi sintesis vasodilator lainnya seperti prostaglandin
E2 dan prostasiklin (Saseen dan Carter, 2005).
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah yang cepat terutama pada pasien dengan gagal ginjal
atau pasien yang mendapat terapi diuretik. ACEI harus diberikan dalam dosis
awal yang rendah dan bila mungkin terapi diuretik dihentikan selama beberapa
hari sebelum terapi dengan ACEI dimulai (Anonim, 2000).
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor ditoleransi dengan baik oleh
sebagian besar pasien tetapi bukan berarti tidak memiliki efek samping. ACEI
menurunkan aldosteron dan dapat menaikkan konsentrasi kalium dalam serum
(Saseen dan Carter, 2005). Efek samping ACEI antara lain hipotensi, pusing,
otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan. Captopril, enalapril,
lisinopril, perindropil, dan ramipril termasuk dalam ACEI (Anonim, 2000).
b). Angiotensin Receptor Blokers (ARBs)
Angiotensin Receptor Blokers bekerja dengan memblok secara langsung
reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang memperantarai efek angiotensin II pada
manusia seperti vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, pelepasan hormon
antidiuretik, dan konstriksi arteriola eferen glomerulus. ARBs tidak memblok
reseptor angiotensin tipe 2 (AT2). Oleh karena itu, efek menguntungkan dari
stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan
pertumbuhan sel) tidak terganggu ketika ARBs digunakan (Saseen dan Carter,
2005).
Losartan, valsartan, kandesartan, dan irbesartan termasuk ARBs yang
spesifik, sifatnya mirip dengan ACEI. Berbeda dengan ACEI, obat-obat golongan
ini tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainnya, sehingga
tampaknya tidak menimbulkan batuk kering persisten yang biasanya
mengganggu terapi dengan ACEI. Karena itu, obat-obat golongan ini merupakan
alternatif yang berguna untuk pasien yang harus menghentikan ACEI akibat
batuk yang persisten. Efek samping ARBs biasanya ringan. Hipotensi simtomatik
dapat terjadi, terutama pada pasien dengan deplesi cairan (misal yang mendapat
diuretik dosis tinggi). Hiperkalemia kadang-kadang terjadi; angiodema juga dapat
terjadi (Anonim, 2000).
2). Obat-obat untuk mengontrol kadar gula darah
Beberapa antidiabetik yang biasa digunakan untuk mengontrol kadar gula
a). Sulfonilurea
Sulfonilurea merupakan terapi farmakologi garis pertama untuk pasien
DM tipe 2 yang kadar gula darahnya gagal dikendalikan dengan diet dan
olahraga, sampai metformin dan antidiabetik lainnya tersedia di Amerika Serikat
(Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005). Beberapa derivat sulfonilurea telah
dipakai dalam terapi, semua pada dasarnya mempunyai mekanisme kerja yang
sama. Obat ini hanya berbeda dalam hal potensi serta farmakokinetik yang
mendasari perbedaan masa kerja (Handoko dan Suharto, 1995).
Sulfonilurea menstimulasi pelepasan insulin dan sel-sel pankreas.
Sulfonilurea dipercaya menghambat gerbang ion kalium dan menurunkan
potensial membran yang menyebabkan depolarisasi. Kemudian gerbang kalsium
akan terbuka, meningkatkan konsentrasi Ca2+ intraselular. Kenaikan konsentrasi
Ca2+ intraselular akhirnya akan menstimulasi sekresi insulin (Carlisle, Kroon, dan
Koda-Kimble, 2005). Obat ini membebaskan insulin yang dapat dimobilisasi dari
sel beta pankreas dan pada saat yang sama memperbaiki tanggapan terhadap
rangsang glukosa fisiologik. Ini berarti bahwa obat ini hanya berkhasiat jika
produksi insulin tubuh sendiri paling kurang sebagian masih bertahan, atau
dengan kata lain obat ini tidak berkhasiat jika tidak ada produksi insulin
(Mutschler, 1991).
Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil atau
menyusui, dan pasien yang alergi terhadap obat golongan sulfa. Efek samping
utama obat ini adalah kenaikan berat badan dan retensi air (Ana, 2006). Efek
Penggunaan sulfonilurea menunjukkan penurunan komplikasi
mikrovaskular pada pasien DM tipe 2 dalam UK Prospective Diabetes Study
Group (UKPDS) (Triplitt dkk, 2005).
b). Metformin (Biguanida)
Turunan biguanida telah digunakan sebagai antidiabetika oral. Dari
senyawa ini hanya metformin yang masih tersedia. Senyawa-senyawa lain dari
golongan ini harus ditarik dari perdagangan karena cukup sering menimbulkan
laktasidosis dengan sebagian menyebabkan kematian setelah pemberian
sediaan-sediaan ini, khususnya pada penderita insufisiensi ginjal. Metformin pun masih
boleh ditulis hanya dengan tindakan yang sangat hati-hati (Mutschler, 1991).
Metformin bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan
glukosa di jaringan. Jadi, obat ini hanya efektif bila terdapat insulin endogen.
Karena kerjanya yang berbeda dengan sulfonilurea, keduanya tidak dapat
dipertukarkan. Biguanida dapat digunakan sendiri atau bersama dengan golongan
sulfonilurea (Anonim, 2000). Metformin menurunkan gula darah plasma puasa
dan kadar insulin, memperbaiki profil lipid, dan tidak menaikan berat badan
(Powers, 2001).
Secara umum metformin dapat ditoleransi oleh pasien DM. Namun,
pada beberapa individu mengalami efek samping di gastrointestinal seperti diare,
anoreksia, dan mual. Efek samping ini dapat diminimalkan dengan menaikkan
dosis perlahan-lahan (Powers, 2001).
Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita dengan penyakit
hati berat, penyakit ginjal dengan uremia, dan penyakit jantung kongestif. Pada
keadaan gawat sebaiknya juga tidak diberikan biguanida (Handoko dan Suharto,
c). Penghambat α-Glukosidase
Penghambat α-Glukosidase menurunkan hiperglikemia setelah makan
dengan menunda absorpsi glukosa. Golongan ini tidak tergantung penggunaan
glukosa atau sekresi insulin (Powers, 2001). Penghambat α-Glukosidase bekerja
dengan menghambat glukosidase di mukosa usus halus. Enzim glukosidase
bertanggungjawab dalam pemecahan polisakarida dan disakarida menjadi
glukosa yang dapat diabsorbsi dan monosakarida lainnya. Hasil yang didapat dari
penghambatan enzim glukosidase adalah penundaan absorbsi glukosa sehingga
konsentrasi gula darah setelah makan dapat diturunkan (Carlisle, Kroon, dan
Koda-Kimble, 2005).
Efek samping penggunaan penghambat α-glukosidase yang paling sering
dilaporkan adalah produksi gas dalam perut, diare, dan nyeri abdominal. Efek
samping ini terjadi karena fermentasi dari karbohidrat yang tidak diabsorbsi
dalam usus halus (Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005).
d). Tiazolidindion
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh
terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator
activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan
resistensi insulin. Senyawa-senyawa tiazolidindion juga menurunkan kecepatan
glikoneogenesis (Anonim, 2005b).
Pioglitazone mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein transporter glukosa sehingga meningkatkan
Rosiglitazone bekerja dengan cara yang sama dengan pioglitazone. Obat ini
diekskresi melalui urin dan feses (Anonim, 2005b).
Tiazolidindion dikontraindikasikan untuk penderita DM tipe 1 karena
insulin dibutuhkan untuk kerja obat ini. Obat ini tidak boleh diberikan pada
pasien gagal jantung karena dapat memperberat edema (Carlisle, Kroon, dan
Koda-Kimble, 2005).
e). Meglitinida dan turunan fenilalanin
Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat
hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan
sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja
meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya
senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini
dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya
(Anonim, 2005b).
Repaglinida merupakan turunan asam benzoat dan mempunyai efek
hipoglikemik ringan sampai sedang. Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian per oral dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna (Anonim, 2005b).
Nateglinida merupakan turunan fenilalanin dan memiliki cara kerja yang
mirip dengan repaglinida. Obat ini diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral
dan diekskresi terutama melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada
penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas (Anonim, 2005b).
f). Insulin
Insulin tergolong hormon polipeptida yang awalnya diekstraksi dari
rekombinan DNA menggunakan E. coli (Anonim, 2000). Insulin merupakan
hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi baik
metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Insulin
menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan,
menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan
glikogen dalam hati dan juga dalam otot dan mencegah penguraian glikogen,
menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa (Mutschler, 1991).
Ada beberapa bentuk insulin yang tersedia atau tengah dalam penelitian
yang ditunjukan pada tabel IV berikut.
Tabel IV. Sediaan Insulin dan Waktu Aksinya (Powers, 2001).
Waktu Aksi
No. Sediaan Insulin Onset (jam) 1. Short-acting
Lispro 2. Intermediate-acting
NPH 3. Long-acting
Ultralente Keterangan : * Glargine memiliki aktifitas puncak minimal.
Kebutuhan insulin pada penderita diabetes pada umumnya berkisar
antara 5-150 unit sehari tergantung dari keadaan penderita (Handoko dan
Suharto, 1995). Pada setiap pengobatan insulin terdapat bahaya hipoglikemik
akibat kelebihan dosis. Seorang penderita diabetes yang berpengalaman, yang
berlebihan, dapat mengimbangi kelebihan dosis insulin dengan mengkonsumsi
makanan yang kaya akan karbohidrat. Pada kasus yang parah dilakukan
pengobatan dengan pemberian glukosa secara parenteral (Mutschler, 1991).
Efek samping dari insulin adalah reaksi alergi. Reaksi ini dapat terjadi
secara sistemik atau lokal. Reaksi lokal terjadi 10 kali lebih sering daripada
reaksi sistemik terutama pada penggunaan yang kurang murni. Reaksi lokal
berupa eritem dan indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam beberapa menit
atau jam dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi ini biasanya terjadi
beberapa minggu sesudah pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau
infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik, penggunaan antiseptik
yang menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan
hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi kulit,
angioudem, gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare), dan gangguan
pernafasan (sesak nafas, asma) (Handoko dan Suharto, 1995).
3. Rekomendasi ADA
Rekomendasi perawatan nefropati diabetes menurut ADA :
a. Level A
1) Dalam terapi albuminuria atau nefropati ACEI dan ARBs dapat digunakan :
pada pasien DM tipe 1 dengan mikroalbuminuria, ACEI merupakan pilihan
pertama. Pada pasien DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria, ARBs merupakan
pilihan pertama.
2) Pada pasien DM tipe 2, hipertensi, makroalbuminuria, dan insufisiensi renal,
b. Level B
1) Pembatasan protein menjadi ≤0,8 g kg-1 perhari (~10% kalori harian) pada
pasien nefropati. Pembatasan lebih lanjut mungkin berguna dalam
memperlambat laju penurunan GFR pada pasien tertentu.
2) Kombinasi ACEI dan ARBs akan lebih banyak menurunkan albuminuria
daripada hanya menggunakan satu golongan obat saja.
c. Konsensus Ahli
1) Jika ACEI dan ARBs digunakan kadar kalium dalam serum dimonitor untuk
mencegah terjadinya hiperkalemia
(Molitch, 2004).
D. Farmasi Klinik
Farmasi klinik didefinisikan sebagai segala aktivitas yang dilakukan oleh
seorang farmasis dalam usahanya untuk mencapai terapi obat rasional yang aman,
tepat, dan cost effective. Kunci utamanya adalah pemantauan terapi obat yang
bertujuan untuk mengoptimalkan terapi dan meminimalkan efek obat yang tidak
diinginkan (Seto, Nita, dan Triana, 2004).
Praktek farmasi klinik yang didasarkan pada paradigma Asuhan
Kefarmasian tersebut tidak hanya dapat dipraktekkan di rumah sakit tetapi dapat juga
diterapkan pada area praktek kefarmasian lainnya, seperti di apotek, klinik, dan lain
sebagainya. Pada umumnya, praktek farmasi klinik lebih diterapkan di rumah sakit di
mana terdapat hubungan dan interaksi yang dekat antara farmasis, dokter, perawat,
dan tenaga kesehatan lainnya. Tetapi perlu diperhatikan juga bahwa sebagian obat
digunakan di luar rumah sakit, baik itu berupa obat yang dibeli di apotek dengan
Praktek farmasi klinik yang dilakukan oleh farmasis rumah sakit dapat
berbeda dengan yang dilakukan oleh farmasis komunitas tetapi perlu diingat bahwa
tujuannya selalu sama. Tujuan praktek farmasi klinik yaitu menyelesaikan problem
yang berkaitan dengan obat (Drug Related Problem atau DRP), serta menjamin
penggunaan obat yang aman dan tepat bagi tiap penderita (Seto dkk, 2004).
Fungsi utama dari seorang farmasis klinik adalah pengumpulan data
penderita, identifikasi problem, menyusun outcome yang diinginkan, mengevaluasi
pilihan terapi, individualisasi terapi obat, dan pemantauan outcome (Seto dkk, 2004).
E. Drug Related Problem (DRP)
Permasalahan dalam farmasi klinis terutama muncul karena pemakaian obat.
Drug Related Problem (DRP) atau sering diistilahkan dengan Drug Therapy
Problem (DTP) adalah kejadian atau efek tidak diharapkan yang dialami pasien
dalam proses terapi dengan obat dan secara aktual atau potensial bersamaan dengan
outcome yang diharapkan (Cipolle, Strand, dan Morley, 1998). Menurut Seto dkk
(2004) DRP adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan terapi obat
penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. Drug Related Problem terdiri
dari aktual DRP dan potensial DRP. Aktual DRP adalah problem yang sedang terjadi
berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada penderita. Sedangkan
potensial DRP adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan
terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita (Seto dkk, 2004).
Penelitian terhadap masalah-masalah dalam terapi merupakan kajian yang
menarik sekaligus menantang. Masalah-masalah dalam kajian DRP dirumuskan
dalam Pharmaceutical Care Practice oleh Cipolle dkk (h 82;1998).
Masalah-masalah dalam kajian DRP dapat ditunjukkan oleh kemungkinan penyebab DRP