• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fulltext Tesis Mahatma Zat Akhdiyat S441302009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fulltext Tesis Mahatma Zat Akhdiyat S441302009"

Copied!
286
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

SERAT DEWA RUCI

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa Jawa

Oleh:

Mahatma Zat Akhdiyat S441302009

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

SERAT DEWA RUCI

TESIS

Oleh:

Mahatma Zat Akhdiyat

S441302009

Komisi Pembimbing Nama Tanda Tangan Tanggal

pembimbing I Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd .………..

...……

NIP. 196204071987031003

Pembimbing II Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum ………

...………….

NIP. 197602062002121004

Telah dinyatakan memenuhi syarat

Pada Tanggal……….2015

Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

Minat Utama Pendidikan Bahasa & Sastra Jawa

FKIP UNS

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.

(3)

commit to user

Sekretaris Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd ...

………2015

Dekan FKIP UNS Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

(4)

commit to user

iv

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196007271987021001 NIP 196204071987031003

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul “Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan (Permendiknas No 17 Tahun 2010).

(5)

commit to user

v - Alon-alon wewaton kelakon.

- Kerja utama dari pendidikan adalah penciptaan habitat belajar yang sehat. - Kebenaran bukan lagi hujan dari langit tapi biji yang tumbuh dari

pemahaman terhadap kenyataan.

- Ibadah bukanlah pengorbanan tapi kerja yang didasari kesadaran pada rumusan-rumusan hidup dengan tujuan penciptaannya.

(6)

commit to user

vi

Teriring doa dan puji syukur Alhamdulillahirabbil alamin penulis persembahkan karya ini kepada:

1. Kedua orang tua yang aku hormati dan banggakan: Ibu Waginah (alm) dan Bapak Sudadyo yang mula-mula mengajari kebaikan dan kebenaran. 2. Istriku terkasih Dhevilia Ardhiana dan anakku Mahestu Julang Redhung

(7)

commit to user

vii

Puji syukur alhamdulillahirabbil alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pemberi rahmat dan hidayah sehingga tesis yang berjudul

“Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci”, dapat disusun dengan baik dan lancar. Penyusunan tesis ini adalah salah satu prasyarat untuk mencapai derajat magister pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini.

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penyusunan

tesis;

(8)

commit to user

viii

Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS dan pembimbing tesis yang telah memberikan persetujuan pengesahan serta memberikan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan lancar;

5. Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum, selaku pembimbing tesis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan tepat waktu;

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Jawa Minat Utama Pendidikan Bahasa Jawa yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada penulis sehingga dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis;

7. Supardjo, M.Hum dan rekan-rekan dari Yayasan Sastra Lestari Surakarta atas bantuannya menyediakan bahan penelitian;

8. Bapak Aris Supriyadi, M.Pd., Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Toroh tempat penulis mengabdikan diri, yang telah memberi ijin dan dukungan sepenuhnya dalam pengambilan pendidikan pasca sarjana yang penulis tempuh;

(9)

commit to user

ix

angkatan tahun 2013 yang telah banyak membantu dan memberikan semangat dalam belajar;

11.Keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis;

12.Seluruh staf administrasi pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan fasilitas untuk kelancaran studi penulis;

Akhirnya, penulis berdoa semoga Allah SWT melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada kita sekalian, dan mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan bahasa dan budaya Jawa. Amin.

Surakarta, Februari 2015 Penulis

(10)

commit to user

x

Mahatma Zat Akhdiyat. S441302009. 2015. “Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci‟‟ TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi,

M.Pd. Pembimbing II: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Cerita wayang dan serat tradisional Jawa mengandung rekaman nilai budaya yang patut digali lebih dalam dan dihubungkan dengan pendidikan namun sayangnya jarang dilakukan. Kajian semiotik dan nilai pendidikan ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan dan menjelaskan arti dan sistem tanda pada tataran heuristik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci, (2) Mendeskripsikan dan menjelaskan makna secara hermeneutik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci, (3) Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam serat Dewa Ruci, (4) Mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi serat Dewa Ruci dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah.

Penelitian dilakukan dari awal bulan Maret 2014 hingga Februari 2015. Pendekatan penelitian ini adalah semiotik khususnya semiotik Riffaterre. Objek penelitian adalah serat Dewa Ruci karya Yasadipura I terbitan Tan Kun Swi Kediri. Data berupa tanda dan sistem tanda, kandungan makna dalam serat, kandungan nilai pendidikan karakter. Uji validitas menggunakan triangulasi data. Teknik analisis data dengan teknik interactive model analisys.

Hasil penelitian menunjukkan penerapan kajian semiotik terhadap serat Dewa Ruci mampu memunculkan kandungan sistem tanda dan makna ditandai dengan didapatnya sistem tanda yang ditemukan dan kandungan makna yang dalam serta nilai pendidikan karakter yang ada. Penelitian ini juga menunjukkan adanya metode belajar laku yang dikandung budaya Jawa yang bisa dikenalkan kepada masyarakat ilmiah sebagai metode khas Jawa. Selain itu juga terdapat pembongkaran nilai hierarkis yang dikandung objek penelitian terhadap sistem religi dimana setiap insan bisa berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara. Proses belajar yang paling mula menurut hasil dan pembahasan penelitian menunjukkan bahwa mengenal diri sendiri adalah salah satu bagian penting dari proses belajar.

(11)

commit to user

xi

Mahatma Zat Akhdiyat. S441302009. 2015. “A Study on Semiotics and Character Education Value in Serat Dewa Ruci” Thesis. First Counselor: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Second Counselor: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. Javanese Language and Letters Education Main Concentration of Indonesian Language Education Study Program, Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University.

Puppet story and Javanese traditional letter (serat) contains cultural value records worthy of deeper exploration and related to education; but unfortunately it has been conducted rarely. This semiotic and education value study aimed (1) to describe and to explain the meaning and system of sign in heuristic level existing in Serat Dewa Ruci, (2) to describe and to explain the hermeneutic meaning existing in Serat Dewa Ruci, (3) to describe and to explain the character education value existing in Serat Dewa Ruci, (4) to describe and to explain the relevance of Serat Dewa Ruci to character education in Javanese language learning at school.

This study was conducted from early March 2014 to February 2015. The

approach used in this research was semiotic one, particularly Rifatterre‟s semiotic

approach. The object of research was serat Dewa Ruci by Yasadipura I published by Tan Kun Swi, Kediri. The data constituted sign and sign system, content of meaning in the serat, and content of character education value. The data validation was conducted using data triangulation. Technique of analyzing data used was an interactive model of analysis.

The result of research showed that the application of semiotic study to Serat Dewa Ruci could generate the content of sign system and meaning characterized by the sign system found and the content of meaning and the character education value existing. This study also showed the laku (in demand) learning method contained in Javanese culture that could be introduced to the scientific community as typical Javanese model. In addition, there was a deconstruction of hierarchical value contained in the research object on the religious system in which everyone could connect to his God without intermediary. The initial learning process, according to the result and discussion of research, showed that self-identification was an important part of learning process.

(12)

commit to user

xii

Mahatma Zat Akhdiyat. S441302009. 2015. “Panaliten Semiotik lan Sari Pendidikan Watak Serat Dewa Ruci‟‟ TESIS. Pangesuh I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Pangesuh II: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Carios wayang ugi serat tradisional Jawi ngandut pepenget sari budaya ingkang pantes dipunudi langkung lebet ugi kajumbuhaken kaliyan piwulang namung emanipun awis-awis dipunlampahi. Panaliten semiotik ugi sarining piwulang menika ancasipun: (1) Anggambaraken ugi jlentrehaken teges ugi sistem tanda ing tataran heuristik ingkang wonten ing salebetipun serat Dewa Ruci, (2) Anggambaraken ugi njlentrehaken makna hermeneutik ingkang wonten ing salebetipun serat Dewa Ruci, (3) Anggambaraken ugi njlentrehaken sarining piwulang watak ingkang wonten salebetipun serat Dewa Ruci, (4) Anggambaraken ugi anjlentrehaken gayutipun serat Dewa Ruci kaliyan piwulang watak wonten ing pasinaon basa Jawi wonten ing sekolah.

Panaliten kalaksanan saking wiwitan wulan Maret tahun 2014 dugi Februari tahun 2015. Panaliten angginakaken teori semiotik khususipun semiotik Riffaterre. Objek panaliten inggih menika serat Dewa Ruci anggitanipun Yasadipura I wedalan Tan Kun Swi Kediri. Data arupi tanda ugi sistem tanda, teges ingkang kamomot salebitipun serat, sarining piwulang watak. Validitas data angginakaken triangulasi data. Teknik analisis data angginakaken teknik interactive model analisys.

Kasilipun panaliten kanthi ngetrapaken semiotik tumrapipun serat Dewa Ruci nedahaken kandutan sistem tanda ugi makna katitik saking kapranggulinipun sistem tanda ugi kandutan makna ingkang wigati ugi sarining piwulang watak ingkang wonten. Panaliten menika ugi manggihi wontenipun metode pasinaon laku ingkang dipunkandhut budaya Jawi ingkang saget dipuntepangaken wonten ing pasrawungan ilmiah minangka metode khas Jawi. Sasanesipun menika ugi kaprangguli ewah-ewahan bab tata hierarkis iangkang kakandhut objek panaliten tumrapipun sistem religi inggih menika saben insan saged nyenyuwun kiyambak dumatheng Gusti Allah. Piwulang ingkang wiwitan miturut asilipun panaliten ugi pangrembak panaliten nedahaken bilih manggihi diri pribadi menika salahsatunggalipun bab ingkang wigatos saking lampah piwulang.

(13)

commit to user

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS ... iv

MOTTO ... v

(14)

commit to user

c. Pendidikan Karakter dalam Budaya Jawa ... 51

C. Kerangka Berpikir ... 55

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 57

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 57

b. Latar Tempat Sebagai Latar Masalah ... 85

1) Hutan Tibraksara ... 85

2) Gunung Candramuka... 86

(15)

commit to user

xv

1) Pancanaka ... 90

2) Toya Suci ... 92

d. Metafor Terhadap Kelemahan Manusia ... 96

1) Gua ... 96

2) Masuk Telinga ... 97

e. Sistem Tanda Penunjuk Proses ... 101

1) “Ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi ... 101

2) Metafora Perjalanan Lurus ... 103

3) Pancamaya dan Empat Warna ... 108

f. Penciptaan Arti Melalui Susunan Pupuh Sebagai Susunan Alur ... 110

1) Pupuh Dandhanggula Berisi 16 bait ... 111

2) Pupuh Pangkur berisi 44 bait ... 112

3. Nilai Pendidikan dalam Serat Dewa Ruci ... 137

a. Karakter Religius ... 137

(16)

commit to user

xvi

1. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ... 154

2. Kelemahan Serat Dewa Ruci ... 158

3. Pendekatan Semiotik terhadap Serat Dewa Ruci ... 159

4. Serat DewaRuci Sebagai Peningkat Karakter Siswa ... 159

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 162

A. Simpulan ... 162

B. Implikasi ... 163

C. Saran ... 168

DAFTAR PUSTAKA ... 170

(17)

commit to user

xvii

Hal

1. Transliterasi serat Dewa Ruci terbitan Tan Kun Swi 173

2. Serat Dewa Ruci terbitan Tan Kun Swi Kediri 187

(18)

commit to user

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah tulisan atau karangan yang unsur estetikanya dominan, yang dinyatakan dengan kata-kata: hasil dari bahasa yang indah. Karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan baru (kreativitas) dan keaslian cipta di samping itu yang bersifat seni (Pradopo, 1997: 36). Karya sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang (fakta individual atau libidinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta sosial) (Sangidu, 2004: 41). Sebagai karya seni, karya sastra bukanlah suatu artefak (benda mati) yang statis yang terus-menerus berlangsung dalam ruang dan waktu tanpa perubahan, melainkan merupakan suatu sistem konvensi yang penuh dinamika (Abdullah dalam Sangidu, 2004: 42). Karya sastra selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan kreasi.

Salah satu bentuk karya sastra dan karya seni yang paling kuno adalah puisi. Tidak hanya bisa digunakan sebagai sarana mengekspresikan namun puisi juga bisa digunakan sebagai sarana terapi. Seorang dokter Romawi Soranus membuat resep untuk pasien depresi yang disebut terapis puisi. Di samping itu,

Dr. Benjamin Rush yang disebut “Bapak Psikiatri Amerika” menggunakan musik

(19)

commit to user

pada perempuan dan remaja yang hasil penelitiannya menunjukkan efektivitas pengaruh baik seni ekspresif terhadap perilaku remaja. Puisi seperti karya sastra lainnya dapat juga membangun sebuah ruang moral dan etika dalam diri masyarakat.

Khasanah budaya Jawa juga mengenal berbagai jenis puisi, lama atau terikat maupun puisi baru atau bebas. Puisi lama antara lain sanepan, wangsalan, dan macapat yang banyak termuat dalam naskah Jawa tradisional beraksara Jawa. Berdasar katalog yang disusun Florida (1996) naskah Jawa bisa dipilah menjadi beberapa jenis ditinjau dari isinya, yaitu: sejarah, adat istiadat, arsitektur, hukum, roman sejarah, ramalan, kesusastraan, piwulang, wayang, cerita wayang, dongeng, puisi, roman Islam, ajaran Islam, sejarah Islam, mistik dan tari, linguistik, mistik kejawen, dan obat-obatan. Serat-serat Jawa umumnya ditulis dalam tembang macapat yang termasuk ke dalam genre puisi terikat karena setiap nama tembang macapat mempunyai aturan-aturan tertentu. Aturan bunyi vokal pada tiap akhir baris yang disebut “dhong-dhing” atau guru lagu. Aturan jumlah baris tiap bait yang disebut guru gatra. Aturan jumlah suku kata tiap baris disebut guru wilangan. setiap genre tembang macapat juga memiliki watak yang berbeda.

Karya sastra Jawa mengandung berbagai bentuk ajaran, petunjuk, dan pendidikan adiluhung yang banyak terdapat dalam kebudayaan Jawa (Endraswara, 2006: 6). Menarik perhatian, kenyataan bahwa sebagai rekaman kekayaan localwisdom, cerita wayang telah menjadi sarana pendidikan pada masa lampau.

(20)

commit to user

wayang pada masa Walisanga juga menjadi sarana pendidikan dan penyebaran nilai-nilai agama Islam.

Sejarah yang panjang tersebut dan keberhasilan cerita wayang beserta pertunjukannya mempengaruhi dan menyehatkan jiwa manusia Jawa, dan berhasil menjadi sebuah budaya populer pada jamannya menjadi sumber referensi nilai bagi hidup sehari-hari, patut untuk diapresiasi. Filsafat Jawa telah diejawantahkan di dalam bentuk wayang, pertunjukan dan sastra wayang. Walaupun isi sastra wayang berasal dari India namun terdapat perbedaan hakiki dalam perwujudannya. Di India isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam mitos, legenda dan sejarah, sedangkan di Indonesia cerita-cerita itu mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin. Pemahaman kias ini tidak semata-mata dilakukan dengan akal-pikiran, melainkan dengan seluruh cipta-rasa-karsa tergantung kepada kedewasaan orang masing-masing (Ciptoprawiro, 1986: 31).

(21)

commit to user

lingkungan pendukung budaya Jawa. Bahkan dalam khasanah sastra Indonesia terlahir beberapa puisi yang terinspirasi dari cerita Dewa Ruci misalnya: Bima karya Subagio Sastrowardoyo, Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo, Telinga karya Sapardi Djoko Damono, dan Dewa Ruci karya Saini K.M. Selain

dikenal dengan judul Dewa Ruci kisah yang sama kadang juga dikenal dengan judul Bima Sonya, atau Bima Suci. Tokoh Bima sering muncul dalam khasanah budaya Jawa, misalnya kisah Bhimaswarga, Bima Bungkus. Ketiganya muncul dalam teks sastra maupun dalam pertunjukan. Ruci berarti ringas atau gampang bernafsu (Widada, 2001: 677). Kisah Dewa Ruci umumnya dikenal memiliki tema tentang pengendalian nafsu yang juga sering muncul dalam teks sastra wayang lainnya maupun dalam ajaran-ajaran Jawa. Selain kisah Dewa Ruci misalnya, di candi Sukuh terdapat ukiran kisah Nawaruci atau Sembilan Nafsu (Munandar, 2004:54). Bertemunya simbol antara Bima dan Nafsu dalam kisah Dewa Ruci menjadi hal yang penting untuk dianalisa dan dipahami maknanya.

(22)

commit to user

dening pangastuti, artinya bahwa sifat pengasih mengalahkan semua bentuk

kejahatan atau musuh yang terdapat di dalam dirinya, 2). Sapa temen bakal tinemu, artinya bahwa segala sesuatu akan berhasil jika dilakukan dengan

sungguh-sungguh. Di samping itu, lakon Dewa Ruci merupakan lakon atau cerita yang banyak berbicara mengenai masalah kebatinan dalam pewayangan (Susetya, 2007: 200). Pemahaman terhadap isi sastra wayang bergantung dari keluasan pandang masing-masing orang karena semua karya sastra utamanya sastra wayang selalu dikemas dengan metafora atau perlambang yang ditampilkan lewat tokoh dan permasalahannya.

Tokoh utama dalam cerita Dewa Ruci adalah Sena atau Bima karena ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 1995: 177). Tokoh Dewa Ruci yang namanya digunakan sebagai judul kitab justru hanya dihadirkan oleh pengarang di bagian akhir dari keseluruhan cerita. Altenbernd dan Lewis menyatakan bahwa tokoh yang dikagumi, dalam hal ini adalah tokoh Sena, merupakan tokoh dengan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Nurgiyantoro, 1995: 178).

(23)

commit to user

Dewa Ruci yang ditulis pada abad ke-15. Cerita Dewa Ruci itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan. Isi cerita Dewa Ruci yang tertua ini tidak begitu panjang, diawali dengan kepergian Bima ke samudra kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Akhir cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa ruci tentang usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup (Purwadi, 2002: 15), tanpa menghadirkan tokoh Drona. Poerbatjaraka menyatakan Serat Dewa Ruci tembang Gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum diketahui penciptanya serta belum jelas keterangan waktu dikarang (1952: 69). Penelitian ini menggunakan serat Dewa Ruci Kidung yang disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta/Solo, Yosodipuro terbitan Tan Gun Swi Kediri, yang telah ditranskripsikan ke dalam aksara latin oleh Yayasan Sastra Lestari di Surakarta. Serat Dewa Ruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sansekerta dan Jawa Kuna.

Menengok lagi khasanah budaya yang dimiliki merupakan hal yang harus dilakukan, seperti diungkapkan oleh Dewantara dengan nada menyesal (dalam

Dewantara, 1977: 51): “Kita telah kehilangan dunia kita, tetapi masuklah dunia

(24)

commit to user

sedih, bahwa banyak hal-hal yang baik dan indah sudah hilang, justru hal-hal yang perlu untuk kelarasan dalam daripada gedong kita, atau setidak-tidaknya mempunyai nilai tinggi sekali. Materiil yang baru yang masuk sering lebih sesuai sebagai “rias” saja daripada bahan bangunan”.

Menengok dan memunculkan kasanah budaya kita sendiri juga selaras dengan orientasi pendidikan pemerintah saat ini. Pemerintah menetapkan Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2010-2025. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyusun Desain Induk Pendidikan Karakter di tahun 2010. Isu dan wacana pendidikan karakter terus bergulir sebagai suatu kepentingan yang mendesak dan strategis bagi kelangsungan masa depan bangsa hingga kemudian lahirlah kurikulum 2013 yang dirancang dengan empat kompetensi lulusan.

(25)

commit to user

anak beriman dan berakhlak mulia.

Pada pembacaan awal Serat Dewa Ruci dengan tokoh utama Sena, bisa dikatakan bahwa Serat Dewa Ruci di dalamnya mengandung model pendidikan seperti yang digambarkan dalam kurikulum 2013. Perjalanan yang dilalui oleh Sena, atau yang disebut sebagai laku, menunjukkan kualitas kompetensi dari empat kompetensi lulusan dalam kurikulum 2013. Hal ini tentu menarik karena ternyata apa yang dirumuskan saat ini, jauh sebelumnya telah dirumuskan oleh para pendahulu kita, meskipun tidak dalam rumusan teori yang rumit, namun merupakan praksis pendidikan yang pada dasarnya disemangati oleh kesadaran yang sama, ialah pentingnya pendidikan karakter.

Laku yang konsepnya dekat dengan kata „mengalami‟ dalam bahasa

(26)

commit to user

menjadi salah satu perhatian dalam penelitian ini karena sifatnya yang khas Jawa sekaligus karena merupakan inti pendidikan karakter yang terkandung dalam serat Dewa Ruci sebagai objek penelitian. Meskipun demikian nilai-nilai karakter yang lain juga akan mendapat perhatian.

(27)

commit to user

(Rohman, 2013: 19).

Pemanfaatan paradigma penelitian semiotik diharapkan penelitian dapat leluasa bergerak dan berpindah dari tataran arti dan makna. Bergerak dari koherensi arti teks dan merelasikannya dengan kebenaran-kebenaran dalam kenyataan kebudayaan Jawa. Kepaduan arti pada tataran heuristik terhadap serat Dewa Ruci tanpa meninggalkan konteks kebenaran di mana serat itu hidup dilakukan dengan tahapan penelitian hermeneutik, untuk selanjutnya diungkapkan nilai pendidikan karakter yang ada di dalam teks serat Dewa Ruci. Untuk menjadikan penelitian dapat diterapkan maka juga dilakukan pengungkapan relevansi Serat Dewa Ruci dengan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah.

(28)

commit to user

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian serat Dewa Ruci adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah arti dan sistem tanda secara heuristik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci?

2. Bagaimanakah makna hermeneutik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci? 3. Bagaimanakah nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam serat Dewa

Ruci?

4. Bagaimanakah relevansi Serat Dewa Ruci dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah?

C. Tujuan Penelitian

Empat tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tentang serat Dewa Ruci ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan arti dan sistem tanda pada tataran heuristik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan makna secara hermeneutik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam serat Dewa Ruci.

4. Mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi serat Dewa Ruci dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah?

(29)

commit to user

praktis dan teoretis, sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoretis bagi perkembangan khasanah ilmu pengetahuan dan pengajaran, khususnya ilmu pengetahuan dan teori pengajaran dalam bahasa Jawa serta dapat menggali nilai-nilai edukatif tentang pendidikan karakter dari budaya tradisional yang diimplementasikan dalam pembelajaran peserta didik sesuai dengan kebutuhan jaman.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis, antara lain seperti berikut.

a. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan siswa memahami sastra wayang dan kualitas karakternya serta dapat menumbuhkan kecintaan kepada budayanya sendiri.

b. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat memberikan acuan pembelajaran sastra wayang sehingga mampu mendorong guru untuk menggali makna sastra wayang yang kaya akan nilai-nilai pendidikan karakter.

c. Bagi pengambil kebijakan, hasil penelitian ini dapat menjadi pendorong untuk memberikan perhatian lebih kepada pembelajaran sastra wayang dalam rangka pendidikan karakter sekaligus pengembangan budaya nasional.

(30)

commit to user

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Serat Dewa Ruci yang mengisahkan Bima berguru kepada Drona untuk menguasai ngelmu kasampurnan merupakan kisah yang menarik dan unik. Dikatakan menarik karena relevansinya dengan kehidupan masyarakat Jawa masih dijumpai sampai sekarang, serta berbagai tanggapan terhadapnya baik dari lingkungan dalang, peneliti, maupun di lingkungan orang Jawa pada umumnya. Tanggapan atas kisah Dewa Ruci di lingkungan sastra Jawa cukup banyak sehingga dijumpai beberapa naskah Dewa Ruci. Penelitian tentang Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(31)

commit to user

Penelitian oleh Zanker (2000: 81-89) yang berjudul “Aristotle‟s and the Painters yang difokuskan pada puisi Aristoteles dan lukisan, ditulis menggunakan contoh lukisan sebagai analogi untuk menggambarkan fakta-fakta tertentu tentang puisi, secara khusus epik, tragedi dan komedi. Kesamaan dengan penelitian penulis adalah adanya pembacaan makna puisi secara visual sedangkan perbedaannya terletak pada objeknya.

Penelitian oleh Simuh (1988) yang berjudul “Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, membahas tentang mistik kejawen yang dihubungkan dengan serat Dewa Ruci. Setelah uraiannya mengenai konsep monisme, penyatuan manusia dengan Tuhan, Simuh mengambil contoh serat Dewa Ruci, yaitu masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci melalui telinga kiri. Kesamaan penelitian yang dilakukan adalah pada objek penelitian yaitu cerita Dewa Ruci, perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan Simuh menekankan pada nilai-nilai sufisme yang terkandung dalam serat Dewa Ruci sedangkan penelitian yang dilakukan terhadap tanda dan nilai pendidikan karakter.

Serat Bimasuci dengan berbagai aspeknya oleh Soetarno (2004) meneliti serat Bimasuci karya Yasadipura I yang ditulis kembali oleh Raden Tanaya dengan

(32)

commit to user

Ruci sedangkan perbedaannya, Soetarno lebih menekankan pemaknaannya kepada relasi makna antara Dewa Ruci dengan Bima sedangkan penelitian yang dilakukan secara semiotik dilakukan secara keseluruhan.

Lakon Dewa Ruci cara menjadi Jawa; Sebuah analisis Strukturalisme

Levi-Strauss dalam Kajian Wayang oleh Wahyudi (2012), menjadikan pola hubungan

Bima-Drona sebagai dasar pemaknaan, dimana disimpulkannya bahwa relasi oposisi berpasangan Bima-Drona merupakan transformasi relasi oposisi berpasangan Vayu-vata dalam kapasitasnya sebagai relasi nafas halus-nafas kasar yang menghasilkan

inti nafas atau prana. Kesamaannya adalah objek penelitian yang sama yaitu serat Dewa Ruci, perbedaannya adalah pada kajian yang digunakan yaitu antara strukturalisme Levy-Strauss yang hanya memaknai berdasar kebenaran kohesif dengan semiotik Riffaterre yang selain berdasar kepada kebenaran kohesif juga berdasar kebenaran koherensif.

“Tinjauan Struktur dan Makna Cerita Bima Bungkus karya Can Cu An” oleh

Hidayat (1990) menunjukkan bahwa tokoh Bima dalam serat Bimapaksa selalu berorientasi kepada kebahagiaan (eudaenomisme) dan berdasarkan nilai-nilai religius.

Cerita Sena Sinaraya dalam pendekatan Struktur dan Makna” oleh Purwadi (1995)

(33)

commit to user

Sasmito (1992) Bima tampil sebagai Begawan Senaroda yang membeberkan ilmu kesempurnaan hidup, ilmu sejati, kawruh begja, dan sangkan paraning dumadi. Dari objek penelitian yang berisi penjelasan konsep moral yang berkaitan dengan budi pekerti, mistik, dan soal kebatinan, peneliti menyimpulkan bahwa Bima selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan supaya dapat mencapai kebahagiaan sejati dan memperhatikan moralitas keagamaan.

Yousof (2010) dalam penelitiannya berjudul Islamic Elements In Traditional Indonesian And Malay Theatre menyimpulkan bahwa cerita Ramayana dan

Mahabharata banyak yang ditafsirkan kembali untuk memberi ruang bagi masuknya ide-ide Islam dan Sufi. Ada beberapa wahyu cerita dalam reportoar dramatis wayang Jawa Klasik. Sejauh yang dianggap paling dikenal dan paling penting adalah Dewa Ruci, juga dikenal sebagai Bhima Suci. Woodward (1989: 193) menyatakan bahwa

(34)

commit to user

Penelitian yang dilakukan oleh Dill dari University of Vvirginia, USA, di dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Durkheim and Dewey and the Challenge of Contemporary Moral Education (2007: 221-237), memaparkan adanya tantangan dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan moral. Didasarkan pada Durkheim dan Dewey dikemukakan bagaimana intelektual atau kepandaian saja tidak cukup untuk dimiliki seorang siswa, akan tetapi lebih dari itu yaitu pembentukan akhlak atau moral sebagai pengontrol sikap dan sifat seorang siswa sehingga selain cerdas berpikir juga cerdas dalam berperilaku ataupun bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulannya sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dilakukan dimana pendidikan karakter sangat penting, sedangkan perbedaannya adalah objek penelitiannya antara proses pembelajaran dengan karya sastra.

Munir and Aftab (2012:2) dalam penelitian berjudul “Contribution of Value

Education towards Human Development in India: Theoretical Concepts”,

(35)

commit to user

dan spiritual. Orientasi nilai pendidikan harus realistis, dapat dicapai dalam harmoni dengan kerangka akademik sekolah. Para penulis menganjurkan bahwa kombinasi bijaksana akademisi, budaya dan pendidikan nilai akan menjadi pendekatan yang ideal untuk pendidikan dan nilai pendidikan perlu diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Hasil penelitian ini menekankan pentingnya pendidikan karakter.

Handaric (2013) dalam jurnal internasional berjudul “Religious Tradition and Human Behaviour menjelaskan perlunya mempelajari hubungan erat antara tradisi agama dan komunitas agama yang melakukannya. Dimulai dengan definisi tradisi Handaric berniat untuk menunjukkan bahwa hubungan antara nilai religius tradisional dengan daya tahan komunitas yang mengamalkannya amat dekat. Hubungan keduanya bersifat positif. serat Dewa Ruci sebagai sebuah karya sastra bisa menjadi bahan pembelajaran nilai yang mengandung nilai-nilai atau ide agama namun secara formal tidak terikat pada salah satu agama tertentu juga berhubungan dengan daya tahan komunitas masyarakat Jawa sebagai pemiliknya.

Widiyono (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Tema. Nilai Estetika, dan Pendidikan dalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana

(36)

commit to user

penelitian yang sama-sama berupa serat Jawa, dan isinya serat yang sama-sama kental berisi tentang pendidikan.

Sulaksono dalam penelitiannya berjudul“ Struktur dan Nilai Pendidikan Cerita Mintaraga Gancaran Karya Prijohoetomo (2012).” Diperoleh kesimpulan bahwa cerita Mintaraga bertema Pengendalian Diri dan kandungan amanat yaitu siapa Bersungguh-sungguh dalam berdoa dan berusaha pasti akan berhasil. Hal ini merupakan tema pendidikan yang umum dalam cerita tradisional Jawa, dan memiliki kemiripan dengan isi dari Serat Dewa Ruci.

Penelitian yang dilakukan oleh Halsey (2008) yang berjudul “The Poetry Foundation Commissioned in the National Opinion Research Center (NORC) at the

University of Chicago”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembaca/penikmat puisi cenderung hidup aktif bergaul dan memimpin dalam komunitasnya. Mereka mendengarkan musik, membaca berbagai genre seni, menggunakan internet, menghadiri acara budaya, menjadi relawan, memiliki banyak jaringan dan bersosialisasi dengan teman dan keluarga pada tingkat yang signifikan lebih tinggi daripada non pembaca puisi.

(37)

commit to user

membaik. Hal ini menguatkan kesimpulan akan pentingnya penelitian terhadap puisi termasuk jenis tembang macapat dan mengenali keluasan fungsinya yang bukan hanya sebagai sarana ekspresi dan kemungkinan memanfaatkannya sebagai sarana terapi/ pengobatan.

B. Landasan Teori

1. Kajian Puisi

Serat Dewa Ruci disampaikan menggunakan tembang macapat yang secara teori termasuk dalam genre puisi Jawa tradisional. Untuk memahami lebih tepat diperlukan pengkajian nilai-nilai puitis di dalamnya. Berdasarkan aktifitas kejiwaannya puisi merupakan ekspresi kreatif yang di dalamnya terkandung aktifitas jiwa yang menangkap kesan-kesan lalu dipadatkan dan dipusatkan (kondensasi). Kata-kata tidaklah keluar dari simpanan ingatan, kata-kata dalam puisi itu lahir dan dilahirkan kembali (dibentuk) pada waktu pengucapannya sendiri (Pradopo, 1987: 12). Ekspresi puitik membutuhkan adanya proses konsentrasi dan intensifikasi (Sayuti, 2002: 72). Dikarenakan pemadatan itulah maka pengarang dalam proses penciptaan karya puisi sangat menimbang pemakaian unsur-unsur penyusunnya yang berbahan dasar utama dari bahasa.

(38)

commit to user

dalam Waluya, 1995: 23). Nilai kepuitisan sebuah karya dapat tercapai dengan menggunakan bentuk visual: tipografi, susunan bait, dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi: dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Untuk mengetahui kepuitisan puisi, terlebih dahulu harus mengetahui unsur-unsur pembentuk puisi (Pradopo, 2007: 13). Semi membagi bentuk puisi menjadi dua yaitu bentuk fisik dan bentuk mental. Bentuk fisik puisi mencakup bentuk nada dan larik yang di dalamnya terdapat irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya,sedangkan bentuk mental terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk tersebut terjalin terkombinasi secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi tersebut memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya ( 1993: 107).

(39)

commit to user

menyatakan hal dan berarti yang lain. ketaklangsungan ucapan ini disebabkan oleh tiga hal: displacing (penggantian arti), distorsing (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).

Penggantian arti terjadi pada pembandingan (metafora-simile), penggantian (metonimi-sinekdoki), dan pemanusiaan (personifikasi). Metafora dan simile merupakan bentuk perbandingan antara dua hal atau wujud yang hakikatnya berlainan. Simile bentuk perbandingannya bersifat eksplisit ditandai oleh unsur konstruksional semacam kata seperti, sebagai, serupa, bagai, dsb. Sebaliknya dalam metafora perbandingannya bersifat implisit, tersembunyi dibalik ungkapan harfiahnya. Metonimi yakni pemanfaatan ciri atau sifat suatu hal yang erat hubungannya dengan hal tersebut. Sebaliknya ungkapan bahasa itu disebut sinekdoki jika penggunaan bagian-bagian dari suatu hal dimaksudkan untuk mewakili keseluruhan hal itu. Jika metafora-simile merupakan bentuk perbandingan tidak dengan manusia, personifikasi merupakan pemberian sifat-sifat manusia pada suatu hal(Sayuti, 2002: 195-229).

(40)

commit to user

merupakan pernyataan yang tampaknya berlawanan dalam dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, jika dilihat lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran (Sudjiman, 1990 : 59). Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Pradopo, 1993: 219).

Penciptaan arti terjadi bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini diantaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan kata/frasa di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait sajak), atau ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues) (Pradopo, 1993:220).

(41)

commit to user

yang dibawa oleh puisi pada tataran mimetik, sedangkan dari sudut makna sebuah puisi adalah sebuah unit semantis. Dengan demikian bahasa ekspresi puisi selalu berkenaan dengan perubahan dari arti menjadi makna (Sayuti, 2002: 76). Menyinggung soal makna sajak, Riffaterre berpendapat, untuk bisa memberi makna sajak pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Sobur, 2013: 93). Penyimpangan dari aturan tata bahasa tidak terjadi secara acak, tetapi berdasarkan pola yang sebenarnya utuh, yang pemahamannya harus dihubungkan dengan sistem bahasa, kode-kode, konteks yang ada dalam wacana yang melingkupi penyimpangan itu ( Widdowson dalam Winarni, 2013: 8).

Pada kenyataannya sebuah puisi hanya dapat dibaca ulang, bukan hanya dibaca, karena beberapa strukturnya hanya dapat dirasakan secara kilas balik. Puisi mengaktifkan penanda secara penuh memacu kata bekerja sekeras mungkin di bawah tekanan yang berat dari kata-kata di sekitarnya, dan dengan demikian melepaskan potensinya yang paling kaya (Eagleton, 2010: 148). Melalui konsep superreader Riffaterre meletakkan tugas menemukan dan menafsirkan respon yang terkandung dalam puisi kepada pembaca, dan untuk mendapatkan makna secara lengkap dan tuntas maka harus diketahui aspek kesejarahan puisi tersebut.

(42)

commit to user

produksi tanda dan teks puisi. Matriks tidak hadir secara langsung dalam puisi, namun aktualisasinya berupa kata atau kalimat yang menjadi model dan kemudian mengalami perluasan menjadi teks (Ridha, 2010: 174). Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian ini ditentukan oleh model. “Puisi hasil transformasi

(43)

commit to user

makna tanda, teka-teki bagian yang kosong dari donat karena menurut Riffaterre,

“puisi menyatakan satu hal dan berarti yang lainnya”.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian terhadap serat Dewa Ruci yang termasuk genre puisi akan dilakukan dengan mengingat kepadatan simbolnya yang diartikan berdasar bagian-bagiannya yang saling menerangkan dan dihubungkan dengan konteksnya sehingga didapatkan maknanya yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bagian-bagian puisi yang dimaksud adalah ketaklangsungan ucapan yang disebabkan oleh tiga hal: displacing (penggantian arti), distorsing (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti) pada bunyi, irama, satuan arti berupa kata, dan sistem hubungan yang melingkupinya. Pembacaan secara retroaktif dilakukan dalam rangka memahami bagian-bagian dalam keseluruhan, diusahakan pemaknaan yang seutuh dan sebulat mungkin. Hubungan puisi dengan konteks didasarkan kepada berbagai latar, termasuk latar budaya, latar sosial, latar kesejarahan dan nilai-nilai pendidikan karakter yang harus diketahui dan dipahami dalam melakukan penelitian. Hal ini paling tepat didekati dengan pendekatan semiotik Riffaterre.

2. Kajian Puisi Tradisional Tembang Macapat

a). Pengertian Tembang

(44)

commit to user

dilagukan dengan seni suara. Tembang dalam bahasa Jawa adalah sekar yaitu karangan yang terikat oleh aturan guru gatra, guru wilangan, guru lagu beserta lagu-lagunya. Tembang sebagai bagian dari hasil kesenian Jawa merupakan unsur seni budaya atau unsur kesenian yang perlu dilestarikan pembinaan dan pengemba-ngannya.

b). Jenis Tembang

Dilihat secara tradisional jenis tembang dibedakan menjadi tembang Gedhe/ Sekar Ageng, 2) tembang Tengahan / Sekar Tengahan, dan 3) tembang Macapat / sekar alit (Karsono H. Saputra, 2001: 103). Selanjutnya menurut Tedjohadisumarto

(dalam Prawiradisastra, 1991: 64) menyatakan: “ Sekar Jawi menika wonten tigang

warni inggih punika Sekar Macapat, Sekar Tengahan, lan Sekar Ageng, kejawi

punika wonten malih lagu Dolanan Lare lan Sekar Gendhing”. Hubungan antara

tembang / sekar dengan bahasa dan sastra Jawa menurut Padmosoekotjo (1990: 25)

adalah “Kang diarani tembang iku reriptan utawa dhapukaning basa mawa paugeran

tartamtu (gumathok) kang pamacane kudu dilagokake nganggo kagunan swara.”

(45)

commit to user

c) Konvensi tembang

Tembang macapat yang memiliki aturan terikat dalam pembuatannya adalah salah satu bentuk puisi Jawa tradisional. Tembang macapat telah ada sejak jaman Demak. Puisi tersebut ditembangkan atau dinyanyikan sesuai dengan lagu-lagu tertentu dengan aturan yang terikat yang biasa disebut metrum, berupa aturan: a) banyaknya gatra/ guru gatra yaitu banyaknya baris dalam tiap bait tembang. b) terikat oleh guru wilangan yaitu banyaknya suku kata dalam baris tembang. c) terikat oleh guru lagu atau jatuhnya suara akhir pada tiap gatra atau baris tembang, yang dalam

istilah lain jatuhnya dhong-dhing atau jatuhnya suara (a-i-u-e-o). Salah satu keunikan macapat adalah selain memiliki aturan struktur fisik seperti tersebut di atas juga memiliki aturan struktur batin. Aturan batin berupa perasaan apa yang diungkapkan, nada tembang itu bagaimana, tema dan amanat apakah yang tepat diungkapkan melalui jenis matra tembang tersebut (Waluya, 1995:13).

(46)

commit to user

(47)

commit to user

Serat Dewa Ruci hanya mengandung empat metrum dan terbagi dalam lima pupuh. Pupuh pertama menggunakan metrum dhandanggula, pupuh kedua menggunakan metrum Pangkur, pupuh ketiga menggunakan metrum sinom, pupuh keempat menggunakan metrum durma, pupuh kelima kembali menggunakan metrum dhandanggula.

Bunyi dalam bahasa Jawa mengandung beberapa gejala yang patut dibahas. Peristiwa perubahan bunyi di dalamnya terdapat perubahan yang dimanfaatkan, dieksploitasi untuk menyatakan kekayaan batin atau isi jiwa pemakainya yang belum mendapat wadah pernyataannya, dan terdapat pula perubahan bunyi yang tidak dimanfaatkan. Artinya terdapat perbedaan-perbedaan bunyi tanpa menghasilkan makna. Bunyi-bunyi bahasa yang kebetulan sedang berperanan mengubah atau menambah nilai-nilai suatu bentuk lingual disebut fonestem, sedangkan gejalanya disebut fonestemik. Misalnya bunyi [i] dalam cilik „kecil sekali‟ merupakan fonestem karena menunjukkan kesangatan dari cilek „kecil‟.

(48)

commit to user

Pengkajian bahasa demi penjelasan terhadap hubungan antara bentuk dan fungsi atau antara kode dengan amanat dalam bahasa manusia yang ternyata dari berbagai pembuktian memiliki sifat nonarbitrer yang cukup menonjol sangatlah perlu. Pemahaman terhadap berbagai gejala dalam bahasa Jawa akan membantu dalam usaha memahami bentuk-bentuk pemanfaatannya termasuk dalam puisi macapat. Puisi macapat juga mengenal adanya persajakan atau rima, yakni pengulangan bunyi berselang, baik dalam satu larik sajak maupun larik sajak yang berdekatan. Rima atau purwakanthi berfungsi memudahkan penghafalan sajak dan ikut membina

terbentuknya satuan sajak. Terdapat tiga macam purwakanthi, yakni purwakanthi guru sastra „aliterasi‟, purwakanthi guru swara „asonansi‟ dan purwakanthi

lumaksita „pengulangan satu suku kata‟. Untuk menarik perhatian pembaca dan

menambah estetika dalam karya yang dibuat, seorang pengarang seringkali menggunakan gaya bahasa. Para pengarang sastra Jawa tradisional juga telah mengenal gaya bahasa antara lain: tembung entar „bahasa kiasan‟, pepindhan

„simile‟, metafora, dan personifikasi.

Uraian di atas menyatakan bahwa puisi tradisional macapat selain memiliki aturan struktur fisik juga memiliki aturan struktur batin. Aturan struktur fisik meliputi guru gatra, guru wilangan dan guru lagu. Aturan bunyi yang terkandung di dalam struktur

(49)

commit to user

3. Pendekatan Semiotik

Disiplin ilmu analisis terhadap sistem tanda dikenal dengan semiotik atau semiologi. Secara etimologis istilah semiotik berasal dari kata Yunani Semeion yang

berarti “tanda”. Tanda sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (dalam Sobur, 2001: 95). Eco mengatakan bahwa semiotik adalah sebuah penilaian yang memprediksi suatu isi, dengan marka-marka semantis yang telah diatributkan kepadanya oleh kode yang ada (Eco, 2009: 238). Secara terminologis semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2001: 95). Semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi (Teeuw, 1982: 18).

(50)

commit to user

Buku-buku semiotik yang ada umumnya menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de De Saussure (1857 - 1913). Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Bagi Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya „pohon‟. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie.

Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifiant) dan petanda (signifie). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah kesepakatan berupa konvensi dari pendukung suatu bahasa. Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata /kutu/ yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang /kutu/ dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi /kutu/ itu tidak berarti apa-apa. Perbedaan

(51)

commit to user

kita memberi tiap-tiap kata suatu makna yang berbeda pula. Tanda hanya bermakna berkaitan dengan bahasa-bahasa lain dalam sebuah bahasa, seperti halnya sebuah anak catur di atas papan catur hanya bermakna dalam kaitannya dengan semua anak catur lain dan gerak-gerakannya. Seleksi dan kombinasi merupakan dua sumbu bahasa. Seleksi dihubungkan dengan sumbu paradigmatik (merujuk pada seleksi kata) sedangkan kombinasi dihubungkan dengan sumbu sintagmatik (mengacu kepada kombinasi kata).

Semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture, dan objects. Saussure merombak kajian bahasa yang sebelumnya dipelajari secara diakronis, menjadi sinkronis dengan mengenalkan konsep langue dan parole. Langue lebih menekankan kepada sistem tanda yang dikembangkan kemudian oleh Levy Strauss menjadi kajian Strukturalis. Parole lebih menekankan kepada analisis penggunaan bahasa dalam kehidupan yang

menjadi biji awal lahirnya semiotik model Roland Barthes.

Khusus dalam kajian susastra Teeuw menyatakan, “Semiotik adalah model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat

(52)

commit to user

sebaliknya lebih mengedepankan penanda. Puisi memberi penekanan besar pada bentuk-bentuk dan bunyi-bunyi kata sebagai cara untuk membangkitkan makna (Cavallaro, 2004: 38).

(53)

commit to user

a. Tataran Heuristik

Sastra sebagai alat komunikasi kaya akan konvensi. Konvensi dalam karya sastra biasa dibagi dalam dua tingkat. Konvensi tingkat pertama menyaran pada sistem (tataran) arti kebahasaan (first order semiotic system), sistem primer atau kandungan denotasi. Hal ini dikarenakan karya sastra menggunakan bahasa sebagai bahan komunikasinya. Tidak seperti warna pada seni lukis, atau kayu pada seni pahat, bahasa dalam seni sastra tidak bersifat netral sejak sebelum menjadi wujud seni. Bahasa telah mengandung arti sebelum dibentuk oleh sastrawan (Pradopo, 1987: 121). Pembacaan pada sistem semiotik tingkat pertama dalam kajian ini dilakukan dengan kerja heuristik. Heuristik berupa pemahaman makna sebagaimana dikonvensikan oleh bahasa yang bersangkutan. Jadi bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan sistem bahasa itu dan kompetensi kesastraan.

(54)

commit to user

dengan kompetensi kebahasaan dan kesastraan, pembaca dapat mengenali adanya

“keanehan-keanehan” dalam sebuah karya sastra, baik dalam hal kebahasaan maupun dalam hal-hal yang berkaitan dengan struktur karya sastra secara keseluruhan.

Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sistem kode pada karya sastra dengan melakukan kategorisasi. Kategorisasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan: Pembagian pupuh, penokohan, peristiwa, setting tempat, dst. Selanjutnya dianalisis relasi antar bagian dalam setiap sistem kode yang ditemukan, bisa berupa sistem oposisi, komposisi, paradigmatik, maupun sistem sintakmatik, tergantung dari data dan relasi antar data yang terbaca. Hasil dari pembacaan heuristik adalah arti. Arti adalah semua informasi dalam tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa arti sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual dalam hal ini digunakan referensi kamus bahasa Jawa Kawi dan Sansekerta sebagai bahasa pengantar di dalam serat yang diteliti.

(55)

commit to user

b Tataran Hermeneutik

Kekhasan karya sastra sebagai alat komunikasi ditentukan oleh adanya konvensi tingkat kedua (second order semiotic system), sistem sekunder, atau kandungan makna konotasi. Karya sastra terdiri dari berjenis-jenis sastra (genre) dan ragam yang tiap jenis dan ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Peneliti dalam menganalisis karya sastra harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam ragam sastra itu mempunyai makna (Pradopo, 1987: 122). Pembacaan pada sistem semiotik tingkat kedua dilakukan dengan kerja hermeneutik atau retroaktif atau dibaca ulang yang menghasilkan pemahaman makna secara tersirat, dan inilah yang disebut makna intensional, intensional meaning (Nurgiyantoro, 1995: 33). Sastra adalah seni bahasa, maka secara umum konvensi kedua tersebut mengandung konvensi estetis/ keindahan. Syarat-syarat keindahan itu ialah: keutuhan (unity), keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), dan fokus atau pusat penekanan sesuatu unsur (Sumardjo & Saini, 1986: 4).

(56)

adat-commit to user

istiadat. Di pihak lain tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya sastra penting diperhatikan karena ikut membentuk sistem dan keseluruhan karya tersebut sehingga mampu mengatasi kemacetan komunikasi dalam proses pembacaan karya sastra yang diakibatkan oleh kompleks sistem tanda/ kode yang diciptakan pengarang.

Perkembangan-perkembangan dalam teori membaca menunjukkan bagaimana makna sebuah teks tergantung pada kerangka acuan (frame of reference) dimana pembaca membidikkan pada teks tersebut. Barthes dalam Cavallaro berpendapat bahwa makna sebuah teks merupakan pengaruh interpretasi pembacanya daripada sebuah produk dari tujuan-tujuan pengarangnya (Cavallaro, 2004:92). Terserah kepada pembaca untuk mengisi atau mewujudkan pesan-pesan dimana teks itu sendiri hanya berisikan keadaan sebenarnya atau keadaan potensial. Pada saat yang sama interpretasi pembaca tergantung pada konteks historis dan kultural pembaca.

Diingatkan oleh Kumral (2013:1) yang menyatakan bahwa pembaca tidak hanya mengembangkan keterampilan interpretatif menggunakan analisis semiotik, tetapi juga harus meningkatkan kesadaran hidup. Studi sastra terbantu mengembangkan persepsi menyeluruh hidup dengan masuk melalui pengalaman psikologis pribadi protagonis. Pembaca diharapkan untuk menghargai dan memperoleh semacam kebijaksanaan terhampar di balik pelajaran moral dari cerita untuk memahami kehidupan yang lebih baik.

(57)

commit to user

makna dari pola-pola yang terbaca secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra yang ada dalam budaya Jawa. Bersepakat dengan pernyataan Necat Kumral, penelitian menggunakan pendekatan semiotik, selain dituntut adanya kepaduan arti dari tafsir terhadap teks juga dituntut adanya pemahaman terhadap relasi teks dengan latar budaya, kepekaan pada peristiwa kehidupan. Kajian yang demikian akan membumikan teks, salah satunya hubungan serat Dewa Ruci dengan nilai pendidikan karakter.

4. Hakikat Pembelajaran Bahasa Jawa

Istilah pembelajaran seperti diungkapkan oleh Hansen (2000: 23) ialah learning is equated in behavior, yang artinya bahwa pembelajaran memililiki kesamaan arti dengan adanya perubahan tingkah laku. Pembelajaran menurut Handani (2011: 71) diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan guru sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Klein (1996: 2) mengemukakan pendapat, pembelajaran didefinisikan sebagai proses pengalaman yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang tidak dapat dijelaskan oleh keadaan sementara, kedewasaan, atau kecenderungan respon yang mendalam. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya mengubah tingkah laku siswa.

(58)

commit to user

Berdasarkan pertimbangan ini maka mulai tahun ajaran 2005 / 2006 mata pelajaran Bahasa Jawa ditetapkan sebagai mata pelajaran yang wajib diajarkan oleh semua jenjang sekolah di provinsi Jawa Tengah, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta.

(59)

commit to user

Kurikulum 2013 pembelajaran berbasis teks dengaran maupun teks tulis, seperti misalnya teks percakapan sehari-hari, di kantor, di pasar, di dalam media cetak, audio, maupun video, dongeng, legenda, serat piwulang, babad, cerita wayang, geguritan, cerkak, anekdot, pengalaman pribadi, dialog, berita, kawruh (Nugroho, 2014: 3). Cerita wayang tercantum sebagai materi pokok pada silabus mata pelajaran Bahasa Jawa kelas X semester genap, Kompetensi Dasar kedua. 1.2 Menerima, mensyukuri, menghayati, dan mengamalkan anugerah Tuhan berupa bahasa Jawa dalam bentuk petikan teks crita wayang. 2.2 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif dalam menggunakan bahasa Jawa melalui petikan teks crita wayang. 3.2 Memahami isi teks crita Mahabharata (Bima Bungkus). 4.2 Menulis sinopsis teks cerita teks Mahabharata (Bima Bungkus) dan menyajikannya. Materi pokok terdiri dari: Petikan Crita wayang, dengan uraian 1) unsur pembangun, 2) nilai yang terkandung, 3) relevansi pitutur luhur, 4) cara menginterpretasi isi, 5) teknik menceritakan kembali, dan 6) cara menanggapi.

(60)

commit to user

pemakaian masing-masing ragam bahasa Jawa menggambarkan nilai kejiwaan pemakainya (Basir 2010: 6).

Podhoretz menyatakan bahwa karya sastra di dalam pendidikan bisa berperan mengembangkan aspek kepribadian dan pribadi sosial, kehalusan adab dan budi. Bahkan menurut Aristoteles, sastra bisa menjadi media katarsis atau pembersih jiwa tidak saja bagi penulis tetapi juga pembaca maupun penikmatnya. Tidak bisa diragukan lagi fungsi sastra dalam memberi pengaruh cara berfikir setiap orang mengenai hidup dan kehidupan, baik dan buruk, benar dan salah, dan cara hidup baik diri sendiri maupun bangsanya (dalam Wibowo, 2013: 127). Dengan kesusastraan seseorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaannya. Sastra juga memiliki cakupan yang lebih luas daripada filsafat lantaran jejaring sastra yang bertalian dengan berbagai cabang ilmu kemanusiaan seperti sains, psikologi, biologi, sejarah, sosial politik (Wibowo, 2013:166).

(61)

commit to user

hanya didasarkan pada nilai yang terkandung didalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya bisa menanamkan karakter tekun, berpikir kritis dan berwawasan luas. Pada saat yang sama dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran (Wibowo, 2013: 167).

Y.B Mangunwijaya dalam bukunya Religositas Sastra banyak memaparkan contoh-contoh karya sastra yang mengandung nilai-nilai pendidikan utamanya religiusitas. Beliau juga mengatakan bahwa religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau konseptualisasi (Mangunwijaya, 1988: 17). Begitu bernilainya karya sastra sebagai bahan pendidikan nilai dan mengalami / nglakoni sebagai metode yang paling tepat untuk memperolehnya.

(62)

commit to user

penulisan karya sastra Jawa klasik, yang merekam nilai masyarakat dan kebudayaan secara detail dan simbolis. Menelusuri karya sastra Jawa klasik layaknya memasuki lautan makna. Pembaca dituntut tidak gegabah menangkap apa yang nampak, tetapi harus mau menggali di balik sebuah tanda atau simbol (Wibowo, 2013: 107).

Bertolak dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karya satra Jawa memiliki kekayaan nilai yang potensial menjadi bahan pembelajaran. Pembelajaran karya sastra selain melatih daya apreisasi juga bisa menjadi sarana mengolah rasa, pikir, dan jiwa. Pembelajaran Bahasa Jawa umumnya dan khususnya pembelajaran sastra Jawa di SMA pada hakikatnya merupakan upaya mengubah perilaku siswa melalui kegiatan belajar Bahasa Jawa dan sastra Jawa yang sarat akan nilai-nilai budi pekerti luhur dan beragam kompetensi Bahasa Jawa, salah satunya melalui pembelajaran materi cerita wayang.

4. Hakikat Pendidikan Karakter

a. Pendidikan

(63)

commit to user

dan mengembangkan horizon keilmuan mereka, dan membantu mereka agar mampu menjawab tantangan dan gagasan baru di masa mendatang (Huda, 2013: 3).

Sejalan dengan pendapat John Dewey, banyak ahli dari berbagai bidang berpendapat bahwa sebenarnya pendidikan merupakan pintu menuju ke arah kemajuan. Pendidikan bukan hanya dilaksanakan dalam lingkungan formal atau sekolah, namun pendidikan juga terjadi di ruang non-formal yaitu keluarga dan lingkungan masyarakat. Dewantara berpendapat bahwa pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkungannya mereka memperoleh kemajuan lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Suratman, 1987: 12).

Berkembangnya kekuatan nafsu dan datangnya kelemahan budi dikuasai oleh nafsu-birahi sangat mengkhawatirkan bagi dunia pendidikan saat ini. Jika anak-anak sama lupa dan yang mendidik tidak awas disitulah bahaya datang. Maka dari itu dalam waktu birahi haruslah si pendidik memegang teguh segala peraturan mengenai perhubungan anak-anak laki-laki dan perempuan (Dewantara, 1977: 17). Bahaya yang telah ditengarai oleh Bapak Pendidikan kita di awal Bangsa Indonesia membangun fondasi pendidikan, terbukti benar dan semakin menjadi. Bukan hanya di kalangan pelajar kekuatan nafsu yang disebutkan juga telah menjadi kekuatan merusak dalam masyarakat umum.

(64)

commit to user

berhubungan dengan peluang untuk mendapat pekerjaan formal. Seakan mengabaikan peringatan Ki Hajar Dewantara. Tentu saja hal ini adalah sebuah bumerang bagi pendidikan di Indonesia, karena ketrampilan dan kecerdasan memiliki nilai netral dan yang menjadikannya baik atau buruk adalah nilai-nilai yang menjadi ruhnya. Jika kecerdasan dirasuki nilai kerakusan maka amat mungkin akan menghasilkan anak didik yang pandai korupsi. Seorang yang memiliki ketrampilan namun tanpa rasa tanggung jawab maka amat mungkin menghasilkan karya tanpa perduli akibat karyanya bagi orang lain, sebagai misal anak-anak kreatif yang mengotak-atik motor balap lalu menggunakannya di jalan raya (A‟la, 2012: 13).

Pendidikan utamanya adalah cara suatu komunitas untuk menanamkan nilai-nilai, berbeda dengan tujuan dari pembelajaran. Mendidik adalah upaya membangun software, dan penekanannya tidak pada hardware. Sekolah yang dalam bahasa

Yunani skhole, scolae atau scola berarti waktu luang, saat ini justru menjadi waktu yang menyita banyak hal dari siswa.Waktu bermain, berinteraksi, menyendiri sudah semakin sedikit demi meningkatkan kepandaian ilmu. Padahal setiap orang tumbuh dalam fase- fase yang membutuhkan situasi dan suasana yang sesuai.

Wajar jika seseorang yang di masa kecilnya tidak punya „waktu bermain‟

sampai usia dewasa ia masih bermain-main, wajar jika banyak kita temui orang-orang yang gagal dalam bersikap karena tidak pernah punya waktu dan ketrampilan untuk merenung dan mengambil jarak. Akibatnya sangat mudah ia terombang-ambing dan terbujuk rayuan bahkan hanya oleh iklan misalnya, seseorang menjadi berubah sikap

(65)

commit to user

dan tubuh anak. Sedangkan pendidikan budi pekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju kepada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin (Dewantara, 1977: 16). Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan nasional, hal ini bisa diartikan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syaratnya ialah pendidikan Nasional dan pendidikan merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk membangun karakter bangsa.

b. Pendidikan Karakter

Watak atau karakter itulah paduan daripada segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Dalam bahasa Yunani character itu asalnya dari perkataan charassein – mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan (Dewantara, 1977: 407). Lickona dianggap sebagai pendukung pendidikan karakter . Karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way”. Menurut

Lickona pendidikan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan ( knowing the Good), mencintai kebaikan (desiring the Good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 2013: 51).

(66)

commit to user

Karakter merupakan sifatnya jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi pekerti manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian dan dapat mengendalikan diri sendiri. Berdasarkan pengujian dan observasi yang dilakukan terdapat perbedaan signifikan terhadap siswa-siswa di sekolah program pendidikan nilai dibandingkan sekolah yang tidak menerapkan pendidikan nilai terhadap perilaku di kelas, perilaku di halaman bermain, ketrampilan penyelesaian persoalan sosial, dan komitmen kepada nilai-nilai demokrasi (Lickona, 2013: 41).

Salah satu aspek penting proses pendidikan memang adalah membangun karakter siswa. Karakter merupakan standar atau norma dan sistem nilai yang terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter diri dilandasi nilai-nilai luhur yang pada akhirnya terwujud di dalam perilaku. Oleh karena itu pendidikan yang mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung-jawab”.

Gambar

    Tabel. 1 Tembang Macapat beserta konvensinya (Adi, 1991: 89)
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Gambar 2. interactive model analisys

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berfokus pada kajian semiotik sosial untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat pada teks hobar baik dari segi media yang digunakan selama prosesi

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan dan menjelaskan problem sosial yang terdapat dalam novel Orang-Orang Proyek , (2) mendeskripsikan dan menjelaskan

Tanda dan Makna pada Upacara Pejenengan di Desa Batu Kantar Narmada bertujuan untuk mendeskripsikan tanda dan makna yang terdapat pada takhayul upacara pejenengan

Penyajian data dalam penelitian ini menggunakan tabel data yang membahas kajian semiotik data dengan dua pembacaan yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik pada

Dalam kajian semiotik, tanda merupakan konsep utama yang dijadikan sebagai bahan analisis dimana didalam tanda terdapat makna sebagai bentuk interpretasi pesan

Penelitian ini berfokus pada kajian semiotik sosial untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat pada teks hobar baik dari segi media yang digunakan selama prosesi

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk peranti kohesi dan koherensi karangan persuasi berbahasa Jawa siswa kelas XI SMA Negeri Kabupaten

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana kesalahan berbahasa pada tataran fonologi yang berupa kesalahan penggunaan huruf kapital, tanda baca, pemakaian preposisi,