MAKROZOOBENTOS SEBAGAI BIOINDIKATOR UNTUK
MENGEVALUASI KUALITAS AIR IRIGASI PERTANIAN DI
KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN PASURUAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Program Studi Agroteknologi
OLEH:
L I A N A H
NPM : 1025010041
Kepada
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWATIMUR SURABAYA
PROPOSAL
Diajukan kepada Progr am Studi Agroteknologi Fakultas Per tanian
Univer sitas Pembangunan Nasional “VETERAN” J awa Timur untuk
Menyusun Skripsi
OLEH:
LIANAH
1025010041
Kepada
PROGAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWATIMUR SURABAYA
MAKROZOOBENTOS SEBAGAI BIOINDIKATOR UNTUK MENGEVALUASI KUALITAS AIR IRIGASI PERTANIAN DI KECAMATAN SUKOREJO
KABUPATEN PASURUAN
Diajukan oleh
L I A N A H 1025010041
Telah dipertahankan di hadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi : Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 20 Januari 2014
Telah disetujui oleh :
2. Pembimbing Pendamping
Ir. Pancadewi S, MT
2. Sekertaris
Ir. Pancadewi S, MT
3. Anggota
Dra. Endang Triwahyu. P., MSi
SURAT PERNYATAAN
Berdasarkan undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan
Permendiknas No. 17 tahun 2010, Pasal 1 Ayat 1 tentang plagiarisme. Maka,
saya sebagai Penulis Skripsi dengan judul :
MAKROZOOBENTOS SEBAGAI BIOINDIKATOR UNTUK MENGEVALUASI KUALITAS AIR IRIGASI PERTANIAN DI KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN PASURUAN
menyatakan bahwa tersebut di atas bebas dari plagiarism.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan
saya sanggup mempertanggungjawabkan sesuai dengan hukum dan
perundangan yang berlaku.
Surabaya, 27 Januari 2014 Yang Membuat Pernyataan,
MAKROZOOBENTOS SEBAGAI BIOINDIKATOR UNTUK MENGEVALUASI KUALITAS AIR IRIGASI PERTANIAN DI KECAMATAN SUKOREJO
KABUPATEN PASURUAN
Diajukan oleh
L I A N A H 1025010041
Telah dipertahankan di hadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi : Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 20 Januari 2014
Telah disetujui oleh :
2. Pembimbing Pendamping
Ir. Pancadewi S, MT
2. Sekertaris
Ir. Pancadewi S, MT
3. Anggota
Dra. Endang Triwahyu. P., MSi
SURAT PERNYATAAN
Berdasarkan undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan
Permendiknas No. 17 tahun 2010, Pasal 1 Ayat 1 tentang plagiarisme. Maka,
saya sebagai Penulis Skripsi dengan judul :
MAKROZOOBENTOS SEBAGAI BIOINDIKATOR UNTUK MENGEVALUASI KUALITAS AIR IRIGASI PERTANIAN DI KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN PASURUAN
menyatakan bahwa tersebut di atas bebas dari plagiarism.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan
saya sanggup mempertanggungjawabkan sesuai dengan hukum dan
perundangan yang berlaku.
Surabaya, 27 Januari 2014 Yang Membuat Pernyataan,
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi, yang berjudul “
Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Untuk Mengevaluasi Kualitas
Air Irigasi Pertanian Di Kecamatan Sukorejo Kabupaten Pasuruan
” .Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Progam Studi Agroteknologi di Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional “ VETERAN” Jawa Timur.
Dalam Penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran.
Dengan disertai harapan, semoga dalam penyusunan skripsi ini dapat diterima dan memenuhi syarat, maka dalam kesempatan ini penulis mengucapan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Ir. Indriya R., MS Selaku dosen pembimbing utama yang dengan kebijaksanaan, serta kesabarannya dalam membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
2. Ibu Ir. Pancadewi S., MT Selaku dosen pembimbing pendamping yang dengan kebijaksanaan, serta kesabarannya dalam membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
3. Bapak Ir. Mulyadi, MS. Selaku ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian UPN “VETERAN” Jawa Timur.
4. Bapak Dr. Ir. Ramdan Hidayat, MS. Selaku Dekan Fakultas Pertanian UPN “VETERAN” Jawa Timur.
5. Kedua Orang tua yang telah memberi dorongan, semangat, doa, dan kasih sayang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih jauh dari sempurna, karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak.
Surabaya, Januari 2014
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan ... 4
1.4 Hipotesa ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Ekosistem Sungai ... 6
2.2 Keanekaragaman Makrozoobentos ... 7
2.3 Makrozoobentos sebagai Indikator ... 8
2.4 Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobentos ... 12
2.5 Indeks Biotik ... 13
2.6 Kriteria Baku Mutu Air ... 14
III. METODE PENELITIAN... 16
3.1 Tipe Penelitian ... 16
3.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 16
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ... 17
3.4 Alat dan Bahan ... 19
3.5 Teknik Pengmbilan Data ... 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
4.1 Klasifikasi Makrozoobentos ... 24
4.2 Keanekaragaman Makrozoobentos Pada Setiap Stasiun Pengamatan ... 30
4.3 Dominansi Makrozoobentos Pada Setiap Stasiun Pengamatan ... 32
4.4 Pengukuran Parameter Lingkungan Fisika Kimia Air ... 37
4.5 Korelasi Faktor Fisika Kimia dengan Indeks Keanekaragaman ... 42
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 48
5.1 Simpulan ... 48
5.2 Saran ... 48
DAFTAR PUSTAKA ... 49
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Judul
1. Makroinvertebrata indikator untuk menilai kualitas air (Trihadiningrum dan
Tjondronegoro, 1998) ... 14
2. Metode Analisa Parameter Kualitas Air ... 22
3. Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan antar Faktor ... 23
4. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun
Pengamatan ... 24
5. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) pada Masing-masing Stasiun
Pengamatan ... 30
6. Indeks Dominansi Masing-masing Stasiun Pengamatan ... 32
7. Nilai Rata-rata Parameter Lingkungan yang Diukur pada Masing-masing
Lokasi Pengambilan Sampel ... 37
8. Hasil Analisa Korelasi Faktor Fisika Kimia Dengan Indeks
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1. Lokasi Stasiun Pengamatan Di Perairan Sumber Bulu ... 17
2. Komposisi Keanekaragaman Makrozoobentos yang Ditemukan pada Stasiun I ... 25
3. Komposisi Keanekaragaman Makrozoobentos yang Ditemukan pada Stasiun II ... 26
4. Komposisi Keanekaragaaman Makrozoobentos yang Ditemukan pada Stasiun III ... 27
5. Komposisi Keanekaragaaman Makrozoobentos yang Ditemukan pada Stasiun IV ... 28
6. Komposisi Keanekaragaaman Makrozoobentos yang Ditemukan pada Stasiun V ... 29
7. Komposisi Keanekaragaaman Makrozoobentos yang Ditemukan pada Stasiun VI ... 30
8. Melanoides sp. ... 33
9. Parathelpusa convexa ... 33
10. Hydropysche ... 34
11. Baetis sp. ... 34
12. Jumlah Total Larva Chironomidae yang Tertangkap pada Masing-masing Stasiun Pengamatan ... 34
13. Chironomus sp. ... 35
14. Tubifex sp. ... 35
15. Hemiptera ... 36
16. Bivalvia ... 36
17. Hubungan Indeks Keanekaragaman dengan Suhu ... 44
18. Hubungan Indeks Keanekaragaman dengan DO ... 44
19. Hubungan Indeks Keanekaragaman dengan pH ... 45
20. Hubungan Indeks Keanekaragaman dengan BOD ... 46
21. Hubungan Indeks Keanekaragaman dengan COD ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Baku Mutu Air Irigasi Kelas IV (PP No. 28 Tahun 2001) ... 54
2. Kelimpahan dan Kekayaan Makrozoobentos di Sungai Sumber Bulu ... 55
3. Dokumentasi Makrozoobentos yang Ditemukan Selama Pengamatan ... 56
L I A N A H. NPM 1025010041. Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Untuk Mengevaluasi Kualitas Air Irigasi Pertanian Di Kecamatan Sukorejo
Kabupaten Pasuruan. Pembimbing Utama Ir. Indriya R, MS dan Pembimbing
Pendamping Ir. Pancadewi S, MT.
RINGKASAN
Lingkungan perairan sungai terdiri dari komponen abiotik dan biotik yang saling berinteraksi melalui arus energi dan daur hara. Bila interaksi keduanya terganggu maka akan terjadi perubahan yang menyebabkan ekosistem perairan itu menjadi tidak seimbang (Ferianita, 2008 dalam Pramitha, 2010). Maka dari itu Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kualitas air Sungai Sumber Bulu yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai irigasi dengan makrozoobentos sebagai bioindikatornya, yang didukung dengan pemeriksaan beberapa parameter kimia, berupa BOD, COD, nitrat dan pH. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukkan tingkat kompleksitas dari suatu struktur komunitas. Keanekaragaman juga menunjukkan pola distribusi dari suatu spesies dalam suatu komunitas (Komala, 2000).
Penelitian ini dilakukan pada bulan November - Desember 2013. Pengambilan sampel dilakukan pada 6 (enam) stasiun, 4 (empat) kali ulangan dengan interval waktu pengambilan 7 hari. Identifikasi makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Kesehatan Tanaman Program Studi Agroeknologi Fakultas Pertanian, sedangkan analisis sample air dilakukan di Laboratorium Tanah Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian dan di Labolatorium Teknik Lingkungan UPN “Veteran” Jawa Timur. Peralatan yang digunakan adalah Surber ukuran 30 x 30 cm, Cool box, Baki, Pinset, Pipet, Botol contoh, Plastik, Mikroskop, Kamera digital, buku Identifikasi David Duggeon (1998), pH meter, Global Positioning System (GPS), alat tulis dan meteran roll. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Formalin 4%, alkohol 70%, air, kertas label dan tissue.
MACROZOOBENTHOS AS A BIOINDICATOR FOR EVALUATING
WATER QUALITY IN AGRICULTURAL IRRIGATION DISTRICT
SUKOREJO, PASURUAN
L I A N A H
Agro Technology Studies Program Faculty of Agriculture, Universitas
Pembangunan National " Veteran " East Java , Surabaya
ABSTRACT
Sumber Bulu is a source of springs located in the District Sukorejo, Pasuruan. Sumber Bulu has two streams that flow toward residential areas are used for daily necessities and flow to the agricultural area utilized as irrigation of rice fields. Wide variety of human activities surrounding directly or indirectly cause changes in water quality of rivers and streams resulting water quality is not as intended. The aim of this research is to identify the source of river water quality with macrozoobenthos as bioindicator, which is supported by the examination of several chemical parameters, such as pH, BOD ( Biological Oxigen Demand ), COD ( Chemical Oxigen Demand ), and nitrate ( NO3 - N ). The research was investigated on November - December 2013. Sampling was conducted at 6 (six) observation stations and 4 ( four ) replications with time intervals taking 7 days. Based on macrozoobenthos diversity index values obtained at each observation station, Sumber Bulu is being polluted waters can be categorized. The results of calculation of the parameters COD, BOD and nitrate at station II, III and VI are not in accordance with the water quality standard class IV. Then at the station is not suitable for irrigation. Observing the correlation coefficient macrozoobenthos diversity index to physical factors in the water chemistry Water Sumber Bulu, are of very low.
MAKROZOOBENTOS SEBAGAI BIOINDIKATOR UNTUK
MENGEVALUASI KUALITAS AIR IRIGASI PERTANIAN DI
KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN PASURUAN
L I A N A H
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya
ABSTRAK
Sumber Bulu merupakan sumber mata air yang terdapat di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan. Sumber Bulu ini memiliki dua aliran sungai yaitu aliran menuju ke daerah pemukiman yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari dan aliran yang menuju area pertanian yang dimanfaatkan sebagai irigasi persawahan. Beraneka ragamnya aktivitas manusia disekitarnya secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan kualitas perairan sungai dan mengakibatkan kualitas air sungai tidak sesuai dengan peruntukannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas air Sungai Sumber Bulu dengan mengidentifikasi makrozoobentos sebagai bioindikator, yang didukung dengan pemeriksaan beberapa parameter kimia, berupa pH, BOD (Biological Oxigen Demand), COD (Chemical Oxigen Demand) dan nitrat (NO3-N). Penelitian telah dilakukan pada bulan November - Desember 2013.
Pengambilan sampel dilakukan pada 6 (enam) stasiun, 4 (empat) kali ulangan dengan interval waktu pengambilan 7 hari. Berdasarkan nilai Indeks keanekaragaman makrozoobentos yang diperoleh pada tiap stasiun pengamatan, Perairan Sungai Sumber Bulu dapat dikategorikan tercemar sedang. Hasil perhitungan parameter COD, BOD dan nitrat pada stasiun II, III dan VI tidak sesuai dengan baku mutu air kelas IV. Maka pada stasiun tersebut tidak sesuai untuk irigasi. Mengamati nilai koefisien Korelasi indeks keanekaragaman makrozoobenthos terhadap faktor fisik kimia air di Perairan Sumber Bulu, terdapat hubungan sangat rendah.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Air merupakan sumber bagi kehidupan manusia. Salah satu sumber air
yang ada di permukaan bumi adalah sungai. Sungai sebagai salah satu
ekosistem perairan yang berperan penting dalam daur hidrologi dan besar
manfaatnya bagi kehidupan manusia. Sungai merupakan salah satu perairan
yang dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya kecepatan arus, erosi dan
sedimentasi (Effendi, 2003).
Ekosistem sungai dipengaruhi oleh aktivitas alam dan aktivitas manusia di
Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada umumnya sungai dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, bahan
baku air minum, rekreasi, penambangan pasir, transportasi, bahkan untuk
keperluan rumah tangga dan dimanfaatkan juga untuk kepentingan ilmiah.
Lingkungan perairan sungai terdiri dari komponen abiotik dan biotik yang saling
berinteraksi melalui arus energi dan daur hara. Bila interaksi keduanya
terganggu maka akan terjadi perubahan yang menyebabkan ekosistem perairan
itu menjadi tidak seimbang (Ferianita, 2008 dalam Pramitha, 2010 ).
Sumber Bulu merupakan sumber mata air yang terdapat di Kecamatan
Sukorejo, Kabupaten Pasuruan. Sumber Bulu ini memiliki dua aliran sungai yaitu
aliran menuju ke daerah pemukiman yang dimanfaatkan untuk kebutuhan
sehari-hari dan aliran yang menuju area pertanian yang dimanfaatkan sebagai irigasi
persawahan.
Beraneka ragamnya aktivitas manusia disekitar sungai Sumber Bulu
secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan kualitas
perairan sungai dan mengakibatkan kualitas air sungai tidak sesuai dengan
2
hulu hingga hilir sungai yang terjadi terus menerus akan mengakibatkan sungai
tidak mampu lagi melakukan pemulihan. Apabila beban masukkan bahan-bahan
terlarut tersebut melebihi kemampuan sungai untuk membersihkan sendiri maka
akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota perairan, salah satunya
adalah hewan bentos.
Organisme yang hidup di dasar perairan yang relatif mudah diidentifikasi
dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang
termasuk dalam kelompok makrozoobentos (Rizky 2007). Payne (1989) dalam
Sinaga (2009) menyatakan bahwa makrozoobentos adalah hewan yang
sebagian atau seluruh hidupnya berada di dasar perairan, baik sesil, merayap
maupun menggali lubang.
Berdasarkan cara hidupnya, bentos di bedakan atas 2 kelompok yaitu,
infauna dan epifauna. Infauna adalah kelompok makrozoobentos yang hidup
terbenam di dalam lumpur (berada di dalam substrat), sedangkan epifauna
adalah kelompok makrozoobentos yang menempel di permukaan dasar perairan
(Hutchinson, 1993 dalam Sinaga, 2009).
Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan
faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu, karena hewan bentos terus
menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah. Quijon (1993)
menyebutkan bahwa organisme bentos dapat digunakan sebagai indikator
biologis dalam mempelajari ekosistem sungai. Hal ini disebabkan adanya respon
yang berbeda terhadap suatu bahan pencemar yang masuk dalam perairan
sungai dan bersifat immobile. Makrozoobentos terdistribusi diseluruh badan
sungai mulai dari hulu sampai ke hilir, hidup menetap dengan waktu yang relatif
lama. Komposisi dan struktur komunitas makrozoobentos ditentukan oleh
lingkungannya. Oleh karena itu, makrozoobentos ini dapat digunakan untuk
3
kualitas air dapat digunakan untuk kepentingan pendugaan pencemaran baik
yang berasal dari point source pollution maupun diffuse source pollution
(Handayani, Suharto dan Marsoedi, 2001). Point source pollution (sumber titik)
dimana sumber polusi hanya berasal dari satu titik, misalnya air limbah domestik
dan industri, sedangkan diffuse source pollution atau non point source (sumber
tersebar) dimana sumber polusi tersebar dimanamana seperti limbah pertanian
(pupuk dan pestisida), perikanan atau pakan ikan, dan peternakan (Mason,
2002).
Penggunaan bentos terutama makrozoobentos sebagai indikator biologi
kwalitas perairan bukanlah merupakan hal yang baru. Beberapa sifat hidup
hewan bentos ini memberikan keuntungan untuk digunakan sebagai indikator
biologi diantaranya mempunyai habitat relatif menetap. Dengan demikian,
perubahan-perubahan kualitas air tempat hidupnya akan berpengaruh terhadap
komposisi dan kelimpahannya. Komposisi makrozoobentos bergantung kepada
toleransi ataupun sensitifitasnya terhadap perubahan lingkungan. Beberapa
organisme makrozoobentos sering digunakan sebagai spesies indikator
kandungan bahan organik dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat
dibandingkan pengujian fisika dan kimia (Guntur, 1993).
Keanekaragaman makrozoobentos dapat menunjukkan kualitas perairan
sungai. Suatu perairan yang belum tercemar, jumlah individu relatif merata dari
semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran
jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi
(Odum dan Barret, 2005).
Komponen lingkungan baik yang hidup (biotik) maupun yang mati (abiotik)
mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman biota air yang ada pada suatu
perairan, sehingga tingginya kelimpahan individu tiap jenis dapat dipakai untuk
4
keanekaragaman jenis yang tinggi dan sebaliknya pada perairan yang buruk atau
tercemar (Fachrul, 2007).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dilakukan penelitian
tentang kualitas air dengan indikator makrozoobentos, sehingga dapat
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi air Sungai Sumber Bulu
kecamatan Sukorejo Kabupaten Pasuruan.
1.2 Perumusan Masalah
Sungai Sumber Bulu banyak dimanfaatkan penduduk kecamatan
Sukorejo kabupaten Pasuruan untuk berbagai aktivitas, yaitu pertanian,
perikanan. Pemanfaatan tersebut menyebabkan perubahan kondisi ekologis
terhadap kehidupan-kehidupan biota terutama keanekaragaman
makrozoobentos. Sejauh ini belum diketahui bagaimana keberadaan jenis serta
keanekaragaman makrozoobentos di Sungai Sumber Bulu.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status kualitas air irigasi
bersumber dari Sungai Sumber Bulu kecamatan Sukorejo, meliputi :
1. untuk mengetahui Keanekaragaman dan Dominansi makrozoobentos
di sungai Sumber Bulu.
2. untuk mengetahui sifat fisik dan kimia perairan dalam hubungannya
dengan baku mutu kualitas air berdasarkan PP 82 Tahun 2001.
3. mengetahui hubungan keanekaragaman makrozoobentos yang
terdapat di perairan sungai Sumber Bulu dengan sifat fisika dan kimia
5
1.4 Hipotesa
1. Diduga terdapat perbedaan keanekaragaman makrozoobenthos pada
tiap stasiun pengamatan di Perairan Sungai Sumber Bulu.
2. Terdapat hubungan antara faktor fisik kimia air dengan
keanekaragaman makrozoobenthos di Perairan Sumber Bulu.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobentos di
Sungai Sumber Bulu.
2. Memberikan informasi bagi masyarakat tentang kualitas air sungai
Sumber Bulu dengan demikian petani dapat melakukan pengelolaan,
pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam.
3. Memberikan data yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut dan
dapat digunakan sebagai data dasar untuk memantau pencemaran
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Sungai
Ekosistem air tawar dibagi menjadi 2 jenis yaitu air diam misalnya kolam,
danau dan waduk serta air yang mengalir yang mengalir deras disebut lotik
(Badrus, 2004).
Menurut Nontji (1986) sungai merupakan perairan terbuka yang mengalir
(lotik) yang mendapat masukan dari semua buangan pelbagai kegiatan manusia
di daerah pemukiman, pertanian, dan industri di daerah sekitarnya. Masukan
buangan ke dalam sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor
fisika, kimia, dan biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat menghabiskan
bahan-bahan yang essensial dalam perairan sehingga dapat mengganggu
lingkungan perairan.
Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai
peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air
(catchment area) bagi daerah sekitarnya. Oleh karena itu, kondisi suatu sungai
sangat berhubungan dengan karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan yang ada
di sekitarnya. Sungai sebagai suatu ekosistem, tersusun dari komponen biotik
dan abiotik dan setiap komponen tersebut membentuk suatu jalinan fungsional
yang saling mempengaruhi sehingga membentuk suatu aliran energi yang dapat
mendukung stabilitas ekosistem tersebut (Suwondo et al., 2004).
Pada ekosistem perairan serangga air berperan dalam siklus nutrisi dan
merupakan komponen penting dari jaring-jaring makanan di perairan (Jana et al.,
7
2.2 Keanekaragaman Makrozoobentos
Menurut Odum (1994), komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup
pada suatu lingkungan tertentu atau habitat fisik tertentu yang saling berinteraksi
dan secara bersama membentuk tingkat trofik. Di dalam komunitas, jenis
organisme yang dominan akan mengendalikan komunitas tersebut, sehingga jika
jenis organisme yang dominan tersebut hilang akan menimbulkan
perubahan-perubahan penting dalam komunitas, bukan hanya komunitas biotiknya tetapi
juga dalam lingkungan fisik.
Berdasarkan cara hidupnya, bentos dibedakan atas 2 kelompok yaitu:
infauna dan epifauna (Barnes dan Mann, 1994). Infauna adalah kelompok
makrozoobentos yang hidup terbenam di dalam lumpur (berada di dalam
substrat), sedangkan epifauna adalah kelompok makrozoobentos yang hidup
menempel di permukaan dasar perairan (Hutchinson, 1993).
Bentos pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lempung,
dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik
yang tinggi, sedangkan bentos pemakan suspensi lebih berlimpah pada substrat
yang berbentuk pasir dan bahan organik lebih sedikit. Keadaan substrat dasar
merupakan faktor yang sangat menentukan komposisi hewan bentos dalam
suatu perairan. Struktur substrat dasar akan menentukan kemelimpahan dan
komposisi jenis hewan makrozoobentos. Kelompok makrozoobentos yang
dominan di perairan bersubstrat lumpur adalah Polychaeta, Bivalvia (kerang) dan
Crustacea (Jati, 2003).
Menurut Hutchinson (1993), keanekaragaman makrozoobentos di
perairan juga dipengaruhi oleh jenis substrat dan kandungan organik substrat.
8
organisme akuatik karena pH dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam
lingkungan perairan dan tersedianya unsur hara serta toksisitas unsur renik.
Mackie (1998) dalam Setiawan (2007) yang menyatakan bahwa beberapa
jenis makrozoobenthos dari kelompok EPT (Ephemeroptera, Plecoptera dan
Trichoptera) adalah jenis yang membutuhkan kualitas air dengan kandungan
oksigen terlarut yang tinggi. Menurut Cairns dan Dicksons (1981) dalam
Handayani et al., 2001), jenis may-flies (Ephemeroptera), stone-flies
(Plecoptera), dan Caddies flies (Tricoptera) banyak ditemukan di air jernih.
2.3 Makrozoobentos Sebagai Indikator
Kelebihan penggunaan makrozoobenthos sebagai indikator pencemaran
organik adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah
dikoleksi dan diidentifikasikan, bersifat immobile, dan memberikan tanggapan
yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Rosenberg dan Resh, 1993).
Pengukuran keanekaragaman jenis organisme dalam penilaian kualitas
perairan, lebih baik daripada pengukuran bahan-bahan organik secara langsung.
Makrozoobentos sering dipakai untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan
fisik, kimia dan biologi perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi
kelangsungan hidup organisme makrozoobentos karena makrozoobentos
merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar,
baik bahan pencemar kimia maupun fisik (Odum, 1994). Hal ini disebabkan
makrozoobentos pada umumnya tidak dapat bergerak dengan cepat dan
habitatnya di dasar yang umumnya adalah tempat bahan tercemar.
Menurut Ravera (1979) dalam Fachrul (2007) daya toleransi bentos
9
a. Jenis Intoleran
Jenis intoleran memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap
pencemaran dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan, sehingga
hanya hidup dan berkembang di perairan yang belum atau sedikit
tercemar.
b. Jenis Toleran
Jenis toleran mempunyai daya toleran yang lebar, sehingga dapat
berkembang mencapai kepadatan tertinggi dalam perairan yang tercemar
berat.
c. Jenis Fakultatif
Jenis fakultatif dapat bertahan hidup terhadap lingkungan yang agak
lebar, antara perairan yang belum tercemar sampai dengan tercemar
sedang dan masih dapat hidup pada perairan yang tercemar berat.
Menurut Vemiati (1987) dalam Fachrul (2007) jenis yang berbeda
menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap pencemaran, sehingga dengan
adanya jenis bentos tertentu dapat dijadikan petunjuk untuk menafsir kualitas
suatu badan air tertentu, misalnya keberadaan cacing Polychaeta dari suku
Capitellidae, yaitu Capitella capitella menunjukkan perairan tercemar dan
Capitella ambiesta terdapat pada lingkungan yang tidak tercemar.
Tesky (2002) mengatakan spesies indikator merupakan organisme yang
dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat yang juga dikenal dengan
bioindikator. Makrozoobentos umumnya sangat peka terhadap perubahan
lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makroinvertebrata ini sering
dijadikan sebagai indikator ekologi di suatu perairan dikarenakan cara hidup,
ukuran tubuh, dan perbedaan kisaran toleransi di antara spesies di dalam
10
Banyaknya bahan pencemar dalam perairan dapat memberikan dua
pengaruh terhadap organisme perairan, yaitu dapat membunuh spesies tertentu
dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan spesies lain. Jadi bila air
tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran dari jumlah spesies yang banyak
dengan populasi yang sedang menjadi jumlah spesies yang sedikit tapi
populasinya tinggi. Oleh karena itu penurunan dalam keanekaragaman spesies
dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran (Sastrawijaya, 2000).
Menurut Rini (2007), beberapa jenis makrozoobentos, serangga ordo
Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera membutuhkan kualitas air dengan
kandungan oksigen terlarut yang tinggi dan keberadaannya menjadi indikasi
kualitas air yang masih baik selanjutnya Sutapa et al (1999) mengatakan
Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera merupakan kelompok intoleran
terhadap polutan organik dan konsentrasi logam yang tinggi dari limbah yang
masuk ke badan perairan. Jenis makrozoobentos lainnya dapat bertahan hidup
di perairan dengan kandungan oksigen rendah karena memiliki saluran
pernafasan yang menyerupai snorkel dan dapat menyimpan dan membawa
gelembung udara atau oksigen di dalam tubuhnya atau di bawah bagian
sayapnya.
Indeks keanekaragaman makrozoobentos menunjukkan ekspresi sintetik
kualitas air sungai tersebut (Angelier, 2003). Hewan makrobentos yang menjadi
indikator pencemaran suatu perairan selain Chironomus sp. adalah Tubifex sp.,
Limnodrillus sp., dan Nais sp. Hewan makrobentos dari kelas Oligochaeta
tersebut merupakan biota toleran terhadap pencemaran bahan organik.
Menurut Michael (1984) dalam Rosyadi et al (2009), air yang terpolusi
oleh bahan organik yang cukup berat, hanya mengandung bakteri, jamur dan
hewan yang tahan seperti cacing Tubifex dan larva Chironomid, selanjutnya
11
pencemaran berat ditandai dengan adanya organisme makrobentos jenis Nais
sp., Chironomus sp., dan Tubifex sp. Menurut Musa et al (1996) dalam Zulkifli
dan Setiawan (2011), makrobentos dari kelas gastropoda yaitu Melanoides sp.
melimpah pada perairan yang dipengaruhi oleh limbah pertanian.
Sastrawijaya (2000) dalam Rosyadi et al (2009), menjelaskan bahwa
hewan makrobentos dari spesies Tubifex sp. dan Malanoides sp. merupakan
spesies indikator adanya oksigen terlarut (DO) rendah pada ekosistem perairan
sungai.
Sastrawijaya (2000), menjelaskan bahwa jenis dari Asellus, Sialis,
Limnaea, Physa dan Sphaerium untuk indikator biologis pencemaran perairan
dikategorikan pencemaran sedang, dan untuk indikator pencemaran berat
ditandai dengan adanya organisme makrozoobentos jenis Nais, Chironomus,
Tubifex dan Eristalis. Selanjutnya dari penelitian Affandi dalam Sastrawijaya
(2000), menjelaskan bahwa hewan makrobenthos dari spesies Tubifex sp dan
Malanoides tuberculate merupakan spesies indikator adanya oksigen terlarut
(DO) rendah dan partikel tersuspensi tinggi pada ekosistem perairan sungai.
Penggunaan makrozoobentos sebagai penduga kualitas air dapat
digunakan untuk kepentingan pendugaan pencemaran baik yang berasal dari
point source pollution maupun diffuse source pollution (Handayani, Suharto dan
Marsoedi, 2001). Point source pollution (sumber titik) dimana sumber polusi
hanya berasal dari satu titik misalnya air limbah domestik dan industri,
sedangkan diffuse source pollution atau non point source (sumber tersebar)
dimana sumber polusi tersebar dimana-mana seperti limbah pertanian (pupuk
dan pestisida), perikanan atau pakan ikan, dan peternakan (Mason, 2002).
12
perairan yang tercemar bahan organik dan dapat memberikan gambaran yang
lebih tepat dibandingkan pengujian secara fisika dan kimia (Guntur, 1993, dalam
Asra, 2009).
Beberapa spesies sangat rentan dan sensitif terhadap pencemaran
lingkungan, sedangkan yang lainnya dapat hidup dan berkembang biak pada
kondisi perairan yang tercemar (Popoola dan Otalekor, 2011). Sehingga dapat
dijadikan sebagai indicator untuk menguji kualitas air.
Menurut Rini (2007), beberapa jenis makrozoobentos, serangga ordo
Ephemeroptera, pleocoptera dan Trichoptera membutuhkan kualitas air dengan
kandungan oksigen terlarut yang tinggi dan keberadaannya menjadi indikasi
kualitas air yang masih baik.
2.4 Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobentos
Kehidupan organisme bentik dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya baik
fisik, kimia maupun biologi (suhu, salinitas, pH, tekstur sedimen dan kandungan
bahan organik pada sedimen). Penyebaran makrozoobentos erat sekali
hubungannya dengan kondisi perairan dimana organisme ini ditemukan. Sumber
bahan organik pada sedimen adalah lamun dan tinja biota bentik. Gangguan
lingkungan di daerah pesisir akan mempengaruhi secara langsung
organisme-organisme yang menjadi sumber bahan organik dalam sedimen tersebut (Knox,
2001).
Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen di
dalam air, apabila suhu air naik maka kelarutan oksigen di dalam air menurun.
Bersamaan dengan peningkatan suhu juga akan mengakibatkan peningkatan
aktivitas metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat
13
suhu dapat membatasi sebaran hewan makrobentos secara geografik dan suhu
yang baik untuk pertumbuhan hewan makrobentos berkisar antara 25 - 31°C.
Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis
dan fisiologis di dalam ekosistem sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air,
apabila suhu air naik maka kelarutan oksigen di dalam air menurun. Bersamaan
dengan peningkatan suhu juga akan mengakibatkan peningkatan aktivitas
metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat
(Sastrawijaya, 2000).
Chemical Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan
dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg/l. Dengan mengukur nilai
COD akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan
secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara
biologis (Barus, 2004).
Disolved oxsygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam
suatu perairan. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut
minimum sebanyak 5 mg oksigen setiap liter air (Sastrawijaya, 2000).
Menurut Barus (1996) dalam Sinaga (2009) menyatakan bahwa Nilai pH
yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7 –
8,5.
2.5 Indeks Biotik
Pada dasarnya indeks biotik merupakan nilai dalam bentuk skoring yang
dibuat atas dasar tingkat toleransi organisma atau kelompok organisma terhadap
cemaran. Indeks tersebut juga memperhitungkan keragaman organisma dengan
14
pencemaran (Trihadiningrum dan Tjondronegoro, 1998). Nilai indeks dari suatu
lokasi dapat diketahui dengan menghitung nilai skoring dari semua kelompok
hewan yang ada dalam sampel.
Di Indonesia pemakaian indeks biotik untuk menilai kualitas air masih
sangat terbatas (Trihadiningrum dan Tjondronegoro, 1998) telah berhasil
menyusun klasifikasi makroinvertebrata berdasarkan beban cemaran.
Pengelompokkan biota didasrakan atas kelimpahan jenis tertinggi yang dijumpai
pada tingkat kualitas air tertentu. Atas dasar tersebut kualitas air sungai dapat
dibagi menjadi 6 kelas tingkat cemaran (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Makroinvertebrata indikator untuk menilai kualitas air (Trihadiningrum dan Tjondronegoro, 1998)
Tingkat Cemaran Makrozoobentos Indikator
1. Tidak tercemar Trichoptera (Sericosmatidae, Lepidosmatidae, Glossosomatidae); Planaria
2. Tercemar ringan Plecoptera (Perlidae, Peleodidae); Ephemeroptera (Leptophlebiidae, Pseudocloeon, Ecdyonuridae, Caebidae); Trichoptera (Hydropschydae,
Psychomyidae); Odonanta (Gomphidae,
Plarycnematidae, Agriidae, Aeshnidae); Coleoptera (Elminthidae)
3. Tercemar sedang Mollusca (Pulmonata, Bivalvia); Crustacea
(Gammaridae); Odonanta (Libellulidae, Cordulidae)
4. Tercemar Hirudinea (Glossiphonidae, Hirudidae); Hemiptera
5. Tercemar agak berat Oligochaeta (ubificidae); Diptera (Chironomus thummiplumosus); Syrphidae
6. Sangat tercemar Tidak terdapat makrozoobentos. Besar
kemungkinan dijumpai lapisan bakteri yang sangat toleran terhadap limbah organik (Sphaerotilus) di permukaan.
2.6 Kriteria Baku Mutu Air
Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi
atau komponen yang ada atau harus ada dan unsur pencemar yang ditenggang
15
kegiatan yang menghasilkan limbah cair yang kan dibuang ke perairan umum
atau sungai harus memenuhi standart baku mutu atau kriteria mutu air sungai
yang akanmenjadi tempat pembuangan limbah cair tersebut, sehingga
kerusakan air atau pencemaran air sungai dapat dihindari atau dikendalikan.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
menyebutkan bahwa klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas yaitu
:
1. Kelas Satu : Air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk air baku
minumdan atau peruntukkan lain dengan syarat kualitas yang sama.
2. Kelas Dua : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain dengan syarat
yang sama.
3. Kelas Tiga : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pertanaman, dan peruntukan
lain dengan syarat kualitas yang sama.
4.
Kelas Empat : Air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk mengairiIII. METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang
dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi terhadap makrozoobentos yang
mempengaruhi kualitas air irigasi pertanian. Penelitian ini dimaksudkan untuk
membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, Pengambilan sampel
dilakukan secara terpilih (purpossive sampling) yaitu berdasarkan pertimbangan
terwakilinya gambaran keadaan perairan sungai yang berkaitan dengan kegiatan
pembuangan limbah ke dalam sungai (Arikunto, 2006).
3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi ruang lingkup materi dan
ruang lingkup wilayah :
3.2.1 Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi dalam melakukan kajian kualitas air di Sungai
Sumber Bulu yang berada di Kecamatan Sukorejo Kabupaten Pasuruan dibatasi
pada hal-hal sebagai berikut :
a. Keanekaragaman makrozoobentos di perairan sungai Sumber Bulu.
b. Fenomena kondisi kualitas air Sungai Sumber Bulu.
Variabel utama yang diteliti adalah jenis dan jumlah individu setiap jenis
makrozoobentos. Variabel pendukung meliputi keadaan abiotik perairan yaitu
suhu, substrat dasar, keasaman (pH), Biological Oxigen Demand (BOD),
17
diperoleh, diidentifikasi sampai tingkat spesies. Data-data yang diperoleh disusun
dalam tabel.
3.2.2 Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah yang diambil dalam penelitian ini adalah Sungai
Sumber Bulu yang menjadi lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Sukorejo
Kabupaten Pasuruan berada pada ketinggian ± 345 m/dpl, dengan curah hujan
setiap tahun rata-rata 1 – 60 mm/hr. Ditinjau dari tingkat kesuburan serta
pengairan dapat dibagi 2 yaitu tanah kering seluas 1.078 Ha dan tanah basah
atau sawah seluas 3.029 Ha. Untuk melihat lebih jelas lokasi dari
masing-masing stasiun pengambilan sampel dapat dilihat pada (Gambar 3.1).
Keterangan :
= arah aliran
ST.I = Stasiun I
ST. II = Stasiun II
ST.III = Stasiun III
ST.IV = Stasiun IV
ST. V = Stasiun V
ST. VI = Stasiun VI
= Titik Pengambilan Sampel
Gambar 3.1 Lokasi Stasiun Pengamatan Di Perairan Sumber Bulu
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan November – Desember 2013 saat musim
18
Pengambilan sampel dilakukan di 6 stasiun. Penentuan stasiun
pengambilan sampel dilakukan setelah melakukan pengamatan langsung ke
lapangan. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan di enam stasiun.
Masing-masing stasiun dilakukan pengambilan sampel sebanyak 4 kali dengan
interval waktu pengambilan 7 hari.
Stasiun pengamatan yang dibuat berjumlah 6 stasiun dengan kondisi
yang berbeda. Pada stasiun I merupakan daerah yang dimanfaatkan sebagai
pemakaman, jauh dari pemukiman. Lokasi ini terletak pada koordinat 07°42,323’
S dan 112°42,078’ E, dengan pH rata-rata 6 dan suhu rata-rata 26,22oC, tumbuhan yang mendominasi adalah bambu, jagung, rumput gajah,
paku-pakuan, lempuyang, dan pahitan.
Stasiun II merupakan daerah yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai tempat tinggal, pertokoan dan juga terdapat pembuangan sampah di
sekitarnya, terletak pada koordinat 07o41,373’ S dan 112o42,545’ E. Kandungan pH rata-rata 5,7 dan suhu rata-rata 26,8oC, kemudian tumbuhan yang terdapat di stasiun 3 meliputi, waru, bambu, mangga, pisang, jabon dan paku-pakuan. Hasil
pengamatan air limbah produksi rokok mengaliri perairan 100 m sebelum stasiun
pengambilan dan permukaan air nampak berminyak.
Stasiun III secara geografis terletak pada titik koordinat 07°41,371’ S dan
112°42,622’ E, lokasi ini merupakan daerah masuknya aliran sungai lain yang
datang dari sumber Titing. Di sekitar lokasi ini adalah pekarangan yang
ditanamai pohon-pohonan seperti mangga, kersen, pisang serta tanaman lain
seperti rumput-rumputan dan tanaman semak sepanjang tepi lokasi.
Stasiun IV secara geografis terletak pada titik koordinat 07°41,277’ S dan
112°42,277’ E. Pada lokasi ini ditemukan usaha potong ayam, pemukiman,
persawahan dan mereka langsung membuang limbahnya ke aliran sungai
19
paku-pakuan. Jarak 100 m sebelum tempat pengambilan sampel masyarakat
memanfaaatkan air untuk mandi, cuci dan kakus.
Stasiun V secara geografis terletak pada titik koordinat 07°41,489’ S dan
112°42’,004” E, lokasi berdekatan dengan pemukiman penduduk dan sekolahan
dengan dipisahkan jalan raya. Tanaman disekitarnya antara lain mangga,
gempol, kelor dan putri malu.
Stasiun VI secara geografis terletak pada koordinat 07o41,407’ S dan 112o43,542’ E. Lokasi jauh dari pemukiman penduduk dikelilingi dengan bambu, petean, jati, mahoni, dan lamtoro.
Identifikasi makrozoobentos dilakukan di laboratorium kesehatan tanaman
program studi agroeknologi fakultas pertanian, sedangkan analisis sample air
dilakukan di Laboratorium Tanah program studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
dan di Labolatorium Teknik Lingkungan UPN “Veteran” Jawa Timur.
3.4 Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan berbagai peralatan dan bahan untuk
pengambilan contoh makrozoobentos, pengukuran parameter lingkungan dan
analisis contoh. Peralatan yang digunakan adalah Surber ukuran 30 x 30 cm,
Cool box, Baki, Pinset, Pipet, Botol contoh, Plastik, Mikroskop, Kamera digital,
buku Identifikasi David Duggeon (1998), pH meter, Global, Positioning, System
(GPS), alat tulis dan meteran roll.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Formalin 4 %, alkohol
20
3.5 Teknik Pengambilan Data
Kegiatan ini tertuju pada satuan peta lahan yang meliputi pengambilan
contoh air dan pengamatan lingkungan. Kegiatan ini dibagi menjadi dua tahap,
yaitu :
3.5.1 Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan meliputi kegiatan teknis dan non teknis. Kegiatan
teknis dilakukan guna mendapatkan gambaran umum tentang lokasi penelitian
dan penentuan stasiun pengamatn dan titik pengambilan sampel air, sedangkan
kegiatan non teknis meliputi perijinan pada daerah penelitian.
3.5.2 Survei Lanjutan dan Pelaksanaan
Kegiatan yang dilakuakan pada survei lanjutan yaitu pelaksaan
pengambilan sampel air pada daerah atau titik yang telah ditentukan pada saat
pelaksaan survei pendahuluan, kegiatan pengambilan sampel dilakukan dengan
metode yang telah ditentukan guna mempermudah dalam anlisis yang akan
dilaksanakan pada tahap berikutnya.
Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan menggunakan metode
Chessman, Caranya mulut jaring dihadapkan ke hulu, lalu dasar sungai
diaduk-aduk dengan kaki untuk mengeluarkan biota yang menempel pada batuan atau
di bawah pasir dan kerikil. Area yang diaduk sepanjang 5 meter di depan mulut
jaring, sehingga diharapkan sampel akan mengalir ke dalam jaring surber.
Sampel yang terkumpul di dalam surber, kemudian diambil dan dimasukkan
dalam stoples plastik untuk diperiksa di Laboratorium.
Sampel yang didapat dibersihkan dengan air dan direndam dengan
formalin 4% selama 1 hari, kemudian dicuci dengan aquades dan dikering
anginkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol
21
menggunakan mikroskop dengan buku identifikasi Duggeon (1998) dan Pennak
(1953).
Pengambilan sampel air dilakukan secara grab sample. Grap sample
(sampel sesaat) adalah metode pengambilan sampel dengan cara sampel yang
diambil secara langsung dari bahan air yang sedang dipantau. Sampel ini hanya
menggambarkan karakteristik pada saat pengambilan sampel (Effendi, 2003).
3.6 Analisis Data
3.6.1 Indeks Keanekaragaman
Analisis data yang digunakan adalah nilai keanekaragaman spesies (H),
Indeks keanekaragaman dikemukakan oleh Shannon-Wiener diacu dalam
Bengen (2000), yang dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: H’ = Indeks keaneragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis (spesies)
ni = jumlah total individu jenis larva i N = jumlah seluruh individu dalam total n Pi = ni/N = sebagai proporsi jenis ke-i
Kriteria nilai indeks menurut Shannon dalam Odum (1996):
H’<1 = komunitas biota tidak stabil atau kualitas air tercemar berat 1<H’<3 = stabilitas komunitas biota sedang atau air tercemar sedang H’>3 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima (stabil) atau
22
3.6.2 Indeks Dominansi
Untuk menentukan spesies tertentu yang mendominasi komunitas yang
bersangkutan digunakan formula Indeks Dominansi Simpson (Krebs, 1989)
sebagai berikut :
Keterangan : C = Indeks Dominansi Simpson ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah total individu
Menurut Krebs (1989) kriteria Indeks Dominansi sebagai berikut :
C < 0,5 = tidak terjadi dominansi
C > 0,5 = terjadi dominansi
3.6.3 Analisa Kimia Parameter Air
Analisis untuk mengetahui kualitas air Sungai Sumber Bulu dengan
melakukan uji terhadap parameter kimia : Biochemical Oxigen Demand (BOD),
Chemical Oxygen Demand (COD), pH, dan nitrat (NO3-N). Pengukuran
kadar/konsentrasi parameter kualitas air mengunakan metode seperti yang
ditunjukkan Tabel 3.1
Tabel 3.1 Metode Analisa Parameter Kualitas Air
23
Hasil uji parameter tersebut kemudian dibandingkan dengan baku mutu
air sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Analisis korelasi menurut Pearson digunakan untuk mengetahui
hubungan antara faktor-faktor fisik kimia dengan indeks keanekaragaman.
Adapun rumus korelasinya adalah :
Dimana:
r = koefisien korelasi n = Jumlah stasiun
X = Variabel bebas (suhu, kekeruhan, DO, pH, COD, DO dan nitrat) Y = Variabel terikat (keanekaragaman makrozoobentos)
Menurut Sugiyono (2005), interval korelasi dan tingkat hubungan antar
faktor, adalah sebagai berikut :
Tabel 3.2 Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan antar Faktor
No. Interval Koefisien Tingkat Hubungan
1. 0,00 – 0,199 sangat rendah
2. 0,20 – 0,399 Rendah
3. 0,40 – 0,599 Sedang
4. 0,60 – 0,799 Kuat
|IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Klasifikasi Makrozoobentos
Makrozoobentos hasil identifikasi dalam penelitian ini terdiri dari 7 kelas
invertebrata, 12 ordo, dan 16 famili yaitu : Crustaceae yang terdiri dari 1 spesies,
Gastropoda yang terdiri dari 7 spesies, Actinopterygii terdapat 1 spesies, Bivalvia
1 spesies, Insecta sebanyak 21 spesies, Chelicerata 2 spesies dan Oligochaeta
1 spesies seperti tertera pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian Di Sungai Sumber Bulu, Kecamatan Sukorejo
Kelas Ordo Famili Spesies
1. Crustaceae 1. Dekapoda 1. Ocypodidae 1. Parathelphusa
2. Gastropoda 1. Mesogastropoda 1. Thiaridae 1.Radix plicatulus
2.Brotia sp.
3. Actinopterygii 1. Cyprinodontiformes 1. Poeciliidae 1. Poecilia Reticulata
4. Insecta 1. Tricoptera 1. Philopotamidae 1.Chimarra sp
2. Hydropsychidae 1. Hydropsyche sp. 2. Cheumtopsyche sp. 1. Psychomyiidae 1. Psychomyia sp. 2.Polycentropodidae 1. Polycentropus sp.
2. Macrostemum
2. Ephemerotera 1. Baetidae 1. Baetis sp.
2. Baetiella 3. Indobaetis 4. Platybaetis 5.Torleya
2. Caenidae 1.Caenodes. sp
3. Diptera 1. Chironomidae 1. Chironomus sp
4. Coleoptera 1. Psephenidae 1. Eubrianax
2. Neotelmatoscopus
5. Lepidoptera 1. Pyralidae 1. Parapoynx
2. Metanatricia serica
6. Hemiptera 1. Gerridae 1. Gerris Remigis
5. Chelicerata 1. Anisoptera 1. Gomphidae 1. Hydracnida
ictinogomphus pertinax
6. Oligochaeta 1. Haplotaxida 1. Tubificidae 1. Tubifex sp
25
Hasil identifikasi didapatkan sebanyak 1265 individu 33 spesies
makrozoobentos yang dikoleksi dari 6 stasiun pengamatan. Spesies yang paling
banyak ditemukan ialah dari kelas insekta. Spesies yang paling sedikit
ditemukan adalah parapoynx pada stasiun IV, hidrobia pada stasiun 1, dan
pleurocera pada stasiun VI dengan presentasi masing-masing 0,0069%,
0,0061%, dan 0,0066%.
Jumlah kelompok jenis penyusun komunitas makrozoobentos antar
stasiun bervariasi. Jenis-jenis makrozoobentos di Stasiun I ada 19 spesies yaitu,
Parathelphusa convexa dengan komposisi 1,86%, Melanoides sp. dengan
komposisi 10,56%, Corbicula fluminea 0,62%, Hydropsyche sp., Platybaetis dan
Poecilia reticulata masing-masing 1,24%. Selain itu ditemukan pula
Cheumtopsyche sp., polycentropus sp., Macrostemum fastusum, Cloeon dan
Hidrobia komposisi masing-masing 0,62%. kemudian Baetis sp. 2,48%, Baetiella
25,47%, Indobaetis 6,83%, Torleya 11,18%, Caenodes sp. 7,45%, Gerris remigis
22,36%, Nymphulinae 2,48%, serta Ictinogomphus pertinax 1,86% (lihat Gambar
4.1).
26
Pada stasiun II ditemukan makrozoobentos sebanyak enam spesies yaitu
Parathelphusa convexa 9,52 %, Helicopsyche, Indobaetis, dan Cloeon
masing-masing 4,76%. Selain itu juga didapatkan Chironomus sp 23,8%, serta Gerris
remigis 52,38 %. Pada stasiun ini ditemukan jumlah makrozoobentos paling
sedikit dikarenakan jarak 100 m sebelum pengambilan sampel telah masuk aliran
limbah industri rokok. Pada lokasi terdapat penumpukan sampah sehingga
kondisi lingkungan tidak mendukung untuk kehidupan makrozoobentos (lihat
Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Komposisi Keanekaragaman Makrozoobentos yang Ditemukan pada Stasiun II
Jenis-jenis makrozoobentos di Stasiun III ada 27 spesies yakni, Tubifex
sp. 2,99%, Thiara Scabra 1,19%, Actinopterygii dan Bithynia fuchisiana
masing-masing 0,15%, Melanoides Tuberculata 16,04%, Brotia sp. 25,64%, Pleurocera
10,49%, Parathelphusa convexa 1,95%. Kelas insekta yang diperoleh pada
stasiun III ini meliputi, Polymorphanisus Astictus 0,29%, Hydropsyche sp. 1,19%,
Parapoynynx 2,99%, Nymphilinae, Cloeon dan Macrostemum Fastusum
27
3,75%, Chironomus sp. dan polycentropus sp. masing-masing 0,89%, Torleya
dan Melanatrichia Serica 0,59 %, Platybaetis 0,74%, Indobaetis dan psychomyia
sp. masing-masing 4,19%, Cheumtopsyche sp. 0,74%, Chimarra sp 1,35 %,
Baetiella 4,05%, Baetis sp. 9,45%, serta Helicopsyche 5,85% (lihat Gambar.4.3)
Gambar 4.3 Komposisi Keanekaragaman Makrozoobentos yang ditemukan Pada Stasiun III
Pada stasiun !V diperoleh makrozoobentos 19 spesies, diantaranya
adalah Parapoynx, Cheumtopsyche sp., Melanoides tuberculata, Helicopsyche
dan Eubrianax masing-masing 0,68%. Selain itu juga terdapat Nymphulinae
1,38%, Chironomus sp. 11,03%, Cloeon 14,48%, Melanatrichia Serica dan
Neotelmatoscopus masing-masing 1,38%. Kemudian ditemukan pula Torleya
2,75%, Indobaetis 16,55%, Baetiella 13,79%, Psychomyia sp., Macrostemum
fastusum dan Caenodes. sp masing-masing 3,45%. Baetis sp. dan Platybaetis
7,58%, serta Parathelphusa convexa 4,83% juga diperoleh pada stasiun IV (lihat
28
Gambar 4.4 Komposisi Keanekaragaman Makrozoobentos yang ditemukan Pada Stasiun IV
Stasiun V didapatkan sebanyak 18 spesies yaitu, Poecilia reticulata
3,41%, Chironomus sp. 20,51%, Helicopsyche 11,11%, Ictinogomphus pertinax
dan Gerris remigis masing-masing 0,85%. Selain itu ditemukan pula
Macrostemum fastusum 2,56%, Bithynia Fuchisiana 0,85%, Brotia sp. 14,53 %
Melanatrichia Serica, Radix plicatulu, Baetis sp. dan Hydracnida masing-masing
1,71%. Kemudian ditemukan Parathelphusa convexa, Thiara scabra dan
Caenodes sp. masing-masing 5,13%, serta Melanoides tuberculata, Baetiella
dan Polycentropus sp. masing-masing 7,69%. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
29
Gambar 4.5 Komposisi Keanekaragaman Makrozoobentos yang ditemukan Pada Stasiun V
Pada stasiun VI diperoleh sebanyak 25 spesies yaitu, Cloeon dan
Parathelphusa convexa 3,33%, Platybaetis dan Radix plicatulus 1,33%,
Ictinogomphus pertinax, Cheumtopsyche sp., Hydracnida, Polycentropus sp. dan
Corbicula Fluminea masing-masing 0,67%, Melanoides tuberculata 25,33%,
Poecilia Reticulata 3,92%, Helicopsyche, Melanatrichia Serica dan Chimarra sp
2,67%, Tubifex sp., Caenodes sp. dan Hydropsyche sp. 2%, Psychomyia sp.
8,67%, Baetis sp. 7,33%, Baetiella dan Bithynia fuchisiana 5,33%, Indobaetis
4,67%, Chironomus sp. 10%, serta Gerris remigis 4,67% (Gambar.4.6).
30
Gambar 4.6 Komposisi Keanekaragaman Makrozoobentos yang Ditemukan pada Stasiun VI
4.2 Keanekaragaman Makrozoobentos Pada Setiap Stasiun Pengamatan
Analisis data yang diperoleh nilai indeks keanekaragaman (H’)
makrozoobentos pada masing-masing stasiun seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.2 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) pada Masing-masing Stasiun Penelitian
Pada Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman (H’)
yang diperoleh pada keenam stasiun penelitian berkisar H’ antara 1,34 – 2,70.
Nilai keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun VI yakni sebesar 2,70.
0
Stasiun Indeks Keanekaragaman
31
Tingginya nilai keanekaragaman di stasiun VI dikarenakan ditemukanya jumlah
individu makrozoobentos yang relatif merata hal ini sesuai dengan Brower et al
(1990) dalam Sinaga (2009) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan
mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak
spesies dengan jumlah individu masing-masing relatif merata. Dengan kata lain
apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu
yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang
rendah.
Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang terendah
terdapat pada stasiun 2 yakni 1,34. Hal ini diduga karena disekitar perairan
terdapat pemukiman penduduk dan peran serta limbah industri rokok yang
membuang limbahnya ke perairan, sehingga limbah yang masuk ke perairan ini
cenderung berupa bahan pencemaran organik yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi kontribusi nilai indeks keanekaragaman makrozoobentos.
Berdasarkan indeks keanekaragaman jenis dari hewan makrozoobentos
pada masing-masing lokasi pengamatan yang diamati, dapat diketahui tingkat
pencemarannya mengikuti pengelompokan data yang diperoleh (Sastrawijaya,
2000). Sesuai dengan kriteria indeks menurut Shannon dalam Odum (1996)
bahwa Sungai Sumber Bulu Kecamatan Sukorejo merupakan kriteria 1<H’<3.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa DAS Sumber Bulu Kecamatan Sukorejo
mempunyai stabilitas komunitas biota sedang atau tata air tercemar sedang.
Perbedaan nilai indeks keanekaragaman jenis tersebut dipengaruhi oleh
faktor fisika, yaitu arus dan kedalaman, selain itu ketersediaan makanan bagi
hewan makrozoobentos tersebut. Indeks keanekaragaman pada kategori rendah
tersebut disebabkan oleh keberadaan individu atau spesies pada semua stasiun
32
4. 3 Dominansi Makrozoobentos Pada Setiap Stasiun Pengamatan
Indeks Dominansi (C) yang diperoleh adalah 0,09 – 1,13, hal ini dapat
diperhatikan pada Tabel 4.3 sebagai berikut :
Tabel 4.3 Indeks Dominansi Masing-masing Stasiun Pengamatan
Stasiun Indeks Dominansi
I 0,36
II 0,35
III 1,13
IV 0,15
V 0,10
VI 0,09
Sesuai dengan pernyataan Odum (1993) jika nilai indeks dominansi
mendekati 0,5, maka tidak ada spesies yang mendominansi. Pada stasiun I, II,
IV, V dan VI nilai indeks dominansinya adalah 0,09 - 0,36, maka pada stasiun I,
II, IV, V dan VI tidak ada spesies yang mendominansi. Akan tetapi pada stasiun
III nilai Indeks Dominansi adalah 1,13, hal tersebut menunjukkan ada spesies
yang dominan.
Pada stasiun III didominansi oleh Gastropoda jenis Melanoides sp.
(Gambar 4.7). Menurut Musa et al (1996) dalam Zulkifli dan Setiawan (2011),
makrobentos dari kelas gastropoda yaitu Melanoides sp. berlimpah pada
perairan yang dicemari oleh limbah pertanian. Spesies tersebut ditemukan
hampir pada semua stasiun penelitian kecuali stasiun dua. Hal ini menunjukkan
bahwa spesies tersebut lebih toleran terhadap perubahan kondisi lingkungan,
sehingga memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Barnes (1999),
menyatakan bahwa jenis Gastropoda biasa hidup pada substrat berpasir dan
lumpur. Selain itu, hal ini juga berhubungan dengan sifat Gastropoda yang
lebih toleran terhadap perubahan berbagai parameter lingkungan sehingga
33
Kelas Crustaceae (Gambar 4.8) yang ditemukan adalah Parathelpusa
convexa paling banyak ditemukan di stasiun III, Menurut Fachrul (2007)
umumnya crustaceae ditemukan pada perairan yang lebih jernih, bersih dan
kandungan subtrat organik rendah.
Gambar 4.7. Melanoides sp. Gambar 4.8 Parathelpusa convexa
Hydropysche didapatkan di stasiun I, III dan VI karena aliran sungai
pada ke tiga stasiun tersebut deras sesuai dengan pernyataan Suwignyo et al
(1998) bahwa habitat Larva Hydropysche yang merupakan hewan
makrozoobentos dari ordo Trichoptera adalah sungai dangkal dengan aliran
lambat sampai deras dan kandungan oksigen terlarut tinggi, substrat batu, kerikil,
pasir, lumpur, sampah atau tumbuhan air.
Larva Ephemeroptera hanya ditemukan di Stasiun I, III, IV, V dan VI.
Menurut Roback (1974), larva Ephemenoptera kurang sensitif atau peka
terhadap pencemaran organik. Walaupun demikian, bahan organik yang tinggi
akan menjadi faktor pembatas. Jenis yang banyak ditemukan yaitu Baetis sp.
34
Gambar 4.9 Hydropysche Gambar 4.10 Baetis sp.
Hasil ditemukannya larva Chironomidae tertinggi adalah pada stasiun III
sebanyak 26 individu, kemudian di susul terbanyak ke dua dengan jumlah 24
individu pada stasiun V (lihat Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Jumlah Total Larva Chironomidae yang Tertangkap pada Masing-masing Stasiun Pengamatan
Pada stasiun I larva ini tidak ditemukan dikarenakan pada stasiun I
lokasi merupakan daerah hulu sehingga belum terlalu tercemar, Hal ini sesuai
dengan Sudarso (2002) Chironomidae akan melimpah di air sungai dengan
35
pencemaran meningkat menjadi pencemaran berat (Sudarso, 2002). Roback
(1974) juga mengatakan, larva Chiromidae biasanya toleran terhadap
pencemaran organik. Beberapa larva Chironomidae memiliki Hb (haemoglobin)
dalam darahnya yang memungkinkan mereka dapat hidup di sungai dengan
konsentrasi oksigen terlarut cukup rendah.
Kehadiran larva Diptera khususnya Chironomidae (Gambar 4.12)
menunjukkan telah terjadi pencemaran organik di Sumber Bulu. Menurut
Michael (1984) dalam Rosyadi et al (2009), air yang terpolusi oleh bahan
organik yang cukup berat, hanya mengandung bakteri, jamur dan hewan yang
tahan seperti cacing Tubifex dan larva Chironomid, selanjutnya Sastrawijaya
(2000) dalam Rosyadi et al (2009), menjelaskan bahwa indikator pencemaran
berat ditandai dengan adanya organisme makrobentos jenis Nais sp.,
Chironomus sp., dan Tubifex sp. Keberadaan Chironomus sp. dan Tubifex sp.,
menandakan bahwa pemanfaatan perairan untuk kegiatan domestik oleh
masyarakat di sekitar sungai termasuk kakus. Jenis Chironomus sp. dan
Tubifex sp., bersifat toleran dan memiliki kemampuan osmoregulasi yang baik,
sehingga organisme tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi ekstrim
yang ada di sekitarnya.
36
Pada Stasiun I keberadaan makrozoobentos, kelas insekta berjumlah 134
ekor yang terdiri dari ordo ephemeroptera (larva lalat sehari perenang) 89 ekor
dan ordo trichoptera (larva pita-pita berumah) 5 ekor. Dengan ditemukannya
indikator tersebut maka kualitas air pada stasiun I tercemar ringan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Trihadiningrum dan Tjondronegoro (1998) bahwa kualitas air
tingkat cemaran tercemar ringan indikator makrozoobentosnya meliputi ordo
Ephemeroptera (Leptophlebiidae, Pseudocloeon, Ecdyonuridae, caebidae) dan
Trichoptera (Hydropschydae, psychomydae).
Pada Stasiun II makrozoobentos yang ditemukan ada 11 ekor ordo
Hemiptera (kepik perenang punggung, ulir-ulir) dan 5 ekor ordo diptera yakni
jenis cironomus sp. Menurut Trihadiningrum dan Tjondronegoro (1998) bahwa
kualitas air tingkat cemaran sangat tercemar indikator makrozoobentosnya
meliputi ordo Hemiptera (Gambar 4.14) dan Diptera.
Pada Stasiun III makrozoobentos yang ditemukan meliputi, ordo
Tricoptera sebanyak 63 ekor, ordo Ephemeroptera 173 ekor, gastropoda 357
ekor, Bivalvia (kijing) 5 ekor (Gambar 4.15) serta Crustaceae 13 ekor. Menurut
Trihadiningrum dan Tjondronegoro (1998) bahwa air dikategorikan tercemar
ringan apabila terdapat organisme dari ordo Ephemeroptera (Leptophlebiidae,
Pseudocloeon, Ecdyonuridae, caebidae), Trichoptera (Hydropschydae,
psychomydae), Mollusca (Pulmonata, Bivalvia) dan Crustaceae (Gammaridae).
37
Pada stasiun IV makrozoobentos yang ditemukan meliputi, ordo
Tricoptera sebanyak 14 ekor, ordo Ephemeroptera 96 ekor, gastropoda 6 ekor
dan crustaceae 7 ekor. Pada stasiun V makrozoobentos yang ditemukan
meliputi, ordo Tricoptera sebanyak 27 ekor, ordo Ephemeroptera 17 ekor,
gastropoda 35 ekor dan crustaceae 6 ekor. Pada stasiun VI makrozoobentos
yang ditemukan meliputi, ordo Tricoptera sebanyak 30 ekor, ordo Ephemeroptera
36 ekor, gastropoda 49 ekor dan crustaceae 5 ekor.
Menurut Trihadiningrum dan Tjondronegoro (1998) bahwa air
dikategorikan tercemar ringan apabila terdapat organisme dari ordo
Ephemeroptera (Leptophlebiidae, Pseudocloeon, Ecdyonuridae, caebidae),
Trichoptera (Hydropschydae, psychomydae), Mollusca (Pulmonata, Bivalvia) dan
Crustaceae (Gammaridae). Maka kualitas air pada stasiun IV, V dan VI
dikategorikan tercemar ringan.
4.4 Pengukuran Parameter Lingkungan Fisika Kimia Air
Hasil penelitian yang dilakukan pada keenam stasiun penelitian
diperairan sungai sumber bulu kecamatan sukorejo diperoleh rata-rata faktor
fisika kimia pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Nilai Rata-rata Parameter Lingkungan yang Diukur pada Masing-masing Lokasi Pengambilan Sampel
Baku Mutu Air (PP No. 28 Tahun 2001) Kelas IV