5.1. Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia
Perkembangan ekonomi karet alam dunia dari sisi produksi relatif terus
mengalami peningkatan. Produksi karet alam dunia pada tahun 2007 adalah
sekitar 9.7 juta ton, atau meningkat rata-rata 5 persen per tahun selama
(2005-2007). Sementara itu selama periode 1990-2000, rata-rata laju pertumbuhan
produksi karet alam dunia baru mencapai 3 persen per tahun. Periode berikutnya
(2000-2005) pertumbuhan tingkat produksi menunjukkan peningkatan sebesar 6
persen seperti pada Tabel 2. Selama periode 2005-2007, Indonesia dan China
mengalami pertumbuhan produksi karet alam relatif tinggi dibandingkan negara
produsen lainnya yakni masing-masing sebesar 11 persen dan 20 persen.
Sedangkan untuk pangsa produksi terbesar (produsen utama) pada tahun
1990 adalah Malaysia. Namun pada tahun berikutnya pertumbuhan produksi
Malaysia mengalami pertumbuhan produksi negatif selama periode 1990-2000,
di mana dari semula pangsa produksinya mencapai 24.8 persen turun menjadi 9
persen. Hal ini terjadi dikarenakan faktor harga karet yang sangat rendah dan
adanya komoditas lain yaitu kelapa sawit yang dinilai jauh lebih menguntungkan.
Namun dengan tingkat harga yang saat ini cukup baik, membuat perkebunan karet
di Malaysia telah berproduksi kembali.
Berikutnya mulai tahun 2000-2007 Thailand menjadi produsen terbesar
pertama di dunia, baru kemudian posisi kedua diduduki Indonesia dan selanjutnya
produksi karet dunia sebesar 31.2 persen, Indonesia sebesar 28.6 persen kemudian
Malaysia menguasai 12.2 persen dari total produksi dunia.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Karet Alam Berdasarkan Produsen Utama Dunia Tahun 1990-2007
Negara Produsen
Produksi (000 ton) Pertumbuhan/tahun (%)
1990 2000 2005 2006 2007 1990-2000 2000-2005 2005-2007 Thailand 1 271 (24.4) 2 346 (34.4) 2 937 (33.0) 3 137 (31.8) 3 056 (31.2) 8.45 5.04 2.02 Indonesia 1 262 (24.2) 1 556 (22.8) 2 271 (25.5) 2 637 (26.8) 2 797 (28.6) 2.33 9.19 11.60 Malaysia 1 291 (24.8) 615 (9.0) 1 126 (12.6) 1 283 (13.0) 1 199 (12.2) -5.24 16.6 3.24 India 324 (6.2) 629 (9.2) 771 (8.6) 853 (8.6) 806 (8.2) 9.41 4.52 2.27 China 264 (5.0) 445 (6.5) 428 (4.8) 533 (5.4) 600 (6.1) 8.86 2.92 20.09 Total Dunia 5 210 6 810 8 892 9 846 9 782 3.07 6.11 5.00 Sumber: IRSG, 2008.
Keterangan: (...) angka dalam kurung merupakan pangsa produksi
Pertumbuhan konsumsi agregat karet alam dunia selama dekade
(1990-2000) tumbuh rata-rata lebih dari 3 persen/tahun dan meningkat rata-rata sebesar
6.22 persen/tahun selama periode 2005-2007 dapat dilihat pada Tabel 3. Pada
tahun 2007 konsumsi karet alam dunia mencapai 9.83 juta ton sedangkan produksi
dunia sekitar 9.78 juta ton per tahun. Angka tersebut mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2000, dimana konsumsi dunia sebanyak 7.34 juta ton dengan
produksi sebanyak 6.81 juta ton. Antara konsumsi dan produksi karet dunia
semakin menunjukkan adanya defisit produksi, sehingga menjadi potensi bagi
Peningkatan konsumsi karet alam dunia mengindikasikan terjadi
peningkatan permintaan karet alam dunia. Permintaan karet alam dunia terjadi
karena perkembangan industri-industri barang jadi karet dunia sehingga memberi
pengaruh pada perkembangan pasar karet alam dunia.
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Karet Alam Berdasarkan Negara Konsumen Tahun 1990-2007
Negara Konsumen
Konsumsi (000 ton) Pertumbuhan/tahun (%)
1990 2000 2005 2006 2007 1990- 2000 2000- 2005 2005- 2007 Amerika Serikat 808 (15.6) 1 191 (16.2) 1 330 (15.2) 1 109 (12.0) 1 194 (12.1) 4.74 2.33 -5.11 Eropa 1 256 (24.2) 1 483 (20.2) 1 558 (17.8) 1 638 (17.7) 1 686 (17.1) 1.81 1.01 4.10 China 600 (11.6) 1 080 (14.7) 2 085 (23.8) 2 400 (26.0) 2 570 (26.1) 8.00 18.61 11.63 Jepang 677 (13.0) 752 (10.2) 796 (9.1) 874 (9.48) 833 (8.5) 1.11 1.17 2.32 Lainnya 1 839 (35.5) 2834 (38.6) 2 976 (34.0) 4 069 (44.1) 3 549 (36.0) 5.41 1.00 9.63 Total Dunia 5 180 7 340 8 745 9 216 9 833 4.17 3.82 6.22 Sumber: IRSG, 2008.
Keterangan: (...) angka dalam kurung merupakan pangsa konsumsi
Pertumbuhan konsumsi karet alam dunia tersebut antara lain terutama
disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi karet alam China dan negara berkembang
lainnya. Data IRSG tahun 2008 menunjukkan bahwa konsumsi karet alam China
sebesar 2.57 juta ton dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 11.63 persen
selama periode 2005-2007. Sedangkan pangsa konsumsinya mencapai 26.1
persen, baru kemudian Eropa 17.1 persen dan kemudian Amerika Serikat sebesar
Menurut Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), konsumsi karet
China diprediksi akan mengalami kenaikan hingga 30 persen pada tahun 2020,
sementara permintaan dari negara lainnya akan stabil atau menurun. Selama ini,
sekitar 70 persen kebutuhan karet Cina dipenuhi Thailand. Pertumbuhan industri
Cina yang sangat mengesankan terutama industri otomotif dan perkapalan
membuat negara ini membutuhkan komoditas karet dalam jumlah yang besar,
sehingga menempatkan China merupakan konsumen terbesar karet dunia saat ini.
Melihat besarnya tingkat konsumsi karet alam yang tinggi di China memberi
peluang bagi perluasan pasar karet alam dunia untuk menjadi sasaran baru bagi
negara produsen utama karet alam untuk melakukan peningkatan ekspor.
Sementara Amerika Serikat, Jepang, Eropa, India, dan Korea merupakan
negara konsumen karet alam utama lainnya. Melihat kecenderungan konsumsi
karet alam dunia, maka negara konsumen utama telah mengalami pergeseran dari
kawasan Amerika–Eropa ke kawasan Asia Pasifik.
Namun belakangan konsumsi karet alam mengalami penurunan pasca
terjadinya krisis global pada akhir tahun 2008. Krisis global telah menyebabkan
melemahnya industri otomotif yang dampaknya secara nyata pada penurunan
konsumsi karet alam pada negara-negara konsumen utama seperti Amerika,
Jepang dan China. Tercatat sampai akhir tahun 2008 konsumsi sedikit mengalami
penurunan dari tahun 2007 yakni sebesar 9.7 juta ton dengan tingkat produksi
sebesar 9.8 juta ton (IRSG, 2009).
5.2. Pasar Karet Alam dan Karet Sintetis Dunia
Karet alam secara global diperdagangkan pada pasar fisik dan berjangka
bahan baku di negara produsen dengan barang jadi (direct trade). Beberapa pasar
karet alam terkemuka yang ada adalah:
a) Singapore Commodity Exchange (SICOM)
Perdagangan komoditi seperti karet, rempah, dan kelapa saat ini telah
dilakukan sejak awal abad ke -19 untuk kawasan ini. Pasar ini berkembang
sebagai pasar yang modern, didalamnya termasuk aktivitas offsheet dan paper
trading untuk hedging dari segala jenis risiko yang mungkin timbul. Kegiatan
tersebut menjadikan Singapura merupakan salah satu pusat perdagangan komoditi
internasional yang penting, dimana pedagang besar (mega–trader) telah
melakukan operasi di pasar ini. SICOM mempunyai keterkaitan yang erat dengan
pusat perdagangan komoditi lainnya, seperti Tokyo, London, New York dan
Chicago.
Singapura sekarang dikenal sebagai pasar utama perdagangan berjangka
karet dan pusat perdagangan karet terbesar di dunia. Perdagangan berjangka karet
telah dilakukan sejak tahun 1920an. Fasilitas clearing untuk transaksi berjangka
disediakan oleh Singapore International Chamber of Commerce Rubber
Association. Kemudian diambil alih oleh Rubber Association of Singapore, yang
diprivatisasi pada tahun 1992 sebagai RAS Commodity Exchange. Selanjutnya
berubah nama menjadi Singapore Commodity Exchange (SICOM) pada bulan
Februari 1994 agar bisa lebih merefleksikan misinya sebagai bursa komoditi
dengan jangkauan yang luas. Misi dari SICOM adalah mengembangkan
perdagangan komoditi primer di kawasan Asia (SICOM, 2004).
Pada SICOM, karet jenis RSS 3 diperdagangkan secara fisik dan jenis
diperdagangkan ini menjadi acuan negara-negara produsen karet di wilayah
sekitarnya, terutama Indonesia.
a) Tokyo Commodity Exchange (TOCOM)
TOCOM adalah pasar berjangka komoditi terbesar kedua di dunia dan
terbesar di Jepang. TOCOM merupakan kontrak berjangka untuk komoditi
minyak mentah, gasoline, minyak tanah, emas, perak, platinum, palladium dalam
bentuk kontrak elektronik dan kontrak berjangka untuk karet pada trading floor.
Kontrak berjangka untuk energi adalah pasar pertama yang berhasil untuk tingkat
Asia dengan rekor 33 milyar lot pada tahun 2002 (TOCOM, 2004). TOCOM
adalah organisasi nirlaba berdasarkan Commodity Exchange Law (1950), yang
meregulasi pasar berjangka komoditi dan perdagangan opsi (option) di Jepang
TOCOM didirikan pada bulan November 1984, melalui penggabungan Tokyo
Textile Exchange, Tokyo Rubber Exchange dan the Tokyo Gold Exchange, dalam
mewujudkan pasar berjangka yang lebih komprehensif di Jepang. TOCOM telah
mengalami kemajuan yang pesat dalam 20 tahun terakhir. Karet alam yang
diperdagangkan secara berjangka adalah RSS3.
b) Agricultural Future Trading of Thailand (AFET)
Agricultural Future Trading of Thailand (AFET) didirikan pada tahun
2004 sebagai regulator pasar berjangka komoditas pertanian di Thailand, dengan
adanya AFET akan didapat beberapa keuntungan seperti: adanya fasilitas hedging
sebagai alat pengendalian resiko bagi produsen, prosesor dan pemakai komoditi
yang bersangkutan, price discovery sebagai alat yang efektif untuk menentukan
harga keseimbangan bagi pembeli dan penjual, serta pasar yang lebih efisien dan
persen. Pada tahun 2005 tercatat volume transaksi perdagangan karet RSS3
mecapai 61406 dengan nilai 369 711 USD dan menjadi nilai perdagangan terbsar
dibanding komodi lainnya yang juga diperdagangkan (Shim, 2006).
c) Shanghai Futures Exchange (SHFE)
Shanghai Futures Exchange (SHFE) mulai beroperasi pada tahun 2003,
mempunyai fungsi hedging dan price discovery pada bursa berjangka untuk
tembaga, aluminium dan karet alam. SHFE telah menjadi pusat rujukan harga
karet di dunia. Hal tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi China
yang pesat dan kebijakan pintu terbuka dalam industri karet asalkan kuota impor
untuk karet alam dihapus, yang mana hal ini akan menjadi faktor positif bagi
perkembangan bursa tersebut (Peng dalam Anwar 2005).
Saat ini karet yang digunakan di industri terdiri atas karet alam dan karet
sintetis. Penggunaan karet sintetis jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan
karet alam seperti pada Gambar 7. Terlihat sejak tahun 2002-2007 bahwa pangsa
(share) pemakaian karet sintesis selalu lebih besar dibandingkan pangsa
pemakaian karet alam seperti misalnya, pada tahun 2007 pangsa pemakaian karet
sintesis sebesar 57 persen sedangkan sisanya menggunakan karet alam.
Walaupun karet alam jumlah produksi dan konsumsinya di bawah karet
sintetis, tetapi sesungguhnya karet alam belum dapat digantikan oleh karet
sintetis. Keunggulan yang dimuliki karet alam sulit ditandingi oleh karet sintetis.
Adapun kelebihan-kelebihan yang dimiliki karet alam dibanding karet sintetik
adalah: memiliki daya elastisitas atau daya lenting yang sempurna, memiliki
plastisitas yang baik sehingga pengolahnannya mudah, mempunyai daya aus yang
keretakan. Walaupun demikian, karet sintetis memiliki kelebihan seperti tahan
terhadap berbagai zat kimia dan harganya yang cenderung bisa dipertahankan
supaya tetap stabil (Penebar Swadaya, 2008).
Sumber: IRSG, 2008.
Gambar 7. Pangsa Konsumsi Karet Alam dan Karet Sintesis
Harga dan supply karet alam selalu mengalami perubahan, bahkan
kadang-kadang harga berfluktuasi cukup tinggi. Harga bisa turun drastis sehingga
dirasakan merugikan bagi para pelaku yang terlibat dalam usaha karet. Sedangkan
karakteristik harga karet sintetis lebih stabil dan industrinya spesifik. Hal ini
diperkuat berdasarkan hasil nilai variansnya yang menunjukkan nilai karet sintesis
(SBR) sebesar 0.22 yang berarti lebih kecil dibandingkan karet alam (TSR20)
sebesar 0.39. Hasil ini membuktikan bahwa tingkat fluktuasi harga karet alam
lebih tinggi dibandingkan tingkat fluktuasi pada harga karet sintesis seperti pada
Gambar 8. Selain itu pula rantai pemasaran perdagangan karet sintetis lebih
2002 2003 2004 2005 2006 2007 Ka ret Sintetis 59 59 58 57 57 57 Ka ret Ala m 41 41 42 43 43 43 -10 20 30 40 50 60 70 sh a re (% )
pendek dibandingkan rantai pemasaran karet alam, hal ini dapat terjadi karena
produsen dan konsumen negara serta perusahaan yang menghasilkan bahan baku
karet sintesis terdapat dalam satu kawasan. Penyesuaian harga juga dipengaruhi
oleh perubahan harga minyak mentah yang menjadi bahan dasar pembuatan karet
sintetis.
Sumber: IRSG, 2008.
Gambar 8. Harga Karet Sintesis Jenis SBR dan Harga Karet Alam Jenis TSR20
Namun, meskipun pasar karet alam lebih sedikit dibanding dengan pasar
karet sintetis, namun produksi maupun konsumsi karet alam masih cukup besar.
Salah satu kelebihan dari karet alam antara lain dilihat dari segi kestabilan
harganya yang tidak terpengaruh secara langsung oleh harga minyak dunia. Tidak
demikian halnya dengan harga karet sintetis yang terkena dampak langsung oleh
kenaikan harga minyak dunia yang terjadi belakangan ini.
2002 2003 2004 2005 2006 2007 SBR 1092 1263 1339 1607 1710 2012 TSR20 752 1004 1206 1386 1946 2152 0 500 1000 1500 2000 2500 US D/ T O N
5.3. Persetujuan dalam Perdagangan Karet Alam Internasional
Karet alam adalah salah satu komoditi pertanian yang diperdagangkan di
pasar komoditas dunia. Persetujuan dalam perdagangan karet alam Internasional
umumnya dilakukan dalam rangka mengatasi fluktuasi harga. Perjanjian
internasional mengenai karet alam, pertama kali dicetuskan oleh komisi
perdagangan dan pembangunan perserikatan bangsa-bangsa UNCTAD (United
Nations Commision for Trade and Development). Perjanjian tersebut lebih di
kenal dengan sebutan International Natural Rubber Agreement (INRA) yang
pertama kali disetujui pada tahun 1979. Tujuan utama dari perjanjian ini adalah
untuk menstabilkan harga karet alam di pasar Internasional dalam jangka
menengah atau jangka panjang sebagai dampak dari keseimbangan pertumbuhan
permintaan dan penawaran.
Instrumen yang dilakukan untuk mengintervensi pasar karet alam guna
tercapainya tujuan dari perjanjian tersebut adalah dengan menetapkan persediaan
penyangga (buffer stock). Kapasitas buffer stock yang disetujui adalah sebesar 550
ribu ton. Pelepasan dan pembelian buffer stock didasarkan pada harga referensi
yang disesuaikan dengan tren pasar dari harga karet alam (Prabowo, 2006). Untuk
mengatur dan menjamin efektifitas pelaksanaan instrumen ini, dibentuklah
organisasi karet alam internasional atau INRO (International Natural Rubber
Organisation) yang beranggotakan negara-negara produsen/negara eksportir
(Indonesia, Malaysia, Nigeria, Sri Lanka dan Thailand) dan negara
konsumen/importir (China; Masyarakat Eropa, yaitu: Austria,
Belgia-Luxembourg, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia,
Menurunnya harga karet alam mulai yang terjadi sejak krisis moneter pada
bulan Juli 1997, dimana pada saat itu nilai mata uang negara-negara produsen
karet alam (seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia) telah terdepresiasi dengan
nilai mata uang US dollar. Pada mulanya, masyarakat perkaretan Indonesia
mendapat keuntungan akibat terpuruknya nilai rupiah terhadap US dollar sampai
10 kali lipat (300-400 persen) dibandingkan dengan depresiasi negara-negara
produsen karet utama lainnya, yaitu Thailand dan Malaysia (30-40 persen).
Namun akibat peningkatan ekspor/supply yang melebihi kapasitas penyerapan
konsumsi karet alam dunia menyebabkan harga karet alam semakin terpuruk.
Pihak yang paling menderita akibat terus menurunnya harga karet di pasaran
dunia adalah para petani karet, dan apabila permasalahan ini tidak diatasi,
dikhawatirkan para petani tidak tertarik lagi untuk berusaha di bidang karet.
Kemudian negara-negara eksportir karet alam yang tergabung dalam
keanggotaan INRO pada tahun 1998 mengusulkan peningkatan harga referensi
sebesar 5 persen, terkait dengan krisis ekonomi dan mata uang yang menimpa
negara-negara kawasan produsen karet alam. Namun usulan tersebut ditolak
negara-negara importir karena bertentangan dengan tren pasar sebagai dasar
penentuan harga referensi. Sebagai tanggapan dari penolakan ini pada September
1999, tiga negara yaitu Malaysia, Thailand dan Sri Lanka memutuskan untuk
menarik diri dari INRA. Pada bulan Desember 1999, dewan INRO akhirnya
memutuskan untuk melikuidasi organisasi ini dan buffer stock yang dimiliki
menjadi sekitar 140 ribu ton. Produsen kemudian mengambil alih cadangan untuk
Dalam perkembangan selanjutnya, tugas dan tujuan dari INRO untuk
menciptakan pembangunan pasar karet alam Internasional yang sehat, diambil alih
oleh International Rubber Study Group (IRSG) yang menjadi forum kerja sama
internasional untuk komoditas karet alam. Hal ini disebabkan International
Natural Rubber Organization (INRO), yang saat itu diharapkan dapat mengatasi
terus terpuruknya harga karet alam di pasaran internasional, ternyata tidak
membawakan hasil dan bahkan harga semakin menurun.
Sejak dibubarkannya INRO, tidak ada lagi organisasi yang berfungsi
sebagai stabilisator harga. Bila terjadi fluktuasi harga, tidak ada lagi organisasi
yang berfungsi seperti INRO. Kemudian Association of Natural Rubber
Producing Countries (ANRPC), suatu organisasi yang anggotanya terdiri dari
negara-negara produsen karet alam, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai
pengganti INRO, juga tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Dalam upaya mengatasi menurunnya harga karet alam, kemudian
pemerintah Thailand, Indonesia dan Malaysia telah sepakat mendirikan
perusahaan patungan karet alam bernama "International Rubber Consortium
Limited (IRCo)". Kesepakatan pendirian IRCo telah tertuang dalam Memorandum
of Undrstanding (MoU) yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan
Perdagangan RI, Menteri Agriculture and Cooperatives Thailand dan Menteri
Primary Industries Malaysia tanggal 8 Agustus 2002 di Bali.
IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema stabilisasi harga yang lain,
yaitu Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme
(AETS) sebagaimana disepakati dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali
meliputi pembelian dan penjualan karet alam. Mekanisme beroperasinya IRCo,
secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Apabila harga karet alam pada suatu saat turun hingga menyentuh pada
tingkat reference price yang telah disepakati, maka perlu dilaksanakannya
langkah-langkah Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export
Tonnage Scheme (AETS). Dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali
Declaration) 2001”, ketiga negara telah sepakat melaksanakan pengurangan
produksi sebesar 4 persen setiap tahunnya dalam jangka waktu tertentu
melalui mekanisme SMS, dan melakukan pengurangan ekspor sebesar 10
persen melalui mekanisme AETS. Kebijakan AETS dan SMS mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2002.
2. Apabila harga karet alam terus menurun secara drastis dan mekanisme SMS
maupun AETS tidak berhasil mengangkat harga karet alam pada tingkat harga
yang wajar sesuai reference price, maka perlu ada tindakan yang harus
dilakukan oleh Board of Directors IRCo, yang salah satu diantaranya adalah
melakukan pembelian karet alam.
Seiring dengan terbentuknya kerjasama tripartit antara tiga negara
produsen karet alam dunia tersebut, harga karet alam di pasaran dunia
memperlihatkan kecenderungan yang membaik. Pada akhir tahun 2001 (sebelum
ditandatanganinya Bali Declaration 2001) harga karet alam berkisar antara 46
USC/kg– 52 USC/kg. Setelah masing-masing negara anggota melaksanakan
AETS (Agreed Export Tonnage Scheme) dan SMS (Supply Management Scheme),
Pada bulan Januari 2002 mencapai 53.88 USC/kg dan pada bulan Agustus
2003 mencapai 83.06 USC/kg. Dengan ditandatanganinya MoU oleh tiga negara
pada tanggal 8 Agustus 2002, harga merangkak naik dan pada bulan September
2002 harga mencapai 89.55 USC/kg. Pada bulan Maret 2003, harga mencapai
tingkat tertinggi yaitu 96.50 USC/kg (sejak krisis moneter Juli 1997), kemudian
menurun lagi, dan pada bulan April 2003 harga karet turun menjadi 81.00
USC/kg, namun pada bulan Mei 2003 menjadi 82.00 USC/kg. Setelah itu harga
cenderung meningkat hingga pada tahun 2005 harga karet telah menyentuh 2.00
USC/ kg untuk SIR 20 di SICOM Singapura (Departemen Pertanian, 2007).
Kemudian sejak terjadi krisis global akhir tahun 2008 membuat ITRC dan
International Rubber Consortium Limited (IRCo) bertempat di Bangkok pada 28
dan 29 Oktober 2008 kembali menyepakati tiga langkah menstabilkan pasar
antara lain, dua langkah jangka pendek yaitu Aggreed Export Tonnage Scheme
(AETS) dan Strategic Market Operation (SMO), dan satu langkah jangka panjang
Supply Management Scheme (SMC). Ketiga skema di atas akan
diimplementasikan ke upaya percepatan program peremajaan (accelerated
replanting). Program pengurangan ekspor itu dimaksudkan untuk menjaga
stabilitas harga.
Secara total ITRC menyepakati pengurangan ekspor karet alam dari tiga
negara itu sebesar 915 ribu ton selama tahun 2009 atau sekitar 16 persen dari
volume ekspor tahun 2008 yang diperkirakan tidak jauh berbeda dari ekspor karet
alam tahun 2007 yang sebanyak 5.5 juta ton. Indonesia mengurangi ekspor
sebanyak 116 ribu ton, sedangkan Malaysia sebanyak 22 ribu ton dan terbesar
2009 itu sendiri ditetapkan masing-masing sebanyak 700 ribu ton melalui skema
kesepakatan ketiga negara (Agree Export Tonnage Scheme/AETS) dan 215 ribu
ton dari peremajaan pohon karet di tiga negara tersebut. Sedangkan langkah urgen
jangka pendek ada kesepakatan AETS dan jangka panjang dengan cara replanting,
diversifikasi tanaman dalam negeri dan strategic market operation, yaitu operasi
pasar apabila dibutuhkan.
Faktanya eksportir karet di Indonesia pada kuartal I/2009 mengurangi
volume ekspor sebanyak 197.423 ton atau 170 persen melebihi batas yang telah
disepakati tiga negara anggota ITRC yakni sebanyak 116.000 ton. Dengan
demikian, volume ekspor selama kuartal I lebih rendah dari target yang
ditetapkan. Padahal berdasarkan kesepakatan ITRC, Indonesia dapat mengekspor
karet selama semester I tahun 2009 sebanyak 499.459 ton, tetapi realisasi ekspor
hanya 418.037 ton. Pengurangan kuota ekspor tersebut antara lain bertujuan
menyeimbangkan pasokan sehingga harga tidak jatuh dan diharapkan stabil.
Selain mengurangi volume ekspor, ketiga negara juga sudah menyepakati batas
harga jual/ekspor yang mana pihak Gapkindo selaku pihak yang diminta untuk
mengawasi jalanya kesepakatan sudah meminta perusahaan anggotanya untuk
tidak menjual karet di bawah 1.35 dolar AS per kg (Honggokusumo, 2009).
5.4. Perkembangan Ekonomi Karet Alam Indonesia
Indonesia merupakan produsen karet alam terbesar kedua di dunia setelah
Thailand dengan produksi lebih dari 2 juta ton atau sebesar 26 persen dari total
perkebunan pada umumnya terkait erat dengan tingkat keuntungan pengusahaan
dan kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan areal perkebunan ini.
Selama kurun waktu 40 tahun (1967-2007), areal perkebunan karet di
Indonesia meningkat rata-rata 1.50 persen per tahun. Namun, pertumbuhan ini
hanya terjadi pada areal karet rakyat (1.98 persen per tahun), sedangkan pada
perkebunan besar negara dan swasta cenderung menurun sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Luas Areal dan Produksi Karet di Indonesia Tahun 1967-2007
Kepemilikan
Luas Areal (000 ha) Produksi (000 ton) Pertumbuhan/tahun (%) Tahun Tahun
Luas Areal Produksi 1967 2007 1967 2007 PR 1 616 (76) 2 899 (85) 500 (70.5) 2 190 (79.5) 1.98 8.45 PBN 222 (10.5) 239 (7) 112 (16) 277 (10) 0.19 3.68 PBS 291 (13.5) 276 (8) 96 (13.5) 288 (10.5) -0.13 5.00 Total 2 131 3 414 709 2 755 1.50 7.20
Sumber: Departemen Pertanian, 2008.
Keterangan (...) angka dalam kurung merupakan pangsa
Tabel 4 ini juga memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan luas areal
rata-rata per tahun Perkebunan Swasta (PS) relatif lebih rendah bahkan mengalami
pertumbuhan negatif sebesar 0.13 persen daripada laju pertumbuhan Perkebunan
Besar milik Negara (PBN) apalagi dibandingkan dengan laju pertumbuhan areal
Perkebunan Rakyat (PR).
Namun jika dilihat dari sisi produksi pertumbuhan selama periode
Negara mengalami pertumbuhan sebesar 3.68 persen dan Perkebunan Swasta
sebesar 5.00 persen seperti pada Tabel 4.
Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar (85
persen) dikembangkan secara swadaya murni dan sebagian kecil lainnya yaitu
sekitar 288.039 ha dibangun melalui proyek PIR, PRPTE, UPP Berbantuan,
Partial dan Swadaya Berbantuan. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan areal
perkebunan karet rakyat yang menggunakan klon unggul yang produktivitasnya
cukup tinggi. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan pertumbuhan
produksi tertinggi terjadi pada perkebunan rakyat (2.1 juta ton ).
Namun tingkat produktivitas yang dimiliki Perkebunan Rakyat masih
sangat rendah ( 796 kg/ha/th) bila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan
besar negara (1.039 kg/ha/th) maupun swasta (1.202 kg/ha/th). Hal ini antara lain,
disebabkan sebagian besar (>60 persen) tanaman karet petani masih menggunakan
bahan tanam asal biji (seedling) tanpa pemeliharaan yang baik dan tingginya
proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13
persen dari total areal) (Departemen Pertanian, 2007).
Untuk areal perkebunan karet di Indonesia tersebar terutama di sepanjang
pulau Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Potensi peningkatan produksi karet nasional pada jangka menengah terdapat pada
areal karet yang ada (exisiting) saat ini (2007) seluas 3.4 juta ha melalui upaya
peremajaan dan rehabilitasi tanaman. Namun pada jangka panjang (2010-2025)
pengembangan areal perkebunan karet dapat dilakukan pada wilayah-wilayah
Distribusi perkebunan karet alam milik rakyat berdasarkan daerah tingkat
propinsi diuraikan pada Tabel 5. Propinsi penghasil karet alam terbesar di
Indonesia pada tahun 2006 terdapat pada propinsi Sumatera Selatan dengan total
produksi 648 ribu ton dengan luas areal sebesar 517 ribu ha, disusul Sumatera
Utara dengan total produksi sebesar 427 ribu ton dengan luas sebesar 456 ribu ha.
Tabel 5. Produksi dan Luasan Karet di Indonesia Berdasarkan Propinsi Tahun 2006
Propinsi Luasan (ha) Produksi (ton) Produktivitas (Kg/ha) Sumatera Selatan 648 754 517 799 980 Sumatera Utara 456 986 427 872 1 057 Riau 369 911 350 808 1 045 Jambi 433 739 292 653 814 Kalimantan Barat 379 038 256 751 819 Kalimantan Tengah 255 657 189 372 986 Sumatra Barat 124 256 90 468 1 017 Kalimantan Selatan 129 946 104 216 1 012 Aceh 117 711 83 368 849 Bengkulu 71 334 49 980 921 Lampung 81 466 68 366 1 165 Total Indonesia 3 346 427 2 637 231 967
Sumber: Departemen Pertanian, 2007.
Kondisi perkaretan Indonesia menunjukkan kurang lebih hampir 90 persen
dari total produksi karet nasional ditujukan untuk ekspor dengan negara tujuan
utama USA, China, Singapura, Jepang dan Jerman, sedangkan sisanya diserap
oleh industri dalam negeri. Kebutuhan karet alam dalam negeri masih tergolong
rendah dibanding dengan jumlah yang diproduksi setiap tahunnya. Terlihat
konsumsi karet dalam negeri hanya mencapai 223 ribu ton pada tahun 2008 yang
dalam negeri hanya mencapai 70 ribu ton pada tahun 2008 seperti tampak pada
Tabel 6.
Tabel 6. Konsumsi Karet dalam Negeri Tahun 2006-2010 Konsumsi karet dalam negeri (juta ton)
Sumber 2006 2007 2008 2009*) 2010*)
Bersumber dari karet padat
• Ban 0.19 0.20 0.22 0.24 0.25
• Tabung pipa dll 0.04 0.05 0.05 0.05 0.07
• Alas kaki 0.04 0.04 0.05 0.05 0.05
Bersumber dari latek pekat 0.06 0.07 0.07 0.08 0.09
Jumlah 0.33 0.36 0.39 0.42 0.46
Sumber: Gapkindo, 2008.
Keterangan:* Angka sementara
Meningkatnya kebutuhan akan karet alam dari negara - negara industri,
sehingga mempengaruhi ekspor karet Indonesia ke negara-negara lainnya yang
kebanyakan negara tujuan ekspor Indonesia adalah negara produsen mobil.
Peningkatan permintaan karet alam juga terjadi karena adanya pengalihan karet
sistetis akibat naiknya harga minyak dunia. Dalam periode enam tahun
(2002-2007) industri produksi karet Indonesia mengalami perubahan yang lebih
baik dilihat dari peningkatan total ekspor karet dari tahun ke tahun.
Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor utama karet alam
Indonesia. Pada Tabel 7 menunjukkan sejak tahun 2002 ekspor ke Amerika
Serikat sebesar 39.5 persen, Jepang sebesar 13.9 persen, China sebesar 3.1 persen
dan Singapura mencapai 4.8 persen dari keseluruhan total ekspor karet Indonesia.
Akan tetapi, tahun berikutnya ekspor ke Amerika terus mengalami penurunan
hingga pada tahun 2007 hanya sebesar 26.7 persen dari total ekpor yang
tahunnya dan dapat diketahui ekspor pada tahun 2007 mencapai 16.5 persen.
Untuk tujuan China juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi yakni
mencapai 14.2 persen. Selanjutnya ekspor untuk tujuan Singapura sedikit
mengalami peningkatan tiap tahunnya sebagaimana tercatat persentase ekspor
mencapai 6.7 persen pada tahun 2007.
Tabel 7. Ekspor Karet Indonesia ke Negara Tujuan Tahun 2002-2007
Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Volume Ekspor (ton ) Amerika Serikat 591 162 (39.5) 598 260 (36.0) 627 868 (33.5) 669 120 (33.0) 590 946 (26.0) 644 270 (26.7) Jepang 207 984 (13.9) 228 899 (13.8) 225 214 (12.0) 260 604 (12.8) 357 539 (15.6) 397 776 (16.5) China 46 221 (3.1) 107 725 (6.5) 197 538 (10.5) 249 791 (12.3) 337 222 (14.8) 341 821 (14.2) Singapura 72 486 (4.8) 79 020 (4.7) 85 591 (4.6) 115 084 (5.7) 135 406 (6.0) 161 254 (6.7) Jerman 62 348 (4.2) 73 292 (4.4) 71 808 (3.8) 61 974 (3.1) 82 100 (3.6) 80 809 (3.4) Korea 69 608 (4.6) 76 893 (4.6) 76 794 (4.1) 74 813 (3.7) 90 593 (4.0) 93 091 (3.8) Lainnya 447 482 (29.8) 496 831 (29.9) 589 448 (31.4) 592 395 (29.3) 629 191 (27.5) 687 755 (28.6) Total 1 497291 1 660 920 1 874 261 2 023781 2 285 997 2 406 776 Sumber: Gapkindo, 2008.
Keterangan: (...) angka dalam kurung merupakan pangsa ekspor
Importir dari Amerika Serikat umumnya adalah pabrik ban, sedangkan
importir di Singapura adalah traders atau packers yang akan menjual kembali
karet tersebut ke negara lain. Perubahan lokasi industri barang karet yang terjadi
di dunia, memberi dampak terhadap struktur dan wilayah pasar ekspor karet alam
perpindahan beberapa industri ban dan otomotif Jepang ke Amerika Utara dan
Eropa Barat, perluasan dan perpindahan industri barang jadi ke negara produsen
karet alam memberi andil terhadap perubahan tersebut. Dengan demikian,
mengakibatkan ekspor karet Indonesia yang banyak ditujukan ke Amerika Serikat
mengalami penurunan karena adanya pengambilalihan industri ban di Amerika
Serikat oleh Jepang.
Thailand yang merupakan mitra dagang Jepang, untuk memasok
kebutuhan karet alam sebagai bahan baku pembuatan ban, akan mengambil alih
pasar Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus melakukan perbaikan dan
peningkatan kualitas hasil produksi karet alam serta mencari pasar lain di dunia
untuk mengantisipasi perubahan struktur pasar di Amerika Serikat.
Dibandingkan dengan negara produsen karet alam lainnya seperti Thailand
dan Malaysia, ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia
masih terbatas jenisnya dan pada umumnya masih didominasi oleh produk primer
(raw material) dan produk setengah jadi. Pada saat ini bahan olah karet tersebut
mendominasi pasar karet di Indonesia karena dinilai petani paling praktis dan
menguntungkan.
Bahan olah karet berupa lateks dan koagulum lapangan, baik yang
dihasilkan oleh perkebunan rakyat maupun perkebunan besar dapat diolah
menjadi komoditi primer dalam berbagai jenis mutu. Lateks kebun dapat diolah
menjadi jenis karet cair dalam bentuk lateks pekat dan lateks dadih serta karet
padat dalam bentuk RSS, SIR 3L, SIR 3CV, SIR 3WF dan thin pale crepe yang
tergolong karet jenis mutu tinggi (high grades). Sementara koagulum lapangan,
jenis karet padat yakni antara lain jenis mutu SIR10, SIR 20 dan brown crepe
yang tergolong jenis karet mutu rendah (low grades).
Oleh karena itu nilai ekspor yang dapat diraih tentu jauh di bawah negara
yang sudah menghasilkan dan mengekspor beragam produk karet olahan. Untuk
itu perlu dilakukan pengembangan produk (product development) yang perlu
difasilitasi untuk dikembangkan dan ditingkatkan pada masa yang akan datang.
Adapun jenis produk ekspor karet Indonesia didominasi oleh jenis karet
spesifikasi teknis (Standart Indonesian Rubber) dan jenis RSS (Ribbed Smoke
Sheet) dari periode (2002-2007). Dimana ekspor SIR dengan porsi sekitar 88
persen dari total ekspor sedangkan jenis RSS sebesar 11.45 persen pada tahun
2007 seperti tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi Ekspor Karet Alam Indonesia Menurut Tipe Produk
Tipe Produk Tahun (Ton) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Latex 8 637 (0.57) 12 526 (0.75) 11 755 (0.63) 4 014 (0.19) 8 334 (0.36) 7 610 (0.32) RSS 44 194 (2.95) 46 165 (2.78) 145 895 (7.78) 334 125 (16.51) 325 393 (14.23) 275 497 (11.45) SIR 1 437 104 (95.98) 1 589 387 (95.69) 1 684 959 (89.89) 1 674 721 (82.75) 1 952 268 (85.40) 2 121 863 (88.16) Lainnya 7 356 (0.49) 12 842 (0.77) 31 652 (1.68) 10 921 (0.54) 3 000 (0.13) 1 786 (0.07) TOTAL 1 497 291 1 660 920 1 874 261 2 023781 2 285 998 2 406 756 Sumber: Gapkindo, 2008.
Keterangan: (...) angka dalam kurung merupakan pangsa produksi
Pada sisi tata niaga karet di Indonesia ternyata tidak hanya berlangsung di
hal ini para pembeli karet rakyat yang mengolahnya lebih lanjut atau
rumah-rumah asap). Sama halnya dengan bahan olah karet (bokar) dan latek yang
dihasilkan perkebunan besar dan negara biasanya langsung di bawa ke pabrik
pengolahan. Selanjutnya karet di bawa ke perusahaan-perusahaan eksportir atau
perusahaan pengolah karet remiling dan pabrik karet remah oleh pedagang
perantara seperti terlihat pada Gambar 9.
Untuk perkebunan karet swasta atau perkebunan karet milik pemerintah
produk karetnya biasanya memiliki jalur tata niaga yang bermuara pada tujuan
ekspor pada pembeli luar negeri lewat perwakilan yang ada di Indonesia atau
dapat langsung menjual pada industri bahan baku dalam negeri.
Pada perkebunan negara biasanya memasarkan hasil produk karetnya
melalui kantor pemasaran bersama baik yang berada di Medan, Jakarta dan
Surabaya yang mana proses pembentukan harganya ditentukan berdasarkan
lelang. Setelah itu dari proses lelang bisa juga transaksi langsung kepada pembeli
luar negeri atau para eksportir melalui dealer dan perusahaan pengangkutan untuk
kemudian dikirimkan pada negara importir seperti terlihat pada Gambar 9.
Sedangkan untuk pelabuhan ekspor karet alam Indonesia sendiri yang
utama digunakan adalah Belawan (Sumatera Utara) dengan ekspor sebesar 40
persen, Palembang (Sumatera Selatan) 25 persen, Padang (Sumatera Barat) 10
persen, Pontianak (Kalimantan Barat) 8 persen, Jambi 6 persen dan Surabaya
Sumber: Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008.
Gambar 9. Jalur Tata Niaga Ekspor Karet
Walaupun Indonesia termasuk negara pengekspor karet mentah yang
banyak diminati negara-negara industri, dikarenakan mulai banyaknya industri Bahan olah karet rakyat (bokar)
PTP Perkebunan besar
Lateks kebun
Industri yang menggunakan bahan baku karet di luar negeri (konsumen luar negeri)
Pembelian langsung oleh pihak luar negei/ perwakilan Industri yang menggunakan
bahan baku karet dalam negeri
Kantor Pemasaran Bersama
Surabaya Jakarta Medan Lelang Eksportir Dealer Perusahaaan pengangkutan Importir Swasta Pabrik pengolahan
yang mengolah karet sintetis di Indonesia secara tidak langsung Indonesia lebih
banyak melakukan impor karet-karet sintetis seperti pada Tabel 9.
Tabel 9. Impor Karet Indonesia dari Negara Tujuan 2001-2005
Negara 2001 2002 Volume Impor (000 USD)2003 2004 2005 Dunia 339 237 342 514 347 545 467 545 610 826 Jepang 120 821 104 995 100 211 157 352 179 848 Singapura 38 059 39 509 43 426 18 459 52 725 Korea 30 042 3 4601 34 387 49 684 61 529 Amerika Serikat 28 686 295 29 22 069 40 866 59 454 China 20 541 251 06 27 312 31 229 38 454 Thailand 17 553 203 85 25 908 54 039 78 254 Jerman 13 309 1 061 10 613 1 265 14 139
Sumber : Departemen Perdagangan, 2008.
Dilihat dari periode lima tahun terakhir ini total nilai impor Indonesia dari
tahun ke tahun terus meningkat dimana impor karet sintetis Indonesia banyak