• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI. Dalam proses perancangan lighting dan rendering pada film animasi 3D Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI. Dalam proses perancangan lighting dan rendering pada film animasi 3D Jakarta"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

46

BAB III

METODOLOGI

3.1. Gambaran Umum

Dalam proses perancangan lighting dan rendering pada film animasi 3D “Jakarta

Terakhir”, penulis melakukan penelitian untuk mendapatkan hasil visual yang

bisa menggambarkan suasana kelam pada post-apocalyptic dalam film animasi. Dari banyaknya shot yang ada, penulis memutuskan untuk mengambil 2 shot yang akan dijadikan pembahasan pada tugas akhir. Shot yang akan dibahas adalah

Scene 2 Shot 6 dan Scene 3 Shot 16. Penulis melakukan render dengan

menggunakan render engine V-Ray, karena setelah melakukan riset dan percobaan

render engine tersebut merupakan yang paling baik dari segi kualitas render dan

efisiensi waktu. Selain itu, V-Ray juga banyak digunakan dikalangan umum sehingga akan lebih mudah mencari solusi ketika terjadi berbagai masalah. Penulis juga memilih software Fusion yang digunakan untuk proses compositing dikarenakan banyaknya pass yang harus dicompositing penulis merasa bahwa menggunakan software dengan node based akan lebih mudah.

3.1.1 Sinopsis

Sebuah bencana telah melanda Jakarta. Sepasang ayah dan anak mengeksplorasi mall yang telah ditinggalkan, mewujudkan mimpi mereka untuk hidup mewah. Semua itu berhenti ketika bantuan datang. Ayah dan anak harus memilih untuk tetap tinggal diantara ketidakpastian, atau pergi kembali ke kehidupan mereka sebelumnya. Pada akhirnya, sang ayah memilih untuk menetap dalam mall untuk

(2)

47 mencapai mimpinya yaitu kehidupan mewah, sedangkan anak memilih untuk pergi mencari bantuan dan tempat aman.

3.1.2 Posisi Penulis

Pada tugas akhir ini, posisi penulis adalah sebagai lighting dan rendering artist yang bertugas untuk merancang pencahayaan pada film dan memastikan hasil akhirnya sesuai dengan yang diinginkan. Selain itu, penulis juga berperan sebagai

rigger dan animator.

3.1.3 Peralatan

Peralatan yang digunakan oleh penulis untuk melakukan penelitian ini adalah sebuah laptop Asus GL503GE dengan spesifikasi sebagai berikut:

 Processor : Intel Core I7-8750H  RAM : 16GB

 GPU : NVIDIA GeForce GTX1050Ti 3.2. Tahapan Kerja

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode observasi untuk mencari beberapa referensi visual dari berbagai shot film dan game yang memiliki gaya visual mendekati apa yang ingin penulis buat. Setelah melakukan observasi, baru kemudian penulis bisa mulai melakukan perancangan.

(3)

48

Gambar 3.1. Skematika Perancangan

(4)

49 3.3. Konsep Pencahayaan

Dalam film animasi 3D “Jakarta Terakhir” setting filmnya bertempat pada mall di dunia post-apocalyptic dimana tidak terdapat listrik. Jadi, semua pencahayaan akan berupa natural light yang berasal dari cahaya matahari. Berdasarkan batasan masalah, penulis memilih dua shot pada film yaitu Scene 2 shot 6 dan Scene 3

Shot 16. Perancangannya sendiri akan meliputi arah cahaya, warna cahaya,

indirect illumination, render pass dan compositing. Tujuan penulis pada

perancangan ini adalah untuk membuat pencahayaan yang bisa menggambarkan suasana kelam pada film animasi 3D dengan tema post-apocalyptic.

Gambar 3.2. Konsep shot 6 dan shot 16

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Gambar 3.3 Denah Mall

(5)

50

3.4. Acuan

Pada penelitian ini, penulis mencari berbagai referensi dari beberapa shot film dan

video game dengan tema post-apocalyptic. Dengan melakukan observasi, penulis

akan meneliti dari berbagai shot tersebut, aspek-aspek visual apa saja yang sekiranya bisa menjadi acuan berdasarkan teori-teori yang sudah ditulis pada bab 2 dan nantinya akan mempermudah proses perancangan.

3.4.1 Kuisoner Tentang Film Dengan Tema Post-Apocalyptic

Sebelum melakukan observasi pada film dengan tema post-apocalyptic, penulis membuat sebuah kuisoner yang digunakan untuk mencari tahu suasana seperti apa yang dirasakan penonton pada dunia post-apocalyptic. Penulis membuat kuisoner berupa pertanyaan dan juga beberapa shot film dengan tema post-apocalyptic lalu bertanya kepada responden suasana apa yang tergambar pada shot tersebut. Setelah menyebarkan dan mendapatkan total 25 responden baru penulis dapat menyimpulkan. Bahwa, semua responden berpendapat jika dunia post-apocalypse seharusnya memiliki suasana yang kelam. Selain itu, 80% dari responden berpendapat jika menonton film dengan tema post-apocalypse perasaan yang dirasakan adalah takut.

(6)

51

Gambar 3.4 Hasil Kuisoner 1

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Setelah itu, penulis membuat pertanyaan seperti perasaan apa yang harusnya dirasakan oleh penonton ketika menonton sebuah film dengan tema

post-apocalyptic. 80% menjawab takut, 16% menjawab sedih, dan 4% menjawab

marah. Dari sini bisa disimpulkan bahwa penonton mengharapkan perasaan ketakutan ketika menonton film dengan tema post-apocalyptic.

Gambar 3.5 Hasil Kuisoner 2

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Penulis juga membuat pertanyaan dengan menambahkan sepuluh shot dari film dan game dengan tema post-apocalyptic dan bertanya kepada responden suasana yang terdapat pada gambar tersebut. Para responden memberikan jawaban yang beragam pada tiap-tiap shot. Ada yang menjawab suasananya adalah santai

(7)

52 dan ada juga yang menjawab suasananya sedih. Tapi, bisa disimpulkan jika mayoritas responden menjawab suasana yang dirasakan pada shot-shot tersebut adalah kelam.

Gambar 3.6 Hasil Kuisoner 3

(8)

53

Gambar 3.7 Hasil Kuisoner 4

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Dari hasil kuisoner pada kedua shot diatas bisa diambil kesimpulan bahwa

shot dengan pencahayaan yang lebih gelap seperti pada gambar 3.6, lebih

memberikan kesan kelam. Lalu, shot dengan tingkat saturasi warna yang lebih rendah pada gambar 3.6 memberikan suasana yang lebih kelam dibandingkan pada shot pada gambar 3.7 yang memiliki tingkat saturasi lebih tinggi. Adanya kabut tipis pada gambar 3.6 juga menambahkan suasana kelam dan misterius pada gambar. Selain cahaya, terdapat juga berbagai hal dalam suatu scene seperti adegan, desain environment dan karakter yang dapat memberikan kesan suasana kelam pada film dengan tema post apocalyptic.

(9)

54 3.4.2 Definisi Kelam

Kelam berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia (2008) bisa diartikan sebagai agak gelap, kurang terang dan suram. Bohme Gernot (2017) dalam bukunya berjudul

Aesthetics Of Atmospheres menyatakan bahwa pada suasana kelam, visual

menjadi terlihat sangat depresi, segala sesuatu yang menggambarkan kehidupan dan aktivitas hilang, keheningan dan isolasi menjadi umum. Pada suasana ini cahaya hanya hadir untuk memperkuat kesan sedih atau menakutkan. Kelam sendiri juga bisa dianggap sebagai sebuah atmosfer. Robert Spadoni (2019) menjelaskan lebih lanjut mengenai atmosfer dalam jurnal berjudul What Is Film

Atmosphere? bahwa atmosfer adalah segala sesuatu yang ada dalam frame seperti

setting, property, lighting atau bisa disebut juga mise en scene yang dapat

mempengaruhi perasaan penonton ketika melihat keadaan pada suatu gambar. Sebagai contoh, Spadoni menjelaskan pada film cat people (1942) pencahayaan belang-belang yang aneh, tekstur kasar pada dinding dan bayang-bayang daun yang tertiup angin menciptakan atmosfer yang seram.

3.4.3 Observasi Cahaya Pada Game “The Last Of Us 2”

Pada observasi ini, penulis memilih game “The Last Of Us 2” sebagai acuan.

“The Last Of Us 2” sendiri bercerita tentang seorang perempuan bernama Ellie

yang harus bertahan hidup dari serangan zombie dan manusia yang mengancam nyawanya di dunia post-apocalyptic. Game ini dipilih karena memiliki tema yang sama dengan film yang ingin penulis rancang yaitu sama-sama bertema

(10)

55

Gambar 3.8 Bangunan Terendam Banjir

(The Last Of Us 2)

Pada gambar 3.8 terlihat interior dari sebuah gedung yang terendam banjir dengan

area terbuka ditengahnya. Sumber cahaya langsungnya berasal dari cahaya

matahari pada area gedung yang terbuka. Cahaya matahari mengarah ke air banjir seperti yang digambarkan dengan anak panah pada gambar tersebut, lalu memantul dan akhirnya menyinari area permukaan gedung yang tidak terkena cahaya matahari secara langsung. Terlihat bahwa cuacanya sedang mendung dari warna cahaya mataharinya yang berwarna abu-abu kebiruan dan juga cahayanya yang lembut dikarenakan tertutupi awan, menghasilkan bayangan kebiruan yang berasal dari langit siang hari berwarna biru sesuai dengan teori Wissler (2013) yang menjelaskan bagaimana cahaya bisa digunakan untuk menggambarkan suatu cuaca. Artificial light juga terlihat pada sisi kiri yang berasal dari flourescent light dengan temperature dingin.

Terdapat kabut yang membantu menyebarkan cahaya ke seluruh permukaan dalam shot tersebut dan membuat cahayanya halus sesuai teori Wissler

(11)

56 (2013) cahaya yang terhalang oleh kabut juga akan membuatnya menjadi lebih lembut. Selain itu, kabut tersebut juga membuat saturasi dari warna pada shot berkurang, begitu pun dengan kontras yang semakin berkurang pada area dengan kabut yang lebih tebal. Meskipun begitu, shot tersebut masih memiliki kontras yang tinggi terlihat dari histogram dimana value pada area black yaitu di sebelah kiri sangat tinggi.

Gambar 3.9 Histogram Bangunan Terendam Banjir

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

3.4.4 Observasi Cahaya Pada Serial “Fear The Walking Dead Season 5 Episode 10”

Untuk observasi selanjutnya, penulis memilih salah satu shot dari serial Fear The

Walking Dead. Pada episode ini diceritakan tiga orang bernama Dwight, Morgan

dan Grace yang mendapat panggilan radio dari seseorang bernama Chuck yang membutuhkan pertolongan. Mereka bertiga pun memutuskan untuk pergi menuju mall tersebut untuk mencari tahu lebih lanjut. Alasan penulis memilih shot ini sebagai referensi adalah karena serial ini mengusung tema post-apocalypse dan juga bertempat di mall seperti film yang sedang penulis rancang.

(12)

57

Gambar 3.10 Post-apocalyptic Mall

(Fear The Walking Dead Season 5 Episode 10)

Pada gambar 3.10. terlihat bahwa sumber pencahayaan utama atau key light berasal dari cahaya matahari yang masuk melalui jendela sebelah kanan pada shot tersebut, tipe cahaya ini biasa disebut dengan window lighting. Cahaya langsungnya berwarna putih yang menandakan bahwa setting waktunya berada pada siang hari sesuai dengan teori Wissler (2013) yang menyatakan bahwa pada saat siang hari, warna dari cahaya matahari kuning mendekati putih. Intensitas dari cahayanya juga tinggi yang membuat bayangannya menjadi gelap dan kontras. Cahaya tidak langsungnya berwarna kebiruan memenuhi keseluruhan ruangan yang berasal dari cahaya langit berwarna biru. Jendela pada shot tersebut membuat cahayanya menjadi tersebar dan menghasilkan bayangan yang sedikit lebih halus sesuai dengan teori Katarikan dan Tanzillo (2017) bahwa cahaya yang mengenai kaca dari jendela akan tersebar ketika memasuki ruangan.

Partikel debu terlihat pada udara yang ketika bertemu dengan cahaya dengan intensitas tinggi dari jendela menghasilkan efek volumetric light. Sama

(13)

58 seperti kabut, partikel debu juga membuat cahaya menyebar ke seluruh ruangan dan mengurangi saturasi warna dari gambar sesuai teori Yot (2019) tentang bagaimana kabut dan debu mempengaruhi cahaya. Kontras pada gambar 3.10. tidak terlalu tinggi seperti kontras pada gambar 3.8. jika dilihat dari histogram. Pada histogram, value tertinggi berada pada area shadow dan midtones yang bisa dilihat bahwa pada gambar bayangannya tidak berwarna hitam pekat tetapi agak terang ke arah abu-abu. Terdapat juga sedikit value pada highlight yang berada pada sisi kanan histogram.

Gambar 3.11 Histogram Post-Apocalyptic Mall

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

3.4.5 Observasi Cahaya Pada Film “I Am Legend”

Pada observasi yang terakhir, penulis memilih salah satu shot dari sebuah film berjudul I Am Legend. Film ini sendiri bercerita tentang seorang pria yang harus bertahan hidup sendirian di kota New York yang sudah tidak berpenghuni dan mencari obat untuk menyembuhkan penyakit yang membunuh para penduduk kota tersebut. Alasan pemilihan shot pada film ini sama seperti dua film yang

(14)

59 sudah dipilih sebelumnya, yaitu karena sama-sama memiliki tema

post-apocalyptic dengan pencahayaan dalam ruangan dan sumber utama

pencahayaannya dari matahari.

Gambar 3.12 Cuplikan Film “I Am Legend”

(I Am Legend)

Bisa dilihat pada gambar 3.12. bahwa arah cahaya datang dari sebelah kiri dengan tipe pencahayaan window light karena berasal dari jendela pada ruangan tersebut. Jendela membuat cahaya matahari yang masuk ke ruangan menjadi tersebar dan lebih halus sesuai teori Katatikarn dan Tanzillo (2017) yang menjelaskan bahwa kaca pada jendela membuat cahaya yang masuk ke dalam ruangan menjadi halus. Cahaya langsungnya bewarna putih dari jendela sisi sebelah kiri karena tidak terhalang oleh tirai jendela (tidak terlihat jelas pada gambar). Sedangkan, pada jendela satunya di sebelah kanan cahayanya berwarna putih kekuningan dikarenakan terhalang oleh tirai jendela. Warna langit siang hari berwarna biru menjadikan warna cahaya tidak langsungnya berwarna kebiruan yang mengisi keseluruhan ruang.

Efek volumetric light bisa terlihat pada cahaya yang masuk dari jendela dikarenakan cahaya dengan intensitasnya yang tinggi bertemu dengan partikel

(15)

60 debu yang beterbangan pada udara dalam ruangan. Intensitas cahaya yang tinggi juga menghasilkan bayangan yang kontras. Bisa dilihat pada histogram dimana

value yang tinggi berada pada area black. Terlihat juga pada histogram bahwa

value di area highlight sedikit lebih tinggi dibandingkan pada area midtones yang

disebabkan oleh area pada shot dimana cahaya langsungnya berasal terlihat sangat terang.

Gambar 3.13 Histogram Cuplikan Film “I Am Legend”

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

3.5. Proses Perancangan

Setelah melakukan observasi pada berbagai referensi film, penulis baru bisa melakukan perancangan. Pada proses perancangan ini, penulis membagi menjadi dua bagian proses. Yaitu, proses perancangan pada Scene 2 shot 6 yang memperlihatkan hall mall dan Scene 3 Shot 16 yang memperlihatkan toko baju. Penulis akan melakukan proses perancangan berdasarkan batasan masalah yang sudah penulis buat sebelumnya yaitu pada arah cahaya, warna cahaya, indirect

(16)

61 3.5.1 Proses Perancangan Scene 2 Shot 6

Pada perancangan scene 2 shot 6 sumber cahayanya berupa natural light yang berasal dari cahaya matahari yang masuk dari atap mall. Karena waktunya adalah siang maka cahaya mataharinya berwarna putih dengan bayangan yang kontras sesuai dengan teori Wissler (2013).

Penulis melakukan percobaan pertama pada saat sebelum prasidang, dengan menggunakan directional light sebagai key light dan V-Ray dome light sebagai fill light dengan penambahan spotlight untuk menambah pencahayaan dari atas. Setelah melakukan percobaan dan membandingkan dengan referensi hasilnya masih kurang terlihat realistis dan sesuai yang diinginkan penulis, warna cahayanya juga terlalu ke arah warna oranye.

Gambar 3.14 Percobaan Pertama Scene 2 Shot 6

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Pada percobaan selanjutnya, untuk mendapatkan pencahayaan natural

light penulis menggunakan V-Ray sun sebagai keylight. Alasan penulis

menggunakan V-Ray sun adalah karena adanya turbidity yang berfungsi menentukan partikel debu di udara sehingga membuat pencahayaan terlihat lebih

(17)

62 realistis. Terlihat pada gambar 3.14. bahwa pencahayaan pada shot tersebut masih sangat gelap karena tidak adanya pantulan cahaya atau indirect illumination sehingga cahaya yang datang dari sumber cahaya tidak dipantulkan lagi. Dari gambar tersebut juga terlihat tidak adanya fill light sehingga menghasilkan bayangan yang sangat kontras hingga berwarna hitam.

Gambar 3.15 Percobaan Kedua Scene 2 Shot 6

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Setelah penulis mengaktifkan GI (global illumination) yang mana merupakan nama lain dari indirect illumination pada V-Ray, shot tersebut menjadi lebih terang karena cahaya yang berasal dari V-Ray sun memantul ke seluruh permukaan environment. Penulis juga mengubah tekstur pada banjir menjadi lebih reflektif agar membuatnya menjadi lebih terlihat seperti air pada dunia nyata, warna dari banjirnya juga diubah ke arah coklat yang lebih gelap sehingga tidak menghasilkan warna pantulan cahaya yang terlalu ke arah oranye. Selain itu,

V-Ray sky juga ditambahkan sebagai fill light sehingga cahaya tidak langsungnya

berwarna kebiruan yang berasal dari cahaya langit, rectangle light juga ditambahkan sebagai fill light.

(18)

63 Pada pengaturan global illumination penulis memilih engine light cache yang digunakan untuk mengkalkulasikan pantulan cahaya. Meskipun light cache sendiri tidak seakurat brute force, tetapi light cache bisa mengkalkulasikan dengan cepat dan menghasilkan hasil render yang tidak grainy seperti brute force. Penulis mengatur subdivs pada light cache menjadi 200 dan hasil pantulannya kurang begitu akurat dimana terdapat beberapa area yang pantulan cahayanya tidak merata dan selain itu terdapat banyak bintik-bintik pada ujung objek. Oleh karena itu, untuk membuat pantulan cahayanya lebih akurat mendekati brute

force, penulis menaikkan subdivs pada pengaturan light cache menjadi 2000.

Subdivs sendiri berfungsi untuk menentukan seberapa akurat light cache dalam

mengkalkulasikan pantulan cahaya.

Gambar 3.16 Perbedaan Light Cache Subdivs 200 (Atas) & 2000 (Bawah)

(19)

64 Penulis mengurangi kecerahan pada shot dengan cara mengatur berbagai parameter pada sumber cahaya. Yang pertama adalah mengurangi intensity

mutltiplier pada V-Ray sun menjadi 0.080 untuk mengurangi intensitas cahaya.

Lalu, pengaturan turbidity dikurangi menjadi 2.000 dan ozone menjadi 1.000. Selain itu, pada V-Ray sky intensity multiplier dikurangi menjadi 0.015, turbidity

menjadi 4.450 dan ozon 1.000 hal ini dilakukan untuk memberikan cahaya yang

berwarna putih cerah dengan warna langit biru. Bisa dilihat hasilnya pada gambar 3.17 dimana shot tersebut mendapat pencahayaan yang lebih baik.

Gambar 3.17 Percobaan Ketiga Scene 2 Shot 6

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Setelah merancang pencahayaan, penulis melakukan proses render pass dan menghasilkan beberapa render pass seperti global illumination, lighting,

reflect, specular dan zdepth. Dikarenakan V-Ray next tidak bisa melakukan render

pass ambient occlusion, maka penulis membuat ambient occlusion dengan cara

mengubah semua material pada scene menjadi V-Ray light material lalu menambahkan V-Ray dirt baru kemudian dirender secara terpisah sehingga menghasilkan ambient occlusion. Kemudian, penulis melakukan compositing semua pass dengan software Fusion.

(20)

65

Gambar 3.18 Node Compositing Scene 2 Shot 6

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Pada proses compositing ini penulis menambahkan node color corrector pada

node merge terakhir untuk mengurangi saturasi dan gain sehingga saturasi

warnanya berkurang dan gambarnya sedikit lebih gelap. Shadow pada keseluruhan gambar juga diubah ke arah kebiruan. Penulis juga mengurangi gamma pada pass

global illumination karena terlalu cerah. Selain itu, ditambahkan juga sedikit

kabut pada shot untuk membuatnya menjadi lebih realistis seperti teori Katatikarn dan Tanzillo (2017) bahwa, kabut tipis yang ada pada gambar dapat menambahkan sedikit value yang bisa membuat ruang yang gelap menjadi lebih realistis. Bisa dilihat hasil akhir perancangan pada gambar 3.19.

(21)

66

Gambar 3.19 Hasil Perancangan Scene 2 Shot 6

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

3.5.2 Proses Perancangan Scene 3 Shot 16

Pada perancangan scene 3 shot 16 penulis menggunakan tipe cahaya window

light. Dimana cahaya matahari sebagai sumber pencahayaan langsung masuk ke

dalam ruangan melalui pintu dan kemudian menerangi keseluruhan ruang. Pada percobaan pertama sebelum prasidang, penulis merancang pencahayaan dengan menggunakan directional light dan dome light. Namun, hasilnya masih kurang sesuai dengan teori dan acuan referensi yang ada. Oleh karena itu, setelah prasidang penulis melakukan perubahan terhadap pencahayaannya.

(22)

67

Gambar 3.20 Percobaan Pertama Scene 3 Shot 16

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Pada percobaan kedua yang bisa dilihat pada gambar 3.20. penulis menambahkan V-Ray sun yang berfungsi sebagai keylight pada shot tidak lupa juga penulis mengaktifkan global illumination agar cahayanya memantul ke keseluruhan ruangan. Karena waktu pada shot ini merupakan siang hari, maka cahaya langsungnya berwarna putih dengan cahaya tidak langsungnya berwarna biru. Penulis mengubah pengaturan turbidity pada V-Ray sun menjadi 2.000 dan

ozone menjadi 1.000 untuk membuat cahaya mataharinya berwarna putih tidak

kuning. Selain itu, penulis juga menambahkan V-Ray sky untuk menambah fill

light pada shot yang membuat cahaya tidak langsungnya berwarna kebiruan.

Tetapi, terdapat satu masalah yaitu karakter terlalu gelap karena hanya sedikit terkena cahaya.

(23)

68

Gambar 3.161 Percobaan Kedua Scene 3 Shot 16

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Untuk membuat karakter menjadi lebih terlihat, penulis menambahkan fill

light berupa rect light yang diposisikan di depan karakter sehingga karakter bisa

terlihat dan tidak terlalu gelap. Penulis juga menambahkan V-Ray environment fog untuk memberikan sedikit kabut yang menciptakan volume light pada gambar 3.21. Penggunaan volume light sendiri berdasarkan teori Brooker (2006) digunakan untuk memberikan atmosfer tua dan berdebu pada sebuah bangunan. Pada global illumination penulis menggunakan light cache sebagai engine yang digunakan untuk mengkalkulasikan cahaya. Karena ruangannya yang kecil maka penulis mengatur subdivs pada light cache menjadi 100, tetapi pantulan cahayanya masih tidak akurat karena terdapat bagian pada atap yang tidak terkena pantulan cahaya. Selain itu, pada bahu karakter bapak terdapat bintik-bintik putih dan pantulan cahaya yang tidak akurat. Oleh karena itu, penulis mengubah

(24)

69

Gambar 3.22 Percobaan Ketiga Scene 3 Shot 16

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Setelah merancang pencahayaan, penulis melakukan proses multi pass

rendering dan menghasilkan beberapa render pass, diantaranya adalah global

illumination, lighting, reflect, specular, atmosphere dan zdepth. Penulis juga

melakukan render ambient occlusion secara terpisah karena tidak terdapat

ambient occlusion pada render pass di V-Ray. Setelah itu, penulis menyatukan

semua render pass dengan proses compositing pada software Fusion.

Gambar 3.23 Node Compositing Scene 3 Shot 16

(25)

70 Setelah menyatukan keseluruhan pass yang ada, penulis melakukan sedikit pengaturan dengan menambahkan node color corrector pada node terakhir untuk mengurangi saturasi dari keseluruhan gambar, penulis juga melakukan pengaturan pada color corrector untuk membuat bayangannya berwarna kebiruan. Lalu, penulis merasa saturasi dan pencahayaan pada pass lighting masih terlalu tinggi. Oleh karena itu penulis menambahkan node color corrector pada pass lighting untuk mengurangi saturasi dan gamma pada pass tersebut. Terakhir, dengan pass

zdepth penulis menambahkan node depth blur untuk menghasilkan blur sehingga

fokus kamera mengarah kepada karakter.

Gambar 3.24 Hasil Akhir Scene 3 Shot 16

Gambar

Gambar 3.2. Konsep shot 6 dan shot 16  (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3.6 Hasil Kuisoner 3  (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3.9 Histogram Bangunan Terendam Banjir  (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3.11 Histogram Post-Apocalyptic Mall  (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
+7

Referensi

Dokumen terkait

RAM adalah sebuah tipe penyimpanan komputer yang isinya dapat diakses seketika tanpa 42 Fungsi dan Proses Kerja Peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi mempedulikan letak

Rendahnya efektivitas terapi anemia gravidarum dengan tablet Fe dipengaruhi antara lain karena dasar pemberian terapi hanya berdasarkan kadar Hb saja, tidak

Melainkan dinodifikasi sesuai dengan aturan agama keluarga tersebut (Wawancara dengan Ibu Rina, warga masyarakat yang beragama Islam di rumahnya pada hari

Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan gambaran kemampuan pemerintah daerah dalam

Perusahaan yang melakukan pengungkapan informasi tanggung jawab sosial dalam hal ini adalah corporate environmental disclosure memiliki tujuan untuk membangun

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data-data antropometri orang Bali sesuai dengan kelompok-kelompok fungsi sikut (ukuran) dalam Arsitektur Tradisional Bali, antara lain: sikut

Riza Aulia, MAPPI (Cert)

Hasil penelitian terkait peran masyarakat dalam memmutus mata rantai covid-19 ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yanti B, dkk (2020) yang menyebutkan