• Tidak ada hasil yang ditemukan

G.B.Namgoy, 2017). Yayasan Barcode

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "G.B.Namgoy, 2017). Yayasan Barcode"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Keberhasilan perekonomian di Indonesia ditopang dari peran penting sektor perbankan, khususnya peran perbankan sebagai sumber pembiayaan usaha dan industri dalam negeri. Fungsi utama bank sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana dari pihak ketiga atau masyarakat. Penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pembiayaan secara efektif dan efisien.

Bank syariah membutuhkan dana pihak ketiga, dana pihak ke dua dan lain sebagainya yang biasa disebut dengan investor. Seorang investor sebelum melakukan investasi pada suatu perusahaan, perlu memastikan modal yang ditanamkan mampu memberikan tingkat pengembalian (rate of return) yang diharapkan. Salah satu caranya dengan melihat kinerja keuangan dari perusahaan tersebut. Rasio keuangan yang sering digunakan untuk mengukur kinerja keuangan yaitu rasio profitabilitas dan solvabilitas (P.Rumengan, G.B.Namgoy, 2017).

Yayasan Barcode

Mutmainah juniawati, M.E Sahrani Shabrinatul Latifah, M.E.

Iwan Wahyuddin Safrillah, M.E Dwi Andika Irawan, M.E

Nina Ismiyanti, M.E Nur Hidayah, M.A., Ph.D.

(2)

i Mutmainah juniawati, M.E

Sahrani Shabrinatul Latifah, M.E. Iwan Wahyuddin Safrillah, M.E

Dwi Andika Irawan, M.E Nina Ismiyanti, M.E Nur Hidayah, M.A., Ph.D.

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

DAN KAITANNYA DENGAN KINERJA KEUANGAN

PENERBIT YAYASAN BARCODE 2020

(3)

ii

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

DAN KAITANNYA DENGAN KINERJA KEUANGAN

Penulis :

Mutmainah juniawati, M.E Sahrani Shabrinatul Latifah, M.E.

Iwan Wahyuddin Safrillah, M.E Dwi Andika Irawan, M.E

Nina Ismiyanti, M.E Nur Hidayah, M.A., Ph.D. ISBN : 978-623-285-177-1

Design Cover & Layout:

Sulaiman Sahabuddin Cetakan pertama : 2020

15 X 23 cm

Diterbitkan pertama kali oleh:

YAYASAN BARCODE

Divisi Publikasi dan Penelitian

Jl. Kesatuan 3 No. 9 Kelurahan Maccini Parang Kecamatan Makassar Kota Makassar

Email: penerbitbarcode@gmail.com Website : www.yayasanbarcode.com

HP. 0853-4039-1342

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam

bentuk dan cara apapun tanpa ijin penerbit.

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya kepada kami sehingga buku ini bisa diterbitkan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah untuk Rasul Muhammad SAW.

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1992 ketika berdirinya Bank Umum Syariah (BUS, selnjutnya disebut BUS) di Indonesia, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Upaya mempercepat pertumbuhan perekonomian syariah di Indonesia, pemerintah merubah UU Perbankan Syariah No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berisi tentang arahan bagi bank konvesional dalam membuka Unit Usaha Syariah (UUS, selanjutnya disebut UUS) atau mengkonversi menjadi BUS. Hingga memasuki pertengahan tahun 2000 tidak banyak BUS yang di dirikan karena hanya sebatas membuka UUS. Para pakar ekonomi berpendapat bahwa UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan belum sepenuhnya membahas tentang Perbankan Syariah. Oleh karena itu, pada tanggal 16 Juli 2008 pemerintah berhasil

(5)

iv

membuat suatu landasan hukum yang secara penuh dan spesifik mengatur tentang Perbankan Syariah yaitu UU No.21 Tahun 2008. Undang-undang ini mengatur secara khusus mengenai Perbankan Syariah, baik secara kelembagaan maupun kegiatan usaha (Masrurroh & Mulazid, 2015).

Akhir kata penulis berbesar hati apabila para pembaca sudi memberikan kritik, saran dan masukan dalam rangka proses penulisan dan karya berikutnya. Kesempurnaan hanya milik Tuhan, sementara kita hanya dapat berupaya.

Juli 2020 TIM PENULIS

(6)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR_iii DAFTAR ISI_v BAB I PENDAHULUAN_1 BAB II LAPORAN KEUANGAN_25 BAB III

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)_31

BAB IV

SUSTAINABILITY REPORT (SR)_44 BAB V

GLOBAL REPORTING INITIATIVE (GRI)_47 BAB V

KINERJA PERUSAHAAN

(FIRM PERFORMANCE)_58

BAB VI

HUBUNGAN CSR DENGAN KINERJA KEUANGAN_68

BAB VII PENUTUP_70

(7)

vi

(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Keberhasilan perekonomian di Indonesia ditopang dari peran penting sektor perbankan, khususnya peran perbankan sebagai sumber pembiayaan usaha dan industri dalam negeri. Fungsi utama bank sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana dari pihak ketiga atau masyarakat. Penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pembiayaan secara efektif dan efisien.

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1992 ketika berdirinya Bank Umum Syariah (BUS, selnjutnya disebut BUS) di Indonesia, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Upaya mempercepat pertumbuhan perekonomian syariah di Indonesia, pemerintah merubah UU Perbankan Syariah No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berisi tentang arahan bagi bank konvesional dalam membuka Unit Usaha Syariah (UUS, selanjutnya

(9)

2

disebut UUS) atau mengkonversi menjadi BUS. Hingga memasuki pertengahan tahun 2000 tidak banyak BUS yang di dirikan karena hanya sebatas membuka UUS. Para pakar ekonomi berpendapat bahwa UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan belum sepenuhnya membahas tentang Perbankan Syariah. Oleh karena itu, pada tanggal 16 Juli 2008 pemerintah berhasil membuat suatu landasan hukum yang secara penuh dan spesifik mengatur tentang Perbankan Syariah yaitu UU No.21 Tahun 2008. Undang-undang ini mengatur secara khusus mengenai Perbankan Syariah, baik secara kelembagaan maupun kegiatan usaha (Masrurroh & Mulazid, 2015).

Bank syariah membutuhkan dana pihak ketiga, dana pihak ke dua dan lain sebagainya yang biasa disebut dengan investor. Seorang investor sebelum melakukan investasi pada suatu perusahaan, perlu memastikan modal yang ditanamkan mampu memberikan tingkat pengembalian (rate of return) yang diharapkan. Salah satu caranya dengan melihat kinerja keuangan dari perusahaan tersebut. Rasio keuangan yang sering digunakan untuk mengukur

(10)

3 kinerja keuangan yaitu rasio profitabilitas dan solvabilitas (P.Rumengan, G.B.Namgoy, 2017).

Bank syariah merupakan salah satu perusahaan yang memiliki kegiatan utama menjalankan usaha dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari kegiatan usaha yang dijalankan melalui kebijkan pembiayaan kepada para nasabahnya. Perhatian bank syariah masih rendah terhadap isu-isu sosial dan lingkungan seperti kerusakan lingkungan yang di akibatkan dari proyek yang di biayai. Hal tersebut terbukti menurut Sejati & Prastiwi (2015) yang menyatakan banyak perusahaan melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Ketika keuntungan perusahaan terus meningkat, disisi lain kerusakan yang timbul akibat proses produksi barang pun meningkat dan biaya eksternalitaspun meningkat.

Meningkatnya kesadaran masyarakat dan fenomena yang terjadi saat ini menggambarkan dengan jelas bahwa perusahaan masa kini tidak bisa

(11)

4

sekedar memperhatikan profit saja namun harus mementingkan sosial dan lingkungan.

Kegiatan bisnis perusahaan menyebabkan kerusakan lingkungan. Seperti peristiwa lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo yang masih belum selesai sampai sekarang dan sangat merugikan masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi korban. Masih banyak kasus dari kegiatan usaha yang dilakukan seperti pabrik yang tidak mengelola limbahnya dengan baik, sehingga mencermari lingkungan sekitar. Sebagai contoh menurut Robby Irfany Maqoma (2018) dalam website Tempo.co yaitu tentang kerugian lingkungan 185 triliun akibat limbah freeport.

Beberapa contoh kerusakan lingkungan akibat operasional perusahaan diatas diperkuat dengan data pengelolaan sampah menurut Badan Pusat Statistik (2018) :

(12)

5

Gambar 1.1

Gambar 1.1 menjelaskan bahwa selain pertambahan penduduk, perubahan pola konsumsi penduduk di masing-masing wilayah mempengaruhi pertambahan timbunan sampah. Gambar tersebut menunjukkan semakin tinggi pendapatan maka terjadi penambahan timbunan sampah yang dihasilkan per orang per harinya.

Indonesia masuk dalam kategori lower middle income (World Bank), sebagai negara yang perekonomiannya terus membaik, maka timbunan sampah yang dihasilkan akan terus bertambah. Penambahan ini tidak dapat dihindari, oleh sebab itu perlu dilakukan pengurangan dan penanganan sampah karena banyak permasalahan yang diakibatkan dari

(13)

6

sampah. Permasalahan secara langsung maupun tidak langsung, seperti pencemaran air, udara, dan tanah, meningkatkan gas rumah kaca (GRK), sumber penyakit seperti diare, bencana banjir dan permasalahan lainnya.

Pendekatan green economy diharapkan mampu menggantikan kebijakan - kebijakan lingkungan yang pada masa lalu kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Pendekatan green economy dipandang penting karena menekankan aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Model pendekatan green economy juga dipandang penting karena diharapkan mampu menjawab ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pamanasan global. Pentingnya kesadaran masyarakat untuk membangun perekonomian Indonesia menjadi tujuan yang besar untuk mewujudkan kelancaran green economy.

Perusahaan, pemerintah, masyarakat dan para pelaku ekonomi juga harus faham, bahwa konsep green economy akan membawa dampak positif jangka

(14)

7 panjang bagi perusahaannya. Saat konsep ini di terapkan maka kinerja perekonomian, kinerja dunia usaha, kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan berkontribusi signifikan dalam upaya global untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim.

Konsep green economy menurut UNEP (2011) adalah ekonomi yang memiliki pengaruh positif pada masyarakat kesejahteraan dan keadilan sosial, dengan mengurangi risiko lingkungan dan konsumsi sumber daya alam. Konsep green economy diharapkan dapat mengurangi kerugian lingkungan akibat operasional perusahaan. Begitu pula dalam bank syariah, apabila pelaku perbankan syariah belum banyak menyadari bahwa kian seriusnya isu-isu lingkungan dan sosial bisa berimplikasi buruk terhadap kinerja laba dan keberlanjutan perkembangan industri perbankan di masa yang mendatang.

Betapa pentingnya konsep green economy untuk keberlanjutan bank syariah, menurut Choudury (2012) dalam website Hidayatulah.com, jika

(15)

8

konsep green economy tidak diterapkan akan menyebabkan kerugian materi dan kerugian sosial-ekonomi. Antara lain kewajiban pembayaran ganti rugi, pembiayaan macet akibat pencabutan izin usaha atau boikot dari masyarakat atau konsumen, dan akan menurunkan citra bank syariah. Direktur Perbankan Syariah BI, Ahmad Buchori (2013) dalam website Republika.co.id mengatakan secara garis besar Peraturan Bank Indonesia mengenai green economy meliputi kebijakan pada pembiayaan yang tidak merusak lingkungan, yang meningkatkaan kesejahteraan sosial dan yang menegakkan prinsip keadilan.

Kasus-kasus diatas menunjukkan bank syariah harus menerapkan konsep green economy karena secara langsung maupun tidak langsung bank syariah memiliki hubungan dengan lingkungan alam dan masyarakat. Untuk mewujudkan green economy bank syariah juga harus mulai bertanggung jawab mempertimbangkan atau memasukan faktor yang memungkinan dapat merusak alam dalam penilaian kelayakan usaha nasabah pembiayaannya.

(16)

9 Menerapkan tingkat bagi hasil yang lebih tinggi untuk usaha ataupun konsumsi barang yang tidak ramah lingkungan dan sebaliknya.

Konsep green economy yang dipertanggung jawabkan oleh bank syariah dalam hal lingkungan dan masyarakat inilah yang dinamakan dengan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibiity (CSR selanjutnya di sebut CSR). Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lako (2014: 68) bahwa para investor mendesak dan mengarahkan manajemen perusahaan dalam menjalankan bisnis yang ramah sosial dan lingkungan (green economy) yang diwujudkan dalam bentuk CSR.

Implementasi konsep green economy di kalangan perbankan syariah masih harus terus diperjuangkan secara menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh misi perbankan syariah yang dalam usaha menyalurkan pembiayaan wajib melaksanakan tindakan yang tidak merugikan diri dan nasabah. Pasal 36 UU No. 21 Th 2008 Tentang Perbankan Syariah menyatakan “Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan

(17)

10

usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya” (Yasin, 2016). Menurut Syadullah (2010: 215), dengan adanya peraturan tersebut terlihat adanya pergeseran fungsi perbankan syariah dari lembaga intermediasi menjadi lembaga pencari profit. Perbankan syariah lebih senang mencari untung secara cepat dengan memanfaatkan konsumsi yang tumbuh di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsep green economy dalam bentuk CSR sangat penting untuk dilakukan oleh bank syariah.

CSR yang dilakukan bank syariah bertujuan untuk mengembalikan dan menyeimbangkan apa yang sudah dilakukan bank syariah yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Bank syariah juga harus berperan aktif dalam membangun dinamika di masyarakat dengan mengalokasikan dananya melalui CSR guna memberikan kesan positif pada benak masyarakat.

(18)

11 CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center), melainkan sentra laba (profit center) di masa mendatang. Melalui hubungan yang harmonis dan citra yang baik maka masyarakat juga akan ikut menjaga eksistensi perusahaan (Wibisono, 2007: 35). Hal tersebut akan membuat perusahaan berhasil apabila tidak hanya memperhatikan profitnya saja namun memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan peduli terhadap lingkungannya.

CSR dapat dijalankan melalui Triple Bottom Line (TBL, selanjutnya disebut TBL). TBL merupakan kerangka akuntansi dengan tiga bagian yaitu sosial, lingkungan dan keuangan. Di bawah ini merupakan gambar perbedaan TBL dengan single bottom line, dimana dalam konsep single bottom line perusahaan hanya bertujuan untuk mendapatkan profit saja, tanpa memikirkan kondisi alam dan lingkungan sekitar.

Berikut merupakan gambar ilustrasi gambar single bottom line dan TBL di kutip dalam Lailatul Ayu (2016) :

(19)

12

Gambar 1.2

Single bottom line VS Triple bottom line

Dari ilustrasi gambar diatas terlihat bahwa perusahan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang di refleksikan dalam kondisi financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya (Wibisono, 2007: 33).

TBL sangat penting untuk keberlanjutan perusahaan yang diungkapkan melalui laporan sustainability report, laporan ini dianggap penting sehingga perusahaan di wajibkan untuk mengungkapkan laporan CSRnya. Kewajiban ini dimunculkan lewat Undang-Undang no 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada tanggal 20 Juli 2007,

(20)

13 Bab V Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pasal 74 Ayat 1 menyebutkan ”Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”. Pelaku usaha menolak CSR dengan berbagai alasan, salah satunya yaitu CSR sebagai kewajiban yang akan kian membebani perseroan dan akan mengurangi laba perseroan untuk pemilik atau pemegang saham (Lako, 2014: 142).

CSR di Indonesia pada kalangan perbankan juga sudah cukup berkembang. Kepedulian sosial perbankan mulai tampak nyata, dilihat dari fungsi sosial bank syariah itu sendiri sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 4 ayat 2 sebagai berikut “Selain menjalankan bisnis perbankan, Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat, waqaf uang, serta dana CSR”.

(21)

14

Perbankan syariah telah diterima oleh masyarakat dan harus terus ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan sosial agar bank syariah tetap di akui di tengah-tengah masyarakat. Salah satu cara yang dilakukan oleh bank syariah untuk menyampaikan aktivitas sosialnya dengan melakukan pengungkapan (disclosure) pada sustainability report. Kewajiban pengungkapan laporan CSR berbanding terbalik dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia yang belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial terutama informasi mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan. Menurut Reni & Anggraini (2006)

perusahaan hanya dengan sukarela

mengungkapkannya. Perusahaan akan

mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh ketika mereka memutuskan untuk mengungkapkan informasi sosial. Bila manfaat yang akan diperoleh lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk mengungkapkannya maka perusahaan akan dengan sukarela mengungkapkan informasi tersebut.

(22)

15 Hal ini disebabkan masih lemahnya penegakan peraturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 1 (revisi 2009) paragraf 12, yakni: “Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement). Khususnya bagi industri dimana faktor lingkungan hidup memegang peranan penting bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Laporan tambahan tersebut di luar ruang lingkup Standar Akuntansi Keuangan.

Undang-Undang no 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sudah mewajibkan perusahaan untuk menjalankan kegiatan sosialnya dan belum di dukung oleh PSAK.

PSAK no 101 tentang penyusunan laporan keuangan syariah tahun 2004 paragraf 14 menyatakan“Apabila entitas syariah belum melaksanakan fungsi sosial secara penuh, entitas syariah tersebut tetap harus menyajikan komponen

(23)

16

laporan keuangan paragraf 11(e) dan (f)”. Dari pernyataan PSAK syariah yang belum mewajibkan membuat laporan sosial hanya diharuskan menyajikan laporan keuangan saja. Hal ini membuat perusahaan membuat laporan CSR hanya sebagai suatu laporan agar dipandang baik oleh masyarakat dan menghindari konflik sosial. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Retnaningsih (2015) bahwa banyak perusahaan menggunakan CSR hanya sebagai marketing gimmick untuk melakukan pengelabuan citra perusahaan belaka.

Perusahaan seharusnya sudah mengetahui bahwa manfaaat dari laporan CSR sangat besar, seharusnya PSAK juga sudah mewajibkan setiap perusahaan membuat laporan CSRnya. Terbukti dari beberapa penelitian yaitu studi Ariyani (2008) yang melaporkan bahwa CSR berpengaruh positif secara signifikan terhadap profitabilitas, laba operasi, dan abnormal return saham perusahaan. Para investor merespon positif terhadap publikasi laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang peduli CSR

(24)

17 dibandingkan perusahaan-perusahaan yang kurang peduli (Lako, 2011: 8).

Dari beberapa bukti empiris penelitian terdahulu membuktikan bahwa perusahaan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat dan lingkungan karena mempunyai hubungan timbal balik antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Maka dari itu sangatlah penting mengungkapkan laporan CSR perusahaan yang tertuang dalam sustainability report. Laporan ini sangat penting bagi perusahaan dalam mempertanggung jawabkan bisnis yang dijalankannya bukan hanya kepada para pemegang saham tetapi juga kepada publik. Pengertian sustainability report menurut Lako (2014: 128) merupakan model pelaporan dimana di dalamnya mengintegrasikan satu paket pelaporan sebagai berikut:

(25)

18

Gambar 1.3

Model Pelaporan sustainability Report

Diolah oleh penulis, menurut Andreas Lako (2014: 128)

Penyusunan beberapa laporan sustainability report tersebut menurut ISO 26000 memiliki Guidance Standard on Social Responsibility secara internasional. Guidance Standard tersebut diantaranya dibuat oleh organisasi internasional independen seperti Global Reporting Initiative (GRI, selanjutnya disebut GRI). GRI merupakan sebuah organisasi standar internasional yang independen sebagai standar laporan CSR. Lembaga pemerintah seperti Organization for Economic Coorperation and Development (OECD) dan lembaga non-pemerintah seperti Caux Roundtables dan lain-lain (Wibisono, 2007: 37-38).

(26)

19 Menurut GRI (2016) dari berbagai standar guidance pelaporan, standar pelaporan GRI mewakili praktik terbaik secara global dalam hal pelaporan dampak ekonomi, lingkungan dan sosial kepada publik. Pelaporan keberlanjutan yang berdasarkan pada Standar GRI memberikan informasi tentang kontribusi positif atau negatif organisasi bagi pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut sejalan dengan Wibisono (2007: 150) yang menyatakan bahwa Guidline yang paling banyak dijadikan rujukan dalam sustainability report saat ini adalah GRI. GRI membuat sustainability reporting guideline yang memberikan petunjuk pembuatan laporan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Sustainability report yang mengunakan guideline GRI mengalami beberapa perubahan koding dan tata cara pelaporan, terbukti menurut Semerdanta Pusaka (2017) dalam majalah CSR yang menjelaskan bahwa GRI melakukan revisi terhadap panduan laporan keberlanjutan dalam kurun waktu tertentu. Berawal dari GRI G2 atau versi 2 diterbitkan

(27)

20

pada tahun 2002. Kemudian GRI G3, GRI G3.1, GRI G4 diluncurkan berurutan pada tahun 2007, 2011, dan 2014. Pada tahun 2016 G4 melakukan revisi menjadi GRI standar yang di luncurkan di Indonesia pada tahun 2017 dan akan mulai efektif pada 1 juli 2018.

UNEP (2018) menyampaikan bahwa bank memiliki peran kunci dalam masyarakat sebagai perantara keuangan. Bank memiliki tujuan untuk membantu mengembangkan ekonomi berkelanjutan dan memberdayakan orang untuk membangun masa depan yang lebih baik. Peran bank tidak hanya berorientasi pada profit, melainkan juga melihat dampak sosial dan lingkungan sekitar. Sesuai dengan tujuan dari green economy yang di ungkapkan oleh UNEP di dalam buku Andreas Lako (2014: 24) yang menyatakan bahwa green economy sebagai konsep ekonomi yang dapat menghasilkan keadilan sosial dan perbaikan kehidupan manusia yang lebih baik secara signifikan dapat mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan sumber ekologis.

Pengungkapan laporan sustainability report sangat penting dan berpengaruh terhadap kinerja

(28)

21 keuangan, karena di dalamnya mengungkapkan laporan ekonomi, sosial dan lingkungan. Pengaruh tersebut di buktikan dengan penelitian mengenai pengaruh pengungkapan CSR dengan menggunakan standar GRI yang telah digunakan secara luas oleh perusahaan-perusahaan. Penerapan GRI pada industri perbankan dan perusahaan juga telah dilakukan pada penelitian terdahulu, dimana penelitian tersebut menjelaskan seberapa besar pengaruh dari pengungkapan CSR terhadap beberapa variabel diantaranya pada tabel berikut :

Tabel 1.1

Data penelitian terdahulu

Variabel Independent

Peneliti Hasil

Pengungkapan CSR

Sari (2006) Berpengaruh negatif terhadap ROA di Indonesia dan berpengaruh positif terhadap ROA di Malaysia Cheng (2011) Berpengaruh signifikan terhadap

(29)

22 Variabel Independent Peneliti Hasil Abnormal Return Pengungkapan CSR Rumengan (2017) Berpengaruh negatif terhadap ROE dan tidak berpengaruh signifikan terhadap ROI Gantino (2016) Berpengaruh positif signifikan terhadap ROA, ROE dan Price Book Value (PBV) Wijayanti (2016) Berpengaruh positif signifikan terhadap ROA Rosdwianti (2016) Berpengaruh signifikan terhadap

ROA, ROE, dan

Earning per Share.

Suciwati (2016)

Berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA dan ROE

(30)

23 Variabel

Independent

Peneliti Hasil

(2015) ataupun parsial tidak berpengaruh

siginifikan terhadap ROA, ROE dan Earning per

Share Angelia

(2015)

Tidak berpengaruh terhadap BOPO dan

profitabilitas

perusahan

Astuti (2015) Tidak berpengaruh terhadap abnormal return dan volume perdagangan yang tak terduga

Sejati (2015) Tidak memiliki

hubungan yang

signifikan pada

kinerja perusahaan

dan nilai perusahaan.

Novianto (2014)

Tidak memiliki pengaruh terhadap

(31)

24 Variabel Independent Peneliti Hasil kinerja keuangan perusahaan baik secara parsial maupun secara simultan Mustafa (2014) Tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan

Berbagai hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pengungkapan CSR dengan menggunakan standar indeks GRI yang dihubungkan dengan berbagai variabel menunjukkan hasil yang berbeda-berbeda, dimana hasil penelitian terdahulu ada yang menyatakan bahwa pengungkapan CSR berpengaruh signifikan baik positif maupun negatif. Akan tetapi pada penelitian lain hasilnya tidak berpengaruh signifikan.

(32)

25

BAB II

LAPORAN KEUANGAN

A. Definisi Laporan Keuangan

Suatu kegiatan usaha (bisnis) yang dijalankan oleh suatu perusahaan tentu memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh pemilik dan manajemen. Agar usaha yang dijalankan dapat dipantau perkembangannya setiap perusahaan harus mampu membuat catatan, pembukuan, dan laporan yang dibuat baik dalam periode tertentu yang biasa disebut dengan laporan keuangan. Berikut pengertian laporan keuangan dari beberapa pendapat diantaranya yaitu:

Kasmir (2012: 7) laporan keuangan adalah laporan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada tanggal tertentu (untuk neraca) dan periode tertentu (untuk laporan laba rugi). Laporan keuangan dibuat 3 bulan atau enam bulan untuk kepentingan internal perusahaan. Sementara untuk laporan yang lebih luas di buat satu tahun satu kali.

PSAK No.1 Tahun 2014 menyampaikan bahwa tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi

(33)

26

mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan arus kas entitas. Laporan keuangan juga bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan, untuk pengambilan suatu keputusan ekonomi yang menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas pengguna sumber daya yang dipercayakan kepadanya.

B. Pengungkapan Laporan Keuangan

Pengungkapan laporan keuangan perusahaan yang di tuangkan melalui laporan tahunan (Annual Report) tujuannya agar informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat dipahami dan tidak menimbulkan salah interpretasi. Maka penyajian laporan keuangan harus disertai dengan pengungkapan yang cukup.

Pengertian pengungkapan menurut Kartika (2009) dapat didefinisikan sebagai penyampaian informasi (the releas of information). Pengungkapan laporan keuangan merupakan suatu media pertanggungjawaban perusahaan kepada investor yang berguna untuk memudahkan pengambilan keputusan alokasi sumber daya ke usaha-usaha yang paling produktif.

(34)

27 Pengungkapan laporan keuangan juga memiliki beberapa tujuan yang di sampaikan oleh Kartika (2009) bahwa tujuan pengungkapan laporan keuangan diantaranya sebagai berikut :

1. Menjelaskan item-item yang diakui dan untuk menyediakan ukuran yang relevan bagi item-item tersebut, selain ukuran dalam laporan keuangan,

2. Menjelaskan item-item yang belum diakui dan untuk menyediakan ukuran yang bermanfaat bagi item-item tersebut, 3. Untuk menyediakan informasi untuk

membantu investor dan kreditur dalam menentukan risiko dan item-item yang potensial untuk diakui dan yang belum diakui,

4. Untuk menyediakan informasi penting yang dapat digunakan oleh pengguna laporan keuangan untuk membandingkan antar perusahaan dan antar tahun,

(35)

28

5. Untuk menyediakan informasi mengenai aliran kas masuk dan keluar di masa mendatang dan

6. Untuk membantu investor dalam menetapkan return dan investasinya.

C. Reformasi Pelaporan

Pandangan mengenai laporan keuangan yang hanya menitik beratkan pada profit dan angka saja, perlu melakukan reformasi atau pembaharuan. Dalam penyampaian laporan keuangan seharusnya bukan hanya menyajikan laporan keuangan saja, namun juga memadukan antara sosial dan lingkungan. Sejalan yang disampaikan oleh Lako (2011: 152-153) bahwa perusahaan dalam pelaporan keuangannya kurang responsif terhadap dinamika lingkungan bisnis yang berkembang begitu cepat. Pengabaian laporan CSR adalah salah satu contohnya.

Perlu adanya konsep untuk menyatukan antara laporan keuangan, sosial dan lingkungan. Lako (2011: 152-153) menyampaikan kerangka konseptual akuntansi yaitu Generally Accepted Accounting Principles (GAAP yang

(36)

29

selanjutnya disebut sebagai GAAP) yang mengekang

koorperasi selama ini harus segera di reformasi. Ada dua area yang perlu di reformasi yaitu :

1. Reformasi paradigma akuntansi yang menganggap bahwa masyarakat dan lingkungan bukanlah bagian dari mata rantai stakeholder dominan dan berada diluar area kendali perusahaan. Paradigma itu menyesatkan karena masyarakat dan lingkungan adalah pilar utama penopang kehidupan ekonomi suatu korporasi (Elkington, 2001). Karena itu masyarakat (people) dan lingkungan (planet) harus dimasukkan dalam mata rantai stakeholder dan bussiness entity. Karena merupakan pilar pencipta nilai dan menentukan prospek, risiko dan berkelanjutan suatu bisnis dalam jangka panjang. 2. Reformasi asumsi akuntansi bahwa masyarakat dan

lingkungan adalah beban (expense), sulit diukur nilainya serta tidak “material” disajikan dalam laporan keuangan. Asumsi itu juga menyesatkan karena masyarakat dan lingkungan adalah aset terpenting dalam korporasi dan bisa diukur nilainya. Informasi masyarakat, lingkungan juga “material”

(37)

30

dan relevan untuk di laporkan dalam laporan keuangan. Karena bisa mempengaruhi persepsi dan perilaku keputusan pelaku pasar serta nilai perusahaan. Studi Ariyani (2008) memperkuat keyakinan itu. Perusahaan perlu mengadopsi model sustainability Reporting dari Global Reporting Initiative (1999) atau mengadopsi Triple Bottom Line Reporting dari Elkington (1997) sebagai basis pelaporan keuangan yang ramah CSR.

(38)

31

BAB III

CORPORATE SOCIAL

RESPONSIBILITY (CSR)

A. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)

Konsep CSR semakin populer, namun konsep CSR ini belum memiliki definisi yang baku, sehingga CSR memiliki arti yang sangat luas dan beragam.

Berikut beberapa pengertian CSR dari beberapa sumber yaitu :

1. Menurut Santoso (2017) secara etimologis CSR dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan atau korporasi.

2. Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), CSR didefinisikan sebagai komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi. Bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan maasyarakat secara lebih luas (Lako, 2011: 27).

(39)

32

3. Menurut World Bank, CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan yang bekerja dengan karyawan dan perwakilan mereka masyarakat setempat dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara-cara yang baik untuk bisnis dan pengembangannya (Wibisono, 2007: 7). 4. Sedangkan menurut Undang-Undang Perseroan

Terbatas No. 40 Tahun 2007 pasal satu butir tiga adalah sebagai berikut: “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”

Beberapa pengertian CSR diatas masih memerlukan kajian tersendiri untuk mencari pengertian secara baku. Meskipun CSR belum memiliki definisi tunggal, konsep ini menawarkan sebuah kesamaan yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan.

(40)

33

B. Manfaat Corporate Sosial Responsibility (CSR)

CSR yang di jalankan perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek. Namun juga harus memiliki manfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat serta lingkungan jangka panjang. Ada beberapa manfaat CSR menurut Lako (2011: 90) yaitu sebagai berikut :

1. Sebagai investasi sosial yang akan menjadi sumber keunggulan kompetitif untuk mencapai profitabilitas dan kinerja keuangan perusahaan yang baik dalam jangka panjang.

2. Meningkatkan akuntabilitas dan apresiasi positif dari Stake holder atau pemangku kepentingan serta meningkatnya komitmen, etos kerja, efisiensi, dan produktivitas karyawan.

3. Menurunnya tingkat gejolak sosial dari masyarakat sekitarnya karena merasa diperhatikan dan dihargai perusahaan.

4. Meningkatnya reputasi, kepercayaan dan nilai perusahaan dalam jangka panjang.

(41)

34

C. Faktor - Faktor Peyebab Pentingnya CSR

CSR sangat penting kaitannya dengan perusahaan atau organisasi bisnis karena setiap perusahaan harus mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan ataupun masyarakat. Melalui berbagai kegiatan yang tujuannya untuk mengembangkan lingkungan serta memperbaiki kehidupan masyarakat. Menurut Sulistyaningtyas (2017) menyampaikan berbagai macam faktor yang menjadi penyebab pentingnya CSR dalam lingkup organisasi, diantaranya yaitu:

1. Konsumen dan investor membutuhkan gambaran mengenai tanggung jawab organisasi terhadap isu sosial dan lingkungannya,

2. Sebagai bagian dalam etika berorganisasi, maka dibutuhkan tanggung jawab organisasi untuk dapat mengelola organisasi dengan baik (lebih layak dikenal dengan good corporate governance),

3. Perusahaan dianggap memenuhi standard etika berorganisasi, ketika organisasi tersebut peduli pada lingkungan dan masalah sosial;

(42)

35 4. Tanggung jawab sosial dianggap menaikkan reputasi perusahaan sehingga mengurangi kerugian yang berpotensi terjadi pada perusahaan.

CSR bukan saja upaya menunjukkan kepedulian sebuah organiasasi pada persoalan sosial dan lingkungan, namun juga dapat menjadi pendukung terwujudnya pembangunan yang berkesinambungan dengan menyeimbangan aspek ekonomi dan pembangunan sosial yang didukung dengan perlindungan lingkungan hidup.

D. Teori Corporate Sosial Responsibility (CSR)

Ada beberapa teori yang digunakan dalam CSR diantaranya yaitu:

1. Teori Stakeholder

Konsep pertanggung jawaban sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an, yang secara umum di kenal dengan teori stakeholder artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder. Nilai-nilai pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk

(43)

36

berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan (Mantaputri & Widodo, 2016).

Perusahaan cenderung aktif untuk mengutamakan kepentingan sebagian kecil stakeholder, sehingga kepentingan dari stakeholder lainya terabaikan. (Ghozali & Chairiri, 2007) menulis artikel di New York Times Magazine yang Mengklaim tentang perusahaan-perusahaan hanya berikir bagaimana memperoleh keuntungan. Sedangkan masalah lainya seperti halnya peningkatan kemakmuran masyarakat itu lebih baik di serahkan kepada pemerintah saja. Hal ini memunculkan gagasan yang dinamakan teori stakeholder.

Menurut Ghozali et al (2007) Stakeholder theory adalah teori yang menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, tetapi juga harus memberikan manfaat kepada seluruh stakeholders-nya. Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian

(44)

37 sumber-sumber ekonomi yang di gunakan perusahaan. Oleh karena itu menurut Ghozali et al (2007) ”ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang memuaskan stakeholder”.

2. Teori Legitimasi

Teori lain yang melandasi CSR adalah teori legitimasi, menurut Dipraja (2015) teori legitimasi merupakan hal yang penting dalam perkembangan perusahaan kedepanya. Perlunya perusahaan memperoleh legitimasi dari seluruh stakeholders dikarenakan adanya batasan-batasan yang di buat dan di tekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai social. Reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memperlihatkan lingkungan.

Teori legitimasi memfokuskan pada kewajiban perusahaan untuk memastikan bahwa mereka beroperasi dalam bingkai dan norma yang sesuai dalam lingkungan masyarakat

(45)

38

dimana perusahaan itu berdiri. Perusahaan memastikan aktifitas yang dilakukan di terima sebagai sesuatu yang “sah” (Dipraja, 2015).

Praktek CSR yang dilakukan perusahaan bertujuan untuk menyelaraskan diri dengan norma masyarakat. Dengan adanya pengungkapan CSR yang baik, maka di harapkan perusahaan akan mendapat legitimasi dari masyarakat sehingga dapat meningkatkan kinerja yang bertujuan untuk pencapaian keuntungan perusahaan (Dipraja, 2015).

Namun teori legitimasi menurut Mantaputri & Widodo (2016) menyatakan bahwa jika profitability suatu perusahaan memperoleh laba yang tinggi, maka perusahaan tidak perlu melaporkan informasi keuangan sehingga dapat menimbulkan atau mengganggu sistematika pelaporan keuangan suatu perusahaan tersebut.

3. Teori Agensi

Menurut Rokhlinasari (2007) teori agensi menggambarkan perusahaan sebagai suatu titik

(46)

39 temu antara pemilik perusahaan (principal) dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling 1976, dalam Theory of firm: managerial behaviour, agency cost and ownership structure menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak yang terjadi antara manajer dengan pemilik perusahaan.

Terjadinya konflik kepentingan antara pemilik dan agen karena kemungkinan agen bertindak tidak sesuai dengan kepentingan prinsipal sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Teori agensi menjelaskan potensi konflik kepentingan diantara berbagai pihak yang berkepentingan dalam perusahaan tersebut. Konflik kepentingan ini terjadi dikarenakan perbedaan tujuan dari masing-masing pihak berdasarkan posisi dan kepentingan terhadap perusahaan. Sebagai agen, manajer bertanggungjawab secara moral untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik.

(47)

40

Manajer juga menginginkan untuk selalu memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak.

Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan di mana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki. Asimetri informasi antara manajemen dengan pemilik perusahaan dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan tindakan oportunis. Seperti manajemen laba (earnings management) mengenai kinerja ekonomi perusahaan sehingga dapat merugikan pemilik (pemegang saham). Dengan adanya masalah agensi yang disebabkan karena konflik kepentingan dan asimetri informasi ini, maka perusahaan harus menanggung biaya keagenan (agency cost).

(Rokhlinasari, 2007) juga menyampaikan bahwa Agency cost merupakan biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk biaya pengawasan terhadap agen, pengeluaran yang

(48)

41 mengikat oleh agen, dan adanya residual loss. Adanya penyimpangan antara keputusan yang diambil agen dan keputusan yang akan meningkatkan kesejahteraan prinsipal akan menimbulkan kerugian atau pengurangan kesejahteraan prinsipal. Nilai uang yang timbul dari adanya penyimpangan tersebut disebut residual loss. Perusahaan yang melakukan pengungkapan informasi tanggung jawab sosial dalam hal ini adalah corporate environmental disclosure memiliki tujuan untuk membangun image positif terhadap perusahaan dan mendapatkan perhatian dari masyarakat.

Dalam rangka memberikan informasi pertanggungjawaban sosial perusahaan memerlukan biaya, sehingga laba yang dilaporkan dalam tahun berjalan menjadi lebih rendah. Ketika perusahaan menghadapi biaya pengawasan dan biaya kontrak yang rendah dan visibilitas politis yang tinggi akan cenderung

untuk mengungkapkan informasi

(49)

42

informasi pertanggungjawaban sosial berhubungan positif dengan kinerja sosial, kinerja ekonomi dan visibilitas politis dan berhubungan negatif dengan biaya pengawasan dan biaya kontrak (biaya keagenan) (Rokhlinasari, 2007).

Menurut (Rokhlinasari, 2007), Berdasarkan teori agensi, perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan dan biaya kontrak yang rendah cenderung akan melaporkan laba bersih rendah. Perusahaan akan mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan manajemen salah satunya biaya yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat. Kemudian sebagai wujud pertanggungjawaban, manajer sebagai agen akan berusaha memenuhi seluruh keinginan pihak prinsipal dengan melakukan corporate environmental disclosure sebagai tindakan CSR.

Corporate environmental disclosure merupakan sinyal yang dapat mengalihkan perhatian pemegang saham dari pengawasan

(50)

43 manipulasi laba atau isu-isu lainnya. Hasilnya harga saham di pasar modal akan meningkat seiring meningkatnya kepercayaan pemegang saham terhadap transparansi informasi yang diungkapkan oleh perusahaan.

(51)

44

BAB IV

SUSTAINABILITY REPORT (SR)

Laporan CSR memerlukan penyajian yang mencakup ekonomi, sosial dan lingkungan yang biasa disebut dengan laporan sustainability report, namun belum ada definisi baku mengenai sustainability report tersebut. Ada beberapa pengertian mengenai sustainability report yaitu sebagai berikut :

1. Menurut Andreas Lako (2014: 128) sustainability report merupakan model pelaporan informasi korporasi kepada para pemangku kepentingan (stakeholder). Pemangku kepentingan ini yang juga mengintegrasikan pelaporan keuangan (financial reporting) dengan pelaporan sosial (social reporting), pelaporan lingkungan (Environmental reporting), dan pelaporan tata kelola korporasi (corporate governance reporting) secara terpadu dalam satu paket laporan.

2. Menurut GRI (2018) sustainability report adalah laporan yang diterbitkan oleh perusahaan atau

(52)

45 organisasi tentang dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang disebabkan oleh kegiatan sehari-hari. Laporan keberlanjutan juga menyajikan nilai-nilai dan model tata kelola perusahaan. Laporan tersebut menunjukkan hubungan antara strategi dan komitmennya terhadap ekonomi global yang berkelanjutan.

3. GRI (2018) juga menyampaikan bahwa Pelaporan keberlanjutan dapat dianggap sebagai sinonim dengan istilah lain untuk pelaporan non-keuangan, pelaporan triple bottom line, pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), dan banyak lagi. Laporan ini juga merupakan elemen intrinsik dari pelaporan terintegrasi, perkembangan yang lebih baru yang menggabungkan analisis kinerja keuangan dan non-keuangan.

4. Menurut website Sustainable Report (2007) sustainability report atau laporan keberlanjutan merupakan bentuk laporan yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam rangka untuk mengungkapkan (disclosure) atau mengkomunikasikan kepada seluruh pemangku

(53)

46

kepentingan. Mengenai kinerja Lingkungan, Sosial dan Tata kelola yang baik secara akuntabel. Pengungkapan sustainability reporting di Indonesia saat ini masih sebatas bersifat sukarela (voluntary).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa Sustainability report merupakan sebuah laporan berkelanjutan dimana yang disampaikan di dalam laporan tersebut bukan hanya tentang ekonomi namun juga menyajikan pelaporan lingkungan dan sosial.

(54)

47

BAB V

GLOBAL REPORTING INITIATIVE

(GRI)

A. Pengertian GRI

Pengugkapan laporan keuangan memerlukan sebuah pedoman atau indikator pengungkapan. Indikator yang sering digunakan untuk pengungkapan pelaporan sustainability report adalah standar Global Reporting Initiative (GRI, selanjutmya disebut GRI). Pengertian GRI menurut website GRI (2018), merupakan standar global pertama dan paling banyak diadopsi untuk pelaporan keberlanjutan.

Menurut Wibisono (2007) GRI adalah guideline yang

memberi petunjuk pembuatan laporan dengan

memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. GRI digunakan sebagai indikator pembuatan laporan sustainability report.

B. Tujuan GRI

Tujuan GRI sebagai guidance sustainability report agar dalam pembuatan laporannya memiliki

(55)

48

guidance yang menyesuaikan perusahaan penggunanya. Berikut merupakan beberapa tujuan dari GRI sebagai guidance sustainability report menurut website GRI (2018) yaitu :

1. Untuk mengungkapkan informasi keberlanjutan serta membantu mengidentifikasi dan mengelola risiko jangka panjang.

2. Mendukung perusahaan publik, swasta, besar dan kecil untuk membuat pelaporan dengan Standar yang melindungi lingkungan dan meningkatkan kepedulian masyarakat.

3. Untuk meningkatkan hubungan pemerintahan dan pemangku kepentingan, meningkatkan reputasi dan membangun kepercayaan sehingga meningkatkan profitabilitas perusahaan.

4. Untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, melalui pekerjaan yang lebih baik, kerusakan lingkungan yang kurang, akses ke air bersih, lebih sedikit anak dan kerja paksa, dan kesetaraan jender.

(56)

49

C. Sejarah GRI

Berikut merupakan sejarah organisasi GRI di mulai sejak pertama kali GRI didirikan, menurut website GRI (2018) yaitu sebagai berikut :

Tahun 1997

Tahun 1997 merupakan cikal bakal GRI, dimana GRI didirikan di Boston, AS. Akarnya terletak di organisasi nirlaba AS. Koalisi ekonomi yang bertanggung jawab terhadap Lingkungan yaitu Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES, selanjutnya disebut CERES). Program Lingkungan PBB United Nations Environment Programme (UNEP, selanjutnya disebut UNEP) juga terlibat dalam pembentukan GRI.

Tahun 1998

Pada tahun 1998 GRI membentuk komite pengarah multi-stakeholder untuk mengembangkan panduan organisasi. Komite Pengarah menyarankan untuk "melakukan hal lain dari lingkungan". Atas saran ini, ruang lingkup kerangka GRI diperluas untuk memasukkan isu-isu sosial, ekonomi, dan tata kelola.

(57)

50

Panduan GRI menjadi kerangka pelaporan keberlanjutan dengan pedoman pelaporan.

Tahun 2000

Pada tahun 2000 GRI meluncurkan versi pertama dari Pedoman, mewakili kerangka global pertama (G1) untuk pelaporan keberlanjutan yang komprehensif.

Tahun 2001

Pada tahun 2001 atas saran dari Komite Pengarah GRI, CERES membentuk GRI menjadi lembaga nirlaba independen yang terpisah.

Tahun 2002

GRI pindah ke Amsterdam, Belanda dan secara resmi diresmikan sebagai organisasi berkolaborasi dengan UNEP di hadapan Sekjen PBB saat itu, yaitu Kofi Annan. Ernest Ligteringen diangkat sebagai Chief Executive GRI. Generasi kedua dari pedoman Global Reporting Initiative 2 (G2, selanjutnya disebut G2) diluncurkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT, selanjutnya disebut KTT) dunia tentang pembangunan berkelanjutan di Johannesburg.

(58)

51 Tahun 2003

Tahun 2003 GRI meluncurkan Program Stakeholder organisasi yang memungkinkan organisasi terpilih mendukung inti GRI dan pertemuan awal dari GRI Stakeholder Council (SC, selanjutnya disebut SC). Tujuan SC adalah untuk bertindak sebagai forum kebijakan pemangku kepentingan formal dalam struktur tata kelola GRI. Fungsi tata kelola utama SC termasuk penunjukan anggota Dewan dan membuat rekomendasi mengenai kebijakan, perencanaan dan kegiatan bisnis di masa depan.

Tahun 2005

Tahun 2005 Komite Penasihat Teknis GRI (TAC/Technical Assistance Contrac, selanjutnya disebut TAC) diluncurkan untuk membantu Dewan dan sekretariat GRI dalam menjaga kualitas dan koherensi keseluruhan Kerangka GRI dengan memberikan saran dan keahlian teknis tingkat tinggi.

Tahun 2006

Permintaan untuk panduan pelaporan keberlanjutan GRI terus berkembang dan ini semakin didorong oleh peluncuran Panduan generasi ketiga,

(59)

52

Global Reporting Initiative 3 (GRI3, Selanjutnya disebut G3). Pada tahun 2006 lebih dari 3.000 ahli dari bisnis, masyarakat sipil dan gerakan buruh berpartisipasi dalam pengembangan G3.

Tahun 2007

Tahun 2007 Fokus utama GRI yaitu publikasi pendidikan, penelitian dan pengembangan sering di lakukan. GRI juga Bekerja sama dengan lembaga akademik, pusat keunggulan global dan badan pengaturan standar lainnya.

Pada tahun ini, GRI meluncurkan layanan tingkat aplikasi. Sebuah inisiatif baru yang diberikan kepada organisasi untuk memeriksa bahwa laporan keberlanjutan memiliki kumpulan dan jumlah pengungkapan yang diperlukan untuk memenuhi tingkat aplikasi yang dinyatakan sendiri oleh organisasi.

Tahun 2008

Tahun 2008 GRI merilis Pedoman Sektor pertama untuk sektor jasa keuangan. Penjangkauan GRI semakin berkembang ketika membentuk aliansi dengan piagam Bumi yaitu sebuah deklarasi prinsip-prinsip etika fundamental untuk membangun masyarakat global yang

(60)

53 adil, berkelanjutan dan damai. Sebagai bagian dari aliansi, GRI menerbitkan dokumen yang merinci sinergi antara pedoman G3 dan piagam Bumi. Piagam Bumi, GRI, dan Global Compact yaitu Panduan untuk Pengguna tentang sinergi dalam aplikasi.

Tahun 2009

Tahun 2009 layanan untuk pengguna GRI diperluas hingga mencakup sertifikasi perangkat lunak, dalam bentuk program perangkat lunak dan alat bersertifikasi GRI. Program ini bertujuan untuk memastikan bahwa konten GRI dalam perangkat lunak dan alat digital digunakan secara akurat.

Tahun 2010

Tahun 2010 GRI melihat rilis sejumlah publikasi yaitu GRI dan International Organization for Standardization (ISO, selanjutnya disebut ISO 26000) dalam Mempromosikan transparansi dan keberlanjutan.

Memorandum of Understanding (MOU) antara GRI dan Global compact PBB ditandatangani selama konferensi. Sebagai bagian dari MOU, GRI akan mengintegrasikan 10 prinsip Global Compact dan mengeluarkan area secara terpusat dalam literasi

(61)

54

berikutnya dari pedoman pelaporan keberlanjutan. Global Compact setuju untuk mengadopsi pedoman GRI sebagai kerangka pelaporan yang disarankan bagi perusahaan. Tahun 2011

Tahun 2011 GRI membuat panduan G3.1 yang merupakan pemutakhiran dan penyelesaian G3, dengan panduan yang diperluas tentang pelaporan gender, komunitas, dan kinerja terkait hak asasi manusia telah dirilis.

GRI juga merilis publikasi tentang bagaimana pedoman pelaporan inisiatif Global yang cocok dengan proyek pengungkapan karbon. Tiga panduan sektor baru juga dirilis yaitu pelaporan pertambangan, logam, operator Bandar udara, konstruksi dan real estat.

Database Pengungkapan Keberlanjutan GRI diluncurkan pada tahun 2011, yang mengelompokkan semua laporan keberlanjutan berbasis GRI dan non-GRI. Jumlah laporan telah berkembang secara fenomenal dalam beberapa tahun terakhir dan hari ini mencapai lebih dari 24.000.

(62)

55 Tahun 2012

Tahun 2012 GRI menyelenggarakan konferensi Australia pertama di Melbourne. Menarik 250 peserta dari 11 Negara berbeda. Pada tahun yang sama, GRI AS mengadakan dua konferensi Amerika Utara, satu di St Louis, Missouri, dan satu di Toronto, Kanada.

Konferensi utama yang mendominasi tahun ini adalah konferensi Rio+20 Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembangunan berkelanjutan. GRI mengadakan sejumlah acara yang lain selama konferensi dan merupakan bagian dari koalisi ekonomi hijau dan koalisi pelaporan keberlanjutan korporasi yang dipimpin oleh Aviva Investors.

Tahun 2013

Tahun 2013 konferensi GRI global keempat yang berjudul, "Informasi - Integrasi - Inovasi," berlangsung mengumpulkan 1.600 delegasi dari 69 Negara. Bersamaan dengan itu, GRI merilis generasi keempat dari Panduannya, Global Reporting Index 4 (GRI4,selanjutnya disebut G4) yang menawarkan Prinsip Pelaporan, Pengungkapan Standar, dan Panduan Penerapan untuk

(63)

56

persiapan laporan keberlanjutan oleh organisasi dari berbagai ukuran atau sektor.

Tahun 2014

Tahun 2014 layanan indeks GRI diluncurkan, dan layanan indeks ini menyediakan layanan verifikasi untuk akurasi dan penyelarasan Indeks konten laporan berbasis G4, selanjutnya versi terbaru yang mencakup Pedoman G4 diluncurkan.

Tahun 2015

Tahun 2015 GRI meluncurkan Ujian G4, yaitu dengan 60 pertanyaan ujian pilihan ganda yang memungkinkan individu untuk mendapatkan akreditasi pada kemampuan mereka untuk menggunakan pedoman G4 GRI. Ujian ini tersedia di lebih dari 70 Negara, dan peserta yang berhasil menerima sertifikat dan nama mereka tercantum di situs web GRI selama tiga tahun. Oktober 2016

Tahun 2016 GRI meluncurkan standar global pertama untuk pelaporan berkelanjutan, dan dikembangkan oleh Badan Standar Keberlanjutan Global (GSSB). Standar GRI akan membuat semua organisasi untuk melaporkan secara publik tentang dampak

(64)

57 ekonomi, lingkungan dan sosial mereka. Hal tersebut menunjukkan bagaimana perusahaan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.

Standar GRI juga merupakan referensi tepercaya bagi pembuat kebijakan dan regulator, dan memiliki struktur modular sehingga dapat terus diperbarui dan relevan.

Tahun 2017

Menurut Farizhabib (2017) pada tahun ini lebih menjelaskan dari awal hingga akhir perjalanan sejarah GRI, yang digambarkan melalui gambar dibawah ini :

Gambar 5.1. Lini masa standar GRI (G1 – GRI

(65)

58

BAB V

KINERJA PERUSAHAAN

(FIRM PERFORMANCE)

Perusahaan dalam operasionalnya membutuhkan investasi dari investor. Salah satu penilaian investor untuk berinvestasi yaitu dengan cara melihat keuntungan yang di dapatkan dari operasional perusahaan. Salah satu faktor penting untuk menilai keuntungan suatu perusahaan yaitu dengan cara melihat kinerja keuangannya.

Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar (Tanor, 2015). Penilaian Kinerja Keuangan dapat dinilai dengan perhitungan rasio keuangan. Nilai rasio keuangan tersebut yang nantinya dibandingkan dengan tolak ukur yang telah ada. Membandingkan nilai rasio keuangan yang diperoleh dari tahun ke tahun merupakan langkah guna mengetahui kondisi hasil perhitungan tersebut apakah baik atau kurang baik (Tanor, 2015).

(66)

59 Menurut penulis kinerja keuangan adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk melihat kondisi sebuah perusahaan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.

A. Analisis Rasio Keuangan

Laporan keuangan melaporkan aktivitas yang sudah dilakukan perusahaan dalam suatu periode tertentu untuk melihat kinerja keuangannya. Salah satu cara untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan yaitu dengan menggunakan beberapa rasio keuangan.

Kasmir (2012: 104) menyatakan rasio keuangan merupakan kegiatan membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara membagi satu angka dengan angka lainnya. Menurut Erica (2018) menyataan bahwa Rasio Keuangan merupakan suatu gambaran dari hubungan atau perimbangan (mathematical relationship) antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain. Dengan menggunakan alat analisa berupa rasio ini akan dapat menjelaskan atau memberi gambaran kepada penganalisa

(67)

60

tentang baik atau buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu perusahaan.

Menurut Tanor (2015) secara umum rasio keuangan yang sering dipakai dalam melakukan analisis rasio keuangan bank dibagi beberapa golongan:

1. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio)

Kita sering mendengar banyak perusahaan yang bangkrut karena tidak sanggup untuk membayar seluruh atau sebagian hutang yang sudah jatuh tempo. Hal tersebut terkait dengan permodalan yang biasa kita sebut dengan likuiditas. Kasmir (2012: 130) menyebutkan bahwa Rasio likuiditas atau biasa disebut dengan nama rasio modal kerja merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa likuidnya suatu perusahaan. Caranya adalah dengan membandingkan komponen yang ada di neraca, yaitu total aktiva lancar dengan total passiva lancar (utang jangka pendek). Salah satu rasio likuiditas adalah Financing to

(68)

61 Deposit Ratio (FDR, selanjutnya disebut FDR) adalah rasio antara jumlah pembiayaan yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. FDR dihitung dari perbandingan antara total pembiayaan yang diberikan bank dengan dana pihak ketiga (DPK, selanjutnya disebut DPK). DPK yang dimaksud yaitu antara lain giro, tabungan, dana deposito (Masrurroh & Mulazid, 2015).

Menurut Wahyu (2018) FDR merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur likuiditas suatu bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan pembiayaan yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Dengan cara membagi jumlah pembiayaan yang diberikan oleh bank terhadap DPK. Semakin tinggi FDR maka semakin tinggi dana yang disalurkan ke DPK.

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah, FDR dapat diukur dari

(69)

62

perbandingan antara seluruh pembiayaan yang diberikan terhadap dana pihak ketiga. Besarnya pembiayaan yang diberikan akan menentukan keuntungan bank. Batas minimal nilai FDR yang baik adalah 80%. Menurut Fakhruddin & Purwanti (2015) jika niali FDR dibawah 80% maka perusahaan tersebut tidak sehat.

2. Rasio Solvabilitas (Leverage Ratio) Perusahaan dalam operasionalnya memiliki berbagai kebutuhan, terutama yang berkaitan dengan dana agar perusahaan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam praktiknya untuk menutupi kekurangan kebutuhan dana, perusahaan memiliki beberapa pilihan sumber dana. Pengunakaan dana yang bersumber dari pinjaman harus di batasi. Penggunaan dana pinjaman atau utang ini disebut dengan rasio solvabilitas. Kasmir (2012: 151) menyampaikan bahwa Rasio solvabilitas atau leverage ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur

(70)

63 seberapa besar beban hutang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan aktivanya. Dalam arti lain rasio solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar seluruh kewajibannya jika perusahaan tersebut dibubarkan atau di likuidasi.

Salah satu rasionya adalah dengan menggunakan Capital Adequacy Ratio (CAR, selanjutnya disebut CAR). CAR digunakan untuk mengukur kemampuan permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan kerugian didalam kegiatan pembiayaan dan perdagangan surat-surat berharga. Bank yang memiliki kecukupan modal yang tinggi maka akan meningkatkan kepercayaan diri dalam menyalurkan pembiayaan atau pendanaan (Fakhruddin & Purwanti, 2015). Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia PBI No. 9/24/ DPBS, tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan

(71)

64

Prinsip Syariah, berikut kriteria peringkat CAR: - Peringkat 1 KPMM ≥ 12% - Peringkat 2 9% ≤ KPMM < 12% - Peringkat 3 8% ≤ KPMM < 9% - Peringkat 4 6% < KPMM < 8% - Peringkat 5 KPMM ≤ 6%

Bank syariah yang memiliki CAR di bawah 8% maka dianggap tidak sehat. 3. Rasio Profitabilitas (Profitability Ratio)

Tujuan akhir yang ingin dicapai perusahaan adalah memperoleh laba atau keuntungan yang maksimal. Untuk mengukur tingkat keuntungan suatu perusahaan yaitu menggunakan rasio profitabilitas. Kasmir (2012: 196) menyampaikan rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Rasio ini menunjukkan laba

(72)

65 perusahaan untuk melihat efisiensi perusahaan.

Menurut (Tanor, 2015), yang digunakan dalam mengukur rasio profitabilitas biasanya yaitu :

1. Return on Assets (ROA)

Return on Assets (ROA, selanjutnya disebut ROA) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur

kemampuan manajemen dalam

memperoleh keuntungan secara keseluruhan (Kasmir, 2008: 237).

ROA merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh laba secara keseluruhan Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia PBI No. 9/24/ DPBS tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, berikut kriteria peringkat ROA:

(73)

66 - Peringkat 1 ROA > 1,5% - Peringkat 2 1,25% < ROA ≤ 1,5% - Peringkat 3 0,5% < ROA ≤ 1,25% - Peringkat 4 0% < ROA ≤ 0,5% - Peringkat 5 ROA ≤ 0

Semakin tinggi nilai rasio maka semakin baik perolehan laba yang dimiliki (Fakhruddin & Purwti, 2015).

2. Return on Equity (ROE)

Return On Equity (ROE, selanjutnya disebut ROE) menurut Kasmir (2012: 204) merupakan rasio untuk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ROE maka semakin baik karena posisi pemilik perusahaan semakin kuat, dan sebaliknya.

3. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)

Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO, selanjutnya disebut BOPO) menurut Tanor

(74)

67 (2015) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan pendapatan operasional dalam menutup biaya operasionalnya.

Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia PBI No. 9/24/ DPBS tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, berikut kriteria peringkat BOPO:

- Peringkat 1 BOPO ≤ 83%

- Peringkat 2 83% < BOPO ≤ 85% - Peringkat 3 85% < BOPO ≤ 87% - Peringkat 4 87% < BOPO ≤ 89% - Peringkat 5 BOPO > 89%

Semakin rendah BOPO maka bank syariah akan semakin sehat.

Gambar

Gambar  1.1  menjelaskan  bahwa  selain  pertambahan  penduduk,  perubahan  pola  konsumsi  penduduk  di  masing-masing  wilayah  mempengaruhi  pertambahan  timbunan  sampah
Gambar 5.1. Lini masa standar GRI (G1 – GRI
Gambar 6.1. Hubungan antar Variabel

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh karaketristik Corporate Governance terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial di dalam perusahaan pertambangan.. Pengungkapan

“Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR Disclosure) pada Laporan Tahunan Perusahaan : Study Empiris pada Perusahaan

Corporate Social Responsibility Disclosure Indeks (CSDI) adalah indeks yang dipakai sebagai ukuran mengukur seberapa besar pengungkapan tanggung jawab sosial yang telah

pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan?.. 4) Bagaimana ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap. pengungkapan tanggung jawab

“Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR Disclosure) pada Laporan Tahunan Perusahaan : Study Empiris pada Perusahaan

&#34;Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR Disclosure) pada Laporan Tahunan Perusahaan : Study Empiris pada Perusahaan

“Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR Disclosure) pada Laporan Tahunan Perusahaan : Study Empiris pada Perusahaan

Pengaruh struktur kepemilikan terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (csr disclosure) pada laporan tahunan perusahaan: studi empiris pada