• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Penyusunan Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penelitian Penyusunan Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH AKADEMIS

RANCANGAN PERATURAN

DAERAH KABUPATEN

JEMBRANA

TENTANG PENYELENGGARAAN

PELAYANAN PUBLIK

KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT KABUPATEN JEMBRANA

DAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TIM PENELITI

1. I Ketut Sudiarta.,SH.,MH

2. Ni Luh Gede Astariyani.,SH.,MH

(3)

KATA PENGANTAR

Pemerintah Kabupaten Jembrana bekerjasama dengan

Fakltas Hukum Universitas Udayana untuk menyusun

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang

Pelayanan Publik beserta Konsep Awal Rancangan Peraturan

Daerah. Berdasarkan kerjasama tersebut Fakultas Hukum

pengerjaannya ditugaskan kepada Pusat Perancangan Hukum

Fakultas Hukum Universitas Udayana (PPH FH-UNUD), yang

selanjutnya membentuk tim peneliti yang bertugas melakukan

penelitian hukum dan menuangkannya dalam bentuk Naskah

Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah .

Naskah Akademik ini sebagai karya penelitian hukum ‒ tidak

menutup, bahkan sangat mengharapkan, kritik dan saran dari

pembaca, untuk penyempurnaannya. Terutama dalam konsultasi

publik, masukan dari masyarakat sangat diperlukan dalam

penyempurnaan Naskah Akademik dan Konsep Awal Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan

Publik.

Terimakasih disampaikan kepada pimpinan Fakultas Hukum

Universitas Udayana dan Pemerintah Kabupaten Jembrana,

sehingga Tim Peneliti mempunyai kesempatan mengembangkan

bidang keilmuannya. Terimakasih juga pada anggota Tim Peneliti

atas dedikasi dan integritasnya sehingga tugas ini dapat

diselesaikan.

Denpasar, November 2015

(4)

Ketua,

DAFTAR ISI

Narasi Pengantar ……….. ii

Daftar Isi ……….. iv

Daftar Tabel ……….. vii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 6

C. Tujuan dan Kegunaan………. 6

D. Metode……….. 8

BAB II KAJIAN TEORITIS………. 13

A Kajian Teoritis……… 13

B Kajian terhadap asas / prinsip yang terkait dengan penyusunan norma………. 15

C Kajian Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat……… 20

D Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan daerah………. 24

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT………. 25

(5)

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN

YURIDIS………... 32

A. Pandangan Akhli dan UU 12/2011…………. 32

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH… 40 A Ketentuan Umum……… 40

B Materi Yang Akan Diatur………... 42

BAB VI PENUTUP………. 44

A Simpulan ……….. 44

B Saran……… 45

 DAFTAR PUSTAKA >> 46

 LAMPIRAN:

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang

Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU

12/2011 dan Penjelasannya)……….. 16

Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang

Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan penjelasan……… 17 Tabel 3 : Visi dan Misi... 22

Tabel 4 : Jenis Layanan Perizinan Di Kabupaten Jembrana Tahun

2014... 22

Tabel 5: Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan... 31

Tabel 6 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan

menurut Para Sarjana Indonesia... 34

Tabel 7 : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan

perundang-undangan………. 38

(7)
(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pelayanan publik sesungguhnya yang menjadi produk dari

organisasi pemerintahan adalah pelayanan masyarakat (publik

service). Pelayanan tersebut diberikan untuk memenuhi hak

masyarakat, baik itu merupakan layanan civil maupun layanan

public dalam bentuk pelayanan jasa dan barang. Pelayanan pada

dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak yang didasrkan

pada komitmen pelayanan yang melekat pada setiap orang, baik

secara pribadi maupun berkelompok (organisasi), dan dilakukan

secara universal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan

oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan.” 1

Pemerintah Kabupaten Jembrana belum memiliki dasar

pengaturan tentang pelayanan public. Pemerintah Kabupaten

Jembrana terus berbenah diri dengan meningkatkan sumber daya

manusia (SDM) dalam upaya meningkatkan pelayanan publik .

Sarana dan prasarana juga terus dilengkapi sehingga aparatur

negara mampu lebih cepat memberikan pelayanan terhadap

keperluan masyarakat, baik terhadap perizinan, kependudukan,

kesehatan, maupun keperluan lainnya. Kawasan perkantoran

Pemerintah Kabuapten Jembrana cukup strategis, dan beberapa

instansi terkait berada dalam suatu kawasan sehingga

mempermudah masyarakat jika berhubungan dengan aparatur

pemerintah. Aparatur pemerintah yang mampu melakukan tugas

(9)

dengan baik dan cekatan tentu akan menerima penghargaan dari

pemerintah, upaya itu guna mendorong aparat melakukan tugas

dengan baik. Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan

mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas

pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan

umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu

proses pelaksanaan urusan publik.2 Sedangkan tugas mengatur

lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat

pada posisi jabatan birokrasi. Keberadaan pelayanan publik

sebagai bentuk pelayanan penyelenggaraan administrasi

pemerintah, pembangunan dan masyarakat Kabupaten Jembrana

, memiliki peranan dan fungsi strategis sebagai bahan

pertanggungjawaban proses administrasi dan fungsi-fungsi

manajemen.

Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menentukan

pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum

konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah. Mengenai

otonomi dan tugas pembantuan ditentukan dalam Pasal 18 ayat

(2) UUD 1945, bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah

kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5)

UUD 1945).

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

(10)

Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5587). UU 23/2004 merupakan dasar hukum

pembentukan peraturan daerah. Pasal 236 menentukan:

Pasal 236

(1)Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan

TugasPembantuan, Daerah membentuk Perda.

(2)Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh

DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 344 ayat (1) Undang-Undang No 23 tahun 2014

tentang Pemerintahan daerah mengatur bahwa Pemerintah Daerah

wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 No. 32) Dalam Pasal Produk

hukum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a

berbentuk:

a. Perda atau nama lainnya; b. Perkada;

c. PB KDH; dan d. Peraturan DPRD

Pasal 5 UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (

selanjutnya disebut UU Pelayanan Publik ) adalah menyangkut

dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah.Pengaturan

(11)

(1) Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait.

(3) Pelayanan barang publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;

b. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

c. pengadaan dan penyaluran barang publik yang

pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(4) Pelayanan atas jasa publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran

pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran

pendapatan dan belanja daerah;

b. penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari

kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang

dipisahkan; dan

c. penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari

kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang

dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(12)

dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik.

(6) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

(7) Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.

b. tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan

perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan

perjanjian dengan penerima pelayanan.

Pengaturan terkait dengan materi muatan diatur dalam Pasal

8 yang mengatur :

(1) Organisasi Penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan

pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan.

(2) Penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya meliputi:

a.pelaksanaan pelayanan;

b.pengelolaan pengaduan masyarakat;

c.pengelolaan informasi;

d.pengawasan internal;

e.penyuluhan kepada masyarakat; dan

f. pelayanan konsultasi.

(3) Penyelenggara dan seluruh bagian Organisasi Penyelenggara bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.

Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah mengatur No 96 Tahun

2011 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tentang

Pelayanan Publik mengatur bahwa Materi muatan yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi :

a. ruang lingkup pelayanan publik;

b. sistem pelayanan terpadu;

c. pedoman penyusunan standar pelayanan;

d. proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat dalam

(13)

e. pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Berkenaan dengan materi muatan peraturan daerah. Dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya

disebut PP 38/2007), yang memasukan urusan pemerintahan

bidang pelayanan publik diatur dalam Lampiran huruf T PP

38/2007 (huruf T tersebut tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum,

Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian,

Dan Persandian).

Ketentuan tersebut diimplementasikan dalam Peraturan

Daerah Kabupaten JembranaNomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan

Pemerintah Kabupaten Jembrana. Berdasarkan UU 23 Tahun

2014 menunjukan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana

memiliki kewenangan mengatur dalam bentuk Peraturan Daerah.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan

identifikasi masalah, yakni bahwa Pelayanan Publik di Kabupaten

Jembrana merupakan suatu hal yang mendapat perhatian

sehingga perlu dilakukan pengaturan, oleh karena itu perlu

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembranatentang

Pelayanan Publik.

Berdasarkan pada identifikasi masalah tersebut dapat

dirumuskan 3 (tiga) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:

1.Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan

pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten

(14)

2.Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,

sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembran tentang Pelayanan Publik ?.

3.Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang

Pelayanan Publik ?.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang

dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik

dirumuskan sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai

alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik .

2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,

sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembranatentang Pelayanan Publik .

3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang

Pelayanan Publik

Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah

sebagai acuan penyusunan dan pembahasan Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan

(15)

D. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya

merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah

Akademik - digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian

hukum.3

D.1 Jenis Penelitian.

Di dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis penelitian

yaitu : 4

a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal, mempergunakan data sekunder berupa ; peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hukum terkemuka, Analisis data sekunder dilakukan secara normative kualitatif yaitu yuridis kualitataif.

b. Metode penelitian hukum sosiologis / empiris,

mempergunakan semua metode dan tehnik-tehnik yang lasim dipergunakan di dalam metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial / empiris.

Bertitik tolak dari pemasalahan yang diangkat dalam kajian

ini, maka jenis penelitian dalam kajian ini mempergunakan

penelitian hukum normative. Dalam beberapa kajian jenis

penelitian seperti ini juga disebut dengan penelitian dogmatik.5

Dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji persoalan

hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari

bahan hukum primer ( primary sources or authorities )

bahan-bahan hukum sekunder ( secondary sources or authorities ) dan

bahan hukum tersier ( tertier sources or authorities ). Bahan-bahan

3 Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum

Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor, hal. 177-178.

4 Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta, 1985, hal. 9.

5 Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta )

(16)

hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan,

bahan-bahan hukum sekunder dapat berupa makalah,

buku-buku yang ditulis oleh para ahli dan bahan hukum tersier berupa

kamus bahasa hukum dan kamus bahasa Indonesia.

D.2. MetodePendekatan.

Dalam penelitian hukum normative ada beberapa metode

pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan ( statute

approach ), pendekatan konsep (conceptual approach ), pendekatan

analitis ( analytical approach ), pendekatan perbandingan (

comparative approach ), pendekatan histories ( historical approach

), pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan pendekatan

kasus ( case approach).6 Dalam penelitian ini digunakan beberapa

cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam

penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (

statute approach ), pendekatan kasus ( case approach ) dan

pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ).

Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ),

dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang

bersangkut paut dengan pendelegasian kewenangan, antara lain

UU Kearsiapan dan UU Pemda.

Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach )

dilakukan dengan menelaah pandangan-pandangan mengenai

pendelegasian kewenangan sesuai dengan penelitian ini..7

Disamping itu digunakan pendekatan kontekstual terkait dengan

penrapan hukum dalam suatu waktu yang tertentu.

6 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, hal. 93-137.

(17)

D.3. Sumber Bahan Hukum.

Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder.8 Bahan hukum primer adalah segala

dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini

adalah UU Kearsiapan dan UU Pemda serta peraturan

perundang-undangan yang lain yang terkait dengan pendelegasian

kewenangan mengatur pada peraturan perundang-undangan.

Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan

hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum

yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, termasuk di

dalamnya kamus dan ensiklopedia.

Selain itu akan digunakan data penunjang, yakni berupa

informasi dari lembaga atau pejabatdi lingkungan Pemerintah

Daerah Kabupaten Jembrana

D.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.

Bahan hukum dikumpulkan melakukan studi dokumentasi,

yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang

relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum

tersier.Untuk mendukung bahan hukum tersebut dilakukan

wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan yang terkait

dengan Pelayanan Publik.

1.6.5. Teknis Analisis Bahan Hukum

Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang

dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi,

interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Philipus

8 C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada

(18)

M.Hadjon mengatakan bahwa tehnik deskripsi adalah mencakup

isi maupun struktur hukum positif.9 Pada tahap deskripsi ini

dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan

hukum yang dikaji .dengan demikian pada tahapan ini hanya

menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.10 Lebih

lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan :

The relation berween a given formulation and specific complex of facts.The technique of argumentation demanded by this method is directed toward discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either covered by it or not.11

( terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang saling melengkapi satu sama lain )

Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I

Dewa Gede Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat

dibedakan menjadi :12

1. Penafsiran otentik ; yakni penafsiran yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran

ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang

dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan (

biasanya sebagai lampiran ). Penafsiran otentik ini

mengikat umum ;

9 Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember hal. 33.

10 Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz, hal. 16.

11 Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles, hal. 111.

12 I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka

Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen”

(19)

2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang

ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak

yang bersangkutan ;

3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum ; merupakan

penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan

buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini

tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun karena

wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan,

secara materiil mempunyai pengaruh terhadap

pelaksanaan undang-undang.

Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I

Dewa Atmadja di atas, maka untuk membahas persoalan hukum

yang akan dikaji, akan dipergunakan penafsiran otentik,

penafsiran gramatikal dan penafsiran sejarah hukum.

Penafsiran otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah

penafsiran yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh

pembentuk undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya

dan peraturan perundang-undangan yang lain.

Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini

dilakukan dalam kaitannya untuk menemukan makna atau arti

aturan hukum, khususnya aturan hukum yang berkaitan dengan

(20)

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

Tugas utama pemerintah adalah memberikan kesejahteraan

dan kemakmuran bagi masyarakatnya, melayani kepentingan

masyarakat secara merata dan berkedilan, memberikan

perlindungan dan rasa aman serta kemudahan dalam

memberikan pelayanan. Pengertian Layanan Publik,

Sesungguhnya yang menjadi produk dari organisasi pemerintahan

adalah pelayanan masyarakat (public service). Pelayanan tersebut

diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik itu merupakan

layanan civil maupun layanan publik. Artinya kegiatan pelayanan

pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak. Ia melekat

pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok

(organisasi), dandilakukan secara universal. Pelayanan publik

atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk

jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa

publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan

dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di

lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik

Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat

maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya,

pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi

(21)

1. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang

diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua

penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan

oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS,

perusahaan pengangkutan milik swasta.

2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang

diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat

dibedakan lagi menjadi :

a. Yang bersifat primer dan,adalah semua penye¬diaan

barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh

pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan

satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau

tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah

pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan

pelayanan perizinan.

b. Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk

penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan

oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya

pengguna/klien tidak harus mempergunakannya

karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.

Ada lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan

ketiga jenis penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, yaitu:

1. Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan

sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh

pengguna.

2. Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi posisi tawar

pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang

(22)

3. Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah

penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya

dengan pengguna/klien.

4. Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang

memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna

ataukah penyelenggara pelayanan.

5. Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan

pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih

dominan.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh

organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan.” Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas

pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan

umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu

proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur

lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat

pada posisi jabatan birokrasi

B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,

sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan hukum, yakni adanya

keadilan dan kepastian hokum, adalah telah dipositipkan dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam undang-undang

sebagaimana dimaksud, asas yang bersifat formal diatur dalam

Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6.

(23)

penjelasan pasal dimaksud. Dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, asas yang bersifat formal

pengertiannya dapat dikemukakan dalam tabel berikut.

Tabel 1 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasannya)

Pasal 5 UU 12/2011 Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011

Dalam membentuk

a. kejelasan tujuan bahwa setiap Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (PPu) harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau pejabat

pembentuk yang tepat

bahwa setiap jenis PPu harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk PPu yang berwenang. PPu tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan

bahwa dalam Pembentukan PPu harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki PPu.

d. dapat

dilaksanakan

bahwa setiap Pembentukan PPu harus memperhitungkan efektivitas PPu tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

e. kedayagunaan dan

kehasilgunaan

bahwa setiap PPu dibuat karena

memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. kejelasan rumusan

(24)

mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. Keterbukaan bahwa dalam Pembentukan PPu mulai

dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

memberikan masukan dalam Pembentukan PPu.

Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan

Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya,

sebagaimana tampak dalam tabel berikut.

Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)

PASAL 6 UU 12/2011 PENJELASAN PASAL 6 UU

12/2011

Ayat (1)

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan

memberikan pelindungan untuk

menciptakan ketentraman

masyarakat.

b. Kemanusiaan bahwa setiap Materi Muatan PPu

harus mencerminkan

pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

(25)

harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga

prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

d. Kekeluargaan bahwa setiap Materi Muatan PPu

harus mencerminkan

musyawarah untuk mencapai

mufakat dalam setiap

pengambilan keputusan.

e. Kenusantaraan bahwa setiap Materi Muatan PPu

senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah

Indonesia dan Materi Muatan PPu yang dibuat di daerah merupakan

bagian dari sistem hukum

nasional yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

f. Bhinneka Tunggal Ika bahwa Materi Muatan PPu harus

memperhatikan keragaman

penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

g. Keadilan bahwa setiap Materi Muatan PPu

harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

h. Kesamaan Kedudukan

dalam Hukum dan

Pemerintahan

bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak boleh memuat hal yang

bersifat membedakan

berdasarkan latar belakang,

antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

i. Ketertiban dan

Kepastian Hukum

bahwa setiap Materi Muatan PPu

harus dapat mewujudkan

ketertiban dalam masyarakat

melalui jaminan kepastian

hukum.

(26)

individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Ayat (2)

PPu tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

antara lain:

a. dalam Hukum Pidana,

misalnya, asas legalitas, asas

tiada hukuman tanpa

kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b. dalam Hukum Perdata,

misalnya, dalam hukum

perjanjian, antara lain, asas

kesepakatan, kebebasan

berkontrak, dan itikad baik. Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan

Asas-asas tersebut kemudian membimbing para legislator

dalam perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum, yang

berlangsung dengan cara menjadikan dirinya sebagai titik tolak

bagi permusan norma hukum dalam aturan hukum.

Berdasarkan Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009 Penyelenggaraan

Pelayanan Publik berasaskan:

a.kepentingan umum;

b.kepastian hukum;

c.kesamaan hak;

d.keseimbangan hak dan kewajiban;

e.keprofesionalan;

f. partisipatif;

g.persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;

h.keterbukaan;

i. akuntabilitas;

j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;

k.ketepatan waktu; dan

l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Dalam Pasal 344 Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah mengatur tentang asas-asas yang melandasi

tentang pelayanan public antara lain :

(27)

b. kepastian hukum; c. kesamaan hak;

d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan;

f. partisipatif;

g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan;

i. akuntabilitas;

j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan

l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Penyusunan Raperda Kabupaten Jembranadidasarkan pada

asas-asas tersebut di atas, baik asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik yang formal dan materiil, maupun

asas yang termuat dalam UU Pelayanan Publik dan dalam UU

Pemda .

C.KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN, KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT

Pemerintah Kabupaten Jembrana sangat menyadari bahwa

otonomi daerah dilaksanakan untuk mendekatkan pelayanan

kepada masyarakat utamanya dalam penyelenggaraan pelayanan

publik yang berkualitas termasuk memberi ruang kepada

masyarakat untuk menyampaikan pengaduan atas

penyelenggaraan pelayanan publik. Pengaduan maksudnya

adalah pengaduan masyarakat yang merupakan bentuk

penerapan dari pengawasan masyarakat yang disampaikan oleh

masyarakat, baik secara lisan maupun tertulis kepada Aparat

Pemerintah Daerah, berupa saran, gagasan atau

keluhan/pengaduan yang bersifat membangun.

Setiap penyelenggara pelayanan publik memang harus terus

menerus melakukan upaya untuk membangun kepercayaan

(28)

agar seiring dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap

peningkatan pelayanan publik. Peningkatan kualitas pelayanan

publik dapat dilakukan melalui penyediaan pelayanan publik

sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang

baik serta memberi perlindungan kepada masyarakat dari

penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan

publik.

Pemerintah Kabupaten Jembrana melkaukan upaya melalui

reformasi paradigma lama melalui peningkatan kesadaran

perangkat birokrasi yang dimanifestasikan antara lain dalam

perilaku : 13

a. melayani bukan dilayani;

b. mendorong bukan menghambat;

c. mempermudah bukan mempersulit;

d. sederhana bukan berbelit-belit;

e. transparan bukan tertutup;

f. terbuka untuk setiap orang dan bukan unutk

segelintir orang.

Kantor Pelalayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana

dalam memberikan layanan perizinan memerapkan Standar

Operasional yang konsisten pedoman :

1. arah dan kepastian;

2. proporsional;

3. professional;

4. berstandar;

5. serta memenuhi prinsip-prinsip pelayanan prima yang

mengarah pada tercapainya tujuan, visi dan misi.

Visi dan misi pelayanan public yang selama ini dalam praktek di

Kabupaten Jembrana antara lain :

13

Kantor Pleyanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana, 2014,

(29)

Tabel 3 : Visi dan Misi

Visi Terwujudnya pelayanan prima di bidang perizinan dan

non perijinan dengan pola pelayanan terpadu dengan loket yang cepat, tepat, benar dan transpara.

Misi Memberikan pelayanan yang berkualitas dan merata bagi

masyarakat dengan kepastian prosedur, biaya dan waktu yang ditetapkan

Sumber : Kantor Pelalayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana

Jumlah layanan yang dilayani sebanyak 69 jenis, terdiri dari

layanan perijinan sebanyak 51 buah, nonperijinan 12 buah, akta

catatan sipil 5 buah dan 1 buah layanan Kartu Tanda Pencari

Kerja dengan rincian dalam tabel sebagi berikut :

Tabel 4 : Jenis Layanan Perizinan Di Kabupaten Jembrana Tahun 2014

No Nama Jenis Pelayanan Keterangan

1 Persetujuan prinsip Non Perizinan

2 Izin Lingkungan Perizinan

3 Izin Undang-Undang Gangguan ( HO) Perizinan

4 Izin Mendirikan Bangunan ( IMB) Perizinan

5 Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) Perizinan

6 Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha ( TDU )

Usaha penggilingan Padi/ Huller dan

penyosohan beras

Perizinan

7 Izin Pemasangan Reklame Perizinan

8 Izin Usaha Hotel Perizinan

9 Izin Usaha Pondok Wisata Perizinan

10 Izin Usaha restoran /Rumah Makan/Warung

Wisata

Perizinan

11 Rekomendasi pemakaian gedung Mandapa

Kesari

Non Perizinan

12 Rekomendasi pemakaian Tanah Lapang Non Perizinan

13 Izin Usaha Peternakan Perizinan

14 Tanda Pendaftaran peternakan Rakyat Perizinan

15 Izin pemotongan ternak, penganan daging

serta hasil ikutannya

Perizinan

16 Izin Usaha Perikanan Perizinan

17 Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Perizinan

18 Tanda Daftar Usaha Perikanan Perizinan

19 Izin Menebang Kayu Kebun /Kayu Rakyat Perizinan

20 Surat Ijin Usaha Konstruksi (S IUJK) Perizinan

(30)

NKTT)

22 Tanda Pendaftaran Usaha (TPU ) VCD Rental Non Perizinan

23 Izin Menyelenggaran pendidikan Khusus

Luar sekolah

Perizinan

24 Izin Usaha Pengelolaan Pasar Tradisional Perizinan

25 Izin Usaha Pusat Perbelanjaan ( IUPP) Perizinan

26 Izin Usaha Toko Modern ( IUTM) Perizinan

27 Surat Izin Usaha Perdagangan ( SIUP) Perizinan

28 Surat Izin Perdagangan Minuman Beralkohol Perizinan

29 Surat Izin penjualan Minuman Beralkohol Perizinan

30 Tanda Daftar Perusahaan ( TDP) Non Perizinan

31 Izin Usaha Undustrai Perizinan

32 Tanda Daftar Industri ( TDI) Non Perizinan

33 Tanda Daftar Gudang ( TDG) Non Perizinan

34 Izin Apotek Perizinan

35 Izin Optical Perizinan

36 Izin Berpraktek Dokter Umum Perizinan

37 Izin Berpraktek Dokter Gigi Perizinan

38 Izin Klinik; BP; RB; BKIA Perizinan

39 Izin Balai Pengobatan Gigi Perizinan

40 Izin Unit Tranfusi Darah Perizinan

41 Izin Tukang Gigi Perizinan

42 Izin Praktik Fisioterapi Perizinan

43 Izin Praktik Perorangan Dokter / Dokter Gigi Perizinan

44 Surat Izin Praktik bidan ( SIPB) Perizinan

45 Surat Izin Praktik perawat ( SIPP) Perizinan

46 Sertifikat Produksi Pangan Rumah Tangga (

SPP-IRT)

Non Perizinan

47 Izin Toko Obat Perizinan

48 Izin Salon Kecantikan Perizinan

49 Surat Izin Kerja Tenaga Medis Perizinan

50 Ijin Laboratoriun Kesehatan Swasta Perizinan

51 Surat Izin Mendirikan Rumah Sakit Umum Perizinan

52 Izin Operasional Rumah Sakit Umum Perizinan

53 Izin Operasional menara ( IOM) Perizinan

54 Izin Penimbunan / Penyimpanan BBM Perizinan

55 Rekomendasi penutupan Jalan Non Perizinan

56 Izin Usaha Angkutan Kendaraan Umum Perizinan

57 Kartu Tanda Pemilikan Izin Usaha Angkutan

Kendaraan Bermotor Umum

Non Perizinan

58 Izin Trayek Angkutan Pedesaan Perizinan

59 Izin Insidentil ( Penyimpanan Trayek) Perizinan

60 Surat Tanda Uji Kendaraan Bermotor Non Perizinan

61 Izin Tempat Penampungan Sementara ( TPS)

Limbah B3

Perizinan

(31)

63 Izin Pengambilan dan pemanfaatan Air Tanah

Perizinan

64 Akta Perkawinan Perizinan

65 Akta Perceraian Perizinan

66 Akta Kematian Perizinan

67 Akta Kelahiran Perizinan

68 Akta Pengangkatan Anak, Pengakuan Anak,

Pengesahan Akata Anak, Perubahan Nama

Perizinan

69 Kartu Tanda Pencari Kerja ( AK-1) Tenaga kerja

Sumber : Buku Pelayanan Perizinan Terpadu Yang Diterbitkan Oleh

Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten

Jembrana Tahun 2014

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PADA ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA PADA ASPEK BEBAN KEUANGAN DAERAH.

Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten

Jembranatentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik merupakan

sarana untuk menjaga agar terlaksananya :

a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak,

tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;

b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang

layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;

c. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai

dengan peraturan perundang-undangan; dan

d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi

masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik

Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten

Jembranatentang Pelayanan Publik membawa implikasi pada

aspek keuangan daerah, sehingga sangat diperlukan adanya

pengaturan sebagai dasar penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh

(32)

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENJADI DASAR HUKUM DAN YANG

TERKAIT

A. KONDISI HUKUM DAN SATUS HUKUM YANG ADA

Dengan diberlakukannya UU No. 25 tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik, seluruh instansi pemerintah dituntut untuk

dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada

masyarakat yaitu pelayanan yang cepat, mudah, murah dan

akuntabel. Untuk itu setiap unit pelayanan diharapkan mampu

berinovasi menciptakan berbagai terobosan yang memudahkan

masyarakat mendapatkan layanan tanpa melanggar norma hukum

yang berlaku.

Pemerintah Daerah menyadari bahwa dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah, salah satu

faktor yang menentukan adalah kualitas pelayanan publik. Dalam

hal peningkatan kualitas pelayanan publik, Pemkab Jembrana

memiliki komitmen yang jelas, hal itu dapat dibuktikan dalam

RPJMD Kabupaten Jembrana dengan tegas tercantum

peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi salah satu

prioritas pembangunan daerah. Atas dasar prioritas pembangunan

daerah tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan publik diantaranya membentuk

Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu sebagai wujud Pelayanan

Terpadu Satu Pintu dan memberikan penghargaan bagi

SKPD/unit pelayanan yang berprestasi dan memiliki komitmen

(33)

Pembentukan (BPPT) yang mulai beroperasi 1 Mei 2013 lalu

merupakan wujud nyata komitmen kami dalam mempermudah

dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat serta mendorong

tumbuhnya iklim investasi yang sehat di Kabupaten Jembrana,”

tegas Bupati seraya menambahkan dalam memberikan pelayanan

dan memimpin Jembrana selalu dengan hati yang tulus.

Selain itu menurut Bupati, bahwa dalam upaya untuk

mendapatkan masukan dari masyarakat, Jembrana juga sudah

mengarahkan agar seluruh SKPD untuk melakukan survey Indeks

Kepuasan Masyarakat (IKM).

Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum

pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Jembranatentang

Pelayanan Publik adalah:

1. Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun

2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038).

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5234).

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan

(34)

2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor

473 ).

6. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 Tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan Publik

7. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan

Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2012 Petunjuk

Teknis Penyusunan, Penetapan, Dan Penerapan Standar

Pelayanan.

8. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun

2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten

Jembrana(Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana

Tahun 2008 Nomor 2).

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan pemerintahan

daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum

konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah.

Pemerintahan daerah provinsi, pemerintah daerah

kabupaten/kota adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

(Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintahan daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat

(Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).

Ketentuan tersebut menjadi politik hukum pembentukan

peraturan daerah tentang Pelayanan Publik. Sebagai dasar hukum

formal pembentukan perda ini adalah Pasal 18 ayat (6) UUD 1945,

sebagaimana juga ditentukan pada Pedoman 39 Teknik

Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3U) Lampiran UU

(35)

Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945..

B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN

Dalam sistem negara hukum modern, kekuasaan Negara

dibagi dan dipisah-pisahkan antara cabang-cabang kekuasaan

legislative, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan untuk membuat

aturan dalam kehidupan bernegara dikonstruksikan berasal dari

rakyat yang berdaulat yang dilembagakan dalam organisasi negara

di lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat misalnya

kekuasaan membentuk undang-undang merupakan kekuasaan

negara yang dipegang oleh badan legislatif.14 Sedangkan cabang

kekuasaan pemerintahan negara sebagai organ pelaksana atau

eksekutif hanya menjalankan peraturan-peraturan yang

ditetapkan oleh cabang legislative. Sementara itu cabang

kekuasaan kehakiman atau yudikatif bertindak sebagai pihak

yang menegakkan peraturan-peraturan itu melalui proses

peradilan.

Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya

dituangkan dalam undang-undang dasar atau hukum yang

tertinggi di bawah undang-undang dasar ada undang-undang

sebagai bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislatif. Namun

karena materi yang diatur dalam undang-undang itu hanya

terbatas pada soal-soal umum, diperlukan pula bentuk-bentuk

peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana

undang-undang yang bersangkutan. Lagi pula sebagai produk lembaga

14 Made Subawa, 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan

(36)

politik seringkali undang-undang hanya dapat menampung

materi-materi kebijakan yang bersifat umum. Forum legislatif

bukanlah forum teknis melainkan forum politik, A.V.Dicey

menyetujui adanya pendelegasian kewenangan ;

The cumbersomeness and prolixity of English statute is due in no small measure to futile endeavoursof Parliament to work

out the details of large legislative changes… the substance no

less than the form of law would,it is probable, be a good deal improved if the executive government of England could, ike that of France , by means of decrees, ordinances, or proclamations having yhe force of law, work out the detailed application of the general principles embodied in the acts of the legislature [(1898),1959,pp52-53].15

( terjemahan bebasnya : Kesulitan dalam penggunaan dan

bertele-telenya Undang-undang di Inggris adalah

dikarenakan tidak adanya ukuran untuk melakukan usaha yang sia-sia dari parlemen untuk menyelesaikan pekerjaan

perubahan legislative yang besar secara

terperinci…persoalan bentuk hukum yang diinginkan, dimana hal tersebut memungkinkan, akan merupakan peningkatan persetujuan yang baik apabila pemerintah eksekutif di Inggris bisa seperti di Prancis, yang diartikan sebagai dekrit, peraturan, atau proklamasi yang memiliki tekanan akan hukum, menyelesaikan rincian penerapan dari prinsip secara umum yang diwujudkan dalam

undang-undang dari badan pembuat undang-undang .

[(1898),1959,pp52-53].

Dalam kaitannya dengan adanya pendelegasian kewenangan

mengatur dimana sumber kewenangan pokoknya ada ditangan

legislator maka pemberian kewenangan untuk mengatur lebih

lanjut itu kepada lembaga eksekutif atau lembaga pelaksana

haruslah dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang

akan dilaksanakan hal inilah biasanya dinamakan legislative

(37)

delegation of rule making power.16 Berdasarkan prinsip

pendelegasian ini norma hukum yang bersifat pelaksanaan

dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa di dasarkan atas

delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan.

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian

kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara

dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan

administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan

publik.

Mengingat arti pentingnya pemerintah Indonesia

menaruh perhatian yang cukup besar terhadap pelayanan publik.

Hal ini terbukti dengan diperlukannya beberapa peraturan

perundangan yang mengatur tentang pelayanan publik.

Materi pokok yang diatur mengenai Penyelenggaraan

Kearsipanyang akan diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang

disusun Naskah Akademisnya ini mempunyai keterkaitan dengan

sejumlah peraturan perundang-undangan.

Tabel 5 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan

Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN PERATURAN

(38)
(39)

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. PANDANGAN AKHLI DAN UU 12/2011

Validitas hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Hans Kelsen,

adalah eksistensi spesifik dari norma-norma. Dikatakan bahwa

suatu norma adalah valid adalah sama halnya dengan mengakui

eksistensinya atau menganggap norma itu mengandung “kekuatan mengikat” bagi mereka yang perbuatannya diatur oleh peraturan tersebut17.

Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum yang

menyatakan bahwa norma-norma hukum itu mengikat dan

mengharuskan orang untuk berbuat sesuai dengan yang

diharuskan oleh norma-norma hukum tersebut. Suatu norma

hanya dianggap valid apabila didasarkan kondisi bahwa norma

tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.

Berkenaan dengan validitas hukum ini, Satjipto Rahardjo

dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch

mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlakunya

suatu hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum

tersebut. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi

berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar

dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum18.

Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas

hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya hukum

didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum

mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan

sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan

17 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), hal. 40

(40)

didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu

mencerminkan nilai kepastian hukum.

Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan

hukum dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan

di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis

oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie19, Bagir

Manan20, dan Solly Lubis21.. Pandangan ketiga sarjana itu dapat

disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 6: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan

menurut Para Sarjana Indonesia22

Landasan Jimly

Asshiddiqie

Bagir Manan M. Solly Lubis

Filosofis Bersesuaian

dengan

nilai-19 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal . 169-174, 240-244

20 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), hal. 14-17.

21 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989), hal. 6-9.

22 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”,

(41)
(42)

keharusan

Politis Harus tergambar

(43)

Tahun 1974.

Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan

perundang-undangan tersebut menunjukan:

1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan

pada ranah (1) normatif; dan (2) sosiologis. Pemahaman

dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly

Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang terdapat dalam tanda kurung ([…]). Dalam konteks landasan keabsahan peraturan perundang-undangan yang

menyangkut pembentukan peraturan

perundang-undangan, lebih tepat memahami landasan keabsahan

peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.

2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly

Asshiddiqie, mengambarkan politik hukum, yakni adanya

cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI

1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat

diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.

3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang

menggambarkan garis politik hukum dalam Ketetapan MPR,

yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis

Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang

landasan keabsahan atau dasar keberlakuan peraturan

perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis,

(44)

Tabel 7 : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan

peraturan perundang-undangan 23

LANDASAN URAIAN

Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang

terdapat dalam cita hukum (rechtsidee).

Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.

Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan

masyarakat yang memerlukan penyelesaian.

Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.

Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut

dasar kewenangan dan prosedur pembentukan,

maupun jenis dan materi muatan, serta tidak

adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang

sederajat dan dengan yang lebih tinggi. Diperlukan

sebagai sarana menjamin kepastian hukum.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) mengadopsi

validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang yang memuat

uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi

pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–

undangan, ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis,

dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis

rancangan peraturan perundang-undangan.

Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah

dikemukakan di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik

penyusunan peraturan perundang-undangan24 dan teknik

penyusunan naskah akademik25 yang diadopsi Undang-Undang

23Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Ibid., hlm. 29.

24 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).

(45)

Nomor 12 Tahun 2011, ketiga aspek dari validitas tersebut dapat

disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 8 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011

LANDASAN URAIAN

Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan

cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta

falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari

Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu,

pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang

mesti dijamin dengan adanya peraturan

perundang-undangan.

Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam

berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan.

Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan

diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur.

Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-undangan, oleh karena itu harus ada konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.

(46)

Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan

UUD 1945 alenia ke 4 anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap

bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ; dan 2)

memajukan kesejahteraan umum

Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak

saja terhadap setiap orang baik dari arti individual dan kelompok

berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi juga

perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya

sumber daya alam dan lingkungan hidup. Perlindungan tersebut

diarahkan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum yang

juga merupakan tanggung jawab Negara.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemerintahan Kabupaten

Jembranaperlu membentuk Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Berdasarkan Pasal 4 UU No

25 Tahun 2009 Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:

a.kepentingan umum;

b.kepastian hukum;

c.kesamaan hak;

d.keseimbangan hak dan kewajiban;

e.keprofesionalan;

f. partisipatif;

g.persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;

h.keterbukaan;

i. akuntabilitas;

j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;

k.ketepatan waktu; dan

l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Penjabaran asas tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya

mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik

dan bersih serta dalam menjaga agar dinamika gerak maju

masyarakat, bangsa, dan negara ke depan agar senantiasa berada

pada pilar perjuangan mencapai cita-cita dan bahan pembelajaran

(47)

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. KETENTUAN UMUM

Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het

onderwerp”.26 Pada tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat

suatu kajian mengenai materi muatan peraturan

perundang-undangan. Kata materi muatan diperkenalkan oleh A.Hamid

S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda Het ondrwerp dalam

ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet” yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari

undang-undang, Attamimi mengatakan :

“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama kali istilah materi muatan.Kata materi muatan diperkenalkan oleh penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam ungkapan ThorbPecke het eigenaardig onderwerp der wet. Penulis menterjemahkannya dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan

undang-undang”.27

Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi

muatan peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk,

semestinya harus diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi

materi muatan yang akan dibentuk. Karena masing-masing

tingkatan ( jenjang ) peraturan perundang-undangan mempunyai

materi muatan tersendiri secara berjenjang dan berbeda-beda.28

26 A.Hamid.S.Attamimi II, Op.cit, hal. 193-194. 27Ibid.

28 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu

(48)

Sri Sumantari juga berpendapat yang sama bahwa masing-masing

peraturan perundang-undangan mengatur materi muatan yang

sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan berbeda

dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula

yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur

dalam Peraturan Presiden.29

Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan

isi kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang

khususnya dan peraturan perundang-undangan pada

umumnya.30 Dengan demikian istilah materi muatan tidak hanya

digunakan dalam membicarakan undang-undang melainkan

semua peraturan perundang-undangan .Pedoman 98 TP3U

menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan pengertian

atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam

batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang

bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal

berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,

maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal

atau bab.

Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata

atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai

berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum

ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.

pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi

pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu;

dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian

di atasnya yang diletakkan berdekatan secara berurutan.

29 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993,

Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30 Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, hal. 62.

Gambar

Tabel 2 :  Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2)  UU 12/2011 dan Penjelasan)
Tabel 4 : Jenis Layanan Perizinan Di Kabupaten Jembrana Tahun 2014
Tabel 5 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan
Tabel 6: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana Indonesia22
+2

Referensi

Dokumen terkait

Persoalan tentang masalah pemungutan biaya transport yang tidak diatur secara tegas dalam Perda Kota Kupang Nomor 05 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Perda Nomor 06 Tahun

Pemohon I nformasi Publik adalah warga negara dan/ atau badan hukum I ndonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Peraturan

Page 50 of 73 memunculkan persaingan (competition) antar pihak, sehingga bentuk kerjasamanya adalah spesialisasi yang merupakan kesepakatan antar pihak. Selain

lahirnya/ dibentuknya suatu peraturan, dasar hukum dikeluarkannya peraturan dan ringkasan materi/ pokok permasalahan yang diatur dalam peraturan tersebut.  Dalam pembuatan

Tetapi pada praktik pelayanan di tingkat puskesmas jaminan kepastian hukum itu patut dipertanyakan dengan adanya fenomena tugas limpah dalam bentuk mandate yang diatur

b) Landasan yuridis materi yang diatur. 3) Yang dapat dipakai sebagai dasar hukum hanyalah jenis peraturan perundang-undangan yang tingkat derajatnya lebih tinggi atau

pemanfaatan teknologi informasi khususnya dibidang informasi dan transaksi elektronik, pertama model pengaturan yang berpijak pada pemilahan materi hukum secara ketat sehingga

Hendy Derhavin mengucapkan terima kasih kepada Tim Pengabdian kepada Masyarakat yang telah berkenan hadir dan memberikan penyuluhan hukum kepada aparatur kecamatan dan aparatur desa