• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN PENGADILAN DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEWENANGAN PENGADILAN DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG RI 2018

KEWENANGAN PENGADILAN DALAM

EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK

MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA

(2)
(3)

KEWENANGAN PENGADILAN DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA

Disusun Oleh:

DR. ISMAIL RUMADAN, MH.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

2018

(4)
(5)

KEWENANGAN PENGADILAN DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA

Disusun Oleh:

DR. ISMAIL RUMADAN, MH.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

2018

(6)

Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha

© Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Lantai 10 Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58 By Pass Jakarta Pusat

Hak Cipta terpelihara dan dilindungi Undang-Undang All rights reserved

Cetakan Pertama, Oktober 2018

Penulis : Ismail Rumadan

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan Ismail Rumadan, MH.

Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha

Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI 2018 xiv, 162 hlm; 16 x 23 cm

ISBN: 978-602-5700-16-3

(7)

KATA PENGANTAR

Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI merupakan satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga Peradilan yaitu:

1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Agama;

3. Peradilan Tata Usaha Negara;

4. Peradilan Militer;

berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI.

Salah satu tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan adalah meningkatkan kualitas SDM bagi seluruh aparat Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Juru sita) maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat Struktural.

Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang Diklat Kumdil meliputi 4 (empat) unit kerja yakni:

1. Sekretariat Badan;

2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan;

3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;

4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan;

Berdasarkan DIPA 2018 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah melaksanakan berbagai macam kegiatan yang menjadi tupoksinya. Salah satunya adalah Penelitian tentang "Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi

(8)

Putusan Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha" yang merupakan Penelitian Kepustakaan. Penelitian tersebut dilaksanakan di wilayah Jabodetabeka. Hasilnya telah disusun dan dibuat dalam bentuk Buku Penelitian.

Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih atas ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai dari pengumpulan bahan- bahan sampai dengan selesainya penelitian dan telah menjadi sebuah Buku Penelitian "Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha".

Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal sholeh di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

KEPALA

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN & PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

HUKUM DAN PERADILAN MAHKAMAH AGUNG RI

DR. H. ZAROF RICAR, S.Sos., SH., M.Hum

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui DIPA Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Tahun Anggaran 2018 telah berhasil merealisasikan salah satu tugas pokok dan fungsinya yakni menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengkajian.

Pada tahun 2018, Puslitbang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengkajian sebanyak 13 judul. Salah satu di antaranya, Penelitian Kepustakaan berjudul “Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha”, sebagaimana saat ini telah berada di tangan pembaca.

Rangkaian kegiatan penelitian dan pengkajian diawali dengan penyelenggaraan Focus Grup Discussion (FGD) untuk mendiskusikan Proposal yang disusun oleh Peneliti, dengan tujuan mendapatkan masukan dan kritik dari peserta FGD, untuk menyempurnakan judul, metode, pendekatan, tujuan, manfaat, serta pilihan bahan hukum maupun referensi yang akan digunakan dalam Penelitian. FGD Proposal berlangsung di Puslitbang Mahkamah Agung RI di Jakarta.

FGD dihadiri oleh beberapa Hakim Tinggi yang diperbantukan pada Balitbang Diklat, Fungsional Peneliti Puslitbang Mahkamah Agung, maupun Dirbinganis Dirjen Badilag, Dirbinganis Militer, Dirjen Badimiltun, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kabag

(10)

Renprog Biro Perencanaan BUA MA, Hakim Yustisial, Biro Hukum, Humas, serta pihak lain yang terkait.

Setelah dilakukan penyempurnaan terhadap proposal penelitian, selanjutnya koordinator peneliti beserta pembantu peneliti serta staf memulai pelaksanaan kegiatan Penelitian. Dimulai dengan melakukan Focus Grup Discussion dan observasi ke Pengadilan. Untuk melengkapi analisis, peneliti juga melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa narasumber yang dinilai kompeten di bidangnya.

Terhadap draf hasil penelitian yang disusun oleh peneliti, dilakukan finalisasi koreksi melalui FGD Hasil Penelitian. Tahap selanjutnya adalah proses pencetakan Buku Laporan Hasil Penelitian, pengunggahan (uploading) ke Website Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, serta pengiriman ke Pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, Pejabat Struktural eselon 1 dan 2, Pengadilan Tingkat Banding serta Pengadilan-Pengadilan tingkat pertama dari 4 (empat) lingkungan peradilan, Kementerian/Lembaga, Perguruan Tinggi, serta berbagai pihak yang terkait. Mengingat keterbatasan anggaran, tidak semua pengadilan tingkat pertama mendapatkan kiriman Buku Hasil Penelitian. Namun demikian softcopy Buku Hasil Penelitian dapat diunduh (download) melalui www.bldk.mahkamahagung.go.id c.q Puslitbang Hukum dan Peradilan.

(11)

Buku Hasil Penelitian ini disajikan sebagai bentuk pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan Mahkamah Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah selesainya pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya.

KEPALA

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN PERADILAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT

KUMDIL ………..…... v

KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KUMDIL …... vii

DAFTAR ISI ………..……... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kerangka Pemikiran ... 11

E. Metode Penelitian ... 17

BAB II ASPEK TEORITIS EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA OLEH PENGADILAN ... 23

A. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi Pengadilan ... 23

1. Pengertian Eksekusi ... 23

2. Asas-asas Eksekusi ... 27

B. Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi Kekuasaan Kehakiman .... 30

(14)

C. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang Eksekusi Pengadilan terhadap Perkara

Perdata... 33

1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan Hak dalam Perkara Perdata ... 33

2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan Pengadilan ... 36

3. Bentuk atau Jenis Eksekusi ... 40

4. Tata Cara Umum Eksekusi ... 42

5. Eksekusi Pengosongan ... 45

6. Hambatan dalam Pelaksanaan Eksekusi ... 46

D. Eksekusi Putusan Pengadilan sebagai Rangkaian Tindakan Penegakan Hukum ... 47

BAB III EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN ... 53

A. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang Eksekusi Pengadilan terhadap Perkara Perdata... 53

1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan Hak dalam Perkara Perdata ... 53

2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan Pengadilan ... 56

3. Bentuk atau Jenis Eksekusi ... 60

4. Tata Cara Umum Eksekusi ... 62

5. Eksekusi Pengosongan ... 66

(15)

B. Eksekusi Jaminan Kredit ... 67

C. Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan ... 72

1. Parate Eksekusi ... 74

2. Titel Eksekutorial ... 76

3. Eksekusi Dibawah Tangan ... 77

BAB IV EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA .. 83

A. Kebijakan Mahkamah Agung secara Umum dalam Mendukung Kemudahan Berusaha ... 83

B. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks Kemudahan Berusaha ... 87

1. Prosedur Eksekusi Putusan Perdata di Pengadilan ... 87

2. Proses Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Beberapa Sengketa Perdata ... 103

C. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Sengketa Perdata ... 124

D. Korelasi Eksekusi Putusan Perdata dengan Kemudahan Berusaha ... 147

1. Korelasi Eksekusi Putusan Pengadilan dengan Kemudahan Berusaha ... 147

(16)

2. Posisi dan Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Pelaksanaan Eksekusi untuk

Mendukung Kemudahan Berusaha ... 151

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 159

A. Kesimpulan ... 159

B. Saran/Rekomendasi ... 160

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan dan perkembangan perekonomian global yang disertai dengan hadirnya Indonesia dalam berbagai hubungan kerjasama internasional sudah tentu memiliki peran dan tanggungjawab untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.

Wujud dari peran serta pemerintah dalam mendukung pelaksanaan perekonomian yang kondisif antara lain melalui perubahan dan perbaikan terhadap berbagai regulasi dan aturan hukum yang berkaitn dengan dunia bisnis dan dunia usaha. Perubahan ini dilakukan dengan tujan untuk meningkatkan peringkat Ease of Doing Business (EoDB), terutama terkait dengan kegiatan memulai usaha (starting a business), perlindungan investor minoritas (protecting minority investor), dan penyelesaian sengketa di pengadilan.1

Sebagaimana diketahui, peningkatan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) merupakan arahan strategis pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka

1 Berdasarkan hasil survey Ease of Doing Business (EoDB), peringkat EoDB awal tahun 2017 dari hasil survey Word Bank Indonesia menempati peringkat ke 91 dari 190 negera di dunia, “Peringkatan yang dipublikasikan oleh Bank Dunia, http://doingbusiness.org/rangkings.

(18)

Menengah Nasional 2015-2020. Untuk tahun 2016 ini Pemerintah telah mencanangkan peningkatan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia dari peringkat 109 ke 40 dalam Survei Kemudahan Berusaha.

Hal ini tidak lain untuk menumbuhkembangkan sektor usaha kecil- menengah dalam negeri sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian melalui investasi.2

Data berikut menunjukan peringkat EoDB negara Asia Tenggara

Peran lembaga peradilan sangat penting dalm mendorong kemajuan dan kemudahan usaha di Indonesia sebab Peradilan juga terkena dampak globalisasi ekonomi. Sebagaimana diungkapkan oleh

2 Peran Peradilan Dalam Meningkatkan Kemudahan Berusaha Di Indonesia, http://pn-kepanjen.go.id/hubungi-kami/blog-pengadilan/2015-05-31-00-18-

22/item/peran-peradilan-dalam-meningkatkan-kemudahan-berusaha-di- indonesia.html. Diakses tanggal 20 2018, Pukul 10.00 WIB.

(19)

Hilario G. Davide Jr. (Chief Justices of the Court of the Republic of the Philipines), “Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan.

Dunia Global menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen. Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan itu sendiri.”3 Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional, yakni masuknya perusahaan- perusahaan asing (multinasional). Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Terkait dengan hal tersebut di atas, kedudukan dan kewenangan Pengadilan sebagaimana amanat Pasal 4 UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan akan terus bersikap proaktif untuk mengatasi hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Karena pencapaian tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan membantu masyarakat dalam mencari keadilan, termasuk bagi para pelaku usaha yang berupaya menyelesaikan sengketanya.

Untuk merespon tantangan perubahan tersebut Mahkamah Agung sebagai Institusi tertinggi dalam lingkup kewenangan peradilan secara

3 Hilario G.Davide, Jr.,”Comments on the Paper of Hon. Andrew Kwok Nang Li, Chief justice of the Court of Final Appeal of the Hongkong Special Administrative Region of the People ‘ S Republic of China”, makalah pada Conference of Chief Justices of Asia and Pacific, 18th Lawasia Conference, Seoul, 8 September 1999, hlm.1

(20)

terus-menerus dalam melakukan pembaruan peradilan secara struktural dan substansial, dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik sekaligus ikut andil dalam pembaruan hukum di Indonesia.4 Dalam konteks ikut andil dalam meningkatkan kemudahan berusaha, beberapa kebijakan Mahkamah Agung yang mendorong hal tersebut antara lain:

a. SEMA Nomor 2 Tahun 2014, yang memotong standar waktu penyelesaian perkara di pengadilan tingkat pertama dan banding, dari 6 bulan menjadi 5 bulan dalam peradilan tingkat pertama dan 3 bulan bagi dalam peradilan tingkat banding.

b. SK KMA nomor 214 Tahun 2014, yang secara khusus mengatur standar waktu penyelesaian perkara di tingkat kasasi yang dipersingkat menjadi hanya 250 hari atau 8 bulan (sebelumnya 1 tahun), dengan juga memotong tahapan hingga 9 tahapan.

c. Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, yang pada intinya memberi jalan bagi penyelesaian sengketa perdata yang nilai gugatannya di bawah Rp.

200 juta dalam waktu singkat dan proses beracara yang jauh disederhanakan.

d. Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi, yang menyempurnakan kerangka hukum Mediasi sehingga diharapkan agar sengketa yang terjadi dapat segera diselesaikan dalam waktu

4 Muhammad Hatta Ali, Pidato Kunci dalam Pelaksanaan Seminar Nasional tentang “Peran Peradilan Dalam Meningkatkan Kemudahan Berusaha di Indonesia”

kerja sama antara Mahkamah Agung (MA) dan Federal Court of Australia (FCA), Hotel Borobudur Jakarta, 7 Maret 2016.

(21)

yang singkat, biaya yang murah serta hubungan baik para pihak tetap terjaga. Dengan demikian kegiatan usaha dapat terus berlanjut dengan baik.

e. Modernisasi bertahap pengadilan, misalnya meliputi modernisasi di Mahkamah Agung, yang meliputi implementasi Database Putusan sejak 2007, Informasi Perkara Online sejak 2008, e-Filing untuk perkara Kasasi/ PK sejak 2014, dan bagi pengadilan tingkat pertama dan banding, yang memungkinkan pencari keadilan untuk memantau langsung jadual persidangan dan amar putusannya.

Beberapa perubahan yang telah dilakukan diatas menunjukkan komitmen Mahkamah Agung untuk selalu mendukung pemerintah dalam hal memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Namun dukungan dan komitmen tersebut belum tuntas dan meyeluruh sampai kepada persoalan eksekusi terhadap suatu putusan pengadilan. Sebab dapat dipahami bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan bagian dari fungsi penegakan hukum dalam proses acara peradilan pada pengadilan. Proses ini merupakan suatu tindakan yang berkisinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.

Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara. Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara, biasanya tindakan eksekusi baru merupakan masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak tergugat. Pada tahap eksekusi kedudukan tergugat berubah menjadi “pihak tereksekusi”. Kalau pihak

(22)

yang kalah dalam perkara adalah pengguggat, lazimnya bahkan secara logika, tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara.5

Realitasnya, proses eksekusi putusan pengadilan dalam suatu sengketa perdata, di satu sisi, proses eksekusi tersebut menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh pihak yang menang dalam suatu perkara.

Namun di sisi yang lain, bagi pihak yang kalah, proses eksekusi menjadi titik awal untuk memulai upaya-upaya untuk menggagalkan proses eksekusi tersebut, terutama terhadap suatu putusan yang dianggap tidak adil oleh pihak yang merasa dikalahkan dalam proses peradilan, terutama para pihak (dalam hal ini pihak ketiga) yang tidak terlibat secara langsung dalam proses perkara perdata di pengadilan, namun mereka menerima kerugian secara langsung akibat dari putusan tersebut oleh pengadilan.

Sehingga sering dalam setiap pelaksanaan eksekusi terhapa putusan pengadilan menuai protes dari berbagai pihak, terutama para pihak yang merasa dikorbankan (dikalahkan) dalam putusan majelis hakim terhadap sengketa tersebut. Mahkamah Agung sendiri mengakui banyak menerima surat-surat yang bernada tidak puas atas tindakan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri tertentu atas proses eksekusi di lapangan. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh Pihak yang memenangkan perkara sebagai Pemohon Pelaksanaan Eksekusi, tetapi

5 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Jakarta, 2009, hlm. 6.

(23)

protes juga dilakukan oleh pihak yang kalah sebagai Termohon Pelaksanaan Eksekusi.6

Secara umum, upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang kalah dalam suatu putusan perkara perdata dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk hambatan dalam eksekusi putusan pengadilan, antara lain dapat berupa perlawanan pihak ketiga (orang/pihak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara yang akan dieksekusi) atas dasar :

a. Barang yang akan dieksekusi adalah milik Pihak Ketiga;

b. Barang yang akan dieksekusi berada dalam penguasaan Pihak Ketiga karena suatu perjanjian penjaminan;

c. Barang yang akan dieksekusi adalah milik negara atau bagian dari milik negara/Pemerintah Daerah, atau dikuasai oleh negara/

Pemerintah Daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan;

d. Barang yang akan dieksekusi adalah barang-barang yang berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi putusan peradilan lain, misalnya Pengadilan Hubungan Industrial; dan

e. Barang yang akan dieksekusi ternyata sedang disewa oleh pihak lain.

Hal-hal yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian dari permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi. Masih banyak permasalahan lain yang terkait dengan hambatan eksekusi

6 M. Yahya Harahap, ibid.

(24)

putusan pengadilan, hambatan-hambatan tersebut sudah tentu menambah waktu yang sangat panjang dan membutuhkan biaya yang sangat banyak pula, sehingga proses eksekusi ini menjadi suatu tahapan dalam proses penegakan hukum yang turut mengganggu dan tidak mendukung adanya kemudahan untuk berusaha melalui proses di pengadilan pada tahan eksekusi yang merupakan tahapan akhir dari suatu proses penegakan hukum di Pangadilan.

Selama ini belum ada suatu aturan hukum yang digunakan sebagai sarana untuk memberikan kemudahan dalam hal eksekusi putusan pengadilan. Sehingga yang terjadi adalah par pihak yang bersengketa terutama pihak penggugat yang memenangi perkara, harus mengunggu proses yang lama lagi untuk mendapatkan hanya atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sebagai salah satu contoh misalnya dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan biasanya atau seringnya upaya paksa pengambilalihan aset dilakukan karena debitor tidak mau melepaskan jaminan, sehingga pemenang lelang harus melakukan upaya pengosongan paksa dan upaya itu hanya dapat dilakukan oleh pengadilan. Proses di pengadilan akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit, artinya pemenang lelang terpaksa mengeluarkan biaya dua kali. Hal ini tentunya tidak memberikan kepastian hukum terhadap pihak kreditor, dengan kata lain kasus tersebut menyebabkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) hanya menjadi macan kertas. Hal ini disebabkan karena SHT mempunyai hak

(25)

eksekutorial, akan tetapi masih diperlukan lembaga lain untuk melakukannya.

Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, memungkinkan kreditor untuk menjual aset yang diagunkan debitor tanpa campur tangan peradilan sudah tepat. Hal tersebut untuk menghindari jalur ”ajudikasi litigasi” (proses hukum di pengadilan) yang prosesnya panjang dan memakan waktu, dan oleh sebab itu, ketika debitor wanprestasi, maka pihak kreditor tidak perlu menggugat lagi ke pengadilan untuk dapat menguasai haknya, tapi dapat diajukan ke lembaga parate eksekusi yang dahulu bernama Kantor Lelang Negara untuk dilelang di depan umum.

Parate executie yang diatur dalam Undang-undang Hak Tanggungan, bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada kreditor dalam pemenuhan piutangnya manakala debitor wanprestasi, di mana kreditor dapat menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tanpa harus melalui lembaga peradilan. Kemudahan yang dimiliki kreditor tersebut kenyataannya tidak dapat dimanfaatkan karena terjadi kerancuan pengaturan mengenai parate executie dalam Undang-undang Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996). Aturan dalam Undang- undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (eigenmachtige verkoop) lahir karena undang-undang, tetapi di sisi lain pada KUHPerdata ditentukan lahir dari perjanjian, sehingga hal ini menimbulkan makna ganda/kabur.

Demikian juga terhadap prosedur pelaksanaan parate executie terdapat kontroversi, karena di satu sisi diatur bahwa penjualannya melalui

(26)

pelelangan umum, sedangkan pada sisi yang lain harus melalui fiat pengadilan. Akibatnya prosedur pelaksanaan parate executie menimbulkan konflik norma.7

Realita masih banyaknya kendala pada pengelolaan perbankan nasional, dimana pihak bank seringkali menghadapi kredit macet yang memiliki unsur kesengajaan dari pihak debitor (debitor wanpestasi), selain juga masih banyaknya hambatan dalam pelaksanaan eksekusi benda jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan. Oleh karena itu, parate executie tidak dapat dilaksanakan, sehingga hal ini merugikan bagi pihak kreditor, selaku pihak yang menurut UUHT mendapatkan hak istimewa yaitu berupa hak menjual atas kekuasaan sendiri. Apabila kendala semacam ini terus berlanjut, maka selain merupakan masalah yang merugikan bagi pihak bank, juga dapat menghambat pengembalian dana pinjaman yang sangat dibutuhkan untuk percepatan pembangunan ekonomi dan dunia usaha.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa masalah yang diidentifikasi untuk melakukan pengkajian dan penelitian lebih mendalam terkait dengan beberapahal atanra lain:

1. Bagaimana kewenangan pengadilan dalam eksekusi putusan perdata untuk mendukung kemudahan berusaha di Indonesia?

7 Deasy Soeikromo, Kepastian Hukum Pemenuhan Hak Kreditor Dalam Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan Melalui Parate Eksekusi, De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016, hlm. 33

(27)

2. Bagaimana sistem eksekusi yang tersedia untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi kemudahan berusaha di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini hendak mengetahui dan mengevaluasi tentag;

1. Kewenagan pengadilan dalam eksekusi putusan perdata dalam rangka mendukung kemudahan usaha

2. Mengetahui dan mengevaluasi sistem eksekusi yang tersedia dalam rangka memberikan kemudahan berusaha di Indonesia.

D. Kerangka Pemikiran

Landasan teori yang digunakan dalam kajian ini adalah terkait dengan aspek kepastian hukum dalam hal eksekusi putusan pengadilan untuk mendukun kemudahan berusaha di Indonesia. Kepastian hukum ini menjadi hal yang sangat penting bagi setiap pelaksanaan investasi atau pengembangan usaha di suatu daerah atau negara. Horikawa Shuji, salah seorang pengusaha asal Jepang menjelaskan pertimbangan investasi sebagai aliran air. Air selalu mengalir dari tempat yang paling tinggi ke tempat yang paling rendah. Apapun alasannya, pelaku bisnis selalu mencari itu, sebab pengusaha itu butuh ketenangan berusaha, berharap mendapat insentif yang memadai dari pemerintah di mana ia berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang dengan lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik.

(28)

Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang.814 Apa yang bisa membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang dilakukannya.

Dengan demikian selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum.

Pendapat senada dikemukakan oleh Paul V. Horn dan Henry Gomez sebagai berikut:9

“In making foreign investment a number of important points are to be taken into consideration. The Investor is concerned, first, with the safety of his investment and, second, with the return which it yields. The factors having a direct bearing on these considerations may be classified as follows : (1). Political stability and financial integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which the investment is made; (3) laws pertaining to capital and taxation, attitude towards foreign investment, and other aspects of the investment climate of the host country; (4) future potential and economic growth of the country where the investment is made; (5) exchange restrictions pertaining to the remission of profits and with-drawal of the initial investment.”

8 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Alia, Bandung, 2007, hlm. 52

9 Paul V. Horn and Henry Gomez, International Trade Principles and Practices, Fourth Edition, prentice Mall, Engleuxwd, New Jersey, 1964, hlm. 261. Sebagaimana dikutib juga oleh Sentosa Sembiring, ibid., hlm. 44-47

(29)

Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian.

Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct investment) maupun portfolio investment.10

Dalam hukum investasi, aktifitas investasi tidak hanya meliputi tahap entry appropal (right to entry) atau yang biasa dikenal dengan istilah green field investment, tetapi investor juga akan memperhatikan aspek kepastian hukum pada tahap post establishment stage atau brown field investment. Pada fase ini investor sangat perhatian terhadap sisi stabilitas, prediktibilitas dan kepastian hukum terkait aktifitas usaha, hukum kontrak dan transaksi bisnis pada umumnya. Hal ini sesuai dengan kategori komponen-komponen yang mempengaruhi investasi, yakni : (1). Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi cost seperti pajak, beban regulasi, pungutan liar (red tape), korupsi, infrastruktur, ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost) dan investasi di pasar tenaga kerja; (2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makro ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas kebijakan, property right, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer

10 Mahmul Siregar, Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional Dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia, Fakultas Hukum dan Program Studi Ilmu Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(30)

keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi yang terdiri dari hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis, berfungsinya pasar keuangan dan infrastruktur yang baik, serta tersedianya dengan efektif hukum persaingan.11

Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesi masih rendah dan sangat mempengaruhi minat investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan.

Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak berakibat pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak investor jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak dibatalkan oleh pengadilan.

Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.12 Investor sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka

11 Mohammad Ikhsan, “Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru”, Kompas 31 Mei 2004.

12 Hikmahanto Juwana, “Kepastian Hukum”, Seputar Indonesia 30 Juli 2007, diakses dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepastian-hukum- 2.html, tanggal 25 September 2008.

(31)

keputusan persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia.13

Selain itu, pengadilan di Indonesia khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi komersial yang dibuat berdasar perjanjian internasional. Kondisi ini menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko Indonesia di pasar modal internasional dan atas arus modal langsung.14

Terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan perekonomian dunia mendorong terjadinya internasionalisasi aktifitas bisnis yang kemudian menyebabkan beragamnya jenis transaksi bisnis. Para pelaku bisnis di Indonesia akan berhadapan dalam satu kontrak transaksi bisnis dengan mitra bisnis yang tidak saja berbeda sistem hukum nasionalnya tetapi juga berbeda kultur hukum.

Transaksi bisnis internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang telah disepakati oleh para pihak. Dengan adanya kontrak

13 Mahmul Siregar, Op.cit., hlm.

14 Mahmul Siregar, ibid.

(32)

yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan para pihak terhadap ekspektasi yang akan didapatkannya dari pelaksanaan kontrak tersebut.

Dan untuk harapan tersebut para pihak bersedia menggunakan sumber daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan tersebut. Untuk memastikan harapan para pihak tersebutlah kontrak yang diikat tidak saja sebagai sumber kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.21 Sebagai konsekwensinya, maka hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut.15

Bagi mitra bisnis yang berasal dari negara dengan kultur litigious kontrak adalah sesuatu yang suci dan harus dihormati, karena secara filosofis kontrak adalah perwujudan dari keinginan/ pilihan bebas manusia bermartabat. Pembatalan kontrak oleh pihak lain yang bertentangan dengan isi perjanjian adalah tindakan yang tidak rasional dan mencerminkan hilangnya perhargaan terhadap pilihan bebas manusia.16 Jika hal ini terus dibenarkan, maka fungsi predictability hukum akan hilang dan keadaan ini sama sekali tidak kondusif bagi kegiatan investasi

Penyelesaian sengketa transaksi bisnis umumnya dilakukan secara konvensional melalui litigasi, akan tetapi implikasi kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan, dimana pengadilan sering dianggap tidak professional

15 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum, Sekolah Pascasarjana, UI, Jakarta, 2004, hlm. 29.

16 P.S Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, 1981, hlm.6

(33)

dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen.17 Bagi kebanyakan pelaku usaha internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak efektif dan efisien lagi serta memerlukan waktu yang relative lama. Di samping itu, penyelesaian sengketa melalui pengadilan menempatkan para pihak pada sisi yang bertolak belakang, satu pihak sebagai pemenang (winner) dan pihak lain sebagai pihak yang kalah (looser). Hal ini kerap dipandang tidak menyelesaikan masalah bahkan semakin memperuncing perselisihan dan akhirnya terjadi permusuhan yang tidak berkesudahan.18

E. Metode Penelitian

Motode penelitian dalam kajian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif, yaitu suatu metode dalam penelitian hukum normatif dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum khususnya kaidah- kaidah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan yang ada, dari peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan hukum terutama yang berkaitan dengan masalah eksukusi putusan pengadilan dalam hal memberikan dukuangan terhadap kemudahan berusaha serta aturan-aturan hukum tentang fungsi dan kewenangan pengadilan dalam pelasanaan eksekusi terhadap suatu putusan perkara pedara yang telah berkekuatan hukum tetap.

17 Eman Suparman, Pilihan Forum Abitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Tatanusa, Jakarta, 2004, hlm. 2

18 Ibid, hlm.3

(34)

Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif ini dengan menggunakan sumber utama data sekunder atau bahan pustaka.19 Data sekunder dimaksud meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Dengan demikian penelitian ini juga merupakan upaya untuk menemukan hukum in concreto yang bertujuan untuk menemukan hukum yang sesuai dan yang akan diterapkan dalam suatu permasalahan tertentu,20 terutama yang berkaitan dengan masalah eksekusi putusan pertada. Sama halnya dengan penelitian hukum terapan. Menurut Bagir Manan, penelitian hukum terapan adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk menjawab masalah hukum atau yang berkaitan dengan hukum dalam suatu keadaan yang kongkrit. Lapangan penelitian terapan di bidang hukum yang dipilih adalah penelitian normatif (yaitu penelitian terhadap kaidah hukum positif dan asas hukum), yang berupa penelitian evaluasi hukum.21 penelitian evaluasi terhadap hukum positif ini dilakukan dengan cara mengevaluasi segi kesesuaian dengan kaedah hukum lain, atau dengan asas-asas hukum yang diakui dalam sistem yang ada. Selanjutnya analisis dilakukan berdasarkan atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan pendapat para akhli.

19 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 13

20 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 22

21 Bagir Manan; Pnelitian Hukum Normatif adalah penelitian terhadap kaidah dan asas hukum, lihat Jurnal Hukum Puslitbangkum Nomor Perdana; 1- 1999.

Lembaga Penelitian Perkembangan Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999, hlm. 9

(35)

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,22 yaitu bertujuan untuk memperoleh suatu uraian atau gambaran umum yang menyeluruh dan sistematis, serta menguraikan keadaan ataupun fakta yang ada, yaitu tentang kewenangan Pengadilan dalam pelaksanaan eksekuti atas suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum byang mengarah kepada dukungan terhadap kemudahan berusaha. Kemudian gambaran umum tersebut dianalisis dengan berlandaskan pada aturan perundang- undangan serta pendapat para ahli dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang teridentifikasi dalam kajian ini.

Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mendapatkan data yang berbentuk dokumen atau tulisan, melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen meupun literatur-literatur ilmiah dan penelitian para ahli dan pakar yang sesui dengan objek dan permasalahan yang diteliti. Pengumpulan data sekunder sebagai data utama, yang meliputi:23

a) Bahan Hukum Primer, yang meliputi peraturan perundang- undangan, terutama yang berkaitan erat dengan masalah Eksekusi b) Bahan Hukum Sekunder, berupa tulisan-tulisan ilmiah dari para

pakar, yang terdiri dari literatur-literatur, makalah-makalah, jurnal

22 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994, hlm. 120. Lihat pula Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 1986, hlm. 9- 10

23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 52

(36)

ilmiah dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan pokok permasalahan yang diteliti.

c) Bahan Hukum Tertier, berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, artikel-artikel pada surat kabar, majalah serta internet.

Studi lapangan (field research) juga dilakukan untuk mendapatkan data primer sebagai data pendukung, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara maupun fokus group diskusi (FGD), dengan terlebih dahulu melakukan penentuan kelompok pihak- pihak yang dijadikan sumber informasi berdasarkan kewenangan, pengetahuan, pengalaman, pemahaman hitoris dan pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan.

Data sekunder dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif normatif, yaitu dengan cara melakukan penafsiran, korelasi dan perbandingan terhadap-bahan-bahan hukum dan perbandingan konstruksi hukum dari beberapa konsep hukum yang relevan dengan kajian ini.

Untuk bahan hukum primer, analisis dilakukan dengan menelaah dasar ontologis dan ratio legis (mengapa ada ketentuan ini)24 dari ketentuan perundang-undangan di terkait objek penelitian dan

24Apabila dasar ontologis dan landasn filosofis berkaitan dengan suatu undang- undang secara keseluruhan, ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari suatu undang-undang yang diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi peneliti.

Lihat, Nanik Trihastuti, Tanggung Jawab Perusahaan Penanaman Modal Asing di Sektor Pertambangan Mineral dalam Pembangunan Berkelanjutan Dihubungkan dengan Tujuan Negara Kesejahteraan Indonesia, Disertasi, Program Doktor, Universitas Padjadjaran, bandung, 2006, hlm. 44

(37)

peraturan perundang-undangan tentang Eksekusi secara khusus untuk menangkap kandungan filosofis yang menjiwai adanya undang-undang tersebut.

Untuk bahan hukum sekunder, oleh karena penelitian ini adalah pada masalah kewenangan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum untuk mendukung kemudahan berusaha, maka di samping akan ditelaah proses identifikasi adanya permasalahan dalam pelaksanaan putusan pengadilan dan juga ditekaah kondisi-kondisi aktual yang terjadi di lapangan dari suatu proses eksekusi benrlangsung.

Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan dengan metoda analisis normatif kualitatif.25 Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum positif. Kualitatif karena merupakan analisis data yang berasal dari informasi-informasi hasil wawancara yang diuraikan oleh responden, yang disajikan secara deskriptif.

Untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan terties, pengumpulan bahan dilakukan di beberapa lokasi, yang meliputi:

1. Perpustakaan Mahkamah Agung RI

2. Perpustakaan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI;

3. Perpustakaan Nasional di Jakarta;

4. Dan pengumpulan data secara imperik dapat dilakukan di beberapa weilayah Pengadilan Tinggi; seperti di Pengadilan Negeri jakrta

25 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada, Yogyakarta, 1989, hlm. 25.

(38)

Pusat; Pengadilan di Wilayah Palu dan Pengadilan Tinggi Wilayah Surabaya.

(39)

BAB II

ASPEK TEORITIS EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA OLEH PENGADILAN

A. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi Pengadilan

1. Pengertian Eksekusi

Eksekusi di dalam bahasa Inggris “Execution” adalah pelaksanaan putusan hakim (KUHP pasal 270).26 Pengertian ekseksi atau pelaksanaan putusan pengadilan,27 adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela.28 Sementara itu Retno Wulan Sutantio, mengartikannya dalam bahasa Indonesia dengan istilah

“pelaksanaan” putusan. Pendapat kedua pakar tersebut, dapat dijadikan sebagai perbandingan. Bahkan hampir semua penulis telah membakukan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi (executie). Pembakuan istilah “pelaksanaan”

putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima

26 Zainul Bahri, Kamus Hukum, Angkasa, Bandung, 1995, hlm. 61

27 Istilah “pelaksanaan putusan” terdapat di dalam buku Subekti. Hukum Acara Perdata. Jakarta: BPHN, 1977. hlm. 128. serta Retnowulan Sutantio dan Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Aumni, Bandung, 1979, hlm. 111. Sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. ed. II. cet. II, Sinar Grafika, Jakarta: 2006, hlm. 5-6.

28 Yahya Harahap, Loc.cit.

(40)

HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBg, pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten uitvoer lagging van vonnissen).29 Istilah menjalankan putusan mempunyai arti melaksanakan isi putusan pengadilan. Pelaksanaan putusan adalah suatu tindakan paksa dengan kekuatan umum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan hakim tidak cukup hanya menyelesaikan perkara dengan menjatuhkan putusan, melainkan putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan, sehingga terealisasilah prestasi sebagai kewajiban pihak yang tercantum dalam putusan. Dengan demikian yang dimaksud dengan eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.30

Dapat dipahami juga bahwa, eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan Pengadilan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara

29 Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 6

30 Yahya Harahap, Sebagaimana dikutp oleh Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi Praktek, Kejurusitaan Pengadilan, Tata Nusa, Jakarta, 2004, hlm. 60

(41)

sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari Pengadilan untuk melaksanakannya.31 Dengan demikian, pada prinsipnya lembaga eksekusi tidak diperlukan andai pada suatu amar putusan pengadilan pihak yang dikalahkan dan di hukum bersedia memenuhinya dengan itikad baik dan secara sukarela.

Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Ada pun yang memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan Pengadilan terletak pada kepala putusan yang berbuyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu putusan Pengadilan yang mempunyai titel eksekutorial adalah putusan yang bersifat atau yang mengandung amar “condemnatoir”, sedangkan putusan Pengadilan yang bersifat deklaratoir dan constitutif tidak dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam menjalankannya. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 201) eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan Pengadilan tersebut. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada Pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa (execution force)

31 Abdul Manan. Eksekusi Lelang dalam Hukum Acara Perdata, Makalah ini disampaikan pada acara RAKERNAS Mahkamah Agung - RI di Hotel Mercuri Ancol tanggal 18-22 September 2011 2005., hlm.1

(42)

Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding maupun kasasi? Begitu pula dalam pelaksanaannya, harus menunggu sampai seluruh keputusan mempunyai kekuatan hukum yang pasti, meskipun salah satu pihak tidak naik banding atau kasasi lagi." Suatu putusan perkara perdata, tidaklah mempunyai arti bagi pihak yang dimenangkan tanpa adanya eksekusi. Oleh karena itu, setiap putusan hakim haruslah dapat dilaksanakan atau dengan kata lain harus mempunyai kekuatan eksekutoria132 yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat- alat Negara. Adanya kekuatan eksekutorial pada putusan pengadilan adalah karena kepalanya berbunyi "Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa". Akan tetapi tidak semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap memerlukan pelaksanaan secara paksa, melainkan hanyalah putusan yang diktumnya bersifat Condemnatoir.33

Putusan pengadilan yang bersifat condeauuuoir juga tidak selalu harus dilaksanakan dengan paksaan, melainkan hanya jika putusan tersebut tidak dilaksanakan secara suka rela oleh pihak yang dihukum. Apabila putusan tersebut dilaksanakan dengan sukarela oleh pihak yang dihukum sesuai bunyi diktum putusan,

32 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktisa dau Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 120

33 Condemnstoir artinya berwujud menghukum pihak untuk membayar sesuatu, menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya, Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Persdilsn Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1994, hlm. 223

(43)

maka selesailah perkaranya tanpa perlu bantuan alat Negara untuk melaks anakannya.34

Jadi tujuan dari paksaan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan, tidak lain adalah realisasi kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi, yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan. Dalam praktek terutama dalam hukum acara perdata, pelaksanaan putusan pengadilan ini tidaklah semudah seperti apa yang diatur dalam HIR, putusan pengadilan akan sulit dilaksanakan apabila pihak yang dikalahkan tidak mau secara sukarela menaati putusan tersebut.

2. Asas-asas Eksekusi

Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus dipegangi oleh pihak Pengadilan, yakni sebagai berikut : a. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap

Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah tidak ada lagi upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat pertama, bisa juga dalam bentuk putusan tingkat banding dan kasasi. Sifat dari putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah litis finiri opperte, maksudnya tidak bisa lagi disengketakan oleh pihak-pihak yang berperkara.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai

34 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdsts di Lingkungau Peradilsn Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hlm. 105-106

(44)

kekuatan mengikat para pihak-pihak yang berperkara dan ahli waris serta pihak-pihak yang mengambil manfaat atau mendapat hak dari mereka. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dipaksa pemenuhannya melalui Pengadilan jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara sukarela.

Pengecualian terhadap asas ini adalah: (1) pelaksanaan putusan uit voerbaar bij voorraad sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) R.Bg, dan Pasal 180 ayat (2) pelaksanaan putusan provisi sesuai dengan Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) R.Bg.

dan Pasal 54 Rv. (3) pelaksanaan putusan perdamaian sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR dan Pasal 154 ayat (2) R.Bg. (4) eksekusi berdasarkan Grose akte sesuai dengan Pasal 224 HIR.

dan Pasal 258 R.Bg.

b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR. dan Pasal 207 R.Bg maka ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu dengan cara sukarela karena pihak yang kalah dengan sukarela melaksanakan putusan tersebut, dan dengan cara paksa melalui proses eksekusi oleh Pengadilan. Pelaksanaan putusan Pengadilan secara paksa dilaksanakan dengan bantuan pihak kepolisian sesuai dengan Pasal 200 ayat (1) HIR.

(45)

c. Putusan mengandung amar Condemnatoir

Putusan yang bersifat Condemnatoir biasanya dilahirkan dari perkara yang bersifat contensius dengan proses pemeriksaan secara contradictoir. Para pihak yang berperkara terdiri dari para pihak Penggugat dan Tergugat yang bersifat partai. Ada pun ciri putusan yang bersifat condemnatoir mengadung salah satu amar yang menyatakan :

(1) Menghukum atau memerintahkan untuk menyerahkan”.

(2) Menghukum atau memerintahkan untuk “pengosongan”

(3) Menghukum atau memerintahkan untuk “membagi”

(4) Menghukum atau memerintahkan untuk “melakukan sesuatu”

(5) Menghukum atau memerintahkan untuk “menghentikan”

(6) Menghukum atau memerintahkan untuk “membayar”

(7) Menghukum atau memerintahkan untuk “membongkar”

(8) Menghukum atau memerintahkan untuk “tidak melakukan sesuatu”

(46)

d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan

Menurut Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1) R.Bg yang berwenang melakukan eksekusi adalah Pengadilan yang memutus perkara yang di minta eksekusi tersebut sesuai dengan kompetensi relatif. Pengadilan tingkat banding tidak diperkenankan melaksanakan eksekusi. Sebelum melaksanakan eksekusi. Ketua Pengadilan terlebih dahulu mengeluarkan penetapan yang ditujukan kepada Pantiera/Jurusita untuk melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan eksekusi tersebut dilaksanakan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.

B. Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi Kekuasaan Kehakiman

Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanggal 10 November 2001 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan baik kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.

(47)

Berdasarkan perubahan tersebut di atas, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman35 dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Reradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yakni peradilan negara, eksistensi dan perannya ditetapkan dengan undang-undang.

Sebagai peradilan negara maka tugas dan fungsinya adalah menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia.

Independensi lembaga peradilan tidak lain adalah wujud dari paham negara hukum yang memberikan kebebasan dan kemandirian dalam menjalankan fungsi dan peranannya. Kebebasan yang demikian adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia, dengan demikian maka kekuasaan kehakiman tidak berarti hanya kekuasaan mengadili (kekuasaan menegakkah hukum di badan-badan peradilan), tetapi mencakup

35 UUD 1945 menggunakan istilah “kekuasaan kehakiman” yang sepadan dengan istilah “kekuasaan yudikatif”, rechtspraak atau judiciary (Pasal 24 UUD 1945). Sering dijumpai juga dalam berbagai tulisan istilah “kekuasaan peradilan,

“kekuasaan yudisial” atau “kekuasaan yustisial”. Namun istilah yang baku menurut UUD 1945 adalah “kekuasaan kehakiman”. Lihat, Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 1

(48)

kekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakkan hukum.36

Pada konteks proses penegakan hukum, maka eksekusi putusan pengadilan sebagai rangkian proses penegakan hukum di Pengadilan, tentu harus didasarkan pada pemahaman akan kekuasaan kehakiman dalam menegakkan kebenaran dan keadilan hukum melalui penalaran dan intrepretasi terhadap aturan-aturan hukum.

Eksekusi pada dasarnya adalah suatu tindakan hukum untuk melaksanakan atau menjalankan keputusan pengadilan yang bersifat mandiri dan merdeka tanpa dipengaruhi atau diinterfensi oleh kekuatan manapun, sebab pada dasarnya eksekusi adalah menjalankan putusan hakim oleh pengadilan. “Hak menjalankan putusan hakim”

sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentag yang dapat dipergunakan untuk memaksa seseorang yang dikalahkan perkaranya untuk melakukan apa yang diwajibkan kepadanya sesuai dengan amar putusan hakim, bila mana pihak yang dikalahkan tidak melakukannya secara sukarela, maka pihak yang dimenangkan dengan mengajukan dapat melaksanakan isi putusan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Menjalankan putusan pengadilan, tiadak lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau

36 Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, Makalah dalam Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode 1998/1999, hlm. 3. Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mujahidin, Op.cit., hlm. 14

(49)

menjalankannya secara sukarela. Pada dasarnya bahwa eksekusi merupakan pranata yang digunakan oleh sesorang dalam hal ini kreditor untuk melindungi dirinya dari harta kekayaan yang telah dipinjam oleh debitor. Dalam kontek ini maka eksekusi merupakan bagian dari upaya hukum yang digunakan setiap individu yang merasa dirugikan haknya.

Pembelaan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak individual dalam hungannya dengan sesama orang lain adalah ciri dari negara hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh Stahl, bahwa salah satu ciri negara hukum dalam konsep rechtsstaat, adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, demikian juga dalam konsep the rule of law, Albert Venn Dicey, memberikan salah satu ciri rul of law adalah adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, di samping supermasi aturan hukum, dan kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law).

C. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang Eksekusi Pengadilan terhadap Perkara Perdata

1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan Hak dalam Perkara Perdata

Pembagian yang umum menurut susbstansinya, Hukum Perdata dibagi menjadi hukum materiel dan hukum formil. Hukum Perdata materiel ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hak- hak dan kewajiban-kewajiban perdata itu sendiri, sedangkan hukum perdata formil menentukan cara, bagaiman pemenuhan hak-hak materiel tersebut dapat dijamin. Hukum perdata formil itu

(50)

sebagian besar adalah identik dengan yang disebut dengan Hukum Acara Perdata.37

Apabila berbicara dalam kontek eksekusi, orang berpandangan selalu dikaitkan dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau dikaitkan dengan suatu akta dengan titel eksekutorial yang masuk dalam kategori Hukum Perdata formil. Hal ini bisa dipahami bahwa pada umumnya orang berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan eksekusi otomati merupakan wewenang pengadilan. Hal tersebut tentunya tidak selalu benar jika diamati dari pengertian eksekusi menurut ahli hukum.

Pengertian yang lain bahwa, eksekusi putusan perdata berarti melaksanakan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Pada prinsipnya bahwa eksekusi merupakan realisasi pihak yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi terhadap putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap merupakan proses terakhir dari proses perkara perdata maupun pidana di pengadilan.

37 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 4. Sebagaimana dikutp oleh Herawati Poesoko, Parate Executie, … Op.cit., hlm.

124.

(51)

Diterimanya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti istilah eksekusi, maka tidak pada tempatnya kedua istlah itu digabungkan dalam satu rangkaian penulisan, tentu akan berlebihan apabila keduanya digunakan dalam satu rangkaian tulisan, misalnya tertulis “pelaksanaan eksekusi” maka dari sudut pandang bahasa tentu memiliki arti yang sama. Cukup dipilih salah satunya, sebab keduanya memiliki arti yang sama. Boleh digunakan “pelaksanaan” putusan atau cukum dipergunakan

“eksekusi” putusan. Namun pada umumnya belakangan ini kecenderungan orang selalu menggunakan dalam istila hukum (legal term) “eksekusi” atau menjalankan eksekusi.

Eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau menjalankan keputusan pengadilan. Menurut Pasal 195 HIR, pegertian eksekusi adalah menjalankan putusan hakim oleh pengadilan. Hak menjalankan putusan hakim sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan ketentuan- ketentuan yang mengatur tentang yang dapat dipergunakan untuk memaksa seorang yang dikalahkan perkaranya untuk melakukan apa yang diwajibkan kepadanya sesuai amar putusan hakim, bila mana pihak yang dikalahkan tidak melakukannya secara sukarela, maka pihak yang dimenangkan dengan mengajukan dapat melaksanakan isi putusan kepada Ketua Pengadilan Negeri di mana perkara tersebut diajukan dengan bantuan alat-alat paksa.38

38 Herowati Poesoko, Op.cit., hlm. 126

(52)

Eksekusi pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan putusan pengadilan dan grosse acte melainkan istilah eksekusi juga terdapat pada bidang Hukum Jaminan, eksekusi objek jaminan merupakan pelaksanaan hak kreditor pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan, apabila debitor cidera janji dengan cara penjualan objek jaminan untuk pelunasan piutangnya. Oleh karena itu, Soedewi menyatakan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak kreditor dalam perutangan yang tertuju terhadap harta kekayaan debitor manakala perutangan itu tidak dipenuhi secara sukarela oleh debitor.39

2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan Pengadilan

Pada dasarnya hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan berkaitan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain.40 Demikian juga bahwa, hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan (pribadi).41 Sementara itu menurut Vollmar42, bahwa hukum perdata ialah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan

39 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I, Op.cit., hlm. 31

40 Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan II, Hukum Perdata : Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty, Yogyakarta, 1974, hlm. 1

41 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 2

42 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 2

(53)

pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu, terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu-lintas.

Dengan demikian dapat disebutkan di sini bahwa hukum perdata adalah aturan-aturan, ketentuan-ketentuan atau norma- norma dalam hubungannya antara orang yang satu dengan orang yang lain yang memberikan pembatasan perlindungan akibat timbulnya hak dan kewajiban di antara para pihak yang berhubungan tersebut.

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan terhadap pihak yang kalah dalam suatu perkara, telah diatur tata caranya di dalam hukum acara perdata, yaitu Pasal 195-208 HIR, 224 HIR dan/atau Pasal 206-240 dan Pasal 258 RBG, sedangkan Pasal 225 HIR dan Pasal 259 RBG mengatur tentang putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Ketentuan Pasal 195 HIR meyebutkan bahwa, dalam menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara yang mula-mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam ketentuan sebagaimana disebutkan di bawah ini:

Pasal 195 HIR ayat (1) sampai ayat (7) menyebutkan bahwa:

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan information communication technology (TIK) dalam bentuk layanan aplikasi SMS dan alat desain aplikasi dalam bentuk flowchart diagram , entity relationship

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti bahwa di SMPN 1 Cikarang Pusat siswa yang pernah melakukan hubungan seks bebas sebanyak 7,71% dan siswa yang pernah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari peubah bauran promosi (Iklan, Promposi Penjualan, Penjualan langsung dan Hubungan masyarakat) dan komponen destinasi wisata ( Attraction,

Sebagai organ negara atau lembaga yang diberi kedudukan tertinggi sehingga presiden sebagai penyelenggara kekuasaan negara diharuskan tunduk dan bertanggung jawab,

Dokumentasi adalah pengumpulan data dengan cara mengalir atau mengambil data-data dari catatan, dokumentasi, administrasi yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Dalam hal

Berasaskan dapatan kajian, meta tumpuan, refleksi meta-kognitif dan kesedaran meta- kognitif adalah elemen yang menyumbang kepada pencapaian pelajar dalam penulisan

Berdasarkan wawancara dengan para pengguna jasa mini bus travel Saudara Tohiruddin Hasibuan menjelaskan bahwa penambahan biaya yang dipungut ditengah perjalanan adalah

Kebijakan untuk menjadikan daerah-daerah di Jawa sebagai daerah kotapraja yang dimulai dari kota Batavia lalu kemudian Magelang didasarkan pada tiga faktor yang biasanya