4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Soenarmo, dkk. (2008) melakukan penelitian pengaruh intensitas curah hujan terhadap pendugaan potensi tanah longsor. Pada penelitian tersebut dilakukan kajian gabungan model infiltrasi Green-Ampt dan model stabilitas lereng dengan pemodelan matematik 2-dimensi, lereng tak hingga, dengan pendekatan kesetimbangan batas dan bidang gelincir untuk mengestimasi waktu ketidakstabilan lereng setelah hujan turun. Penelitian tersebut menghasilkan peta dugaan spasiotemporal tentang stabilitas lereng pada berbagai kemiringan lereng berdasarkan nilai keamanan (SF). Hasil kajian tersebut dapat dikembangkan menjadi sistem peringatan dini bencana tanah longsor.
Widayatno (2014) melakukan penelitian stabilitas lereng akibat hujan 2 harian berurutan di Desa Pagah, Tirtomoyo, Wonogiri. Penelitian tersebut anilisis stabilitas lereng dihitung menggunakan metode elemen hingga dan analisis infiltrasi air hujan menggunakan metode SCS-CN. Pemodelan lereng menggunakan variasi kemiringan 30°, 45°, dan 60°. Penelitian tersebut menghasilkan hubungan safety factor dengan tahun analisis menunjukkan bulan kritis terjadi pada bulan Februari untuk kemiringan 30°, 45°, dan 60°. Nilai safety factor pada bulan Februari cenderung konstan sepanjang tahun, namun pada kemiringan 60° hampir semua bulan termasuk ke dalam bulan kritis dengan bulan paling kritis terjadi pada Desember 2007 dimana pernah terjadi longsor.
Hutomo (2015) melakukan penelitian stabilitas lereng akibat hujan 2 harian berurutan di Desa Sendang Mulyo, Tirtomoyo, Wonogiri. Pada penelitian tersebut anilisis stabilitas lereng dihitung menggunakan Metode Fellenius dan analisis infiltrasi air hujan menggunakan Metode SCS-CN. Pemodelan lereng menggunakan variasi kemiringan 30°, 45°, dan 60°. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa lereng dengan sudut kemiringan 30 hujan
dengan jenis tutupan lahan hutan dan tutupan eksisting memiliki nilai safety factor (SF) diatas batas kritis. Lereng dengan kemiringan 45° di bulan Maret tahun 2008 dan 2011 pada kondisi tutupan lahan eksisting mempunyai nilai SF di bawah SF kritis sedangkan pada kondisi tutupan lahan hutan mempunyai nilai SF di atas SF kritis di semua bulan pengamatan. Kemudian pada lereng dengan kemiringan 60° semua bulan pengamatan mempunyai nilai SF di bawah SF kritis. Hal ini menunjukkan bahwa hujan 2 harian berurutan dan perubahan tata guna lahan akan sangat berpengaruh terhadap nilai safety factor (SF) dari lereng.
Pratiwi (2015) melakukan penelitian stabilitas lereng akibat hujan 2 harian berurutan di Desa Sumbersari, Tirtomoyo, Wonogiri. Pada penelitian tersebut anilisis stabilitas lereng dihitung menggunakan Metode Fellenius dan analisis infiltrasi air hujan menggunakan Metode SCS-CN. Pemodelan lereng menggunakan variasi kemiringan 30°, 45°, dan 60°. Hasil analisa stabilitas lereng tanpa beban hujan pada kemiringan lereng 30◦, 45◦, dan 60◦ berturut- turut 1.3915, 1.0115 dan 0.7284.
Hasil analisa stabilitas lereng pada kondisi tidak ada hujan menunjukan bahwa lereng pada kemiringan 45◦ dan lereng pada kemiringan 60◦ sudah longsor dengan nilai faktor aman (safety factor) <1.07. Hasil analisa stabilitas lereng pada kondisi tidak ada hujan menunjukan bahwa faktor aman (safety factor) mengalami penurunan stabilitas lereng untuk kemiringan yang curam. Hasil analisa stabilitas lereng pada kondisi hujan menunjukan bahwa lereng dengan kemiringan 30◦ berada dalam kondisi kritis dengan nilai faktor aman (safety factor) < 1.07 akibat intensitas hujan bulanan > 250 mm/bulan.
Trisatya (2015) melakukan penelitian stabilitas lereng akibat hujan periode ulang di Desa Simpangan, Tirtomoyo, Wonogiri. Pada penelitian tersebut anilisis stabilitas lereng dihitung menggunakan Metode Bishop yang disederhanakan dan analisis infiltrasi air hujan menggunakan Metode SCS-CN. Pemodelan lereng menggunakan variasi kemiringan 30°, 45°, dan 60°. Hasil analisa stabilitas lereng tanpa pengaruh hujan pada sudut 30ᵒ, 45ᵒ dan 60ᵒ menghasilkan angka keamanan (SF) berturut-turut adalah 3,46, 2,05 dan 1,59. Hasil analisa stabilitas lereng
6
akibat beban hujan menghasilkan angka keamanan (SF) pada masing-masing sudut kemiringan 30°, 45°, dan 60° berturut-turut adalah 3,19, 1,89, dan 1,47.
Hasil tersebut menunjukan bahwa beban hujan periode ulang menyebabkan penurunan angka keamanan lereng meskipun tidak menyebabkan terjadinya longsor di lokasi penelitian.
Arrozi (2015) melakukan penelitian stabilitas lereng akibat hujan 2 harian berurutan di Desa Pagah, Tirtomoyo, Wonogiri. Pada penelitian tersebut anilisis stabilitas lereng dihitung menggunakan Metode Bishop yang disederhanakan dan analisis infiltrasi air hujan menggunakan Metode SCS-CN. Pemodelan lereng menggunakan variasi kemiringan 30°, 45°, dan 60°. Hasil analisis menunjukkan bahwa infiltrasi berpengaruh terhadap penurunan nilai SF. Kemiringan 30° dari 2,7233 menjadi 2,1885, kemiringan 45° dari 1,5485 menjadi 1,2329, dan kemiringan 60°dari 1,2877 menjadi 0,8655. Tutupan lahan yang tepat untuk kondisi lereng lokasi penelitian adalah ladang berteras.
Prabawa (2016) melakukan penelitian stabilitas lereng akibat hujan harian maksimum bulanan dan beban lalu lintas di Desa Tambakmerang, Girimarto, Wonogiri. Pada penelitian tersebut anilisis stabilitas lereng dihitung menggunakan Metode Morgenstern-Price dengan bantuan program Slope/W dan analisis infiltrasi air hujan menggunakan Metode Green-Ampt. Pemodelan lereng menggunakan variasi kemiringan 30°, 45°, 48°,dan 60°.
Hasil analisa stabilitas lereng dengan kondisi sebelum hujan pada sudut 30°, 45°, 48°, dan 60° menghasilkan angka keamanan (SF) berturut-turut yaitu 2,241, 1,67, 1,59, dan 1,351. Pada kondisi setelah hujan dengan pembebanan paling besar menunjukan angka keamanan (SF) pada sudut 30°, 45°, 48°, dan 60° berturut- turut adalah 2,215, 1,646, 1,563, dan 1,317. Kedua kondisi tersebut menunjukan angka keamanan (SF) diatas SF kritis sebesar 1,07 sehingga lereng masih aman terhadap bahaya tanah longsor. Hasil analisa menunjukan bahwa hujan, beban diatas lereng, dan kemiringan lereng berpengaruh terhadap penurunan angka keamanan (SF).
Kalimanto (2016) melakukan penelitian stabilitas lereng akibat hujan harian maksimum bulanan dan beban lalu lintas di Desa Mangunharjo, Jatipurno, Wonogiri. Pada penelitian tersebut anilisis stabilitas lereng dihitung menggunakan metode finite element dan analisis infiltrasi air hujan menggunakan Metode Green-Ampt. Pemodelan lereng menggunakan variasi kemiringan 30°, 42°, 45°,dan 60°. Hasil analisis stabilitas lereng dengan kondisi sebelum hujan dan setelah hujan terjadi penurunan. Penurunan nilai faktor keamanan diakibatkan adanya hujan, beban diatas lereng, dan kemiringan lereng. Pada kemiringan 60°
menunjukkan nilai faktor keamanan (SF) dibawah SF kritis sebesar 1,25 sehingga lereng dengan kemiringan sudut 60° memiliki potensi untuk tanah longsor.
Tawakkal (2016) melakukan penelitian stabilitas lereng akibat hujan harian maksimum bulanan di Desa Mangunharjo, Jatipurno, Wonogiri. Pada penelitian tersebut anilisis stabilitas lereng dihitung menggunakan metode infinite slope dan analisis infiltrasi air hujan menggunakan Metode Green-Ampt. Pemodelan lereng menggunakan variasi kemiringan 30°, 42°, 45°,dan 60°. Dari hasil penelitian diketahui bahwa infiltrasi air akibat hujan berpengaruh terhadap stabilitas lereng.
Kemiringan lereng juga berpengaruh terhadap stabilitas lereng. Semakin besar kemiringan suatu lereng semakin kecil nilai SF yang diperoleh. Model lereng dengan kemiringan 60° mempunyai nilai SF < 1 yang menunjukkan bahwa lereng tidak stabil.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari beberapa penelitian di atas dengan menggunakan data tanah dari Desa Tambakmerang, Girimarto, Wonogiri, menggunakan variasi kemiringan 30°, 45°, 48° (eksisting), dan 60°, menggunakan data curah hujan selama 10 tahun (2004-2013) yang dirubah menjadi beban hujan harian maksimum bulanan, menggunakan Metode Green-Ampt untuk menganalisis infiltrasi air hujan, dan analisis stabilitas lereng dihitung dengan Metode Fellenius.
Perbandingan antara beberapa penelitian terdahulu disajikan Tabel 2.1.
4 Tabel 2.1 Penelitian terdahulu
No. Peneliti
Tahun Peneli
tian
Judul Penelitian Lokasi Penelitian
Data Hujan
Metode Perhitungan Volume Infiltrasi
Metode Analisis Stabilitas
Lereng
Hasil
1 Soenarmo,
dkk 2008
Kajian Awal Pengaruh Intensitas Curah Hujan Terhadap Pendugaan Potensi Tanah Longsor Berbasis Spasial
Bandung,
Jawa Barat Harian Model Infiltrasi Green-Ampt
Model Matematik 2D
lereng tak hingga
Peta kerawanan dugaan stabilitas lereng secara spasio-temporal di
Kabupaten Bandung dengan berbagai tekstur tanah yang berbeda
2 Widayatno 2014
Analisis Stabilitas Lereng Di DAS Tirtomoyo Wonogiri Akibat Hujan 2 Hari Berurutan
Desa Pagah, Tirtomoyo,
Wonogiri
2 Harian
Metode Soil Conservation Service Curve Number (SCS CN)
Perangkat Lunak SLOPE/W
Hujan 2 harian dan kemiringan lereng sangat mempengaruhi nilai stabilitas lereng
3 Hutomo 2015
Pengaruh Hujan 2 Harian Terhadap Stabilitas Lereng Di DAS Tirtomoyo, Wonogiri
Desa Sendang
Mulyo, Tirtomoyo,
Wonogiri
2 Harian
Metode Soil Conservation Service Curve Number (SCS CN)
Metode Fellenius
Hujan 2 harian berurutan dan perubahan tata guna lahan akan sangat berpengaruh terhadap nilai stabilitas lereng.
4 Pratiwi 2015
Analisa Stabilitas Lereng akibat Curah Hujan Bulanan dengan Metode Fellenius di Desa Sumbersari DAS Tirtomoyo Wonogiri
Desa Sumbersari Tirtomoyo, Wonogiri
Bulanan
Metode Soil Conservation Service Curve Number (SCS CN)
Metode Fellenius
Semakin curam lereng nilai SF akan semakin kecil dan beban curah hujan bulanan menghasilkan lereng yang kritis pada semua bulan pengamatan
5 Trisatya 2015
Analisis Stabilitas Lereng Di Das Tirtomoyo Wonogiri Dengan Metode Simplified Bishop Akibat Hujan Periode Ulang
Desa Pagah, Tirtomoyo,
Wonogiri
Periode Ulang
Metode Soil Conservation Service Curve Number (SCS CN)
Metode Bishop Disederhanakan
Beban hujan periode ulang menyebabkan penurunan angka keamanan lereng meskipun tidak
menyebabkan terjadinya longsor di lokasi penelitian.
8
Lanjutan Tabel 2.1 Penelitian terdahulu
No. Peneliti
Tahun Peneli
tian
Judul Penelitian Lokasi Penelitian
Data Hujan
Metode Perhitungan Volume Infiltrasi
Metode Analisis Stabilitas
Lereng
Hasil
6 Arrozi 2015
Analisis Stabilitas Lereng Berdasarkan Pengaruh Hujan Bulanan Maksimum di DAS Tirtomoyo Wonogiri Menggunakan Metode Bishop Disederhanakan
Desa Pagah, Tirtomoyo,
Wonogiri
Bulanan
Metode Soil Conservation Service Curve Number (SCS CN)
Metode Bishop Disederhanakan
Hasil analisis menunjukkan bahwa infiltrasi berpengaruh terhadap penurunan nilai SF.
Tutupan lahan yang tepat untuk kondisi lereng lokasi penelitian adalah ladang berteras.
7 Prabawa 2016
Analisis Stabilitas Lereng Akibat Beban Hujan Harian
Maksimum Bulanan dan Beban Lalu Lintas
Desa Tambakme
rang, Jatipurno, Wonogiri
Harian Model Infiltrasi Green-Ampt
Metode Morgenstern-
Price
Hasil analisa menunjukan bahwa hujan, beban diatas lereng, dan kemiringan lereng berpengaruh terhadap angka keamanan
8 Kalimanto 2016
Analisis Stabilitas Lereng Akibat Beban Hujan Harian
Maksimum Bulanan dan Beban Lalu Lintas
Desa Mangunhar jo, Jatipurno,
Wonogiri
Harian Model Infiltrasi Green-Ampt
Metode Finite Element
Hujan harian maksimum bulanan mempengaruhi stabilitas lereng. Lereng 60°
tidak stabil.
9 Tawakkal 2016
Pengaruh Curah Hujan Harian Maksimum Bulanan Terhadap Stabilitas Lereng
Desa Mangunhar jo, Jatipurno,
Wonogiri
Harian Model Infiltrasi Green-Ampt
Metode Infinite Slope
Peningkatan kemiringan lereng dan hujan harian maksimum bulanan sangat mempengaruhi stabilitas lereng
9
10
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Lereng
Lereng merupakan sebuah profil tanah alami maupun buatan yang memiliki kemiringan tertentu terhadap bidang horizontal. Jika ada sebuah keadaan tanah yang miring maka secara otomatis massa yang berada di puncak lereng akan cenderung bergerak ke bawah lereng sesuai dengan arah gravitasi. Gerakan tanah tersebut akan terjadi apabila massa yang membebani lereng terlalu besar sehingga melampaui besarnya gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah dan batuan (Anonim, 2008).
Proses menghitung dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk sepanjang permukaan longsor yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari tanah yang bersangkutan dinamakan dengan Analisis Stabilitas Lereng.
2.2.2 Data Hujan
Data curah hujan adalah data jumlah hujan yang jatuh di permukaan, tidak menguap dan tidak mengalir selama periode tertentu yang diukur dengan satuan (mm) dalam luasan 1 m2. Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan harian. Data Hujan yang digunakan merupakan data hujan harian dari penelitian Avicenna, 2015 kemudian diolah menjadi hujan harian maksimum.
Hujan harian maksimum diolah menjadi hujan wilayah. Hujan Wilayah didapatkan dengan mengkalikan hujan harian dengan koefiesien Thiessen Avicenna, 2015.
2.2.3 Peta Rupa Bumi Indonesia
Peta rupa bumi Indonesia, biasanya juga disebut peta topografi, adalah peta dasar yang digunakan untuk pembuatan peta lainnya. Peta ini menggambarkan penampakan rupa bumi antara lain kenampakan perairan, kenampakan vegetasi dan kenampakan sosial. Peta RBI yang digunakan adalah peta RBI lembar
Wonogiri dengan skala 1:25.000. Peta RBI digunakan untuk penentuan koefisien Thiessen.
2.2.4 Data Propertis Tanah
Tanah adalah kumpulan partikel mineral dan material hasil pembusukan zat organik, dan bersama-sama dengan udara dan atau air pada celah pori membentuk sistem tiga fase tanah. Pada umumnya, tanah berasal dari hasil pelapukan batuan.
Properti material dari tanah sangat ditentukan oleh mineral pembentuk, penyebab terjadinya, dan berasal dari jenis batu apa tanah itu diturunkan. Untuk mengelompokkan tanah pada beberapa grup dan atau subgrup maka dibutuhkan klasifikasi tanah. Klasifikasi tanah ini menyajikan bahasa yang sederhana untuk menggambarkan karakteristik dan atau properti material tanah secara ringkas tanpa harus mengetahui deskripsi detailnya (Das, 1985).
Kuat geser tanah adalah Tahanan geser per satuan luas yang mampu diberikan oleh tanah untuk menahan keruntuhan dan pergerakan tanah sepanjang garis keruntuhannya (Das, 1985). Keruntuhan geser tanah terjadi bukan disebabkan karena hancurnya butir-butir tanah tersebut tetapi karena adanya gerak relatif antara butir-butir tanah tersebut. Pada peristiwa kelongsoran suatu lereng berarti telah terjadi pergeseran dalam butir-butir tanah tersebut. Kekuatan geser yang dimiliki oleh suatu tanah disebabkan oleh :
Tanah berbutir halus (kohesif) misalnya lempung kekuatan geser yang dimiliki tanah disebabkan karena adanya kohesi atau lekatan antar butir-butir tanah (c soil).
Tanah berbutir kasar (non kohesif), kekuatan geser disebabkan karena adanya gesekan antara butir-butir tanah sehingga sering disebut sudut gesek dalam (υ soil).
Tanah yang merupakan campuran antara tanah halus dan kasar (c dan υ soil), kekuatan geser disebabkan karena adanya lekatan (karena kohesi) dan gesekan antara butir-butir tanah (karena υ).
12
Selain data-data di atas, data berat isi tanah (γ) juga diperlukan untuk perhitungan beban guna analisis stabilitas lereng. Berat isi tanah tersebut akan cenderung bertambah jika ada air hujan yang masuk ke dalam lapisan tanah. Berat isi dibedakan menjadi berat isi asli, berat isi jenuh, dan berat isi terendam air yang penggunaannya bergantung pada kondisi lapangan.
2.2.5 Hujan Wilayah dengan Metode Thiessen
Hujan yang diperoleh dari suatu stasiun hujan tertentu merupakan hujan yang terjadi pada satu titik saja (point rainfall), maka dari itu hujan titik tersebut akan diubah menjadi hujan wilayah. Hujan wilayah merupakan hujan titik dari beberapa stasiun hujan yang diolah dan dianggap mewakili hujan yang ada di suatu DAS (Suripin, 2004).
Penelitian ini menggunakan metode Thiessen dalam mengubah hujan titik menjadi hujan wilayah. Metode ini digunakan karena cukup sederhana dalam penggunaannya dan memiliki hasil yang cukup baik.
Metode Thiessen memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan stasiun yang terjadi di stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun hujan mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerh yang ditinjau tidak merata.
Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun (Soemarto, 1999). Perhitungan hujan rerata suatu daerah di tunjukan pada persamaan 2.1.
̅
(2.1)
dengan:
̅ = Hujan rerata daerah,
p1, p2, … , pn = Hujan di stasiun 1, 2, … , n, n = Jumlah stasiun,
A = Luas daerah yang mewakili stasiun 1, 2, … , n.
Metode Thiessen diwujudkan dalam bentuk poligon Thiessen seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.1. Poligon Thiessen adalah tetap untuk jumlah dan letak stasiun hujan tertentu. Apabila terdapat penambahan jumlah stasiun hujan ataupun perubahan letak stasiun hujan, maka harus dibuat poligon yang baru.
Gambar 2.1 Poligon Thiessen
2.2.6 Metode Mononobe
Pada penelitian ini menghitung intensitas hujan akan menggunakan metode mononobe. Metode Mononobe digunakan karena data curah hujan yang diperoleh pada penelitian ini berupada data curah hujan harian. Intensitas hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu dimana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas hujan ini dapat diproses dari data hujan yang telah terjadi pada masa lampau (Loebis, 1987).
dengan :
I : Intensitas curah hujan untuk lama hujan t (mm/jam) t : Lamanya curah hujan (jam)
R24 : Curah hujan maksimum selama 24 jam (mm)
2 24 24 3
24 I R
t
(2.2)
14
2.2.7 Analisis Mekanika Tanah
Rumus dan perhitungan yang diperlukan untuk mengolah data tanah dari laboratorium pada penelitian ini, antara lain:
1. Angka Pori
1
w 1
b
Gs w
e
(2.3)
dengan :
γ : Berat volume basah (gram/cm3),
: Berat jenis tanah,
γ : Berat volume air (gram/cm3), : Kadar air (%),
: Angka pori.
2. Nilai Porositas
(2.4) dengan :
: Angka pori n : Nilai Porositas 3. Derajat kejenuhan
(2.5) dengan :
: Derajat kejenuhan e : Angka pori Gs : Spesific Gravity w : Kadar air
4. Berat volum tanah jenuh ( )
sat 1 w
Gs e
e
(2.6)
dengan :
γ : Berat volume tanah jenuh (gram/cm3),
s : Berat jenis tanah (spesific gravity), 1
n e
e
S Gs w e
γ : Berat volume air (gram/cm3), : Angka pori.
5. Kandungan air awal tanah sebelum terinfiltrasi
(2.7) dengan:
i : Kandungan air awal tanah sebelum terinfiltrasi w : Kadar air
d : Berat volum tanah kering (gram/cm3)
w : Berat volum air (gram/cm3) 6. Kandungan air tanah jenuh
θs = S . n (2.8)
dengan:
s : Kandungan air tanah jenuh S : Derajat kejenuhan
n : Nilai porositas
2.2.8 Metode Green-Ampt
Model infiltrasi Green-Ampt dikembangkan untuk mengetahui tingkah laku infiltrasi air dalam tanah pada permukaan yang horizontal. Chen dan Young (2006) telah melakukan modifikasi terhadap persamaan model infiltrasi Green- Ampt pada permukaan tanah yang memiliki kemiringan tertentu, sehingga model infiltrasi Green-Ampt dapat diterapkan pada lereng dengan ilustrasi seperti Gambar 2.2.
d i
w
w
16
Gambar 2.2 Infiltrasi Green-Ampt pada lereng (Chen dan Young, 2006) Berikut adalah bentuk sederhana dari persamaan Green-Ampt seperti yang ditunjukkan dalam Persamaan (2.9) :
cos
cos ln 1
cos
s i
s i
kt F t F t
(2.9)
dengan :
F(t) : infiltrasi kumulatif (cm)
k : koefisien permeabilitas (cm/jam) t : lama hujan
β : sudut kemiringan lereng (derajat)
: suction (cm)
θs : kandungan air pada tanah jenuh
θi : kandungan air awal pada tanah sebelum terjadi infiltrasi.
Untuk curah hujan stabil (steady rainfall) Persamaaan (2.9) berubah menjadi Persamaan (2.10).
cos ln 1 cos cos
s i
p s
s i
k t t t F t F t
(2.10)
Menghitung waktu/lama hujan (t) dengan menggunakan Persamaan (2.11), (2.12), atau (2.13) :
cos t F t
p
untuk F(t) < Fp (2.11)
β
tp
t untuk F(t) = Fp (2.12)
1 ln 1 cos
cos cos
s i
p s
s i
t t t F t F t
k
untuk F(t) > Fp (2.13)
Nilai Fp dicari dengan menggunakan Persamaan (2.14) serta nilai tp dan ts dapat diketahui dari Persamaan (2.15) dan Persamaan (2.16) :
cos cos
s i
Fp
p k
(2.14)
cos
p p
t F
p
(2.15)
1 cos
cos cos ln 1
s i p
s p
s i
t F F
k
(2.16)
dengan :
Fp : jumlah air yang terinfiltrasi sebelum air mulai menggenang di permukaan tanah (cm)
tp : waktu yang dibutuhkan air untuk menggenang (cm/jam) ts : waktu sebelum infiltrasi mencapai Fp
Tebal tanah jenuh dapat diketahui dengan Persamaan (2.17) :
f
s i
Z F t
(2.17)
dengan :
Z f : ketebalan tanah jenuh (cm)
Nilai dari parameter yang dibutuhkan dalam model infiltrasi Green-Ampt untuk beberapa jenis tanah disajikan dalam Tabel 2.2.
18
Tabel 2.2 Parameter infiltrasi Green-Ampt untuk berbagai kelas tanah
Texture Porosity (η)
Residual Porosity
(ϴr)
Effective Porosity
(ϴe)
Suction Head ψ (cm)
Conductivity K (cm/hr)
Sand 0.437 0.020 0.417 4.95 11.78
Loamy Sand 0.437 0.036 0.401 6.13 2.99
Sandy Loam 0.453 0.041 0.412 11.01 1.09
Loam 0.463 0.029 0.434 8.89 0.34
Silt Loam 0.501 0.015 0.486 16.68 0.65
Sandy Clay
Loam 0.398 0.068 0.330 21.85 0.15
Clay Loam 0.464 0.155 0.309 20.88 0.10
Silty Clay
Loam 0.471 0.039 0.432 27.30 0.10
Sandy Clay 0.430 0.109 0.321 23.90 0.06
Silty Clay 0.470 0.047 0.423 29.22 0.05
Clay 0.475 0.090 0.385 31.63 0.03
Sumber : Rawls, Brakensiek, and Miller (1983)
2.2.9 Analisis Stabilitas Lereng
Analisis stabilitas lereng berdasarkan pada konsep keseimbangan batas plastis.
Adapun maksud analisis stabilitas adalah untuk menentukan faktor aman dari bidang longsor yang potensial. Faktor aman didefinisikan dengan memperhatikan tegangan geser rata-rata sepanjang bidang longsor potensial, dan kuat geser tanah rata-rata sepanjang permukaan longsoran.
Faktor aman (SF) didefinisikan sebagai nilai banding antara gaya yang menahan dan gaya yang menggerakkan (Hardiyatmo, 2007)
d
SF
(2.18)
dengan:
τ : tahanan geser maksimum yang dapat dikerahkan oleh tanah (kN/m2) τd : tegangan geser yang terjadi akibat gaya berat tanah yang akan longsor (kN/m2)
Menurut teori Mohr-Coulomb, tahanan geser (τ) yang dapat dikerahkan oleh tanah, disepanjang bidang longsornya dinyatakan oleh :
(2.19)
dengan:
c : kohesi tanah (kN/m2) σ : tegangan normal (kN/m2)
υ : sudut gesek dalam tanah (derajat)
Dengan cara yang sama, dapat dituliskan persamaan tegangan geser yang terjadi (τd) akibat beban tanah dan beban-beban lain pada bidang longsornya :
(2.20)
dengan:
cd : kohesi tanah (kN/m2)
υd : sudut gesek dalam yang bekerja sepanjang bidang longsor (derajat)
2.2.10 Metode Irisan (Method of Slice)
Hardiyatmo (2007) menjelaskan bahwa bila tanah tidak homogen dan aliran rembesan terjadi di dalam tanah tidak menentu, cara yang lebih cocok adalah metode irisan (method of slice). Gaya normal yang bekerja pada suatu titik di lingkaran longsor, terutama dipengaruhi oleh berat tanah di atas titik tersebut.
Massa tanah yang longsor dipecah-pecah menjadi beberapa irisan vertikal.
Keseimbangan dari tiap-tiap irisan diperhatikan. Gambar 2.3 memperlihatkan satu irisan dengan gaya-gaya yang bekerja padanya. Gaya-gaya ini terdiri gaya geser dan gaya normal efektif di sepanjang sisi irisannya, dan juga resultan gaya geser efektif dan resultan gaya normal efektif yang bekerja di sepanjang dasar irisannya. Pada irisannya, tekanan air pori bekerja di kedua sisi dan dasarnya.
20
Gambar 2.3 Gaya-gaya yang bekerja pada irisan (Hardiyatmo, 2007) Metode stabilitas lereng metode Fellenius (1927) menganggap gaya-gaya yang bekerja pada sisi kanan-kiri dari sembarang irisan mempunyai resultan nol pada arah tegak lurus bidang longsor. Bila terdapat air pada lereng, tekanan air pori pada bidang longsor tidak menambah momen akibat tanah yang akan longsor karena resultan gaya akibat tekanan air pori lewat titik pusat lingkaran sehingga diperoleh persamaan:
( cos )
sin
i i i i i i
i i
c a W u a tg
SF W
(2.21)dengan:
c = kohesi tanah (kN/m2),
υ = sudut gesek dalam tanah (…°),
ai = panjang lengkung lingkaran pada irisan ke-i (m),
ui = tekanan air pori pada irisan ke-i (kN/m2), Wi = berat tanah ke- i (kN),
αi = sudut dari pusat irisan ke titik berat (…°).
Metode Fellenius dipilih karena menghasilkan SF yang lebih rendah dari cara hitungan yang lebih teliti. Besarnya nilai kesalahan dapat tergantung dari faktor keamanan, sudut pusat lingkaran yang dipilih, dan besarnya tekanan air pori.
Walaupun analisis yang ditinjau dalam tinjauan tegangan total, kesalahan analisis masih merupakan fungsi dari SF dan sudut pusat dari lingkaran. Cara ini telah
banyak digunakan dalam praktek, karena cara hitungan sederhana dan kesalahan hitungan yang dihasilkan masih pada sisi yang aman (Hardiyatmo, 2007).
Berdasarkan hubungan faktor keamanan dan intensitas kelongsoran (Bowles, 1989) maka nilai safety factor (SF) minimum agar lereng dikategorikan stabil yaitu sebesar 1,25 sedangkan untuk range nilai safety factor (SF) agar lereng dikategorikan kritis yaitu antara 1,07 – 1,25 dan lereng dengan nilai safety factor (SF) kurang dari 1,07 dikategorikan sebagai lereng labil. Dari grafik pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 semua pemodelan menunjukkan hasil nilai safety factor (SF) yang lebih dari 1,25.