10 2.1 Pajak
2.1.1 Definisi Pajak
Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2001/KUP Pasal1 Ayat 1 yang dimaksud dengan pajak adalah:
“Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof.Dr.Rochmat Soemitro, S.H dalam buku Mardiasmo (2011:1) adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditinjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Beberapa pengertian pajak lainnya yang dikemukakan para ahli yang dikutip oleh Waluyo (2013:2) adalah sebagai berikut :
“Edwin. R. A. Seligman:
Pajak adalah adanya kontribusi seseorang yang ditujukan kepada negara tanpa adanya manfaat yang ditujukan secara khusus pada seseorang.
Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
Mardiasmo (2011:1) merumuskan dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 menjelaskan bahwa:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
2.1.2 Fungsi Pajak
Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2011:1) 1. Fungsi Penerimaan (budgetair)
Dalam fungsi budgetair ini pemungutan pajak bertujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara yang pada waktunya akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran negara baik untuk pengeluaran rutin dalam melaksanakan mekanisme pemerintahan maupun pengeluaran untuk membiayai pembangunan. 2. Fungsi Mengatur (regulerend)
Pada lapangan perekonomian, pengaturan pajak memberikan dorongan kepada pengusaha untuk memperbesar produksinya, dapat juga memberikan keringanan atau pembesaran pajak pada para penabung dengan maksud menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan antara lain ke sektor produktif. Dengan adanya industri baru maka dapat menampung tenaga kerja yang lebih banyak, sehingga pengangguran berkurang dan pemerataan pendapatan akan dapat terlaksana untuk mencapai keadilan sosial ekonomi dalam masyarakat.
2.1.3 Jenis Pajak
Menurut Waluyo (2013:12) jenis pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok adalah sebagai berikut :
a. Pajak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut Sifat
Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan cirri-ciri prinsip adalah sebagai berikut :
a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3. Menurut Pemungutan dan Pengelolanya, diantaranya :
a. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak reklame, Pajak hiburan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkotaan dan pedesaan.
2.1.4 Kedudukan Hukum Pajak
Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Aristanti (2011:9) hukum pajak mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum sebagai berikut :
a. Hukum Perdata
Mengatur hubungan anatara saat individu dengan individu lainnya. b. Hukum Publik
Mengatur antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :
- Hukum Tata Negara
- Hukum Tata Usaha (Hukum Administrasi) - Hukum pajak
- Hukum Pidana
2.1.5 Teori Pemungutan Pajak
Beberapa teori pajak yang dikemukakan oleh para ahli sebagai dasar pemungutan yang kemudian dipaparkan oleh Siti Resmi (2013:5) adalah sebagai berikut :
1. Teori Asuransi
Teori ini menyatakan bahwa negara bertugas untuk melindungi orang dan segala kepentinganya, meliputi keselamatan dan keamanan jiwa, dan juga harta bendanya.
2. Teori Kepentingan
Teori ini awalnya hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk. Pembagian beban ini harus
didasarkan atas kepentingan masing-masing orang dalam tugas-tugas pemerintah, termasuk perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada mereka.
3. Teori Gaya Pikul
Teori ini menyatakan bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk kepentingan tersebut diperlukan biaya-biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak. Teori ini menekankan pada asas keadilan, bahwasanya pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang
4. Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori bakti)
Berlawanan dengan ketiga teori sebelumnya, yang tidak mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini mendasarkan pada paham Organische Staatsler. Paham ini mengajarkan bahwa karena sifat suatu negara maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidaklah berdiri sendiri, dengan tidak adanya persekutuan tidak ada nada individu.
5. Teori Asas Gaya Beli
Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, melainkan hanya melihat pada efeknya, dan memandang efek yang baik
itu sebagai dasar keadilanya. Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak.
2.1.6 Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak yang dipaparkan oleh Siti Resmi (2013:10) di dalam bukunya adalah sebagai berikut :
1. Asas Domisili (Asas Tempat tinggal)
Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Setiap Wajib Pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Wajib Pajak Dalam Negeri) dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
2. Asas Sumber
Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Setiap orang yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diperolehnya tadi.
3. Asas Kebangsaan
Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan atas setiap orang asing yang bukan berkebangsaan Indonesia tetapi bertempat tinggal di Indonesia.
2.1.7 Tata Cara Pemungutan Pajak
Di dalam Mardiasmo (2011:6) terdapat pemungutan pajak yang dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel, yaitu:
1. Stelsel Nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkab pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan atau kelemahan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahan stelsel ini adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
2. Stelses Anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel
ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2.1.8 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem Pemungutan Pajak yang dipaparkan oleh Siti Resmi (2013:11) di dalam bukunya adalah :
1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada pada aparatur perpajakan).
2. Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:
1) Menghitung sendiri pajak yang terutang; 2) Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang; 3) Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang; 4) Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang;dan 5) Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.
Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak)
3. With Holding System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainya untuk memotong dan
memungut pajak, menyetor, dan mempertanggungjwabkan melalui saran perpajakan yang tersedia.
2.2 Reformasi Perpajakan
2.2.1 Pengertian Reformasi Perpajakan
Menurut Chaizi Nasucha (2004:15) mengemukakan bahwa:
“Reformasi perpajakan merupakan resep untuk penyehatan ekonomi melalu pendekatan fiskal. Mengutip Williamson dalam Mas’oed (1994),
reformasi perpajakan meliputi perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, mengurangi terjadinya penghindaran dan manipulasi pajak, serta mengatur pengenaan aset yang berada di luar negeri. Perubahan struktur pajak (tax base dan tax rate) terkait dengan
perubahan dalam administrasi perpajakannya.”
Menurut Malcolm Gilis yang dikemukakan kembali oleh Siti Kurnia Rahayu(2010:97) atribut yang menjadi dasar suatu reformasi perpajakan:
1. Breadth of reform. Reformasi perpajakan memfokuskan pada struktur pajak atau sistem pajak, dan administrasi pajak
2. Scope of reform. Reformasi perpajakan dilakukan secara comprehensive (semua sumber penerimaan yang penting), atau dilakukan secara parsial (hanya meliputi satu atau dua komponen penting dari sistem perpajakan) 3. Revenue Goals. Reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan
dalam presentase terhadap PDB yaitu rasio pajak (revenue enhancing); untuk mengganti penerimaan (revenue neutral reform; atau bahkan untuk mengurangi penerimaan (revenue-decreasing reform)
4. Equity goals. Reformasi perpajakan untuk menegakkan keadilan (redistributive). Orang berpenghasilan tidak sama, pajaknya diperlakukan tidak sama juga, namun jika reformasi perpajakan tidak dimaksudkan untuk merubah distribusi pendapatan yang sudah ada maka disebut distributionally neutral reform.
5. Resource allocations goal. Reformasi perpajakan yang berusaha mengurangi pengenaan pajak pada sumber daya agar dapat dialokasikan lebih efisien (euconomically neutral), jika sistem perpajakan untuk mempengaruhi aliran sumber daya sektor ekonomi atau aktivitas tertentu maka disebut interventionist reforms.
6. Timing of reform. Dilakukan dengan mengubah seluruh kebijakan perpajakan secara bersamaan disebut contemporaneous reform, dengan implementasi bertahap disebut phased reform, atau perubahan kebijakan perpajakan yang tidak berkaitan dilakukan dalam beberapa tahun lebih disebut successive reforms.
Menurut Siti Kurnia Rahayu(2010:98), alasan negara melakukan reformasi dalam perpajakan adalah:
1. Untuk menstabilkan perekonomian yang tidak menentu karena pengaruh perekonomian internasional maupun nasional.
2. Upaya mengalihkan sektor penerimaan APBN dari migas yang semula sebagai sektor primadona menjadi pajak sebagai sumber yang lebih dapat menjanjikan karena secara rasional pajak adalah penerimaan yang berkelanjutan tidak seperti migas.
3. Usaha mengikuti ketentuan dunia terutama dalam hal pendanaan (pinjaman luar negeri) yang mensyaratkan struktur pajak yang ada harus disesuaikan dengan kondisi seharusnya.
4. Meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak Tujuan Reformasi Perpajakan:
1. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas negara.
2. Menekan terjadinya penyelundupan pajak oleh Wajib Pajak.
3. Meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakanya.
4. Menerapkan konsep Good Governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak, sekaligus publikasi jelasnya pos penggunaan pengeluaran dana pajak.
5. Meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak baik kepada fiskus maupun kepada Wajib Pajak.
2.2.2 Reformasi Perpajakan di Indonesia
Reformasi perpajakan yang dilakukan di Indonesia dimulai sejak tahun 1983 dimana saat itu terjadi reformasi atau perubahan sistem mendasar atas pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self Assessment. Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengurangi kontak langsung antara Aparat Pajak dengan wajib pajak yang sebelumnya dikhawatirkan dapat menimbulkan
praktik-praktik ilegal untuk menghindari atau mengurangi kewajiban perpajakan para wajib pajak yang bersangkutan. Diana Sari (2013:6)
Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan, melalui reformasi:
a. Moral, etika, dan integritas Aparat Pajak b. Kebijakan perpajakan
c. Pelayanan kepada masyarakat wajib pajak
d. Pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan
e. Pemberian reward dan penerapan punishment yang tegas terhadap Aparat Pajak
Reformasi perpajakan secara komperhensif sebagai satu kesatuan dilakukan terhadap tiga bidang pokok atau utama yang secara langsung menyentuh pilar perpajakan, yaitu:
a. Bidang Administrasi, yakni melalui reformasi administrasi perpajakan; b. Bidang Peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap
Undang-Undang Perpajakan;
c. Bidang Pengawasan, membangun bank data perpajakan nasional.
2.2.3 Pengertian Reformasi Administrasi Perpajakan
Menurut Chaizi Nasucha yang dikemukakan kembali oleh Siti Kurnia Rahayu(2010:97), reformasi administrasi perpajakan adalah :
“Reformasi administrasi perpajakan adalah penyempurnaan atau perbaikan
kinerja administrasi, baik secara individu, kelompok, maupun kelembagaan agar lebih efisien, ekonomis dan cepat”
2.3 Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan 2.3.1 Definisi Modernisasi
Modernisasi dalam ilmu sosial merujuk pada sebuah bentuk transformasi dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih maju,
berkembang, dan makmur.
Adapun definisi modernisasi menurut para ahli, diantaranya (Dudung, 2015) :
1. Menurut Wilbert E Moore modernisasi adalah transformasi total co-eksistensi tradisional atau pra-modern dalam hal teknologi dan organisasi sosial terhadap pola ekonomi dan politik yang menjadi ciri negara-negara barat yang stabil.
2. Menurut JW School modernisasi adalah transformasi, perubahan dalam masyarakat dalam segala aspeknya. Teori modernisasi menggambarkan proses transformasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern atau mundur.
2.3.2 Definisi Sistem
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu “systema” yang berarti kesatuan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas; sususan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya; metode.
Adapun definisi sistem menurut para ahli, diantaranya (Hedi, 2014): 1. Menurut Ludwig Von Bartalanfy Sistem adalah seperangkat unsur yang
saling terikat dalam suatu antar relasi diantara unsur-unsur tersebut dengan lingkungan.
2. Menurut Salisbury Sistem adalah sekelompok bagian atau komponen-komponen yang bekerja sama sebagai suatu kesatuan fungsi.
3. Menurut John Mc Manama Sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efisien.
2.3.3 Definisi Administrasi
Definisi administrasi menurut A. Dunsire dalam Siti Kurnia (2010:92):
“Administrasi diartikan sebagai arahan, pemerintahan, kegiatan, implementasi,
mengarahkan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan, kegiatan melakukan analisis, menyeimbangkan dan mempresentasikan keputusan, pertimbangan-pertimbangan kebijakan, sebagai pekerjaan individual dan kelompok dalam menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai arena bidang kerja akademik dan teoritis”.
2.3.4 Administrasi Perpajakan
Menurut Sophar Lumbantoruan (1997), administrasi perpajakan (tax administration) ialah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak. Siti Kurnia Rahayu (2010:93).
Administrasi pajak dalam arti sebagai prosedur meliputi antara lain tahap-tahap pendaftaran wajib pajak, penetapan pajak, pembayaran pajak, pelaporan pajak, dan penagihan pajak. tahap-tahap yang tidak solid dapat merupakan sumber
kecurangan (tax evasion). Laporan Bank Dunia menyatakan bahwa: “Poor tax administration undermines the effectiveness of the desired tax structure and raises distortion. A poor designed tax structure makes administration mor difficult” Lawrence H. Summers dalam Siti Kurnia Rahayu(2010:93)
De Jantscher (1997) menekankan peran penting administrasi perpajakan dengan menuju pada kondisi terkini, dan pengalaman di berbagai negara berkembang. Kebijakan perpajakan (tax policy) yang dianggap baik (adil dan efisien) dapat saja kurang sukses menghasilkan penerimaan atau mencapai sasaran lainnya karena administrasi perpajakan tidak mampu melaksanakannya. (Gunadi, 2003)
Administrasi perpajakan berperan penting dalam sistem perpajakan di suatu negara. Suatu negara dapat dengan sukses mencapai sasaran yang diharapkan dalam menghasilkan penerimaan pajak yang optimal karena administrasi perpajakannya mampu dengan efektif melaksanakan sistem perpajakan di suatu negara yang dipilih. Pada dasarnya sasaran administrasi perpajakan adalah upaya peningkatan kepatuhan taxpayers dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dan pelaksanaan ketentuan perpajakan secara seragam satu persepsi antara wajib pajak dan fiskus sama dalam menilai suatu ketentuan untuk mendapatkan penerimaan maksimal dengan biaya yang optimal.
Toshiyuki dalam Siti Kurnia Rahayu(2010:95) menyatakan bahwa untuk mencapai hal tersebut disyaratkan beberapa kondisi administrasi perpajakan dalam suatu negara adalah seperti berikut ini:
2. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan transparan.
3. Dapat merealisasikan perpajakan yang sah dan adil sesuai ketentuan dan menghilangkan kewenang-wenangan, arogansi, dan perilaku yang dipengaruhi kepentingan pribadi.
4. Dapat mencegah dan memberikan sanksi serta hukuman yang adil atas ketidakjujuran dan pelanggaran serta penyimpangan.
5. Mampu menyelenggarakan sistem perpajakan yang efisien dan efektif. 6. Meningkatkan kepatuhan membayar pajak.
7. Memberikan dukungan terhadap pertumbuhan dan pembangunan usaha yang sehat masyarakat pembayar pajak.
8. Dapat memberikan kontribusi atas pertumbuhan demokrasi masyarakat.
2.3.5 Pengertian Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan
Menurut Suparman (2007) tentang pengertian sistem administrasi perpajakan modern adalah penyempurnaan atau perbaikan kinerja administrasi baik secara individu, kelompok maupun kelembagaan agar lebih efisien, ekonomis, dan cepat.
Sistem modernisasi administrasi perpajakan menurut Liberti Pandiangan (2007:7) menyatakan bahwa:
“Sistem modernisasi administrasi perpajakan adalah restruksi organisasi,
penyempurnaan proses bisnis melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi, dan penyempurnaan manajemen SDM. Konsep ini disesuiakan dengan iklim, kondisi, dan sumber daya yang ada di Indonesia”
Menurut Siti Kurnia (2010:109) modernisasi sistem perpajakan di lingkungan DJP bertujuan untuk menerapkan Good Governance dan pelayanan
prima kepada masyarakat. Good governance, merupakan penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasa intensif kepada para wajib pajak. Selain itu, untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak yang tinggi, meningkatkan kepercayaan administrasi perpajakan dan mencapai tingkat produktivitas pegawai pajak yang tinggi.
2.3.6 Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:117) terdapat program-program reformasi administrasi perpajakan jangka menengah Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut:
A. Meningkatkan Kepatuhan Perpajakan 1. Meningkatkan kepatuhan sukarela
- Program kampanye sadar dan peduli pajak - Program pengembangan pelayanan perpajakan
2. Memelihara (maintaining) Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Patuh - Program pengembangan pelayanan prima
- Program penyederhanaan pemenuhan kewajiban perpajakan 3. Menangkal Ketidakpatuhan Perpajakan (Combatting Noncompliance)
- Program merevisi pengenaan sanksi
- Program menyikapi berbagai kelompok wajib pajak tidak patuh - Program meningkatkan efektivitas pemeriksaan
- Program modernisasi aturan dan metode pemeriksaan dan penagihan
- Program penyempurnaan ekstensifikasi
- Program pemanfaatan teknologi terkini dan pengembangan IT masterplan
- Program pengembangan dan pemanfaatan bank data
B. Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat terhadap Administrasi Perpajakan 1. Meningkatkan citra DJP
- Program merevisi UU KUP
- Program penerapan Good Corporate Covernance - Program perbaikan mekanisme keberatan dan banding - Program penyempurnaan prosedur pemeriksaan
2. Melanjutkan Pengembangan Adiministrasi Large Taxpayer Office (LTO) atau Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar - Program peningkatan pelayanan, pemeriksaan dan penagihan pada
LTO
- Program peningkatan jumlah Wajib Pajak terdaftar pada LTO selain BUMN/BUMD
- Program penerapan sistem administrasi LTO pada Kanwil DJP Jakarta Khusus
C. Meningkatkan Produktivitas Aparat Perpajakan
1. Program reorganisasi DJP berdasarkan fungsi dan kelompok wajib pajak.
2. Program peningkatan kemampuan pengawasan dan pembinaan oleh Kantor Pusat/Kanwil DJP
3. Program penyusunan kebijakan baru untuk manajemen SDM 4. Program peningkatan mutu sarana dan prasarana kerja 5. Program penyusunan rencana kerja operasional
Program dan kegiatan dalam kerangka reformasi dan modernisasi perpajakan dilakukan secara komperhensif meliputi aspek perangkat lunak, perangkat keras, dan sumber daya manusia. Reformasi perangkat lunak adalah perbaikan struktur organisasi dan kelembagaan, serta penyempurnaan dan penyederhanaan sistem operasi mulai dari pengenalan dan penyebaran informasi perpajakan, pemeriksaan dan penagihan, pembayaran, pelayanan, hingga pengawasan agar lebih efektif dan efisien.
Keseluruhan operasi berbasis teknologi informasi dan ditunjang kerjasama operasi dengan instansi lain. Revisi Undang-Undang perpajakan dan peraturan terkait lainnya, juga penerapan praktik tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) dilaksanakan dalam konteks penegakan hukum dan keadilan yang memayungi semua lini dan tahapan operasional. Reformasi perangkat keras diupayakan pengadaan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan mutu dan menunjang upaya modernisasi administrasi perpajakan di seluruh Indonesia.
Penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan profesional merupakan program reformasi aspek sumber daya manusia, antara lain melalui pelaksanaan fit and proper test secara ketat, penempatan pegawai sesuai kapasitas dan kapabilitasnya, reorganisasi, kaderisasi, pelatihan dan program pengembangan self capacity.
2.3.7 Dimensi Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2009:110) Modernisasi Administrasi Perpajakan yang dilakukan pada dasarnya meliputi:
1) Restrukturisasi Organisasi
Implementasi konsep administrasi perpajakan modern yang berorientasi pada pelayanan dan pengawasan adalah struktur organisasi DJP perlu diubah, baik di level kantor pusat sebagai pembuat kebijakan maupun di level kantor operasional sebagai pelaksana implementasi kebijakan.
1. Kantor Pusat
Struktur Kantor Pusat DJP (KP DJP) ikut disesuaikan berdasarkan fungsi agar sesuai dengan unit vertical di bawahnya. Ke depanya KP DJP dirancang sebagai Pusat Analisis dan Perumusan Kebijakan (Center of Policy Making and Analysis) atau hanya menjalankan tugas dan pekerjaan yang sufatnya non operasional.
Untuk itu struktur KP DJP dibagi menjadi:
a. Direktorat yang menangani day-to-day operation (1 sekretariat, 9 direktorat)
b. Direktorat yang menangani pengembangan/ transformasi (3 direktorat)
c. Untuk memperkuat beberapa fungsiyang dianggap penting, maka dibentuk beberapa direktorat baru umtuk menangani intelijen dan penyidik perpajakan, ekstensifikasi perpajakan, dan hubungan masyarakat (public relations), serta
d. Beberapa subdirektorat baru yang menangani penelitian perpajakan, kepatuhan internal, dan transfer pricing.
2. Kantor Operasional
a. Dalam memudahkan Wajib Pajak, ke tiga jenis kantor pajak yang ada, yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), serta Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karipka), dilebur menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Dengan demikian Wajib Pajak cukup datang ke satu kantor saja untuk menyelesaikan seluruh masalah perpajakanya.
b. Struktur berbasis fungsi diterapkan pada KPP dengan sistem administrasi modern untuk dapat merelisasikan debirokratisasi pelayanan sekaligus melaksanakan pengawasan terhadap Wajib Pajak secara lebih sistematis berdasarkan analisis resiko,
c. Unit vertical DJP dibedakan berdasarkan segementasi Wajib Pajak, yaitu
- KPP Madya - KPP Pratama
Dengan pembagian seperti ini, diharapkan strategi dan pendekatan terhadap wajib pajak pun dapat disesuaikan dengan karakteristik wajib pajak yang ditangani, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih optimal.
d. Khusus di kantor opersional, terdapat posisi baru yang disebut Account Representative, yang mempunyai tugas antara lain memberikan bantuan konsultasi perpajakan kepada wajib pajak, memberitahukan peraturan perpajakan yang baru, dan mengawasi kepatuhan wajib pajak
e. Untuk lebih memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak, seluruh penanganan keberatan dilakukan oleh Kantor Wilayah yang merupakan unit vertical di atas KPP yang menerbitkan surat ketetapan pajak sebagai hasil dari pemeriksaan pajak.
2) Penyempurnaan Proses Bisnis Melalui Pemanfaatan Teknologi Komunikasi dan Informasi
Kunci perbaikan birokrasi yang berbelit-belit adalah perbaikan business process, yang mencakup metode, sistem, dan prosedur kerja. Untuk itu, perbaikan business process merupakan pilar penting program modernisasi DJP, yang diarahkan pada penerapan full automation dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, terutama untuk pekerjaan yang sifatnya klerikal.
Langkah awal perbaikan business process adalah penulisan dan dokumentasi yaitu melalui :
a. Standard Operating Procedures (SOP) untuk sertiap kegiatan di seluruh unit DJP. Sampai dengan akhir tahun 2007, sekitas 1900 SOP di lingkungan DJP telah berhasil diidentifikasikan, ditulis, dan dijadikan acuan pelaksanaan tugas dan pekerjaan bagi para pegawai.
b. Perbaikan business process dilakukan antara lain dengan penerapan e-system dengan dibukanya fasilitas:
- e-filing (pengiriman SPT secara online melalui internet) - e-SPT (penyerahan SPT dalam media digital)
- e-payment (fasilitas pembayaran online untuk PBB), dan - e-registration (pendaftaran NPWP secara online melalui internet)
semua fasilitas tersebut diciptakan guna memudahkan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakanya.
c. Untuk sistem administrasi internal saat ini terus dilakukan pengembangan dan penyempurnaan Sistem Informasi DJP (SIDJP).
Salah satu fitur penting sistem tersebut adalah case management dan workflow system yang digunakan untuk administrasi persuratan, proses pelayanan, serta pengadministrasian account wajib pajak. Sistem informasi
manajemen internal seperti Sistem Kepegawaian, Sistem Informasi Keuangan dan Akuntansi, Sistem Pelaporan, dan Key Performance Indicator (KPI) juga terus dikembangkan. 3) Penyempurnaan Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM)
Langkah perbaikan di bidang SDM :
a. DJP melakukan pemetaan kompetensi untuk seluruh 30.000 pegawai DJP guna mengetahui sebaran kuantitas dan kualitas kompetensi pegawai.
b. Seluruh jabatan harus harus dievaluasi dan dianalisis untuk selanjutnya ditentukan job grade dari masing-masing jabatan tersebut.
c. Selanjutnya beban kerja dari masing-masing jabatan tersebut dianalisis yang kemudian dikaitkan juga dengan pengembangan sistem pengukuran kinerja masing-masing pegawai.
d. Sebagai catatan, pembuatan dan dokumentasi SOP untuk seluruh proses pekerjaan dapat dimanfaatkan juga sebagai standard penilaian kinerja.
e. Semuanya itu nantinya akan dimanfaatkan untuk membuat sistem jenjang karir, khususnya sistem mutasi dan promosi, serta sistem remunerasi yang lebih jelas, adil, dan akuntabel.
4) Pelaksanaan Good Governance
DJP dengan program modernisasinya senantiasa berupaya menerapkan prinsip-prinsip Good Governance tersebut berupa:
a. Pembuatan dan penegakan Kode Etik Pegawai yang secara tegas mencantumkan kewajiban dan larangan bagi para pegawai DJP dalam pelaksanaan tugasnya, termasuk sanksi-sanksi bagi setiap pelanggaran Kode Etik Pegawai tersebut. b. Pemerintah telah menyediakan berbagai saluran pengaduan
yang sifatnya independen untuk menangani pelanggaran atau penyelewengan di bidang perpajakan, seperti Komisi Ombudsman Nasional.
Dalam lingkup internal DJP sendiri, telah dibentuk dua Subdirektorat yang khusus menangani pengawasan internal dibawah Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur yaitu Subdirektorat Kepatuhan Internal yang sifatnya lebih ke pencegahan (preventif) dan Subdirektorat Investigasi Internal yang sifatnya lebih ke pengusutan dan dan penghukuman (reaktif)
c. Pembentukan complaint center di masing-masing Kanwil modern untuk menampung keluhan wajib pajak merupakan bukti komitmen DJP untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajaknya sekaligus pengawasan bagi internal DJP.
2.4 Kepatuhan Perpajakan
2.4.1 Pengertian Kepatuhan Perpajakan
Definisi kepatuhan menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:138) :
“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku
dalam suatu negara”.
Definisi kepatuhan menurut Safri Nurmantu yang dikemukakan kembali oleh Siti Kurnia Rahayu (2010:138) menyatakan bahwa:
“Kepatuhan perpajakan yang didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan
hak perpajakannya.”
2.5 Kepatuhan Wajib Pajak
2.5.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Chaizi Nasucha (2004:45),
“Kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan wajib pajak
dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan”
2.5.2 Jenis-jenis Kepatuhan Wajib Pajak
Terdapat dua macam kepatuhan, menurut Safri Nurmantu (2005:148) yakni : 1. Kepatuhan Formal, adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.
2. Kepatuhan Material, yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai sisi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal.
2.5.3 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak
Kriteria wajib pajak patuh menurut KMK No.544/KMK.04/2000 dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:139), menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak adalah: 1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2
tahun terakhir.
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. 3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang
perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
4. Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.
5. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.
2.5.4 Dimensi Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Menurut Chaizi Nasucha (2004), Kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasikan dari :
- Kepatuhan Wajib Pajak dalam medaftarkan diri,
- Kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT) - Kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan - Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan
2.6 Pengaruh Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Reformasi perpajakan yang dilakukan di Indonesia di mulai sejak tahun 1984, diawali dengan reformasi perpajakan (first tax reform) dilakukan pada tahun 1984, perubahannya mendasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Siti Kurnia Rahayu, 2010:99). Pembaruan sistem perpajakan di Indonesia ini diusahakan tersusun sistem pepajakan yang sederhana, kesederhanaan diperlukan agar mudah dimengerti dan dilakukan oleh wajib pajak dan fiskus dan penyederhanaan tersebut bukan berarti berarti harus mengorbankan pemerataan oleh karena sistem yang baru tetap mempunyai progresivitas. Siti Kurnia Rahayu (2010:99).
Selain itu pembaruan sistem perpajakan juga melakukan pembenahan aparatur perpajakan dengan meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam
rangka memahami, menguasai dan melaksanakan peraturan perpajakan yang baru dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak agar dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak yang akhirnya akan mempengaruhi peningkatan penerimaan pajak, selain itu juga mmbenahi baik menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin maupun mental. Siti Kurnia Rahayu (2010:109).
Melalui modernisasi administrasi perpajakan diharapkan terbangun pilar-pilar pengelolaan pajak yang kokoh sebagai fundamental penerimaan Negara yang baik dan berkesinambungan, modernisasi sistem perpajakan dilingkungan DJP bertujuan untuk menerapkan Good Governance dan pelayanan prima kepada masyarakat. Siti Kurnia Rahayu(2010:109). Good Governance merupakan penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem teknologi yang handal dan terkini, selain itu untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak yang tinggi, meningkatkan kepercayaan administrasi perpajakan dan mencapai tingkat produktivitas pegawai pajak yang tinggi. Siti Kurnia Rahayu (2010:109). Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif Wajib Pajak dalam menyelenggarakan pepajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib pajak yang tinggi. Siti Kurnia (2010:137).
Kepatuhan Wajib Pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan di suatu Negara, pelayanan kepada Wajib Pajak, penegakan hukum perpajakan, pemeriksaan pajak, dan tarif pajak. Kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan adalah merupakan tujuan utama dari pemeriksaan pajak, sehingga dari hasil pemeriksaan akan diketahui tingkat kepatuhan Wajib Pajak, bagi wajib pajak yang tingkat kepatuhannya
tergolong rendah, diharapkan dengan dilakukannya pemeriksaan terhadapnya dapat memberikan motivasi positif agar untuk masa-masa selanjutnya menjadi lebih baik, oleh karena itu pemeriksaaan pajak juga sekaligus sebagai sarana pembinaan dan pengawasan terhadap wajib pajak Siti Kurnia Rahayu (2010:245).
Dengan demikian maka dengan adanya modernisasi sistem administrasi perpajakan dapat membantu dan meningkatkan kepatuhan pajak dari wajib pajak. Dalam hal ini peneliti ingin melihat tingkat kepatuhan wajib pajak sesudah adanya modernisai sistem administrasi perpajakan seperti dengan adanya penerapan e-filling, e-SPT, e-payment, dan e-registration apakah dengan adanya modernisasi sistem administrasi perpajakan dapat tercapai atau tidak berpengaruh sama sekali terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
Hal ini didukung oleh temuan hasil penemuan Listania Triwigati (2013) yang melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak” mengambil penelitian pada KPP Pratama Malang Utara penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Penerapan sistem administrasi perpajakan modern memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
2.7 Kerangka Pemikiran
Kepatuhan wajib pajak adalah faktor penting dalam merealisasikan target penerimaan pajak. Semakin tinggi kepatuhan wajib pajak, maka penerimaan pajak akan semakin meningkat, demikian pula sebaliknya. Oleh karenanya menumbuhkan kepatuhan wajib pajak sudah seharusnya menjadi agenda utama
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), selain memacu kinerja pegawai agar memiliki kemampuan, dedikasi, wawasan, dan tanggung jawab sebagai penyelenggara Negara di bidang perpajakan. Amin Laili (2013).
Melalui modernisasi administrasi perpajakan diharapkan terbangun pilar-pilar pengelolaan pajak yang kokoh sebagai fundamental penerimaan Negara yang baik dan berkesinambungan, modernisasi sistem perpajakan dilingkungan DJP bertujuan untuk menerapkan Good Governance dan pelayanan prima kepada masyarakat. Good Governance merupakan penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem teknologi yang handal dan terkini, selain itu untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak yang tinggi, meningkatkan kepercayaan administrasi perpajakan dan mencapai tingkat produktivitas pegawai pajak yang tinggi. Siti Kurnia Rahayu (2010:109). Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif Wajib Pajak dalam menyelenggarakan pepajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib pajak yang tinggi. Siti Kurnia Rahayu (2010:137).
Hal ini didukung oleh temuan hasil penemuan Listania Triwigati (2013)
yang melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Penerapan Modernisasi
Sistem Administrasi Perpajakan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak” mengambil penelitian pada KPP Pratama Malang Utara penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Penerapan sistem administrasi perpajakan modern memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti membuat skema kerangka pemikiran sederhana seperti di bawah ini :
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Reformasi Perpajakan
Reformasi Administrasi Perpajakan
Modernisasi Sistem Administrasi Pepajakan (X)
- Restrukturisasi Organisasi - Penyempurnaan Proses
Bisnis Melalui Pemanfaatan Teknologi Komunikasi dan Informasi
- Penyempurnaan Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM)
- Pelaksanaan Good Governance
Siti Kurnia Rahayu (2010)
Kepatuhan Wajib Pajak (Y)
- Kepatuhan Wajib Pajak dalamMendaftarkan Diri
- Kepatuhan untuk
Menyetorkan Kembali SPT
- Kepatuhan dalam
Perhitungan dan
Pembayaran Pajak Terutang
- Kepatuhan dalam
Pembayaran Tunggakan Chaizi Nasucha (2004)
2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan Sugiyono (2009:96). Pada hakekatnya kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi perpajakan. Langkah langkah perbaikan administrasi diharapkan dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak melalui dua cara yaitu pertama, Wajib Pajak patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik, cepat, dan menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Kedua, Wajib Pajak akan patuh karena mereka berpikir bahwa mereka akan mendapat sanksi berat akibat pajak yang tidak mereka laporkan terdeteksi sistem informasi dan administrasi perpajakan (Surjoputro dan Widodo,2004). Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga yang berwenang menangani masalah perpajakan harus berbenah memberi pelayanan yang lebih baik kepada Wajib Pajak. Perbaikan pelayanan lewat program perubahan (Change Program), penegakan hukum dan pelaksanaan kode etik yang lebih baik harus diprioritaskan agar administrasi perpajakan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan terhadap tingkat Kepatuhan Wajib Pajak, yang akan dirumuskan sebagai berikut:
Ho : Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan tidak memiliki pengaruh terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Ha : Penerapan Modernisasi Sistem Administasi Perpajakan mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
2.9 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1. Sri dan Ita Pengaruh Modernisasi
Sistem Administrasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Modernisasi sistem administrasi perpajakan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.
2. Aris Wardhana Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasi
Perpajakan terhadap Tingkat Kepatuhan Pengusaha Kena Pajak Sistem Administrasi Perpajakan Modern memberikan pengaruh terhadap Kepatuhan Pengusaha Kena Pajak
3. Listania Triwigati Pengaruh Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Penerapan sistem administrasi perpajakan modern memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
4. Endri Hartanti Pengaruh Sistem
Administrasi Perpajakan Modern terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Sistem Administrasi Perpajakan Modern memberikan pengaruh signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak