• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMIK MEREBUT KOTA PERJUANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KOMIK MEREBUT KOTA PERJUANGAN"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

 

     

SEB

KOM BAGAI INST

NA

JURU FAK

MIK “MERE TRUMEN P

AMA: ALD 08 / 2

USAN POLI KULTAS ILM

UNIVERS

 

EBUT KOTA POLITIK P

SKRIPSI

INO WIDY 267761 / SP

ITIK DAN P MU SOSIA ITAS GAD

2015

A PERJUAN PENCITRA I

YARTA PUT / 23058

PEMERINT AL DAN PO DJAH MADA

NGAN”

AAN SOEHA

TRA

TAHAN OLITIK

A

ARTO

(2)

   

A

COMI AS A POLIT

NA

POLITI FACULT

IC “MERE TICAL INST

AME: ALDI 08 / 2

CS AND G TY OF SOC GADJAH

BUT KOTA TRUMENT

ESSAY

INO WIDY 267761 / SP

OVERNME IAL SCIEN MADA UN

2015

A PERJUAN T IMAGING

YARTA PUT / 23058

ENT DEPA NCES AND NIVERSITY

NGAN”

G SOEHAR

TRA

ARTMENT POLITICS Y

RTO

S

(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Asslamualaikum. Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat senantiasa diberikan kekuatan dalam penyusunan skripsi ini. Dengan ini penulis mengucapkan Alhamdullilahhirobbil ‘alamain, atas terselesaikannya tugas akhir yang harus ditempuh guna memperoleh gelar kesarjanaan di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi yang saya tulis ini mengambil judul,

“KOMIK “MEREBUT KOTA PERJUANGAN” SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK PENCITRAAN SOEHARTO”.

Dalam menyusun skripsi ini tidak bisa lepas dari keterlibatan dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya kepada pihak yang telah memberikan semangat, motivasi, tekanan, ejekan yang tentunya bermakna positif untuk membantu penulis. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada:

a. Longgina Novadona Bayo, S.I.P., M.A. atas petunjuk dan bimbingannya sehingga tugas skripsi ini selesai

b. Nur Azizah, S.I.P., M.Sc. dan Miftah Adi Ikhsanti, S.I.P., M.P.A. yang dengan sabar dan penuh ikhlas mau menjadi dosen penguji

c. Seluruh dosen JPP yang telah mau membagi ilmunya kepada saya selama saya menempu studi di UGM

(7)

   

d. Seluruh staff JPP terrutama Pak Sarjono, terimakasih sebesar-besarnya atas informasi dan bantuannya selama ini

e. Kedua orang tua saya, Mak Tik dan Papa Lau terimaksih atas dukungan, kasih sayang, dan semuanya, meski terpisah jauh di negeri prang, tetapi semangat dan kasih sayang kalian selalu ada dan terus mengalir

f. Pakdhe-Budhe dan Paklik-Bulik saya, Pakdhe Samidi - Budhe Mar, Pakdhe Wid - Budhe Rini, Pakdhe Agus - Budhe Yayuk, Mas Hadi - Mbak Kin, terimakasih sudah menjadi orang tua kedua saya yang terus memberikan bimbingan, contoh dan segalanya bagi saya

g. Seluruh keluarga besar trah mbah Tumpo di Gunugkidul, terimakasih atas dorongan, motivasi dan segala-galanya, special buat para cucu nya: Mas Aris, Mas Udin, Bayu, Fahri, Fahmi, Fani, Anis, dan Alya

h. Teman-teman saya: Lingga, Ata, Danang, Rasto, Fator, Wasis, Mahe, Icon, Iing, Ricko, Andri, Wendo, Fian, Devi, Lian, Sigit, dan semua teman yang tidak sempat saya sebutkan satu-persatu, terimaksih banyak atas dorongan, dan kerja-samanya

i. Dan semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan skripsi saya ini terutama: 4720, A400, dan 2205.

Dalam hal ini penulis sadar bahwa tidak ada yang namanya kesmpurnaan, maka dari itu penulis mengharap masukan, dan kritik. Agar nantinya tulisan ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin. Amin. Amin.

Yogyakarta, 20 April 2015  

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

DAFTAR ISI……….. ………... ii

ABSTARK……….. ………... iv

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ………. 6

C. Tujuan Penelitian ………. 6

D. Kerangka Teori ……….. 7

E. Definisi Konseptual ……….. 19

F. Definisi Operasional ……….. 20

G. Metodologi Penelitian ……… 21

H. Sistematika Pembahasan ……… 27

BAB II KOMIK DAN WACANA POLITIK INDONESIA ………. 28

A. Komik Era Orde Baru ………. 29

B. Sejarah Penerbitan Komik Era Orde Baru..………. 39

C. Minyak dan Kemunculan Komik Merebut Kota Perjuangan ……….. 43

D. Komik Merebut Kota Perjuangan………...………. 45

BAB III REALITAS DAN PENYIMPANGAN SEJARAH DALAM KOMIK MEREBUT KOTA PERJUANGAN ………. 51

A. Realitas Sejarah dalam Komik Merebut Kota Perjuangan ………….. 52

1. Tema Cerita ……… 52

2. Latar Tempat ……….. 54

3. Latar Waktu ……….. 55

4. Tokoh ……… 61

5. Adegan/Peristiwa ……….. 63

(9)

III

B. Penyimpangan Tokoh Sejarah dan Adegan

dalam Komik Merebut Kota Perjuangan ………. 64

1. Penokohan Letkol Soeharto ……….. 65

2. Lenyapnya Tokoh Kolonel Bambang Sugeng ………... 66

3. Kecilnya Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX ………... 67

4. Adegan/Peristiwa ……… 69

BAB IV POLITIK PENCITRAAN SOEHARTO DALAM KOMIK MEREBUT KOTA PERJUANGAN ……… 73

A. Politik Pencitraan Kehidupan Pribadi Soeharto ……… 73

B. Politik Pencitraan Soeharto sebagai Komandan Ahli Strategi Perang …….. 82

C. Politik Pencitraan Soeharto sebagai Komandan Pemberani ……….. 104

D. Politik Pencitraan Soeharto sebagai Komandan yang Bijaksana ………….. 115

BAB V KESIMPULAN……… ……….. 132

A. Kesimpulan ……….. 132

DAFTAR PUSTAKA ……….. 137

(10)

ABSTRAK

Pencitraan Soeharto pada masa pemerintahan orde baru dilakukan mellaui banyak cara, salah satunya adalah melalui komik. Salah satu komik yang digunakan oleh Soeharto untuk pencitraannya pada pemerintahan orde baru adalah komik yang berjudul Merebut Kota Perjuangan. Rumusan maalah dalam penilitian ini adalah :bagaimana sosok Soeharto dicitrakan dalam komik Merebut Kota Perjuangan di era Orde Baru?”. Dalam komik tersebut Soeharto dicitrakan sebagai Komandan Ahli Strategi Perang, sebagai komandan pemberani, serta sebagai komandan yang bijaksana dalam kehidupan pribadinya. Dalam penelitian ini menggunakan Teori Van Dijk yang menjelaskan bahwa analisi wacana (Discourse Analysis) merupakan proses analisis terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh deskripsi yang lebih eksplisit dan sistematis mengai apa yang disampaikan.

Sedangkan untuk logika berfikirnya menggunakan Historiografi. Historiografi ini adalah rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses menguji dan menganalisis secara kritis semua rekaman dan peninggalan masa lampau yang diperoleh melalui proses tersebut.

Hasil penelitian menunjukan bahwa komik Merebut Kota Perjuangan jelas-jelas digunakan oleh Soeharto untuk mencitrakan dirinya sebagai seorang pahlawan.

Pencitraan tersebut ditunjukan dalam berbagai potongan adegan di dalam komik dan juga dialog di komik tersebut. Selain itu digambarkan juga bahwa tokoh Soeharto adalah kunci dalam membuta rencana Serangan Umum 1 Maret, bahkan tokoh Soeharto adalah tokoh utama yang menjadikan Serangan Umum berhasil dilancarkan oleh para pejuang. Porsi tokoh Soeharto dalam beberapa potongan adegan mengalahkan tokoh-tokoh lain yang sebenarnya memiliki peran penting dalam kejadian sebenarnya. Oleh karena itu dapatlah dijelaskan bahwa banyak sekali cara yang dilakukan oleh Soeharto guna memperkokoh kuasanya pada masa orde baru.

Salah satunya adalah dengan media pencitraan dalam cerita komik. Komik dipilih Soeharto karena isi komik yang mudah dibaca dan populer masa itu yang menjadikan Soeharto mudah menyisipkan pesan dan kesan bahwa dirinya adalah sosok pahlawan bagi rakyat Indonesia.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah fokus cerita dalam komik Merebut Kota Perjuangan hanyalah menceritakan Soeharto sebagai tokoh utama dengan porsi yang jauh lebih banyak kemunculannya di banding tokoh-tokoh lain. Di samping itu, komik ini sengaja dibuat dan disebarkan secara masal ke berbagai tempat untuk membentuk opini publik tentang sosok Soeharto yang heroik, khususnya di kalangan pelajar karena hampir semua perpustakaan SD, SMP, SMA, serta perpustakaan umum memiliki koleksi komik ini.

Kata Kunci: Politik pencitraan, Komik, Soeharto

(11)

Branding Soeharto during his reign of the new order was done through many ways, one of his branding is through comics. One of the comics that Soeharto used to brand his figure is a comic titled “Merebut Kota Perjuangan”. The question in this research is: How Soeharto figure branded in comic “Merebut Kota Perjuangan” in the New Order of his era? In the comic Soeharto imaged as smart, brave and wise commander. In this research, the writer use the theory of Van Dijk that explains about discourse analysis. This analysis is to process the language and the use of language to obtain and show a more explicit description and systematic about the comic and Soeharto branding. As for the logic of thinking, the writer use the Historiography. This method is to reconstruct the past event through data and critically test that will build the exact event in the past.

The results showed that the comic Merebut Kota Perjuagan clearly used by Suharto to portray himself as a hero. The Branding is shown in various scenes in the comic and also in the comic dialogue. Soeharto also was the key figure that made the plan in Serangan Umum 1 Maret. He also the main character that makes the attack result succeed. Soeharto as the main character in the comic is not very important, because there is also many character that have more role and more important than him.

That’s why this comic can be explained as Soeharto branding politic to public. The branding politics by Soeharto through comic is very effective, because comics is very popular and easy to read. So, Soeharto can easy to insert the message and to convince people in Indonesia, that he is the big hero through comic Merebut Kota Perjuangan.

The conclusion of this research is that in comic Merebut Kota Perjuangan, the character of Soeharto is more important than other character. And Soeharto looks like a big hero to people of Indonesia. Also, the distribution of this comic is massive to various places in Indonesia. This is the way, to make public opinion to Soeharto that he is a big hero. The distribution of comic Merebut Kota Perjuangan cover almost all libraries in elementary, junior high, high school, and also in public library.

Key Words: Branding Politics, comic, Soeharto

(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Objek kajian dalam penelitian ini adalah politik pencitraan Soeharto dalam komik berjudul Merebut Kota Perjuangan, karya Marsoedi, dkk yang diterbitkan oleh Yayasan Sinar Asih Mataram pada tahun 1984. Demikianlah maka penulis akan mengupas dan menjelaskan tentang komik yang pada masanya dibuat dengan sengaja –berdasarkan legalitas pemerintah pada masa itu– sebagai sebuah instrumen politik pencitraan pendiri rezim Orde Baru. Tujuan dari politik pencitraan tersebut sangat jelas, yakni untuk memperkokoh kekuasaan dan pencitraan berbagai kebaikan dari sosok Soeharto di mata rakyat.

Secara garis besar komik yang akan dikupas adalah sebuah cergam –cerita bergambar yang merupakan sebutan untuk komik di era 80-an– yang secara umum memang mengkisahkan bagaimana perjuangan rakyat Yogyakarta dalam menghadapi desakan penjajah Belanda yang ingin meruntuhkan pemerintahan RI pada tahun 1949.

Salah satunya adalah kejadian dimana pada saat itu Belanda ingin menguasai Yogyakarta. Indonesia yang kala itu sudah berstatus merdeka tentu saja tidak mau lagi dijajah Belanda. Dan perjuangan rakyat Indonesia melawan Belanda kala itulah yang lebih dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret menjadi kisah menarik dalam cerita sebuah komik.

(13)

2

Mengapa serangan tersebut menjadi penting untuk diangkat menjadi sebuah komik dan dikemas sedemikan rupa sehingga penting untuk diteliti. Pertanyaan tersebut terjawab dengan hanya melihat momentum yang terjadi. Pertama, saat itu Yogyakarta merupakan ibu kota Negara RI. Alasan dipindahkan ibu kota Negara RI dari Jakarta ke Yogyakarta adalah karena saat itu tentara Belanda telah berhasil mendaratkan pasukan di Tanjung Periok. Situasi genting tersebut otomatis mendesak Presiden Soekarno untuk memindahkan ibu kota Negara RI ke Yogyakarta untuk sementara waktu. Dan di sinilah titik esensial mengapa cerita komik Merebut Kota Perjuangan ini penting untuk diangkat. Karena saat itulah Yogyakarta yang menjadi latar tempat di komik tersebut merupakan titik sentral pusat pemerintahan Indonesia sementara. Sehingga kejadian kala itu menjadi penting karena Yogyakarta yang statusnya Ibu Kota Negara sementara menjadi medan laga pertempuran antara Belanda melawan pejuang RI.

Kedua, Yogyakarta sebagai medan laga pertempuran juga merupakan daerah kelahiran Soeharto, tepatnya di Desa Kemusuk Lor, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY. Dalam komik Merebut Kota Perjuangan juga terdapat beberapa adegan penting yang menggunakan Desa Kemusuk sebagai latar cerita. Terlepas dari sesuai tidaknya adegan tersebut apabila ditinjau dari realitas sejarah, tetapi penonjolan adegan Soeharto di Kemusuk merupakan salah satu bentuk politik pencitraan.

Ketiga, dalam komik Merebut Kota Perjuangan, Soeharto dicitrakan sebagai sosok yang heroik. Dia dibuat seolah-olah pahlawan lokal yang bernilai historis

(14)

dengan menjadi seorang pahlawan nasional yang mengatur siasat dan memimpin kemenangan atas belanda di kota kelahirannya. Hal ini juga terlalu berlebihan mengingat pangkat militer yang disandang Soeharto pada waktu itu adalah Letkol.

Menyadari fakta tersebut, seharusnya banyak tokoh-tokoh penting dalam sejarah yang dilompati kapasitasnya dalam komik Merebut Kota Perjuangan, misalnya: Jendral Soedirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku raja bagi rakyat Yogyakarta.

Berdasarkan tiga momentum di atas, maka momen “6 jam di Jogja” dimana pejuang RI berhasil menduduki Yogyakarta yang dikuasai oleh Belanda inilah yang menjadi sorotan dunia akan bagaimana hebatnya Soeharto dalam memimpin serangan tersebut. Bagaimana tidak, Indonesia yang baru saja merdeka kemudian ingin dikuasai lagi oleh Belanda, tetapi dengan gigihnya Soeharto memimpin pasukannya untuk meruntuhkan pasukan Belanda. Tentu saja dengan cerita yang dibentuk sedemikian rupa, membuat sosok Soeharto menjadi sosok yang kuat dan tak terkalahkan. Pencitraan inilah yang menjadi dasar oleh Soeharto untuk memperkuat kuasanya dalam memimpin Indonesia. Dia secara tidak langsung mendapat legitimasi sebagai seorang pemimpin yang mampu melakukan segala hal dan dalam segala situasi melalui cerita yang dibuatnya dalam komik Merebut Kota Perjuangan.

Komik sendiri sebenarnya telah mengakar kuat di Indonesia jauh sebelum demam komik Jepang menguasai pasar perkomikan Indonesia belakangan ini. Jika meninjau sejarahnya, komik-komik Indonesia sudah muncul pada paruh pertama 1930-an, seperti yang dikarang Imansyah Lubis pada harian Sinpo (majalah melayu- cina). Kemudian pembukuan komik sudah mulai dilakukan pada tahun 1950-an.

(15)

4

Demikianlah pada saat itu Republik Indonesia baru berumur 5 tahun, namun komik sudah digunakan sebagai sarana pembelajaran sekunder bagi masyarakat. Bahkan era 1950-an hingga 1970-an merupakan masa kejayaan komik Indonesia.

Dengan melihat sejarah komik yang memang tidak bisa dianggap sepele di Indonesia inilah, banyak penelitian yang mengkaji bagaimana komik-komik Indonesia digunakan dalam berbagai tujuan. Dalam penelitian ini juga akan digambarkan bagaimana sebuah komik dapat digunakan secara optimal untuk menggerakkan opini masyarakat (pembaca) sehingga pola pikir mereka bisa digiring dalam suatu ide tertentu.

Seperti yang telah di utarakan di atas, bahwa penelitian mengenai komik telah banyak dilakukan, salah satunya yang telah dibukukan dan sangat populer adalah karya Marcel Bonneff pada tahun 1971 yang berjudul “Les Bandes Desinees Indonesiennes” ditulis dalam bahasa Perancis yang kemudian baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian dicetak pada awal 1998 dengan judul “Komik Indonesia”. Di samping itu, sudah banyak beredar tulisan-tulisan/artikel baik di media cetak maupun elektronik tentang komik tetapi hanya sebagai media untuk mengubah pandangan negatif komik saja dan bukan mengkaji kandungan kontennya.

Beberapa makalah/jurnal yang mengupas komik dari segi konten tetapi konteksnya masih pada seputar pendidikan seperti karya Syaprianti Evi Dame Arita dari Fakultas Kedokteran IPB misalnya, yang telah menulis makalah berjudul “Seni Komik Sebagai Media Pembelajaran”. Lalu karya dari Esti Swatika Sari yang

(16)

menulis jurnal dengan judul “Komik Sebagai Wahana Pendukung Proses Pendidikan Anak.”

Tentu saja kajian ini akan mengupas sisi komik dan politik. Bahasa dan gambar dalam komik memang ringan dan menghibur, tetapi tidak semua pembaca menyadari bahwa komik biasa memberikan informasi bernuansa politik, dengan tujuan yang sengaja disetir untuk menyuntikkan pandangan politik tertentu. Itulah sebabnya penelitian tentang seni perpolitikan yang digambarkan dalam sebuah komik sangat penting untuk dilakukan atau dikaji secara mendalam karena masih sedikit yang meyadari bahwa komik bisa dijadikan media atau instrumen politik.

Beberapa komik yang murni berisi tentang politik memang baru mencuat setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Bahkan penelitian dari Bonneff pada tahun 1971 pun baru bisa dicetak pada tahun 1998 karena pada masa sebelumnya banyak dari bahasan yang berbau politik akan mendapat tekanan dan penyensoran habis-habisan dari pemerintahan Orde Baru. Kasus itu akan lain jika komik pada masa sebelum reformasi diterbitkan oleh pemerintah. Komik tersebut akan mudah diperjual-belikan.

Komik-komik bertema politik sebelum reformasi memang banyak dibumbui politik pencitraan untuk mempengaruhi opini publik tentang seorang tokoh pada masanya.

Sehingga tidak heran jika mayoritas komik-komik perjuangan menonjolkan tokoh yang ‘itu-itu saja.’

Seperti halnya dalam komik Merebut Kota Perjuangan, yang sangat kental sekali pada pencitraan tokoh Soeharto. Padahal dalam catatan sejarah Letkol Soeharto tidak terlalu menonjol karena banyak tokoh lain yang jelas lebih memiliki kompetensi

(17)

6

dan andil lebih besar, seperti Jendral Sudirman dan Sri Sultan Hamengkubuono IX.

Namun karena telah terjadi pembelokan sejarah dalam komik ini, maka dibuatlah seolah-olah Soeharto adalah seorang pahlawan yang absolut. Meskipun fokus perjuangan hanya menggambarkan daerah Yogyakarta saja, tetapi cerita di dalam komik ini mampu menggambarkan secara umum bagimana perjuangan bangsa Indonesia kala itu.

B. Rumusan Masalah

Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang masalah di atas, maka penulis mengangkat sebuah rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimana sosok Soeharto dicitrakan dalam komik Merebut Kota Perjuangan di era Orde Baru?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan bahwa komik Merebut Kota Perjuangan tersebut digunakan sebagai instrumen politik pencitraan Soeharto di era Orde Baru.

2. Memberikan gambaran bahwa komik sangat potensial digunakan sebagai instrumen politik.

(18)

D. Kerangka Teori

Melihat komik juga bisa dikatakan sebagai sumber pembelajaran sekunder, maka konten komik pun mengandung berbagai unsur. Salah satunya adalah unsur politik pencitraan. Dalam hal ini, komik dipandang sebagai media cetak yang dapat menyebarluaskan berbagai bentuk konsep pemikiran figur-figur politik kepada pembacanya (publik). Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa komik sangat potensial digunakan sebagai instrumen politik. Dengan demikian landasan teori yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini bersandar pada tiga kerangka utama, yaitu:

teori Van Dijk, media dan politik, dan komik sebagai media politik pencitraan.

1. Teori Analisis Wacana Van Dijk

Van Dijk menyatakan bahwa “Critical Discourse Analysis is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance and inequality are enacted, reproduced, and resisted by the text and talk in the social and political context”. Menurut Van Dijk, CDA (Critical Discourse Analysis) lebih menekankan pada aspek historis yang melingkupi struktur teks. Lebih jauh lagi ia menyatakan, “That the focus on textual or conversational structures, derives its framework from the cognitive, social, historical, cultural, or political contexts.” Dengan demikian, tujuan analisis adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai aspek-aspek sosiokultural yang melingkupi seluruh teks, termasuk juga memahami berbagai hal yang menyangkut struktur organisasi dan cara kerja dalam produksi teks (Fathurin, 2004).

(19)

8

Ada beberapa cara yang digunakan dalam menganalisis teks media. Pertama, analisis isi (content analysis). Analisis ini merupakan tipe yang paling sering ditemukan dalam penelitian berita. Kedua, analisis teks semiotika (semiotix text analysis). Tipe analisis ini dapat ditemukan pada tulisan Umberto Eca (1964), Moragas Spa (1976), Pena marin and Loranzo Gonzalo Abril (1978), dan Bentele (1981). Ketiga, analisis pembingkaian (framing analysis). Model analisis ini dapat kita temukan pada tulisan Erving Goffman (1974), William A Gamson and Andre Modigliani (1989), etc.

Begitu pula dengan Van Dijk (1988:24) dalam karyanya News as Discourse yang menjelaskan bahwa analisis wacana merupakan proses analisis terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh deskripsi yang lebik eksplisit dan sistematis mengenai apa yang disampaikan. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai suatu tindakan. Wacana bertindak dalam menentukan ke arah mana khalayak akan dibawa. Tugas utama analisis wacana kritis adalah menguraikan relasi kuasa, dominasi dan ketimpangan yang diproduksi dalam wacana (Van Dijk, dalam Tannen dkk, 2001).

Pendekatan analisis wacana kritis Van Dijk (1988), yang dikenal dengan pendekatan kognisi sosial, menyertakan analisis terhadap kognisi pembuat wacana dalam proses pembentukan wacana dan juga melibatkan analisis kebahasaan secara lebih mendalam untuk membongkar relasi kuasa dan dominasi yang diproduksi pada wacana. Van Dijk mengklasifikasikan elemen wacana menjadi 3, yakni teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Tataran teks dibagi menjadi 3, yakni struktur makro,

(20)

superstruktur dan struktur mikro. Struktur makro adalah strukur luar pembentuk wacana. Superstruktur berkaitan dengan skematik wacana. Struktur mikro mencakup elemen-elemen kebahasaan yang digunakan dalam wacana. Van Dijk menetapkan 4 elemen kebahasaan yang dikaji pada tataran struktur mikro, yakni elemen sintaksis, semantis, stilistik dan retoris. Kognisi sosial hadir untuk menjembatani antara teks dan konteks. Kognisi sosial berkaitan dengan proses mental dan kognisi pembuat wacana dalam proses produksi wacana. Adanya analisis terhadap kognisi sosial melalui daftar pernyaaan yang diajukan kepada pembuat wacana akan lebih memperjelas bagaimana wacana diproduksi dan konteks seperti apa yang mempengaruhinya. Untuk analisis konteks sosial dilakukan melalui studi intertekstualitas, yakni mengkaitkan suatu wacana dengan wacana terkait yang ada sebelum dan sesudahnya. Keterkaitan antara teks, kognisi sosial dan konteks sosial mencerminkan kecenderungan suatu wacana. Kelebihan proses analisis wacana yang dilakukan oleh van Dijk adalah bagaimana ia menghubungkan antara teks dan konteks melalui kognisi sosial pembuat wacana.

Secara sederhana susunan penelitian ini menggunakan pendekatan konten analisis Van Dijk dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Dalam gambar bisa dilihat bahwa bagian Konteks yang mengandung Fakta Sosial akan dijelaskan secara detail pada Bab I dan sebagian di Bab II, sedangkan pada bagian Teks yang berfungsi sebagai instrument wacana akan lebih ditekankan pada isi di Bab II dan Bab III.

Sehingga bisa dilihat bahwa Konteks dan Teks disini memegang peran penting,

(21)

10

karena kedua hal tersebut akan memproduksi wacana yang nantinya akan menjadi konsumsi social/khalayak. Wacana dan konsumsi social akan lebih jelas tergambar pada bagian Bab IV.

Dimana di Bab IV hasil dari temuan dalam Komik Merebut Kota Perjuangan akan lebih dijelaskan secara detail. Baik dari segi kognisi social, teks, dan juga konteks social. Dimana pencitraan Soeharto tidak hanya tergambar dalam ilustrasi komik saja, melainkan juga dalam beberapa teks yang tertulis dalam narasi ataupun dialog antar karakter. Sehingga wacana yang timbul dari penggabungan antara teks, konteks, dan kognisi social inilah yang menghasilkan wacana yang bertentangan/mentimpang dari fakta. Sehingga teori analisais wacana dari Van Dijk akan digunakan untuk menganalisa wacana apa yang terbentuk dalam Komik Merebut Kota Perjuangan.

Gambar 1.1 Bagan sistematika Bab yang menggambarkan konten analisis Van Dijk

BAB I – BAB III BAB IV WACANA POLITIK

KONTEKS

FAKTA

TEKS

SEBAGAI INSTRUMENT WACANA

WACANA

KOMSUMSI SOSIAL/

KHALAYAK

(22)

2. Media dan Politik

Media adalah istilah yang terlalu luas dan memiliki beragam definisi sesuai konteksnya. Namun media di sini erat kaitannya dengan penerbitan dan jurnalistik, dimana media pada dasarnya adalah alat teknis yang digunakan untuk melakukan mediasi atau menyampaikan pesan; dengan kata lain, media adalah alat komunikasi.

Ketika mediasi itu bersifat masal dan berlangsung dalam suatu ruang publik, media yang digunakan pun menjadi media massa.

Secara garis besar media terbagi menjadi dua jenis kelompok, yakni pertama, media cetak yang meliputi surat kabar, majalah, buku, pampflet, billboard, dan alat- alat teknis lainnya yang membawa pesan kepada massa dengan cara menyentuh indera pengelihatan. Jenis kedua adalah media elektronik yang terdiri (a) dari program radio, rekaman yang menyentuh indera pendengaran dan (b) program televisi, gambar bergerak, serta rekaman video yang menyentuh indera pandang- dengar, dalam hal ini media online pun termasuk dalam jenis media elektronik (Kasijanto, 2008: 288).

Dalam menjalankan paradigmanya, pada dasarnya media massa memiliki tiga peran esensial (Bungin, 2008: 85):

1. Sebagai institusi pencerahan masyarakat, 2. Menjadi media informasi,

3. Sebagai media hiburan.

Kemudian, menurut (McQuail, 1987:1), media massa memiliki lima fungsi penting, antara lain:

(23)

12

1. Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait.

2. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.

3. Media merupakan lokasi (forum) yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.

4. Media berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya dan norma-norma.

5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif.

Berdasarkan pemahaman tentang peran dan fungsi media di atas, maka konteks media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media cetak, atau printed media (yakni, komik). Sebagaimana hakikatnya, baik media cetak maupun elekronik tentu sangatlah potensial sebagai instrumen politik. Pemikiran ini sejalan dengan peran media massa sebagai institusi pencerahan masyarakat, dan fungsi media massa sebagai lokasi Sumber kekuatan dan kontrol sosial, serta sebagai forum yang menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya

(24)

adalah berbagai peristiwa politik dan pihak-pihak berkepetingan yang turut andil di belakang layar.

Hal tersebut sejalan pula dengan apa yang diungkapkan Firmansyah, (2008:

30) “Media memiliki kekuasaan untuk membawa pesan politik dan membentuk opini publik.” Kemudian Sudibyo (2001: 55) yang pemikirannya berdasarkan keterkaitan media dan politik, menyatakan bahwa media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkontruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas. Jadi, kelompok dan ideologi yang dominanlah yang biasanya lebih berperan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa politik tentu sangat erat hubungannya dengan media, karena salah satu tujuan media adalah membentuk pendapat publik mengenai berbagai hal, termasuk politik. Apabila pendapat publik itu berhasil di-setting- sesuai yang diinginkan media, maka pada saat itulah yang menjadi barometer keberhasilan suatu media (Nimmo, 1989: 217). Dalam hal ini media memiliki fungsi persuasif yang mampu membentuk pendapat publik. Cara-cara media dalam menampilkan berbagai peristiwa politik, sesuai dengan sudut pandangnya, akan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dan aktor politik mengenai situasi politik yang sedang berkembang (Kusmanto, 2006: 7).

Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapatlah dipahami bahwa media bukanlah sesuatu yang vakum. Media dapat berkembang sekaligus membentuk iklim

(25)

14

politik suatu negara, atau sebaliknya, berkembang atau tidaknya suatu media ditentukan oleh iklim politik suatu negara. Oleh karena itu struktur dan penampilan media pun ditentukan oleh banyak faktor, baik eksternal maupun internal. Menurut Hamad (2004: 25-26), dalam banyak kasus sistem politik merupakan faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap struktur dan penampilan media. Sistem politik yang diterapkan suatu negara ikut menentukan mekanisme kerja media dan mempengaruhi media tersebut dalam mengkontruksikan realitas. Umumnya pada sebuah negara yang otoritarian selera penguasa menjadi acuan dalam mengkontruksi realitas.

3. Komik sebagai Media Politik Pencitraan

Definisi komik menurut Kurt & Meier (1986: 68) adalah sebuah cerita bergambar dengan ditambah penjelasan teks dalam sebuah balon teks. Sedangkan politik menurut F. Isjwara, (1995: 42) politik ialah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan.”

Kesimpulan sederhana tentang politik adalah bahwa politik merupakan sebuah sarana memperjuangankan kekuasaan serta mempertahankan kekuasaan itu demi tujuan yang ingin dicapai. Dan jika dikerucutkan dengan pelekatan kata ‘komik’ maka akan mengacu pada definisi baru yaitu, sebuah cerita bergambar dengan ditambah penjelasan teks dalam sebuah balon teks yang isinya bertemakan sebuah cara/sarana untuk memperjuangankan kekuasaan serta mempertahankan kekuasaan itu demi tujuan yang ingin dicapai.

(26)

Di Indonesia, istilah politik pencitraan atau Imagologi Politic memang baru populer tahun 2004, padahal praktik pencitraan sosok pemimpin bukan hal baru. Hal ini karena sistem pemilu menggunakan pemilihan langsung dalam Pilpres maupun dalam Pilkada tahun 2005 sehingga pemilih/voters berhak memilih calonnya secara langsung dengan memilih salah satu pasangan calonnya. Maka sejak saat itulah sosok figure pasangan calon menjadi pertimbangan para pemilih. Menurut Rhenald Kasali (1995: 193), citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan.

Sedangkan menurut Jalaluddin Rakhmat (2005: 223), citra didefinisikan sebagai gambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas. Demikianlah maka politik pencitraan dapat didefinisikan sebagai usaha penonjolan dan pembagusan yang melebih-lebihkan realitas karakter seorang tokoh politik demi memasarkan image dari tokoh tersebut, (Pradhanawati: 2011).

Kerangka pemikiran yang secara khusus membahas politik pencitraan melalui komik masih sangat jarang, untuk itu sebagai langkah awal penulis akan mengacu pada kesamaan esensial tentang buku yang tujuannya mengangkat pencitraan politik SBY, dan membandingkannya dengan berbagai pencitraan yang pernah dilakukan Soeharto. Ulasan menarik dan lebih baru yang membahas politik pencitraan adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pak Beye dan Politiknya: Tetralogi Sisi Lain SBY karya Nugroho (2010). Buku tersebut mengulas banyak hal tentang politik pencitraan SBY dari masa-masa awal persiapan mengincar posisi presiden sampai pada strategi pencitraan yang diterapkan untuk memperkokoh posisinya sebagai presiden, bahkan

(27)

16

strategi SBY dalam meyakinkan publik agar program SBY Jilid 2 dapat dijalankan, yang otomatis dia harus memenangkan pilpres pada periode kedua.

Menurut Nugroho (2010: 144), “Politik pencitraan SBY yang paling bepengaruh adalah dalam pidato-pidatonya tentang subsidi BBM. Di mana SBY selalu lantang berkata, ‘I don’t care with my popularity!’ ketika pemerintah dan publik sedang bergejolak tentang kontroversi menurunkan subsidi BBM.” Faktanya SBY memang tidak memaksimalkan politik pencitraan total melalui media seni, fiksi, maupun sastra dan lebih menonjolkan aksi-aksi jumpa pers. Dalam hal ini, SBY lebih menggunakan strategi politik pencitraan langsung.

Berbeda dengan politik pencitraan yang dilakukan oleh Soeharto, yang hampir memanfaatkan semua media, baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya adalah pencitraan soeharto sebagai jendral yang ramah, sampai-sampai dunia internasional menjulukinya sebagai Smailing General. Hal tersebut karena Soeharto selalu mencitrakan dirinya di hadapan publik sebagai pemimpin yang ramah, mengutamakan kepentingan rakyat kecil, sekaligus sosok yang tegas dan bijaksana. Kemudian pencitraan diri secara tidak langsung dapat dilihat dari berbagai bentuk media yang menjadi alat politiknya, seperti pengekangan pers, pembuatan komik dan cerpen, pembuatan film dan lain sebagainya.

“Program-program televisi (TVRI), radio, dan media massa telah berperan besar dalam melanggengkan citra positif dan heroik Soeharto. Program TVRI yang waktu itu adalah satu-satunya, jelas menjadi corong efektif bagi penyebaran dan sosialisasi pemerintah. Bukan saja dalam hal penayangan film-film kepahlawanan Soeharto seperti Serangan Oemoem 11 Maret dan G30S 1965, tetapi juga Klompencapir, liputan kegiatan Soeharto dan

(28)

keluarganya yang begitu luas mendalam dan monoton. Semua itu memperkokoh citra heroisme Soeharto yang menjelma menjadi setara dengan negara itu sendiri.” (Wardaya, 2007: 63).

Apa yang diutarakan oleh Wardaya di atas berusaha menegaskan bahwa pencitraan Soeharto di masa orde baru memang terlalu mendalam dan massif. Penulis katakan demikian karena luasnya bentuk-bentuk pencitraan tersebut bahkan setara dengan pencitraan negara, baik secara nasional maupun internasional. Jika dibandingkan dengan SBY, tentu saja Soeharto jauh lebih unggul dalam membentuk citra karena beberapa perbedaan mendasar dalam konsep kepemimpinan.

“SBY dan Soeharto sama-sama berusaha tampil berwibawa, santun dan penuh kasih. Gaya verbal dan non-verbal kedua presiden itu juga serba rapi dan tertata untuk menunjukkan kewibawaan sebagai pemimpin negara. Bedanya pencitraan Soeharto muncul karena intervensi media oleh pemerintah atau dengan cara-cara otoriter. Sedangkan pencitraan SBY tampil dengan cara-cara demokratis.” (Victor dalam Noya, 2011: 11).

Penulis sependapat dengan pernyataan di atas, bahwa memang karakteristik Soeharto dan SBY dalam pencitraan memiliki banyak kemiripan, mulai dari latar belakang militer, gaya verbal dan non-verbal saat berbicara (baik dalam pidato kenegaraan atau jumpa pers). Hanya saja Soeharto jelas lebih otoriter khas militer, sedangkan SBY berpijak pada cara-cara demokratis. Pencitraan melalui bidang seni, yang agak revolusioner adalah usaha SBY yang menerbitkan beberapa album berisi lagu ciptaannya, bahkan buku kumpulan puisi. Sayang sekali pencitraan di bidang seni itu tidak mendapat respon yang optimal.

(29)

18

Dalam konteks penelitian ini, pada dasarnya politik pencitraan tidak lepas dari marketing politik yang menggunakan media-media untuk mengemas sosok tokoh kepada publik. Tak pelak pula komik pun bisa dijadikan sarana untuk melakukan pengemasan dan penonjolan karakter tokoh yang bersangkutan. Jadi singkatnya dapat dimaknai bahwa politik pencitraan adalah penonjolan/pembagusan karakter seorang tokoh demi memasarkan image tokoh tersebut supaya dikenal dekat oleh masyarakat.

Hal ini sejalan dengan pemahaman politik citra (pencitraan politik) yang dinyatakan Piliang, (2004: 102) dengan mengulas pemahaman politik citra menurut Paul Virilio, bahwa dunia sosial dan politik mutakhir tidak dapat lepas dari politik citra atau politik tontonan (politic of spectacle) yaitu penciptaan berbagai bentuk tontonan seperti teater, film, komik, bahkan dengan propaganda.

Kemudian terkait komik sebagai media politik pencitraan sebenarnya bukanlah hal baru apabila mengacu pada perjalanan panjang komik Amerika, meskipun di sana lebih mengacu pada komik propaganda. Layaknya media cetak, baik buku, majalah, terbitan berkala dan koran harian, pembuatan komik pun sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal mengacu pada idiosinkrasi komikus, latar belakang, tempat bekerja, serta riset dan desain penceritaan. Kemudian faktor eksternal meliputi sistem politik, keadaan internasional, selera pasar, pesanan pasar (pihak berkepentingan), dan peta persaingan popularitas (McCloud. 1994: 1-2). Terlepas dari hal tersebut, dalam pembuatannya tanpa disadari seringkali komikus pun berifat ideologis. Hal ini sejalan dengan pendapat Arthur Asa

(30)

Berger, bahwa pada dasarnya segala bentuk ekspresi dalam komik berkaitan erat dengan ideologi, politik (dalam cakupan luas), dan budaya pop (Arthur, 2001: 34).

E. Definisi Konseptual

Berdasarkan uraian pada landasan teori, maka penulis dapat menarik definisi konseptual sebagai berikut :

1. Media

Adalah alat teknis yang digunakan untuk melakukan mediasi atau menyampaikan pesan; dengan kata lain, media adalah alat komunikasi.

2. Politik

Adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan.

3. Komik

Adalah sebuah cerita bergambar dengan ditambah penjelasan teks dalam sebuah balon teks yang dibuat secara sengaja dalam pembagiannnya. Jadi komik lebih menekankan pada unsur visual daripada tulisan.

4. Politik Pencitraan

Politik pencitraan menurut Pradhanawati (2011) adalah menonjolkan/

membaguskan karakter seorang tokoh demi memasarkan image tokoh tersebut sehingga “laku” (baca: dikenal) oleh masyarakat yang melihatnya.

5. Komik Sebagai Media Politik Pencitraan

(31)

20

Komik adalah salah sebuah instrumen potensial yang dapat digunakan dalam mengupayakan serangkaian kepentingan politik kepada publik. Kepentingan yang dimaksud adalah mencakup kepentingan partai, sekelompok organisasi tertentu, dan figur atau tokoh yang berkecimpung atau berkaitan erat dengan perpolitikan.

F. Definisi Operasional 1. Komik

Dalam kajian ini, dibatasi bahwa komik yang akan diteliti adalah sebuah komik berjudul “Merebut Kota Perjuangan” yang diterbitkan pada masa pemerintahan Soeharto.

2. Politik

Dalam kajian ini politik yang dimaksud adalah kekuasaan yang diperoleh Soeharto melalui instrumen komik sebagai salah satu cara untuk mendapatkan sebuah legitimasi melalui sebuah cerita komik.

3. Politik Pencitraan

Dalam penelitian ini politik pencitraan digunakan oleh pengarang untuk menunjukkan bagaiamana seorang tokoh dalam komik mendapatkan peran besar dan menjadi pahlawan untuk selanjutnya menjadi panutan bagi pembacanya. Sebagai sebuah ikon untuk kemudian image karakter tersebut bisa terjual sebagai sosok yang bagus di mata pembacanya.

(32)

G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan analisis wacana. Peneliti menggunakan model analisis wacana yang diperkenalkan oleh van Dijk sering. Metode ini disebut sebagai “kognisi social”, menurut van Dijk, ada 3 dimensi yang membentuk suatu wacana sehingga analisis yang dilakukan terhadap suatu wacana harus meliputi ketiga dimensi tersebut, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks social. Pendekatan ini dirasa cocok untuk mengetahui apa maksud di balik sebuah teks atau gambar yang bisa digunakan untuk menjelaskan maksud sebenarnya dari apa yang dikandung dalam sebuah komik yang diteliti. Dengan demikian, akan dikatahui pesan-pesan atau maksud pengarang kepada publik.

Meskipun menggunkan pendekatan konten analisa, dalam penelitian ini, penulis memaparkan hasil penelitiannya dengan menggunkan logika berfikir secara historiografi. Historigrafi merupakan suatu kisah masa lampau yang disusun oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Menurut Gottschalk, historiografi adalah usaha untuk mengolah data-data dan fakta-fakta sejarah menjadi suatu kisah yang menjelaskan dalam bentuk lisan maupun tulisan dalam buku atau artikel maupun perkuliahan sejarah (Kuntowijoyo, 1999).

Logika berfikir secara historiografi ini dirasa cocok karena dalam penulisan karya sejarah kritis penulis ingin dapat membedakan tulisan yang pernah ada dengan skripsi ini (sebagai pembanding). Adapun mentode penelitian sejarah mempunyai

(33)

22

lima tahap yaitu : pemilihan topik, heuristik, kritik sumber atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi (Kuntowijaya, 1999).

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data dan menunjukkan sesuatu yang abstrak sehingga tidak dapat diwujudkan dalam bentuk benda yang kasat mata, tetapi hanya dipertontonkan penggunaannya (Suharsimi Arikunto, 1993: 151). Demikianlah, dalam mengambil data berupa visualisasi tokoh Letkol Soeharto dalam Komik “Merebut Kota Perjuangan”, peneliti melakukan penyimakan secara mendalam, serta penelusuran berbagai dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian. Oleh karena itu dokumentasi digunakan sebagai data pendukung untuk memperjelas data yang telah diperoleh dari komik yang diteliti. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2006 : 221)

“studi dokumenter merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen baik tertulis, gambar, maupun elektronik”.

Dokumen-dokumen yang dipilih tentunya disesuaikan dengan tujuan dan fokus masalah.

Nasution menyatakan data kualitatif terdiri dari kata-kata bukan angka. Kata- kata atau uraian lebih hidup, bermakna serta lebih mudah ditangkap dan dipahami oleh pembaca. Dalam penelitian kualitatif sebaiknya bila menggunakan angka-angka, jangan dipisahkan dengan kata-kata (Nasution, 2003: 128). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka penelitian ini yang datanya berupa kata-kata dan gambar (visual) sangat cocok dikaji secara kualitatif.

(34)

Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sebuah komik dengan judul “Merebut Kota Perjuangan” karya Marsoedi dkk yang diterbitkan tahun 1984 atas persetujuan dari presiden RI kala itu.

Sedangkan data sekunder adalah penelitian-penelitian pustaka yang berhubungan dengan komik-komik tersebut, tentu saja penelitian pustaka ini juga dipilih hanya yang bersinggungan dengan konteks sosial politik seperti penelitian/tulisan mengenai komik yang menganut paham terentu, komik yang berisi pesan politik, komik yang menggunakan sebagai media pencitraan, dan lain sebagainya.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah suatu proses yang utama dalam suatu penelitian. Setelah data dan semua informasi terkumpul, kemudian dilakukan penyederhanaan data dengan langkah kategorisasi data, sehingga data akan lebih mudah untuk dibaca dan dipahami. Data yang sudah dikategorikan kemudian akan diinterpretasikan.

Demikianlah, intepretasi atas semua data tersebut akan menghasilkan pemaknaan yang lebih luas yang akhirnya akan menjelaskan mengenai hubungan antarvariabel yang ada dalam penelitian, sehingga akan memperoleh hasil analisis yang baik.

Sebagaimana telah disinggung di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis kualitatif dengan menggunakan model Miles & Hubberman.

Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, (1992:15-21) dijelaskan bahwa tahapan analisis model Miles & Hubberman dibagi dalam tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

(35)

24

a. Reduksi Data

Data yang telah berhasil dikumpulkan ditulis atau diketik ulang dalam bentuk sebuah uraian atau laporan yang sangat rinci, data akan terus bertambah seiring dengan terus berlanjutnya penelitian. Laporan yang telah terkumpul kemudian dirangkum atau direduksi dengan memilih data yang dianggap penting, dan digolog-golongkan berkaitan dengan usaha dalam menjawab rumusan masalah yang diangkat dan telah ditetapkan sebelumnya.

b. Penyajian Data

Data yang telah dikumpulkan sangat banyak, sehingga sulit untuk melihat inti dari apa yang diteliti, maka peneliti harus menganalisis lebih jauh, sehingga data yang ada dapat segera dituangkan dalam bentuk yang lebih sederhana seperti diagram, tabel, matriks, grafik, dengan demikian, peneliti akan lebih mudah untuk menguasai dan memahami data yang telah dikumpulkan dan dirangkum.

c. Penarikan Kesimpulan

Setelah proses pengolahan data yang rumit, data yang bertumpuk dan maknanya belum bisa dilihat, akhirnya setelah direduksi atau diambil data yang penting dan berkaitan dengan variabel yang telah ditentukan, setelah itu data dianalisis menjadi data yang lebih sederhana dan lebih dapat dimengerti, maka tindakan terakhirnya adalah data disimpulkan. Kesimpulan yang ditulis harus senantiasa diverifikasi selama penelitian berlangsung, agar kesimpulan yang dihasilkan tidak diragukan. Dengan demikian kesimpulan yang ditarik

(36)

dalam penelitian kualitatif dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, atau bahkan mungkin tidak karena rumusan masalah dalam penelitian kualitatif tidak bersifat tetap namun dapat berkembang.

Gambar 1.2 Teknik Analisis Data Adaptasi Model Miles dan Huberman (Aji Andri Widodo , 2013 : 50)

4. Keabsahan Data

Lexy J. Moleong (2010) mengungkapkan bahwa untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Sementara reliabilitas kualitatif mengindikasikan bahwa pendekatan yang digunakan peneliti konsisten jika diterapkan oleh peneliti-peneliti lain dan untuk proyek-

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Hasil Tidak Memuaskan

Display Data

Analisis Data

Kesimpulan / Verivikasi

Hasil Memuaskan

(37)

26

proyek yang berbeda. Sedangkan menurut Sugiyono (2009: hal 270-277) untuk menguji keabsahan data harus dapat memenuhi kriteria credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektifitas).

1. Pengujian Credibility

Pengujian kredibilitas atau validitas internal. Dalam penelitian ini untuk meningkatkan kredibilitas atau keperecayaan terhadap data hasil penelitian, antara lain akan dilakukan dengan memperpanjang waktu pengamatan, meningkatkan ketekunan dalam penelitian dan melakukan trianggulasi, melakukan diskusi dengan dosen pembimbing, teman sejawat, maupun pengecekan anggota (member check).

2. Pengujian Transferability

Transferability atau validitas eksternal menunjukkan derajat ketepatan hasil penelitian dan hasilnya dapat digeneralisasikan. Dalam penelitian ini, transferability bergantung pada pemaknaan hasil penelitian yang dapat digunakan dalam konteks dan situasi tertentu. Dengan demikian bagi orang lain yang ingin menggunakan hasil penelitian ini dapat memahami dengan jelas.

3. Pengujian Dependability

Dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Pengujian ini dilakukan oleh auditor yang independen atau

(38)

pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.

4. Pengujian Confirmability

Pengujian Confirmability disebut juga uji objekstifitas bila hasil penelitian telah disepakati oleh banyak orang. Dalam penelitian ini, uji objektifitas akan dilakukan dengan audit terhadap keseluruhan proses penelitian.

H. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini disusun dalam lima bab, yang terdiri dari: 1) BAB I PENDAHULUAN, yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah yang penulis angkat, landasan teori, dan unsur-unsur yang layaknya menjadi pendahuluan dalam penelitian. 2) BAB II KOMIK DAN WACANA POLITIK INDONESIA, berisi mengenai sejarah singkat komik Indonesia. 3) BAB III REALITAS DAN PENYIMPANGAN SEJARAH DALAM KOMIK MEREBUT KOTA PERJUANGAN, berisi tentang perbandingan kejadian dalam komik dengan apa yang terjadi di kenyataan. 4) IV POLITIK PENCITRAAN SOEHARTO DALAM KOMIK MEREBUT KOTA PERJUANGAN, adalah bab yang secara khusus menjawab rumusan masalah, di mana fokus kajiannya mengacu pada konten komik Merebut Kota Perjuangan yang secara khusus menonjolkan tokoh Letkol Soeharto yang seolah-olah menjadi tokoh sentral dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. dan 5) BAB V KESIMPULAN, berisi rangkuman atau kesimpulan yang penulis tarik secara menyeluruh dari bab-bab sebelumnya.

(39)

28

KOMIK DAN WACANA POLITIK INDONESIA

Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan dinamika perkomikan Indonesia, terkait dengan wacana politik yang terkandung di dalamnya. Agar mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh, maka sebagai langkah awal penulis akan mengupas singkat mengenai sejarah komik Indonesia yang dimulai dari dekade akhir pemerintahan Hindia-Belanda (1930-an). Setelah itu penulis pun akan mendeskripsikan masa-masa selanjutnya mulai dari Era Kemerdekaan RI, Orde Lama, Orde Baru, dan era setelah reformasi (era pers bebas). Adapun deskripsi pembabakan sejarah komik tersebut karena memiliki konteks politik pada zamannya.

Dari pembabakan sejarah komik berdasarkan ‘perjalanan politik’ Indonesia di atas, tentu saja penulis akan mengupas lebih dalam pada Zaman Orde Baru. Hal ini disebabkan pada zaman tersebutlah dunia pers sangat dikekang atau dikerdilkan oleh pemerintah. Pada situasi pers yang menyedihkan itulah justru komik berjudul

“Merebut Kota Perjuangan” diterbitkan, serta didukung penuh oleh pemerintah.

Penyebaran komik inipun mencakup seluruh perpustakaan di Indonesia yang secara khusus komik ini memang menjadi salah satu proyek buku pendidikan.

Hal itu jelas karena dalam komik tersebut terlalu menonjolkan tokoh Letkol Soeharto, yang tentunya kental sekali dengan bumbu-bumbu politik pencitraan Soeharto selaku pendiri Rezim Orde Baru. Tetapi pada bab ini pengkajiannya lebih pada menggambarkan problematika perkomikan Era Orde Baru secara umum, karena

(40)

deskripsi yang secara khusus membahas politik pencitraan Soeharto dalam komik berjudul, “Merebut Kota Perjuangan” akan penulis sajikan dalam BAB IV.

Oleh karena bab ini membutuhkan banyak referensi, maka penulis akan berusaha menggalinya dari berbagai literatur yang ada kemudian menyaringnya dan menyusun kembali dalam bentuk wacana deskriptif kritis. Tujuannya agar mendapatkan gambaran menyeluruh yang objektif dan memiliki relevansi terhadap kebenaran ilmiah pada umumnya.

A. Komik Era Orde Baru

Komik era orde baru ini tentunya tidak lahir begitu saja. Akan tetapi komik sudah ada sejak zaman teknologi yang masih rendah yaitu masih menggunakan mesin cetak. Sebelum masuk ke dalam penjelasan komik orde baru, perlu disimak terlebih dahulu bagaimana sejarah komik di indonesia.

Komik merupakan salah satu media visual/gambar yang sudah cukup lama akrab di seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Jauh sebelum kedatangan Bangsa Eropa, pahatan relief candi pun bisa disebut sebagai cikal-bakal komik Indonesia.

Tentu saja penulis tidak akan mengkaji sampai sejauh itu, karena pembahasan komik di Indonesia lebih relevan jika dimulai dari masuknya mesin cetak. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pemerintah Hindia-Belanda memiliki andil penting dalam mengenalkan ‘budaya media cetak’ di Indonesia. Paling tidak semua itu bermula sejak mesin cetak dibawa langsung dari Belanda, yakni beberapa tahun sebelum

(41)

30

1671, sejak buku syair didaktik Steendam diterbitkan pemerintah Batavia (Vlekke, 1941: 258).

Bergulirnya waktu media cetak berwujud koran pun banyak diterbitkan selama kurun 1728-1922, seperti: Bataviasche Nouvelles (1744), Government Gazzete, Javasche Courant, Surabaya Courant, De Locomotief, dll. Demikianlah, sampai tahun 1935 dunia media cetak berkembang cukup pesat di Hindia Belanda (pra-Indonesia) yakni mencapai kurang lebih 320 kantor berita. Namun dari 19 koran harian berbahasa Belanda pelanggannya tidak lebih dari 7.000 pembaca, (Vlekke, 1941: 424-423).

Pada masa-masa awal itulah mulai dijumpai comic-strip. Komik strip adalah komik pendek yang hanya terdiri dari beberapa kotak gambar, biasanya diterbitkan secara berkala di koran harian (Alkatiri, 2006: 69). Ceritanya bisa saja dibuat bersambung, atau hanya beberapa frame saja dan tidak berkala pada cetakan berikutnya. Maka, untuk mengetahui secara khusus mengenai sejarah dunia perkomikan Indonesia, sebagaimana yang telah dijelaskan pada BAB I, penulis pun mengacu pada Marchel Boneff (1998) yang telah membagi dua kategori besar komik Indonesia berdasarkan proses kelahirannya yaitu komik strip (comic-strip), dan buku komik.

Demikianlah menurut Boneff, kehadiran komik strip Indonesia pada awal tahun 1930-an dapat ditemui pada beberapa media milik Belanda seperti De Java Bode memuat komik karya Clinge Doorenbos yakni Flippie Flink dalam rubrik anak- anak. Setelah itu, D’Orient adalah mingguan yang menerbitkan komik Flash Gordon

(42)

secara bersambung. Lalu muncul pula Komik Timur berkat terbitnya Koran Sin Po yang merupakan media milik Cina Peranakan pertama dan berbahasa Melayu. Dalam mingguan inilah komik strip karya Kho Wang Gie yang bertemakan kisah jenaka mulai diterbitkan. Pada tahun 1931 muncul karakter Put On yang merupakan tokoh gendut dan jenaka. Tokoh ini langsung disambut hangat oleh publik, (Boneff, 1998:

19).

Gambar 1.1 Tokoh Put On (dalam Bonneff, 1998: 20)

Tokoh Put On yang jenaka itu makin popular sehingga menginspirasi mayoritas komik strip lain sejak dekade 1930-an sampai 1960-an. Majalah Star (1939-1942) juga terdapat komik strip yang secara garis besar terinspirasi dari kisah jenaka Put On. Dalam mingguan Ratu Timur di Solo, komik strip karya Nasroen A.S mulai diterbitkan, yang berjudul Mentjcari Poetri Hidjaoe. Pada awal dekade 1950- an, di Yogyakarta Komikus Abdulsalam pun mulai menerbitkan komik stripnya di

(43)

32

harian Kedaulatan Rakyat. Komik strip karya Abdulsalam ini lebih bernuansa heroik, salah satunya berjudul “Kisah Pendudukan Jogja,”(Sachari, 2007: 134).

Pada komik strip yang berjudul ”Kisah Pendudukan Jogja” ini memang memiliki kesamaan tema seperti komik “Merebut Kota Perjuangan” yang penulis teliti, yakni tentang agresi militer Belanda di Yogyakarta. Hanya saja komik karya Abdulsalam lebih menceritakan banyak tokoh dalam memperjuangkan kota Yogyakarta dan tidak menonjolkan tokoh Letkol Soeharto. Justru Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Jendral Sudirman yang menonjol. Letkol Soeharto hanya dikisahkan pada saat serangan umum berlangsung dan dia menyamar jadi penjual makanan. Setelah terbit secara berkala sejak 19 Desember 1948 hingga 29 Januari 1949, akhirnya komik itu diterbitkan dalam bentuk buku oleh harian Pikiran Rakyat – Bandung. Demikianlah, pada akhirnya komik karya Abdulsalam tersebut, menurut para pengamat komik Indonesia merupakan ‘buku komik’ pertama karya komikus Indonesia yang diterbitkan.

Gambar 1.2 Cover Komik Kisah Pendudukan Jogja, Karya Abdulsalam (diunduh dari www.tembi.org)

(44)

Sebetulnya pada paruh terakhir dekade 1940-an hingga dekade 1050-an gaya komik nasionalis makin memudar, bahkan secara umum dapat dikatakan dunia perkomikan Indonesia mulai terserang pengaruh Amerika. Komik strip berjudul Tarzan, Rip Kirby, Phantom, dan Johnny Hazard mulai banyak diterbitkan dalam koran harian maupun mingguan, yang kemudian dibukukan oleh penerbit Gapura, Keng Po, dan Perfect. Ini merupakan serangan pengaruh komik Amerika pertama, yang kemudian berhasil dikalahkan oleh komikus nasional seperti Siaw Tik Kwei yang mengadopsi legenda kepahlawanan Tiongkok “Sie Djin Koei”, R.A.Kosasih (Bapak Komik Indonesia) yang berhasil mengadopsi citra Wonder Woman dalam tokoh Sri Asih. Karya tersebut mampu membangkitkan komik Indonesia, dan pergerakan komik pun tidak hanya di Bandung saja, tetapi mulai mengakar di berbagai kota, seperti Jakarta, Tasikmalaya, Surabaya, bahkan Medan. Demikianlah, uforia komik Indonesia terus berlanjut hingga memasuki era 1960-an dengan makin banyaknya karya komikus lokal. Keragaman budaya lokal seperti hikayat, legenda, bahkan mitos pun diangkat menjadi komik –di samping kemunculan komik metropolis juga terus mendesak.

Secara umum, komikus Indonesia memang berusaha mengadopsi cerita kisah- kisah pewayangan, legenda, dan mitos-mitos yang ada di Nusantara. Hal ini berkaitan erat dengan desakan Presiden Soekarno pada tahun 1959 yang sangat prihatin dengan kondisi seni dan budaya Indonesia (Alam, 2001: 143). Menurut beliau seniman Indonesia harus lebih menggali budaya Nusantara daripada berkiblat ke Barat.

Gerakan pemerintah, bersamaan dengan kekuatan komunis menjadikan komik pun

(45)

34

masuk dalam pusaran politik. Pada saat itu R.A. Kosasih membuat komik Empat Sekawan dan Lahirnya Pancasila, yang merupakan salah satu contoh ‘lisensi’

karakter dalam rangka mendukung propaganda pemerintah.

Itulah sebabnya tokoh-tokoh pahlawan dalam komik Amerika kemudian banyak yang ditandingi dan ditransformasikan oleh komikus Indonesia menjadi tokoh baru yang bernuansa nasionalis, seperti tokoh Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih, dan Kapten Comet. Demikianlah kondisi perkomikan Indonesia hingga memasuki dekade 1960-an dan 1970-an, pada masa-masa awal Orde Baru, yang kurang lebih bernuansa sama dengan periode sebelumnya –bertujuan untuk menangkal serangan pengaruh komik luar. Namun seri-seri komik kepahlawanan telah begitu memudar, tidak semarak seperti akhir dekade 1940-an.

Serangan pengaruh komik Amerika kembali terjadi pada dekade 1980-an hingga memasuki 1990-an. Pada serangan ‘pengaruh’ yang kedua ini sudah sangat sulit dibendung. Hal ini disebabkan makin maraknya penerjemahan komik Amerika seperti Donal Bebek, Superman, Batman, Wonder Woman, dan banyak lagi. Bahkan pada saat yang bersamaan, komik Jepang pun mulai menyerang, seperti Doraemon, Dragon Ball, Legenda Naga, Kobo Chan, dll. Pemerintah Orde Baru memang tidak membatasi masuknya pengaruh barat di bidang seni dan budaya, hanya hal-hal yang bersifat tidak pro-pemerintah saja yang disensor habis-habisan atau bahkan dihilangkan. Melihat kenyataan merosotnya dunia perkomikan nasional, Departemen Pendidikan Nasional pun menetapkan bahwa pada tahun 1997 cergam (komik) nasional mengalami kebekuan, (dalam Sachiri, 2007: 134).

(46)

Pada tahun 1990-an sampai 2000-an adalah masa peralihan dari pers yang terkekang menuju pers bebas. Namun sangat disayangkan karena corak nasionalis komik Indonesia semakin memudar di ‘pasar komik,’ bahkan komik yang bertemakan petualangan pendekar khas Nusantara pun menghilang. Pembaca Indonesia lebih tertarik dengan kisah-kisah komik Jepang, Amerika, bahkan baru- baru ini (2010-an) mulai terserang komik Korea.

Meskipun selalu ada kalangan komikus nasional yang independen dan tetap memegang teguh karakter komik Indonesia, tetapi mereka tidak memiliki pasar yang luas dan tentu saja hanya dicintai oleh kalangan minoritas. Hanya komik strip yang diterbitkan oleh beberapa koran lokal dan nasional saja yang masih mempertahankan karakter komik Indonesia, misalnya karakter Oom Pasikom dan Benny & Mice di Koran Kompas.

Setelah mengulas sekilas tentang sejarah komik Indonesia di atas, pada bagian ini penulis akan secara khusus membahas problematika komik di era Orde Baru – yang kurang lebih ceritanya tidak akan berbeda jauh dengan pers dan media cetak pada umumnya. Demikianlah telah tercatat dalam sejarah, bahwa pada tanggal 20 Januari 1978 Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar karena dianggap terlalu berlebihan memberitakan dirinya dalam pencalonan presiden yang ketiga kalinya, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore (Ditjen PPG Departamen Penerangan, 1977: 32).

Tidak hanya koran saja, banyak buku karya budayawan atau penulis yang cenderung kritis pun dilarang, seperti semua buku karya Pramoedya Ananta Toer,

(47)

36

buku-buku karya Aidit, bahkan buku-buku apa saja yang cenderung menonjolkan Soekarno –apalagi yang berbau komunis. Karena pada dasarnya rezim Orde Baru sangat dekat dengan dunia barat yang kapitalis (musuh komunis), maka barang- barang cetakan yang bertuliskan aksara China pun dilarang dan harus diganti. Nama China diganti dengan bahasa Indonesia. Merek toko yang menggunakan aksara China harus diubah, termasuk sastra dan komik China juga disensor habis-habisan bahkan dilarang peredarannya.

Pada masa orde baru, komik juga digunakan sebagai instrumen politik pencitraan. Komik strip yang terbit berkala bersama surat kabar, seperti dalam Star Weekly, Liberty, Pantjawarna, dan Harian Keng Po, paling sering berisi sindiran lembut perihal kehidupan sehari-hari, kondisi politik, sosial, dan ekonomi.

Khususnya terkait tema politik, pada peralihan antara Orde Lama dan Orde Baru memang terjadi perubahan besar. Berbagai kepentingan politik pemerintah adalah kepentingan utama yang harus dituruti semua media massa (Setiono, 2008:425).

Sebagian buku komik terbitan Era Orde Baru yang mengangkat tema kepahlawanan tentu saja kental sekali mengutamakan sosok Soeharto. Selain komik yang dikaji dalam penelitian ini, salah satunya adalah komik berjudul Bandjir Darah di Kabut Pagi, terbitan Matoa (1965) karya Jas S Putera, juga merupakan salah satu komik yang mencitrakan sosok heroik Soeharto. Selain tema kepahlawanan, komik memang dibanjiri dengan tema silat, dan roman remaja. Buku komik yang tidak bernuansa politik tentu saja berkembang pesat, meskipun pada akhirnya kalah pasaran dengan komik Amerika dan Jepang.

(48)

Begitu pula dengan komik Jepang dan Amerika, meskipun boleh beredar tetapi harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Untuk komik Amerika memang tidak jadi masalah besar dalam hal penerjemahan. Beberapa kata asing yang menunjukkan latar peristiwa atau tempat masih boleh menggunakan kata Inggris – karena sama-sama menggunakan aksara latin. Namun pada komik Jepang perlakuannya berbeda, semua aksara kanji harus diganti dengan aksara latin. Jadi bisa dikatakan bahwa komik asal Jepang kehilangan unsur verbal ‘ke-Jepang-an-nya.’

Demikianlah, dunia perkomikan Indonesia di Era Orde Baru pun bernasib sama dengan pers dan media cetak pada umumnya. Pada Koran Kompas, komik strip yang diterbitkan pun tentunya yang pro-pemerintah, atau yang ‘tidak menyinggung’

pemerintah. Misalnya tokoh Panji Koming yang terbit setiap minggu sejak 14 Oktober 1979 (http://www.pdat.co.id/hg /apasiapa/html/D/ads,20030701-80,D.html, diakses pukul 14.32 WIB, 28 Mei 2014). Tokoh komik Panji Koming adalah ciptaan Dwi Koendoro, seorang komikus Indonesia yang tertarik dengan latar sejarah Majapahit. Demikianlah komikus ini dapat terus berkarya karena Panji Koming-nya, meskipun latar cerita disesuaikan dengan kehidupan zaman Orde Baru tetapi tidak mengkritisi pemerintah.

Namun, pada awal hingga pertengahan Era Orde Baru justru dunia komik Indonesia mengalami masa keemasan. Tidak sedikit komikus Indonesia dari berbagai latar belakang etnis dan suku yang mampu mengaktualisasikan diri dengan mengeksplorasi kisah pewayangan, cerita rakyat yang telah dituturkan secara turun- temurun, bahkan kisah-kisah fantasi yang mengadopsi sastra lisan Tiongkok. Salah

(49)

38

satu yang cukup terkenal adalah komik Panji Tengkorak karya Hans Jaladara yang diterbitkan dua kali, yakni pada tahun 1985 dan 1996. Serial Panji Tengkorak ini bahkan menjadi serial yang panjang yang tidak hanya berhenti begitu satu seri tamat;

langsung disusul dengan seri lainnya yang berkesinambungan, yakni: Walet Merah, Si Rase Terbang, Kembalinya Si Rase Terbang, Pandu Wilantara dan Dian dan Boma.

R.A. Kosasih (yang mulai menyandang julukan Bapak Komik Indonesia) sendiri masih aktif berkarya dan eksis pada zaman Orde Baru. Banyak karyanya yang juga tak kalah terkenal dengan Sri Asih, seperti komik Wayang Mahabharata (1957- 1959) dan Ramayana (1955) yang diterbitkan oleh Penerbit Melodie, Bandung (Seno, 2012: Kompas). Meskipun dua komik tersebut pada mulanya diterbitkan sejak era Orde Lama tetapi masih terus eksis dan mengalami cetak ulang berkali-kali hingga menjelang dekade 90-an. Komik serial pewayangan itu jelas berkiblat pada buku- buku pewayangan yang lazimnya menjadi pedoman atau pakem para dalang yang bersumber pada epos Mahabharata dari India.

Pada tataran yang lebih luas, sejatinya pada era Orde Baru para seniman komik tergabung dalam sebuah organisasi, yakni IKASTI (Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia). Tema yang lebih menonjol adalah roman atau percintaan dan silat (Boneff, 1998: 40). Komik silat yang paling terkenal adalah Si Djampang karya Zaidin Wahab, dan Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes. Barulah ketika memasuki dekade 1980-an hingga 90-an, dunia perkomikan penuh sesak dengan komik terjemahan, bahkan komik-komik yang pernah menyerang pada era Orde Lama

(50)

muncul kembali dengan kemasan baru, misalnya Tarzan, Rib Kirby, Spiderman, Superman, The Titans, dll.

B. Sejarah Penerbitan Komik Era Orde Baru

Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat atau berekspresi. Masyarakat saat itu bersuka –cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintah orde lama. Pemerintah saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan psikologis rakyat.

Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.

Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.

Gambar

Gambar 1.1 Bagan sistematika Bab yang menggambarkan konten analisis Van  Dijk
Gambar 1.2 Teknik Analisis Data Adaptasi Model Miles dan Huberman (Aji  Andri Widodo , 2013 : 50)
Gambar 1.1 Tokoh Put On (dalam Bonneff, 1998: 20)
Tabel 2.1 Klasifikasi Genre Komik yang Beredar dari April sampai Juli 1971  (Sumber: Bonneff, 1998: 50)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Laporan penelitian ini disusun dalam lima bab terdiri atas pendahuluan (berisi latar belakang masalah yang menguraikan mengenai bagaimana kedatangan Islam ke Banten, kajian pustaka

Pelumas Media Magnetik untuk Membangun Literasi Kimia Siswa SMA” berisi lima bagian. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan

Skripsi tentang video musik “Black or White” ini terdiri dari lima bab. Bab 1 sebagai pendahuluan berisi mengena i latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, rumusan

Laporan penelitian ini disusun dalam lima bab terdiri atas pendahuluan (berisi latar belakang masalah yang menguraikan mengenai bagaimana kedatangan Islam ke Banten, kajian pustaka

1) Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode

1. Pada Bab I Pendahuluan: berisi uraian pendahuluan yang secara rinci berisi uraian penjelasan umum latar belakang penyusunan Renstra, landasan hukum penyusunan

4 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam tugas akhir ini, disusun sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, permasalahan, rumusan

BAB I PENDAHULUAN Berisi Latar Belakang; Landasan Hukum; Maksud dan Tujuan; dan Sistematika Penulisan BAB II GAMBARAN PELAYANAN PERANGKAT DAERAH Berisi penjelasan tentang Tugas,