• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI PARASETAMOL SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) PADA JAMU PEGAL LINU YANG BEREDAR DI KOTA MEDAN TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI PARASETAMOL SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) PADA JAMU PEGAL LINU YANG BEREDAR DI KOTA MEDAN TUGAS AKHIR"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI PARASETAMOL SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) PADA JAMU PEGAL LINU YANG

BEREDAR DI KOTA MEDAN

TUGAS AKHIR

Oleh :

ANGGI BERLIAN HARAHAP NIM 162410008

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul “ Identifikasi Parasetamol Secara Kromatografi Lapis Tipis Pada Jamu Pegal linu yang Beredar di Kota Medan”. Tugas akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar ahli madya Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika dan hewan atau tumbuhan yang dilindungi. Hal ini disebabkan akan bahaya mengonsumsi bahan kimia obat (BKO) secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah paracetamol terdapat dalam obat tradisional atau tidak. Hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak terdapat parasetamol dalam jamu pegalinu sehingga masih diizinkan untuk diedarkan pada konsumen. Harapannya semoga penelitian ini menjadi informasi khususnya di bidang obat tradisional.

(4)

Selama proses pengerjaan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan pengarahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus – tulusnya kepada :

1. Ibu Dra. Nazliniwaty, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing saya yang telah membimbing, memberikan petunjuk dan saran sampai selesainya laporan ini.

2. Bapak Popi Patilaya, S.Si., M.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi D-III Analis Farmasi dan Makanan.

3. Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan fakultas Farmasi dan Makanan.

4. Ade rahmadany, Nisa Arifah Saragih, Saflinda Latifah, selaku teman satu kelompok PKL di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan yang telah memberikan semangat, saling bertukar pikiran dan dukungan

5. Bapak Hasan Basri Harahap, selaku ayahanda tercinta yang telah memberikan segala do‟a, kasih sayang serta dorongan moril maupun materil kepada penulis selama ini yang telah mendukung dan motivasi hingga Tugas Akhir ini selesai.

Medan, 21 Mei 2019 Penulis

( )

(5)

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Anggi Berlian Harahap

Nomor Induk Mahasiswa : 162410008

Program Studi : D III Analis Farmasi dan Makanan

Judul Tugas Akhir : Identifikasi Parasetamol Secara Kromatografi Lapis Tipis Pada Jamu Pegal Linu yang Beredar di Kota Medan

dengan ini menyatakan bahwa tugas akhir ini ditulis berdasarkan data dari hasil pekerjaan yang saya lakukan sendiri, dan belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar ahli madya di perguruan tinggi lain, dan bukan plagiat karena kutipan yang ditulis telah menyebutkan atau mencantumkan sumbernya di dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena di dalam tugas akhir ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia menerima sanksi apapun oleh Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat digunakan jika diperlukan sebagaimana mestinya.

Medan, Mei 2019 Yang Menyatakan,

Anggi Berlian Harahap NIM. 162410008

(6)

IDENTIFIKASI PARASETAMOL SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS PADA JAMU PEGAL LINU YANG BEREDAR DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Latar Belakang: Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika dan hewan atau tumbuhan yang dilindungi. Pada jamu pegal linu dilarang menggunakan bahan kimia Obat (BKO). Hal ini disebabkan akan bahaya mengonsumsi bahan kimia obat (BKO) secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya. Sampai saat ini Badan POM masih menemukan beberapa produk obat tradisional yang didalamnya dicampuri bahan kimia obat (BKO).

Tujuan: Identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui ada/tidaknya Parasetamol dalam jamu pegal linu.

Metode: Menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan cara residu obat tradisional yang telah diuapkan ditotolkan di plat lapis tipis dengan menggunakan alat syringe lalu dimasukkan ke dalam chamber yang berisi eluen.

Angkat plat kromatografi yang telah mencapai batas pengembang. Keringkan lalu amati bercak dan hitung harga Rf.

Hasil: Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa harga Rf dari ketiga sampel yaitu; Jamu merk A, B, dan C = 0

Kesimpulan: Bahwa ketiga sampel tersebut tidak mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Sehingga memenuhi syarat Obat tradisional.

Kata Kunci: Bahan kimia obat. Obat tradisional, Parasetamol

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Obat Tradisional ... 3

2.1.1. Fungsi Obat Tradisional ... 3

2.1.2. Bentuk Sediaan Obat Tradisional... 4

2.2. Jamu ... 7

(8)

2.3. Bahan Kimia Obat ... 7

2.4. Parasetamol ... 9

2.4.1. Sifat Fisika dan kimia... 9

2.4.2. Penggunaan ... 9

2.4.3. Mekanisme Kerja ... 10

2.4.4. Dosis ... 10

2.4.5 Efek samping ... 11

2.5. Kromatografi ... 11

2.6. Identifikasi Parasetamol Secara Kromatografi Lapis Tipis ... 12

2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis ... 12

2.6.2. Bahan dan Teknik Kromatografi Lapis Tipis... 13

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1. Tempat... 18

3.2. Sampel, Alat dan Bahan ... 18

3.2.1. Sampel ... 18

3.2.2. Alat ... 18

3.2.3. Bahan... 18

(9)

3.3.2. Larutan Uji Jamu B (Larutan B) ... 19

3.3.3. Larutan Uji Jamu C (Larutan C) ... 19

3.3.4. Larutan Baku Pembanding (Larutan D) ... 20

3.3.5. Penyediaan Fase Diam ... 20

3.3.6. Penjenuhan Fase Gerak ... 20

3.3.7. Penotolan Sampel ... 20

3.3.8. Persyaratan ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1. Hasil ... 22

4.2 Pembahasan ... 22

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

5.1. Kesimpulan ... 25

5.2. Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

2.1. Alat penotol otomatis (syringe) ... 15

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Plat Identifikasi Parasetamol pada jamu pegal linu ... 27

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel

2.1. Parameter-parameter aplikasi yang direkomendasikan ... 16 4.1. Identifikasi Parasetamol ... 22

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Obat bahan alam yang lebih dikenal dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, bahan mineral, sediaan cair atau galenik, atau campuran dari bahan tersebut, secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sejalan dengan tren „back to nature‟ yang berkembang pada masyarakat saat ini, penggunaan berbagai tumbuhan serta bahan alam lainnya sebagai alternative obat terus berkembang semakin besar, baik untuk pengobatan suatu penyakit maupun pemeliharaan kesehatan (Wasito, 2011).

Obat tradisional telah lama dikenal dan digunakan oleh semua lapisan masyarakat di Indonesia untuk tujuan pengobatan maupun perawatan kesehatan.

Jika ada anggota keluarga atau masyarakat yang sedang menderita suatu penyakit, sebagian masyarakat berinisiatif untuk memanfaatkan tanaman obat yang terdapat di sekitar lingkungannya untuk mereka gunakan dalam pengobatan. Pemanfaatan tanaman berkhasiat obat di masyarakat terus berkembang dan diwariskan ke generasi selanjutnya. Perkembangan obat tradisional ini dimulai dari ramu-ramuan tradisional yang berkembang di tengah masyarakat, yang kemudian berkembang menjadi suatu ramuan yang diyakini memiliki khasiat tertentu bagi manusia.

Penggunaan obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak zaman dahulu kala, dan merupakan bagian dari budaya bangsa dan telah dimanfaatkan sejak berabad-abad yang lalu (Wasito, 2011).

(14)

1.2. Tujuan

Adapun tujuan penulisan tugas akhir ini untuk mengetahui adanya bahan kimia obat Parasetamol pada jamu pegalinu.

1.3. Manfaat

Adapun manfaat penulisan tugas akhir ini adalah:

1. Untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan program pendidikan di Akademi Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi di Universitas Sumatera Utara.

2. Untuk menambah wawasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan serta memberikan pengalaman kepada penulis dalam melakukan riset.

3. Untuk menambah informasi serta wawasan kepada masyarakat terkait adanya bahan kimia obat yang terkandung di dalam jamu pegalinu yang beredar di Kota Medan melalui dunia pendidikan serta dampak yang ditimbulkan.

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obat Tradisional

Obat bahan alam yang lebih dikenal dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, bahan mineral, sediaan cair atau galenik, atau campuran dari bahan tersebut, secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional telah lama dikenal dan digunakan oleh semua lapisan masyarakat di Indonesia untuk tujuan pengobatan maupun perawatan kesehatan. Jika ada anggota keluarga atau masyarakat yang sedang menderita suatu penyakit, sebagian masyarakat berinisiatif untuk memanfaatkan tanaman obat yang terdapat di sekitar lingkungannya untuk mereka gunakan dalam pengobatan (Wasito, 2011).

Pemanfaatan tanaman berkhasiat obat di masyarakat terus berkembang dan diwariskan ke generasi selanjutnya. Perkembangan obat tradisional ini dimulai dari ramu-ramuan tradisional yang berkembang di tengah masyarakat, yang kemudian berkembang menjadi suatu ramuan yang diyakini memiliki khasiat tertentu bagi manusia. Penggunaan obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak zaman dahulu kala, penggunaan obat bahan alam atau yang lebih dikenal dengan sebutan bagian dari budaya bangsa dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu (Wasito, 2011).

(16)

2.1.1. Fungsi obat tradisional

Obat tradisional telah diterima secara luas di negara berkembang dan di Negara maju. Faktor pendorong peningkatan penggunaan obat herbal di Negara maju diantaranya adalah usia harapan hidup yang lebih panjang terus meningkat.

Adanya kegagalan dalam penggunaan obat sintetik atau modern untuk penyakit tertentu seperti kanker serta semakin luasnya akses informasi (Wasito, 2011).

Badan kesehatan Internasional (WHO) telah merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukkan dukungan WHO terhadap penggunaan obat tradisional sebagai salah satu alternatif pengobatan yang lebih dikenal dengan back to nature yang dalam hal tertentu lebih menguntungkan jika dibandingkan pengobatan dengan obat sintetik atau modern (Wasito, 2011).

2.1.2. Bentuk sediaan obat tradisional 1. Sediaan padat/ kering obat tradisional

Salah satu bentuk sediaan obat tradisional yang disajikan dalam bentuk kering atau padat adalah rajangan. Bentuk sediaan rajangan adalah sediaan obat tradisional berupa potongan simplisia, campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan sediaan galenik, yang penggunaannya dilakukan dengan pendidihan atau penyeduhan dengan air panas (Wasito, 2011).

Bentuk sediaan kering dari obat tradisional yang beredar di pasaran adalah dalam bentuk serbuk yang merupakan sediaan obat tradisional berupa butiran

(17)

bagian tumbuh-tumbuhan yang dikeringkan secara alami atau merupakan campuran dari dua atau lebih bahan yang padat dan kering (Wasito, 2011).

Sediaan obat tradisional juga banyak dijumpai dalam bentuk pil. Pil adalah sediaan padat obat tradisional berupa massa bulat di mana bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campurannya. Sediaan pil biasanya digunakan secara oral atau ditelan. Pil dibuat dengan mencampurkan bahan obat tradisional dengan bahan pengisi pil ( pulvis pro pilulae) seperti bahan pengisi dan bahan pengikat yang cocok (Wasito, 2011).

Pastiles merupakan bentuk sediaan padat obat tradisional berupa lempengan pipih umumnya berbentuk segi empat di mana bahan bakunya berupa campuran serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campuran keduanya. Proses pembuatan nya hampir sama dengan pembuatan pil, hanya bentuk akhirnya berupa lempengan pipih yang biasanya berbentuk segi empat (Wasito, 2011).

Bentuk sediaan obat tradisional lebih modern adalah kapsul. Kapsul merupakan sediaan obat tradisional yang terbungkus cangkang keras atau lunak dengan bahan bakunya terbuat dari sediaan galenik dengan atau tanpa bahan tambahan. Cangkang kapsul biasanya terbuat dari campuran gelatin, gula dan air, warnanya jernih atau dengan tambahan warna yang disesuaikan dan pada dasarnya tidak memiliki rasa (Wasito, 2011).

Sediaan obat tradisional yang banyak dipasarkan sekarang adalah dalam bentuk tablet yang merupakan sediaan obat tradisional berbentuk padat kompak yang dapat dibuat dengan cara kempa cetak maupun metode granulasi, dalam bentuk pipih, silindris, atau bentuk lain, kedua permukaannya rata atau cembung, terbuat dari sediaan galenik dengan atau tanpa bahan tambahan (Wasito, 2011).

(18)

Selain bentuk sediaan obat tradisional yang berbentuk kering yang digunakan sebagai obat dalam atau diminum, terdapat bentuk sediaan lain yang dapat digunakan sebagai obat luar untuk dipakai di permukaan tubuh, atau kulit.

Beberapa bentuk sediaan tersebut berupa koyok, parem, pilis, dan tapel. Bentuk sediaan untuk pemakaian luar ini ditunjukan untuk menghasilkan efek lokal atau fisik, pelindung kulit, pelicin, pelembut, atau untuk efek lokal khusus sesuai dengan bahan berkhasiat yang digunakan (Wasito, 2011).

2. Sediaan semisolid obat tradisional

Sediaan obat tradisional juga dapat dibuat dalam bentuk semi padat seperti dodol atau jenang atau dalam bentuk salep maupun krim. Dodol atau jenang merupakan sediaan semi padat pada obat tradisional bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik atau campurannya. Jika dibandingkan dengan bentuk sediaan kering, daya tahan sediaan semi padat cenderung lebih lemah. Sediaan salep atau krim adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan yang bahan bakunya berupa sediaan galenik yang larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep/krim yang cocok dan umumnya digunakan sebagai obat luar. (Wasito, 2011).

3. Sediaan cair obat tradisional

Obat tradisional juga banyak dipasarkan dalam bentuk sediaan obat cair, baik untuk penggunaan pemakaian obat dalam maupun sebagai obat luar.

Beberapa bentuk sediaan cair seperti, sirup, emulsi, suspensi, larutan, jamu cair, dan bentuk cairan lainnya. Cairan obat dalam adalah sediaan obat tradisional

(19)

cairan obat luar adalah adalah sediaan obat tradisional berupa larutan emulsi atau suspensi dalam air yang bahan bakunya berupa serbuk simplisia atau sediaan galenik dan digunakan sebagai obat luar. Selain itu juga terdapat sediaan sari jamu yang merupakan cairan obat dalam dengan tujuan tertentu diperbolehkan mengandung alkohol (Wasito, 2011).

2.2 Jamu

jamu merupakan obat tradisional yang biasanya disediakan dalam bentuk seduhan, rajangan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya jamu dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang berkhasiat yang jumlahnya cukup banyak sekitar 5-10 macam tanaman bahkan lebih. Bentuk sediaan jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai klinis, namun cukup dengan bukti empiris dan pengalaman penggunaan di masyarakat. Jamu telah digunakan secara turun temurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu dan telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan pengobatan atau menjaga kesehatan (Wasito, 2011).

2.3 Bahan Kimia Obat

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika dan hewan atau tumbuhan yang dilindungi (BPOM RI, 2006).

(20)

Salah satu produk obat tradisional yang diminati oleh masyarakat adalah jamu pegalinu. Jamu pegalinu digunakan untuk menghilangkan pegal linu, nyeri otot dan tulang, memperlancar peredaran darah, memperkuat daya tahan tubuh, dan menghilangkan sakit seluruh badan. Minat masyarakat yang besar terhadap produk jamu pegal linu sering kali disalah gunakan produsen jamu yang nakal untuk menambahkan bahan kimia obat. Pemakaian bahan kimia obat dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan fungsi organ tubuh. Oleh karena itu dibutuhkan pengawasan oleh BPOM supaya tidak beredar bahan kimia obat yang ditambahkan dalam jamu pegal linu (BPOM RI, 2010).

BPOM RI telah memberikan peringatan keras kepada produsen jamu dan memerintahkan untuk menarik produk serta memusnahkannya. Membatalkan nomor pendaftaran produk bahkan mengajukannya ke pengadilan. Namun demikian berdasarkan pemantauan badan POM RI, diantara produk-produk jamu yang menganduk BKO masih ditemukan di toko jamu. Jamu-jamu yang ditarik peredaran tersebut oleh Badan POM justru merupakan jamu-jamu yang laris di pasaran karena efeknya yang cepat dalam mengobati berbagai penyakit seperti pegal linu, rematik, sesak nafas, masuk angin dan suplemen kesehatan (BPOM RI, 2010).

Bahan-bahan kimia berbahaya yang digunakan meliputi Metampiron, Fenilbutazon, Deksametason, Allopurinol, CTM, Sildenafil sitrat, Tadalafil, dan Parasetamol. Obat-obat yang mengandung bahan-bahan kimia tersebut memiliki efek samping yang berbahaya. Misalnya jamu yang mengandung fenilbutazon

(21)

2.4. Parasetamol

Parasetamol merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama pada sistem syaraf pusat. Obat yang mengandung parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas (Saputra, 2015).

2.4.1. Sifat fisika dan kimia

Sinonim : Paracetamolum Asetaminofen.

Nama kimia : 4-hidroksiasetanilida.

Rumus molekul : C8 H9 NO2

Rumus bangun :

Kandungan : tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 %, dihitung C8 H9 NO2 terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 17 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P, dalam 9 bagian propilenglikol P, dalam larutan alkali hidroksida.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.

Khasiat : Analgetikum, antipiretikum.

(Depkes RI, 1979)

(22)

2.4.2. Penggunaan

Parasetamol mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa memengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan juga zat ini berdaya antipiretik dan antiradang. Oleh karena itu tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada demam (infeksi virus / kuman, pilek) dan peradangan seperti rema dan encok.

Obat ini banyak diberikan untuk nyeri ringan sampai sedang, yang penyebabnya beraneka-ragam misalnya nyeri kepala, gigi, otot atau sendi ( rema, encok), perut, nyeri haid, nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma) (Tjay dan Rahrdja, 2007).

2.4.3. Mekanisme kerja

Analgetik merupakan obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri hanya merupakan gejala, fungsinya memberi tanda tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan oleh rangsang mekanis atau kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri (prostaglandin, serotonin, histamine, plasmokinin, ion kalium) (Anief, 1996).

Zat ini merangsang reseptor nyeri yang letaknya pada ujung syaraf bebas kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari tempat ini rangsang dialirkan melalui system syaraf sensoris ke S.S.P (susunan syaraf pusat), melalui sumsum tulang belakang ke thalamus kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar, dimana rangsang

(23)

2.4.4. Dosis

Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maks. 4 g/hari, pada penggunaan kronis maks. 2,5 g/hari. Anak-anak: 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 th 120-180 mg, 4-6 th 180 mg, 7-12 th 240-360 mg, 4- 6 kali sehari. Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 th 2-3 dd 240 mg, 4-6 th 4 dd 240 mg dan 7-12 th 2-3 dd 0,5 g (Tjay dan Rahrdja, 2007).

2.4.5. Efek samping

Efek samping tak jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati dan pada dosis di atas 6 g mengakibatkan nekrosis hati. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal. Overdose dapat menimbulkan mual, muntah dan anoreksia.

Penanggulangannya dengan cuci lambung, disamping itu perlu perlu pemberian zat penawar (asam-amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah toksikasi. Wanita hamil dapat menggunakan Parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu.

Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia tetapi pada dosis biasa tidak inferaktif (Tjay dan Rahrdja, 2007).

2.5. Kromatografi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang berisi kalsium karbonat (CaCO3). Kromatografi merupakan suatu proses

(24)

pemisahan yang mana analit-analit dalam sampel terdistribusi antara 2 fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa bahan padat dalam bentuk molekul kecil, atau dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa gas atau cairan.

Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam, tergantung pada pengelompokannya. Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dibedakan menjadi: (a) kromatografi lapis tipis, yang keduanya sering disebut dengan kromatografi planar, kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), dan kromatografi gas (KG) (Rohman, 2009).

2.6. Identifikasi Parasetamol Secara Kromatografi Lapis Tipis

Dalam sediaan farmasi, Parasetamol biasanya bercampur dengan bahan obat lain sehingga membutuhkan teknik pemisahan, misalnya dengan kromatografi lapis tipis. Metode kromatografi lapis tipis telah digunakan untuk analisis Parasetamol secara stimulan. Keuntungan kromatografi lapis tipis dibandingkan spektrofotometri adalah kemampuan KLT untuk memisahkan komponen- komponen dalam sampel yang di analisis, sehingga menghilangkan adanya kemungkinan saling menggangu antar komponen (Sudjadi, 2012).

2.6.1. Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) bersama – sama dengan kromatografi kertas dengan berbagai macam variasinya pada umumnya di rujuk sebagai kromatografi planar. Kromatografi lapis tipis (KLT) di kembangkan oleh Izmailoff dan

(25)

lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik (Rohman, 2009).

Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2012).

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana. KLT mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:

1. KLT memberikan fleksibelitas yang lebih besar, dalam hal memilih fase gerak.

2. Proses kromatografi dapat diikuti dengan mudah dan dapat dihentikan kapan saja.

3. Semua komponen dalam sampel dapat dideteksi (Rohman, 2009).

Dalam KLT hasil-hasil yang diperoleh digambarkan dengan mencantumkan nilai Rf-nya yang merujuk pada migrasi analit terhadap ujung depan fase gerak.

Nilai Rf didefenisikan sebagai:

Rf =

Nilai Rf terkait dengan faktor perambatan. Nilai Rf bukan suatu nilai fisika untuk suatu komponen. Meskipun demikian, dengan pengendalian kondisi KLT secara hati-hati, nilai Rf dapat digunakan sebagai cara untuk identifikasi kualitatif untuk membuktikan adanya suatu komponen/analit yang dituju dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2012).

(26)

2.6.2. Bahan dan teknik kromatografi lapis tipis 1. Penjerap/fase diam

Penjerap yang paling sering digunakan pada KLT adalah silika dan serbuk selulosa, suatu mekanisme perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorbsi (Gandjar dan Rohman, 2012).

Silika gel merupakan penjerap yang paling sering digunakan dalam KLT.

Lempeng-lempeng KLT tersedia dengan indikator fluoresen (bahan yang berfluoresensi atau berpendar), yang biasanya berupa seng silikat yang akan mengemisikan suatu fluoresensi hijau ketika diradiasi/disinari dengan lampu UV (lampu Hg) pada panjang gelombang 254 nm. Senyawa- senyawa yang mampu menyerap sinar UV akan muncul sebagai bercak-bercak hitam terdapat dasar yang berfluoresensi hijau disebabkan oleh adanya peredaman fluoresensi (Gandjar dan Rohman, 2012).

2. Fase Gerak Pada KLT.

Pelarut yang digunakan harus cukup murah, karena biasanya sejumlah besar fase gerak yang digunakan untuk elusi. Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka dan bukan pelarut yang memberikan pemisahan terbaik, karenanya seorang analis mampu untuk mengembangkan sendiri fase gerak yang mampu memberikan pemisahan terbaik. Berikut beberapa petunjuk dalam memilih fase gerak:

 Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT

(27)

 Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf solut terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.

 Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,

polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut dan nilai Rf. penambahan pelarut yang berifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.

 Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran

pelarut sebagai fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau ammonia masing-masing akan meningkatkan elusi solut-solut yang bersifat basa dan asam (Rohman, 2009).

3. Aplikasi (Penotolan) sampel

Sampel harus diaplikasikan/ditotolkan pada lempeng KLT dengan sangat hati-hati dan dengan pertimbangan bahwa gangguan yang mungkin timbul pada lempeng KLT dikendalikan sekecil mungkin. Pemisahan pada KLT yang optimal akan diperoleh jika menotolkan sampel ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Penotolan sampel dapat dilakukan sebagai suatu bercak, pita, atau dalam bentuk zig-zag. Pada penotolan sampel dalam jumlah banyak secara manual membutuhkan waktu yang lama dan juga hasil penotolan yang kurang bagus. Penotolan sampel secacara otomatis menggunakan syring, dengan demikian banyaknya sampel per bercak atau per pita dapat dikontrol. Gambar alat penotolan otomatis (syringe) ditunjukkan dalam gambar 2.1 (Rohman, 2009).

(28)

Gambar: 2.1 Alat penotol otomatis (syringe)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih

dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 µl. penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar puncak ganda. Berdasarkan pada tujuan analisis, berbagai macam jumlah sampel telah disarankan untuk digunakan dan diringkas pada tabel 2.2 (Rohman, 2009).

Tabel: 2.1. Parameter-parameter aplikasi yang direkomendasikan

Tujuan Diameter

Bercak

Konsentrasi Sampel (%)

Banyaknya sampel (µl) Densitometri 2 mm untuk volume

sampel 0,5 µl

0,02-0,2 0,1-1

Identifikasi 3 mm untuk volume sampel 1 µl

0,1-1 1-20

Uji kemurnian 4 mm untuk volume sampel 2 µl

5 100

Untuk memperoleh hasil yang baik, volume sampel yang di totolkan paling sedikit 0,5 µl. jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 µl

(29)

4. Pengembangan

Teknik pengembangan pada Kromatografi yang digunakan adalah konvensional. Pengembangan pelarut biasanya dilakukan dengan cara menaik (ascending) yang mana ujung bawah lempeng dicelupkan ke dalam pelarut pengembang. Untuk menghasilkan hasil kromatografi yang baik, wadah fase gerak (chamber) harus dijenuhkan dengan uap fase gerak. Jarak pengembangan fase gerak biasanya kurang lebih 10-15 cm, akan tetapi beberapa ahli kromatografi memilih mengembangkan lempeng pada jarak 15-20 cm (Rohman, 2009).

5. Deteksi

Bercak pemisahan pada KLT umumnya menggunakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuanya dapat dilakukan secara kimia, fisika. Cara kimia biasanya dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan dengan pencacahan radioaktif dan flouresensi dibawah sinar ultraviolet.

Fluoresensi Sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang berfluoresensi, jika senyawa tidak berfluoresensi maka bercak akan kelihatan hitam sedangkan latar belakang akan berfluoresensi. Lempeng yang diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah diberi senyawa flouresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam.Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak:

 Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang

(30)

lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas bercak.

 Mengamati lempeng di bawah lampu ultraviolet yang dipasang pada

panjang gelombang 254 atau 366 nm untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau berflouresensi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam.

 Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat

lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solute-solut organik yang akan Nampak bercak hitam sampai kecolatan.

 Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup (Rohman, 2009).

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat

Identifikasi Parasetamol secara kromatografi lapis tipis pada jamu pegal linu yang beredar di Kota Medan, dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Provinsi Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Barat No. 4 Medan.

3.2. Sampel, Alat dan Bahan 3.2.1. Sampel

Sampel dari penelitian ini adalah sampel jamu pegal linu dengan merk yang berbeda yaitu Jamu A, B, dan C.

3.2.2. Alat

Alat-alat yang digunakan adalah batang pengaduk, beaker glass 250 ml, chamber 10 x 20 x 20 cm, corong pisah erlenmeyer 250 ml, gelas ukur 25 ml, kertas saring, kertas timbang, lampu UV 254 nm, neraca analitik, plat silika, sonicator water bath, spatel.

3.2.3. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah akuadest, asam sulfat 3 N, asam asetat glasial, etanol, eter, kloroform, metanol, natrium bikarbonat 8 %, Parasetamol BPFI, sikloheksan.

3.3. Prosedur Kerja

(32)

Menggunakan fase diam: silika gel 254 GF, fase gerak: sikloheksana - kloroform – metanol – asam asetat glasial ( 60 : 30 : 5 : 5 ).

3.3.1. Larutan Uji Jamu A (Larutan A)

Ditimbang 1 dosis serbuk jamu Pegal linu (jamu A). Dimasukkan jamu A kedalam Erlenmeyer A. Ditambahkan 50 ml air, dan beberapa tetes larutan natrium bikarbonat 8% hingga Ph 7. Dikocok selama lebih kurang 30 menit.

Disaring kedalam corong pisah. Diasamkan filtrat dengan asam sulfat 3 N hingga Ph 1. Diekstraksi 4 kali setiap dengan 20 ml eter. Dikumpulkan ekstrak eter.

Diuapkan diatas sonicator water bath hingga kering. Dilarutkan dengan 5 ml etanol. Dimasukkan kedalam vial.

3.3.2. Larutan Uji Jamu B (Larutan B)

Ditimbang 1 dosis serbuk jamu Pegal linu (jamu B). Dimasukkan jamu B kedalam Erlenmeyer B. Ditambahkan 50 ml air, dan beberapa tetes larutan natrium bikarbonat 8% hingga Ph 7. Dikocok selama lebih kurang 30 menit.

Disaring kedalam corong pisah. Diasamkan filtrat dengan asam sulfat 3 N hingga Ph 1. Diekstraksi 4 kali setiap dengan 20 ml eter. Dikumpulkan ekstrak eter.

Diuapkan diatas sonikator water bath hingga kering. Dilarutkan dengan 5 ml etanol. Dimasukkan kedalam vial.

3.3.3. Larutan Uji Jamu C (Larutan C)

Ditimbang 1 dosis serbuk jamu pegal linu (jamu C). Dimasukkan jamu C kedalam Erlenmeyer C. Ditambahkan 50 ml air, dan beberapa tetes larutan natrium bikarbonat 8% hingga Ph 7. Dikocok selama lebih kurang 30 menit.

(33)

Diuapkan diatas sonikator water bath hingga kering. Dilarutkan dengan 5 ml etanol. Dimasukkan ke dalam vial.

3.3.4. Larutan Baku Pembanding (Larutan D)

Ditimbang baku Parasetamol BPFI 0,1 g. Dimasukkan kedalam vial.

Ditambahkan etanol 100 ml.

3.3.5. Penyediaan Fase diam

Digunakan plat silika gel GF 254 dengan susunan dan tebal yang sesuai, diukur plat silika dengan panjang 20 x 20 cm. Dibuat garis tipis melintang pada plat dengan jarak 2 cm dari ujung bawah plat silika. Tandai titik penotolan dengan jarak 2 cm, tandai batas perambatan fase gerak 15 cm di atas titik penotolan.

3.3.6. Penjenuhan Fase Gerak

Dibersihkan chamber kromatografi, sediakan plat silika gel dengan ukuran tinggi 20 cm (2 cm di bawah tinggi bejana) dengan lebar sama dengan panjang chamber. Masukkan 100 ml fase gerak (campuran sikloheksana – kloroform – metanol – asam asetat glasial) ( 60 : 30 : 5 : 5 ) ke dalam chamber kromatografi, tinggi fase gerak 0,5 cm sampai 1 cm dari dasar chamber. Plat silika harus selalu tercelup ke dalam fase gerak pada dasar chamber, chamber ditutup rapat dan biarkan sistem mencapai keseimbangan, penjenuhan ditandai dengan kertas saring basah seluruhnya.

3.3.7. Penotolan Sampel

Diletakkan plat silika gel 254 GF pada syringe. Pipet larutan A, B, C, dan D masing-masing 15 µl menggunakan microsyringe. Tekan tombol ON untuk memulai penotolan. Tunggu sampai penotolan selesai. Plat dimasukkan kedalam chamber yang sudah jenuh. Setelah selesai merambat sampai batas rambat, angkat

(34)

dan keringkan pada lemari asam. Noda dapat dilihat menggunakan lampu UV 254 nm bercak berwarna larutan gelap.

3.3.8. Persyaratan

Obat tradisional tidak boleh mengandung Parasetamol.

(35)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel: 4.1 Identifikasi Parasetamol Bobot

Nama Zat Wadah + Zat

Wadah + Sisa

Faktor pengenceran

Volume Penotolan

Tinggi bercak

Rf

Baku Pembanding Parasetamol

Sampel A, B dan C

10 mg

1 dosis

-

-

10 ml

5 ml

15 µl

15 µl

7,5 cm

-

0,50

-

4.2. Pembahasan

Definisi obat tradisional menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1992 adalah bahan atau ramuan atau bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional, bahwa obat tradisional dilarang mengandung bahan-bahan yang berbaya bagi tubuh manusia (Saputra, 2015).

(36)

Sampai saat ini Badan POM masih menemukan beberapa produk obat tradisional yang didalamnya dicampuri bahan kimia obat (BKO). Bahan kimia obat (BKO) di dalam obat tradisional inilah yang menjadi titik pemasaran bagi produsen. Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya atau bahkan semata-mata demi meningkatkan penjualan karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang bereaksi cepat

pada tubuh.

Konsumen yang tidak menyadari adanya bahaya dari obat tradisional yang dikonsumsinya, apalagi memperhatikan adanya kontra indikasi penggunaan beberapa bahan kimia bagi penderita penyakit tertentu maupun interaksi bahan obat yang terjadi apabila pengguna obat tradisional sedang mengkonsumsi obat lain, tentunya sangat membahayakan.

Pada laboratorium obat tradisional Badan POM di Medan dilakukan pengujian identifikasi Parasetamol secara kromatografi lapis tipis pada jamu pegal linu. Sampel yang digunakan adalah jamu pegal linu merk A, B, dan C. Prinsip pengujian ini adalah analisis kualitatif Parasetamol secara kromatografi lapis tipis setelah di ekstraksi dari cuplikan. Alat penotol yang digunakan adalah alat penotol otomatis (syringe).

Pada awal percobaan yang dilakukan pembuatan larutan uji ( jamu A , jamu B, dan jamu C). Larutan D berisi baku parasetamol BPFI 0,1 % b/v dalam etanol sebagai pembanding baku. Identifikasi Parasetamol dilakukan secara

(37)

glasial ( 60 : 30 : 5 : 5). Penjenuhan dibuat dengan kertas saring. Volume penotolan larutan A, B, C, dan D masing – masing 15 µL. Jarak rambatnya 15 cm.

Penampak bercak yang digunakan sinar UV 254 nm bercak warna biru gelap.

Berdasarkan hasil identifikasi Parasetamol secara kromatografi lapis tipis bahwa Tinggi bercak baku pembanding Parasetamol = 7,50 cm dan nilai Rfnya = 0,50. Pada jamu pegalinu merk A, B, dan C tidak terdapat bercak yang sama dengan bercak baku pembanding Parasetamol sehingga nilai Rfnya = 0. Dari hasil pernyataan pengujian dapat disimpulkan bahwa jamu pegal linu merk A, B, dan C tidak mengandung Parasetamol sehingga memenuhi syarat obat tradisional, yaitu obat tradisional tidak boleh mengandung bahan kimia obat (BKO).

(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pada pengujian identifikasi Parasetamol secara kromatografi lapis tipis pada jamu pegal linu yang beredar di Kota Medan, memenuhi syarat obat tradisional, dimana jamu pegal linu merk A, B, dan C positif tidak mengandung Parasetamol.

5.2. Saran

Jamu pegal linu merk A, B, dan C diharapkan dapat dipertahankan mutunya terutama pada uji identifikasi bahan kimia obat (BKO) pada obat tradisional agar sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1996). Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaannya.

Yogyakarta: Gadjah Mada University. hlm. 9.

Badan POM RI. (2006). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta:

Badan POM RI.

Badan POM RI. (2010). Acuan Sediaan Herbal.Volume V. Edisi I. Jakarta: Badan POM RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes RI. Hlm. 37.

Gandjar, I. G. dan Rohman, A. (2012). Analisis Obat Secara Spektrofotometri dan Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 329-342.

Rohman, A. (2009). Kromatografi Untuk Analisis Obat. Yogyakarta: Graha Ilmu.

hlm. 45-52.

Saputra, S.A. (2015). Identifikasi Bahan Kimia Obat Dalam Jamu Pegal Linu Seduh Dan Kemasan Yang Dijual Di Pasar Bandar. Jurnal wiyata. Vol. 2:

190-191.

Sudjadi dan Rohman, A. (2012). Analisis Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

hlm. 12.

Tjay, T. H. dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Ke Enam. Jakarta: Gramedia. hlm. 314, 318-319.

Wasito, H. (2011). Obat Tradisional Kekayaan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. hlm. 1-36.

(40)

Lampiran 1 : Plat Identifikasi Parasetamol Pada Jamu Pegalinu

Referensi

Dokumen terkait

The robust hydro-thermal power system controller design with the ECS is proposed in order to improve system stability under wind power disturbance with 5% variation of

Secara operasional peneliti ini mene liti “Pengaruh Terapi Musik Islami untuk Menurunkan Kecenderungan Burnout pada Pekerja Praktik Dokter di Sobontoro-

Berdasarkan pemaparan tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk melatih keterampilan proses sains dengan menggunakan model pembelajaran discovery learning pada

atau sebelum tindakan pada rawat jalan di rumah sakit, jika masih dalam jangka waktu 30 hari, riwayat medis dapat dipergunakan dan apabila telah lebih dari 30 hari harus

Berdasarkan isu, permasalahan yang terdapat di Kelurahan Tode Kisar diantaranya, adalah masih terjadinya degradasi terhadap terumbu karang, menurunnya hasil tangkapan, abrasi,

(c) dalam menjalankan rencana, subjek yang satu tidak menggunakan metode pembuktian yang telah direncanakan pada langkah merencanakan pemecahan masalah sedangkan

Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS, peran pemerintah untuk mengawasi penjualan makanan jajanan di sekolah sangat diperlukan misalnya dengan memberikan penyuluhan

Tujuan penelitian : (1) Untuk memperoleh lokasi-lokasi yang layak dan sesuai untuk dibudidayakan tanaman jarak pagar menggunakan system informasi geografis,(2) Untuk