• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

(2)

Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global

Judul: Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia:

Tanggapan terhadap Eurosentrisme Penulis: Syed Farid Alatas Penerbit: Mizan Publika- Jakarta

Tahun: 2010 ISBN: 978-602-96864-3-4

Tebal: xxiv + 268 hlm

Perdebatan mengenai pengetahuan dalam tradisi ilmu sosial- humaniora telah berlangsung lama dan masih terjadi hingga sekarang. Apabila kita lacak ke belakang, Manheim dalam McCarthy (1996) misalnya menjelaskan bagaimana konteks sosial memengaruhi terbentuknya pengetahuan. Sedangkan Berger dan Luckman (1966) memperbarui pandangan Manheim, dengan berpendapat bahwa pengetahuan terbentuk karena hasil dialektika antara individu dengan masyarakat, serta memperlakukan pengetahuan sebagai tool of communication untuk menemukan makna (meaning). Dari tradisi Frankfurt School, Habermas (1971) membongkar keterkaitan antara pengetahuan dengan kepentingan. Menurut Habermas, tradisi positivisme menyembunyikan kepentingan teknis, humaniora menyembunyikan kepentingan komunikatif, sedangkan kritis menyembunyikan kepentingan emansipatoris. Lebih lanjut, Foucault (1980) menjelaskan bahwa pengetahuan adalah kuasa, artinya pengetahuan mempunyai kekuatan untuk mengonstruksi kenyataan, mendisiplinkan bahkan “menormalkan” yang dianggap menyimpang.

Berbagai pandangan dari white man from metropole countries sebagaimana yang dikemukakan Connell (2006) tersebut kemudian memunculkan pertanyaan, di mana posisi pengetahuan yang dikonstruksikan oleh ilmuwan non-Barat/ilmuwan negara-negara selatan? Bagaimana relasi kuasa antara pengetahuan metropole dengan pengetahuan periphery dan apa dampaknya? Apakah memungkinkan membangun pengetahuan alternatif untuk menciptakan relasi yang

(3)

2 02 | O K I R A H A D I A N T O S U T O P O

Ju rna l Sosiologi M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 201-20 6

lebih adil antara metropole dengan periphery? Berbagai pertanyaan itulah yang coba dijawab oleh penulis dalam buku ini. Farid Alatas melanjutkan perjuangan yang dirintis ayahnya, Husein Alatas, membongkar dominasi pengetahuan yang bias pada Eurosentrisme, Orientalisme, captive mind (benak terbelenggu), imperialisme akademis dan kebergantungan akademis. Selain itu, ia mengusulkan perlunya diskursus alternatif yang lebih membebaskan, sehingga menghasilkan pengetahuan yang terdekolonisasi dan otonom.

Alatas memulai dengan menjelaskan relasi ekonomi politik yang tidak seimbang antara negara pusat/metropole dengan pinggiran/

periphery, yang dalam prosesnya dominasi ini juga berdampak pada aspek pengetahuan. Sejak abad ke-19, dominasi pengetahuan lebih banyak dilakukan oleh negara-negara Eropa, dan pada perkembangannya, kutub dominasi beralih pada Amerika Serikat sebagai pemenang perang dunia kedua. Dijelaskan oleh Alatas, dominasi ini kemudian menciptakan pembagian kerja, dalam arti ilmuwan sosial dari pusat melakukan kajian perbandingan antar negara dan diberikan legitimasi untuk mengonstruksi teori. Di sisi lain, ilmuan sosial pinggiran cenderung melakukan riset empiris dengan subjek kajian masyarakatnya sendiri. Hal ini mengakibatkan kurangnya perspektif perbandingan serta konstribusi pada teori, sehingga memunculkan ketergantungan terhadap produksi pengetahuan negara pusat. Tingginya tingkatan yang disematkan pada teori semakin mengukuhkan teori-teori pusat sebagai pusat perdebatan teoritis.

Relasi yang tidak seimbang juga memunculkan klaim akan universalitas yang disematkan pada teori-teori yang lahir dari ilmuwan sosial pusat, meskipun teori tersebut lahir dari pengalaman negara pusat dengan konteks serta karakteristik tertentu. Misalnya yang dilakukan oleh Coleman dalam Connell (2006) mengenai perilaku rasional pedagang di salah satu negara bagian di Amerika Utara, yang selanjutnya menjadi teori yang berlaku universal bernama rational choice theory. Universalitas teori negara pusat menjadikan negara pinggiran hanya diperlakukan sebagai tempat penelitian (Samuel, 1999) tanpa dimunculkan konteks khas negara tersebut.

Sebaliknya, teori negara pusat cenderung dipaksakan sebagai alat analisis meskipun peluang untuk lost in context-nya sangat besar.

Bahkan, teori-teori pembangunan misalnya, diperlakukan sebagai ideal type yang harus diikuti sebagai peta pembangunan negara

(4)

P E N G E T A H U A N D A N R E L A S I K U A S A G L O B A L | 2 03

pinggiran dan dalam tingkat ekstrim menimbulkan biaya-biaya manusia (human cost) yang tak terkira (Berger, 1974). Di sisi lain, teori yang dimunculkan oleh ilmuwan pinggiran tidak diakui bersifat universal, melainkan hanya bersifat partikular. Akan sulit membayangkan misalnya, teori yang muncul dari pengalaman kesemrawutan kehidupan kumuh di Penjaringan, Jakarta, akan digunakan untuk menganalisis kehidupan urban di New York.

Selain berbicara mengenai universalisme versus partikularisme, Alatas juga membahas mengenai konsep captive mind atau benak yang terbelenggu. Dijelaskan oleh Alatas bahwa benak yang terbelenggu hampir sepenuhnya dilatih dengan ilmu sosial Barat, membaca karya ilmuwan sosial Barat serta dididik oleh ilmuwan sosial Barat. Proses membabi buta dalam penerapan teori pusat ataupun teknik-teknik penelitian tanpa melakukan adaptasi berdasarkan konteks merupakan salah satu simptom terjangkitnya captive mind tersebut. Simptom yang lain menurut Alatas adalah peniruan yang tidak kritis dalam berbagai tingkat kegiatan ilmiah, termasuk dalam hal latar permasalahan, analisis, abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan penafsiran. Benak yang terbelenggu membuat ilmuwan sosial pinggiran tidak memiliki kreativitas, orisinalitas, serta terasing dengan permasalahan krusial bangsanya sendiri. Yang menarik adalah pernyataan Alatas bahwa ilmuwan sosial pinggiran sangat memerlukan pengetahuan pusat terutama demi mempertahankan harga diri dalam arena akademis. Menurut Alatas, benak terbelenggu adalah masalah khas negara pinggiran. Konsep benak terbelenggu tidak muncul di negara pusat karena kita tidak menemukan orang- orang yang dididik dengan ilmu non-pusat di universitas non-pusat, atau di bawah asuhan para professor non-pusat, atau membaca karya- karya ilmuwan pinggiran dengan bahasa-bahasa non-pusat.

Alatas menyitir karya Said dalam Orientalism (1979) dan Amin dalam Eurosentrism (1989) menjelaskan bahwa diskursus pengetahuan dari negara pusat merupakan konstruksi esensialis yang mengonfirmasi bahwa negara pinggiran adalah kebalikan pusat, seperti malas, terbelakang, barbar, dan irasional. Ciri utama Orientalisme adalah pembagian Timur-Barat yang menempatkan masyarakat Barat lebih unggul daripada Timur, sedangkan Eurosentrisme didefinisikan sebagai konstruksi teoritis sejarah dunia yang membuat Eropa, berkat keunikan, keunggulan, dan takdirnya, harus menanggung “beban manusia kulit putih” berupa ekspansionisme. Dengan kata lain,

(5)

2 0 4 | O K I R A H A D I A N T O S U T O P O

Ju rna l Sosiologi M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 201-20 6

negara pinggiran adalah realitas yang lain atau liyan (the others) yang kemudian harus ditaklukkan, harus patuh dan perlu dinormalkan, serta didisiplinkan supaya menjadi bagian dari “kita” (negara pusat).

Nyata dalam pengalaman Indonesia pada masa Orde Baru bahkan hingga sekarang, misalnya konstruksi pengetahuan bahwa kurangnya need for achievement mengakibatkan perekonomian Indonesia tertinggal. Anggapan mengenai nilai-nilai lokal adalah kuno, sehingga perlu diganti nilai-nilai modern. Gaya hidup negara pusat yang dianggap lebih “keren” bahkan hingga menyangkut urusan

‘ranjang’ misalnya, yang mengonstruksikan bahwa pria dari negara pusat lebih romantis, maco, dan kuat.

Multidimensi dominasi ilmu sosial negara pusat pada negara pinggiran tidak terlepas dari kebergantungan secara ekonomi politik atau diistilahkan sebagai kebergantungan akademis. Alatas menyebut tiga hal yaitu teknologi, bantuan, dan investasi. Telah menjadi rahasia umum bahwa penyandang dana terbesar untuk riset adalah negara-negara pusat. Hal ini membawa dampak pada topik-topik riset apa saja yang harus dilakukan yang tentu saja harus menuruti selera ataupun kepentingan negara-negara pusat. Tidak jauh berbeda juga terjadi pada bantuan berupa buku-buku yang diberikan oleh penyandang dana, White dalam Hadiz dan Dhakidae (2006) misalnya menjelaskan mengenai penyortiran bantuan buku terkait dengan ilmu pertanian oleh penyandang dana karena buku yang diusulkan oleh salah satu professor Indonesia tidak sejalan dengan tujuan revolusi hijau. Fenomena yang lain adalah kebergantungan pada media gagasan. Alatas mencontohkan mengenai ketimpangan jumlah serta penyematan akan prestise yang tinggi pada jurnal ilmiah dari negara-negara pusat. Dijelaskan bahwa jumlah jurnal ilmiah terbesar adalah dari Amerika dengan penyumbang artikel terbesar juga dari negara-negara pusat tersebut seperti Amerika, Jerman, Prancis, dan Inggris. Beberapa faktor inilah yang menurut Alatas menyebabkan terjadinya kebergantungan akademis.

Pasca dilakukannya inventarisasi masalah serta pembongkaran terhadap dominasi ilmu sosial dari negara pusat, Alatas mengusulkan mengenai perlunya diskursus alternatif. Dalam kasus kebergantungan akademis pada bab 9 buku ini, Alatas menyarankan untuk mengurangi kebergantungan pada standar Amerika dan Eropa yang mungkin tidak tepat, sementara pada saat yang sama bekerja meningkatkan kemampuan penerbitan lokal. Hal ini dapat berjalan

(6)

P E N G E T A H U A N D A N R E L A S I K U A S A G L O B A L | 2 05

pula jika para penilai, seperti pemerintah misalnya, memberi penghargaan pada karya terbitan lokal sebagaimana publikasi internasional. Selain itu juga bagaimana melekatkan nilai-nilai dan penghargaan yang memadai bagi publikasi tersebut, sehingga menarik karya-karya berkualitas tinggi. Alatas memberikan contoh di Jepang;

di sana tidak ada diskriminasi dalam penilaian terhadap terbitan dalam negeri. Mengenai benak terbelenggu, Alatas mengusulkan mengenai perlunya kesadaran kritis yang harus diajarkan melalui berbagai institusi pendidikan. Dalam pengajaran sosiologi misalnya, perlunya mengajarkan tidak hanya sejarah sosiologi negara pusat seperti Revolusi Perancis atau sejarah pencerahan yang perlu diajarkan, melainkan juga konteks kolonisasi serta eurosentrisme, sehingga mahasiswa lebih sadar akan bias tersebut, misalnya pada karya-karya founding fathers sociology.

Diskursus alternatif yang digagas Alatas mengusulkan mengenai perlunya dibuka dialog bagi filsafat, epistemologi, dan sejarah wilayah lokal, nasional, dan regional supaya menjadi basis pengetahuan.

Indigenisasi dalam berbagai tingkatan diperlukan supaya muncul pusat-pusat pengetahuan yang beragam. Hal ini diharapkan dapat mengurangi dominasi ilmu sosial negara pusat. Lebih lanjut, Alatas menghimbau mengenai perlunya sekelompok minoritas aktif ilmuan sosial di setiap universitas besar di Asia yang peduli terhadap masalah yang dihadapi oleh ilmu sosial pinggiran. Spirit yang dibangun adalah spirit membebaskan. Oleh karena itu, menurut Alatas, sangat beralasan untuk mempertahankan kesetiaan pada proyek indigenisasi tersebut.

Buku ini patut diapresiasi karena sikap kritis dan keberaniannya dalam menghadirkan narasi-narasi alternatif pada ranah ilmu sosial- humaniora. Narasi alternatif yang ditawarkan Alatas dapat digunakan sebagai pembuka dialog dengan spirit pembebasan terutama dalam proses pembentukan indigeneous social science di negara-negara pinggiran. Secara spesifik, tawaran alternatif dari Alatas perlu dipertimbangkan dalam agenda pembentukan sosiologi Indonesia yang nampaknya, meskipun berteriak lantang, namun belum bisa muncul di panggung depan dan mendapat sambutan yang meriah dari sosiolog maupun para pemerhati sosiologi di Indonesia.

(7)

2 0 6 | O K I R A H A D I A N T O S U T O P O

Ju rna l Sosiologi M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 201-20 6

DA F TA R PUS TA K A

Berger, Peter.l and Thomas Luckman. 1966. The Social Construction of Reality. New Yok: Penguin Books.

Berger, Peter.l. 1974. Pyramids of Sacrifice. New York : Penguin Books.

Connell, Raewyn. 2006. Northern Theory: The Political Geography of General Social Theory. Theory and Society, Vol. 35 No. 2. Spinger.

Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings. New York : Pantheon.

Habermas, Juergen. 1971. Knowledge and Human Interest. Boston : Beacon Press

Hadiz, Vedi and Daniel Dhakidae (ed). 2004. Social Science and Power in Indonesia. Singapore : Equinox Publishing

McCarthy, E. Doyle. 1996. Knowledge as Culture. London: Routledge.

Samuel, Hanneman. 1999. The Development of Sociology in Indonesia.

Australia: Swinburn Institute of Technology (disertasi).

O K I R A H A D I A N T O S U T O P O Email: oki.rahadianto@ugm.ac.id

Referensi

Dokumen terkait

 Kajian ini berbeda dengan Homans yang hanya menitikberatkan Teori Pertukaran Sosial pada relasi antar individu, menjadi lebih luas antara individu dan kelompok (lebih

a) Hubungan sosial atau relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain, saling mempengaruhi dan didasarkan

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul Implikasi Sistem Sewa Lahan terhadap Relasi Sosial Petani Jeruk di Jember adalah benar-benar hasil karya

Hasil dari penelitian diharapkan bisa jadi masukan sebagai sebuah sumbangan dalam kajian ilmu kesejahteraan sosial terutama yang berkaitan dengan relasi dengan teman sebaya akibat

Mengintegrasikan teori utama yang digunakan dalam penelitian ini tentang organisasi pembelajar, teori motivasi, teori modal sosial, dan teori pertukaran sosial dalam

Didalam interkasi sosial tersebut akan selalu terjadi apa yang dinamakan kerjasama, saling ketergantungan, saling pengaruh mempengaruhi, persaingan dan bahkan mungkin

Pada penelitian kali ini, peneliti juga mengkategorisasikan 2 (dua) kategori yang menunjukkan adanya relasi sosial antara hubungan siswa dengan guru dan hubungan siswa

Tulisan ini merupakan review dari sejumlah literatur yang terkait dengan relasi sosial dan resiliensi masyarakat (petani) dalam menghadapi bencana alam yang mereka