• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERFORMANSI SISTEM KOMUNIKASI KABEL LAUT (SKKL) DENGAN MEGGUNAKAN KONFIGURASI BRANCING UNIT DAN TANPA BRANCING UNIT PADA LINK JAWA-BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PERFORMANSI SISTEM KOMUNIKASI KABEL LAUT (SKKL) DENGAN MEGGUNAKAN KONFIGURASI BRANCING UNIT DAN TANPA BRANCING UNIT PADA LINK JAWA-BALI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERFORMANSI SISTEM KOMUNIKASI KABEL LAUT (SKKL) DENGAN MEGGUNAKAN KONFIGURASI BRANCING UNIT DAN TANPA

BRANCING UNIT PADA LINK JAWA-BALI

Mara Theresa Sundoyo Program Studi Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik telekomunikasi dan

Elektro Institut Teknologi Telkom Purwokerto,

Purwokerto, Indonesia

email.16101162@ittelkom- pwt.ac.id

Eka Wahyudi Program Studi Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik telekomunikasi dan

Elektro Institut Teknologi Telkom Purwokerto,

Purwokerto, Indonesia

email.ekawahyudi@ittelkom- pwt.ac.id

Dodi Zulherman Program Studi Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik telekomunikasi dan

Elektro Institut Teknologi Telkom Purwokerto,

Purwokerto, Indonesia

email.dodizulherman@ittelkom- pwt.ac.id

Abstrak - Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) merupakan sistem komunikasi yang menggunakan teknologi DWDM, teknologi DWDM memiliki jarak sangat jauh dalam jangkauan.

Jarak link yang digunakan pada penelitian ini cukup jauh, sehingga dibutuhkan penguat/amplifier untuk mengatasi resiko hilangnya data pada saat proses transmisi. Amplifier yang digunakan adalah EDFA (Erbium Doped Fiber Amplifier), EDFA (Erbium Doped Fiber Amplifier) merupakan suatu penguat optik yang intinya terdapat atom erbium sehingga dapat memberikan penguatan terhadap sinyal yang melewatinya serta dapat meningkatkan signal level yang bergelombang 1530 nm hingga 1570 nm. Pada penelitian ini digunakan konfigurasi branching unit dengan menggunakan konfigurasi penguat/amplifier repeater-less, repeater-ed, dan cascade dengan 10 kanal dan 2 buah frequency (40 GHz dan 80 GHz) yang menggunakan 5 variasi daya (0 dBm, 2 dBm, 4 dBm, 6 dBm, 8 dBm). Hasil dari analisis dan simulasi yang diperoleh Seluruh kanal memiliki kinerja yang baik karena hasil atau nilai memenuhi bahkan melampaui standar yang telah ditentukan. Yaitu standar BER (Bit Error Rate), Q-Factor, Power Receiver, dan SNR (Signal to Noise Ratio). Nilai tertinggi dari pemodelan simulasi yaitu saat menggunakan konfigurasi Cascade dengan 80 GHz menggunakan daya 8dBm dengan hasil nilai parameter BER bernilai 1.06 x 10-96, Q- Factor bernilai 20.788, Power Receiver bernilai -9.428, SNR bernilai 48.122. Hasil terbaik kinerja rata-rata yaitu saat pemodelan simulasi menggunakan konfigurasi Repeater-ed parameter-parameter yang diuji dominan mendapatkan hasil kinerja terbaik rata-rata saat menggunakan konfigurasi Repeat- ed. Sehingga konfigurasi Repeater-ed yang paling tepat digunakan untuk Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL).

Kata Kunci : SKKL, Brancing Unit, EDFA

I. PENDAHULUAN

Salah satu penunjang terjadinya koneksi internet di dunia ini karena adanya koneksi link backbone yang menghubungkan suatu jaringan. Backbone merupakan suatu saluran atau koneksi berkecepatan tinggi yang menjadi lintasan utama dalam sebuah jaringan. Sistem komunikasi kabel laut merupakan salah satu contoh dari koneksi link backbone. Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) menggunakan teknologi DWDM yang memiliki jarak sangat jauh dalam jangkauan. Jaringan pada sistem komunikasi ini juga dapat membawa trafik yang lebih besar dibanding jaringan yang berada di darat. Salah satu redaman atau loss pada jaringan fiber optic adalah terjadinya penurunan daya optik yang disebabkan oleh attenuation. Mengingat jarak pengiriman dari komunikasi kabel laut dapat mencapai 5.000 km, maka diperlukan perangkat penunjang seperti amplifier atau repeater untuk memperkecil penurunan daya yang hilang pada saluran transmisi. [1]

Dalam sistem komunikasi kabel laut (SKKL) terdapat dua

konfigurasi repeater, yaitu repeater-less dan repeater-ed. Pada

jaringan yang menggunakan repeater-less sistem maka hanya

menggunakan booster amplifier dan pre-amplifier, sedangkan

jaringan yang menggunakan repeater-ed sistem maka

menggunakan booster amplifier, in-line amplifier serta pre-

amplifier. [1] Pada sistem cascade dilakukan penyusunan

amplifier secara serial dan dapat ditempatkan sebagai booster

amplifier, in-line amplifier serta pre-amplifier. Sistem

Komunikasi Kabel Laut (SKKL) yang di jadikan sebagai

penelitian dari link Jawa-Bali serta menggunakan konfigurasi

Brancing Unit. Brancing Unit sendiri memiliki fungsi untuk

dapat mencakup dua landing station bahkan lebih dari dua

landing station dan juga dapat menghemat biaya sehingga lebih

efisien dibandingkan membuat jalur yang baru, branching unit

sendiri hanya terdapat pada SKKL.

(2)

Gambar 1.

Struktuk Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) II. M

ETODOLOGI PENELITIAN

A. Flowchart Alur Penelitian

Gambar 2. Flowchart Alur Penelitian

Flowchart pada penelitian ini merupakan alur pengerjaan yang akan dilakukan penulis untuk melakukan penelitian atau tugas akhir. Hal pertama yang dilakukan yaitu menentukan titik labuh atau landing station, pada kasus ini titik labuh atau landing station (LS) yang digunakan ialah Jawa (Rungkut) dan Bali (Kali Asem) kota-kota tersebut dipilih karena merupakan jaringan dari Indonesia Global Gateway (IGG). Selanjutnya dilakukan pemetaan pada google earth, hal ini bertujuan untuk mengetahui jarak antar kota atau antar landing station, namun pada kasus ini penulis menggunakan data yang telah diolah oleh Telkom Indonesia, sehingga tidak dilakukan pemetaan

menggunakan google earth. Selanjutnya melakukan perancangan sistem menggunakan perangkat lunak, untuk merancang penelitian atau tugas akhir ini penulis menggunakan software OptiSystem.

Dalam perancangan ini digunakan tiga konfigurasi, yaitu konfigurasi yang repeater-ed sistem, konfigurasi repeater-less sistem, serta konfigurasi cascade, dimana letak perbedaannya ialah penggunaan amplifier yang digunakan serta penempatan amplifier yang digunakan. Pada konfigurasi repeater-ed menggunakan booster amplifier, in-line amplifier dan pre- amplifier, konfigurasi repeater-less hanya menggunakan booster amplifier dan pre-amplifier, sedangkan pada konfigurasi cascade menggunakan amplifier disusun secara serial kemudian dicoba diletakan sebagai booster amplifier, in- line amplifier, dan pre-amplifier. Setelah melakukan simulasi, kemudian akan menentukan nilai standar BER yaitu 10

-9

dan melakukan anasisis hasil dari simulasi seperti BER, Q-Factor, Power Receiver, serta SNR (Signal to Noise Receiver), dan menarik kesimpulan dari hasil analisis yang diperoleh dengan menggunakan OptiSystem.

B. PEMODELAN SISTEM

Gambar 3.

Model Siste Komunikasi Kabel Laut (SKKL)

Perancangan sistem penelitian ini berdasarkan analisis dan data dari lapangan, pada perancangan sistem ini menggunakan 80 dan 40 space kanal transmitter yang akan didistribusikan kebeberapa penerima atau landing station. Pada blok transmisi menggunakan 2 pair fiber optic yang berarti dalam satu kabel terdapat dua core, satu core untuk komunikasi upstream dan satu lagi untuk komunikasi downstream, sehingga untuk penggunaan frekuensi atau panjang gelombangnya tidak saling tabrakan. Blok branching unit (BU) berfungsi untuk membagi atau menambahkan panjang gelombang sesuai dengan jalur transmisinya, dapat dilihat pada Gambar 3 merupakan model sistem komunikasi kabel laut (SKKL)

Tabel 1. Parameter-Parameter Pengirim

Pada Tabel 1 dijelaskan parameter-parameter yang digunakan

pada blok transmitter sesuai dengan spesifikasi kontrak dari

Indonesia Global Gateway (IGG). Panjang gelombang yang

digunakan pada penelitian ini yaitu 1550nm karena panjang

gelombang tersebut sesuai digunakan untuk jarak jauh,

(3)

mengingat bahwa jarak Jawa (Rungkut) – Bali (Kaliasem) cukup jauh sekitar 442 km maka digunakan panjanng gelombang 1550nm berdasarkan standar ITU-T G.6941 untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Type Range Panjang Gelombang

Tabel 3. Media Transmisi

Mengacu pada ITU-T.G.654.D Tabel 3 parameter transmisi yang berlaku pada submarine cable system tidak jauh berbeda dengan parameter pada jaringan terrestrial pada umumnya, seperti kabel yang digunakan pada jaringan terrestrial dan pada jaringan submarine cable hampir sama, hanya saja pada jaringan submarine cable menggunakan kabel dengan lapisan yang lebih tebal dibandingkan dengan jaringan terrestrial, hal ini guna melindungi kabel itu sendiri (core) agar tidak rentan putus

Gambar 4.

Peta Link Rungkut – Kali Asem

Penelitian ini menggunakan link pada Surabaya (Rangkut) – Bali (Kali Asem) dengan menggunakann penguat amplifier EDFA (Erbium Doped Fiber Amplifier) serta dengan menggunakan parameter-parameter yang berlaku yaitu BER (Bit Error Rate), Q-Factor, Power Receiver atau daya terima .

 Power Link Budget (PLB)

Power Link Budget (PLB) merupakan total dari redaman yang mengizinkan dari satu jaringan fiber optic mulai dari sinyal (Tx) samapai penerima (Rx). Dimana nilainya hsil dari mengkalkulasi kabel (attenuation), penuat, serta redaman brancing unit.

Nilai redaman total didapatkan dengan menggunakan persamaan 1, kemudian dilakuan perhitungan power receiver.

Dengan menggunakan persamaan (2).

𝛼𝑇𝑜𝑡disini sebagai redaman total system (dB), 𝐿𝑓 sendiri merupakan panjang kabel Fiber Optic, 𝛼𝑓 adalah Attenuation atau redaman kabel Fiber Optic, 𝐿𝑑 merupakan panjang kabel Dispersion Chromatic Fiber (dB/Km), 𝛼𝐵𝑈1 adalah redaman pada Brancing Unit 1, 𝛼𝐵𝑈2 merupakan redaman pada Brancing Unit 2.

 Signal to Noise Ratio (SNR)

Signal to Noise Ratio (SNR) merupakan hasil perbandingan dari daya sinyal yang ditransmisikan terhadap daya Noise yang terjadi didalam sebuah system. Nilai SNR dapat ditulis dengan persamaan (3).

Dimana Pr adalah daya jatuh APD (Watt), R adalah responsivitas detector (A/W), M adalah penguat detector, q adalah muatan elekttron (1.69x10

-19

C), F(M) adalah Noise Figure, Be adalah Receiver Electrical Bandwith (Hz), Kb adalah konstata boltzman (1x38x10

-23

J/K), T adalah suhu (K), serta RL adalah hambatan dalam (Ohm).

 Q-Factor

Q-Factor merupakan faktor kualitas yang menentukan baik atau buruknya suatu performansi dari suatu system, dengan nilai minimum 6. Q-Factor dapat ditulis dengan persamaan (4).

Dimana Q adalah faktor kualitas, SNR adalah nilai dari Signal to Noise Ratio.

 Bit Error Rate (BER)

Bit Error Rate (BER) didefinisikan sebagai perbandingan antara kesalahan atau kerusakan bit terhadap jumlah bit yang dikirimkan secara keseluruhan. Bit Error Rate (BER) dapat dihitung dengan persamaan (5).

Dimana Q adalah faktor kualitas, BER adalah nilai dari Bit Error Rate.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Simulasi yang akan dilakukan yaitu menggunakan Brancing

Unit dan konfigurasi amplifier Repeater-less, Repeater-ed,

Cascade, serta menggunakan 2 frekuensi 40 GHz dan 80 GHz

yang tiap frekuensi menggunakan 10 kanal. Link yang

digunakan yaitu link Jawa-Bali yang memiliki jarak 442.04 km,

amplifier yang digunakan adalah EDFA (Erbium Doped Fiber

Amplifier), dan menggunakan 5 variasi daya yaitu 0, 2, 4, 6, 8

dengan satuan dBm

(4)

A. Konfigurasi Repeater-less

Tabel 4. Hasil Bit Error Rate (BER) 40 GHz (Repeater-less)

Hasil nilai BER terdapat pada tabel 4 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Repeater-less menggunakan 40 GHz, hasil dari nilai BER semuanya memenuhi standar BER yaitu 10

-9

, dari hasil nilai BER tiap daya yang digunakan memiliki pengaruh pada hasil simulasi nilai BER. Nilai tertinggi dari tabel 4 terdapat pada kanal 195.74 di daya 4 dBm bernilai 4,47 x 10

-79

.

Tabel 5. Hasil Bit Error Rate (BER) 80 GHz (Repeat-less)

Nilai BER terdapat pada tabel 5 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Repeater-less menggunakan 80 GHz, hasil dari nilai BER semuanya memenuhi standar BER yaitu 10

-9

, dari hasil nilai BER tiap daya yang digunakan memiliki pengaruh pada hasil simulasi nilai BER. Nilai tertinggi dari tabel 4 terdapat pada kanal 195,94 di daya 4 dBm bernilai 3,69 x 10

-100

.

Gambar 4. Perbandingan Nilai Daya BER Repeater-less

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter BER (Bit Error Rate) yang konfigurasi Repeater-less dengan frequency 40 GHz dan 80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar 4. Hasil kinerja rata-rata mendapatkan hasil paling maksimal pada daya 4 dBm dengan frequency 80 GHz.

Tabel 6. Hasil Q-Factor 40 GHz (Repeater-less)

Hasil nilai Q-Factor pada tabel 6 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu 6. Pada Q-Factor daya juga mempengaruhi hasil dari q-factor. Nilai tertinggi dari tabel 6 terdapat pada kanal 195.74 di daya 4 dBm bernilai 18,774.

Tabel 7. Hasil Q-Factor 80 GHz (Repeater-less)

Hasil nilai Q-Factor pada tabel 7 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu 6. Pada Q-Factor daya juga mempengaruhi hasil dari q-factor. Nilai tertinggi dari tabel 6 terdapat pada kanal 195,94 di daya 2 dBm bernilai 21,236.

Gambar 5. Perbandingan Nilai Daya Q-Factor Repeater-less

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter Q-Factor

yang konfigurasi Repeater-less dengan frequency 40 GHz dan

80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar 5. Hasil kinerja rata-

rata mendapatkan hasil paling maksimal pada daya 4 dBm

dengan frequency 80 GHz.

(5)

Tabel 8. Hasil Power Receiver 40 GHz (Repeater-less)

Hasil nilai Power Receiver pada tabel 8 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu -40 semuanya tidak ada yang melebihi -40. Nilai tertinggi dari tabel 8 terdapat pada kanal 195,38 di daya 8 dBm bernilai -4,974. Semakin kecil nilai Power Receiver maka semakin baik juga kinerjanya dalam jaringan.

Tabel 9. Hasil Power Receiver 80 GHz (Repeater-less)

Hasil nilai Power Receiver pada tabel 9 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu -40 semuanya tidak ada yang melebihi -40. Nilai tertinggi dari tabel 9 terdapat pada kanal 195,62 di daya 8 dBm bernilai -4,326. Semakin kecil nilai Power Receiver maka semakin baik juga kinerjanya dalam jaringan.

Gambar 6. Perbandingan Nilai Daya Power Receiver Repeater-less

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter Power Receiver yang konfigurasi Repeater-less dengan frequency 40 GHz dan 80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar 6. Hasil kinerja rata-rata mendapatkan hasil paling maksimal pada daya 8 dBm dengan frequency 80 GHz.

Tabel 10. Hasil Signal to Noise Ratio (SNR) 40 GHz (Repeater-less)

Hasil nilai SNR terdapat pada tabel 10 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Repeater-less, hasil dari nilai SNR yang diperoleh semuanya memiliki kinerja yang baik. Nilai tertinggi dari tabel 10 terdapat pada kanal 195,70 di daya 8 dBm bernilai 54,421.

Tabel 11. Hasil Signal to Noise Ratio (SNR) 80 GHz (Repeater-less)

Hasil nilai SNR terdapat pada tabel 11 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Repeater-less, hasil dari nilai SNR yang diperoleh semuanya memiliki kinerja yang baik. Nilai tertinggi dari tabel 11 terdapat pada kanal 195,46 di daya 8 dBm bernilai 58,423.

Gambar 7. Perbandingan Nilai Daya SNR (Signal to Noise Ratio) Repeater-less

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter SNR

(Signal to Noise Ratio) yang konfigurasi Repeater-less dengan

frequency 40 GHz dan 80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar

7. Hasil kinerja rata-rata mendapatkan hasil paling maksimal

pada daya 8 dBm dengan frequency 80 GHz.

(6)

B. Konfigurasi Repeater-ed

Tabel 12 Hasil Bit Error Rate (BER) 40 GHz (Repeater-ed)

Hasil nilai dari BER terdapat pada tabel 12 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Repeater-ed, hasil dari nilai BER seluruhnya memenuhi standar yaitu 1x10

-9

, dari hasil nilai BER tiap daya yang digunakan memiliki pengaruh pada hasil simulasi nilai BER. Nilai tertinggi dari tabel 12 terdapat pada kanal 195.74 di daya 2 dBm bernilai 6,66 x 10

-80

Tabel 12. Hasil Bit Error Rate (BER) 80 GHz (Repeater-ed)

Nilai BER terdapat pada tabel 12 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Repeater-ed, hasil dari nilai BER semuanya memenuhi standar BER yaitu 10

-9

, dari hasil nilai BER tiap daya yang digunakan memiliki pengaruh pada hasil simulasi nilai BER. Nilai tertinggi dari tabel 4 terdapat pada kanal 195,86 di daya 2 dBm bernilai 2,37 x 10

-104

.

Gambar 8. Perbandingan Nilai Daya BER (Bit Error Rate) Repeater-ed

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter BER (Bit Error Rate) yang konfigurasi Repeater-ed dengan frequency 40 GHz dan 80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar 8. Hasil kinerja rata-rata mendapatkan hasil paling maksimal pada daya 4 dBm dengan frequency 80 GHz.

Tabel 13. Hasil Q-Factor 40 GHz (Repeater-ed)

Hasil nilai Q-Factor pada tabel 13 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu 6. Pada Q-Factor daya juga mempengaruhi hasil dari q-factor. Nilai tertinggi dari tabel 13 terdapat pada kanal 195,74 di daya 4 dBm bernilai 18,910.

Tabel 14. Hasil Q-Factor 80 GHz (Repeater-ed)

Hasil nilai Q-Factor pada tabel 14 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu 6. Pada Q-Factor daya juga mempengaruhi hasil dari q-factor. Nilai tertinggi dari tabel 14 terdapat pada kanal 195,86 di daya 4 dBm bernilai 21,685.

Gambar 9. Perbandingan Nilai Daya Q-Factor Repeater-ed

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter Q-Factor

yang konfigurasi Repeater-ed dengan frequency 40 GHz dan

80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar 9. Hasil kinerja rata-

(7)

rata mendapatkan hasil paling maksimal pada daya 4 dBm dengan frequency 80 GHz.

Tabel 15. Hasil Power Receiver 40 GHz (Repeater-ed)

Hasil nilai Power Receiver pada tabel 15 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu -40 semuanya tidak ada yang melebihi -40. Nilai tertinggi dari tabel 15 terdapat pada kanal 195,38 di daya 8 dBm bernilai -4,899. Semakin kecil nilai Power Receiver maka semakin baik juga kinerjanya dalam jaringan.

Tabel 16. Hasil Power Receiver 80 GHz (Repeater-ed)

Hasil nilai Power Receiver pada tabel 16 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu -40 semuanya tidak ada yang melebihi -40. Nilai tertinggi dari tabel 16 terdapat pada kanal 196,02 di daya 8 dBm bernilai -4,384. Semakin kecil nilai Power Receiver maka semakin baik juga kinerjanya dalam jaringan.

Gambar 10. Perbandingan Nilai Daya Power Receiver Repeater-ed

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter Power Receiver yang konfigurasi Repeater-ed dengan frequency 40 GHz dan 80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar 10. Hasil

kinerja rata-rata mendapatkan hasil paling maksimal pada daya 8 dBm dengan frequency 80 GHz.

Tabel 17. Hasil Signal to Ratio (SNR) 40 GHz (Repeater-ed)

Hasil nilai SNR terdapat pada tabel 17 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Repeater-ed, hasil dari nilai SNR yang diperoleh semuanya memiliki kinerja yang baik.

Nilai tertinggi dari tabel 17 terdapat pada kanal 195,42 di daya 4 dBm bernilai 55,219.

Tabel 17. Hasil Signal to Ratio (SNR) 80 GHz (Repeater-ed)

Hasil nilai SNR terdapat pada tabel 17 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Repeater-ed, hasil dari nilai SNR yang diperoleh semuanya memiliki kinerja yang baik.

Nilai tertinggi dari tabel 17 terdapat pada kanal 196,10 di daya 8 dBm bernilai 56,342.

Gambar 11. Perbandingan Nilai Daya SNR (Signal to Noise Ratio) Repeater-ed

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter SNR

(Signal to Noise Ratio) yang konfigurasi Repeater-ed dengan

frequency 40 GHz dan 80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar

11. Hasil kinerja rata-rata mendapatkan hasil paling maksimal

pada daya 4 dBm dengan frequency 80 GHz.

(8)

C. Konfigurasi Cascade

Tabel 18. Hasil Bit Error Rate (BER) 40 GHz (Cascade)

Nilai BER terdapat pada tabel 18 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Cascade menggunakan 40 GHz, hasil dari nilai BER semuanya memenuhi standar BER yaitu 10

-

9

, dari hasil nilai BER tiap daya yang digunakan memiliki pengaruh pada hasil simulasi nilai BER. Nilai tertinggi dari tabel 18 terdapat pada kanal 195,38 di daya 0 dBm bernilai 7,46 x 10

-74

.

Tabel 19. Hasil Bit Error Rate (BER) 80 GHz (Cascade)

Nilai BER terdapat pada tabel 19 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Cascade menggunakan 80 GHz, hasil dari nilai BER semuanya memenuhi standar BER yaitu 10

-

9

, dari hasil nilai BER tiap daya yang digunakan memiliki pengaruh pada hasil simulasi nilai BER. Nilai tertinggi dari tabel 18 terdapat pada kanal 196,02 di daya 2 dBm bernilai 3,16 x 10

-104

.

Gambar 12. Perbandingan Nilai Daya BER (Bit Error Rate) Cascade

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter BER (Bit Error Rate) yang konfigurasi Cascade dengan frequency 40 GHz dan 80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar 12. Hasil kinerja rata-rata mendapatkan hasil paling maksimal pada daya 4 dBm dengan frequency 80 GHz.

Tabel 20. Hasil Q-Factor 40 GHz (Cascade)

Hasil nilai Q-Factor pada tabel 20 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu 6. Pada Q-Factor daya juga mempengaruhi hasil dari q-factor. Nilai tertinggi dari tabel 20 terdapat pada kanal 195,38 di daya 2 dBm bernilai 18,197.

Tabel 21. Hasil Q-Factor 80 GHz (Cascade)

Hasil nilai Q-Factor pada tabel 21 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu 6. Pada Q-Factor daya juga mempengaruhi hasil dari q-factor. Nilai tertinggi dari tabel 21 terdapat pada kanal 196,02 di daya 4 dBm bernilai 21,649.

Gambar 13. Perbandingan Nilai Daya Q-Factor Cascade

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter Q-Factor

yang konfigurasi Cascade dengan frequency 40 GHz dan 80

GHz, maka dapat dilihat pada gambar 13. Hasil kinerja rata-rata

(9)

mendapatkan hasil paling maksimal pada daya 4 dBm dengan frequency 80 GHz.

Tabel 22. Hasil Power Receiver 40 GHz (Cascade)

Hasil nilai Power Receiver pada tabel 22 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu -40 semuanya tidak ada yang melebihi -40. Nilai tertinggi dari tabel 22 terdapat pada kanal 195,74 di daya 8 dBm bernilai -5,001. Semakin kecil nilai Power Receiver maka semakin baik juga kinerjanya dalam jaringan.

Tabel 23. Hasil Power Receiver 80 GHz (Cascade)

Hasil nilai Power Receiver pada tabel 23 seluruhnya telah memenuhi standar yaitu -40 semuanya tidak ada yang melebihi -40. Nilai tertinggi dari tabel 23 terdapat pada kanal 195,78 di daya 8 dBm bernilai -4,326. Semakin kecil nilai Power Receiver maka semakin baik juga kinerjanya dalam jaringan.

Gambar 14. Perbandingan Nilai Daya Power Receiver Cascade Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter Power Receiver yang konfigurasi Cascade dengan frequency 40 GHz dan 80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar 14. Hasil kinerja rata-rata mendapatkan hasil paling maksimal pada daya 4 dBm dengan frequency 80 GHz.

Tabel 24. Hasil Signal to Ratio (SNR) 40 GHz (Cascade)

Hasil nilai SNR terdapat pada tabel 24 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Cascade, hasil dari nilai SNR yang diperoleh semuanya memiliki kinerja yang baik.

Nilai tertinggi dari tabel 24 terdapat pada kanal 195,38 di daya 8 dBm bernilai 54,672.

Tabel 25. Hasil Signal to Ratio (SNR) 80 GHz (Cascade)

Hasil nilai SNR terdapat pada tabel 25 merupakan hasil simulasi menggunakan konfigurasi Cascade, hasil dari nilai SNR yang diperoleh semuanya memiliki kinerja yang baik.

Nilai tertinggi dari tabel 25 terdapat pada kanal 195,38 di daya 4 dBm bernilai 58,004.

Gambar 15. Perbandingan Nilai Daya SNR (Signal to Noise Ratio) Cascade

Pada hasil perbandingan kinerja rata-rata parameter SNR

(Signal to Noise Ratio) yang konfigurasi Cascade dengan

frequency 40 GHz dan 80 GHz, maka dapat dilihat pada gambar

15. Hasil kinerja rata-rata mendapatkan hasil paling maksimal

pada daya 8 dBm dengan frequency 80 GHz.

(10)

D. Perbandingan Kinerja Rata-rata Konfifurasi Repeater-less, Repeater-ed, Cascade

Tabel 26. Perbandingan Nilai Parameter pada Frequency 40 GHz Menggunakan Konfigurasi Repeater-less,

Repeater-ed, Cascade

Tabel 27. Perbandingan Nilai Parameter pada Frequency 80 GHz Menggunakan Konfigurasi Repeater-less,

Repeater-ed, Cascade

Tabel 26 dan 27 dari parameter BER (Bit Error Rate), Q- Factor, Power Receiver, dan SNR (Signal to Noise Ratio) menggunakan konfigurasi Repeater-less, Repeater-ed, dan Cascade dengan dua buah frequency yaitu frequency 40 GHz dan frequency 80 GHz yang dimana setiap frequency

menggunakan 10 kanal atau wavelength dengan menggunakan lima variasi daya yaitu 0 dBm, 2 dBm, 4 dBm, 6 dBm, dan 8 dBm. Hasil kinerja terbaik rata-rata dari parameter BER (Bit Error Rate) yaitu menggunakan konfigurasi Repeater-ed dengan frequency 80 GHz, hasil kinerja terbaik rata-rata dari parameter Q-Factor yaitu menggunakan Cascade pada frequency 80 GHz, hasil kinerja terbaik rata-rata dari parameter Power Receiver yaitu menggunakan konfigurasi Repeater-less pada frequency 80 GHz, serta hasil kinerja terbaik rata-rata dari parameter SNR (Signal to Noise Ratio) yaitu menggunakan konfigurasi Cascade pada frequency 80 GHz.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil simulasi dan analisis yang telah dilakukan pada skripsi / tugas akhir ini, maka dapat disimpulakan bahwa :

1. Berdasarkan analisis serta pemodelan simulasi yang telah dilakukan dengan menggunakan konfigurasi branching unit serta menggunakan konfigurasi penguat/amplifier repeater- less, repeater-ed, dan cascade dengan 10 kanal dan 2 buah frequency (40 GHz dan 80 GHz) yang menggunakan 5 variasi daya (0 dBm, 2 dBm, 4 dBm, 6 dBm, 8 dBm). Seluruh kanal memiliki kinerja yang baik karena hasil atau nilai memenuhi bahkan melampaui standar yang telah ditentukan. Yaitu standar BER (Bit Error Rate), Q-Factor, Power Receiver, dan SNR (Signal to Noise Ratio).

2. Hasil nilai konfigurasi Repeater-less menggunakan penguat/amplifier EDFA yang menggunakan frequency 40 GHz dan 80 GHz yang menghasilkan nilai terbaik atau kinerja terbaik pada paramerter BER yaitu bernilai 1,11 x 10

-80

, Q- Factor bernilai 21,243, Power Receiver bernilai -4,326, SNR bernilai 56,243. Hasil nilai konfigurasi Repeater-ed menggunakan penguat/amplifier EDFA yang menggunakan frequency 40 GHz dan 80 GHz yang menghasilkan nilai terbaik atau kinerja terbaik pada paramerter BER yaitu bernilai 1,04 x 10

-104

, Q-Factor bernilai 21,685, Power Receiver bernilai - 4,384, SNR bernilai 56,342. Hasil nilai konfigurasi Cascade menggunakan penguat / amplifier EDFA yang menggunakan frequency 40 GHz dan 80 GHz yang menghasilkan nilai terbaik atau kinerja terbaik pada paramerter BER yaitu bernilai 2,40 x 10

-104

, Q-Factor bernilai 21,649, Power Receiver bernilai - 4,326, SNR bernilai 58,004. Seluruh konfigurasi menghasilkan nilai terbaik dengan menggunakan frequency 80 GHz,

3. Nilai hasil terbaik atau nilai tertinggi tiap parameter pada pemodelan simulasi menggunakan konfigurasi branching unit, parameter BER (Bit Error Rate) pada konfigurasi Cascade dengan frequency 80 GHz, parameter Q-Factor pada konfigurasi Repeater-ed dengan frequency 80 GHz, parameter Power Receiver pada konfigurasi Repeater-less dan Cascade dengan frequency 80 GHz, parameter SNR (Signal to Noise Ratio) pada konfigurasi Cascade dengan frequency 80 GHz.

Namun dari hasil rata-rata perbandingan kinerja tiap

konfigurasi penguat/amplifier yang terdapat pada tabel 26 dan

27 yang memiliki kinerja terbaik pada tiap parameter yaitu,

parameter BER (Bit Error Rate) pada konfigurasi Repeater-ed

dengan frequency 80 GHz, parameter Q-Factor pada

(11)

konfigurasi Cascade, parameter Power Receiver pada konfigurasi Repeater-less dengan frequency 80 GHz, parameter SNR (Signal to Noise Ratio) pada konfigurasi Cascade dengan frequency 80 GHz. Sehingga konfigurasi yang digunakan untuk SKKL (Sistem Komunikasi Kabel Laut) dapat disesuaikan dengan kebutuhan, ingin mendapatkan hasil nilai paling maksimal atau ingin mendapatkan kinerja rata-rata terbaik pada parameter yang dibutuhkan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis berterima kasih kepada IT Telkom Purwokerto seluruh Staf dan karyawan serta keluarga, teman, dan sahabat yang terkait atas dukungan moril maupun material dalampelaksanaan penelitian dan publikasi ini.

D

AFTAR PUSTAKA

[1] A. H. ,. A. D. P. Ahyadan Weka Pratomo,

"PERENCANAAN OPTICAL AMPLIFIER PADA JARINGAN PALAPA RING UNTUK LINK AMBON (MALUKU) - SORONG (PAPUA)," e-Proceeding of Engineering, vol. IV, no. 1, p. 79, 2017.

[2] A. H. I. M. A. D. P. S. M. Arumadina Islamiq, "Analisis Perbandingan Performansi Posisi Penguat Optik Hybrid SOA - EDFA (Semiconductor Optical Amplifier - Erbium Doped Fiber Amplifier) in A System DWDM (Dense Wavelenght Division Multiplexing) Based Solition," e-Proceeding of Engineering, vol. IV, no. 1, p.

132, 2017.

[3] K. S. A. H. Bagas Sidiq Haryanto, "Perencanaan Sistem Komunikasi Kabel Laut Jasuka Link Alternatif Tanjung Pakis-Pontianak," e-Proceeding of Engineering , vol. VI, no. 2, p. 4679, 2019.

[4] I. H. M. M. H. J. Bima Kurnia Marahsakti A.karel,

"PERANCANGAN PENGGUNAAN PENGUAT OPTIK PADA JARINGAN SISTEM KOMUNIKASI KABEL LAUT (SKKL) DI JALUR SISTEM INDONESIA GLOBAL GATEWAY (IGG)," e- Proceeding of Engineering, vol. V, no. 1, p. 744, 2018.

[5] I. G. G. C. S.-S. Contract, "Indonesia global gateway cabl systemsupply contract-section3," Indonesia Global Gateway Cabl System-Supply Contract-Section3, 2014.

[6] S. S. N. H. Fitria Ayu Nurdiana, "Perancangan dan Analisis Sistem Komunikasi Serat Optik Link Makassar- Maumere Menggunakan DWDM," JNTETI, vol. IV, no.

3, 2015.

[7] K. Gunadi Dwi Hantoro, Fiber Optik, Bandung:

Informatika Bandung, 2015.

[8] M. Hariyadi, "Sistem Komunikasi Fiber Optik Dan Pemanfaatannya Pada PT.Semen Padang," Rang Teknik Journal , vol. I, no. 1, 2018.

[9] M. Jauhari, "Submarine cable system challenges dan opportunities," Telkom Indonesia, 2014.

[10] I. H. M. M. H. J. Muhammad Rayhan Hasibuan,

"PERENCANAAN PENGGUNAAN PERANGKAT PEMBAGI UNTUK KOMUNIKASI KABEL LAUT DI JALUR INDONESIA GLOBAL GATEWAY (IGG)," e- Proceeding of Engineering, vol. V, no. 1, p. 799, 2018.

[11] A. Wilman, Simulasi dan Analisis Raman Optical

Amplifier (ROA) untuk Sistem Komunikasi Jarak Jauh

pada Link Soliton, Bandung: Skripsi S.T., Fak. Elektro

dan Komunikasi, Inst. Teknologi Telkom, 2010.

(12)
(13)
(14)

Referensi

Dokumen terkait

h deretan bit p ran dari demap kan untuk da digital serial kukan konver ralel secara be an bentuk par an mengubah Data terima s gkan dengan menentukan k Decomposition) OWDM m rm

Pengaruh Keputusan Pendanaan dan Keputusan Investasi terhadap Nilai Perusahaan dengan Kebijakan Dividen sebagai Variabel Intervening pada Sektor Manufaktur yang

Berdasarkan data hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara media Dakota pada pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar

Tanggapan responden terhadap item pertanyaan job insecurity paling banyak menjawab setuju artinya bahwa karyawan outsourcing di PT Askes (Persero) merasa tidak

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pesta laut nadran untuk dijadikan sebagai sumber pembelajaran yang

[r]

Warna Dunia, menyatakan bahwa setiap depo memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, untuk menjamin dan mengontrol seluruh pengeluaran kegiatan operasional di

Psikologi komunitas lebih melihat ancaman terhadap kesehatan mental dari lingkungan sosial atau konflik/ ketidakcocokan antara individu