• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Liberalisme Institusional

Pada abad ke tujuh belas, liberalisme mulai hadir di dalam ilmu hubungan internasional, dimulai dari John Locke dengan memandang pada kemajuan manusia dalam civil society dan ekonomi kapitalis modern yang mampu berkembang di negara-negara yang menjamin kebebasan individu. Kemudian Bentham dengan melihat negara liberal menghormati hukum internasional (Jackson & Sorensen, 2013: 174-176). Paska Perang Dunia II, liberalisme dikelompokkan dalam empat aliran utama, diantaranya liberalisme sosiologi, interdependensi institusional, dan republikan. Terkait empat aliran utama liberalisme tersebut untuk menunjukan aspek-asek yang sangat diperlukan dari pemikiran kaum liberal mengenai hubungan internasional (Jackson & Sorensen, 2013: 178). Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan teori liberalisme institusional sebagai dasar dalam penelitian ini.

Dasar berpikir teori liberalisme institusional tentang kegunaan dari suatu institusi internasional lahir dari pemikiran Woodrow Wilson yang merupakan mantan presiden Amerika Serikat. Dimana dengan visi Woodrow Wilson yang ingin membuat dunia aman bagi demokrasi atau mengganti hubungan internasional dari hutan politik kekuasaan yang buruk menjadi kebun binatang yang teratur serta damai. Terkait hal ini kemudian ditandai dengan terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) berdasarkan pada Konferensi Perdamaian Paris pada tahun 1919. Institusi internasional adalah kepentingan yang independen dan dapat mengembangkan kerjasama antar negara (Jackson & Sorensen, 2013: 61). Menurut kaum liberal institusional, organisasi internasional adalah seperangkat aturan yang mengatur tindakan negara dalam bidang tertentu. Seperangkat aturan ini juga dapat dikatakan sebagai ‘rezim’ (Jackson & Sorensen, 2013: 192-193).

Institusi memiliki dua sifat yaitu institusi yang bersifat global, seperti PBB, dan institusi yang bersifat regional seperti Uni Eropa dan ASEAN. Kaum liberalisme institusional menyatakan bahwa institusi internasional membantu untuk meningkatkan kerja sama diantara negara-negara. Terkait hal ini artinya bahwa adanya institusi internasional untuk mengatur negara-negara anggotanya dengan

(2)

9

aturan yang telah dibuat ataupun disepakati bersama demi kepentingan bersama (Jackson & Sorensen, 2013: 193). Liberalisme institusional juga beranggapan bahwa walaupun negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional, tetapi tidak hanya negara yang merupakan aktor sangat berpengaruh. Negara adalah aktor rasional serta terus berupaya agar mendapatkan kepentingan nasional dalam bidang apapun. Dan di tengah perselisihan, negara menyerahkan sumber dayanya kepada institusi, jikalau dapat menguntungkan satu sama lain serta dapat memenuhi kepentingan nasional (Lamy, 2011).

Institusi internasional yang dipercaya mampu meningkatkan kerja sama diantara negara-negara anggotanya dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan ilmiah behavioralistik. Langkah empiris perluasan institusionalisasi antar negara digunakan untuk meningkatkan kerjasama kemudian dinilai. Perluasan tersebut bisa diukur dengan beberapa dimensi, diantaranya kedalaman dan ruang lingkung.

Dimana dimensi ruang lingkup terkait dengan jumlah bidang isu yang terdapat institusi. Dan dimensi kedalaman terdapat tiga langkah yang digunakan untuk menilai kedalaman institusionalisasi yaitu sebagai berikut:

1. Kebersamaan: Dimana setiap harapan terdapat perilaku dan pemahaman yang sama terkait menginterpretasikan tindakan dibagi bersama oleh semua partisipan dalam sistem tersebut.

2. Kekhususan: Dimana semua harapan itu hanya dalam bentuk aturan-aturan.

3. Ottonom: Dimana institusi dapat menggantikan aturannya sendiri daripada tergantung pada badan-badan ataupun agen-agen asing, seperti negara untuk melakukan hal tersebut (Jackson & Sorensen, 2013: 193-194).

Terdapat tiga peran institusi menurut Keohane (1989) dalam bukunya Robert Jackson & Georg Sorensen yaitu:

1. Menyiapkan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi.

2. Meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memonitor kekuatan lain dan mengimplementasikan komitmennya sendiri sehingga kemampuannya dalam membuat komitmen yang dapat dipercaya menjadi hal utama

(3)

10

3. Dan memperkuat harapan yang muncul mengenai kesolidan dari kesepakatan internasional.

Menurut liberalisme institusional, hubungan internasional di dalam suatu lembaga atau institusi dapat memberikan dampak terhadap perilaku pemerintahan, dimana bentuk kerja sama maupun konflik dapat dimengerti di dalam konteks lembaga atau institusi yang menolong untuk memberikan penjelasan terkait makna pentingnya suatu perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh setiap negara.

Pemerintah bisa menempuh tindakan atau perilaku yang sesuai aturan institusi, serta lembaga atau institusi bisa menolong semua anggotanya agar dapat memperoleh keuntungan bersama.

Teori liberalisme institusional menolong peneliti dalam menganalisis peran ASEAN Social Cultural Community melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap di Kalimantan Tengah pada tahun 2015-2019. Dikatakan demikian, karena teori liberalisme institusional akan membantu peneliti untuk melihat terkait pentingnya peran organisasi internasional atau institusi, dalam hal ini ASEAN melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang telah diberlakukan oleh ASEAN.

2.2 Konsep Organisasi Internasional

Gagasan pemikiran terkait dengan organisasi internasional sudah mulai tumbuh pada zaman Yunani Kuno yang ditandai dengan adanya Liga Amphictyonic (Amphictyonic League) yang merupakan model pertama dari bentuk organisasi kerjasama antar dua belas negara-kota dan wilayah kesukuan yang menjadi anggotanya, untuk mempertahankan tempat suci Delphi. Kemudian pemikiran- pemikiran untuk pembentukan organisasi kerjasama regional maupun internasional mulai ada lagi setelah perjanjian perdamaian Westphalia pada tahun 1648.

Perjanjian Westphalia merupakan awal pengakuan terhadap sistem negara bangsa dan sistem perimbangan kekuatan, yang masih diterapkan sampai sekarang.

Dan pada tahun 1713 terdapat perjanjian perdamaian Utrecht, yang mana menegaskan bahwa perimbangan kekuatan adalah kunci untuk menghindari

(4)

11

kecenderungan agresi dan menciptakan perdamaian. Selain itu, berkembang juga prinsip non-intervensi seperti dalam Kongres Wina pada tahun 1856 dan doktrin Monroe pada tahun 1823. Selain itu, adapun perjanjian Paris yang mengatur tentang hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri atau self-determination, paska perang Krim. Kemudian organisasi yang ruang lingkupnya secara global dengan bidang kegiatan yang luas baru dirintis pada masa berlangsungnya Den Haag (Hague Conference) I pada tahun 1899 dan Hague Conference II pada tahun 1907, yang kemudian terus berkembang hingga pada tahun 1920 terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa melalui perjanjian di Versailles dan pada tahun 1945 terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui perjanjian San Fransisco (Teuku May Rudy, 2005: 15-16).

Menurut Daniel S. Cheever & H. Field Haviland Jr (1967: 6) dalam bukunya Teuku May Rudy menyatakan bahwa organisasi internasional merupakan “any cooperative arrangement instituted among state, usually by a basic agreement, to perform some mutually advantageous functions implemented trough periodic meetings and staff activities”. Artinya bahwa setiap pengaturan kerjasama antar negara yang dilembagakan, biasanya berdasarkan pada suatu perjanjian atau kesepakatan yang saling menguntungkan dan dilaksanakan melalui pertemuan berkala.

Selian itu, organisasi internasional didefinisikan juga sebagai bentuk kerja sama yang melintasi batas-batas negara berdasarkan pada struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga demi untuk tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah ataupun antara kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda (Teuku May Rudy, 2005: 3).

Tujuan setiap organisasi internasional terdapat pada Piagam (Charter) atau Statuta yang membentuk dan mendirikan organisasi internasional tersebut. Terkait hal ini seperti tujuan PBB terdapat pada Charter of the United Nation 1945, kemudian tujuan Uni Eropa terdapat pada Perjanjian Maastricht 1992, dan tujuan ASEAN terdapat pada Deklarasi Bangkok 1967 (Teuku May Rudy, 2005: 30-31).

(5)

12

Selain itu, pembentukan organisasi internasional juga memiliki peran yaitu, sebagai berikut:

1. Organisasi internasional berperan sebagai forum atau wadah untuk menggalang kerjasama dan untuk menimalisir intensitas konflik antar negara anggota.

2. Organisasi internasional berperan sebagai sarana untuk negosiasi dan menghasilkan keputusan bersama yang saling menguntungkan.

3. Organisasi internasional berperan untuk melaksanakan kegiatan sosial kemanusiaan, ekonomi, pertahanan dan kemananan, serta pelestarian lingkungan hidup, dan lain-lain (Teuku May Rudy, 2005: 27).

2.3 Konsep Regionalisme

Regionalisme dipahami sebagai sebuah konsep yang didalamnya terdapat pertimbangan politis untuk membentuk sebuah entitas yang mewadahi relasi antar pemerintah di dalam sebuah macroregion. Terkait hal ini, bertujuan untuk meningkatkan kohesivitas di bidang ekonomi, politik, budaya dan isu lainnya, termasuk isu lingkungan dalam hal ini pencmaran kabut asap lintas batas negara.

Dimana yang berasal dari hubungan antara private and civic activities ataupun berasal dari yang dilakukan oleh negara. Dalam hal ini, artinya bahwa regionalisme adalah sebuah policy-driven dan top-down process, dimana dikelolah oleh pemerintah dan other state actors (Karolina Klecha, 2017: 9).

Regionalisme menjadi semakin penting sebagai faktor yang mempengaruhi karakter hubungan internasional di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan, serta masalah lingkungan. Berdasarkan pespektif kontemporer, suatu wilayah melampaui pengertian geografisnya yang ketat, artinya bahwa suatu wilayah ditentukan oleh hubungan ekonomi, budaya, dan politik yang seringkali melampaui wilayah negara tertentu, serta pada saat yang sama dihubungkan dengan suatu institusi yang berkonstribusi pada pembangunan ekonomi, kohesi sosial, dan perlindungan lingkungan (Karolina Klecha, 2017: 8).

Terkait hal diatas, terdapat definisi regionalisme yang berfokus pada area kelembagaan atau institusi. Terkait hal ini, seperti menurut Ravenhill, dimana ia

(6)

13

menyatakan bahwa regionalisme merupakan pengembangan kerjasama yang dilembagakan atau melalui suatu institusi yang didasarkan oleh hubungan bertetangga antar negara atau aktor lain dalam suatu regional. Terkait hal ini untuk strategi bersama dan implementasi terkait segala jenis perencanaan ataupun perjanjian yang telah disepakati bersama. Selain itu, untuk tujuan mempromosikan integrasi ekonomi regional dan sebagai kecenderungan suatu wilayah untuk mempertahankan atau meningkatkan manfaat interaksi regional melalui pengembangan lembaga dan berbagai jenis mekanisme untuk menetapkan, memantau dan menegakkan standar interaksi (Karolina Klecha, 2017: 12).

Dari beberapa hal diatas, dapat dipahami bahwa regionalisme adalah praktik koordinasi aktivitas-aktivitas sosial, ekonomi, dan politik di dalam sebuah wilayah geografis, yang mungkin merupakan bagian dari suatu negara atau mencakup sejumlah negara. Pada tingkat kelembagaan atau institusi, regionalisme melibatkan pertumbuhan norma-norma, aturan-aturan, dan struktur-struktur melalui mana koordinasi diselenggarakan. Kemudian pada level efektif, regionalisme mengimplikasikan penyelarasan kembali identitas-identitas dan loyalitas-loyalitas politik dari setiap negara pada wilayah atau institusi tersebut (Andrew Heywood, 2014: 695).

2.4 Konsep Transboundary Haze Pollution

Definisi tentang transbodary haze pollution merupakan salah satu permasalahan internasional yang seringkali telah dibahas dalam forum-forum internasional. Terkait hal ini, dimana menurut article 1 dari 1979 Convention On Long-Range Transboundary Air Pollution menyatakan bahwa long-range transboundary air pollution means air pollution whose physical origin is situated wholly on in part within the area under the national jurisdiction of one State and which has adverse effects in the area under the jurisdiction of another State at such a distance that it is not generally possible to distinguish the contribution of individual emission sources or groups of sources. Artinya bahwa Long-range transboundary air pollution merupakan pencemaran udara yang berasal dari yuridiksi nasional suatu negara, yang kemudian menyebar atau terdapat di yuridiksi nasional negara lain dan berdampak buruk bagi negara lain tersebut (unece.org).

(7)

14

Terkait dengan transboundary haze pollution, kemudian secara spesifik didefinisikan dalam article 1 dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang menyatakan bahwa transboundary haze pollution means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of another Member State. Artinya bahwa polusi kabut asap lintas batas merupakan pencemaran kabut asap yang berasal dari yuridiksi satu negara anggota ASEAN, yang kemudian kabut asap tersebut menyebar atau terdapat didalam yuridiksi negera anggota ASEAN lainnya.

Selain itu, dalam article 1 dari ASEAN Agreement on Tranboundary Haze Pollution juga menyatakan bahwa haze pollution means smoke resulting from land and/or forest fire which causes deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living resources and ecosystems and material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment.

Artinya bahwa pencemaran kabut asap itu sendiri merupakan asap yang berasal dari kebakaran hutan atau lahan, yang kemudian berdampak buruk terhadap alam, kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, ekosistem, serta menggangu fasilitas dan sebagainya (haze.asean.org).

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang AATHP telah dilakukan oleh beberapa penelitian terdahulu yaitu:

Penelitian pertama dari sebuah skripsi oleh Shofi Aliyah Rahmi pada tahun 2017. Shofi Aliyah Rahmi adalah seorang mahasiswi program studi ilmu hubungan internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam skripsinya membahas tentang “Keputusan Indonesia Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) Tahun 2014”. Jenis penelitian yang dipakai yaitu deskriptif kualitatif serta jenis data sekunder yang dianalisis menggunakan konsep kerjasama internasional. Hasil dari penelitiannya adalah terdapat beberapa faktor yang kemudian mendorong Indonesia untuk meratifikasi AATHP pada tahun 2014 baik faktor secara internal ataupun faktor eksternal. Faktor internal yaitu, adanya keputusan dari dewan legislatif yaitu DPR

(8)

15

RI, kemudian adanya desakan dari masyarakat Indonesia dan LSM seperti WALHI dan WWF melalui aksi unjuk rasa untuk mendorong pemerintah Indonesia bertanggungjawab atas permasalahan tersebut. Dengan menegakan hukum secara tegas terhadap para pembakar hutan baik perseorangan maupun suatu perusahan tententu. Dan untuk memperbaiki citra Indonesia di mata negara lain terutama negara-negara anggota ASEAN terkait isu kabut asap lintas batas negara. Dan faktor eksternal yaitu adanya desakan dari negara-negara anggota ASEAN, terutama Malaysia dan Singapura dan adanya bantuan ekonomi serta kerjasama teknis dari ASEAN dalam mengatasi permasalahan kabut asap lintas batas negara.

Terkait kedua faktor ini, kemudian pada tahun 2014, Indonesia memutuskan untuk meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP).

Penelitian kedua dari sebuah Jurnal oleh Siciliya Mardian Yo’el pada tahun 2016. Siciliya Mardian Yo’el adalah seorang mahasiswi Universitas Islam Kadiri, yang membahas tentang “Efektivitas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Dalam Penanggulangan Pencemaran Asap Lintas Batas di ASEAN”. Jen is penelitian yang dipakai ialah deskriptif kualitatif serta menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan pertama menggunakan teori Dualisme, kemudian pendekatan kedua menggunakan teori Monisme, dan pendekaran ketiga menggunakan teori Harmonisasi. Hasil dari penelitiannya adalah ternyata implementasi dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) tidak berlaku efektif dalam hukum nasional setiap negara yang meratifikasi kesepakatan tersebut, terkecuali Singapura yang telah mempunyai hukum domestik yaitu Singapore’s Transboundary Haze Pollution Act 2014, Bill No.18/2014.

Penelitian ketiga dari jurnal oleh Dinarjati Eka Puspitasari dan Agustina Merdekawati pada tahun 2007. Eka Puspitasari dan Agustina Merdekawati adalah dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yang membahas tentang “Pertanggungjawaban Indonesia Dalam Penyelesaian Kasus Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan Berdasarkan Konsep State Responsibility”.Menggunakan jenis penelitian kualitatiff serta menggunakan data sekunder dan data primer, kemudian dianalisis menggunkan konsep State Responsibility. Hasil dari penelitian ini adalah pertanggungjawaban Indonesia

(9)

16

terkait adanya polusi kabut asap lintas batas meliputi rezim pertanggungjwaban negara yaitu rezim liability, kriteria pertanggungjawaban dengan konsep strict liability. Kemudian tanggung jawab murni oleh pemerintah Indonesia dengan mengganti kerugian berlandaskan pada pernjanjian atau kesepakatan pihak terkait.

Dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap lintas batas, Indonesia mendapatkan krisis kepercayaan, oleh sebab itu Indonesia meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari negara lain.

Penelitian ini mempunyai beberapa persamaan terkait tiga penelitian diatas, terkhususnya terkait jenis penelitian. Terkait jenis data, penelitian ini hanya mempunyai kesamaan dengan penelitian ketiga. Kemudian dari segi pembahasan tentunya berbeda dari ketiga penelitian terdahulu tersebut, karena peneliti akan membahas tentang “peran ASEAN Social Cultural Community melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap di Kalimantan Tengah 2015-2019”. Selain itu, terdapat perbedaan lain yaitu penggunaan konsep ataupun teori. Dimana dalam penelitian ini akan menggunakan konsep organisasi internasional, regionalisme, dan transboundary haze pollution, serta menggunakan teori liberalisme institusional dalam menganalisis.

(10)

17 2.6 Kerangka Pikir

Dari kerangka pikir diatas, peneliti mencoba untuk memulai pembahasan terkait polusi kabut asap di Indonesia termasuk daerah Kalimantan Tengah yang menghasilkan polusi kabut asap lintas batas di kawasan ASEAN merupakan salah satu organisasi internasional dengan menggunakan konsep regionalisme. Kemudian peneliti menguraikan melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) dengan menggunakan konsep transboundary haze pollution. Dan peneliti juga akan menghubungkan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) ke teori liberalisme institusional, dimana teori liberalisme institusional digunakan untuk melihat peran ASEAN Social Cultural Community melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap di Kalimantan Tengah pada tahun 2015- 2019. Berdasarkan beberapa hasil yang terlihat, peran ASEAN Social Cultural Community melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) di Indonesia untuk mengatasi permasalahan polusi kabut asap di Kalimantan Tengah masih lemah.

Kalimantan Tengah

AATHP

Teori Liberalisme Institusional

Peran ASCC Melalui AATHP di Kalimantan Tengah Konsep Regionalisme

Konsep Transboundary Haze Pollution

Indonesia

ASEAN Organisasi

Internasional

Referensi

Dokumen terkait

UAN Sket tend prism oran perl

Dari pendapat para ahli tersebut, peneliti menggabungkan dan menyuntingnya sebagai landasan teori penelitian, bahwa proses pembentukan kata ragam bahasa coretan pada meja

CPDW Indo Setu Bara Resources Tbk 19.. Citra

Karena tujuan penelitian ini adalah untuk memahami peranan aspek lingkungan dalam Manjemen Aset Infrastruktur, penelitian ini dilakukan dengan menguraikan pengertian aspek dan

Pada awal sebelum dibuatnya IPAL komunal, warga Dusun Mendak, Giri Sekar, Gunung Kidul tertarik akan pembangunan IPAL komunal melalui sosialisasi pada saat pertemuan rutin. Warga

Good Manufacturing Practices (GMPs), penjaminan mutu dan strategi pemasaran yang profesional sehingga bisa menghasilkan produk yang hieginis dan berdaya saing sebagai

Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan ini dibatasi pada balita usia 24-59 bulan di Puskesmas Cihampelas Kabupaten Bandung Barat sebagai target populasi dan

Kami di sini tidak mampu mengisyaratkan berbagai pemikiran klasik. Tetapi, kami akan menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran klasik menurut pendapat kami. Pada masa