• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DIREKTORAT KRIMINAL KHUSUS KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DIREKTORAT KRIMINAL KHUSUS KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI SELATAN"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

iii MahaEsakarenatelahmemberikankekuatandankemampuansehinggapenelitianini yang berjudul ANALISIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DIREKTORAT KRIMINAL KHUSUS KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI SELATAN bisaselesaitepatpadawaktunya.Adapuntujuandaripenyusunanpenelitianiniadalahuntuk memenuhitugasakhirkuliah.

Penulisan skripsi ini bermaksud untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum Universitas Bosowa Makassar. Disamping itu skripsi ini juga di harapkan dapat memberi Manfaat dan menambah wawasan bagi setiap individu yang membacanya.

Dalam penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan beberapa pihak baik baik secara langsung maupun tidak langsung berupa materi, pikiran, motivasi serta petunjuk-petunjuk sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana adanya

Untuk itu, lewat kata pengantar ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada segenap unsur yang telah membantu penulisan untuk sampai ditahap ini, yaitu

1. Ayahanda AKP Abd. Samad, SH. MH dan Ibunda AKP Kun Sudarwati, beserta seluruh keluarga tercinta yang telah mendoakan dan memberikan motivasi baik secara material maupun spiritual.

(6)

iv Bosowa Makassar

3. Bapak Dr. Almusawir, SH, MH Selaku Ketua Prodi Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar

4. Bapak Basri Oner, SH., MH Selaku Pembimbing II penulis yang telah memberikan bimbingan, arahan dan nasehat dalam penyusunan skripsi ini 5. Bapak Prof. Dr. Marwan Mas., SH., MH. Selaku Pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, arahan dan nasehat dalam penyusunan skripsi

6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas bosowa yang telah memberikan ilmu dan pendidikannya kepada penulis sehingga wawasan penulis bisa bertambah serta seluruh staf fakultas hukum Universitas Bosowa

7. Kepala Kepolisian Direktorat Kriminal Khusus Sulawesi - Selatan tempat penulis melaksanakan penelitian. Terimakasih atas waktu yang telah disediakan dan data serta penjelasan yang diberikan

8. Sahabat-sahabat tercinta ku, Aslan, Imam, Risal, Aslam, Ratih Tahir, Irwandi dan seluruh teman-teman angkatan 2014

9. Segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas doa, motivasi dan bantuannya.

(7)

vi

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan danManfaatPenelitian ... 7

1.4 MetodePenelitian ... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Lokasi Penelitian ... 11

2.2 Jenis dan sumber Data ... 11

2.3 Tehnik Pengumpulan Data ... 12

2.4 Analisis Data ... 12

2.5 Pengertian Penyidikan ... 12

2.6 Proses Penyidikan ... 14

2.7 Korupsi ... 20

a. PengertianTindak Pidana Korupsi ... 20

b. Sejarah Perundang-Undangan Korupsi ... 24

c. LatarBelakangLahirnyaPeraturanPerundang-Undangan Korupsi... 25

(8)

vi

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan danManfaatPenelitian ... 7

1.4 MetodePenelitian ... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Lokasi Penelitian ... 11

2.2 Jenis dan sumber Data ... 11

2.3 Tehnik Pengumpulan Data ... 12

2.4 Analisis Data ... 12

2.5 Pengertian Penyidikan ... 12

2.6 Proses Penyidikan ... 14

2.7 Korupsi ... 20

a. PengertianTindak Pidana Korupsi ... 20

b. Sejarah Perundang-Undangan Korupsi ... 24

c. LatarBelakangLahirnyaPeraturanPerundang-Undangan Korupsi... 25

(9)

BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

3.1 Proses penyelidikanTindakPidanaKorupsi Yang DilakukanOlehDirektoratReserse KriminalKhususKepolisian Daerah Sulawesi Selatan ... 42

3.2 Penindakan ... 47

3.3 Hambatan Yang di HadapiDalam Proses PenyelidikanTindakPidanaKorupsi Yang DilakukanOlehDirektoratReserseKriminal KhususKepolisian Daerah Sulawesi Selatan... 59

BAB 4 PENUTUP ... 63

4.1 Kesimpulan ... 63

4.2 Saran... 64

vii

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktek – praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok orang tertentu yang menyuburkan korupsi kolusi dan nepotisme yang melibatkan para pejabat Negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi – sendi penyelenggaraan Negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.

Dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggaraan negara yang dapat dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat Negara dan mantan pejabat Negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sepanjang yang bisa diamati, praktik korupsi sudah begitu merusak di Indonesia. Begitu parahnya bentuk penyalah gunaan wewenang itu malah dianggap sebagai sebuah praktik yang lumrah. Melihat kondisi itu, tidak heran kalau dalam beberapa tahun terakhir lembaga riset Political and Economic Risk Consultancy (PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara korupsi di Asia. Predikat serupa datang pula dari Transparancy Internasional yang selalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup di dunia. (Saldi Isra dan Eddy Q.S. Hiariej.

2009.554).

(11)

Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan – tujuan hukum, Ide – ide hukum menjadi kenyataan berdasarkan amanat Undang – undang Kepolisian sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Menurut Soerjono Soekanto (1983.5) hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapinya penegakan hukum yang diharapkan, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan strategis dalam suatu negara hukum karena kepolisian menjadi titik awal proses penyelidikan dan penyidikan, sehingga keberadaanya dalam kehidupan masyarakat mampu mengembangkan tugas penegakan hukum.

Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat Negara, mantan pejabat Negara, dan kroni – kroninya maupun pihak swasta/konglomerat dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak – hak asasi manusia.

Dalam bidang penegakan hukum yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana, Polri digunakan oleh pemerintah sebagai sebuah lembaga penyidik utama yang mengurusi setiap kejahatan secara umum dengan tujuan untuk menciptakan keamanan di dalam negeri. Hal ini telah diatur

(12)

dalam KUHP. Pasal 16 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 sudah menyatakan tentang Kepolisian Republik Indonesia dan kewenangannya.

Dalam negeri, Kepolisian Republik Indonesia menghadapi banyak tantangan yang semakin kompleks seperti pemberantasa Korupsi, pencucian uang, narkoba, terorisme, cybercrime, perdagangan orang, penyelundupan senjata api, kelompok – kelompok radikal dan intoleran.

Kejahatan tersebut sudah bersifat transnasional dan memiliki jaringan global. Salah satu diantara dari sekian banyaknya tindak pidana kejahatan yang ditangani oleh polri yakni korupsi.

Dalam pasal 44 Bab VII UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang menyatakan bahwa UU RI No. 3 Tahun 1971 tidak lagi selajan diundangkannya UU RI No. 31 Tahun 1999, untuk mengatasinya dilakukan amandemen sehingga keluar UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasa tindak pidana korupsi.

Namun penanganan korupsi oleh banyak kalangan dinilai tidak juga mengalami banyak peningkatan, sehingga keluarlah TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme. Tindak pidana korupsi digolongkan menjadi kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime sehingga untuk pemberantasannya juga harus dilakukan dengan cara- cara yang luar biasa.

(13)

Kepolisian sebagai garde dalam pemberantasan korupsi karena kepolisian memegang posisi sentral dalam penegakan hukum. Posisi sentral disebabkan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh kepolisian, dimana kepolisian berhak melakukan penyidikan dan penetapan tersangka pelaku tindak pidana korupsi.

Korupsi (corruption) merupakan tindak pidana yang berdampak serius dan luas dalam berbagai aspek dan dimensinya, sehingga sangat wajar jika digolongkan termasuk dalam kategori kejahatan kerah putih (whith coller crim), yang harus diberi perhatian serius dalam proses penanganannya/penegakannya dibandingkan dengan tindak pidana lain.

Penanganan tindakan pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian selama ini, menjadi salah misi utama diantara misi utama lainnya dan menjadi tugas pokok yang harus disukseskan sejalan dengan tuntutan reformasi di bidang penegakan hukum di Indonesia berbagai kebijakan dan petunjuk pimpinan kepolisian dalam upaya mendorong dan meningkatkan intensitas penenganan kasus-kasus tindak pidana korupsi oleh seluruh jajaran kepolisian di indonesia secara terus menerus seiring perkembangan kuantitas dan kualitas modus operandi kasus-kasus korupsi di indonesia.

Dibidang pidana, kepolisian mempunyi tugas dan wewenang antara lain melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Kewenangan dalam ketentuan tersebut sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

(14)

Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi.

(Marwan Effendy, 2005:145).

Dalam Konvensi Anti Korupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi oleh Negara republik Indonesia dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi Anti Korupsi, dengan tegas telah dirumuskan bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas batas teritorial, disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan manusia dan penyelundupan senjata api.

Salah satu unsur penegak hukum yang ada di Indonesia adalah Kepolisian Republik Indonesia ( POLRI ), POLRI selaku alat Negara sebagai penegak hukum dituntut untuk mampu melaksanakan tugas penegakan hukum secara profesional dibidang tidak pidana korupsi.

Upayah yang dilakukan guna memperteguh pemberantasan tindak pidana Korupsi diantaranya membuat, memperbaiki dan merevisi peraturan-peraturan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna menjerat koruptor dari jeratan hukum. Keberhasilan menjerat pelaku Tindak Pidana sangat bergantung pada aparat penegak hukum. Polri berwenang melakukan tugas Penyidikan kasus-kasus Korupsi Selain Polri, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki wewenang menyidik kasus Tindak pidana Korupsi. Polri melakukan tugas Penyidikan kasus-kasus Korupsi senantiasa berkordinasi dengan Jaksa Penuntut

(15)

Umum, untuk menghindari bolak-balik perkara secara berulang. untuk percepatan penyidikan kasus tindak pidana korupsi.

Polri sebagai Penyidik memberantas Tindak Pidana korupsi diberi tugas dan wewenang oleh undang-undang melakukan Penyelidikan/Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundangan lainnya. Dalam melakukan Penyelidikan/Penyidikan Polri mengumpulkan bukti-bukti dan menemukan tersangka Tindak Pidana Korupsi sesuai Pasal 5 dan Pasal 7 undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, undang undang nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, dan Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dalam melakukan penyelidikan/penyidikan Polda SULSEL mengumpulkan bukti-bukti dan menemukan tersangkah tindak pidana korupsi, namun yang penting adalah bagaimana peran penting Polda SULSEL dalam memberantas kejahatan tindak pidana korupsi yang ada di Wilayah Sulawesi Selatan Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang

“Analisis Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi-Selatan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah maka permasalahan yang diajukan dalam proposal ini adalah sebagai berikut :

(16)

1. Bagamanakah proses penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi- Selatan.

2. Hambatan apakah yang di hadapi dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi di Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi-Selatan.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian a) Tujuan Penelitian

Adapun tujuan pada penelitian ini tidak terlepas dari rumusan masalah diatas, yaitu:

1. Untuk mengetahui proses penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi-Selatan.

2. Untuk mengetahui hambatan apa yang dihadapi dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi di Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan.

b) Manfaat Penelitian

Adapun manfaat pada penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya dalam bidang ilmu hukum tindak pidana korupsi.

(17)

b. salah satu usaha untuk memperbanyak wawasan dan pengalaman serta menambah pengetahuan tentang proses penyidikan tindak pidana korupsi.

2. Manfaat praktis

Bagi masyarakat umum khusunya pejabat Negara bisa mendapatkan informasi yang lebih baik lagi dan gambaran lebih jelas mengenai analisis penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi-Selatan. Hasil pemikiran ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Mahasiswa, Dosen, dan pembaca pada umumnya tentang analisis penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi-Selatan.

1.4 Metode Penelitian

a) Pendekatan Masalah

1) Pendekatan Yuridis, yaitu pendekatan masalah dengan melakukan kajian aturan hukum atau peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan.

2) Pendekatan Empiris, yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan petugas penyidik tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan

(18)

b) Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian pada penelitian ini dilakukan di Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi-Selatan

Jenis dan Sumber Data

(1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dengan pihak kepolisisan yang bertugas melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

(2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan c) Teknik Pengumpulan Data

Sebagai tindak lanjut dalam memperoleh yang data akurat sesuai yang diharapkan, maka penulis melakukan teknik pengumpulan data berupa:

(1) Penelitian Lapangan (Field Research)

Dalam melakukan penelitian lapangan, penulis langsung melakukan wawancara untuk mendapatkan data yang akurat (2) Penelitian Pustaka (Library Research)

Dalam penelitian ini, selain menggunakan teknik pengumpulan data di lapangan, penulis juga menggukan penelitian kepustakan, dimana data diperoleh dari bahan bacaan seperti buku-buku, jurnal ilmiah, dan literaturx lain yang mempunyai kaitan dengan penelitian ini.

(19)

d) Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk mengolah data primer dan data sekunder sebagaimana yang tersebut di atas dengan menggunakan analisis yuridis deskriftif. analisis yuridis deskriftif adalah suatu cara menyesuaikan dan menggambarkan keadaan yang nyata mengenai penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi-Selatan. Hasil wawancara serta studi kepustakan diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan data yang bersifat deskriftif.

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Penelitian

Dalam penyusunan proposal ini, penelitian dilakukan dengan memilih lokasi di Kepolisian Daerah sulawesi Selatan (Polda). Alasan mengambil lokasi di Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan(Polda), sebagaimana tempat ini adalah salah satu yang memiliki wewenang dengan masalah yang diteliti. disamping itu pada lokasi tersebut dianggap cukup tersedia data dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, meskipun tidak semua data yang ada dilokasi penelitian dapat diakses secara bebas dan terbuka.

2.2 Jenis Dan sumber Data

Pengumpulan data difokuskan pada data yang ada, mengingat tidak semua data yang dibutuhkan dapat diakses.

Adapun jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penulisan sekripsi ini terbagi atas 2, yaitu:

1. Data primer adalah data yang dipilih langsung dari lokasi. data diperoleh secara langsung dari kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda) sebagai sumber lokasi penelitian.

2. data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu seperti dokumen-dokumen, termasuk juga bahan literatur bacaan lainnya yang sangat berkaitan dengan pembahasan ini.

(21)

2.3 Tehnik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data yang relevan dengan pembahasan ini, maka penulis melakukan tehnik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Studi Pustaka (library research). Pengumpulan data pustaka diperoleh dari berbagai data yang berhubungan dengan hal-hal yang diteliti, berupa buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.

Disamping itu juga data yang diambil penulis ada yang berasal dari dokumen-dokumen penting maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Studi lapangan (field research) dengan cara wawancara (interview) langsung kepada Pihak terkait terutama Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Hkusus (DitresKrimsus) Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang menangani kasus tersebut dan beberapa pihak yang berkompoten lainnya..

2.4 Analisis Data

Setelah data terkumpul dan dianggap telah mencukupi, baik data primer maupun sekunder, maka selanjutnya data tersebut dianalisis secara kualitatif, kemudian dari hasil analisis tersebut dituangkan secara deskriptif. .

2.5 Pengertian Penyidikan

Kata penyidikan berasal dari akar kata sidik yang dapat berarti mengamati, mencermati, memeriksa untuk mengetahui apa penyebab

(22)

suatu keadaan. Secara yuridis pengertian penyidikan diatur dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHP) Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka”.

(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Sedangkan menurut Andi Hamsah bukunya hukum acara pidana indonesia menyimpulkan defenisi dari Pasal 1 butir 2 KUHP, sebagai berikut:

1. Penyidikan (acara pidana) hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang hal ini dapat disimpulkan dari kata-kata, menurut cara yang diatur dalam undang-undang, ketentuan ini dapat dibandingkan dengan Pasal 1 Ned Sv. Yang berbunyi : straftvordering helft allen wet voorizen. (hukum acara pidana dijalankan hanya berdasarkan undang- undang).

2. Acara pidana dijalankan jika terjadi tindak pidana, hal ini dapat disimpulkan dari kata membuat terang tindak pidana yang terjadi, hal ini yang tidak disetujui oleh van bemmellen, karena, katanya mungki saja acara pidan berjalan tanpa delik, contoh klasik yang dikemukakan ialah kasus Jean Calas di prancis yang menyangkut seorang ayah dituduh membunuh anaknya, padahal itu tidak lama proses pidananya berjalan.

(23)

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsponng (Belanda) dan Investigation (Inggris) atau penyesatan atau siasal (Malaysia). Dalam KUHP definisi penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik adalah Pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. (Andi Hamzah, 2002:

188).

Dalam hal penyidikan terhadap pidana tertentu diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 BAB VII Pasal 17 yakni :

Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 ayat (2) KUHP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat, penyidik dan yang berwenang lainnya berdasarkan perundang-undangan.

2.6 Proses Penyidikan

Dalam Pasal 109 ayat (1) KUHP diatur tentang pemberitahuan dimulainya penyidik tetapi baik dalam pasal-pasal maupun dalam penjelasan, KUHP tidak memberikan perumusan tentang pengertian dimulainya penyidikan. Sedangkan kewenangan penyidik diatur dalam pasal 7 KUHP yaitu :

(24)

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil orang untuk di dengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dimulainya penyidikan ditandai secara formal prosedur dengan dikeluarkan surat perintah penyidikan oleh pejabat yang berwenang instansi penyidik.

Selanjutnya di dalam Pasal 8 ayat (1) KUHP di atur mengenai tugas penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHP dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang.

Sedangkan tindakan sebagaimana di maksud dalam Pasal 75 KUHP adalah :

(25)

1. Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang : a. Pemeriksaan tersangka

b. Penankapan c. Penahanan d. Penggeledahan e. Pemasukan rumah f. perkara

g. Pemeriksaan surat h. Pemeriksaan saksi

i. Pemeriksaan ditempat kejadian

j. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan

k. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang.

2. Berita acara di buat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.

3. Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) di tandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada ayat (1).

Kemudian sesuai dengan Pasal 110-138 KUHP, Penyidikan dianggap selesai apabila :

1. Dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara, atau apabila sebelumnya berakhir batas waktu

(26)

tersebut, penuntut umum memberitahukan kepada penyidik bahwa hasil penyidik sudah lengkap.

2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (4) KHUP Pasal 8 ayat (3) huruf b, dengan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum.

3. Dalam hal penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan pasal 109 ayat (2), yakni karena tidak terdapat cukup bukti, atau penyidikan tersebut bukan merupakan suatu tindakan pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum. Selesainya penyidikan dalam artian ini adalah bersifat sementara karena bila di suatu saat di temukan bukti-bukti baru, maka penyidikan yang telah dihentikan harus dibuka kembali pembuktian kembali penyidikan yang telah dihentikan, itu dapat pula terjadi dalam hal putusan pra peradilan menyatakan bahwa penghentian penyidikan itu tidak sah dan memerintahkan penyidikan untuk penyidik kembali berkas perkara tersebut.

Sedangkan aturan yang mengatur tentang penyerahan berkas perkara telah diatur dalam Pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang berbunyi :

“Pasal (1) dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segerah menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Pasal (2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyelidikan ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi”.

Tidak berbeda jauh apa yang diuraikan tertang proses penyidikan tindak pidana didalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

(27)

Indonesia (PERKAP) Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Hanya saja jika dicermati lebih seksama, PERKAP lebih bersifat teknis internal dibanding KUHP yang bersifat umum.

Di dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkap 14/2012”), dasar dilakukan penyidikan adalah :

a. Laporan polisi/pengaduan b. Surat perintah tugas

c. Laporan hasil penyelidikan (LPH) d. Surat perintah penyidikan; dan e. SPDP

Kemudian sesuai bunyi Pasal 5 penjelasan dari Pasal 4 PERKAP bahwa dasar dilakukan penyidikan :

1. laporan polisi/Pengaduan terdiri dari:

a. Laporan polisi Model A; dan b. Laporan polisi model B

2. Laporan Polisi Model A sebagaimana dimaksut pada ayat (1) huruf a adalah laporan polisi yang dibuat oleh anggota polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi.

3. Laporan Polisi Model B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan/pengaduan yang diterima oleh masyarakat.

(28)

Surat perintah tugas sebagaimana dimaksut Pasal 4 huruf b, sekurang-kurangnya memuat:

a. Dasar penugasan b. Identitas petugas c. Jenis Penugasan

d. Lama waktu penugasan dan e. Pejabat pemberi perintah.

1. LHP sebagaimana dimaksut dalam Pasal 4 huruf c, dibuat oleh tim penyelidik dan ditandatangani oleh ketua tim penyelidik.

2. LHP Sekurang-kurangnya berisi laporan tentang waktu, tempat kegiatan, hasil penyidikan, hambatan, pendapat dan saran.

Surat perintah penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, sekurang-kurangnya memuat:

a. Dasar penyidikan

b. Identitas petugas tim penyidik c. Jenis perkara yang disidik, dan

d. Identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah.

Dalam bidang penegakan hukum yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana, Polri digunakan oleh pemerintah sebagai sebuah lembaga penyidik utama yang mengurusi setiap kejahatan secara umum dengan tujuan untuk menciptakan keamanan di dalam negeri. Hal ini telah diatur dalam KUHP. Pasal 16 Undang – Undang

(29)

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 sudah menyatakan tentang Kepolisian Republik Indonesia dan kewenangannya. (KUHP).

2.7 Korupsi

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda reformasi di bidang hukum sebagaimana ditegaskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (di singakat Tap MPR) Nomor XI MPR 1998 Tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kulusi dan Neporisme. Tap MPR sebagai ketentuan yang mengikat para penyelenggara Negara, mestinya difahami oleh para pelaksana hukum sebagai menifestas dari keinginan rakyat untuk memberantas secara tuntas para pembuat korupsi yang umumnya dilakukan oleh oknum aparat penyelenggara Negara dan kelangan pengusaha. (Marwan Mas, 2014: 5).

Secara harfiah (Poerwadarminta, W.J.S, 2006:12), korupsi dapat diartikan dalam beberapa pengertian sebagai berikut :

a. Kejahatan b. Kebusukan c. Dapat disuap d. Tdak bermoral e. Kebejatan f. Ketidak jujuran

g. Perbuatan yang buruk

(30)

h. Penggelapan Uang

i. Menerima uang sogok, dsb.

Menurut Fockema andrea kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt, prancis, yaitu corruption; dan belanda, yaitu corruptive (korruptie). kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa belanda inilah kata itu turun kebahasa indonesia, yaitu korupsi. (Andi Hamzah;2005:4).

Dalam Ensiklopedia Indonesia Korupsi dari latin corruption penyuapan dan corrumpere merusak yaitu gejala bahwa para pejabat badan – badan Negara menyalah gunakan terjadinya penyuapan, pemalsual, serta ketidak beresan lainnya. (Hasan Shadily 1983).

Menurut Max Weber pengertian korupsi (corruption) adalah behavior which (personal, close family, private clique) pacumiary or status gains, or violates rules against the exercise of certain types of regarding behavior.

(Robert Klitgaard, 1988:23).

Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa :

a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidak jujuran.

b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

(31)

c. Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk, prilaku yang jahat dan tercelah, atau kebejatan moral, sesuatu yang korup, seperti kata yang diubah atau terganti secara tidak tepat dalam suatu kalimat, pengaruh-pengaruh yang korup. (Liliek Mulyadi, 2007:78).

Korupsi pada hakekatnya bukan sekedar masalah kriminal, melainkan juga masalah sosial menurut B Sudarso dalam bukunya Korupsi di Indonesia , menghadapi masalah korupsi yang sudah meluas dan berurat berakar yang celah sementara kalangan dikatan sudah merupakan ‘way of live’ orang setengah putus asa dan acuh tak acuh, malahan ada pendapat yang menyebutkan bahwa sebaiknya kita tidak berbicara mengenai korupsi lagi tetapi pembangunan saja pada saat-saat tertentu memang seakan-akan timbul harapan bahwa penyakit korup itu akan sungguh- sungguh dapat di atasi, tetapi saat-saat penuh harapan demikian biasanya tidak langsung lama yang segera disusul oleh keraguan, keprihatinan, kekecewaan, dan kemudian sinisme. (Djoko Prakoso, 1990:70).

Baharuddin Lopa (1986:24) menyatakan bahwa tampaknya masalah korupsi ini selalu ada ia akan ada dalam masyarakat primitif (tradisional), ia akan ada di suatu masyarakat yang sedang membangun, dari bahkan ia akan ada di suatu masyarakat yang sudah maju sekalipun.

Korupsi banyak disangkutkan pada ketidak jujuran seseoarang dalam bidang keuangan. Berdasarkan pemahaman Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-

(32)

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain (perseorangan atau korupsi) yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Sehingga Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah : a. Secara melawan hukum

b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain

c. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.

Untuk memahami makna dari korupsi terlebih dahulu memahami pencurian dan penggelapan. Pencurian berdasarkan pasal 326 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Pengertian tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000,000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milliar rupiah)”.

(33)

Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lainatau suatu korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dengan memperhatikan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa sebagian besar masalah korupsi akan senantiasa berkaitan erat dengan tindakan elit pemegang kekuasaan, baik dalam jajaran birokrasi, pemerintahan maupun dalam organisasi yang lain. Selain dengan itu, dengan menyadari kompleksnya permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis multi dimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahn nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan penegak hukum.

b. Sejarah Perundang-Undangan Korupsi

Memperhatikan sejarah perkembangan Perundang-undangan yang mengatur korupsi terlihat adanya upaya yang rasional dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dari berbagai peraturan yang pernah ada hingga Undang-undang Nomor 20 Tahun 2017 menunjukkan adanya pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum ini tidak hanya terbatas pada

(34)

substansi atau segi-segi materi dari korupsi saja, namun juga hukum formalnya atau hukum acaranya. Berkenan dengan acaranya, dalam hal ini masalah upayah penegakan hukum juga mengalamai perkembangan.

c. Latar Belakang Lahirnya Peraturan Perundang-Undangan Korupsi.

Alasan yang menjadi dasar dikeluarkannya perturan tentang korupsi selalu bermuara pada memikiran bahwa perturan perundang-undangan yang ada dirasa kurang efektif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhn masyarakat. Hal tersebut dapat di lihat dalam konsiderans masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut, yakni sebagai berikut ;

1. Konsideran pengaturan penguasa perang pusat Angkatan Dasar Nomor PH/perpu/013/1985 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan perbuatan korupsi pidana dan pemilikan harta benda.

. Bahwa untuk perkara perkara pidana yang menyangkut keunagan negara atau daerah atau badan hukum lain yang empergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dan masyarakat, misalnya baik koperasi, wakaf, maupun yang lainnya yang bersangkutan kedudukn si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan berupa aturan pidan, pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut perbuatan korupsi.

(35)

. Bahwa dalam hubungan pemberantasan perbuatan-perbuatan korupsi sebagaimana di maksud diatas, perlu diadakan pula peraturan yang memungkinkan penyitaan dan perampasan harta benda yang kurang/tidak terang siapa pemiliknya atau yang dicurigai memperolehnnya.

2. Konsideran Undang-Undang Nomor 24 Perpu Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi.

. Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keungan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dan negara atau masyarakat, bank dan lain-lain atau yang bersangkutan dangan kedudukan si petindak pidana perlu diadakan beberapa aturan pidn khusus dan peraturan-peraturan khusus tentang pengusulan, penuntutan, dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan- perbuatan atau disebut tindak pidana korupsi.

3. Konsideran Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi.

. Bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perokonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.

. Bahwa Undang-Undang Nomor 24 Perpu Tahun 1960 tentang pengusulan penuntutan, dan periksaan tindak pidana korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi

(36)

untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.

4. Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Butir c : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

5. Konsideran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Butir a dan b.

. Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggararan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi perlu di golongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

. Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

(37)

d. Perumusan Tindak Pidana Korupsi 1. Priode Penguasa Perang militer

Sebelum keluarnya peraturan penguasa militer, KUHP telah mengatur korupsi atau yang dikenal dengan delik jabatan. Pasal- pasal yang dimaksud adalah yang terjadi terdapat dalam Bab XXVIII yaitu penggelapan Pasal 415; pemalsuan Pasal 416;

menerima suap Pasal 418, Pasal 149 dan Pasal 420, serta menguntungkan diri sendiri secara tidak sah Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435. (Sudarto, 1981:125).

a. Perumusan Korupsi menurut peraturan penguasa militer Nomor prt/PM-06/1957 tentang tata cara menerobos kemacetan memberantas korupsi.

Perumusan korupsi menurut peraturan-peraturan penguasa militer Nomor prt/PM-08/1957 tentang pemilikan harta benda.

Dalam ketentuan ini tidak memperluas perumusan tetapi lebih merupakan upaya terobosan untuk mempermudah pelaksanaan penguasa militer dalam memeberantas korupsi.

b. Perumusan Korupsi menurut peraturan pengusa militer Nomor prt/PM-011/1957 tentang penyitaan dan perampasan harta benda yang asal mulanya diperoleh dengan perbuatan melawan hukum. Hal menarik dari ketentuan ini adalah ditentukannya perbuatan melawan hukum.

(38)

Memperhatikan ketentuan peraturan penguasa militer Nomor prt/PM-06/1957, prt/PM-08/1957. Tersebut dapat dilihat hal-hal penting bahwa pihak penguasa pada saat itu menetapkan kehendak politik (political will), dengan tekat yang sungguh- sungguh berusaha memberantas korupsi di indonesia. Dengan demikian perkembangan peraturan penguasa militer tersebut, sebagai bentuk pembaharuan bagaimana mengefektifkan perbuatan tindak pidan korupsi, baik dalam perumusan delik maupun keleluasaan penanganan tindak pidana korupsi.

c. Perumusan Korupsi menurut peraturan penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/paper/013/1958 tentang pengusutan penentuan, dari pemeriksaan perbuatan korupsi dan pemilikan harta benda.

Berlakunya peraturan penguasaan perang pusat angkatan darat tersebut tidak berlaku bagi daerah-daerah yang tidak dikuasai oleh angkatan darat, dan oleh karnanya, maka penguasa perang pusat kepala Staf Angkatan Laut mengeluarkan juga peraturan nomor Prt/ZI / I / 7 yang nada dan isinya sama dengan peraturan angkatan darat yang diberlakukan untuk daerah yang dikuasai angkatan laut.

2. Priode Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prt. Tahun 1960, dengan kehadiran UU ini mempunyai arti penting dalam perkembangan hukum pidana.

(39)

3. Priode Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menyadari akan kelemahan-kelemahan peraturan perundang- undangan yang ada. UU ini menampakkan adanya banyak penyempurnaan jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan terdahulu, yaitu utama dalam perumusan tindak pidana.

4. Priode Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi, perumusan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU ini terbagi atas beberapa pengertian yaitu :

a) Korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara ,melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara di pinana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milliar rupiah).

b) Korupsi sebagaimana dalam Pasal 3

“setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi menyalah gunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

(40)

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,- (satu milliar rupiah)”.

c) Korupsi sebagaimana dimaksud pasal 5 sampai dengan 13 yang diambil dari pasal-pasal KUHP secara garis besar dapat dikelompokkan dalam empat kelompok.

1. Perbuatan yang bersifat penyuapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420 KUHP.

2. Perbuatan yang bersifat penggelapan, yaitu Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 KUHP.

3. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP.

4. Perbuatan yang berkaitan dengan pemborongan dan rekanan serta leveransir pasal 387, Pasal 388 dan Pasal 435 KUHP.

d) Percobaan, perbuatan atau perbuatan jahat. Pemberitauan kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang berada diluar indonesia.

e) Korupsi sebagaimana dimaksud pasal 21 sampai dengan Pasal 24 yang sebenarnya bukan merupakan tindak pidana korupsi, melainkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

(41)

 Pasal 21

“Setiap orang dengan sengajah mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidik, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam kasus korupsi“.

 Pasal 22

“Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 28, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau keterangan yang tidak benar“.

 Pasal 23

“Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 Pasal 231, Pasal 241 Pasal 429, atau Pasal 430 KUHP “.

 Pasal 24

“Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31“.

5. Priode Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada priode ini apabila dilihat ketentuan pasal-pasalnya sebenarnya tidak banyak mengalami perubahan, hanya saja terdapat hal-hal baru yang sebelumnya tidak dikenal yaitu ;

a) Gratifikasi yang diatur dalam Pasal 12B dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,

(42)

fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan fasilitas lainnya.

b) Pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B sifatnya lebih tegas jika dibandingkan dengan UU No.

31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

c) Perluasan pengertian mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Ketentuan Pasal 26A berbunyi sebagai bentuk.

Alat yang sah dalam bentuk ptunjuk, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP, khusus tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh.

a) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau simpan secara elekronik dengan alat apotik atau serupa dengan itu.

b) Dokumen, yakni setiap rekaman dan atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tampa bantuan atau sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selai kertas, maupun yang terekam secara elekronis, yang berupa tulisan, suara, gambar peta, rancangan, fotrasi yang huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

(43)

Perluasan perolehan alat bukti ini berarti akan mempermudah bagi penyidik kepolisian dalam upayah, membutikan bahwa terdakwa tindak pidan korupsi, sehubungan dengan perluasan ini maka korupsi akan lebih mudak dibuktikan, mengingat modus yang dipakai pelaku korupsi juga cenderung menggunakan sarana teknologi, baik untuk melakukan kejahatan maupun dalam rangka menutupi kejahatannya.

2.8 Tugas Dan Wewenang Kepolisian

Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan, bahwa Tugas Pokok Kepolisian Republik Indonesia adalh :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat b. Menegakkan hukum dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Ketika membahas rumusan tugas pokok Polri sebagaimana disebutkan Pasal 13 tersebut terdapat perhatian yang serius dari Panitia Khusus DPR-RI, sehingga setelah hasil pembahasan disetujui dalam sidang Pleno Panitia Khusus, masih terdapat usulan agar diadakan perubahan urutan mengenai tugas pokok tersebut. Hasil keputusan Panitia Khusus tanggal 12 September 2011 menyetujui pembahasan mengenai tugas pokok Polri secara simultan sesuai Amandemen Kedua UUD 1945 dan Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000, yang dirumuskan dalam satu pasal. Selanjutnya tugas

(44)

pokok tersebut diperinci dalam rumusan tugas-tugas yang susunannya mengacu pada susunan rumusan tugas pokok yang memuat tiga substansi yaitu: (1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) Menegakkan hukum; dan (3) memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Rumusan ketiga tugas pokok tersebut bukan menggambarkan urutan prioritas ataupun hirarki, namun ketiga- tiganya sama penting.

Substansi tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat bersumber dari kewajiban umum kepolisian untuk menjamin keamanan umum. Sedangkan substansi tugs pokok menegakkan hukum bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat tugas pokok Polri dalam kaitannya dengan peradilan pidana, contoh KUHP, HUHAP dan berbagai Undang-undang tertentu laainnya.

Selanjutnya substansi tugas pokok Polri untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat bersumber deri kedudukan dan fungsi kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang pada hakekatnya bersifat pelayanan publik (public service) yang termasuk dalam kewajiban umum kepolisian.

Mengenai tugas yang harus dilaksanakan oleh Polri, dalam Pasal 14 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa :

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik indonesia bertugas:

(45)

(a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

(b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;

(c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

(d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

(e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

(f) Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap Kepolisian Khusus, penyidik pegawai negari sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

(g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan aturan perundang- undangan lainnya;

(h) Menyelenggarakan identifikasi Kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

(i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

(46)

(j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi atau pihak yang berwenang;

(k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian; serta

(l) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (f) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a s/d f merupakan kelompok tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersumber dari substansi pokok “ memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat “ dan menggambarkan fungsi-fungsi teknis dalam rangka pelaksanaan kewajiban umum Kepolisian. Setiap anggota/pejabat Polri harus memahami tugas-tugasnya sehingga dapat diaplikasikan di lapangan tanpa menemui banyak kendala dan hambatan. Pemahaman tentang tugas pokok Polri juga diperlukan untuk menghindari terjadinya kesalahan oleh anggota Polri ketika menjalankan tugasnya. Selanjutnya penjelasan tiap-tiap bagian dari Pasal 14 (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2002 adalah sebagai berikut :

Pasal 14 ayat (1) huruf a memberikan dasar hukum bagi petugas umum Kepolisian yang meliputi tugas pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli, yang secara populer dikenal sebagai fungsi teknis kesamaptaan Kepolisia. Rumusa Pasal 14 ayat (1) huruf b,

(47)

diadopsi dari rumuan Pasal 14 ayat (1) huruf e Undang-Undang No.

28 Tahun 1997 yqng memberikan dasar hukum bagi penyelenggaraan fungsi teknis lalu lintas Kepolisian yang meliputi pembinaan ketertiban lalu lintas, penegakan hukum dan ketertiban lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor serta pengkajian masalah lalu lintas.

Pasal 14 ayat (1) huruf c, rumusannya dikembangkan dari rumusan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 28 Tahun 1997 yang memberikan dasar hukum bagi penyelenggaraan fungsi teknis bimbingan Masyarakat untuk tugas kepolisian. Sedang Pasal 14 ayat (1) huruf d, dicuplik dari undang-undang No. 28 Tahun 1997 Pasal 14 ayat (1) huruf h. Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) huruf e, merupakan dasar hukum bagi “ kewajiban umum kepolisian “ dan menjadi acuan penggunaan “ asas kewajiban “ bagi pejabat Kepolisian untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri atau bisa juga disebut dengan istilah “ diskresi “.

Pasal 14 ayat (1) huruf f, substansinya diambil dari Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 Pasal 14 ayar (1) huruf i, dengan meghilangka kata “alat-alat ” dan bagian kalimat “ yang memiliki kewenangan Kepolisian terbatas “ sesuai Undang-undang No. 28 Tahun 1997.

Ketentuan Pasal 14 ayat (1) hruf g, diadopsi dari Undang-undang No.

28 Tahun 1997. Rumusan Pasal 14 ayat (1) huruf g, memuat substansi tentang rincian tugas kepolisian Negara Republik Indonesia

(48)

dibidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Tugas Penyelidikan dan penyidikan yang harus dilaksanakan oleh penyelidik dan penyidik ( Pejabat Polri atau menurut istilah KUHAP “ Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia ) meliputi kegiatan :

1. Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana;

2. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan;

3. Mencari serta mengumpulkan bukti;

4. Membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi;

5. Menentukan tersangka pelaku tindak pidana.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara Umum) tanpa batasan lingkungan kuasa, sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Kepolisia Negara Republik Indonesia oleh KUHAP diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. namun demikian KUHAP masih memberikan kewenangan kepada pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu untuk melakukan penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing ( Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981).

(49)

Dalam pembahasan rumusan Pasal 14 ayat (1) huruf g di tingkat panitia kerja tim Perumus terjadi perdebatan yang alot sehingga pembahsanya mengalami beberapa kali penundaan (pending) serta dilakukan pembicaraan di tingkat Pimpinan Fraksi. Kesemuanya bertumpu pada substansi pokok yang menjadi materi muatan Pasal 14 ayat (1) huruf g yaitu : “ Semua Tidak Pidana “ memberi kesan Kepolisia Republik Indonesia diberikan Kewenangan terlalu luas yang akan menjangkau penaganan penyidikan yang menjadi lingkup tugas

“Penyidik Pegawai Negeri Sipil”. ( Pudi Rahardi, 2014:73).

Lanjut Pudi Rahardi (2014:74) Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh pemahaman yang tidak konsisten terhadap ketentuan KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) sehingga sampai pada kesimpulan yang kurang tepat seolah-olah “Penyidik Pegawai Negeri Sipil” tidak lagi mengikuti ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kesan lain yang terbentuk dalam praktek penyidikan ialah adanya pendapat bahwa Polri hanya melakukan penyidikan terhadap tindak pidana Khusus (KORUPSI) seolah-olah merupakan kewenangan kejaksaan. Pendapat tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang KUHAP.

Rumusan tugas Polri yang terdapat pada Pasal 14 ayat (1) huruf h diadopsi dari Undang-Undang No. 28 Tahun 1997, Pasal 14 ayat (1) huruf b, yang merupakan dasar hukum bagi penyelenggaraan fungsi teknik kepolisian, yaitu :

(50)

1. Fungsi teknis identifikasi Kepolisian yang meliputi dakti-loskopi Kepolisian dan pengkajian kedokteran lainnya.

2. Fungsi teknik kedokteran Kepilisian yang meliputi kegiatan kedokteran kepoisian dan pengkajian dibidng kedokteran kepolisian.

3. Fungsi tehnik Kriminalistik/Forensik yang meliputi kimia forensik, narkotika forensik, toksikologi forensik, fisika forensik, balistik dan metalurgi forensik, dokumen foresik, dan fotografi forensik.

4. Fungsi tehnik Psikologi kepolisian yang meliputi Psikologi kepolisian untuk kepentingan operasional Kepolisian dan Psikologi personel Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kemudian rumusan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf j merupakan aktualisasi normatif dari “Asas Subsidiaritas” yang dianut dalam Konsepsi Kepolisian Negara Republik Indonesia Yaitu asas yang memungkinkan Polri dapat mengambil tindakan yang perlu dalam hal instansi yang berwenangtidak ada atau belum mengambil tindakan Asas Subsidiaritas juga dianut dalam Konsepsi Hukum Kepolisian di negeri Belanda dan jerman. Namun demikian, batasan dari tindakan yang perlu adalah sebatas pengetahuan dan kemampuan untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat.

S. Handayaningrat dalam bukunya yang b

(51)

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Proses Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi- Selatan

Penyeliidikan merupakan bagian terpenting dalam proses penegakan hukum, karena berdasarkan hasil penyeliidikan yang baik akan menghasilkan surat dakwaan yang tepat, sehingga proses persidangan akan berjalan dengan benar serta menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil. Asas-asas dalam proses penyeliidikan diperlukan untuk menjadi pedoman pelaksana tugas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyelidikan. Dengan mengingat bahwa proses penyelidikan akan bersentuhan dengan pembatasan hak- hak asasi manusia sebagai tersangka, maka kedudukan dari asas-asas penyelidikan tidak boleh dikesampingkan.

Hal ini juga sama halnya terhadap penyeliidikan dalam tindak pidana korupsi karena tahap-tahap penyelidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap-tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyelidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidananya. Hal ini berlaku baik penyidikan tersebut

(52)

dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi-Selatan.

Dalam melakukan penyelidikan, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Penerimaan dan Penelitian Laporan/ informasi (Pra Penyelidikan)

a. Penerimaan Laporan

Didalam tindak pidana umum yang data awal diperoleh dari laporan atau pengaduan, hal ini berbeda dengan tindak pidana korupsi dimana data awal diperoleh dengan adanya laporan informasi dari:

1. Menteri/Itjen/Bawasda 2. BPKP., BPK

3. Aparat Intelijen

4. DPR yang merupakan tindak lanjut dari hasil audit BPKP 5. Masyarakat

6. Lembaga Swadaya Masyarakat 7. Dan lain – lain

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 Pasal 3 disebutkan informasi yang berasal dari tersebut diatas disampaikan tertulis tentang data mengenai nama, alamat pelapor dengan melampirkan foto copy kartu tanda pengenal dan disertai dengan

(53)

bukti permulaan cukup serta informasi tersebut harus diklarifikasi dengan melakukan gelar kasus oleh penegak hukum.

b. Penelitian Laporan

Hasil penerimaan laporan/informasi harus dilakukan klarifikasi dengan gelar perkara sesuai dengan pp No 7 tahun 2000 Pasal 3 ayat (3) maka perlu dilakukan penelitian sehingga adanya kepastian untuk dapat/tidaknya ditingkatkan ketahap penyelidikan, manakala hasil penelitian dapat ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan maka dibuatkan laporan informasi sebagai bahan awal penyelidikan.

c. Penyelidikan yang dilakukan sebelum tahap penyidikan/sebelum upaya paksa

1. Penyelidikan dilaksanakan dengan berdasarkan pada informasi atau laporan yang di terima dan telah diklarifikasi kepada pelapor/pemberi informasi serta telah dilakukan penelitian bahwa informasi tersebut layak untuk dilakukan penyelidikan 2. Sasaran penyelidikan dapat berupa orang, benda/barang dan

tempat serta kejadian atau peristiwa

3. Penyelidikan dilakukan dengan cara terbuka sepanjang hal itu dapat menghasilkan keterangan-keterangan yang diperlukan dan dengan cara tertutup apabila terdapat kesulitan mendapatkannya dengan cara terbuka.

(54)

4. Penyelidikan dengan cara terbuka dapat dilakukan dengan tehnik wawancara, interview dan dengan cara tertutup dapat dilakukan dengan tehnik observasi, undercover dan survailance.

5. Dalam tehnik wawancara dan interview hasilnya dapat dituangkan dalam bentuk berita acara keterangan (tanpa Proyustitia) dan tehnik undercover dan survailance dituangkan dalam bentuk berita acara Pendapatan.

d. Administrasi Penyelidikan

Dari laporan Laporan informasi yang telah dilakukan penelitian, maka dilakukan penyelidikan dengan langkah - langkah sebagai berikut:

a. Buat surat perintah tugas dan surat perintah penyelidikan b. Buat rencana kegiatan penyelidikan.

c. Buat laporan hasil penyelidikan dan lakukan gelar perkara hasil penyelidikan.

1. Laporan Hasil Penyelidikan.

- Memuat unsur

- unsure tentang hasil yang dicapai,hambatan, kesimpulan dan saran.

- Didukung dengan fakta yang ditemukan dilapangan.

- Digunakan sebagai bahan gelar perkara hasil penyelidikan 2. Gelar Perkara hasil penyelidikan

(55)

- Tujuan gelar adalah untuk menentukan apakah hasil penyelidikan yang diperoleh telah memenuhi bukti permulaan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi

- Membahas hasil penyelidikan yang dikaitkan dengan Laporan dan Informasi dan kegiatan/tindakan yang telah dilakukan dalam rangka penyelidikan

- Bila diperlukan dalam pelaksanaan gelar perkara agar diikut sertakan intansi terkait (BPK/BPKP/Kejaksaan)

- Hal - hal yang harus digelarkan atau dibahas : - Anatomi kasus yang diselidiki

- Siapa calon - calon tersangka - Siapa saksi - saksi/ahli

- Barang apa saja yang bisa dijadikan sebagai barang bukti - Pasal - pasal yang dipersangkakan.

d. Pedomani Peraturan perundang-undangan yang dilanggar sesuai herarkienya (tingkatannya) untuk menentukan unsur melawan hukumnya.

e. melakukan koordinasi dengan pihak kejaksaan guna menghindari duplikasi penanganan kasus.

f. buat surat Pemberitahuan Perkembangan hasil Penyelidikan kepada pelapor tentang bisa / tidaknya informasi yang diberikan untuk dapat/tidak dilakukan penyidikan.

(56)

g. Didalam penyelidikan para penyelidik sudah dapat melibatkan instansi terkait (PP3P dan Kejaksaan ) hal ini untuk menentukan apakah kejahatan tersebut termasuk dalam kejahatan tindak pidana korupsi dan apabila hasil penyelidikan dapat ditingkatkan ketahap penyidikan (akan lebih baik apabila telah ditemukan mininal (dua alat bukti) maka penyelidik dengan adanya bukti - bukti yang diperoleh membuat laporan polisi (hal ini sesuai dengan UU yang telah ada).

3.2 Penindakan

a. Pemanggilan saksi :

1) Surat pengadilan harus mencantumkan tentang identitas yang dipangil : nama, pekerjaan, alamat, waktu dan pemanggilan, status yang dipanggil, pasal yang dipersangkakan serta mencantum nama peenyidik yang memanggil tanda tangan oleh penyidik dan telepon yang bisa dihubungi

2) Pengiriman surat panggilan disertai dengan surat pengantar atau ekspedisi

3) Didalam melakukan pemanggilan kepala/wakil kepala daerah harus berpedoman kepada aturan yang berlaku ( pasal 36 undang-undang no 32 tahun 2004 dan tata caranya.

(57)

b. Pemanggilan tersangka :

1) Dalam melakukan pemanggilan seseorang sebagai tersangka sudah harus mempunyai bukti pemulaan dan dua alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP

2) Sebelum menentukan tersangka hendaknya dilakukan gelar perkara sehingga tepat mendudukkan status tersangkanya 3) Pedomani aturan yang berlaku bila melakukan pemanggilan

terhadap kepala/wakil kepala daerah (sesuai pasal 36 undang- undang No 32 tahun 2004)

4) Hendaknya untuk pejabat negara/ kepala daerah dalam pemanggilan terlebih dahulu dipanggil sebagai saksi sebelum tersangka.

c. Pemanggilan ahli

1) Lakukan pemanggilan sesuai dengan ahli yang berkaitan dengan kasus / modus yang dilakukan dalam tindak pidana korupsi

2) Ahli yang dipanggil hendaknya sudah diakui kredibilitas dan kapabilitasnya (jika perlu didukung bukti berupa ijazah keahliannya)

d. Pemeriksaan saksi/ tersangka

1) Didalam melakukan periksaan saksi tersangka harus berpedoman kepada petunjuk administrasi penyidikan :

a) Demi keadilan/ pro yustitia

(58)

b) Nama, pangkat, nrp, dan skep penyidik

c) Cantumkan dasar penyidikan (Laporan polisi ) d) Identitas dan status yang diperiksa

e) Pasal undang-undang yang dipersangkakan 2) Materi pokok pemeriksaan

a) Hak –hak yang diperiksa

b) Harus mengetahui struktur lembaga/ instansi dimana saksi/

tersangka bekerja guna mengarahkan pemeriksaan kedudukan/ peran yang diperiksa dalam lembaga/ instansi tersebut

c) Pemeriksaan harus melihat posisi kasus sehingga tidak membalas dalam pemeriksaan

d) Dalam pemeriksaan pertanyaan difokuskan terhadap penerapan pasal yang dipersangkakan didalam undang- undang tindak pidana korupsi

e) Penyidik harus tetap memperhatikan pemenuhan pasal 184 KUHAP

e. Pemeriksaan ahli

1) Pemeriksaan saksi ahli diarahkan pada pemenuhan unsur melawan hukum dan kerugin keuangan negara :

- Bagaimana peraturan / ketentuan yang berlaku

- Fakta/ realiti/proses yang terjadi telah sesuai dengan peraturan tertentu

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui susunan lapisan batuan bawah permukaan tanah dan bidang gelincir tanah longsor di Desa Kebarongan Kecamatan Kemranjen Kabupaten

Suatu proses pembuatan senyawa hydrotalcite-like dari brine water seperti pada klaim 1 di mana brine water yang digunakan dapat berupa brine water asli yang diambil dari sisa

Kecamatan di Jakarta pusat meliputi; Gambir , Tanah Abang , Menteng , Senen , Cempaka Putih , Johar Baru , Kemayoran , Sawah Besar . Hotel di Jakarta.. pusat banyak

Oleh itu, apabila Ghani Ismail 2005:8 menekankan bahawa salah tafsir makna akan menjadi kendala kepada proses perbualan, jadi inilah yang akan berlaku dalam perbincangan yang

SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, analisa dan pembahasan mengenai “hubungan praktik laboratorium maternitas ANC dengan kesiapan praktik ke rumah sakit

Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sumber magnet permanen menghasilkan medan magnet yang lebih stabil yang dapat dilihat dari hasil pengukuran

Penetapan harga gelar kebangsawanan dalam tradisi perkawinan adat sasak di desa Batujai Lombok Tengah yang dilakukan ketika proses Sorong Serah Aji Kerama adalah Harga orang itu