• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRATEGI PENGENDALIAN TERHADAP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS STRATEGI PENGENDALIAN TERHADAP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS STRATEGI PENGENDALIAN TERHADAP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN

TAMALATE KOTA MAKASSAR

(STUDI KASUS KELURAHAN MANGASA)

Oleh

MUHAMMAD FADHLY 45 08 042 048

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS BOSOWA

2017

(2)

ANALISIS STRATEGI PENGENDALIAN TERHADAP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN

TAMALATE KOTA MAKASSAR

(STUDI KASUS KELURAHAN MANGASA)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperole Gelar Sarjana Teknik (S.T)

Oleh

MUHAMMAD FADHLY 45 08 042 048

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS BOSOWA

2017

(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini : Mahasiswa : Muhammad Fadhly Stambuk : 45 08 042 048

Program Studi : Perencanaan Wilayah dan Kota

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa, skripsi yang saya tulis ini adalah hasil karya saya sendiri, bukan penggandaan tulisan atau hasil pikiran orang lain. Bila dikemudian hari terjadi atau ditemukan bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini merupakan hasil karya orang lain, saya bersedia menerimah sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Maret 2018 Penulis

Muhammad Fadhly

(6)

ABSTRAK

MUHAMMAD FADHLY. Analisis Strategi Pengendalian terhadap pengembangan permukiman kumuh di Kecamatan Tamalate,(studi kasus Kelurahan Mangasa). Dibimbing oleh Rudi Latief dan Jufriadi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab timbulnya permukiman kumuh dan di lanjutkan dengan melakukan perumusan strategi pengendalian permukiman kumuh di Kelurahan Mangasa.

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode analisis data secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung Faktor penyebab timbulnya permukiman kumuh (Chi-squer). Analisis kualitatif digunakan untuk merumuskan strategi pengendalian permukiman kumuh di kelurahan Mangasa Kecamatan Tamalate Kota Makassar menggunakan analisis (SWOT).

Kata Kunci : Strategi pengendalian Permukiman Kumuh.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan dan rahmat, karunia dan petunjuk-Nya, sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan judul “Analisis Strategi Pengendalian Terhadap Pengembangan Permukiman Kumuh Di Kecamatan Tamalate Kota Makassar (Studi Kasus Kelurahan Makassar”.

Pada kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Rudi Latief M.Si, selaku

pembimbing I, Bapak Ir. Jufriadi, M.Sp. selaku pembimbing II yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulisan mulai dari awal hingga akhir. Ucapan terima kasih tak lupa juga dihaturkan kepada :

1. Ibu Dekan Fakultas Teknik, para pembantu Dekan dan seluruh Staf Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar

2. Bapak Ketua Jurusan Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Bosowa Makassar. Ir.Jufriadi,ST.MSP beserta Staf Jurusan Ibu Ros 3. Kepada semua Staf Kantor Kelurahan Makassar Kecamatan Tamalate

yang telah banyak membatu dan memberikan data-data yang dibutuhkan.

4. Terkhusus ayahanda dan ibunda tercinta dan kakak-kakaku Tersayang yang telah banyak memberikan dorongan,Motifasi dan Kontribusi selama ini.

(8)

5. Saudara Seperjuangan S08at (08), yang tidak henti hentinya memberikan motifasi dan dukungan

6. PEMA-FT yang telah banyak memberikan kontribusi pengetahuan.

7. Rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam memberikan motifasi

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tugas akhir ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis terhadap pengetahuan ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan tugas akhir ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat baik bagi penulis maupun pihak lain serta bagi penelitian selanjutnya. Semoga Allah SWT, membalas kebaikan semua pihak kepada penulis. “AMIN”.

Makassar, ... Maret 2018

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PENGESAHAN ...

HALAMAN PENERIMAAN ...

HALAMAN PERNYATAAN ... i

HALAMAN ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

1. Tujuan Penelitian ... 4

2. Kegunaan Penelitian ... 5

D. Ruang Lingkup Penilitian ... 5

E. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

1.1. Pengertian Perumahan ... 9

1.2. Pengertian Permukiman ... 10

1.3. Pengertian Permukiman Kumuh ... 11

1.4. Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh ... 19

1.5. Faktor Penyebab Pertumbuhan Permukiman Kumuh ... 20

1.6. Karakteristik Permukiman Kumuh ... 22

1. Karakteristik Fisik ... 22

2. Karakteristik Ekonomi. ... 23

3. Karakteristik Sosial ... 24

4. Karakteristik Budaya ... 25

1.7. Tipologi Permukiman Kumuh ... 26

1. Permukiman kumuh nelayan ... 26

(10)

2. Permukiman kumuh dekat pusat kegiatan sosial ekonomi ... 26

3. Permukiman kumuh pusat kota ... 27

4. Permukiman kumuh pinggiran kota ... 27

5. Permukiman kumuh daerah pasang surut ... 27

6. Permukiman kumuh daerah rawan bencana ... 28

7. Permukiman kumuh tepian sungai ... 28

1.8. Klasifikasi Permukiman Kumuh ... 29

1.9. Pengertian Urbanisasi ... 34

1.10. ... P erkembangan Kota dan Urbanisasi ... 35

1.11. ... L ingkup Penanganan Permukiman Kumuh ... 38

1.12. ... K onsep dan Strategi Pengendalian Permukiman Kumuh... 40

1. Konsep Peremajaan ... 40

2. Kampung Improvement Program (KIP) ... 42

3. Kebijakan Insentif ... 43

4. Kebijakan Disinentif ... 46

5. Rezoning ... 46

6. Peningkatan Kualitas Perumahan (PKP) ... 47

1.13. ... K erangka Pikir ... 54

BAB III METODE PENELITIAN ... 55

A. Lokasi Penelitian ... 55

B. Populasi dan Sampel ... 55

1. Populasi ... 55

2. Sampel ... 56

C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel/Indikator ... 57

1. Variabel Terikat (Y) ... 57

2. Variabel Bebas (X) ... 57

3. Ketentuan pengukuran Indikator ... 58

D. Jenis dan Sumber Data ... 62

(11)

1. Janis Data ... 62

2. Sumber Data ... 63

E. Teknik Pengumpulan Data ... 64

1. Metode Observasi ... 64

2. Telaah Pustaka ... 64

3. Metode Wawancara ... 64

4. Metode Pertanyaan (Quesioner) ... 65

5. Pendataan Instansional... 65

F. Metode Analisis Data ... 65

1. Metode Pendekatan Kuantitatif ... 65

a. Analisis Che Square ... 65

2. Metode Pendekatan Kualitatif ... 68

a. Analisis Deskriptif ... 68

b. Metode Analisis SWOT ... 69

G Defenisi Operasional ... 76

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 77

A. Gambaran Umum Kecamatan Tamalate ... 77

1. Kondisi Fisik Wilayah Kecamatan Tamalate... 80

a. Topografi Kecamatan Tamalate ... 80

b. Jenis Tanah Kecamatan Tamalate ... 80

2. Tinjauan Aspek Kependudukan ... 82

a. Jumlah Penduduk ... 82

b. Kepadatan Penduduk ... 82

3. Tinjauan daerah Permukiman permukiman Kumuh ... 83

4. Tinjauan Kebijakan Pemerintah ... 85

B. Gambaran Umum Kondisi Permukiman Kumuh Kelurahan Mangasa ... 87

C. Batas Administratif Kelurahan Mangasa ... 87

D. Penggunaan Lahan ... 92

E. Kepadatan Bangunan ... 94

F. Jumlah Penduduk ... 96

G. Kepadatan Penduduk ... 97

(12)

H. Hasil responden terhadap Faktor timbulnya Permukiman Kumuh di

tinjau dari kondisi non Fisik pada Kelurahan Mangasa ... 100

1. Kondisi Ekonomi ... 100

a. Tingkat Pendapatan ... 100

b. Jenis Pekerjaan ... 101

2. Status Kepemilikan Lahan ... 102

3. Tingkat Pendidikan ... 102

I. Hasil responden terhadap Faktor timbulnya Permukiman Kumuh yang di tinjau dari kondisi prasarana pada Kelurahan Mangasa ... 103

1. Kondisi Prasarana Permukiman ... 103

a. Prasarana Jalan ... 104

b. Prasarana Drainase ... 107

c. Prasarana Air Bersih ... 109

d. Prasarana Sanitasi/MCK ... 112

e. Prasarana Persampahan ... 114

f. Prasarana Jaringan Listrik ... 116

J. Tinjauan Analisis terhadap Kondisi permukiman Kumuh di Kelurahan Mangasa ... 118

1. Kondisi Sosial Ekonomi ... 118

a. Hasil Uji Chi-kuadrat di tinjau dari aspek ekonomi ... 119

2. Status kepemilikan Lahan di tinjau dari aspek Kepemilikan Lahan ... 121

a. Hasil Uji Chi-kuadrat ... 122

3. Kondisi Prasarana ... 123

a. Hasil Uji Chi-kuadrat di tinjau dari aspek prasarana ... 124

K. Faktor penyebab timbulnya Permukiman Kumuh di tinjau dari Variabel / Indikator ... 127

1. Faktor Kepemilikan Lahan ... 127

2. Faktor Kondisi Jaringan Jalan ... 128

3. Faktor Kondisi Jaringan Drainase ... 128

4. Faktor Kondisi Persampahan ... 129

L. Tinjauan Analisis Deskriptif ... 129

(13)

1. Kepadatan penduduk ... 130

2. Kepadatan Bangunan ... 130

M. Tinjauan Analisis Swot Dalam Pengendalian Permukiman Kumuh 132 1. Faktor Internal ... 133

2. Faktor External ... 134

3. Analisis Efas (External Strategic Factors Analysis Summary)dan Ifas(Internal Strategic Factors Analysis Summary). ... 135

BAB V PENUTUP ... 149

1. Kesimpulan ... 149

2. Rekomendasi ... 153 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel : 3.1 Skala Pengukuran Variabel dan Indikator ... 58

Tabel : 3.2 Nilai Indeks Kuatnya Hubungan (IKH) ... 68

Tabel : 3.3 Matriks Swot ... 69

Tabel : 3.4 IFAS... 71

Tabel : 3.5 EFAS ... 72

Tabel : 3.6 Nilai Skor IFAS ... 73

Tabel : 3.7 Nilai Skor EFAS ... 74

Tabel : 4.1 Luas Wilayah berdasarkan jumlah Kelurahan di kecamatan Tamalate ... 77

Tabel : 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Tamalate Tahun 2015 ... 82

Tabel : 4.3 Kepadatan Penduduk Kecamatan Tamalate Tahun 2015 .. 83

Tabel : 4.4 Luas Daerah Kumuh berdasarkan Kecamatan di Kota Makassar Tahun 2015 ... 84

Tabel : 4.6 Luas Wilayah berdasarkan RW di Kelurahan Mangasa ... 88

Tabel : 4.7 Pembagian Zona berdasarkan peruntukan ... 89

Tabel : 4.8 Penggunaan Lahan Di Kelurahan MangasaTahun 2015 .... 92

Tabel : 4.9 Kedapatan Bangunan Di Kelurahan Mangasa Berdasarkan Zona Tahun 2015 ... 94

Tabel : 4.10 Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Di Kelurahan Mangasa Tahun 2011-2015 ... 96

Tabel : 4.11 Kepadatan Penduduk Di Kelurahan Mangasa Tahun 2011-2015 ... 97

(15)

Tabel : 4.12 Kepadatan Penduduk Menurut Zona Di Kelurahan Mangasa Tahun 2015... 98 Tabel : 4.13 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat

Pendapatan ... 100 Tabel : 4.14 Distribusi Responden Terhadap

Jenis Pekerjaan ... 101 Tabel : 4.15 Distribusi Responden Terhadap

Jenis Kepemilikan Lahan ... 102 Tabel : 4.16 Distribusi Responden Terhadap

Jenis Tingkat Pendidikan ... 103 Tabel : 4.17 Distribusi Responden Terhadap Kondisi Jaringan Jalan ... 104 Tabel : 4.18 Distribusi Responden Terhadap Jaringan Drainas ... 107 Tabel : 4.19 Distribusi Responden Terhadap Kondisi Air Bersih ... 109 Tabel : 4.20 Distribusi Responden terhadap Sanitasi/MCK... 112 Tabel : 4.21 Distribusi Responden terhadap Prasarana persampahan .. 114 Tabel : 4.22 Distribusi Responden terhadap Kondisi Jaringan Listrik ... 116 Tabel : 4.23 Hasil Uji Chi-kuadrat Kondisi Ekonomi Terhadap

perkembangan permukiman kumuh

di Kelurahan Mangasa ... 119 Tabel : 4.24 Hasil Uji Chi- Square di tinjau dari aspek Non Fisik Pada

Kelurahan Mangasa Timur ... 119 Tabel : 4.25 Hasil Uji Chi-kuadrat Status kepemilikan Lahan Terhadap

perkembangan permukiman kumuh di kelurahan Mangasa 121

(16)

Tabel : 4.26 Hasil Uji Chi-Squer Kepemilikan Lahan terhadap

perkembangan permukiman kumuh Kelurahan Mangasa 122

Tabel : 4.27 Hasil Uji Chi-kuadrat PrasarasananTerhadap perkembangan permukiman kumuh di Kelurahan Mangasa 123 Tabel : 4.28 Nilai Bobot Efas (SWOT) ... 137

Tabel : 4.29 Nilai Bobot Ifas (SWOT) ... 139

Tabel : 4.30 Nilai Skor Efas (SWOT) ... 142

Tabel : 4.31 Nilai Skor Ifas (SWOT) ... 143

Tabel : 4.32 Analisis Matriks (SWOT) ... 146

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar : 4.1 Peta Administasi Kecamatan Tamalate ... 79

Gambar: 4.2 Peta Topografi Kecamatan Tamalate ... 81

Gambar : 4.3 Peta Pola Pengembangan Kota Makassar ... 86

Gambar : 4.4 Peta Administrasi Kelurahan Mangasa ... 90

Gambar : 4.5 Peta Pembagian Zona Kelurahan Mangasa ... 91

Gambar : 4.6 Peta Penggunaan Lahan Kelurahan Mangasa ... 93

Gambar : 4.7 Peta Kepadatan Bangunan ... 95

Gambar : 4.8 Peta Kepadatan penduduk ... 99

Gambar : 4.9 Peta Kondisi Jaringan Jalan ... 106

Gambar : 4.10 Peta Kondisi Kondisi Drainase Kelurahan Mangasa ... 108

Gambar : 4.11 Peta Kondisi Air Bersih Kelurahan Mangasa ... 111

Gambar : 4. 12 Peta Kondisi Sanitasi/MCK ... 113

Gambar : 4. 13 Peta Kondisi Persampahan Kelurahan Mangasa ... 115

Gambar: 4.14 Peta Kondisi Jaringan Listrik ... 117

Gambar: 4.15 Peta Analisis Kepadatan Bangunan ... 131

Gambar: 4.16 Grafik Kuadran SWOT, Pengendalian Permukiman Kumuh Di Kelurahan Mangasa ... 145

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penduduk yang merupakan komponen utama suatu kota, jika hendak melindungi diri dari berbagai gangguan alami dan melangsungkan kehidupan sosialnya, memerlukan tempat hunian atau perumahan yang membentuk suatu kesatuan permukiman. Sehubungan dengan itu kajian mengenai penduduk kota sulit dipisahkan dari permukimannya, yang secara tidak langsung juga mencerminkan karakteristik kota itu sendiri.

Selain itu peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi mengakibatkan kenaikan kebutuhan akan rumah, dimana rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping pendidikan dan kesehatan. Dalam upaya meningkatkan penyediaan rumah ternyata masih jauh diatas kemampuan penyediaan rumah baik itu dari pihak pemerintah maupun swasta dimana mengakibatkan masih banyak penduduk yang tinggal di lokasi yang tidak layak untuk kawasan permukiman diantaranya dilokasi permukiman kumuh serta lokasi yang tidak memenuhi kesehatan.

Pembangunan kawasan permukiman adalah mewujudkan tersedianya rumah dalam jumlah yang memadai dan memenuhi syarat- syarat sehat agar dapat memberikan kepuasan kepada penghuni, kuat dan dalam jangkauan daya beli masyarakat umum. (Adisasmita, 1999 : 11). Dengan demikian penataan perumahan dan permukiman ditujukan

(19)

untuk memenuhi tuntutan hidup masyarakat akan pelayanan fasilitas sosial, ekonomi, serta sarana dan prasarana.

Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan. pemukiman yang sehat adapun ciri-ciri hunian atau perumahan yang sehat di antaranya, pertama, sarana dan prasarana sanitasi ada dan terawat. Kedua adanya ventilasi udara yang cukup untuk pertukaran udara sehat. Ketiga, bangunan yang teratur. Kemudian ciri-ciri lainya, fungsi bangunan sebagai hunian bukan berfungsi yang lain. Ciri-ciri pemukiman sehat yang terkahir adalah ada penghijauan. dan Setiap orang pasti berupaya untuk memiliki kriteria hunian yang sehat lingkungan sebagai tempat tinggal bagi dirinya dan keluarganya, mengembangkan hubungan sosial dan membangun lingkungan permukimannya. Hal ini dikarenakan rumah sangat bermakna bagi eksistensi manusia, baik sebagaipribadi, keluarga maupun masyarakat dan di dukung dari tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangkapanjang dan berkelanjutan, efisien dan akuntabel sehingga terwujud kota tanpa pemukiman kumuh. Tujuan RPJMN terebut selaras dengan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) yang

(20)

di canangkanoleh PBB, yang menargetkan perbaikan kehidupan 100 juta penghuni permukiman kumuh pada tahun2020. Komunitas internasional telah mengakui pentingnya kebutuhan akan kota yang berkelanjutan baik dari segi lingkungan hidup maupun sosial.

Dalam rangka mendukung upaya untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh tersebut, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mencanangkan target 100-0-100 yaitu target program pembangunan bidang Cipta Karya sebagaimana tercantum dalam rancangan RPJMN 2015-2019, yaitu memberikan akses air minum 100%, mengurangi kawasan kumuh hingga 0%, dan menyediakan akses sanitasi layak 100%

untuk masyarakat Indonesia pada 2019. Target tersebut dikenal dengan Key Performance lndicators (KPI) 100-0-100 yang merupakan aktualisasi visi Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam mewujudkan permukiman layak huni dan berkelanjutan

Program Neigh borhood Upgrading and Shelter Project Phase-2 (NUSP-2) merupakan salah satu program strategis untuk mendukung upaya mengurangi kawasan kumuh di perkotaan hingga 0%. Program NUSP-2 akan di laksanakan di Kota Makasssar, khusunya di Kelurahan Mangsasa, yang Penyelenggaraan kegiatan NUSP-2 akan dilaksanakan selama 3 (tahun) yaitu pada tahun 2015-2017 100-0-100, sebagai upaya penanganan kawaan kumuh, yang rentan dengan persoalan air bersih, kumuh dan sanitasi, seperti halnya di kelurahan Mangasa, yang

(21)

merupakan kelurahah paling selatan kota Mangasa, berbatasan dengan Kabupaten Gowa Secara langsung, sangat rentan dengan persoalan Urbanisasi. Persoalan perumahan dan pemunkiman dikelurahan Mangasa dapat dikaitkan dengan persoalan urbanisasi, dimana kaum urban menempati lahan-lahan secara berpindah-pindah atau menggunakan lahan seperti sempadan sungai lahan milik pemerintah lainnya.

Dengan demikian masalah yang terjadi di kelurahan Mangasa terkait dengan permukiman kumuh merupakan masalah yang komleks, penelitian khususnya menganai Strategi Pengendalian terhadap pengembangan Permukiman kumuh agar hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian yaitu sebagai berikut :

1. Apa yang menyebabkan timbulnya permukiman kumuh di Kelurahan Mangasa KecamatanTamalate?

2. Bagaimana Strategi pengendalian permukiman kumuh di Kelurahan Mangasa Kecamatan Tamalate?

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Untuk mengetahui penyebab timbulnya permukiman Kumuhdi sekitar Kelurahan Mangasa KecamatanTamalate

(22)

b) Untuk merumuskan Strategi apa saja yang diperlukan dalam optimalisasi penanganan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Mangasa Kecamatan Tamalate.

2. Kegunaan Penelitian

a) Dapat membantu pemerintah dalam menentukan arahan pengendalian pertumbuhan permukiman Kumuh di sekitar Kelurahan Mangasa KecamatanTamalate.

b) Sebagai bahan pertimbangan untuk peneliti selanjutnya khususnya mengenai masalah pertumbuhan permukiman kumuh.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup pembahasan yang mencakup dalam penelitian ini adalah lingkungan permukiman yang ada di Kelurahan Mangasa Kecamatan Tamalate, dimana difokuskan pada beberapa faktor yang berpengaruh, diantaranya kondisi fisik wilayah penelitian, kondisi utilitas, kesesuaian dan kemampuan lahan yang ada dilokasi penelitian, aspek kependudukan serta kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

Bab I : PENDAHULUAN

Yang berisikan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Ruang Lingkup Penelitian, Sistimatika penulisan.

(23)

Bab II : TINJAUAN PUSTAKA

Yang berisikan tentang Pengertian Perumahan dan Pengertian Permukiman, Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Peranan dan Fungsi Permukiman, Konsep Dasar dan Teori yang Berhubungan Dengan Lokasi, Konsep Pengembangan Kawasan Permukiman, Kriteria Lokasi Perumahan dan Permukiman, Kriteria Fisik Kawasan Permukiman, Tipologi Perumahan, Penyediaan Sarana dan Prasarana Permukiman serta Kondisi Perumahan dan Perukiman Yang Berada Di Sekitar Pantai dan Kerangka Fikir.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ketiga ini membahas tentang metodologi penelitian studi yang meliputi, rancangan penelitian, objek penelitian, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, defenisi operasional variabel, teknik pengumpulan data, teknik analisis, kebutuhan data penelitian serta pada bagian akhir bab ini adalah kerangka pikir.

BAB : IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kecamatan Tamalate yaitu terdiri dari Kondisi Topografi Jenis Tanah, Tinjauan Aspek Kependudukan, Tinjauan daerah Permukiman permukiman Kumuh, Tinjauan Kebijakan Pemerintah ,Gambaran Umum Kondisi Permukiman Kumuh Kelurahan Mangasa yang terdiri dari Batas Administratif Kelurahan Mangasa, Penggunaan Lahan,

(24)

Kepadatan Bangunan, Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk,dan kemudian data Hasil responden terhadap Faktor timbulnya Permukiman Kumuh di tinjau dari kondisi non Fisik pada Kelurahan Mangasa yang terdiri dari ,Tingkat Pendapatan, Jenis Pekerjaan, Statu, Kepemilikan Lahan , Tingkat Pendapatan saelanjutnya data Hasil responden terhadap Faktor timbulnya Permukiman Kumuh yang di tinjau dari kondisi prasarana pada Kelurahan Mangasa, terdiri dari , Kondisi Sarana Permukiman Prasarana Jalan, Prasarana Drainase, Prasarana Air Bersih, Prasarana Sanitasi/MCK, Prasarana Persampahan, Prasarana Listrik, dan kemudian Hasil Uji Chi- Square di tinjau dari aspek Kepemilikan Lahan pada Kelurahan Mangasa dan Hasil Uji Chi- Square di tinjau dari aspek Prasarana Lingkungan pada Kelurahan Mangasa, Tinjauan Analisis Swot Dalam Pengendalian Permukiman Kumuh

BAB : V PENUTUP

Kesimpulan dan Rekomendasi

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perumahan

Menurut Undang-Undang Perumahan dan Permukiman Nomor 4 Tahun 1992, perumahan mempunyai batasan pengertian yaitu merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Sedangkan menurut Kamus Tata Ruang secara harfiah istilah perumahan berarti himpunan rumah-rumah dalam arti yang memasyarakat, maka perumahan merupakan suatu daerah hunian yang lengkap dengan rumah-rumah penduduk dan segala sarana dan prasarana kehidupan manusia yang diperlukan selain itu daerah perumahan juga dapat meliputi daerah yang luas maupun daerah yang sempit.

Menurut Catanese (1996), dalam pengertian tradisional, perumahan adalah tempat untuk berlindung, tetapi dalam dunia

modern perumahan dipergunakan untuk melayani berbagai kebutuhan dan bukan hanya melindungi manusia dari berbagai elemen.

Poeswardoyo S. dalam Budihardjo (1992 : 21) sejumlah masalah permukiman kota menguraikan adanya beberapa ciri-ciri hakiki

permukiman manusia :

 Rumah memberikan keamanan, sebagai tempat berteduh dari matahari, air hujan serta keanggapan udara polusi.

 Rumah memberikan ketenangan hidup yaitu lepas dari kesibukan dan keramaian.

 Rumah memberikan kemesraan dan kehangatan hidup yang mana hubungan intersubyektif nyaris tergeser dengan perhitungan non formal.

 Rumah memberikan kebebasan, rumah memberikan kondisi kepada pencapaian psikologis dan sosial.

B. Pengertian Permukiman

Permukiman adalah merupakan bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal

(26)

atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan, atau dengan kata lain tempat atau daerah untuk bertempat tinggal atau tempat untuk menetap.( Kamus Tata Ruang).

Permukiman adalah kumpulan sejumlah besar rumah-rumah yang terletak pada suatu kawasan tertentu, berkembang atau diadakan untuk dapat mengakomodasikan sejumlah besar keluarga yang memerlukannya. Sedangkan arti secara luas permukiman adalah rumah dan fasilitas pendukungnya yang membentuk suatu lingkungan serta berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian (Undang-Undang. No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman. Bab I pasal 1, halaman 2-3).

Dengan melihat beberapa penjelasan mengenai perumahan dan permukiman diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa permukiman adalah suatu kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan serta tempat yang memberikan pelayanan dan kesempatan kerja terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan sehingga permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna

C. Pengertian Permukiman Kumuh 1. Pengertian Permukiman Kumuh

Kota pada awalnya berupa permukiman dengan skala kecil, kemudian mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi, dan budaya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Namun yang terjadi dengan kota-kota di indonesia adalah bahwa pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana kota dan peningkatan pelayanan perkotaan. Bahkan yang terjadi justru sebagai kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan permukiman kumuh. sebagian penghuni kota berprinsip sebagai alat mencari penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian prisip mereka harus hemat dalam arti yang luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan, pengoperasian dan

(27)

pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sisitem strukturnya (Sobirin, 2001:41).

Akibatnya, muncul permukiman kumuh di beberapa wilayah kota yang merupakan hal yang tidak dapat dihindari, yaitu tidak

direncanakan oleh pemerintah tetapi tumbuh sebagai proses

alamiah.Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai kriteria dalam menentukan kekumuhan atau tidaknya suatu kawasan permukiman.

Menurut studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999 :8-9), untuk menentukan kekumuhan suatu kawasan, dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu :

1. Kondisi bangunan atau rumah,

2. Ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan, 3. Kerentanan status penduduk, dan

4. Berdasarkan aspek pendudukung, seperti tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai, kurangnya tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial dan dapat dikatakan hampir tidak ada fasilitas yang dibangun secara bersama swadaya maupun non swadaya oleh masyarakat. Berdasarkan kriteria tersebut maka studi tersebut menentukan tiga skala permukiman kumuh, yaitu tidak kumuh, kumuh dan sangat kumuh.

Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitek tersebut, Laboratorium Permukiman, Jurusan Arsitektur ITS, Surabaya (Rudiyantono, 2000:8), hanya menentukan dua standart permukiman kumuh, yaitu :

1. Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang antara lain dilihat dari stuktur rumahnya, pemisahan fungsi ruang, kepadatan hunian/rumah dan bangunan dan tatanan bangunan.

2. Ditinjau dari ketersediaan prasarana dasar lingkungan, seperti pada air bersih, sanitasi, ketersediaan fasilitas tempat ibadah,

(28)

pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi, ada tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak mempertimbangkan kriteria non fisik seperti kerentanan status penduduk untuk melihat tingkat tingkat kekumuhan permukiman.

Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999:8), menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menentukan permukiman kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang ilegal, dengan keadaan fisiknya yang sub standrat;

penghasilan penghuni amat rendah (miskin), tak dapat dilayani berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya oleh publik (kecuali yang berkepentingan). Berdasarkan kriteria Silas tersebut, aspek legalitas juga merupakan kriteria yang harus dipertimbangkan untuk menentukan kekumuhan suatu wilayah selain buruknya kondisi kualitas lingkungan yang ada.

Permukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya permukiman berasal dari kata housing dalam bahasa inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya adalah permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land settlement. Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan permukiman merupakan dua hal yang tidak dapat

(29)

dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih,2007).

Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan

penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan (Kurniasih,2007).

Menurut UU No. 4 pasal 22 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dimana permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan atau tata ruang, kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya.

Masrun (2009) memaparkan bahwa permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka / rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan.

Khomarudin (1997) lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha),

2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah,

(30)

3. Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standar, 4. Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis

dan kesehatan,

5. Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diatur perundang undangan yang berlaku.

Gambaran lingkungan kumuh, (Khomarudin,1997) adalah sebagai berikut :

1. Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan,

2. Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni,

3. Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan,

4. Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni,

5. Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan,

6. Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan),

7. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan),

8. Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non-formal, 9. Pendidikan masyarakat rendah.

Sedangkan Menurut Sinulingga (2005) ciri-ciri kampung/permukiman kumuh terdiri dari :

(31)

1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.

2. Jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.

3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.

4. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah.

5. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.

6. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat.

7. Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.

(32)

Menurut UNCHS ( 1982; dalam Sochi, 1993) ciri – ciri permukiman kumuh ini antara lain :

1. Sebagian besar terdiri atas rumah tua (rusak) pada bagian lama suatu kota ( semula didirikan dengan ijin),

2. Sebagian besar penghuninya merupakan penyewa,

3. Di beberapa tempat ada rumah bertingkat pemilik yang sekaligus menyewakan beberapa rumah kumuh,

4. Kepadatan rumahnya tinggi,

5. Ada yang berasal dari proyek perumahan yang kurang terpelihara, dan

6. Ada yang dibangun oleh sektor informal, dengan sewa murah untuk menampung migran ekonomi lemah yang datang dari desa.

Permukiman kumuh dipilah atas tiga macam berdasarkan asal atau proses terjadinya, yaitu (Sutanto, 1995):

1. Kumuh bangunan (created), daerah hunian masyarakat ekonomi lemah dengan ciri fisik :

 Bangunan mudah dipindah,

 Dibangun dengan bahan seadanya,

 Sebagian besar dibangun sendiri oleh penghuni (kumuh sejak awal).

2. Kumuh turunan (generated);

 Rumah – rumah yang semula dibanguan dengan ijin, pada bagian kota yang lama, kondisinya semakin memburuk sehingga menjadi rumah kumuh,

(33)

 Desa lama yang terkepung oleh pemekaran kota yang cepat,

 Banguan dan prasarana merosot oleh kurangnya pemeliharaan.

3. Kumuh dalam proyek perumahan (in project housing);

 Kelompok proyek perumahan yang disediakan oleh badan pemerintah bagi masyarakat ekonomi lemah,

 Rumah – rumah diperluas sendiri oleh penghuni dengan pemeliharaan sangat jelek yang mengakibatkan kemerosotan jasa prasarana.

D. Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh

Menurut Khomarudin, 1997 penyebab utama tumbuhnya permukiman kumuh adalah sebagai berikut :

1. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,

2. Sulit mencari pekerjaan,

3. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,

4. Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,

5. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta disiplin warga yang rendah,

6. Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.

Menurut Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003:3-5) penyebab adanya permukiman kumuh adalah:

(34)

1. Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat,

2. Karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi, sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik.

Menurut mereka keadaan kumuh tersebut dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial, budaya para penghuni permukiman tersebut.

Adapun ciri-ciri kawasan permukiman kumuh dapat tercermin dari :

1. Penampilan fisik bangunannya yang makin kontruksi, yaitu banyaknya bangunan-bangunan temporer yang berdiri serta nampak tak terurus maupun tanpa perawatan,

2. Pendapatan yang rendah mencerminkan status ekonomi mereka, biasanya masyarakat kawasan kumuh berpenghasilan rendah,

3. Kepadatan bangunan yang tinggi, dapat terlihat tidak adanya jarak antara bangunan maupun siteplan yang tidak terencana, 4. Kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakatnya yang

heterogen,

5. Sistem sanitasi yang miskin atau tidak dalam kondisi yang baik, 6. Kondisi sosial yang tidak dapat baik dilihat dengan banyaknya

tindakan kejahatan maupun kriminal,

7. Banyaknya masyarakat pendatang yang bertempat tinggal dengan menyewah rumah.

(35)

E. Faktor Penyebab Pertumbuhan Permukiman Kumuh

Dalam perkembangannya pertumbuhan permukiman kumuh ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Constantinos A.Doxiadis (1968), disebutkan bahwa pertumbuhan permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

 Growth of density (pertambahan penduduk)

Dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman.

 Urbanization (Urbanisasi)

Dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota.

Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota.

Dari pendekatan di atas Maka yang berpengaruh timbulnya permukiman kumuh di pengaruhi oleh factor pertambahan jumlah penduduk dan tingkat urbanisasi yang tinggi pada kawasan perkotaan dan untuk lebih jelasnya menurut Menurut Drs. Khomarudin, MA (1997:83- 112) lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut :

a. Lingkungan yg berpenghuni padat (melebihi 500 org per Ha) b. Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah

(36)

c. Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standar d. Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis

dan kesehatan

e. Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diluar perundang-undangan yang berlaku.

F. Karakteristik Permukiman Kumuh 1. Karakteristik Fisik

Karakteristik permukiman kumuh, (Silas,1996) adalah sebagai berikut :

a. Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.

b. Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa.

c. Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi.

Kriteria permukiman kumuh menurut Yudohusodo dalam Ridlo (2001:22), yaitu :

a. Bentuk hunian tidak berstruktur;

(37)

b. Bentuk hunian tidak berpola dengan letak rumah dan jalan- jalannya tidak beraturan;

c. Tidak tersedianya fasilitas umum;

Tidak tersedia fasilitas, sarana dan prasarana permukiman dengan baik, misalnya tidak ada got, sarana air bersih dan jalan yang buruk. Kriteria-kriteria tersebut merupakan kriteria yang ditinjau dari kondisi permukiman kumuh pada umumnya.

2. Karakteristik Ekonomi

Beberapa hal terkait timbulnya permukiman kumuh dan itu dapat ditinjau dari segi ekonomi masyarakat yang bermukim di kawasan permukiman kumuh, beberapa karakteristiknya adalah :

1. Masyarakat berpenghasilan rendah;

2. Berprofesi sebagai pengangguran, pengemis, buruh bangunan, pemulung, penjual dagangan pikul dan penjual dagangan gerobak dorong;

Menurut Komarudin (1997:88), permukiman kumuh disebabkan karena terjadi migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, sulitnya mencari pekerjaan sehingga sulit mencicil atau menyewa rumah.

Seperti hal tersebut di atas, bahwa karakteristik ekonomi masyarakat di permukiman kumuh sesungguhnya adalah kemampuan masyarakat dalam bertahan hidup di garis kemiskinan, disebut miskin karena pada umumnya masyarakat yang bermukim di permukiman kumuh merupakan masyarakat yang tidak memiliki penghasilan dan berpenghasilan rendah.

Hal ini tentunya mempengaruhi cara hidup masyarakat di permukiman

(38)

tersebut, khususnya dalam bentuk hunian tempat tinggal dan lingkungan huniannya.

3. Karakteristik Sosial

Beberapa karakteristik sosial dalam permukiman kumuh dapat di klasifikasikan sebagai berikut adalah :

1. Rata-rata masyarakat memiliki sosialisasi yang tinggi;

2. Ikatan keluarga yang erat;

3. Pada umumnya memiliki struktur keluarga yang tidak menguntungkan.

Beberapa kriteria tersebut ditinjau dari pola hidup bersosialisasi di masyarakat permukiman kumuh pada umumnya. Masyarakat di permukiman kumuh rata-rata memiliki hubungan sosial yang tinggi karena persamaan nasib, pola hidup atau suku yang sama. Karena persamaan inilah timbul ikatan kekeluargaan yang erat, sehingga tidak ada perbedaan tingkat sosial tetapi timbul pola hidup masyarakat yang saling bekerjasama dan tolong-menolong. Namun beberapa dari masyarakat tersebut mengalami kegagalan sosialisasi seperti egoisme dan tidak menerima keadaan tinggal di permukiman kumuh, akibatnya menjadi masyarakat yang cenderung bertindak ke arah kriminalitas. Hal ini terjadi akibat kecemburuan sosial pada masyarakat yang memiliki tingkat sosial lebih tinggi.

4. Karakteristik Budaya

Terkait dengan permukiman kumuh dengan pola hidup masyarakat yang menjadi kebiasaan hingga membudaya sehingga masalah

(39)

kekumuhan sulit untuk diatasi, beberapa hal terkait dengan budaya masyarakat yang bermukim di permukiman kumuh, adalah :

1. Membuang sampah sembarangan;

2. Bersifat Terbuka;

3. Mencuci di pinggir sungai/kali;

4. Mandi dan buang air di pinggir sungai/kali atau di kebun;

5. Bercocok tanam di halaman sendiri atau di kebun;

6. Penggunaan barang bekas rumah tangga atau material bekas bangunan.

7. Umumnya permukiman kumuh berada di atas tanah negara, tanah

8. perorangan, badan hukum atau yayasan yang belum dibangun pemiliknya;

9. Fungsi kota yang beraturan dan tidak beraturan;

10. Kondisi bangunan sangat buruk, bahan bangunan yang digunakan bersifat semi permanen dan non permanen.

Berdasarkan beberapa pengertian dan karakteristik permukiman kumuh seperti yang telah dijelaskan dapat di simpulkan bahwa permukiman kumuh merupakan lingkungan permukiman yang berkembang tanpa ada suatu perencanaan sehingga secara keseluruhan memiliki kondisi fisik bangunan yang tidak layak dihuni, kondisi bangunan yang saling berhimpitan satu dengan lainnya, tidak memiliki sarana dan prasarana pendukung permukiman yang memadai, memiliki tingkat kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk yang tinggi dan kebanyakan dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

(40)

G. Tipologi Permukiman Kumuh

Berdasarkan kondisi dan permasalahan lingkungan permukiman yang diamati di lapangan, kawasan permukiman kumuh dapat dibedakan dalam 7 (tujuh) tipologi. (Laporan Review Kawasan Permukiman Kumuh Sulawesi Selatan tahun 2002) Masing-masing tipologi memiliki karakter khas yang memberi corak kehidupan lingkungan permukiman tersebut.

Ketujuh tipologi permukiman kumuh tersebut adalah sebagai berikut:

5. Permukiman kumuh nelayan

Permukiman kumuh nelayan adalah permukiman kumuh yang terletak di luar arena antara garis pasang tertinggi dan terendah, dengan bangunan-bangunan yang langsung bertumpu pada tanah, baik itu bangunan rumah tinggal atau bagunan lainnya. Rata-rata lokasinya ditepi pantai.

6. Permukiman kumuh dekat pusat kegiatan sosial ekonomi.

Permukiman kumuh dekat pusat kegiatan sosial-ekonomi adalah permukiman kumuh yang terletak di sekitar pusat-pusat aktifitas sosial- ekonomi. Seperti halnya lingkungan industri, sekitar pasar tradisional, pertokoan, lingkungan pendidikan/kampus, sekitar obyek-obyek wisata dan pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi lainnya.

7. Permukiman kumuh pusat kota

Permukiman kumuh pusat kota adalah permukiman kumuh yang terletak di tengah kota (urban core), yang sebagai permukiman lama atau kuno atau tradisional. Permukiman yang dimaksud disini adalah

(41)

permukiman yang dahulu merupakan permukiman yang diperuntukkan bagi hunian kalangan menengah ke bawah.

8. Permukiman kumuh pinggiran kota

Permukiman kumuh pinggiran kota adalah permukiman kumuh yang berada di luar pusat kota (urban fringe), yang ada pada umumnya merupakan permukiman yang tumbuh dan berkembang di pinggiran kota sebagai konsekuensi dari perkembangan kota, perkembangan penduduk yang sangat cepat serta tingkat perpindahan penduduk dari desa ke kota yang sangat tinggi.

9. Permukiman kumuh daerah pasang surut

Permukiman kumuh daerah pasang-surut adalah permukiman kumuh yang terletak didaerah antara garis pasang tertinggi dan terendah yang secara berkala selalu terendam air pasang, dengan sebagian besar type bangunan yang ada baik itu bagunan rumah tinggal maupun bangunan lainnya adalah type panggung. Jalan penghubung antara bangunan yang satu dengan bangunan lainnya adalah jalan titian.

Karakter lain yang cukup menonjol adalah perletakan dermaga atau tempat menambak perahu yang berdekatan dengan permukiman.

10. Permukiman kumuh daerah rawan bencana

Permukiman kumuh tepian sungai adalah permukiman kumuh yang terletak didaerah rawan bencana alam, khususnya tanah longsor, gempa bumi.

(42)

11. Permukiman kumuh tepian sungai

Permukiman kumuh tepian sungai adalah permuiman kumuh yang berada di diluar Garis Sempadan Sungai (GSS). Permukiman kumumuh tepian sungai ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe. (1) apa bila sungai yang bersangkutan mempunyai tanggul, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, lingkungan permukiman yang dimaksud terletak sekurang- kurangnya 5 (lima) meter sepanjang kaki tanggul sedangkan untuk sungai tidak bertanggul, letak permukiman yang dimaksud berada diluar sempadan sungai yang lebarnya ditetapkan oleh pemerintah setempat.

Demikian juga permukiman untuk sungai yang bertanggul dan tidak bertanggul, yang berada diwilayah perkotaan, letak permukiman yang dimaksud berada diluar sempadan garis sempadan sungai yang lebarnya ditetapkan oleh pemerintah setempat. (2) lingkungan permukiman yang kumuh yang berada dikota-kota yang secara histories menetapkan sungai sebagai komponen prasarana yang sangat vital dan masih berlangsung sampai saat ini.

Pada umumnya letak permukiman kumuh dikota-kota seperti ini berada di koridor tepian sungai. Karakteristik bangunban dan lingkungan ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu tipe rakit, panggung dan bertumpu langsung pada tana. Unit-unit bangunan tipe panggung pada umumnya merupakan transisi antara bangunan tipe rakit yang bertumpu langsung pada tanah. Melihat karakteristik Sifat dan tipologi yang diuraikan diatas dapat dikatakan bahwa tipologi penelitian yang

(43)

dilaksanakan adalah kategori penelitan permukiman kumuh pusat kota dan permukiman kumuh nelayan.

H. Klasifikasi Permukiman Kumuh

Untuk mengidentifikasi jenis/tipe kawasan permukinian kumuh maka dilakukan penggolongan atau kiasifikasi, hal liii digunakan sebagai langkah dalam penanganan selanjutnya pada kawasan tersebut agar mudah menemukenali dan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi di kawasan permukiman kumuh. Prof. Eko Budihardjo mengklasifikasikan permukiman kumuh berdasarkan pada karakter fisik dan aspek legalitasnya, ada dua jenis permukiman kurnuh yaitu:

1. Kategori Slum, yaitu kawasan kumuh tetapi diakui sah sebagai daerah permukiman;

2. Kategori Squatter Settlement, yaitu: pemukiman kumuh liar, yang menempati lahan yang tidak ditetapkan untuk kawasan hunian, misalnya: di sepanjang pinggir rel kereta api, di pinggir kali, di kolong jembatan, di pasar, di kuburan, di tempat pembuangan sampah, dan lainnya. Dan segi legalitasnya, kategori permukiman liar (squatter) umumnya menempati lahan yang bukan dalam hak penguasaannya misalnya pada lahan kosong yang ditinggal pemiliknya atau pada lahan kosong milik negara.

Dalam hal yang sama Taylor (dalam Suparlan, 1995: hal 92-95) juga melakukan penggolongan terhadap wajah dan masing-masing perkampungan melarat dan kelompok gubuk-gubuk liar di perkotaan ke dalam sekurang-kurangnya 4 (empat) tipe, yaitu:

1. Kampung-kampung perumahan di tengah kota

(44)

2. Daerah penghuni gubuk-gubuk liar di tengah kota 3. Daerah-daerah penghuni gubuk liar di pinggiran kota 4. Tempat-tempat penghuni liar yang terapung

Nampaknya Taylor melakukan penggolongan terhadap permukiman liar berdasarkan lokasinya dimana mereka berada dalam suatu kota, di pusat kota atau dipinggiran (periphery), namun tidak kesemua penggolongan yang dibuatnya (ke-empat golongan) secara lengkap dijumpai dalam sebuah kota. Taylor juga tidak membedakan dan aspek legalitasnya, hal mi penting terutama bagi pemerintah di dalam menangani masalah permukiman atau perumahan di bawah standar di kota.

Sementara Siswono dalam bukunya membagi 3 (tiga) tipe perumahan yang tidak teratur di perkotaan, yaitu Tipe Kampung, Tipe Perumahan Liar dan Tipe Permukiman Kumuh (yang berupa kampung dan peruniahan liar).

1. Tipe Kampung

berbeda dengan tipe perumahan liar, yaitu pada status pembangunan rumahnya. Rumah-rumah kampung dibangun di atas tanah yang telah dimiliki, disewa, atau dipinjam dan pemuliknya. Pembangunan rumah di kampung dilakukan dengan setahu dan seijin pemilik tanahnya, sedangkan rumah-rumah di perumahan liar dibangun secara ilegal, tanpa setahu dan seijin pemilik tanahnya. Rumah-rumah di kampung ada yang memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (1MB) adapula yang tidak. Kampung merupakan lingkungan masyarakat yang sudah mapan, yang terdiri dan golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan

(45)

menengah, yang pada umumnya kondisi sarana dan prasarananya kurang memadai.

2. Tipe Perumahan Liar

biasanya tumbuh agak jauh dan jalan kendaraan, terletak dipinggir-pinggir sungai, bantaran sungai, di sepanjang jalan kereta api, di sekitar pasar, di sekitar stasiun kereta api, dan di daerah rendah yang sering kebanjiran. Daerah-daerah tersebut pada umumnya berupa tanah yang belum dipergunakan, ditinggalkan, atau tidak diawasi lagi oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Penghuni merupakan pendatang dan pedesaan dan kota-kota lainnya dan berpenghasilan rendah sekali. Mereka tinggal dengan gubuk-gubuk, tetapi kadang ada pula yang dibangun secara permanen.

3. Tipe Permukiman Kumuh,

berupa kampung dan perumahan liar yang ditempati oleh masyarakat berpenghasilan rendah bahkan sangat rendah, dengan kepadatan penduduk dan bangunan yang sangat tinggi (beberapa ratus hingga ribu orang perhektar), dengan kondisi rumah dan Iingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan maupun persyaratan teknis, dengan pola yang tidak teratur karena tidak direncanakan lebih dahulu, dan besarnya kota sangat berpengaruh terhadap kepadatan permukiman kumuh tersebut. Lokasi permukiman kumuh semakin dekat dengan pusat kota semakin tinggi kepadatan penduduknya. Ciri yang

(46)

cukup menonjol dan permukiman kumuh mi adalah fungsinya sebagai daerah transisi antara kehidupan pedesaan dengan kehidupan kota, atau sebagai pusat proses terjadinya urbanisasi.

Dan kiasifikasi perumahan tidak teratur yang dibuat Siswono et.al.

ternyata terdapat kesulitan dalam membedakan istilah “kampung” karena pemakaian kata kampung juga berlaku baik di perkotaan maupun di pedesaan, sementara kondisi fisik dan aspek legalitas keduanyajuga dijumpai pada kawasan perkampungan.

Berdasarkan Iokasinya, lingicungan permukiman kumuh mi dibagi ke dalarn 5 (lima) kelompok menurut Siswono, yaitu:

1. Pertama, yang berada pada lokasi yang sangat strategis dalam mendukung fungsi kota yang menurut rencana kota dapat dibangun untuk komersial atau pelayanan

masyarakat kota yang bailq

2. Kedua, yang lokasinya kurang strategis dalam mendukung fungsi kota dan memberi pelayanan kepada masyarakat kota. Meskipun dalam rencana kota untuk dijadikan kawasan komersial namun kurang memiliki berpotensi;

3. Ketiga, Iokasinya tidak strategis dan menurut rencana kota hanya boleh dibangun untuk perumahan;

4. Keempat, permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang menurut rencana kota tidak diperuntukkan bagi perumahan, 5. Kelima, permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang

berbahaya, yang menurut rencana kota disediakan untuk jalur

(47)

pengaman, seperti bantaran sungai, jalur jalan kereta api, danjalur tegangan listrik.

Dan beberapa kiasifikasi permukiman kumuh tersebut di atas temyata yang cukup mudah diidentiflkasikan perbedaannya terhadap kondisi permukiman kumuh diperkotaan adalah menurut klasiflkasi Budihaio (1997) yang membedakan ke dalam dua kelompok kategori permukiman yaitu permukiman yang slum dan squatter. Hal yang sama juga ditandaskan oleh Mc Gee dalam bukunya mengenai Kota AsiaTenggara (dalam Suparlan,1995: 92) bahwa perlu dibedakan ke dalam dua kelompok antara kampung dengan ketompok penghunian liar sebagai jenis yang nyata dan daerah-daerah perumahan di bawah standar di kota. Memang tepat bila kelompok gubuk-gubuk liar tersebut dicap sebagai “kainpung” (meskipun tidak selalu demikian), tetapi karena tempat-tempat itu umumnya terdiri dan gubuk-gubuk lapuk tanpa fasilitas prasarana dan sarana dasar permukiman yang memadai, seperti, Iistiik, air bersih, sanitasi danjalan lingkungan yang wajar, maka dapatlah mereka dibedakan dengan kampung-kampung yang kumuh (slum) yang sangat padat penduduknya namun mempunyal “hak milik berdasarkan hukum”. Secara teknis, penghunip enghuni liar (squatter) telah begitu saja menyerobot tanah dan mendirikan tempat tinggal secara melanggar hukum serta melanggar hak-hak atas tanah mililc, suatu fakta yang merupakan masalah sulit bagi pemerintah kota.

Memang, semua kampung tidak dilengkapi dengan prasarana atau sarana yang memadai, lebih-lebih dengan makin dipadatinya kampung itu

(48)

oleh para pendatang, mengakibatkan keadaan linglcungan kampung menjadi makin merosot. Menurut Herlianto (Kompas, 1981) keadaan penduduk makin berjubel dan bangunan bangunan makin padat; keadaan jalan umumnya makin parah dan tidak lagi mencukupi; selokan-selokan sudah tidak lagi marnpu berfungsi sehingga mudah mengakibatkan banjir;

keada.an tempat mandi cud maupun kakus (MCK) makin gawat, dengan makin banyaknya orang; kurangnya sumber air minum makin dirasakan, masalah pembangunan sampah dan kesehatan lingkungan menjadi gawat.

I. Pengertian Urbanisasi

Pengertian urbanisasi ini sangatlah sulit untuk mendefinisikannya.

Yaitu harus dengan pertimbangan-pertimbangan karena sangat multisektoral dan kompleks. Menurut Bintarto (1983:9-10) pengertiannya dapat dilihat dari beberapa sektor, misalnya :

1. Dari segi Demografi, urbanisasi ini dilihat sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dan perubahan dalam jumlah penduduk dalam satu wilayah.

2. Dari segi ekonomi, urbanisasi ini dilihat dari perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat pada banyaknya penduduk desa yang meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja yang sifatnya non-agraris di kota.

3. Dari sudut pandang seseorang ilmuwan perilaku (behavioral scientist) urbanisasi dilihat dari segi pentingnya atau sejauh

(49)

mana manusia itu dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang berubah-ubah baik yang disebabkan oleh kemajuan teknologi maupun dengan adanya perkembangan baru dalam kehidupan.

J. Perkembangan Kota dan Urbanisasi

Secara teoritis pembangunan berarti menciptakan perbaikan dan meningkatkan kualitas, baik infrastruktur fisik maupun kehidupan sosial.

Namun dalam proses dan implementasinya, pembangunan di perkotaan seringkali melahirkan dampak ikutan baru yang menimbulkan problema, antara lain masalah migrasi terutama urbanisasi. Ada beberapa pendapat mengenai penyebab migrasi khususnya urbanisasi. Organisasi Buruh Sedunia (ILO) berpendapat bahwa kota memberi kesempatan kerja lebih banyak daripada desa (Darrundono, 2007). Keputusan bermigrasi merupakan suatu respon terhadap harapan tentang penghasilan yang lebih baik, yang akan diperoleh di tempat tujuan (kota) dibandingkan dengan yang diterima di tempat asal yakni desa (Todaro dan Smith, 2004).

Lebih lanjut, Douglass dalam Darrundono (2007) berpendapat bahwa perbedaan yang mencolok antara upah buruh di desa dengan di kota merupakan salah satu penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke kota. Sedangkan De Soto dalam Darrundono (2007) menyatakan bahwa tidak menjadi soal benar atau salah, penduduk membuat keputusan untuk bermigrasi karena mereka yakin bahwa migrasi akan memberi manfaat pada mereka.

(50)

Menurut Anharudin (2004), migrasi merupakan salah satu yang mewarnai dinamika kependudukan dan berdasarkan arah persebarannya proses migrasi dapat terjadi secara terpaksa, spontan dan terencana.

Mobilitas penduduk karena terpaksa (migran terpaksa) terjadi karena beberapa faktor, antara lain akibat bencana alam dan atau tragedi sosial seperti konflik bersenjata atau akibat dari situasi-situasi rawan lainnya.

Sedangkan mobilitas penduduk secara spontan (migran spontan) terjadi secara alamiah atas inisiatif pelakunya dengan dorongan (motif) perbaikan ekonomi, namun apabila terjadi secara tidak terkendali dapat menimbulkan masalah-masalah baru seperti okupasi (pendudukan) lahan yang melahirkan permukiman liar (tidak sesuai dengan peruntukannya).

Reverstain, pelopor teori migrasi (Sinulingga, 2005) mengatakan bahwa migrasi terdiri dari dua jenis, yaitu migrasi permanen dan migrasi sementara. Migrasi permanen adalah perpindahan penduduk yang berakhir pada menetapnya migran pada tempat tujuannya, sedangkan migrasi non permanen/sementara adalah perpindahan penduduk yang tidak menetap pada tempat tujuan migran, tetapi kembali ke tempat asal atau berpindah ke lain tempat. Migran non-permanen hanya tinggal untuk sementara waktu di kota (bisa dalam hitungan minggu atau bulan) tetapi datang dan pergi dalam jangka waktu tertentu. Karena sifatnya yang sementara dan masih berorientasi ke desa/daerah asalnya (dalam arti pendapatan yang diperoleh di kota dibawa pulang ke desa), pada umumnya migran non-permanen kurang memperhatikan kondisi

(51)

lingkungan tempat tinggalnya selama berada di kota (Haning dan Mita, 2005).

Bilsborrow dalam Sinulingga (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor kontekstual atau kemasyarakatan perlu diperhitungkan dalam menjelaskan fenomena niat bermigrasi. Faktor-faktor tersebut meliputi karakteristik daerah asal dan tujuan, kesempatan kerja, tingkat upah, tanah dan sistem pemilikannya, ikatan keluarga, sistem warisan, jaringan transportasi dan komunikasi, akses terhadap berbagai fasilitas dan pelayanan, faktor iklim, program pemerintah, dan lain-lain.

Tekanan arus urbanisasi yang melonjak begitu cepat menimbulkan akibat terhadap pengaturan tata ruang kota, yang pada umumnya kurang menguntungkan kelompok masyarakat miskin. Pola pengembangan kota yang konsentrik dan memusat, bukan hanya menyebabkan kelompok masyarakat miskin makin terdesak ke daerah pinggiran kota, tetapi seringkali mereka juga harus berpuas diri dengan minimnya berbagai fasilitas publik, jauh berbeda dengan warga kota yang ekonominya lebih maju. Luas tanah yang terbatas di perkotaan umumnya dikuasai oleh orang kaya dan pemerintah kota setempat.

Salah satu yang merupakan masalah terbesar kota-kota di Negara Dunia Ketiga saat ini adalah peruntukan ruang untuk permukiman kelompok masyarakat miskin, dimana kesempatan kelompok ini untuk memperoleh akses tanah di perkotaan makin terbatas bahkan nyaris tidak ada. Kemampuan penyediaan perumahan secara formal (seperti real estate, perumahan swasta/pemerintah) hanya menyentuh golongan

(52)

menegah ke atas, sedangkan golongan berpendapatan rendah belum tersentuh dan dibiarkan mencari jalan keluar sendiri. Menurut penelitian Dinas Perumahan DKI, karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi, orang miskin dibiarkan memikirkan nasib mereka sendiri (Darrundono, 2007). Oleh karena rumah merupakan kebutuhan utama, maka pilihan kelompok masyarakat miskin perkotaan adalah melakukan penyerobotan tanah untuk membangun tempat tinggal di tanah-tanah kosong milik pemerintah atau swasta tanpa status yang jelas, yang diistilahkan sebagai permukiman liar.

K. Lingkup Penanganan Permukiman Kumuh

Sesuai dengan UU No. 4/1992 pasal 27, lingkup penanganan lingkungan permukiman kumuh mencakup hal-hal sebagi berikut : Perbaikan dan pemugaran Secara konseptual, implementasi prinsip perbaikan dan pemugaran meliputi :

1. Revitalisasi

adalah upaya menghidupkan kembali suatu kawasan mati, yang pada masa silam pernah hidup, atau mengendalikan dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki oleh sebua kota,

2. Rehabilitasi

merupakan upaya mengembalikan kondisi komponen fisik lingkungan permukiman yang mengalami degradasi,

3. Renovasi

adalah melakukan perubahan sebagian atau beberapa bagian dari komponen pembentukan lingkungan permukiman,

(53)

4. Rekontruksi

merupakan upaya mengembalikan suatu lingkungan permukiman sedakat mungkin dari asalnya yang diketahui, dengan menggunakan komponen-komponen baru maupun lama,

5. Preservasi

merupakan upaya mempertahankan suatu lingkungan pemukiman dari penurunan kualitas atau kerusakan. Penanganan ini bertujuan untuk memelihara komponen yang berfungsi baik dan mencegah dari proses penyusutan dini (kerusakan), misalnya dengan menggunakan instrument : ijin mendirikan bangunan (IMB). Ketentuan atau pengaturan tentang : Koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Dasar Bangunan, Garis Sempadan Bangunan, Garis Sempadan Jalan dan Garis Sempadan Sungai .

6. Peremajaan

Peremajaan adalah upaya pembongkaran sebagian atau keseluruhan lingkungan perumahan dan pemukiman dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan sarana lingkungan perumahan dan pemukiman baru yang lebih layak dan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan nilai pemanfaatan lahan yang optimal sesuai dengan potensi lahannya.

7. Pengolahan dan pemeliharaan berkelanjutan

Pengolahan dan pemeliharaan berkelanjutan adalah upaya-upaya untuk mencengah, mengendalikan atau mengurangi dampak negatif yang timbul, serta meningkatkan dampak positif yang timbul terhadap lingkungan hunian.

(54)

L. Konsep dan Strategi Pengendalian Permukiman Kumuh

Konsep dasar penanganan permukiman kumuh ialah Undang- Undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yaitu melalui kegiatan peremajaan, pemugaran dan pemeliharaan.

Beberapa program-program sebagai upaya pengendalian permukiman kumuh adalah sebagai berikut :

1. Konsep Peremajaan

Undang-undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pasal 96 menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh meliputi upaya melalui pemugaran, peremajaan serta pemukiman kembali.

Program peremajaan lingkungan permukiman itu sendiri didefinisikan sebagai kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan harkat masyarakat berpenghasilan rendah, yang dilakukan melalui penataan dan perbaikan kualitas yang lebih menyeluruh terhadap kawasan hunian yang sangat kumuh.

Peremajaan lingkungan permukiman kumuh ini dapat dilakukan pada kawasan dengan kriteria berikut :

a. Kriteria Kota :

 Kota-kota di kawasan andalan.

 Kota-kota yang berfungsi strategis (Ibu kota Propinsi atau Kabupaten atau kota-kota yang mempunyai fungsi khusus).

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non

Myös sosiaalityö ammattina osallistuu hallintaan ja asiakkaitaan normaalistaviin käytän- töihin. Sosiaalityössä työskennellään asiakasryhmien kanssa, jotka määrittyvät

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa efektifitas terapi okupasi terhadap perkembangan motorik halus anak autis di SLB Khusus

Perilaku mengkonsumsi diet yang tidak sehat (obesitas) sebagai faktor risiko tertinggi kejadian hipertensi pada masyarakat di desa Slahung Ponorogo dengan prosentase sebesar

Adrenalin terhadap Pola Respon Mobilitas Sel Imunokompeten dalam Darah Tikus

Pengamatan ini dimaksudkan untuk mengkategorikan apakah postur kerja yang dilakukan oleh pekerja tersebut masuk dalam kategori berbahaya yang akan mengakibatkan keluhan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskrepsikan konsep penciptaan, proses visualisasi, tema, teknik dan bentuk lukisan dengan judul Figur Bapak dan Anak Perempuan Sebagai

Mengetahui gambaran dan dampak kebisingan pada masyarakat sekitar perusahaan serta persepsi masyarakat terhadap kebisingan akibat aktivitas perusahaan sehingga dapat