TINJAUAN PUSTAKA
Karateristik Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku dalam dunia tumbuh-tumbuhan termasuk golongan atau
divisi Pteridophyta (pteris = bulu burung; phyta = tumbuhan), yang diterjemahkan
secara bebas yakni tumbuhan yang berdaun seperti bulu burung. Tumbuhan paku
merupakan tumbuhan peralihan antara tumbuhan bertalus dengan tumbuhan
berkormus, karna paku mempunyai campuran sifat dan bentuk antara lumut
dengan tumbuhan tingkat tinggi (Raven et al., (1992) dalam Lubis, 2009).
Menurut Loveless (1999) dalam Lubis (2009), tumbuhan paku diwakili
oleh kurang dari 10.000 jenis yang hidup, tetapi karena ukurannya yang besar dan
penampilannya yang khas, tumbuhan paku merupakan komponen vegetasi yang
menonjol. Kebanyakan tumbuhan memiliki perawakan yang khas, yaitu adanya
daun muda yang bergelung dan akan membuka jika dewasa. Ciri yang hampir
unik ini disebut dengan vernasi bergelung, sebagai akibat lebih lambatnya
pertumbuhan permukaan daun sebelah atas daripada sebelah bawah pada
perkembangan awalnya.
Tumbuhan paku merupakan divisi yang mempunyai kormus, artinya
tubuhnya dengan nyata dapat dibedakan dalam tiga bagian pokok, yaitu akar,
batang, dan daun namun belum menghasilkan biji. Akar tumbuhan paku pada
awalnya berasal dari embrio kemudian lenyap digantikan akar-akar seperti kawat
atau rambut yang berwarna gelap dan dalam jumlah besar yang berasal dari
Satu diantara beberapa jenis tumbuhan paku yang sudah banyak dikenal
dan dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tumbuhan paku tiang atau pohon karena
bentuk perawakannya yang mirip pohon. Tumbuhan paku ini termasuk dalam
genus cyathea. Berikut ini urutan klasifikasi tumbuhan paku pohon tersebut:
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Divisi : Pteridophyta (paku-pakuan)
Kelas : Pteridopsida
Subkelas : Cyatheatae
Ordo : Cyatheales
Famili : Cyatheaceae
Genus : Cyathea
Spesies : Cyathea contaminans Wall. ex Hook.
Akar
Menurut Lubis (2009), akar tumbuhan paku adalah serabut. Pada bagian
ujung akarnya terdapat tudung akar atau kaliptra. Akar tumbuhan paku awalnya
berasal dari embrio kemudian lenyap dan digantikan dengan akar-akar seperti
kawat atau rambut, berwarna gelap dan dalam jumlah besar yang berasal dari
batangnya (Tjitrosoepomo (1983) dalam Lubis, 2009).
Batang
Menurut Lubis (2009), umumnya batang tumbuhan paku berupa akar
tongkat atau rhizome, ada juga yang berupa batang sesungguhnya, misalnya
batang tumbuhan paku tiang atau paku pohon. Bila dibuat sayatan melintang,
1. Epidermis atau kulit luar. Umumnya keras karena mempunyai jaringan
penguat yang terdiri atas sel-sel batu atau skelerenkim.
2. Korteks atau kulit pertama. Bagian ini banyak mengandung ruang-ruang
sel yang berbentuk lubang-lubang besar.
3. Stele atau silinder pusat. Terdiri atas jaringan parenkim dan mengandung
berkas pembuluh pengangkut, yaitu xylem dan floem dan beretipe
kosentris.
Menurut Tjitrosoepomo (1983) dalam Lubis, (2009), umumnya
pertumbuhan batang pada tumbuhan paku tidak nyata. Tetapi pada paku pohon,
batangnya tumbuh menyerupai batang pinang. Batang tumbuh dari tahun ke tahun
dan membentuk seperangkat daun baru pada setiap masa tumbuh.
Paku pohon (Cyathea contaminans) merupakan tumbuhan paku yang
berbentuk pohon, berperawakan ramping yang tingginya dapat mencapai 10 m
atau lebih. Batang bagian bawah tumbuhan ini berwarna hitam karena ditutupi
oleh akar-akar serabut hitam, kasar, rapat, dan tebal. Pada batang yang sudah tua
terdapat lekukan-lekukan dangkal yang merupakan bekas tangkai daun yang
sudah lepas. Jenis ini memiliki penampilan khusus yang mudah dibedakan dengan
jenis tumbuhan paku yang lainnya, yaitu pangkal stipenya yang berwarna pucat,
keunguan, dan berduri. Selain itu, pada ujung batang dan pangkal tangkainya
terdapat bulu-bulu halus berwarna coklat pucat (Holtum (1963) dalam Hartini dan
Handayani, 2003).
Daun
Berdasarkan bentuk dan sifat, daunnya dapat dibedakan atas dua golongan,
1. Megaphyllus, yaitu paku yang mempunyai daun besar sehingga mudah
dibedakan atas batang dan daun, misalnya pada Asplenium.
2. Macrophyllus, yaitu paku yang memiliki daun kecil dan umumnya berupa
sisik sehingga sukar dibedakan bagian-bagiannya, misalnya pada
Lycopodium.
Berdasarkan fungsinya, daun paku menurut Tjitrosoepomo (1994) dalam Lubis,
(2009), membagi golongan megaphyllus dibedakan atas dua kelompok, yaitu:
1. Tropofil, yaitu daun berwarna hijau yang berfungsi sebagai penyelenggara
asimilasi.
2. Sporofil, yaitu daun yang berhasil sebagai penghasil spora.
Pada permukaan sebelah bawah helai daun dewasa, hampir semua
jenis tumbuhan paku terdapat semacam bercak berbentuk bulat atau
memanjang, yang sewaktu muda ditutupi berwarna karat atau jaringan
penutup yang disebut indusium. Bercak berwarna karat itu terdiri atas
berbagai sporangium yang disebut dengan sorus. Daun biasanya terdiri dari
dua bagian, yaitu tangkai daun dan helaian daun. Jika anak daun tersusun
seperti sehelai daun (ental) disebut bersirip (pinnate), tiap anak daun
disebut sirip (pinna) dan poros tempat sirip berada disebut rakis atau rachis
(Loveless (1999) dalam Lubis, 2009).
Paku pohon memiliki tangkai daun yang panjangnya dapat mencapai
1 m. Tulang daun utama berwarna pucat, keunguan dan berduri. Daun
majemuk ganda. Anak daun paling bawah sedikit mereduksi dengan panjang
tangkai sekitar 10 cm, yang paling besar 60 cm. Anak daun 150x30 mm.
Budidaya Tumbuhan Paku
Menurut Andari dkk, (2011), penggunaan tumbuhan paku sebagai media
tanam saat ini sangat digemari. Tumbuhan paku memiliki unsur hara yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan anggrek. Namun, persediaan tumbuhan paku di
alam susah dijumpai karena banyaknya masyarakat yang menggunakannya.
Pengambilan tumbuhan paku di alam sudah mulai dilakukan pengawasan dan
larangan. Hal ini dilakukan karena jumlah tumbuhan paku di alam yang semakin
menurun dan mengingat peran tumbuhan paku sebagai penyeimbang ekosistem.
Untuk itu tumbuhan paku perlu dibudidayakan secara intensif, agar dapat
menjamin ketersediaan bahan baku dan kontinuitas produksi.
Daerah Penyebaran
Tumbuhan paku merupakan kelompok tumbuhan yang banyak jenisnya di
Indonesia. Di muka bumi ini tumbuh sekitar 10.000 jenis tumbuhan paku. Dari
jumlah tersebut, di kawasan Malaesia yang sebagian besar terdiri atas kepulauan
Indonesia diperkirakan memiliki 1.300 jenis. Tumbuhan paku biasanya terdapat di
hutan dan di tempat-tempat terbuka, khususnya di dekat sungai pada ketinggian
200 – 1.600 m dpl. Paku pohon (Cyathea contaminans) memiliki persebaran di
seluruh kawasan Malaesia dan di Semenanjung India (Marini dkk, 2005).
Syarat Tumbuh
Tumbuhan paku memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi, sehingga tidak
jarang dijumpai tumbuhan paku dapat hidup dimana-mana, diantaranya di daerah
lembab, di bawah pohon, di pinggiran sungai, di lereng-lereng terjal, di
tumbuh di atas tanah. Namun demikian tumbuhan paku lebih menyenangi
tempat-tempat yang sejuk dan memiliki kelembaban yang tinggi. Pada tempat-tempat semacam
ini, populasi tumbuhan paku menjadi sangat tinggi. Seperti hutan hujan tropis
yang memiliki kelembaban yang sangat tinggi ternyata merupakan salah satu
rumah yang terbaik bagi tumbuhan paku. Diduga hutan ini kaya akan berbagai
jenis paku-pakuan (Kuswanto dkk, 2010).
Kondisi lingungan di hutan tertutup ditandai dengan sedikitnya
jumlah sinar yang menembus kanopi hingga mencapai permukaan tanah dan
kelembaaban udaranya sangat tinggi. Dengan demikian paku hutan memiliki
kondisi hidup yang seragam dan lebih terlindung dari panas. Kondisi ini
dapat terlihat dari jumlah paku yang dapat beradaptasi dengan cahaya
matahari penuh tidak pernah dijumpai di hutan yang benar-benar tertutup
(Holtum (1967) dalam Lubis, 2009).
Tumbuhan paku yang menyenangi sinar matahari “sun-fern” selain ada
yang membentuk belukar, ada juga yang memanjat. Sebagian kecil “sun-fern”
tumbuh di tempat yang benar-benar terbuka. Namun demikian memerlukan juga
lindungan dari sinar matahari sehingga sering ditemukan tumbuh di antara
tumbuhan lain, tidak terisolasi. Tumbuhan paku berbentuk belukar membuat
sendiri naungannya dengan cara membuat rimbunan yang terdiri dari daun-daunan
(Richard (1952) dalam Lubis, 2009).
Menurut Faizah, 2002 dalam Lubis (2009), suhu udara, suhu tanah, dan
intensitas cahaya matahari berpengaruh sangat nyata terhadap keanekaragaman
cyathea contaminans di hutan Tongkoh, kawasan Taman Hutan Raya Bukit
Perbanyakan Tumbuhan Paku
Spora merupakan bahan utama dalam perbanyakan paku pohon.
Perbanyakan dengan spora merupakan cara yang paling efisien dan ekonomis
dalam mendapatkan tanaman baru dalam jumlah besar. Sayangnya hasil
perbanyakan dengan spora seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Keberhasilan perkecambahan spora dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain
media tumbuh, kemasakan spora, air, kelembaban, aerasi, dan derajat keasaman
atau pH (Jones (1987) dalam Hartini dan Handayani 2003).
Produksi
Menurut Wardah dan Wriadinata (2000), tumbuhan paku berpotensi
sebagai tanaman hias dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Paku pohon
selain ditanam sebagai tanaman hias di kebun, bagian akar maupun batangnya
sering dipakai untuk menempelkan tanaman anggrek, maupun untuk tiang-tiang
dekorasi. Bagian batang bawahnya kadang-kadang dicincang halus untuk
dijadikan media tanaman dalam pot. Jenis paku pohon memiliki nilai ekonomi
yang tinggi.
Pemanfaatan Tumbuhan Paku Pohon
Sejak dulu tumbuhan paku telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan
(sayuran) oleh manusia terutama oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Dewasa ini pemanfaatannya sudah berkembang sebagai material baku untuk
pembuatan kerajinan tangan, tumbuhan obat karena banyaknya atau beragamnya
diantaranya mempunyai bentuk yang menarik sehingga bagus untuk dijadikan
sebagai tanaman hias (Lubis, 2009).
Tumbuhan paku mempunyai banyak manfaat dan sudah digunakan untuk
berbagai keperluan oleh manusia, seperti media tanaman anggrek, sebagai bahan
patung, tiang-tiang dekorasi rumah mewah atau hotel, vas bunga, ramuan obat,
dan dimanfaatkan sebagai sayuran.
1. Akar
Akar tumbuhan paku, khususnya akar dari paku pohon dapat
dimanfaatkan sebagai media tanam jenis Anthurium spp., Piper spp.,
Platyccerium spp., Adiantum spp., dan jenis-jenis tumbuhan paku lainnya
(Hartini dan Handayani, 2003).
Dalam pemanfaatan tumbuhan paku sebagai media tanam anggrek
adalah tumbuhan paku yang sudah mati atau remah akarnya. Salah satu dari
kelompok tumbuhan paku ini adalah paku pohon (Cyathea contaminans).
Populasinya di alam terus menurun tajam. Jenis tumbuhan paku ini banyak
ditebang dan diambil batangnya untuk dipergunakan sebagai media tanam
anggrek (Uji, 2005).
Adapun pertimbangan penggunaan tumbuhan paku ini sebagai media
tanam yaitu karena memiliki aerase dan drainase air yang baik, memiliki
daya mengikat akar, melapuk secara perlahan-lahan, dan memiliki unsur hara
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Unsur hara dalam tumbuhan paku ini
umumnya dengan merendam akarnya dengan pupuk NPK yang dicairkan
2. Batang
Batang tumbuhan paku yang tumbuh baik dan yang sudah keras,
diperuntukkan untuk berbagai keperluan. Tidak jarang digunakan sebagai
tiang rumah dan tumbuhan paku dapat dipakai untuk pengganti kayu. Batang
tumbuhan paku juga dapat diukir untuk dijadikan patung-patung yang dapat
ditempatkan di taman. Kadang-kadang batangnya juga dapat dipotong-potong
untuk tempat bunga, seperti anggrek (Sastrapradja (1979) dalam Lubis,
2009).
3. Daun
Daun tumbuhan paku dapat dimanfaatkan sebagai ramuan obat dan juga
dapat dimakan, yakni sebagai sayuran. Untuk sayuran, daun yang digunakan
adalah daun yang masih muda dan masih menggulung atau pucuk-pucuk
daunnya (Hartini, 2006).
Menurut Guenther (1987) dalam Marini (2005), tumbuhan paku khususnya
paku pohon dapat dimanfaatkan sebagai penghasil minyak atsiri. Bagian
tumbuhan yang dimanfaatkan adalah bagian batang dan daunnya. Melalui
pengamatan mikroskopis ditunjukkan adanya sel-sel pengahsil minyak atsiri yang
terletak menyebar pada batang dan daun paku pohon. Sel penghasil minyak atsiri
pada batang terletak pada jaringan sklerenkim, sedangkan pada daun terletak pada
jaringan mesofil.
Potensi Pemasaran Paku Pohon
Menurut Mubyarto (1982) dalam Awang dkk (2002), pemasaran suatu
a. Mampu mentransfer produk yang diperdagangkan dari produsen awal ke
konsumen akhir dengan biaya minimal.
b. Mampu menciptakan distribusi pendapatan yang adil dari harga yang
dibayar konsumen terhadap semua lembaga tata niaga yang ikut terlibat.
Efisiensi sistem pemasaran suatu komoditi adalah sangat penting karena
dapat meningkatkan pendapatan produsen dan secara agregat kelak bisa
memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Di samping itu,
informasi tentang efisiensi pemasaran sangat membantu para pihak dan penentu
kebijakan untuk menentukan kebijakan yang lebih adil sebagai dampak adanya
proses distribusi barang dari produsen ke konsumen (Awang dkk, 2002).
Penetapan harga suatu komoditi sangat dipengaruhi oleh faktor internal
(misalnya: tujuan perusahaan, strategi pengembangan perusahaan, dan biaya
produksi) dan faktor eksternal (yaitu: sifat pasar permintaan dan perilaku
konsumen). Meskipun tujuan penentuan harga suatu produk berorientasi pada
besarnya keuntungan maupun volume penjualan, keberadaan dua faktor tersebut
di atas adalah merupakan kendala yang harus dapat diantisipasi oleh produsen.
Beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi besarnya marjin pemasaran
adalah biaya angkutan, biaya susut, harga pembelian, dan volume penjualan
(Awang dkk, 2002).
Penawaran pasar tidak lain merupakan aktualisasi dari hukum penawaran
dan permintaan dari hasil sumber daya hutan “sesaat” dalam jumlahnya yang
tertentu dan konsumennya tertentu pula. Elastisitas dari permintaan itu merupakan
salah satu indikator penting situasi sumber daya hutan dalam permintaan pasar.
(reservation demand), misalnya tanah hutan jumlahnya sudah tertentu sehingga
permintaannya tergantung dari permintaan potensial yang ditentukan oleh nilai
yang diperhitungkan oleh pemilliknya dan antisipasi harga lahan untuk
penggunaan lain atau untuk masa depan (Wirakusumah, 2003).
Potensi pemasaran jenis tumbuhan paku saat ini masih sangat kurang. Hal
ini dapat dilihat dari sedikitnya daerah tempat pemasaran yang umumnya menjual
tumbuhan paku yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk daerah
Sumatera Utara, tempat pemasaran tumbuhan paku ini dapat dijumpai di sekitar
Kecamatam Pancur Batu, Kecamatan Sibolangit di Kabupaten Deli Serdang, dan
di Jalan lintas Pematangsiantar - Parapat, Kecamatan Tiga Dolok di Kabupaten
Simalungun. Umumnya produk-produk dari tumbuhan paku ini khususnya paku
pohon (Cyathea contaminans) yang dipasarkan adalah batang pakis yang
dijadikan sebagai media tanaman anggrek ataupun dijadikan ukiran.
Penilaian Sumber Daya Hutan
Nilai merupakan penghargaan atas suatu manfaat bagi orang atau
kelompok orang pada waktu tertentu. Sedangkan penilaian merupakan penetapan
atau penentuan bobot atau manfaat suatu barang dan jasa bagi manusia. Jadi
penilaian barang dan jasa hutan merupakan penentuan bobot atau manfaat barang
dan jasa hutan bagi manusia (David dan Johnson (1987) dalam Affandi dan
Patana, 2004).
Apabila nilai sumber daya (ekosistem) hutan, ataupun lebih spesifik
barang dan jasa hutan telah tersedia informasinya, seperti halnya harga berbagai
produk yang ada di pasar, maka pengelolan hutan dapat memanfaatkannya untuk
dan lain-lain. Tidak tersedianya informasi nilai (harga) dari produk/jasa hutan
maka diperlukan suatu usaha kreatif untuk menduga nilai sumber daya
hutan. Belum tersedianya informasi nilai (harga) dari hutan disebabkan karena
produk barang/jasa hutan tidak seragam/tidak standar, karena merupakan
hasil alam, sehingga sulit dibuat harga standar yang berlaku umum. Oleh karena
diperlukan suatu usaha untuk menduga nilai dari sumber daya hutan
(Bahruni (1999) dalam Latifah, 2004).
Pasar sebagai tempat pertukaran barang dan jasa antara penjual dan
pembeli pada harga yang disetujui bersama. Selama terjadi informasi pasar,
maka sumber penilaian yang dianggap paling baik atau paling kuat adalah nilai
pasar. Nilai pasar merupakan harga barang dan jasa yang ditetapkan oleh penjual
dan pembeli tanpa intervensi pihak lain atau dalam keadaaan kompetisi sempurna
(David dan Johnson (1987) dalam Affandi dan Patana, 2004).
Metode nilai pasar merupakan nilai ekonomi tumbuhan paku pohon
yang diperoleh dari hasil perkalian jumlah tumbuhan paku pohon yang
diambil dengan harga pasar barang tersebut. Metode nilai relatif adalah nilai
suatu barang yang belum ada pasarnya dibandingkan dengan barang lain
yang sudah diketahui harga pasarnya. Asumsi dasar metode ini adalah
harga efektif barang tersebut terhadap harga barang lain yang sudah
diketahui harga pasarnya. Metode penilaian melalui biaya pengadaan
hampir sama dengan penilaian melalui biaya perjalanan. Dengan demikian
biaya pengadaan dapat diartikan sebagai korbanan yang dilakukan
(David dan Johnson (1987) dalam Affandi dan Patana, 2004). Metode nilai
pengadaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
N
= BPJV
Keterangan :
N = Nilai ekonomi tumbuhan paku (Rp/unit volume)
BP = Biaya pengadaan tumbuhan paku (Rp/pengambilan)
JV = Jumlah volume tumbuhan paku (unit volume/pengambilan)
Pengambilan Paku Pohon
Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, dikatakan bahwa konservasi sumber daya alam hayati
adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dan pada
Pasal 5 dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Dalam pemanfaatan ataupun pengambilan paku pohon sebagai hasil hutan bukan
kayu perlu diperhatikan bagaimana keberadaan tanaman tersebut apakah masih
banyak terdapat di alam atau tidak, dan juga dampak yang ditimbulkan terhadap