BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Agency
Teori keagenan (Agency Theory) menyatakan bahwa kinerja perusahaan khususnya profitabilitas dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan antara agen
(manajemen) dengan prinsipal (pemilik/investor) yang timbul ketika setiap pihak
berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang
dikehendakinya. Konflik kepentingan antar agen sering disebut sebagai masalah
keagenan.
Berdasarkan teori keagenan, laporan keuangan dipersiapkan oleh
manajemen sebagai pertanggungjawaban mereka terhadap prinsipal. Manajemen
dalam kapasitasnya sebagai pihak yang menyediakan informasi keuangan dan
secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan. Manajemen memiliki insentif
untuk melaporkan segala sesuatu yang dapat memaksimumkan utilitas dirinya
yang justru dapat merugikan pihak investor secara tidak langsung (Setiawan,
Bernik dan Sondari : 2006).
Coprorate governance diperlukan untuk melindungi para pemegang saham yang telah memberikan uangnya kepada manejemen perusahaan untuk
mengambil keuntungan dari kondisi dimana telah terjadinya pemisahan antara
pemilik perusahaan dengan yang mengelola perusahaan. Para pemegang saham
akan memilih Board of Director’s untuk menampung aspirasinya akan tetapi pihak manajemen dapat mempengaruhi proses ini untuk kepentingan pribadinya
2.1.2. Pengertian Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba
dalam periode tertentu (Riyanto, 2001). Profitabilitas suatu perusahaan
menunjukkan efektifitas manajemen perusahaan dalam memanfaatkan sumber
dananya untuk menghasilkan laba yang dihasilkan dari penjualan ataupun
investasi penjualan. Tingkat profitabilitas perusahaan merupakan hasil akhir dari
berbagai kebijakan dan keputusan yang dilakukan manajer perusahaan.
Profitabilitas perusahaan dapat diketahui dengan cara membandingkan laba yang
diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal
perusahaan tersebut.
Profitabilitas juga merupakan salah satu alat analisis untuk mengevaluasi
suatu kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan menurut Helfert (1997) adalah hasil
dari banyak keputusan individual yang dibuat secara terus menerus oleh
manajemen. Hasil dari kinerja perusahaan dapat dilihat dari seberapa jauh
perusahaan dapat mencapai tujuan yang telah dibuat. Perusahaan yang dapat
mencapai hampir semua tujuan atau target yang telah dibuat, biasanya disebut
dengan keuntungan, dan itu dapat dikatakan bahwa perusahaan sudah memiliki
kinerja yang baik. Pengukuran profitabilitas masing-masing dihubungkan dengan
penjualan (Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Operating Profit Margin), total aktiva (Assets Turnover, Basic Earning Power, Return on Assets), investasi (Return On Investment) dan modal sendiri (Return on Equity).
Penelitian ini menggunakan rasio keuangan untuk mengukur profitabilitas
salah satu tujuannya adalah untuk melindungi para pemegang saham yang telah
memberikan uangnya berupa modal kepada manajemen perusahaan untuk diolah
menjadi keuntungan. ROE menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
mengelola modal yang tersedia untuk mendapatkan laba bersih, ini merupakan
rasio yang lebih tinggi dan lebih baik untuk mengukur profitabilitas menurut
bidang dan sudut pandang pemilik (Helfert: 1997) karena perusahaan dapat
menambah laba ditahan dan mampu membayar dividen lebih tinggi.
2.1.3. Rasio Profitabilitas (Return On Equity)
Return on Equity merupakan suatu pengukuran dari penghasilan/Income
yang tersedia bagi para pemilik perusahaan (baik pemegang saham biasa maupun
pemegang saham preferen) atas modal yang mereka investasikan didalam
perusahaan (Syamsuddin:2009). Secara umum tentu saja semakin tinggi return
saham/penghasilan yang diperoleh semakin baik kedudukan pemilik perusahaan.
Rasio ini menunjukkan keberhasilan atau kegagalan pihak manajemen
dalam memaksimumkan tingkat hasil pengembalian investasi pemegang saham
dan menekankan pada hasil pendapatan sehubungan dengan jumlah yang
diinvestasikan (Astuti: 2004).
Rasio ini juga digunakan untuk mengukur kinerja manajemen perusahaan
dalam mengelola modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak.
Semakin besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai
perusahaan sehingga kemungkinan suatu perusahaan dalam kondisi bermasalah
semakin kecil. Laba setelah pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional
dimiliki perusahaan, perhitungan modal inti dilakukan berdasarkan ketentuan
kewajiban modal minimum yang berlaku (Almilia, Herdiningtyas; 2005). Rasio
ini banyak diamati oleh para pemegang saham (baik pemegang saham pendiri
maupun pemegang saham baru) serta para investor di pasar modal yang ingin
membeli saham yang bersangkutan. Rasio ROE merupakan indikator penting bagi
para pemegang saham dan calon investor untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran
deviden. Kenaikan dalam rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari
perusahaan yang bersangkutan.
2.1.4. Mekanisme Good Corporate Governance
Latar belakang timbulnya good corporate governance adalah akibat dari berbagai praktek tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahaan-perusahaan
besar yang menimbulkan krisis ekonomi. Untuk mengatasi krisis ekonomi itu dan
meredam kepanikan para investor yaitu dengan mengeluarkan undang-undang
yang terkenal dengan nama Sarbanes-Oxley Act 2002. Undang-undang ini berisi penataan kembali akuntansi perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan
perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi
acuan awal dalam menjabarkan dan menegakkan good corporate governance baik di Amerika maupun di Indonesia.
Agoes (2009) mendefinisikan bahwa tata kelola perusahaan yang baik
sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran dewan komisaris, peran
perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas
penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya dan penilaian kinerjanya.
Dan Organizations for Economic Coorperation and Development-OECD (Tjager dkk, 2004 dalam Agoes: 2009) menyatakan bahwa: “Good corporate governance sebagai suatu struktur yang terdiri atas para pemegang saham, direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat
yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.”
Keputusan Menteri BUMN Indonesia No.KEP-117/M-MBU/2002
mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai berikut: "Tata kelola perusahaan adalah suatu proses dan struktur yang digunakan BUMN untuk
meningkatkan efisiensi organisasi/keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan dalam rangka mencapai nilai seluruh stakeholder/pemegang saham untuk prospek jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan
stakeholder lainnya, sesuai dengan peraturan pemerintah dan prinsip etika."
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat diketahui bahwa good corporate governance merupakan suatu sistem tata kelola perusahaan yang baik guna mengarahkan dan mengendalikan perusahaan untuk mencegah timbulnya
kecurangan atau kesalahan dari pihak menejemen yang dapat merugikan
komisaris, investor, kreditur, pemerintah dan masyarakat serta pihak-pihak
berkepentingan lainnya.
Tjager dkk, 2003 (dalam Agoes, 2009) mengatakan bahwa paling tidak
1. Berdasarkan survey yang telah dilakukan oleh McKinsey & Company menunjukan bahwa para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG. 2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara
terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan.
3. Internasionalisasi pasar termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
5. Secara teoritis praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Konsep Good Corporate Governance merupakan upaya perbaikan
terhadap sistem dan seperangkat peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi
yang pada esensinya mengatur dan memperjelas hubungan, wewenang, hak, dan
kewajiban semua pemangku kepentingan dalam arti luas dan khususnya organ
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dewan komisaris, dan dewan direksi
dalam arti sempit. Namun harus disadari bahwa betapa pun baiknya suatu sistem
dan perangkat hukum yang ada, pada akhirnya yang menjadi penentu utama
adalah kualitas dan tingkat kesadaran moral dan spiritual dari para pelaku bisnis
itu sendiri.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa kontribusi BUMN terhadap
keterpurukan keuangan dan moneter negara sangat signifikan. Atas dasar hal
tersebut, sepanjang tahun 2002 pemerintah memberlakukan beberapa peraturan
tentang kewajiban untuk menerapkan corporate governance dilingkungan BUMN. Penerapan GCG telah menjadi kebutuhan yang nyata bagi peningkatan
kinerja BUMN. Berdasarkan analisis yang cukup komprehensif dapat dikatakan
bahwa peraturan-peraturan yang terkait dengan kebijakan penerapan GCG dalam
lembaga penelitian menghasilkan data yang menunjukkan bahwa kinerja BUMN
Terbuka yang telah menerapkan prinsip-prinsip GCG menjadi lebih baik
dibandingkan dengan yang belum (Surya &Yustiavandana: 2008).
Informasi akuntansi memberikan input yang paling penting ke dalam
mekanisme Corporate Governance. Informasi akuntansi secara impilisit/tersirat digunakan untuk menunjukkan apakah aksi governance melawan manajemen dibutuhkan, dan untuk membantu menentukan pengeluaran stakeholder lainnya jika terjadi masalah hukum dan penurunan kinerja keuangan (Arijanto: 2011).
Untuk mendorong implementasi prinsip-prinsip GCG, muncul suatu ide
tentang organ tambahan dalam struktur perseroan. Organ-organ tambahan tersebut
diharapkan dapat meningkatkan penerapan good corporate governance didalam perusahaan-perusahaan di Indonesia dan meningkatkan perlindungan bagi para
kreditur (Surya &Yustiavandana: 2008). Organ-organ tambahan tersebut seperti :
komisaris independen, direktur independen/direktur tidak terafiliasi, komite audit,
sekretaris perusahaan dan lain sebagainya.
2.1.4.1. Ukuran Dewan Direksi
Dewan direksi (dalam Surya &Yustiavandana: 2008) merupakan agen para
pemegang saham untuk memastikan perusahaan dikelola guna kepentingan
perusahaan tersebut. Direksi sendiri menurut UU Perseroan Terbatas adalah organ
perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun
diluar pengadilan dengan ketentuan Anggaran Dasar. Direksi bertanggungjawab
telah sepenuhnya menjalankan seluruh ketentuan yang diatur dalam Anggaran
Dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Chtourou, Jean dan Lucie (2001) ukuran dewan direksi yang
lebih besar dapat memonitor proses pelaporan keuangan dengan lebih efektif
dibandingkan ukuran dewan direksi yang lebih kecil. Fokusnya setiap dewan
direksi terhadap bidang yang dikelola dapat mempengaruhi keuntungan yang
dicapai serta tingkat pengembalian atas modal yang telah diinvestasikan para
pemegang saham. Besarnya ukuran dewan direksi yang ideal menurut Jensen
(1993) adalah tujuh (7) orang sebab jika jumlah dewan direksi yang terlalu besar
yang lebih dari tujuh orang akan memberikan kesempatan kepada manajemen
untuk melakukan manipulasi data.
Dewan direksi menetapkan suatu sistem pengawasan internal yang efektif.
Tujuannya adalah untuk mencapai kepastian yang berkenaan dengan kebenaran
informasi keuangan, efektivitas dan efisiensi proses pengelolaan perusahaan, dan
kepatuhan pada peraturan dan perundang-undangan yang terkait serta
mangamankan investasi dan asset perusahaan sehingga memungkinkan terjadinya
peningkatan kinerja perusahaan.
2.1.4.2. Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris menurut Surya & Yustiavandana (2008) merupakan
organ yang mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perseroan serta
memberikan nasihat kepada direksi. Dewan komisaris memiliki peran yang sangat
penting dalam perusahaan terutama dalam penerapan tata kelola perusahaan yang
governance untuk memastikan bimbingan mekanisme yang strategis. Manajemen bertanggung jawab atas efisiensi perusahaan serta daya saing, dan dewan
komisaris adalah titik fokus yang tepat dalam keberhasilan dan pelestarian
korporasi (Keputusan Menteri Indonesia No 117/2002).
Dewan komisaris memiliki tanggung jawab untuk mengawasi kualitas
informasi dalam laporan keuangan. Besarnya ukuran dewan komisaris
menunjukkan semakin banyak pula pemegang saham dalam perusahaan tersebut.
Hal ini menunjukkan modal yang dikelola oleh manajemen semakin besar pula
sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat pengembalian modal perusahaan
yang diharapkan karena pemegang saham menyerahkan pengelolaan perusahaan
kepada tenaga professional tujuannya agar pemilik perusahaan memperoleh
keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang sangat efisien. Dewan
komisaris tidak memiliki otoritas di perusahaan, sehingga manajemen
bertanggung jawab kepada dewan untuk memberikan informasi yang
berhubungan dengan perusahaan (NCCG, 2006). Selain itu, fungsi dewan
komisaris adalah untuk memastikan perusahaan telah melakukan tanggung jawab
sosial (CSR) dan mempertimbangkan pemangku kepentingan dalam memantau
efektifitas dari praktik tata kelola perusahaan (Kode Nasional Good Corporate Governance, 2006).
2.1.4.3. Komisaris Independen
Komisaris independen menurut Surya & Yustiavandana (2008) adalah
komisaris yang bukan merupakan anggota manajemen, pemegang saham
dengan pemegang saham mayoritas dari suatu perusahaan yang mengawasi
pengelolaan perusahaan.
Ruang lingkup tugas dan wewenang serta tanggung jawab anggota
komisaris secara umum telah diatur dalam Undang-Undang RI No.40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.Pada Undang-Undang tersebut tidak dipisahkan peran
khusus dari komisaris independen. Undang-Undang tersebut diberi keleluasaan
masing-masing perusahaan mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan
syarat-syarat dan tanggung jawab keanggotaan dewan komisaris secara lebih rinci sesuai
dengan rujukan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga Perusahaan.
Kementerian Indonesia menetapkan persyaratan untuk komisaris
independen melalui BUMN Indonesia Keputusan Menteri Nomor 117/2002,
dalam bagian keempat ini berkomentar bahwa perusahaan BUMN wajib memiliki
komisaris independen secara proporsional sama dengan saham yang dimiliki oleh
pemegang saham non-pengendali. Dalam aturan ini minimum persyaratan untuk
komisaris independen adalah 20 persen dari keanggotaan dewan komisaris.
Komisaris independen harus diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham dari
antara orang-orang yang tidak berafiliasi dengan pemegang saham mayoritas,
setiap anggota dewan direksi dan anggota lain dari dewan komisaris.
Komisaris independen merupakan salah satu karakteristik dewan yang
berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam
menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak
manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu
laporan laba yang berkualitas (Boediono: 2005). Adanya komisaris independen,
diabaikan, karena komisaris independen lebih bersikap netral terhadap keputusan
yang dibuat oleh pihak manajer.
2.1.4.4. Komite Audit
Komite audit merupakan organ yang dibentuk dan berada dibawah dewan
komisaris yang beranggotakan satu atau lebih anggota dewan komisaris dan dapat
berasal dari kalangan luar dengan berbagai keahlian, pengalaman dan kualitas
lainnya yang dibutuhkan dan harus bebas dari pengaruh direksi, eksternal auditor
dan hanya bertanggungjawab kepada dewan komisaris (Surya & Yustiavandana:
2008).
Dalam Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor
KEP-103/MBU/2002 mengenai pembentukan komite audit bagi Badan Usaha Milik
Negara menyatakan bahwa komisaris/dewan pengawas BUMN dapat membentuk
komite audit, yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu
komisaris/dewan pengawas dalam melaksanakan tugasnya. Komite audit bersifat
mandiri baik dalam pelaksanaan tugasnya maupun dalam pelaporan, dan
bertanggungjawab langsung kepada komisaris/dewan pengawas.
Komite audit mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam
hal memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan seperti halnya
menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta
dilaksanakannya good corporate governance. Dengan berjalannya fungsi komite audit secara efektif, maka kontrol terhadap perusahaan akan lebih baik sehingga
kesejahteraanya sendiri dapat diminimalisasi (Juanda: 2009). Komite audit
bertanggungjawab atas Sistem Pengendalian Internal (SPI) perusahaan agar
aktivitas operasional perusahaan semakin efisien dan efektif, dimana pada
akhirnya tingkat laba perusahaan semakin tinggi dan tingkat kesejahteraan
pemegang saham atas pengembalian modal pun akan semakin meningkat.
2.1.5. Kepemilikan Pemerintah
Kepemilikan Pemerintah adalah persentase kepemilikan saham yang
dimiliki oleh pemerintah sebagai agen monitoring eksternal disebabkan oleh
besarnya investasinya pada pasar modal (Yonedi & Sari: 2009). Kepemilikan
dalam BUMN mempunyai artian khusus bahwa pemiliknya tidak dapat
mengontrol secara langsung perusahaannya. Pemilik hanya diwakili oleh pejabat
yang ditunjuk (misalnya Menteri). Kesepakatan dapat terjadi antara wakil pemilik
dengan manajemen, wakil pemilik dan pihak manajemen dengan kreditur
(Hastuti,2005).
Perusahaan-perusahaan pemerintah mulai dirubah struktur kepemilikannya
atau dengan kata lain diprivatisasi. Perubahan struktur ini mengandung banyak
pro dan kontra. Penelitian yang mendukung tentang privatisasi ini diantaranya
penelitian Gupta,Ham, Svejnar : 2000 (dalam Setiawan,Bernik dan Sondari: 2006)
bahwa privatisasi akan menyebabkan performansi yang lebih baik.
Kepemilikan oleh pemerintah menurut Shleifer dan Vishny :1997 (dalam
Yonedi & Sari: 2009) yang berarti kepemilikan tersebut terkonsentrasi, justru
akan mendorong pengendalian atas perusahaan untuk melakukan ekspropriasi atau
keuntungan dalam pelayanan sebagai institusional alternatif untuk regulasi. Ini
menunjukkan pemerintah sebagai pemegang saham dan pemangku kepentingan
mempunyai hak dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi
kebijakan dalam mekanisme Good Corporate Governance. Manfaat Good Corporate Governance akan dilihat dari premium yang bersedia dibayar oleh investor atas ekuitas perusahaan (harga pasar). Jika ternyata investor bersedia
membayar mahal, maka nilai pasar perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance juga akan lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak menerapkan atau mengungkapkan praktek Good Corporate Governance (Juanda: 2009). Tujuan jenis kepemilikan ini tidak hanya memaksimalkan nilai pemegang
saham namun juga bertujuan untuk menambah nilai perusahaan dan pengembalian
modal berupa keuntungan kepada Pemerintah.
2.1.6. Good Corporate Governance di Indonesia
Sejarah tata kelola perusahaan di Indonesia berhubungan erat dengan krisis
keuangan Asia Tenggara. Krisis dimulai di Thailand dan menyebar ke Filipina,
Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan. Seorang pengamat ekonomi menyatakan
bahwa tragedi keuangan Asia tahun 1997 adalah tonggak dalam sejarah
perusahaan pemerintahan di Indonesia. Hal itu mencerminkan bahwa kondisi
keuangan pada pertengahan Agustus tahun 1997 yaitu dengan nilai rupiah turun
drastis sebesar 27% terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Krisis berdampak
parah pada sejumlah Negara di Asia Tenggara. Sebagai contoh, mata uang
Indonesia terdepresiasi hampir 80% dan beberapa perusahaan, terutama di sektor
Pelaksanaan Pedoman Umum Good Corporate Governance oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia baik perusahaan terbuka (Emiten/Perusahaan
Publik) maupun perusahaan tertutup pada dasarnya bersifat comply and explain. Di mana perusahaan diharapkan menerapkan seluruh aspek pedoman Good Corporate Governance ini. Apabila seluruh aspek pedoman ini belum dilaksanakan maka perusahaan harus mengungkapkan aspek yang belum
dilaksanakan tersebut beserta alasannya dalam laporan tahunan. Namun demikian
mengingat Pedoman ini hanya merupakan acuan sedangkan pelaksanaannya
diharapkan diatur lebih lanjut oleh otoritas masing-masing industri maka
penerapan ini bersifat voluntary dan tidak terdapat sanksi hukum apabila perusahaan tidak menerapkan pedoman ini.
Saat ini, Bapepam-LK sebagai otoritas pasar modal tidak mewajibkan
Emiten atau Perusahaan Publik untuk menerapkan pedoman ini, namun beberapa
substansi yang terdapat dalam pedoman ini diadopsi oleh Bapepam-LK ke dalam
peraturan-peraturan Bapepam-LK yang sifatnya mandatory seperti kewajiban pembentukan komite audit dan keberadaan komisaris independen dalam
perusahaan. Dengan demikian, Bapepam-LK dapat memberikan sanksi atas
ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut. Lebih lanjut, Bapepam-LK juga
mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk mengungkapkan pelaksanaan
tata kelola perusahaan dalam laporan tahunan seperti frekuensi rapat dewan
komisaris dan direksi, frekuensi kehadiran anggota dewan komisaris dan direksi
dalam rapat tersebut, frekuensi rapat dan kehadiran komite audit, pelaksanaan
tugas dan pertanggungjawaban dewan komisaris dan direksi serta remunerasi
2.2. ReviewPenelitian Terdahulu
Yonnedi & Sari (2009) melakukan penelitian “Impact of Corporate Governance Mechanisms on Firm Performance; Evidence from Indonesia’s State – Owned Enterprises (SOEs)”. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa : (1) Terdapat hubungan yang positif signifikan mengenai pengaruh dewan komisaris
terhadap ukuran kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA, ROE dan Sales Employe Ratio (SER). (2) Adanya pengaruh negatif signifikan dari komposisi dewan komisaris terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA namun
tidak berpengaruh terhadap ROE dan SER. (3) Kepemilikan pemerintah memiliki
dampak negatif signifikan terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA
dan ROE. Pada umumnya, perusahaan BUMN Indonesia masih harus merancang
mekanisme tata kelola perusahaan yang lebih efektif.
Achjari, Suryaningsum, dan Sari (2009) melakukan penelitian yang
berjudul “Implementation of Good Corporate Governance and Financial
Performance: Lessons from Telecommunication and Technology Sector in South
East Asia”. Hasil penelitian mereka menunjukkan, faktor-faktor yang
mempengaruhi laba bersih (Net Profit) itu bervariasi. Di Indonesia, kepemilikan masyarakat (Publik) dan tindakan korporasi mempengaruhi Net Profit. Di Malaysia, faktor-faktor yang berpengaruh adalah tindakan korporasi, kepemilikan
publik independen, kualitas laporan keuangan yang telah diaudit, dan Return on asset (ROA). Sementara itu, di Singapura faktor-faktor yang signifikan adalah aksi korporasi, kepemilikan publik independen, dan ROA. Selanjutnya, di
Thailand menunjukkan bahwa semua variabel signifikan. Namun, di Filipina
korporasi, jumlah anggota GCG dan ROA secara keseluruhan mempengaruhi Net Profit.
Dalam penelitian Pratolo (2007) yang berjudul “Good Corporate
Governance dan Kinerja BUMN di Indonesia: Aspek Audit Manajemen dan Pengendalian Intern sebagai Variabel Eksogen serta Tinjauannya Pada Jenis
Perusahaan”, menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara audit manajemen
dan pengendalian internal secara langsung. Pengaruh audit manajemen dan
pengendalian internal, penerapan prinsip GCG secara langsung baik parsial dan
simultan mempengaruhi kinerja perusahaan. Dan secara tidak langsung,
manajemen audit dan kontrol kinerja mempengaruhi perusahaan internal melalui
penerapan prinsip-prinsip GCG, tidak ada perbedaan dalam kinerja perusahaan
dan level pada jenis perusahaan GCG. Penelitian lain menghasilkan bahwa kontrol
internal memiliki pengaruh tertinggi terhadap penerapan prinsip GCG dan kinerja
perusahaan.
Setiawan, Bernik, dan Sondari (2006) melakukan penelitian berjudul
“Pengaruh Struktur Kepemilikan, Karakteristik Perusahaan, Dan Karakteristik
Tata Kelola Korporasi Terhadap Kinerja Perusahaan Studi Kasus Pada Perusahaan
yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
variabel struktur kepemilikan yang dilihat dari proporsi kepemilikan publik dan
proporsi kepemilikan asing, keduanya mempunyai hubungan yang negatif dan
signifikan terhadap kinerja perusahaan. Untuk berbagai variabel yang
mencerminkan karakteristik perusahaan, yaitu size, masa listing, dan kompleksitas usaha memberikan pengaruh yang positif dan signifikan. Sedangkan untuk
pengaruh yang negatif dan signifikan. Untuk variabel karakteristik tata kelola
korporasi, yaitu proporsi komisaris independen terhadap jumlah direksi dan
proporsi jumlah keluarga dalam dewan direksi mempunyai pengaruh yang negatif
dan signifikan. Kemudian jumlah komite keluarga dalam dewan direksi
mempunyai pengaruh yang sebaliknya yaitu positif dan signifikan terhadap
kinerja perusahaan.
Hastuti (2005) melakukan penelitian berjudul “Hubungan Antara Good Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan (studi kasus pada perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta)”. Hasil dari
penelitian ini adalah: (1) Tidak ada korelasi tentang struktur kepemilikan terhadap
kinerja perusahaan. (2) Tidak ada korelasi tentang akuntabilitas terhadap kinerja
perusahaan. (3) Terdapat korelasi yang signifikan tentang transparansi dengan
kinerja perusahaan.
Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu
PENELITI& JUDUL PENELITIAN
VARIABEL HASIL PENELITIAN
Efa Yonnedi, dan Dewi Yulia Sari (SNA 12, 2009)
Impact of Corporate Governance Mechanisms on Firm Performance; Evidence from Indonesia’s State – Owned Enterprises (SOEs)
Variabel Independen
Komposisi Dewan Komisaris (X2),
;Ukuran Dewan Komisaris (X1),
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa:(1) Terdapat hubungan yang positif dan signifikan mengenai pengaruh Dewan Komisaris terhadap Ukuran Kinerja Perusahaan. (2) Adanya pengaruh yang signifikan dari Komposisi Dewan Komisaris terhadap Kinerja Perusahaan. (3)
Kepemilikan Pemerintah memiliki dampak negatif signifikan terhadap Kinerja Perusahaan, Pada umumnya, Perusahaan BUMN Indonesia masih harus merancang mekanisme tata kelola perusahaan yang lebih efektif.
)
Didi Achjari,
Sri Suryaningsum dan, Ratna Candra Sari (SNA 12, 2009)
Kepemilikan Publik (X1), Variabel Independen ;
Struktur Organisasi GCG (X2),
Hasil penelitian menunjukkan:
1. Di Indonesia, kepemilikan Publik dan tindakan korporasi mempengaruhi Net Profit.
Lanjutan Tabel 2.1.
PENELITI & JUDUL PENELITIAN
VARIABEL HASIL PENELITIAN
Implementation of Good Corporate Governance and Financial Performance: Lessons from
Telecommunication and Technology Sector in South East Asia
Tindakan Korporasi (X3), Kualitas Laporan Keuangan Auditan (X4),
ROA (X5),
Variabel Dependen (Y) ;
Net Profit
Kepemilikan Publik, Kualitas Laporan Keuangan yang telah diaudit, dan ROA. 3. Di Malaysia, faktor-faktor yang
berpengaruh adalah Tindakan Korporasi, Kepemilikan Publik, Kualitas Laporan Keuangan yang telah diaudit, dan ROA. 4. Di Singapura faktor-faktor yang
signifikan adalah aksi korporasi, kepemilikan publik, dan ROA.
5. Di Thailand menunjukkan bahwa semua variabel signifikan.
6. Di Filipina menunjukkan semua variabel tidak signifikan.
7. Di Vietnam, aksi korporasi, jumlah anggota GCG dan ROA secara keseluruhan mempengaruhi Net Profit.
Suryo Pratolo (SNA 10,2007)
Good Corporate Governance dan Kinerja BUMN di Indonesia:Aspek Audit Manajemen dan Pengendalian Intern Sebagai Variabel Eksogen Serta Tinjauannya Pada Jenis Perusahaan
Audit Manajemen (X1) Pengendalian Intern (X2)
Penerapan Prinsip-Prinsip GCG (Y)
Kinerja Perusahaan (Z)
Hasil penelitian menunjukkan : ada hubungan antara audit manajemen dan pengendalian internal secara langsung. Pengaruh audit manajemen dan pengendalian internal, Penerapan Prinsip GCG secara langsung baik parsial dan simultan mempengaruhi kinerja perusahaan. Secara tidak langsung, manajemen audit dan kontrol kinerja mempengaruhi perusahaan internal melalui penerapan prinsip-prinsip GCG, tidak ada perbedaan dalam kinerja perusahaan dan level pada jenis perusahaan GCG.
Maman Setiawan, Merita Bernik, dan Mery Citra Sondari (2006)
Pengaruh Struktur Kepemilikan, Karakteristik Perusahaan, Dan
Karakteristik Tata Kelola Korporasi Terhadap Kinerja Perusahaan Studi Kasus Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta
Dalam Dewan Direksi (X9
Komite Tata Kelola )
Korporasi (X10)
Kinerja Perusahaan/ Profitabilitas (Y) Variabel Dependen:
Lanjutan Tabel 2.1. PENELITI& JUDUL
PENELITIAN
VARIABEL HASIL PENELITIAN
Theresia Dwi Hastuti (SNA 8, 2005)
Hubungan Antara Good Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan(studi kasus pada perusahaan yang listing di bursa efek jakarta)
Struktur Kepemilikan (X1), Variabel Independen:
Akuntabilitas (X2), Transparansi (X3).
Kinerja Perusahaan (Y) Variabel Dependen: