S
S
U
U
A
A
T
T
U
U
I
I
M
M
P
P
L
L
I
I
K
K
A
A
S
S
I
I
A
A
S
S
I
I
M
M
E
E
T
T
R
R
I
I
I
I
N
N
F
F
O
O
R
R
M
M
A
A
S
S
I
I
D
D
A
A
N
N
L
L
E
E
M
M
A
A
H
H
N
N
Y
Y
A
A
B
BA
AR
RG
GA
AI
IN
NI
IN
NG
G
PO
P
OW
WE
ER
R
E
E
M
M
I
I
T
T
E
E
N
N
P
P
A
A
S
S
A
A
R
R
M
M
O
O
D
D
A
A
L
L
F.X. Kurniawan Tjakrawala1
Pendahuluan
Penawaran saham di pasar perdana (IPO/Initial Public Offering) merupakan salah satu
masalah yang mengundang pertanyaaan bagi para peneliti yang bergelut di bidang keuangan dan pasar modal. Hal ini disebabkan, pada umumnya IPO—tak hanya
perusahaan swasta, namun juga BUMN—memberikan abnormal returnyang positif bagi para pemodal dengan segerasetelah saham-saham tersebut diperdagangkan di pasar
sekunder. Kendati imbas dari krisis moneter amat terasa bagi dinamika bursa efek di Indonesia, namun fenomena yang terjadi dalam IPOtetap relevan untuk dikaji.
Hasil penelitian Ritter (1984); Rock(1986); Barry & Jennings(1983) merupakan
sejumlah contoh penelitian yang menunjukkan fenomena di atas. Untuk kasus di Indonesia, telah dilakukan penelitian oleh Suad Husnan (1991 dan 1996) dan Agus
Sukarsono (1996). Keadaan ini menyiratkan bahwa sejatinya harga saham pada saat
IPO relatif terlampau murah, sehingga para investor yang membeli di pasar perdana
dapat memperoleh abnormal return yang positif. Bahkan sinyalemen majalah Forbes edisi 28 Februari 1994 mengungkapkan bahwa para investor di Bursa Efek Inggris akan
memperoleh abnormal return sebesar 32% untuk saham BUMN yang dijual kembali pada minggu pertama di pasar sekunder, setelah privatisasi di pasar perdana. Angka
32% berarti bahwa abnormal return yang diperoleh adalah positif karena dalam waktu beberapa minggu setelah dijual di bursa sekunder ternyata tingkat keuntungan pasar
jauh di bawah 32%.
Mengapa para investor dapat memperoleh abnormal returnpositif pada ming-gu pertama di bursa sekunder ? Apabila pada saat IPO harga saham dinilai terlampau
murah, tidakkah hal ini merugikan emiten ? Dan mengapa emiten bersedia menerima harga yang relatif murah dari underwriter ? Di dalam artikel ini disajikan sejumlah hasil
penelitian dari kalangan akademisi mancanegara dan domestik, sehingga diharapkan mampu menjelaskan bahkan memberikan justifikasi tentang fenomena underprice
dalam IPO. Penyajian data dibatasi dalam rentang waktu sebelum terjadinya krisis moneter di Indonesia yang berawal sekitar paruh kedua tahun 1997.
1
1
D
DoosseenntteettaappPPrrooddiiSS11AAkkuunnttaannssii,,FFaakkuullttaassEEkkoonnoommiiUUnniivveerrssiittaassTTaarruummaannaaggaarraa,,JJaakkaarrttaa..
Abnormal Return = Actual Return – Expected Return
Kecenderungan Underprice
Dalam Initial Public Offerings(IPO)
Bursa perdana/Primary Market diartikan sebagai suatu penjualan perdana atas
efek/sertifikat yang dilakukan pada saat belum diperdagangkan di bursa sekunder. Pada bursa ini, efek/sertifikat diperdagangkan dengan harga emisi/nominal. Sebaliknya, bursa sekunder adalah penjualan efek/sertifikat setelah bursa perdana berakhir. Pada bursa
ini efek/sertifikat diperdagangkan dengan harga/kurs pasar (PT Persero Danareksa, 1986)
IPOmerupakan penawaran umum saham pada publik oleh emiten perusahaan publik. Dalam SK Menkeu No. 1548/90 disebutkan bahwa penawaran umum diartikan
sebagai penawaran efek yang dilakukan dengan menggunakan media massa atau ditawarkan kepada lebih dari 100 pihak atau telah dijual kepada 50 pihak. IPOseringkali
dinanti-nantikan oleh para investor karena—sebagaimana ditengarai oleh sejumlah peneliti akademisi—memberikan abnormal return yang positif saat kembali dijual oleh
para investor pada minggu pertama setelah diperdagangkan di bursa sekunder (Kunz & Aggarwal, 1994).
Harga saham dikatakan mengalami underprice dalam IPO jika saham-saham tersebut mulai diperdagangkan di bursa sekunder dengan harga yang lebih tinggi daripada harga penawaran di bursa perdana. Adapun model yang digunakan oleh para
akademisi dalam mengamati underprice adalah dengan model abnormal return. Formula abnormal returnadalah sebagai berikut:
Bilamana abnormal returnbernilai (+) berarti actual return
!
expected return. Sebaliknyabilamana abnormal return bernilai () berarti actual return abnormal return. Adapun
returndihitung dengan formula sebagai berikut:
R = (P
t +1- P
t) : P
tdimana: R = returnsaham
Pt + 1
= harga saham pada periode t + 1
Pt
Oleh karena pada dasarnya investor tak dapat mengetahui secara pasti mengenai hasil
pengembalian dari investasinya di masa yang akan datang, maka investor hanya dapat memperhitungkan tingkat keuntungan yang diharapkan dan seberapa besar
kemungkinan hasil yang diperoleh akan menyimpang daripada yang diharapkan. = harga saham pada periode t
Kemungkinan penyimpangan ini yang dikenal dengan risiko investasi saham. Fenomena underprice dalam IPO menarik minat sejumlah peneliti/akademisi. Adapun
penelitian terhadap fenomena ini demikian luas dan bersifat universal di hampir seluruh pasar modal dunia. Tabel 1menyajikan sejumlah hasil penelitian yang dilakukan oleh
akademisi mengenai fenomena underpricedi bursa efek dunia.
Para akademisi sebagaimana tersaji dalam Tabel 1 menggunakan pendekatan
event study, dan menemukan bahwa para investor masih dapat memperoleh abnor-mal return yang positif dan signifikan sampai minggu pertama setelah saham masuk ke
pasar sekunder. Kendati demikian setelah memasuki minggu-minggu berikutnya, harga saham cenderung turun. Hal ini menunjukkan bahwa investor membeli saham di pasar
perdana lalu menjualnya di pasar sekunder hingga akhir minggu pertama, maka investor akan mendapatkan keuntungan yang relatif besar. Adapun keuntungan terbesar yang
diperoleh investor di pasar sekunder bukanlah diakibatkan oleh kinerja perusahaan emiten yang membaik setelah IPO. Selain itu juga bukan berarti pertumbuhan pendapatan perusahaan meningkat setelah IPO. Akan tetapi hal ini semata adalah
karena harga saham dalam IPOdijual relatif lebih rendah daripada harga pasar Tabel 1. Penelitian terhadap Masalah underprice dalam IPO
Negara Peneliti & Tahun
Sumber: Roger M. Kunz. (1994).Journal of Banking and Finance. Hal.15.
Kasus underprice dalam IPO di bursa efek Indonesia—dalam hal ini, sampel yang
diambil di BEJ—dilakukan antara lain oleh Suad Husnan beserta Mamduh M. Hanafi (1991), dan Agus Sukarsono (1996). Suad Husnan (1996) cenderung mengamati fenomena underprice pada emisi saham BUMN di BEJ. Sedangkan Agus Sukarsono
lebih berorientasi pada perusahaan pada umumnya di BEJ.
Agus Sukarsono (1996) melakukan pengolahan data atas 31 sampel
Index. Secara keseluruhan saham-saham emiten di BEJ—sebagaimana dalam sampel yang diambil—mengalami rerata underprice sebesar 15,58% untuk market adjusted.
Sedangkan untuk single index rerata sebesar 15,69%. Tabel 2 menyajikan abnormal returnpada hari pertama perdagangan.
Tabel 2. Abnormal returnpada hari Pertama Perdagangan dari 31 (Tiga Puluh Satu) Perusahaan yang melakukan IPOdi BEJ dalam periode 1994
Emiten Market Adjusted Model
Di samping melakukan penghitungan underpricesecara umum, Sukarsono juga melakukan pengujian untuk membuktikan apakah benar perusahaan besar mengalami
underprice yang lebih kecil daripada perusahaan kecil. Berkaitan dengan hal ini, Ia mengajukan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Derajat underprice perusahaan besar tidak lebih kecil daripada derajat underpriceperusahaan kecil.
H1 : Derajat underprice perusahaan besar lebih kecil daripada derajat
underpriceperusahaan kecil.
Dari 31 sampel yang diambil oleh Sukarsono, 13 di antaranya termasuk kategori perusahaan skala besar; sembilan perusahaan berkategori menengah; dan sisanya
sebanyak sembilan perusahaan lagi berkategori kecil. Sementara itu, ia pun melakukan
uji-t dengan D = 10 % dan derajat bebas (d.f) yakni 20. Berikut ini dalam Tabel 3
disajikan tentang hasil penelitian Agus Sukarsono. Dengan D= 10 %; d.f = 20, diperoleh
t-statistik sebesar - 1,325, sedangkan t-hitung sebesar -1,51 untuk market adjusted
dan untuk single index sebesar -1,50. Dengan demikian. Hipotesis Nol yang
menyatakan bahwa derajat underprice yang dialami oleh perusahaan besar tak lebih kecil daripada perusahaan kecil ditolak danHipotesis Satu diterima.
Tabel 3. Rerata Underpriceberdasarkan Size perusahaan di BEJ dalam periode 1994
Emiten Market Adjusted Model
(ARdalam %)
Single Index
(ARdalam %)
Perusahaan Besar 11,63 17,94
Perusahaan Menengah 14,70 14,69
Perusahaan Kecil 22,18 22,14
Sumber :Agus Sukarsono (1996)
Sukarsono selanjutnya menyatakan bahwa karena informasi yang diberikan oleh perusahaan besar relatif lebih andal bagi investor dalam menyikapi ketidakpastian di
masa mendatang, maka ketidakpastian yang dihadapi oleh investor perusahaan besar dapat ditekan sekecil mungkin. Akibatnya harga saham yang terjadi dalam IPO
mendekati kewajaran sehingga abnormal return-nya tidak terlampau besar saat
diperdagangkan di pasar sekunder.
Adapun Suad Husnan (1996) melakukan penelitian terhadap saham BUMN di
BEJ guna mengamati kecenderungan underpricedalam IPO. Sampai dengan bulan Juli 1996, terdapat empat BUMN yang listing di BEJ yakni: SEMEN GRESIK;
INDOSAT;TAMBANG TIMAH; dan TELKOM. Khusus Semen Gresik hanya melakukan penjualan saham di bursa domestik dan melakukan penjualan saham terbatas kepada
pemegang saham lama (right issue). Sementara itu, Tambang Timah; Indosat; dan Telkom hanya melakukan IPO, baik di pasar domestik maupun internasional.
Kese-luruhan dana yang terhimpun dari bursa efek—baik domestik maupun internasional—mencapai jumlah Rp 6.692,225 miliar. Namun tak semua dana tersebut
masuk ke perusahaan, karena dana yang dihimpun di bursa efek internasional diambil oleh pemilik—dalam hal ini pemerintah—dan digunakan untuk melunasi pinjaman luar
negeri yang relatif berbunga tinggi. Adapun dana yang digunakan untuk melunasi sebagian utang perusahaan sebesar Rp 4.896,9 miliar. Husnan juga melakukan
pengamatan untuk periode jangka pendek (d 30 hari) dan jangka panjang (d90 hari).
Tabel 4 menyajikan Cummulative Abnormal return (CAR) saham-saham keempat
BUMN di atas. CARdiambil untuk periode pengamatan jangka panjang. Formula CAR
adalah sebagai berikut (Watts & Zimmerman, 1986) :
CAR=
ARi,t
Dalam hal ini Ari,t
Hari ke-n
adalah average abnormal returnsaham I pada waktu t, dan t dimulai dari hari ke-1 sampai dengan hari ke-T. Dengan menggunakan T = 90 hari bursa, maka
analisis Husnan terhadap ke empat saham BUMN yang go publictersaji dalam Tabel 4. Tabel 4. CAR masing-masing saham BUMN yang Go Publicselama 90 hari bursa
setelah mulai diperdagangkan.
Sumber : Suad Husnan (1996: 70)
Tabel 4 menyiratkan bahwa rerata CAR selalu positif, meskipun secara
individual tidaklah demikian. Oleh karena jumlah sampel hanya empat, maka Husnan tak melakukan analisis statistik, dan hasil perhitungan di atas hanya bermakna indikatif
semata. Kalau diperhatikan kinerja individual IPOsaham BUMN, maka abnormal return
positif hanya disumbangkan oleh Telkom dan Indosat. Sedangkan kinerja Tambang
Timah dan Semen Gresik selama 90 hari bursa pertama hampir selalu tak lebih baik dari pasar. Perkembangan CAR harian dari saham-saham tersebut selama 90 hari bursa tersaji dalam Gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan CAR Saham BUMN selama 90 hari Pengamatan
Sumber : Suad Husnan (1996)
¦
T
t
1
Perkembangan CAR selama 90 hari Pengamatan
Informasi Relevan dan Distribusi Informasi dalam Keputusan Investasi
Informasi merupakan serangkaian data yang telah diolah untuk disajikan sebagai
bahan acuan dalam pengambilan keputusan. Dalam bursa efek, informasi merupakan faktor penting untuk pengambilan keputusan investasi. Hal ini terjadi karena harga-harga saham yang terbentuk di pasar, menurut hipotesis pasar yang efisien
merupakan cerminan dari seluruh informasi yang relevan. Dalam memutuskan aktivi- tas investasi dikenal dua kategori gaya investasi/investment styleyakni (Foster, 1986):
1) Active Investment Style, yang mengasumsikan bahwa pasar modal mengalami
mispriced securitiesdan investor berupaya untuk mendeteksi dan mengekploitasi
misprice ini.
2) Passive Investment Style, yang mengasumsikan bahwa pasar modal tak
mengalami mispriced securities atau jika memang ada investor tak memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan mengeksploitasi.
Investor yang bergaya aktif sangat memperhatikan informasi di bursa. Terdapat tiga pendekatan terhadap gaya aktif investor yakni: tehcnical analysis;market analysis;
dan fundamental analysis. Analisis fundamental menjadi sangat relevan dengan kebutuhan informasi. Fundamental analysis mengasumsikan bahwa saham memiliki nilai intrinsik yang dapat ditentukan berdasarkan earnings; capital structure; dan
potential growth. Dengan membandingkan harga aktual yang tercermin dari kinerja fundamental tersebut dengan harga pasar, maka dapatlah ditentukan apakah suatu
saham mengalami underprice atau overvalue (Foster, 1986). Underprice bermakna bahwa harga pasar lebih rendah dari harga aktual, sedangkan overvalue bermakna
bahwa harga pasar lebih besar dari harga aktual. Kualitas informasi—yakni seberapa jauh informasi mencerminkan keadaan sebenarnya; lengkap; dan jujur—sangat erat
dengan distribusi informasi, yakni seberapa jauh informasi yang tersedia menyebar ke pihak-pihak yang terkait seperti: emiten; underwriter; dan investor. Distribusi informasi
terdiri dari dua kondisi yakni: Informasi simetri, yakni informasi yang menyebar secara merata ke semua partisipan pasar; serta informasi asimetri, yakni informasi yang menyebar secara tak merata di antara para partisipan pasar dimana terdapat pihak yang
memiliki informasi lebih dari pihak lain.
Teori segmentasi pasar berkaitan dengan seberapa jauh emiten bersedia membuka diri guna menyajikan informasi secaraa lengkap dan jujur yang tentu saja
mempengaruhi keseimbangan distribusi informasi dalam bursa efek. Teori ini membedakan pasar menjadi pasar perdana dan pasar sekunder. Pada umumnya
informasi di pasar perdana relatif kurang menyebar sehinga cenderung menimbulkan informasi asimetri.
Penilaian Harga Saham Pada Kondisi Informasi Asimetri Dan Bargaining
Power
Emiten
Penilaian harga saham pada kondisi informasi asimetri yang terjadi di bursa efek,
tentu berimplikasi terhadap pertimbangan yang relatif kompleks. Akibat dari kondisi asimetri informasi menyebabkan adanya mispriced dalam harga saham di pasar perdana. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pembentukan harga di pasar perdana akan
tergantung pada perundingan antara emiten dengan underwriter . Dalam perundingan tersebut, para underwritermemiliki informasi yang relatif lebih banyak daripada emiten,
dan memanfaatkan informasi tersebut untuk memperkecil resiko. Sebagimana diketahui bahwa bentuk perundingan antara emiten dengan underwriter dibedakan menjadi tiga
jenis yakni (Anwar, 1991):
1)Full Commitment: underwriter menjamin dengan kesanggupan sepenuhnya.
Artinya bila ada saham yang tak terjual maka underwriterakan memborong seluruh sisa saham tersebut.
2)Best Effort : underwriter menjamin dengan kesanggupan terbaik. Artinya jika ada saham yang belum terjual maka underwriterakan mengembalikan kepada emiten.
3)Standby Commitment :underwriter menjamin dengan kesanggupan siaga. Artinya
underwriter bersedia membeli saham yang tidak habis terjual pada suatu tingkat harga sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui.
Sebagai akibat dari kondisi informasi asimetri, emiten cenderung menekan harga saham, sehingga harga saham dalam IPO menjadi underprice. Dengan kata lain,
underpriceterjadi karena kekurangtahuan pihak emiten (Husnan, 1996). Hal lain yang menjustifikasi fenomena underpricedalam IPOadalah adanya kemungkinan perubahan
prospek perusahaan setelah dilakukan IPO. Pada umumnya perusahaan yang melakukan IPObermaksud meningkatkan kapasitas produksi. Investasi demikian hanya
akan dilakukan apabila diharapkan akan memberikan NPV (Net Present Value) yang bersifat positif. NPV positif merupakan tambahan kemakmuran bagi pemegang
saham. Apabila pasar modal efisien dan tak terjadi underprice, berarti pemegang saham
baru hanya akan menikmati NPV = 0, dan pemegang saham lama
Sejumlah Pertimbangan Bagi Emiten Dalam IPO
akan menikmati seluruh NPVpositif. Underpriceakan terjadi bilamana pemegang saham baru juga ikut
menikmati NPV positif. Semakin besar bagian NPV yang dinikmati oleh pemegang saham baru, semakin besar underprice-nya. Dengan demikian pemegang saham lama
mungkin akan bersedia menerima harga saham yang lebih murah di pasar perdana, sejauh mereka masih ikut menikmati sebagian NPVpositif tersebut (Brealey & Myers,
1991). Perubahan prospek ini dapat terjadi tak hanya karena perusahaan akan melakukan investasi baru (misal: ekspansi), namun juga karena penggantian
manajemen.
Hipotesis kondisi informasi asimetri menyatakan adanya hubungan yang positif
antara derajat ketidakpastian sebagai akibat dari informasi asimetri. Makin besar ketidakpastian akan masa depan perusahaan emiten, makin kecillah bargaining power
emiten tersebut. Dengan adanya ketidakpastian dalam emisi saham suatu perusahaan,
underwriter berupaya menjaga keseimbangan underprice yakni sebagai suatu keseimbangan antara dua keadaan yang bersifattrade-off. Apabila underprice terlalu
kecil, maka underwriter akan kehilangan pangsa pasar investor. Sebaliknya bila
underprice terlalu besar maka underwriter akan kehilangan pangsa pasar emiten.
Hipotesis yang konsiten dengan kondisi informasi asimetri adalah hipotesis peraturan, yaitu bahwa penerapan peraturan mampu mereduksi kondisi asimetri antara
manajemen dengan pihak luar, termasuk pemegang saham. Dengan semakin teraturnya suatu perusahaan, makin banyak informasi yang diungkapkan pada publik
dalam penawaran saham di pasar perdana. Itulah sebabnya perusahaan perlu bersikap
full disclosure dalam prospektusnya untuk meredam gejolak underprice yang relatif
merugikan emiten (Kunz & Aggarwal, 1994:20).
Emiten seyogyanya memberikan informasi secara full disclosuredemi menjaga
efek yang relatif merugikan harga sahamnya dalam IPO. Hal ini terutama perlu diperhatikan oleh emiten skala kecil, yang derajat kepatuhannya terhadap regulasi pasar modal masih belum merata, dan hal ini akan merugikan posisi bargaining poweremiten
yang bersangkutan. Pertimbangan untuk melakukan IPO perlu dilandasi dengan pertimbangan terhadap membaiknya prospek kinerja setelah IPO, yang ditunjukkan
denganNPVpositif. Hal ini akan meningkatkan emiten terhadap underwriter . Dalam hal ini sejatinya terjadi pembagian NPVantara pemegang saham lama dan baru. Pemegang
saham lama akan menikmati kenaikan harga saham dibandingkan bila tak ada investasi
baru (melainkan hanya untuk membayar utang, misalnya). Bilamana tak ada harapan akan kenaikan kinerja, maka underpriceakan menjadi biaya kompensasi bagi investor.
Untuk memperoleh harga yang relatif lebih tinggi, maka emisi saham pun seyogyanya mempertimbangkan timing yang tepat. IPO yang relatif bersamaan antara
sejumlah emiten dengan jumlah yang relatif besar memunginkan tak terserapnya IPO
oleh pasar terlebih untuk bursa yang relatif kecil seperti di Indonesia. Hal ini adalah
karena penawaran yang terlampau tingi daripada permintaan di bursa menyebabkan indeks harga saham gabungan akan mengalami penurunan. Kendati penurunan
tersebut mungkin bersifat sementara, namun mungkin disalah-tafsirkan oleh investor bahwa keadaan bursa sedang buruk sehingga akan berdampak negatif untuk IPO.
Selain pertimbangan daya serap pasar, timing IPO maka listing di bursa efek internasional pun dapat memberikan harga yang relatif baik. Hal ini terjadi karena dua
hal: Pertama, bahwa dengan diversifikasi internasional para investor akan mampu menghilangkan makin banyak resiko yang seharusnya mareka tanggung, sehingga mereka pun cenderung mensyaratkan tingkat keuntungan yang relatif rendah saja;
Kedua, dalam konteks Capital Assets Pricing Model/CAPM internasional terdapat
potensi bahwa EE saham-saham emiten Indonesia akan relatif rendah bila diamati oleh
investor asing. Akibatnya tingkat keuntungan yang mereka syaratkan akan mendekati
risk free rate (Husnan, 1996).
Penutup
Fenomena underprice terjadi dalam IPO baik di bursa efek domestik maupun internasional. Kecenderungan underpricedalam konteks informasi asimetri disebabkan
oleh kekurangtahuan emiten akan informasi dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh
underwriter. Untuk menyikapi hal ini para emiten—baik skala besar, menengah, maupun kecil—perlu mempertimbangkan sejumlah hal yakni: full disclosure;timing yang tepat;
adanya harapan yang lebih baik dari ekspansi yang akan dilakukan (dalam ujud NPV
positif), serta upaya diversifikasi menembus bursa efek internasional.
Daftar Pustaka
Alli, Kasim, et.al. (1994). “ The Underpricing of Financial Institution ”. Journal of Business Finance and Accounting. October. Hal.24-36.
Anwar, Abdul B. (1991).“ Pasar Modal Bagian 2 ”. Suplemen Usahawan Indonesia. Oktober. Hal. 11-19.
Barry, C.B. & Jennings R.H. (1993).” The Opening Price Performance of Initial Public Offering of Common Stock ”. Financial Management. Florida, Spring. Hal. 41-57. Bayless, M.E. & J.D. Diltz. (1994).“ Securities Ofrings and Capital Structure Theory “.
Journal of Business Finance and Accounting. Hal. 27-40.
Brealey, R. & S. Myers. Principles of Corporate Finance. NewYork: McGraw-Hill. 1991. Chemmanur, Thomas J.(1993).“ Pricing of Initial Public Offerings: A Dynamic Model with
Information Institution “. Jounal of Finance. March. Hal. 14-31.
Dark, Frederick & R.B. Carter. (1993). “ Effect of Differential Information on The After Market Valuation of IPO “. Journal of Economy and Business. Hal. 33-42.
Eiteman, D.K.,et.al. (1995). Multinational Financial Management. Addison-Wesley Publishing Company.
Husnan, Suad. (1996).“ Penjualan Saham BUMN: Apakah Terjadi Distribusi Kemakmuran? “ Kelola. Yogjakarta: Program Studi MM-UGM. No.13/V. Hal. 62-74.
(1991). “ Efisiensi Pasar Modal Indonesia “. Jurnal Ekonomi Indonesia. April. Hal. 36-52.
Kunz, Roger M. & R. Aggarwal. (1994).“ Why IPO are Underprice: Evidence from Swetzerland “. Journal of Finance and Banking. Hal. 12-27.
PT (Persero) Danareksa.(1986). Peranan PT (Persero) Danareksa dalam Pengembangan Pasar Modal di Indonesia. Jakarta.
Ritter, J. (1984).“ The Hot Issue Market of 1980 “. Journal of Business. April. Hal. 26-39. Rock, K. (1986).“ Why New Issues are Underpriced ?”. Journal of Financial Econo-mics.
January/February. Hal. 54-67.
Sukarsono, Agus. “ Kualitas Informasi dan Penilaian Harga Saham pada Penawaran Umum Perdana di BEJ (Pengamatan Periode 1994). Skripsi. FE-UGM. 1996. Watts, R. & J. Zimmerman. (1986).Positive Accounting Theory. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice Hall.
Weston, J.F. & Eugene Brigham. (1993).Essential of Managerial Finance. 10th Edition. The Dryden Press.