• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK ATAS TANAH MEMPUNYAI FUNGSI SOSIAL (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAK ATAS TANAH MEMPUNYAI FUNGSI SOSIAL (1)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

HAK ATAS TANAH MEMPUNYAI FUNGSI SOSIAL Oleh: Nirmala Sari

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut dengan UUPA) dimana Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi bahwa, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat”, merupakan dasar dari politik agraria nasional. Berbicara mengenai tanah tidak terlepas dari hak-hak atas tanah diantaranya adalah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan UUPA pada Pasal 6, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum, Angka Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

Kemudian jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 15 UUPA, maka semua hak atas tanah harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah tidak hanya menjadi beban pemilik atau pemegang hak semata, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.

(2)

konsekuensi logis. Misalnya saja permasalahan yang berhubungan dengan pelepasan tanah pribadi untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Untuk memperoleh tanah ini peranan pemerintah sangat diperlukan karena terkadang tanah yang akan didirikan atau bangunan tersebut adalah milik rakyat, sehingga untuk memperolehnya harus melalui pemerintahan yaitu dengan cara pencabutan hak atas tanah dan pembebasan hak atas tanah.

Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan sangat penting sekali sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar.

Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini, antara lain:

1. Apakah tanah yang berstatus hak milik dapat berfungsi sosial?

2. Bagaimana upaya pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan tanah berkaitan dengan pembangunan nasional?

1.3. Tujuan

1. Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan sebagai evaluasi kaitannya dengan masalah-masalah tanah yang berfungsi sosial.

2. Memberikan gambaran dan solusi-solusi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan kasus-kasus terkait dengan politik hukum pertanahan.

1.4. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian

(3)

terdiri dari, norma-norma hukum yang bersifat mengikat, dalam hal ini metode statue approach dan conceptual approach.

Statue Approach adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasikan serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Conceptual approach yaitu suatu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

 Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat dalam hal ini berupa peraturan perundang-undangan yaitu:

a. Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945); b. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;

c. UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya;

(4)
(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan Implementasi Hak atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial Tanah merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada Negara kita. Untuk itulah supaya tidak timbul masalah, pemerintah berusaha mengaturnya dengan baik. Keadaan Negara kita sebagai Negara berkembang menuntut kita melakukan banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya manusia yang memerlukan tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang ada menjadi salah satu inti permasalahannya. Mau tidak mau untuk menjalankan pembangunan, diadakan proses pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang sudah dihaki oleh rakyat. Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama, oleh karena salah satu pihak merasa adanya ketidak-adilan. Proses yang cukup lama ini, otomatis membuat jalannya pembangunan menjadi tersendat. Maka itu dengan memperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang dipunyai oleh seluruh hak-hak atas tanah kiranya dapat membantu mengubah cara berpikir individual masyarakat. Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas tanah tidak dibiarkan merugikan kepentingan banyak orang (umum). Apalagi ditambah dengan peraturan baru yaitu PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dan PERPRES Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Begitu juga dengan pihak pemerintah, harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk pemegang tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan antara dua kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan individu dapat segera terwujud dengan baik.

(6)

Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya masalah bahwa tanah adalah sumber konflik, yaitu jika pemerintah membutuhkan tanah yang dimiliki penduduk untuk keperluan pembangunan. Konflik itu bisa timbul karena pemerintah di satu pihak memerlukan tanah itu dan di pihak lainya penduduk juga ingin mempertahankan tanah miliknya sebagi sumber mata pencaharian (lahan pertanian misalnya) dan tempat pemukiman.

Menurut ketentuan hukum yang berlaku di indonesia pemerintah memang di berikan wewenang untuk mengambil allih tanah penduduk guna keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di lakukan dengan sewenang –wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah. Jadi kedua pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan ambil alih atas tanah-tanah masyarakat untuk keperluan pembangunan.

Dan juga menurut hukum yang berlaku di indonesia ada dua cara yang di tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah (prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening).

Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukumnya.

Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik mengenai dasr hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaianya. Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah di atur dalam UU No. 20 tahun 1961, PP No. 39 tahun 1973 dan inpres No. 9 tahun di dalam PMDN No. 15 tahun 1975, PMDN No. 2 tahun 1976, surat edaran dritjen agraria No. 12/108/12/75, surat edaran agraria No. BTU 2/268/2/76 dan lain-lain.

2.2. Hak Milik berfungsi Sosial

(7)

“Hak milik adalah Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”

Terkuat dan terpenuh dalam kandungan pengertian hak milik merupakan hak mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini dimaksudkan untuk membedakan dengan hak atas tanah lainnya. Akan tetapi di dalam kemutlakan hak milik tersebut melekat sebuah ikatan hukum yang bersifat umum dengan segala kepentingannya yang seimbang, yaitu fungsi sosial tanah.

Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.

Arti hak milik mempunyai fungsi sosial ini ialah hak milik yang dipunyai oleh seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau perseorangan, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hak milik atas tanah tersebut perlu dibatasi dengan fungsi sosial dalam rangka mencegah penggunaan hak milik yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya.

Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :

(8)

Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.

Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.

UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga timbul keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi yang memiliki tanah. Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.

2.3. Upaya Pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan tanah berkaitan dengan pembangunan nasional

1. Pencabutan Hak atas Tanah

(9)

mendenangar menteri agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”

Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961

Dan dasar pokok dari UU No 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut:

“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”

Terhadap salah satu hak atas tanah yaitu hak milik, maka berlaku ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUPA yang menyebutkan bahwa, “hak milik hapus jika tanahnya jatuh kepada negara karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA”.

Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:

1. Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini;

2. Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.

3. Pencabuatan hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang layak.

Pencabutan hak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan persyaratan tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah.

2. Pembebasan Hak atas Tanah

(10)

intruksi yang di keluarkan oleh Dapertemen Dalam Negeri. Beberapa di antartaranya:

1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDP) No. 15 tahun 1975 (tanggal 13 Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah.

2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan acara pembebasan tanah untuk swasta.

3) Surat edaran Direktorat jendral agraria tanggal 28 februari 1978 No. BTU 2/268/1979 tentang PMDN No. 15 tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.

Dalam prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20 tahun 1961 jarang dipergunakan, artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka pembangunan dan kepentingan umum prosedur yang di tempuh lebih banyak prosedur pembebasan tanah (PMDN No. 15 tahun 1975). Hal itu disebabkan proses pencabutan (UU No. 20 tahun 1961) akan memakan waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat memaksa bagi pemilik tanah; sedangakan prosedur pembebasan (PMDN No. 15 tahun 1975) adalah lebih cepat dan dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya keresahan masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada musyawarah sehingga ada kata sepakat.

Sekalipun demikian PMDN No. 15 tahun 1975 itu memberikan jalan keluar memberikanmu jalan keluar bilamana kita sepakat (yang di haruskan itu) tidak bisa di capai dengan dalam musyawarah. Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa PMDN No. 15 tahun 1975 merupakan sekedar penyederhanaan pencabutan hak dengan paksa masalah lain yang bukan sekedar menyangkut besarnya ganti rugi dalam musyawarah ialah menyangkut masalah pemukiman dan sumber penghidupann khususnya bagi pemilik tanah yang hidup dari bertani.

(11)

a. Menteri dalam negeri tidak memeiliki wewenang membuat peraturan yang mengikat umum tanpa adanya pendelegasian wewenag.

b. Mengenai pencabutan hak undang-undang No. 20 tahun 1961 telah menunjuk presiden sebagai instasi yang berwenang memutuskanya (buakan wewenag menteri)

(12)

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah:

1. Setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial sebagaimana termuat di dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ketentuan tersebut juga berlaku terhadap hak milik sebagai salah satu dari jenis hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh dalam kandungan pengertian sebagai hak mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Sekalipun demikian, hak milik tetap memiliki fungsi sosial karena di dalam Pasal 20 UUPA mengenai pengertian daripada hak milik tetap merujuk pada Pasal 6 UUPA.

2. Terkait dengan masalah pembangunan yang bertujuan untuk kepentingan umum, hak-hak atas tanah termasuk juga hak milik dapat diupayakan pencabutan hak maupun pembebasan hak atas tanah oleh pemerintah daerah setempat yang nantinya akan diberikan ganti rugi atau kompensasi.

3.2. Saran

Berdasarkan pada pembahasan tersebut, undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya telah mengatur secara jelas dan terperinci mengenai segala hal yang berkait erat dengan tanah. Namun dengan seringnya masalah pencabutan maupun pembebasan hak atas tanah yang terjadi di masyarakat lebih karena penerapan dari aturan-aturan ini yang tidak efektif. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, dimana salah satunya adalah prosedur pelaksanaan maupun ganti kerugian yang terbilang ketat sehingga menimbulkan banyaknya keluhan di masyarakat. Oleh karena itu, dapat disarankan agar di dalam pelaksanaan baik itu pencabutan ataupun pembebasan hak atas tanah yang dilakukan demi kepentingan umum memperhatikan pula hak-hak masyarakat yang dirugikan dalam hal ini agar nantinya tidak menimbulkan masalah-masalah baru di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

(13)

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia “Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya”, Djambatan, Jakarta.

____________, 2008, Hukum Agraria Indonesia “Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah”, Djambatan, Jakarta.

Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya, 2004, Hak-Hak Atas Tanah, Edisi I, Kencana Pranada Media Group, Jakarta

Santoso, Urip, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cet. 6, Kencana, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui analisis rasio keuangan yang memiliki prediksi financial distress yang lebih baik di antara model Grover basis akrual dengan rasio arus kas basis arus kas

Fungsi pejabat umum lebih ditegaskan lagi dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan

Adanya ketidaksamaan peran agama dan ideologi dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan bernegara dan antara persepsi sebagai ancaman dengan perasaan

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesis yang diajukan adalah dengan menggunakan alat ukur

Secara singkat, PLA merupakan metoda pem- berdayaan masyarakat yang terdiri dari proses belajar tentang suatu konsep pariwisata syariah yang segera setelah itu diikuti

Pengertian surat paksa yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang berbunyi bahwa surat paksa merupakan

Oleh itu, kajian ini dijalankan bertujuan untuk melihat elemen-elemen pengajaran guru berdasarkan Modul Pentaksiran Berasaskan Sekolah(MPBS) dalam sesi amali di

bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 2005 tentang Kelurahan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun