• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjara Kolonial di Sumatras Westkust

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penjara Kolonial di Sumatras Westkust "

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENJARA-PENJARA KOLONIAL

DI SUMATRA’S WESTKUST ABAD KE-19 DAN KE-20 Oleh Deddy Arsya

Penjara Padang

Pada bab sebelumnya sudah diuraikan bahwa cikap bakal penjara pertama untuk wilayah Sumatra’s Westkust adalah penjara di benteng kompeni dagang Hindia Timur di Padang pada abad ke-17 dan ke-18. Pada periode Hindia Belanda yang dimulai sejak awal abad ke-19, penjara di Padang semakin ditegaskan fungsinya. Pada bagian ini pembahasan lebih banyak mengenai penjara ini, yang pada awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tergolong kepada

Centrale Gevanenis Strafgevangenis penjara pusat yang menampung terpidana berat dengan masa hukuman lebih dari 1 tahun.

Padang diserahkan Inggris kepada Belanda pada tahun 1819. Beberapa tahun di bawah kuasa Belanda, kota ini belum juga mendapat perawatan yang berarti. Kolonel Nahuijs yang mengunjungi Padang pada tahun 1824 mencatatkan dalam catatannya bahwa Padang, di mata Nahuijs, adalah kota yang berantakan. Padang, dalam pandangan Eropanya, hanyalah sebuah tempat kecil hunian bangsa Eropa yang paling tidak berarti dan tidak teratur di antara hunian bangsa Eropa lainnya yang pernah dikunjunginya di Hindia. “... dan saya bisa mengatakannya kepada Anda bahwa saya belum pernah melihat tiga buah rumah yang terawat baik di seluruh Padang,” tulis Nahuijs.1 Sementara itu, kondisi

rumah-rumah pribumi, kata Nahuijs lagi dalam catatan yang lain,

(2)

hanya berupa rumah-rumah kecil yang terbuat dari bambu.2

Pada kunjungannya itu, Nahuijs selanjutnya juga mencatatkan, bahwa di Padang sangat sedikit tukang kayu (de timmerlieden) dan tukang batu (metselaars), sementara pemerintah Belanda harus segera membikin begitu banyak bangunan publik. Di bawah pemerintahan Letnan Kolonel Raaff, kata Nahuijs, Padang masih membutuhkan banyak bangunan publik yang harus segera dibikin, termasuk pembangunan penjara. Nahuijs mencatatkan, bahwa rumah-penjara pemerintah di Padang sangat kecil (het gouvernements gevangan-huis zoo weinig) untuk tempat menahan para penjahat. Akibatnya, ketika malam para penjahat harus dirantai sebagai jaminan agar tidak melarikan diri. Penjara ini juga harus dijaga oleh beberapa orang polisi—dijaga dengan ketat.3

Di awal-awal kehadirannnya, Belanda telah disibukkan oleh keikut-sertaannya dalam perang padri. Kota ini hampir-hampir terabaikan dan belum tersentuh perbaikan sejak diserahkan ke tangan Belanda kembali dari kekuasaan Inggris. Letnan Kolonel Raaff, penguasa Padang masa itu, dengan giat dan penuh ambisi tengah sibuk-sibuknya menggempur benteng-benteng padri di darek Minangkabau. Seluruh tenaga dikerahkan untuk menaklukan darek. Nahuijs menilai, Kolonel Raaff nyaris tidak mampu memberikan perubahan yang berarti bagi wajah kota ini.4

Kedatangan De Stuers ke Padang pada periode setelah Raaff barulah membawa angin yang lebih baik bagi kepentingan Padang. Stuers dikirim ke Sumatera Barat

2 Nahuijs, Brieven over Bencoolen, Padang, Het Rijk van Minangkabau, Rhiou, Singapoera en Poelo-Pinang (Breda: F. B. Hollingerus Pijpers, MDCCCXXVII), hlm.42

3 Nahuijs, Brieven over Bencoolen... hlm. 42-43

(3)

pada tahun 1824. Dia menjabat Panglima Militer dan Residen Sumatera Barat yang ke-3. Dia bertugas di Sumatera Barat ketika upaya melanjutkan offensifisasi dengan pihak padri—seperti yang gencar dilakukan pendahulunya—sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Belanda tengah berkonsentrasi memadamkan pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa. Perang Jawa telah menyedot bukan hanya kas Belanda tetapi juga konsentrasi pasukan yang dipindahkan ke sana dalam jumlah besar. Dalam kondisi terjepit seperti itu, De Stuers dengan cerdik berhasil membujuk kaum padri beberapa kali menyepakati gencatan senjata. Pada masa gencatan senjata itulah De Stuers memanfaatkan kesempatan untuk beberapa keperluan. Di antaranya, De Stuers untuk sekalipun yang berhasil terealisasi hanya 30 nagari.5

Gebrakan De Stuers yang langsung berimbas kepada Kota Padang dalam pada itu adalah kolonel bangsa Belanda itu berhasil memperbaharui wajah kota dengan membangun Padang secara lebih giat. Dalam catatannya, De Stuers menuliskan bahwa pada tahun 1826, dua tahun setelah dia menjabat residen, Padang tengah sibuk memoles diri. Banyak gedung-gedung baru dirikan. Balai kota, kantor pajak, gudang mesiu, gedung pabean, dan perbaikan gereja baru saja selesai didirikan dalam dalam kondisi yang cukup baik. Bersama bangunan-bangunan

(4)

publik itu, penjara juga didirikan kembali dengan batu.6

Penjara ini, berbeda dengan penjara dalam Bentengkompeni, sebagaimana dijelaskan di awal.

Bangunan Penjara Padang pada masa De Stuers terletak di tepi sisi utara Muara Batang Arau. Kompleks penjara dikelilingi oleh tembok yang tinggi, di mana pada bagian depannya terdapat gerbang yang besar dengan satu daun pintu. Di dalam komplek penjara itu terdapat dua bangunan besar yang diperkirakan berfungsi sebagai bangsal tahanan: satu untuk tahanan biasa dan satu lagi untuk tahanan rantai (dwangarbeid). Sebuah bangsal masing-masing memiliki dua jendela. Di tengah-tengah kompleks penjara itu juga terdapat sebuah menara pengintai.7

Gambar: Bangunan penjara di Padang pada tahun 1826 (Sumber: De Stuers, “Gevangenhuis te Padang 1826”,

[Koninklijk Instituut voor de Tropen/ Tropenmuseum])

6 De Stuers, De Vestiging en Uitbreiding der Nederlander ter Westkust van Sumatra Vol. II, (Amsterdam: P.N. Van Kampen, 1850), hlm.173

(5)

Gambar: Kehidupan dalam Penjara Padang pada tahun 1826 (Sumber: De Stuers “Donanen-Kantoor Gevangenhuis te Padang”, in De Vestiging en Uitbreiding....

hlm. 173)

Sementara tempat kerja (werkplat) terletak di depan penjara. Di halaman depan penjara itu juga terdapat dua bangunan lain yang diperkirakan adalah tempat menginap para penjaga dan petugas penjara. Di depan salah satu bangunan tumbuh sebatang pohon kelapa yang tinggi dan lebat buahnya. Kompleks penjara itu secara umum di kelilingi pohon-pohon yang didominasi pohon kelapa di sekitarnya.8 Sekali pun sudah dibangun penjara yang lebih

luas, namun penjara tersebut, menurut De Stuers, tidak mampu menampung jumlah tahanan. Penjara itu, tidak berapa lama setelah dibangun, segera dipenuhi para

(6)

tahanan, sehingga harus digunakan blok-blok tangsi militer sebagai tempat penahanan lain.9

Dapat dimaklumi bahwa Penjara Padang tidak saja menampung tahanan yang terkait Perang Padri yang tengah berlangsung di darek Minangkabau, tetapi tahanan di pesisir bagian selatan dan utara pantai barat juga dikirim ke Padang. De Stuers misalnya mencatatkan, anak seorang kepala desa di Bengkulu yang tertangkap mencuri kerbau, penahanannya dikirim ke Penjara Padang. Begitu juga dengan seorang Pariaman yang menyerang opas, juga dikirim dan dipenjarakan di Penjara Padang.10 Bangunan

penjara yang kecil itu tidak bisa menampung jumlah tahanan dalam kapasitas yang besar akibat gangguan keamanan terus merebak luas di Sumatera Barat. Di samping itu, overload penghuni penjara ini juga berkemungkinan besar adalah akibat dari Perang Jawa: tahanan dalam Perang Dipenogoro kebanyakan dikirim ke penjara-penjara di luar Jawa, termasuk ke Sumatera Barat

Atas dasar kepenuhan penghuni, pada tahun 1845, Penjara Padang diperbesar. Dirk Woortman, seorang opsir Belanda yang ditugaskan di Padang, dalam suratnya bertanggal 20 Juli 1845 mencatatkan, bahwa ketika ia mengunjungi Padang, kota itu tengah sibuk membangun penjara baru. Kuli-kuli paksa (dwangarbeiders) dari Jawa didatangkan untuk bekerja, mereka adalah orang rantai, tahanan kriminal karena kejahatan berat. Bangunan penjara yang dibangun itu seluruhnya terbuat dari batu.11

Setahun kemudian, pada tahun 1846, pembangunan penjara baru tersebut dirampungkan. Kompleks penjara baru itu dalam laporan pemerintah Belanda, memiliki

9 De Stuers, De Vestiging en Uitbreiding... hlm. vii

10 De Stuers, De Vestiging en Uitbreiding... hlm. viii

(7)

panjang 75 meter dan lebar 30 meter, dengan tinggi 5 meter. Kompleks Penjara Padang itu dibagi dalam dua koridor. Koridor pertama merupakan koridor untuk menampung para tahanan dengan rantai yang dikirim dari luar daerah Sumatra’s Westkust. Sementara koridor kedua adalah koridor untuk menampung para tahanan dari daerah Sumatera Barat sendiri. Kompleks penjara seluas itu dapat menampung 400 narapidana.12

Konstruksi Penjara Padang pada periode ini berbentuk tapal kuda.13 Menurut Harsri Setiawan, jika

konstruksi penjara model tapal kuda ini, di tengah bangsal-bangsal bangunan penjara yang melengkung seperti letter U itu, biasanya terdapat lapangan yang cukup luas yang biasanya digunakan untuk apel besar para tahanan. Tembok tinggi mengeliling bangsal-bangsal itu. Kantor administrasi, ruang pemeriksaan, dapur, dan gudang, terletak berderet-deret di depan pada lingkaran tapal kuda.14 Menurut Harsri lagi, sistem konstruksi

seperti ini biasanya tidak memperbolehkan tahanan bicara satu sama lain, apalagi bergurau sampai menimbulkan gelak-tawa.15

Berdasarkan konstruksi seperti dijelaskan di atas itu, Koloniaal Verslag tahun 1855 dan 1856 melaporkan bahwa, seperti dikutip C. J. van Asska, Penjara Padang adalah penjara paling layak dan memadai untuk seluruh penjara di Hindia Belanda. Kelayakannya disejajarkan

12 C. J. van Asska, “Verslag over het Gevangeniswezen in Nederlandsch-Indie” Themis Regtskundig Tijdschrift, Vol III Bagian 6, (Gravenhage: Grebroeders Belinfante, 1859) hlm. 528

13 “Peta Kota Padang” (ANRI, Binnenlandsch Bestuur No. 237, jaar 1855)

14 Hersri Setiawan, “Penjara dan Tahanan Politik”, pengantar untuk I. G. Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru (Jakarta, Pusaka LP3S Indonesia, 2000), hlm. xxii

(8)

dengan penjara untuk orang Eropa yaitu Penjara Witlem I kembali, konstruksinya diperbaharui. Tidak jelas alasan pembangunan penjara baru ini, bisa jadi dikarenakan daya tampung tidak memadai pada penjara sebelumnya. Tidak didapat sumber yang lebih baik untuk menjelaskan proses pembangunan Penjara Padang pada kurun waktu ini. Laporan tahun 1894 hanya menyebutkan bahwa, Penjara Padang dapat menampung 600 tahanan—satu setengah kali lipat lebih banyak dari penjara lama.17 Orang-orang

hukuman berat (‘strapan’ dalam pengucapan pribumi) masih dipasok ke penjara ini, yang pada akhir abad ke-19 itu banyak yang ditugas-paksakan membantu serdadu Belanda dalam Perang Aceh. Begitu pun pembawa artileri dalam menggempur benteng-benteng Sisingamangaraja di pedalaman Batak menggunakan tahanan rantai yang dikirim dari Penjara Padang.18 Maupun para pekerja

proyek-proyek jalan, pelabuhan Emma Haven dan kereta api yang gencar-gencarnya dilakukan pada akhir abad (tentang ini akan dibicarakan lebih lanjut pada pasal berikutnya).

Dilihat dari sebuah poto Penjara Padang pada akhir abad ke-19, dapat diterangkan bahwa setelah dibangun

16 C. J. van Asska, “Verslag over het Gevangeniswezen... hlm. 528

17 R. A. van Sandick & J. E. de Meyier, “Raming der ontvangsten n uitga ven van de Indische Administratie” De Indische Gis vol. 16, tahun 1894, hlm. 281

(9)

ulang konstruksi Penjara Padang tidak lagi berbentuk letter U atau tapal kuda sebagaimana konstruksi penjara lama pada pertengahan abad ke-19. Tetapi kali ini berbentuk persegi panjang. Sebuah koridor membujur membagi bangunan penjara itu menjadi dua.19 Setiap sel

dilengkapi dengan jendela kecil berjeruji pada bagian tembok yang menghadap keluar bangunan penjara. Pintu gerbangnya adalah pintu besi besar berkepak dua. Dari model konstruksi seperti itu dapat diperkirakan bahwa ruang administratur Penjara Padang tidak lagi berada di depan bangunan penjara sebagaimana pada periode sebelumnya. Penjara baru20 yang terletak di pingggir

pantai Padang ini (Maisir: 1992, 65), menempatkan ruang pegawai, kantor administratur, maupun ruang pemeriksaan, berada di tengah-tengah, seakan-akan menjadi poros dari bangunan penjara itu sendiri yang mengawasi apa pun yang berada di sekelilingnya.

Bangunan penjara dengan arsitektur seperti digambarkan di atas itu dikenal, dalam catatan Foucault, sebagai model Penjara Jeremy Benthams. Dalam sistem ini, bangunan arsitektur penjara terdiri dari deretan sel dan seakan-akan menyebar ke sekeliling bangunan poros. Blok-blok sel diatur seperti jari-jari sebuah roda yang mengelilingi bangunan kantor yang berada di tengah.21

Model ini senada dengan apa yang dikatakan Michel Foucault sebagai model pengawasan yang menyediakan justifikasi dan sarana pengawasan umum untuk ketertiban

19 Rusli Amran, Padang, Riwayatmu Dulu, (Bandung: Sinar Harapan, 1985), hlm. 53

20 Djamaluddin Tamin menyebut bahwa ketika dia dipenjarakan di Padang pada 1924, dia ditempatkan “di penjara baru” ini, "Pada 2 Augus 1924 saja dimasukkan pendjra baru di Padang", sebut Tamin. Lihat wawancara khusus wartawan Haluan dengan Tamin (Haluan, 27 Februari 1951), hlm. 2

(10)

warga penjara. Michel Foucault menyebutnya sebagai “Panopticon” —semua terlihat. Dalam konsepsi ini, setiap orang diawasi tanpa terkecuali, dan setiap orang selalu merasa diawasi.22 Menurut Foucault lagi, untuk

mengendalikan individu di penjara, bangunan penjara dibuat dalam bentuk bundar. Penjara bundar memungkinkan sipir mengamati dan mengendalikan napi secara konstan dan terus menerus. Bangunan penjara bundar melahirkan anggapan pada diri napi, bahwa dirinya sedang diawasi.23 Suatu model konstruksi penjara

yang memang sedang populer pada abad ke-19 dan ke-20 di dunia Barat sendiri.

22 Seno Joko Suyono, Tubuh yang Rasis (Yogyakarta: Pustaka Relajar, 2002), hlm. 338-339

(11)

Gambar: Penjara Padang (bangunan besar paling belakang) dilihat dari Gunung Padang pada kira-kira akhir abad ke-19 (Reproduksi dari: Rusli Amran, Padang Riwayatmu Dulu... hlm. 53)

Gambar: Penjara Padang pada kira-kira awal abad

ke-20 (“Gevangenis Padang”,

http.www.ebay.comitmindonesia.com)

Sementara, pada awal abad ke-20, aturan pemenjaraan baru dikeluarkan pemerintah kolonial.

(12)

dapat menampung tahanan hukuman berat. Namun, pada awal abad ini pula, justru kapasitas penghuni Penjara Padang terus menanjak naik. Ini terjadi akibat berbagai pergolakan politik yang terjadi di daerah ini dan juga karena perubahan sosial Sumatera Barat yang menyebabkan meningkatnya angka kriminalitas. Terkadang, karena kelebihan penghuni, tahanan di Penjara Padang juga dialihkan ke tansi-tansi militer dan gudang-gudang dalam kota.24 Apalagi, meletusnya pemberontakan

kaum komunis pada tahun 1927 yang berimplikasi pada penangkapan-penangkapan yang luas di hampir seluruh Sumatera Barat menyebabkan Penjara Padang menjadi penuh sesak.25

Penjara-penjara Lain di Sumatra’s Westkust

Sebagaimana telah pula disinggung sebelumnya, untuk kasus Darek Minangkabau, sebelum hukum kolonial dilegal-formalkan pada pertengahan abad ke-19, penjara sesungguhnya sudah lebih dulu fungsional artinya di kawasan ini. Fungsionalisasinya dijalankan oleh pemerintah kolonial akibat meletusnya Perang Padri pada

24 Freek Colombijn, Paco-paco Kota Padang, (Jogjakarta: Ombak, 2006), hlm. 147

(13)

awal abad ke-19. Keikutsertaan Belanda dalam kecamuk perang di daratan tinggi Minangkabau itu memaksa Belanda membangun pos-pos pertahanan atau benteng-benteng.

Dua benteng yang terpenting dan termula adalah Fort de Kock (1824) dan Fort van der Capellen (1822).26

Dua benteng ini, sebagaimana benteng VOC di Padang pada abad-abad sebelumnya, yang telah kita bicarakan di pasal sebelumnya, masing-masing memiliki ruang tahanan. Fort van der Capellen misalnya, menurut Muhamad Radjab, benteng yang berdiri tahun 1822 ini awalnya hanya berupa kumpulan bambu dan kayu yang di dalamnya ditegakkan bangsal-bangsal yang juga dari bambu. Kemudian di dalam benteng itu juga dibangun tangsi tentara dan gudang perbekalan.27 Tansi militer

inilah yang dalam berbagai kasus berfungsi sebagai ruang penahanan awal. Tawanan-tawanan berkemungkinan ditahan di sini sebelum dikirim ke penjara yang lebih memadai di Padang.

Dalam rangkaian upaya penaklukan daratan tinggi Minangkabau pada periode perang padri pula kota-kota kolonial yang lebih kecil bermunculan. Padangpanjang dan Solok (Singkarak) misalnya, adalah kota-kota yang bermula sebagai kota-kota militer pada periode yang sama. Padangpanjang, misalnya, adalah salah satu pos pertahanan dan sekaligus batu loncatan yang penting bagi

26 Selain benteng, pemerintah kolonial juga membangun kubu dan pos pertahanan yang tidak sebesar benteng dan tersebar di wilayah darek, seperti di Gunung, Suruaso, dan Padang Ganting. Benteng di sini dalam arti benteng pertahanan yang kuat dan hanya dua benteng yang cukup besar yaitu Fort van der Capellen dan Fort de Kock. Lihat: Najmi, “Sejarah Kota Batusangkar” thesis master, (Padang: Universitas Andalas, 2013), hlm. 23

(14)

Belanda untuk menggempur benteng-benteng padri di pedalaman. Padangpanjang sebagai daerah yang menghubungkan wilayah pedalaman dan pesisir pantai memang sangat strategis sebagai basis pertahanan. Kaum padri yang menguasai kebanyakan daerah di Agam— kawasan-kawasan yang akan sangat efektif jika dijangkau dari Padangpanjang. Sebagaimana kota benteng militer pada umumnya, di Padangpanjang terdapat tansi militer. Tansi militer adalah bagian yang penting dalam sejarah Padangpanjang pada periode ini. Pada tansi militer abad itu, beberapa dasawarsa setelah berakhirnya perang. Pada pertengahan abad ke-19, tidak seperti Penjara Padang yang dipuji-puji, penjara-penjara lain di beberapa kota Sumatra’s Westkust, terutama penjara di kota-kota di daratan tinggi, dalam kondisi yang bertolak-belakang. Penjara di Padangpanjang dan Fort de Kock, dicatatkan, dalam kondisi yang sangat jelek dan memprihatinkan. Dindingnya hanya ditutupi dengan alang-alang, dan banyak sisi bangunannya yang somplak.28

Pada tahun 1850, Fort de Kock dan Padangpanjang sesungguhnya telah mengirimkan proposal anggaran ke Gubernur Jenderal di Batavia untuk pembangunan penjara baru, namun tidak ada jawaban dari pemerintah.29 Tahun

1857, proposal baru diajukan lagi,30 akan tetapi baru tiga

28 C. J. van Asska, “Verslag over het Gevangeniswezen... hlm. 528

29Verslag van het Beheer en den staat der nederlandsche bezittingen en kolonien in oost en west indie en ter kust van guinea over 1854 – Ingediend door den minister van kolonie (Utrecht: Kemink en Zoon, 1858), hlm. 45-46

(15)

tahun kemudian proposal yang kedua itu mendapat respon dari pemerintah pusat di Batavia, itupun yang disetujui hanya untuk pembangunan penjara di Fort de Kock.

Pada tahun 1860, penjara baru sedang dibangun di Fort de Kock. Pekerja-pekerja paksa (yang berasal dari tahanan hukuman berat yang dikirim dari Penjara Padang) didatangkan ke Fort de Kock untuk menyelesaikan pembangunan penjara baru tersebut.31 Penjara di

Bukittinggi ini, sampai abad kemudian, masihlah tergolong penjara kecil yang terdiri hanya belasan kamar dan diperuntukkan hanya bagi tahanan hukuman tiga bulan ke bawah. Kantor kepala penjara terletak di sebelah depan dekat pintu gerbang, yang berjejer dengan bilik-bilik tahanan, dan dapur—yang masing-masing dipisahkan oleh gang-gang (Maisir: 1992, 65-67). Penjara itu, catat Maisir, bagaikan pulau-pulau terpencil di tengah lautan yang terputus hubungannya dengan daerah sekelilingnya, sekalipun letaknya berseberangan jalan dengan gedung Bioskop RE yang ramai, di tengah kota Bukittinggi (Maisir: 1992, 66).

Sementara kota-kota penting daratan tinggi lain, di Fort van der Capellen dan Singkarak, baru terdapat tempat penahanan kecil (kleine straften). Di Fort van der Capellen, misalnya, kondisi penjara sampai akhir abad ke-19 belum tampak memadai. Pada 1876, Belanda memang telah memperluas kawasan Fort van der Capellen, membangun kompleks bangunan yang cukup kokoh di dalam benteng itu. Misalnya, Belanda membangunan gerbang benteng yang di halamannya terdapat dua buah meriam, yang juga dilengkapi tiga buah ruangan di sebelah kanan dan kiri

(16)

gerbang serta empat ruangan di bagian belakang yang berfungi sebagai kantor, bangsal militer, gudang perbekalan, dan sel tahanan atau penjara. Namun, kondisi penjara tersebut masih kecil saja, pemerintah kolonial Belanda menempatkan satu orang kepala penjara yang berasal dari orang pribumi yang juga digaji oleh Belanda sebesar f 25 (dua puluh lima gulden) perbulan.32

Bangunan penjara ini terdiri dari ruang-ruang untuk kantor di bagian depan dan kamar-kamar untuk para tahanan yang di bagian belakang.33 Ruangan kantor dan

ruang tahanan dipisahkan oleh pintu dari besi dan sebuah bagian lain untuk ruang penjaga. Kamar tahanan berjumlah 7 buah, yang pada masing-masing kamar terdapat jendela kecil yang ditempatkan di bawah langit-langit.

(17)

Gambar: Fort van der Capellen sekitar tahun 1890, tiga banguan di bagian belakang satu di antaranya adalah penjara (Sumber: KITLV, http://kitlv.pictura-dp.nl,

diunggah tanggal 13 Agustus 2012.)

Pada periode berikutnya dari abad yang sama, laporan tahun 1894 menyebutkan bahwa, penjara telah menyebar hampir ke seluruh daerah-daerah penting di Sumatera Barat.34 Penjara Padang masih tetap menjadi

penjara utama, centrale gevangenis, dengan daya tampung paling besar, 600 tahanan. Sementara penjara-penjara lain yang lebih kecil di Sumatra’s Wesktust tersebar di daerah-daerah seperti Lubuak Bagaluang (Loebeo Begaloeng), Kayu Tanam (Kajoe Tanam), Palembayan, Fort van der

(18)

Capellen, Singkarak (Singkarah), Buo (Boea), Sijunjung (Sidjoendjoeng), Solok, Padang Panjang. Penjara-penjara tersebut dapat menampung jauh lebih kecil, antara 6 sampai 50 tahanan. Penjara di Kayu Tanam misalnya hanya berkapasitas 6 orang, sementara penjara di Padangpanjang dapat menampung sampai 50 tahanan.35

Gambar: Penjara Sawahlunto (Sumber: “De provoost en de gevangenis te Sawahloento”, www.kitlv.nl)

(19)

Sementara setahun setelah itu, pada tahun 1897, penjara baru juga telah rampung dibangun di Sungai Durian, Sawahlunto. Penjara baru ini diperuntukkan bagi narapidana hukuman berat yang akan dipekerjapaksakan di tambang-tambang batubara yang baru dibuka. Tahanan yang mengisi penjara ini pada mulanya berasal dari Penjara Padang, penjara yang memang terkenal sebagai pusat pemenjaraan bagi tahanan hukuman berat (Centrale Gevanenis voor Strafgevangenis) sejak awal abad ke-19. Namun, kebutuhan akan pekerja paksa dari para tahanan ini tidak sebanding dengan jumlah tahanan yang ada di penjara itu. Pemerintah Belanda kemudian mendatangkan juga narapidana dari penjara di Cipinang dan Glodok di Batavia. Beberapa dari tahanan yang dianggap berbahaya, dikalungkan rantai besi yang melingkari pegelangan tangan dan kaki mereka. Ahli sejarah menyebut mereka

kettingganger atau ”orang rantai”. Mereka biasanya adalah orang-orang dari luar Sumatra Barat.36 Penjara Sungai

Durian ini terhubung ke lubang-lubang tambang tempat di mana penghuninya dipekerjakan sebagai kuli paksa.37

Praktek ini baru berakhir pada tahun 1917, ketika undang-undang penjara (Reglemen Gestichten) baru dikeluarkan pemerintah pusat di Batavia, yang menghilangkan hukuman kerja paksa bagi tahanan di penjara mana pun di seluruh Hindia Belanda.

Marah Rusli menggambarkan dengan sangat hidup satu potongan dari kisah kedatangan tahanan yang akan dikirim ke Penjara Sawahlunto dalam roman Sitti Nurbaya.

36 Para tahanan hukuman berat dari Sumatera Barat, diatur dalam undang-undang, tidak ada yang dikirim ke penjara di daerahnya sendiri, tetapi dibuang ke penjara di luar daerahnya. Ini akan dibahas pada sub-pasal berikutnya.

(20)

Di Teluk Bayur, tulis Rusli, Syamsul teringat seorang tahanan dalam kapal dengan tangan terikat rantai. Dengan wajah putus asa, lelaki itu melompat ke dalam laut dan tidak timbul lagi. Syamsul Bahri, tokoh utama roman awal abad ke-20 itu, dengan jantung berdegup kencang menunggu tahanan itu muncul ke permukaan air yang saat itu gelombangnya sangat besar. “Rupanya karena putus asa, lebih suka ia mati di dalam laut daripada menanggung kesengsaraan, kehinaan, dan malu. patutlah acap kali hamba lihat ia termenung dan terkadang-kadang menangis di sisi kapal; makan pun kerap tiada suka ... Kabarnya ia dipersalahkan membunuh orang, sebab itu dihukum buang dalam rantai lima belas tahun lamanya ke Sawah Lunto,” tulis Marah Rusli pula. pesisir hingga yang paling utara, dan memenuhi hampir seluruh daerah di daratan tinggi dari yang paling barat hingga yang paling timur: Painan, Balai Salasa, Pariaman, Airbangih, Pulau Telo, Fort de Kock, Maninjau, Payokumbuah, Suliki, Bangkinang, Pangkalan Koto Baru, Fort van der Capellen, Sijunjuang, Si Tiung, Solok, Muaro Siberut, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Sawah Lunto, Lubuak Bagaluang, Padang Panjang, Lubuk Sikapiang, dan Talu.38 Untuk sementara, ini membuktikan bahwa

perkembangan kekuasaan kolonial memiliki hubungan yang paralel dengan pertumbuhan penjara di daerah ini.

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Latihan ini bertujuan untuk memberi pendedahan dan menyediakan guru mata pelajaran KHB-ERT dengan pengetahuan dan kemahiran berkaitan pelaksanaan Ujian bertulis PT3 yang

Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung tidak bersemangat, merasa tak berguna, merasa tak berharga, merasa kosong dan tak ada harapan berpusat pada

Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan melalui program penyediaan air minum dan

Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan bahwa variabel profitabilitas yang diukur menggunakan ROA berpengaruh positif terhadap financial distres sehingga H 2 diterima

According to Azar (1998: 195) noun clause is a dependent clause that the functions as a noun. Because the function is as a noun, it can be a subject, object, complement, and object

Instrumenyang dibutuhkan selama penelitian meliputi alat evaluasi proyek siswa, lembar observasi guru, lembar observasi siswa, catatan lapangan dan jurnal

Konsumsi ransum baik BK maupun BO yang tidak berbeda nyata secara uji statistik tetapi berdasarkan nilainya tertinggi pada perlakuan T1, yang berarti bahwa ransum perlakuan