• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 Hubungan Antara Hukum WTO dan Hukum H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "2 Hubungan Antara Hukum WTO dan Hukum H"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

1

2

HUBUNGAN ANTARA HUKUM WTO DAN

HUKUM HAM*

_________________

Sarah Joseph

Setelah memperkenalkan dua rezim hukum internasional yang relevan dalam Bagian 1, maka perlu dibahas hubungan antara keduanya. Pertama, membandingkan landasan filosofis yang mendasari dua rezim tersebut, diteruskan dengan melakukan analisa hubungan legal-normatif antara dua bidang hukum internasional.

1. Nilai-nilai yang mendasari

Meski bisa dibilang keduanya diperkirakan memiliki sumber akar lintas-budaya pada konsep awal hukum, pengertian modern HAM sering kali bisa ditelusuri kembali kepada filsafat liberal Barat pada abad ketujuhbelas hingga kesembilanbelas.1 Khususnya, dalam Second Treatise of Government’ karya John Locke yang secara spekulatif menyatakan bahwa lelaki (men) berdasar

'kodrat alam memiliki hak alamiah untuk hidup, kebebasan dan hak

* Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy. Tulisan ini adalah bagian dari sepuluh Bagian dalam buku Blame It on WTO: A Human Critique karya Sarah Joseph, yang diterbitkan oleh Oxford University Press. Ini masih dalam bentuk belum final, dan hanya untuk tujuan pemenuhan hak terhadap ilmu pengetahuan. Untuk keperluan komersialisasi penerbitan buku terjemah ini dalam bentuk versi penuh, silahkan hubungi mazkuri.agung@gmail.com dan mengurus lisensi hak ciptanya kepada penerbit hak cipta.

1 Tulisan setelahnya diadaptasi dari Sarah Joseph, Civil and political rights in Mashood

Baderin and Manisuli Ssenyonjo, International Human Rights Law: Six Decades after the UDHR

(2)

2

kepemilikan.2 Diskursus serupa juga muncul di Abad Pencerahan di Perancis dengan munculnya gagasan-gagasan Rousseau, Montesquieu dan Voltaire, meski diskursus yang berkembang di daratan Eropa memberi batasan-batasan kualifikatif hak-hak secara lebih banyak, berupa adanya kewajiban di sisi lain dan munculnya gagasan-gagasan rasa persaudaraan dan kesetaraan bersamaan dengan adanya kebebasan tersebut.3 Teori hak menurut hukum alam dikatakan bahwa hak tersebut berakar pada martabat yang melekat (inherent) dan berdasar pada rasionalitas manusia (atau lebih tepatnya, kaum laki-laki ), yang dikembangkan dari doktrin keagamaan yang dominan saat itu tetapi irasional/berpaham theistik.4 Menurut teori Lockean (penganut pendekatan John Locke), masyarakat dibentuk di bawah kontrak sosial , di mana kaum

lelaki tetap memiliki hak-hak alamiahnya yang tunduk pada kualifikasi-kualifikasi yang dibuat agar tidak saling mengancam atau membahayakan hak masing-masing. Peran pemerintah sangat minim, dan pada dasarnya terbatas pada penegakan kontrak sosial saja. Oleh karena itu, konsep HAM telah diartikan secara sempit, yang hanya berkaitan masalah kebebasan sipil dan politik dari adanya tindakan represif pemerintah dan adanya perlindungan dari tindakan yang mengancam dari pihak lain, ketimbang diartikan adanya hak atas komoditas atau jasa yang harus disediakan oleh pihak pemerintah. Konsepsi awal hukum HAM seperti ini, metode pendekatannya merupakan yang mempengaruhi corak Bills of Rights di Amerika Serikat dan Perancis, hanya berkutat pada hak-hak kebebasan negatif (libertarian negative rights) ketimbang adanya klaim atas hak secara positif.

Meskipun banyak kritik dialamatkan terhadap para penganut teori hak alamiah, seperti Karl Marx5 dan Jeremy Bentham,6 teori hak alamiah tetap

2John Locke, The Second Treatise of Government , cetak ulang dalam Peter Laslett (ed),

Locke, Two Treatises of Government, ed. Ke-22 (Cambridge University Press, Cambridge, 1988) 265ff.

3 Mary Ann Glendon, A World Made New: Eleanor Roosevelt and the Universal Declaration

of Human Rights (Random House, New York, 2001) xvii.

4 Lihat Burns Weston, Human Rights Human Rights Quarterly 257, 259.

5 Marx tidak mengakui hak-hak natural/alamiah karena menganggapnya sebagai bentuk

egoisme dan berangkat dari premis anti sosial yang mengadu domba manusia dan melawan kemanusian itu sendiri: lihat, misalnya, Karl Marx, On the Jewish question , cetak ulang dalam David McClellan (ed), Marx: SelectedWritings (Oxford University Press, Oxford, 1977) 51–7

6 Bentham yang angat terkenal tersebut tidak mengakui teori berdasar hak-hak alamiah

(3)

3

bertahan dan mendominasi penyusunan dan bahasa UDHR pada 1948.7 Bagaimanapun, sejak tahun 1948, konsepsi teori bendasar hak alamiah telah berkembang lebih jauh meninggalkan akar konsepsi libertarian awal demi menjangkau hak-hak perempuan dan minoritas, hak-hak pekerja, dan beberapa batasan minimum hak-hak dalam bentuk welfare rights,8 dan kebutuhan orang-perorang dalam perannya sebagai bagian dari anggota masyarakat, bukan individual belaka.9

Nilai-nilai di atas kemudian diartikulasikan dalam UDHR dan merangkum semua nilai-nilai yang mendasari sistem HAM internasional modern: universalitas, martabat, kemerdekaan (atau kebebasan), keadilan, kesetaraan (atau fairness, juga termasuk keadilan distributif), akuntabilitas (pemerintah), partisipasi, pemberdayaan, dan rasa persaudaraan (atau solidaritas) antara orang-perorang.10

Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy, menyatakan bahwa aturan-aturan dalam perdagangan, juga termasuk aturan-aturan dalam WTO, didasarkan pada nilai-nilai yang sama dengan HAM: kebebasan dan tanggung jawab individu, non-diskriminasi, penegakan hukum, dan kesejahteraan melalui kerjasama yang damai antar individu .11 Seorang sarjana pakar WTO berpengaruh Ernst-Ulrich Petersmann juga menyatakan bahwa rezim WTO mempromosikan kebebasan (dalam menghilangkan pembatasan perdagangan), perlakuan diskriminasi (dalam bentuk Most Favoured Nation/MFN dan National Treatment/NT), rule of law (dalam kaitan negara anggota WTO untuk bersikap transparan dengan kewajiban dan pelaksanaannya menurut sistem yang berbasis perdagangan internasional), dan efisiensi ekonomi dalam

Waldron (ed), Nonsense upon Stilts:Bentham, Burke and Marx on the Rights of Man (Methuen, London, 1987) 46ff.

7 Johannes Morsink, The Philosophy of the Universal Declaration Human Rights

Quarterly 391.

8 Lihat Henry Shue, Basic Rights (Princeton University Press, Princeton, 1980) 245;

Matthew Craven, The International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (Oxford University Press, Oxford, 1995) 13. Tentu saja, Morsink telah menelusuri hal-hal pendukung untuk hak-hak Ekosob dalam mendukung teori hak alamial awal, Thomas Paine, dalam Morsink, Loc. Cit, n 7, 326.

9 Morsink, Loc. Cit, n 7, 334.

(4)

4

meningkatkan kesejahteraan.12 Keseluruhan nilai-nilai di atas, sebagaimana diproklamirkan oleh Lamy dan Petersmann, tampaknya kongruen/sebangun dengan promosi prinsip-prinsip HAM sejauh titik sebelum adanya kajian lebih mendalam lagi.

1.1 Kebebasan dan hak menurut hukum perdagangan dan hukum HAM

Kebebasan yang digemborkam WTO secara eksklusif telah melakukan pengingkaran di bidang ekonomi internasional, seperti adanya hak negara eksportir untuk menikmati propertinya secara damai dan menikmati prinsip kebebasan berkontrak, non-diskriminasi sehubungan dengan hal lainnya, seperti bidang industri (akan dibahas di bawah nanti), dan kebebasan pergerakan komoditas dan jasa lintas tapal batas. Ruang lingkup kebebasan di sini sangatlah sempit dibandingkan kebebasan yang dipromosikan di bawah HAM. Selanjutnya, munculnya hukum WTO sendiri untuk mendukung hak, hak dagang pihak asing, sementara hukum HAM mengakui hak untuk semua. Sempitnya ruang lingkup asas kemanfaatan di bawah hukum WTO menimbulkan bahaya, mengingat Asing sebagai pihak yang diuntungkan dan terlalu diistimewakan ketika kepentingannya berbenturan dengan pihak lain, misalnya, terhadap kompetitor lokal atau konsumen, dengan cara yang justru melanggar HAM pihak yang disebut terakhir (baca: kompetiror lokal dan konsumen).

Sebagaimana telah disinggung di atas, teori hak alamiah John Locke begitu mempengaruhi perkembangan hukum HAM. Locke juga salah satu filsuf modern pertama yang meletakan dasar pembenaran hak atas kepemilikan pribadi. Namun demikian, dalam hukum HAM internasional modern, hak atas kepemilikan pribadi terdapat kualifikasi-kualifikasi yang dipersyaratkan. Misalnya, Pasal 1 (1) Konvensi HAM Eropa (European Convention on Human Rights/ECHR) menguraikan hak sebagai berikut:

Setiap hak alamiah ataupun hak hukum bagi seseorang menjamin setiap orang untuk menikmati hak miliknya tanpa ada rasa takut. Tidak seorangpun bisa dirampas harta miliknya kecuali untuk kepentingan umum yang harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan prinsip-prinsip umum hukum internasional.

12 Ersnt-Ulrich Petersmann, Time for a United Nations Global Compact for integrating human rights into the law of worldwide institutions: lessons from European integration

(5)

5

Ketentuan-ketentuan sebelumnya, bagaimanapun, dan dengan cara apapun suatu negara dilarang melanggar hak dalam penegakan hukum. Pengakuan hak kepemilikan ini dianggap perlu guna mengontrol perampasan hak milik yang mengatasnamakan kepentingan umum atau untuk menjamin pembayaran pajak atau konstribusi-konstribusi lainnya, atau denda.

Hak atas properti ini batasan kualifikatifnya disinggung secara mendalam di dalam paragraf kedua, dan fakta bahwa seseorang dapat saja dirampas salah satu hak miliknya atas nama kepentingan umum melalui ketentuan hukum domestik maupun internasional.13

Hak atas kepemilikan dalam UDHR sebenarnya tidak bisa ditransformasikan ke ranah global melalui salah satu Kovenan, sebagian besar disebabkan penolakan blok Sosialis selama penyusunannya.14 Tspi, hal ini juga bukan dimaksudkan untuk mengatakan bahwa hak milik benar-benar tak terlindungi di bawah ketentuan Kovenan-Kovenan tadi. Misalnya, hak atas kepemilikan harus bisa dinikmati secara non-diskriminatif. Dalam kasus menggugat Republik Ceko di bawah ketentuan Kovenan Sipol, HRC menemukan fakta bahwa pemberian ganti rugi hak kekayaan yang disita oleh rezim komunis sebelumnya hanya diberikan kepada pada warga negaranya saja, ini merupakan bentuk pelanggaran prinsip non-diskriminasi berdasar kebangsaan.15Hak atas properti di sini per se tidak terlindungi: tidak akan ada pelanggaran Kovenan Sipol mengapung dalam kasus Ceko jika saja tidak ada tindakan restitusi terhadap orang-perorang.16

Promosi hak atas kepemilikan dalam konteks globalisasi ekonomi (telah bergerak di luar ranah tujuan WTO) cenderung terfokus pada keamanan transaksi dan perlindungan bagi investor Asing, bukan bertitik anjak pada prinsip hak atas kepemilikan sesuai dalam HAM, yang mensyaratkan hak harus

13 Terkait kasus hukum yang memiliki relevansi terhadap Mahkamah HAM Eropa, lihat

Pieter van Dijk, Fried van Hoof, Arjen van Rijn, dan Leo Zwaak (ed), Theory and Practice of the European Convention on Human Rights, 4th edn (Intersentia, Antwerp, 2006) Bab 17.

14 Lihat Audrey Chapman, Approaching intellectual property as a human right obligasi

memiliki relevansi Pasal c XXXV Copyright Bulletin 4, 12.

15 Lihat, misalnya, Simunek v Czech Republic, dokumen PBB. CCPR/C/54/D/516/1992 (19

July 1995) and Adam v Czech Republic, dokumen PBB. CCPR/C/57/D/586/1994 (25 Juli 1996) (dikeluarkan oleh kedua Komite HAM).

16 Asal mulanya, Kovenan Sipol tidak mengakui diperbolehkannya penyitaan secara

(6)

6

bisa dinikmati oleh semuanya terlepas dari utilitas ekonomi pihak tertentu.17 Ujungnya, keberadaan hak atas hak milik dalam hukum WTO tersebut menjadi berat sebelah dan perlindungan hak milik dalam lingkup globalisasi ekonomi ini bisa memicu pengalihan penguasaan tanah secara korup dan upaya paksa yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang bisa membayar lebih untuk itu, dan/atau bagi mereka yang bisa memberdayakan tanah secara lebih menguntungkan, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat adat dan masyarakat miskin. Di sisi lain, pengalihan penguasaan tersebut mungkin secara ekonomis menguntungkan, setidaknya dalam jangka pendek,18 yang nyata-nyat hal ini tidak sesuai dengan norma-norma HAM internasional yang ada. Contohnya, sistem pendaftaran tanah yang umumnya dirancang untuk kepastian hak atas kepemilikan, dan pengenalan sistem ini sendiri telah didanai oleh Bank Dunia di beberapa negara berkembang. Sayangnya, sistem tersebut memiliki celah akan adanya kesempatan tindak korupsi dan pelanggaran HAM, dimana pemilik tanah secara tradisional seperti masyarakat adat bisa digusur secara sewenang-wenang, lalu tanah mereka dialihkan ke para spekulan dan pengembang bermodal.19

Hak kebebasan berkontrak dalam hukum HAM internasional tidak bisa diberlakukan sekenanya, terlepas dari Pasal 15 (2) dan 16 Piagam Hak Fundamental Uni Eropa (the Charter of Fundamental Rights of the European Union). Tujuan awal komersialisasi Uni Eropa sendiri sudah tidak diragukan lagi memiliki pengaruh dalam menghasilkan ketentuan-ketentuan provisional, yang mulai diberlakukan di sebagian besar negara Uni Eropa per 1 Desember 2009.20 Di lingkup domestik, kebebasan berkontrak memiliki sejarah yang selalu berubah ketika terjadi Amandemen keempatbelas Bill of Rights Amerika

17 Lihat misalnya James Harrison, The Human Rights Impact of the World Trade

Organisation (Hart, Oxford, 2007) 47.

18 Lihat, misalnya, Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in

Historical Perspective (Anthem Press, London, 2003) 82–3.

19 Lihat Natalie Bugalski dan David Pred, Land Titling in Cambodia: Formalizing Inequality Housing and ESC Rights Law Quarterly 1. Lihat juga Nicola Colbran,

Indigenous Peoples in Indonesia: at risk of disappearing as distinct peoples in the rush for biofuel? International Journal for Minority and Group Rights, segera rilis, makalah ada pada penerbit, membahas penggusuran masyarakat adat di Indonesia demi memberi jalan bagi perkebunan kelapa sawit dan pemberdayaan tanaman genus Jatropha yang termasuk keluarga Euphorbiaceae (diantaranya untuk bahan baku biodisel), khususnya dibahas dalam 11–15.

20 Piagam mulai berlaku bersamaan disahkanya Traktat Lisbon, yang mereformasi Uni

(7)

7

Serikat. Terkenal, sebagai Lochner v New York,21 Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan Putusan Hukum Pengadilan New York yang membatasi jumlah jam kerja tukang roti dalam satu hari (10 jam) dan dalam satu minggu (60 jam). Ini merupakan bentuk kasus hukum yang dialamatkan untuk mempromosikan hak-hak buruh, tetapi juga bisa dikatakan untuk melemahkan prinsip kebebasan berkontrak yang diteken oleh individu. Kasus Lochner jelas mendemonstrasikan ketegangan yang muncul antara regulasi terkait perburuhan dan regulasi yang tentu saja berhubungan dengan ekonomi, dan prinsip kebebasan berkontrak dalam doktrin laissez-faire.22 Kebebasan berkontrak dan kebebasan ekonomi lainnya juga dapat disalahgunakan mengingat pihak-pihak tertentu memiliki daya tawar yang tidak sama.

Hak atas kebebasan pergerakan barang dan jasa per se cocok dengan prinsip kebebasan HAM, dengan cara menyamakannya pada hak kebebasan bergerak seseorang, prinsip hak atas kebebasan pergerakan barang dan jasa baru saja muncul di bawah hukum WTO.23 HAM itu melekat kepada individu dan kadang-kadang kepada kelompok,24 tidak melekat pada komoditas ekonomi. Ada perdebatan sengit terkait prinsip kemanfaatan hak atas perdagangan, sebagaimana dicontohkan oleh jual-beli pandangan antara Petersmann dan Philip Alston pada tahun 2002.25 Hak kebebasan pergerakan barang dan jasa tentu saja kehadirannya difasilitasi oleh hukum WTO dalam ranah internasional. Perlu dicatat pula, Panel WTO juga telah menyatakan bahwa

salah satu tujuan utama pendirian GATT/WTO secara keseluruhan adalah untuk menciptakan kondisi tertentu pasar yang akan memungkinkan kegiatan

21 198 US 45 (1905) (Mahkamah Agung Amerika Serikat).

22 Secara eksplisit, Lochner tidak melanggar peraturan, tetapi kasusnya dipersamakan

dengan kasus West Coast Hotel Co v Parrish 300 US 379 (1937) (Mahakamah Agung Amerika Serikat).

23Philip Alston, Resisting the Merger and Acquisition of Human Rights by Trade Law: A Reply to Petersmann European Journal of International Law 815, 825. GATS meramalkan terjadi liberalisasi pergerakan tenaga kerja di sektor perakitan ponsel di bawah Mode IV GATS, tetapi nyatanya sedikit sekali komitmen yang telah dibuat oleh GATS. Perlu digarisbawahi bahwa hukum HAM internasional jarang sekali menyinggung hak bagi seseorang untuk memasuki suatu negara asing, kecuali di bawah ketentuan hukum pengungsi internasional dan sistem perlindungannya yang saling melengkapi.

24 Kebanyakan masyarakat internasional mengakui bahwa HAM melekat terhadap

individu, meski kadang hak-hak secara kolektif juga diakui, contohnya hak untuk menentukan nasib sendiri dalam Pasal 1 dalam Kovenan Sipol dan Ekosob.

25 Lihat Petersmann, Loc. Cit, n 12, dan Alston, Loc. Cit, n 23; lihat juga Robert Howse, Human Rights in the WTO: Whose Rights, What Humanity? Comment on Petersmann

(8)

8

oleh individu agar bisa berkembang.26 Ironisnya, tidak ada ketentuan hak atas perdagangan yang diakui dalam HAM.

Terlepas pernyataan dalam keputusan Panel WTO yang dikutip di atas, WTO tidak memberi akses hak atas kebebasan berkontrak atau hak atas perdagangan sebagai hak yang melekat pada individu. Individu tidak memiliki hak ini secara langsung di bawah hukum WTO, hanya negara anggota yang memiliki hak (dan kewajiban) tersebut. Perlu diingat lagi, hak tersebut tidak secara langsung bisa digunakan oleh pihak-pihak pelaku ekonomi: pada dasarnya hanya negara saja yang bisa mengajukan klaim atas nama pelaku ekonomi mereka. Klaim seperti ini biasanya diajukan oleh perusahaan besar, cukup diragukan suatu negara akan mengorbankan waktu dan biaya untuk melakukan litigasi ke WTO atas nama pelaku ekonomi kecil yang tidak memiliki dampak signifikan bagi sektor ekonomi domestik.27 Korporasi secara umum tidak diakui sebagai subyek pemilik HAM menurut hukum HAM internasional.28

Perbedaan nilai-nilai yang diusung WTO dan yang diusung HAM lebih jauh digambarkan oleh perbedaan arah tujuan yang ingin dicapai, yang mendasari pengakuan hak-hak di dalam keduanya. Alston secara meyakinkan berpendapat bahwa hak-hak yang diakui dalam WTO tidak bisa disamakan dengan hak-hak dalam HAM karena keduanya memiliki dasar alasan yang berbeda secara fundamental:

Hak Asasi Manusia mengakui hak semua orang berdasar martabatnya yang melekat (inherent) pada semua orang. Sedangkan hak terkait dengan perdagangan diberikan kepada orang-perorangan atas dasar alasan-lasan yang instrumental. Individu dianggap sebagai objek bukan sebagai pemegang hak. Individu diberdayakan sebagai pelaku ekonomi untuk tujuan tertentu dan dalam rangka mempromosikan pendekatan spesifik dalam kebijakan ekonomi, bukan sebagai pelaku politik dalam arti penuh dan juga sebagai pemilik seperangkat hak-hak individual secara komprehensif dan berimbang. Bukan

26United StatesSections 301310 of the Trade Act of 1974, dokumen WTO. WT/DS152/R

(22 Desember 1999) (Laporan Panel) para 7.73.

27 Lihat juga Caroline Dommen, Raising Human Rights Concerns in the World Trade Organization: Actors, Processes and Possible Strategies Human Rights Quarterly 1, 47.

28 Akan sangat mengherankan, entitas buatan seperti perusahaan dapat membawa klaim

pelanggaran HAM ke meja hijau Pengadilan HAM Eropa. Lihat secara umum, Marius Emberland, The Human Rights of Companies: Exploring the Structure of ECHR Protection

(9)

9

berarti ada yang salah dengan pendekatan instrumentalis tersebut, tetapi janganlah sampai tertukar dengan pendekatan hak dalam HAM.29

Alston membenarkan bahwa sikap keberatan proposisinya terletak pada hak (secara dimiliki secara tidak langsung) dalam konsep kekayaan intelektual yang berdasar ketentuan TRIPS, yang bisa dikatakan berhubungan dengan hak-hak yang diakui dalam Pasal 15 (1) (c) Kovenan Ekosob. Bagaimanapun hal ini sangat ironis, TRIPS telah mengundang kritik yang berkepanjangan karena dampaknya terhadap aspek HAM, sebagaimana akan dibahas dalam Bagian 7.

Titik tekan konsep kebebasan dalam hukum WTO secara umum bertujuan untuk membebaskan perdagangan dari hambatan-hambatan yang dibuat pemerintahan suatu negara. Tentu saja, banyak dari hukum HAM juga bertujuan untuk membebaskan orang-perorang dari pembatasan yang tidak masuk akal/dipertanggungjawabkan yang dibuat oleh suatu pemerintahan. Namun perlu diingat, sebagaimana tertulis dalam Bagian 1, tanggung jawab akan pelaksanaan HAM juga mewajibkan negara untuk bertindak (positive duties) dalam melindungi dan memenuhi HAM yang membutuhkan tindakan nyata, pencipataan payung hukum dan campur tangan negara. Munculnya hambatan (atau adanya anggapan adanya hambatan) berhubungan kemampuan suatu negara untuk melaksanakan tugas positifnya dalam penegakan HAM, salah satu penghambat terbesar yang dirasakan, ditimbulkan oleh aturan WTO terhadap kelangsungan penegakan HAM. Sebagaimana diutarakan Dr. Andrew Lang:

Rezim perdagangan internasional, bisa dibilang, telah memunculkan hambatan baru bagi kebijakan yang bisa diambil oleh suatu negara, sehingga negara sekarang ini tidak bisa mencampuri urusan perekonomian dalam memenuhi kewajiban hak asasi manusia yang diembannya. Negara merupakan mekanisme utama bagi sistem hak asasi manusia agar dapat mencapai tujuan-tujuannya, ceritanya, negara kehilangan efektivitasnya dalam menghadapi tatanan ekonomi neo-liberal internasional yang berpengaruh dan begitu mendominasi akhir-akhir ini.30

Sebagai contoh, suatu negara umpamanya ingin menerapkan skema harga terkait kebutuhan vital, seperti penyediaan air bersih atau listrik, yang tentu

29 Alston, Loc. Cit, n 23, 826.

30Andrew Lang, Inter-regime Encounters dalam Sarah Joseph, David Kinley, dan Jeff

Waincymer, The World Trade Organization and Human Rights: Interdisciplinary Perspectives

(10)

10

saja negara harus membatasi kebebasan ekonomi transaksional terkait air dan listrik oleh perusahaan penyedia dalam rangka menjamin terwujudnya hak atas standar hidup yang layak bagi warga miskin sebagaimana ketentuan Pasal 11 Kovenan Ekosob. Muncul anggapan adanya superioritas aturan WTO, yang mana akan dibahas dalam Bagian-Bagian berikutnya, bahwasanya aturan-aturannya terlalu melemahkan kemampuan negara dalam mengambil semacam langkah-langkah tertentu.31

Tentu saja, Petersmann melemparkan kritik terhadap Kovenan Ekosob

karena mengabaikan hak-hak kebebasan ekonomi dan hak atas hak milik dengan menyebutnya sebagai cerminan anti-pasar yang bias.32 Sepertinya, Petersman mungkin terjebak ke dalam perangkap yang jamak terjadi karena argumennya berangkat dari asumsi bahwa Kovenan Ekosob semata-mata didasarkan pada kontrol pemerintah terhadap sarana-prasarana demi mewujudkan hak-hak Ekosob sebagaimana tercantum dalam Bagian 1, artinya pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak dalam Kovenan Ekosob. Dengan demikian, pemerintah harus menahan diri dari tindakan yang merugikan pemenuhan hak-hak dalam Kovenan Ekosob, termasuk menciptakan gangguan yang tidak beralasan bagi mata pencaharian dan wajib menghormati kemampuan orang-perorang dalam memperbaiki kondisi ekonominya sendiri.33

Sebagai contoh kasus terkait diberlakukannya perdagangan bebas, Oxfam dikenai tarif bea masuk barang tinggi oleh beberapa negara kawasan Afrika terkait bantuan selambu yang didatangkan ke negara-negara tersebut, dengan dalih karena melambungnya biaya hidup di negera-negara tersebut karena meningkatnya eksposur kemiskinan yang disebabkan wabah malaria, ini merupakan bentuk pelanggaran hak atas kesehatan dalam Kovenan Ekosob (dan mungkin juga hak untuk hidup dalam Kovenan Sipol).34 Dari sudut pandang HAM, kuncinya ada pada bagian terkait bagaimana memastikan adanya keseimbangan antara regulasi yang ada dan non-interferensi. Juga dari sudut pandang HAM lagi, bagaimana mungkin WTO bisa membuat aturan yang tidak seimbang (sub-optimal), yang terlalu mengedepankan strategi yang terakhir (baca: kepentingan ekonomi pihak Asing).

31 Lihat juga Andrew Lang, The GATS and regulatory autonomy: a case study of social regulation of the water industry Journal of International Economic Law 801–38.

32 Petersmann, Loc. Cit, n 12, 6289.

33 Lihat juga bagian 1, teks dalam catatan 645.

(11)

11

Kebebasan dalam konteks WTO tidaklah berimbang dan kadang kontra-produkitf dari sudut pandang HAM. Pertama, sebagaimana sudah ditulis di atas, yang menjadi proritas kebebasan dalam hukum WTO tidak secara jelas dan tegas diakui di bawah hukum HAM. Kedua, menurut hukum HAM, telah diakui bahwa dalam banyak hal kebebasan seseorang bisa dibatasi oleh hak

pihak lain karena kebebasan dan hak acapkali berbenturan. Kebebasan dalam

hukum HAM jarang sekali berlaku absolut dan biasanya selalu dibatasi dengan tujuan untuk melindungi hak pihak/orang lain. Sebagai contoh, kebebasan berekspresi dibatasi oleh aturan yang melarang pencemaran nama baik, yang secara bersamaan dimaksudkan untuk melindungi hak atas privasi dan nama baik pihak/orang lain. Menurut hukum WTO, prinsip kebebasan bagi pelaku perdagangan Asing menjadi prioritas dengan jalan mengorbankan hak-hak pelaku perdagangan domestik suatu negara. Sebagaimana dijelaskan oleh James Gathii:

[S}etiap aturan dalam perdagangan internasional yang membuka jalan adanya perdagangan seharusnya sebanding dengan tindakan untuk membatasi atau mengontrol hak stakeholder lain. . . . Jadi, tidak ada liberty (berkaitan paham yang dianut) atau freedom (berkaitan kebebasan individu itu sendiri) dalam perdagangan yang tidak bisa tidak harus diberlakukan adanya pembatasan secara simultan atau pembatasan kebebasan lainnya.35

Tapi nyatanya, adanya kebebasan dalam WTO merupakan bentuk countervailing, yang sebagian besar hak atas kebebasan juga tidak diakui oleh WTO. Tindakan countervailing terhadap hak-hak ini sendiri, sebagai misal, juga tidak mengenal pengecualian provisional sebagaimana dalam ketentuan Pasal XX dari GATT. Selanjutnya, tidak ada kompensasi bagi yang kalah dalam perdagangan bebas diamanatkan, dan bisa dibilang (sebagaimana akan dieksplorasi dalam Bagian-Bagian berikutnya), kapasitas negara untuk memenuhi kompensasi tersebut juga telah dibatasi.

1.2 Prinsip non diskriminasi

Hak atas perlakuan non diskriminasi dalam WTO dipahami sangat sempit, hanya terbatas pada ranah ekonomi internasional saja, yang keberadaannya begitu efektif dalam melindungi korporasi Asing dari adanya perlakuan diskriminatif dengan bercermin pada perlakuan terhadap korporasi Asing

(12)

12

lainnya (di bawah prinsip Most Favoured Nation/MFN) atau pelaku bisnis domestik (di bawah ketentuan National Treatment/NT) oleh suatu negara. Sebaliknya, hukum HAM internasional mengakui hak atas perlakuan non-diskriminatif pada sejumlah besar alasannya (dan bersifat terbuka) yang mejadi dasar pengakuan semua hak.36

Tentu saja, sangat penting adanya perlindungan bagi keberadaan Asing [di suatu negara] tidak boleh dianggap sepele, mengingat hal yang bisa saja terjadi yang dilakukan oleh suatu pemerintahan dalam tindak diskriminasi terhadap pihak non warga negaranya, mungkin dengan motif untuk mendulang suara konstituen ketika Pemilu. Perlu diingat, ketentuan non-diskriminasi dalam hukum WTO hanya terfokus pada kesetaraan dalam regulasi dari perlakuan barang dan jasa antara negara yang berbeda, bukan terfokus pada diskriminasi terhadap non warga negara per se.37

Selain itu, tujuan dari ketentuan prinsip non-diskriminasi dalam hukum WTO dan hukum HAM yang sangatlah berbeda. Diskriminasi dalam hukum HAM berkaitan dengan diskursus kesetaraan orang-perorang secara substantif. Misalnya, langkah-langkah positif seperti apa yang harus diambil pihak negara

untuk memperbaiki bias struktural yang telah menimbulkan diskriminasi .38 Maka dari itu, tindakan bersifat afirmatif guna membantu pihak yang kurang beruntung diperbolehkan dan kadang-kadang diharuskan di bawah ketentuan hukum HAM internasional.39 Berkebalikannya, larangan tindak diskriminasi dalam hukum WTO ditujukan untuk menghilangkan proteksionisme terhadap barang/komoditas dan jasa yang diperdagangkan. Faktanya, WTO tidak melarang adanya diskriminasi terhadap industri lokal, tampaknya WTO juga

36 Misalnya, Pasal 26 Kovenan Ekosob menjamin adanya persamaan dan perlakuan hukum

yang sama di hadapan hukum sehubungan hal untuk menikmati semua hak tanpa ada

diskriminasi melalui sejumlah alasan dibuat, serta status lainnya .

37 Lihat Adam McBeth, International Economic Actors and Human Rights (Routledge,

Oxford, 2010) 96. Lihat juga 3, teks dalam catatan 69, terkait bagaimana salah satu sengketa di WTO yang melawan Amerika Serikat begitu efektif diselesaikan, yang dilitigasikan untuk mewakili kepentingan investor Amerika Serikat.

38 Komisi HAM, Analytical study of the High Commissioner for Human Rights on the

Fundamental Principle of Non-Discrimination in the Context of Globalization , dokumen PBB. E/CN.4/2004/40 (15 Januari 2004) para 26.

39 Komisi HAM, General Comment No : Non-discrimination , dokumen PBB.

(13)

13

tidak memberi pengecualian dalam kasus di mana industri lokal tertentu mungkin dirugikan oleh hadirnya kompetitor Asing.40 Memang, bagian titik penekanan WTO adalah untuk mengarahkan kurang adanya efisiensi produksi ke arah mendapatkan keuntungan yang lebih. Etos semacam ini tampaknya mengabaikan, misalnya, langkah-langkah yang lebih memihak petani kecil ketika berhadapan dengan konglomerasi agrobisnis, atau memihak badan amal yang bergerak di bidang pendidikan non profit ketimbang penyedia pendidikan komersil.41 Jadi, pelaksanaan kerangka prinsip non-diskriminasi dalam WTO memiliki potensi yang besar dalam menciptakan ketidakadilan dengan cara merongrong prinsip non-diskriminasi HAM. Harrison menjelaskan perbedaan antara prinsip non-diskriminasi di bawah dua rezim ini dengan: bisa jadi yang paling bermasalah adalah perbedaan metodologi perumusan antara dua sistemnya mengingat kedua prinsip menggunakan istilah yang sama dalam

mendasari kedua sistem hukumnya .42

1.3 Supremasi hukum (rule of law)

WTO menerapkan supremasi hukum dalam konteks perdagangan internasional sangat sempit: peran penting yang dimainkan supremasi hukum utamanya hanya untuk membatasi penggunaan kekuatan dagang sebagai senjata oleh negara yang kuat secara ekonomi, dan yang memiliki sedikit hambatan dalam penggunaanya. Selanjutnya, dengan dibuatnya proses penyelesaian sengketa secara damai yang ditempuh melalui WTO akan membantu untuk mengeliminir ketegangan yang membahayakan, yang mungkin saja kemunculanya diakibatkan adanya sengketa dagang.

Penerapan supremasi hukum dalam WTO hanya concerns dalam hal bagaimana membentuk kondisi yang lebih transparan dan prediktabel dalam perdagangan.43 Bagaimanapun, concerns semacam ini sekali lagi berat sebelah. Suatu konsep aturan hukum yang mungkin diciptakan dalam bentuk

40 UNHCR, Loc. Cit, n 39, para 26. Sebagai contoh dari adanya kelemahan tersebut adalah

apa yang mungkin dialami oleh petani skala kecil di tingkat lokal terkait adanya kasus perdagangan komoditas agrikultural, lihat paragraf 35 dan lihat juga Bagian 6. Lihat juga McBeth, Loc. Cit, n 38, 96–8. Lihat juga Joseph E Stiglitz dan Andrew Charlton, Fair Trade for All (Oxford University Press, New York, 2005) 79.

41 Lihat Harrison, Loc. Cit, n 17, 141. 42 Ibid, 141.

43 Lihat, misalnya, Pasal X of GATT menyangkut publikasi dan administrasi regulasi

perdagangan. Lihat juga Anne Orford, Beyond Harmonization: Trade, Human Rights and the

(14)

14

penghambaan diri demi memberi dukungan korporasi Asing ketimbang pengusaha domestik, contohnya telah terbukti dalam proyek sertifikasi tanah yang terjadi Kamboja.44

Sedang prinsip supremasi hukum diterapkan dalam cara berbeda dan lebih luas di bawah hukum HAM, yaitu melalui adanya berbagai larangan adanya tindak sewenang-wenang dan penguasaan semena-mena oleh pihak pemerintah, dan adanya kualifikasi pembatasan hak-hak yang dirumuskan dan pembatasan oleh perundang-undangan secara tegas. Sebagaimana dinyatakan David Kinley, adanya pelaku global yang berbeda, seperti pelaku ekonomi komersial/dan aktor HAM, menegaskan aspek yang berbeda pula dari rule of law.45

1.4 Efisiensi ekonomi dan peningkatan kesejahteraan

Penciptaan konsep Penambahan Nilai Kekayaan Bersih yang lebih besar dalam pendapatan negara sebagaimana diatur WTO bagi negara-negara adalah hal yang cukup beralasan dalam mempromosikan kamampuan negara dalam upaya melindungi dan memenuhi kewajiban HAM, dan dalam kapasitasnya sebagai penerima manfaat dari dana tersebut dalam menciptakan akses pemenuhan HAM. Namun, peningkatan netto kekayaan global tidak selalu sebanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan orang-perorang. Aturan dalam WTO sendiri tidak ada yang menyatakan tentang bagaimana cara mendistribusikan kekayaan itu, entah antar, atau dalam lingkup negara.46

Teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa penghapusan hambatan perdagangan akan bermanfaat bagi semua negara yang akan meningkatkan agregasi kekayaan, tetapi sedikit sekali penjelasan yang menyinggung tentang bagaimana pendistribusiannya. Dari sudut pandang HAM, dampak adanya perdagangan bebas bagi eksistensi umat manusia sangatlah krusial. Proses liberalisasi perdagangan jelas menciptakan pemenang dan pecundang di dalam/antar negara, yaitu bagi orang-orang yang bekerja di industri yang efisien dan tidak efisien. Komite tentang Hak-hak Ekosob telah membuat

44 Lihat ibid, teks dalam catatan 19. Lihat juga, secara umum, Dewan HAM PBB, Report of

the Special Rapporteur on the Right to Food, Olivier De Schutter: Large-scale land acquisitions and leases: A set of minimum principles and measures to address the human

rights challenge , dokumen PBB. A/HRC/13/33/Add.2, 28 Desember 2009.

45 David Kinley, Civilising Globalisation (Cambridge University Press, Cambridge, 2009)

131.

(15)

15

semuanya jelas bahwa dampak kebijakann yang paling mungkin terjadi adalah penyediaan kenikmatan tertentu di bawah ketentuan Kovenan Ekosob.47 Makanya, hukum HAM akan sangat concerns dengan nasib pihak yang kalah dalam arena perdagangan bebas.48

Tentu saja, tak perlu banyak berharap kepada pecundang dengan adanya liberalisasi perdagangan demi mengubah prospek karir mereka dan mengarahkannya ke sektor produksi yang lebih efisien. Karena, pilihan tersebut tidak selamanya dimungkinkan. Sebagaimana Profesor Joel R Paul katakan:

Anda tidak dapat mengubah pabrik otomotif menjadi peternakan sapi perah; seorang pekerja pabrik berusia 50 tahun tidak akan mungkin berubah menjadi insinyur komputer yang mahir; dan kota pabrik di Maine tidak mungkin dirubah menjadi kebun jeruk.49

Pengkondisian tentu akan membutuhkan biaya-sosial yang lumayan, seperti adanya beban tagihan bagi wajib pajak untuk menyisihkan sebagian pendapatannya demi menyediakan tunjangan kesejahteraan bagi para pengangguran, terjadinya kemunduran di seluruh lapisan masyarakat (umpamanya, mereka mungkin akan mendirikan industri di sekitar tempat tinggalnya yang tidak efisien), dan akibatnya akan muncul keguncangan sosial dalam masyarakat.50 Tentu saja, biaya untuk menciptakan pengkondisian tersebut mencakup anggaran pemenuhan HAM yang relevan, seperti adanya anggaran bagi kerugian berkaitan hak untuk memperoleh pekerjaan dan hak atas standar hidup yang layak. Namun, biaya-biaya ini bisa dibilang di luar tanggungan pihak pemenang [yang berada di negara lain] yang menikmati akses lebih baik terhadap HAM karena faktor adanya globalisasi, mereka yang mendapatkan pekerjaan di industri-industri terbarukan yang terus berkembang menjadi lebih efisien dari industri yang kurang efisien sebelumnya. Selanjutnya, output ekonomi yang berskala lebih besar dalam suatu negara

47 Lihat, umpamanya, CESCR, General Comment : Right to adequate food Ps. ,

dokumen PBB. E/C.12/1999/5 (12 Mei 1999) para 13. Lihat juga UNECOSOC, Report of the

United Nations High Commissioner for Human Rights , dok PBB. E/2007/82 (25 Juni 2007) para 43(c).

48 Lihat juga Dewan HAM PBB, Report of the Special Rapporteur on the right to food, Olivier De Schutter: Mission to the World Trade Organization , dok PBB. A/HRC/10/5/Add.2 (25 Juni 2008) para 8.

49Joel R Paul, Do International Trade Institutions Contribute to Economic Growth and Development? Virginia Journal of International Law 285, 300; lihat juga Gathii, Loc. Cit, n 35, 146.

(16)

16

tentu akan memberikan pemasukan yang lebih besar pula, ini akan meningkatkan kemampuan negara untuk memenuhi biaya-biaya pengkondisian tersebut di wilayah/ negara lain. Namun perlu diingat, menciptakan kemanfaatan seperti ini dapat memakan waktu yang cukup, di sisi lain kewajiban pemenuhan terhadap HAM tidak membenarkan adanya bentuk pengorbanan jangka pendek (bisa jadi juga dalam bentuk spekulatif) demi meraih keuntungan dan kemanfaatan jangka panjang.51

Secara khusus, seseorang sebagai kesatuan masyarakat tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri setelah terjadinya pengkondisian ini guna menuju medan perdagangan bebas: dampak merugikan dari adanya liberalisasi bagi pecundang adalah harus ada perlindungan yang berpihak, berupa langkah-langkah kompensasional yang memadai. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Stiglitz dan Charlton:

Standar argumen ekonomi menyatakan bahwa laba bersih dari adanya liberalisasi perdagangan itu positif sehingga pihak-pihak yang menang dapat memberi kompensasi kepada pihak yang kalah dan [seharusnya] mengesampingkan identitas nasional itu lebih baik bagi semua. Sayangnya, kompensasi seperti ini jarang terjadi.52

Pascal Lamy sendiri mengakui bahwa adanya jaring pengaman sosial yang

kuat sangat diperlukan untuk mengkondisikan. . . ketidakseimbangan antara pemenang dan pecundang di lingkup setiap negara, dan negara yang memiliki

kapasitas lemah perlu dibantu oleh masyarakat internasional jikalau adanya memang perdagangan diharapkan menghasilkan kesejahteraan kolektif.53 Perlu ditegaskan sekali lagi, fokus hukum WTO adalah menciptakan agregasi kesejahteraan ketimbang kesejahteraan individual, dan mungkin memerlukan kapasitas negara secara lebih untuk, negara-negara berkembang, melakukan redistribusi keuntungan'.54

Konteks perdagangan bebas secara eksplisit bisa dijumpai dalam pembukaan Agreement pendirian WTO, yaitu sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan, khususnya pembangunan berkelanjutan, outcomes yang adil bagi

51 Margot Salomon, Global Responsibility for Human Rights (Oxford University Press,

Oxford, 2007) 129–30.

52 Stiglitz dan Charlton, Loc. Cit, n 41, 28. Lihat juga Ha-Joon Chang, Bad Samaritans: the

Myth of Free Trade and the Secret History of Capitalism (Bloomsbury Press, New York, 2008) 72–3.

53 Lamy, Loc. Cit, n 11.

54 Report of the Special Rapporteur on the right to food, Mission to the World Trade

(17)

17

negara berkembang, pengangguran, dan peningkatan standar hidup untuk semua. Perdagangan adalah sarana untuk tujuan yang diinginkan, bukan tujuan itu sendiri. Tujuan akhir dari semua yang dipaparkan di atas adalah meningkatkan kualitas pemenuhan HAM yang telah diakui sebelumnya. Hingga sekarang keberadaan aturan WTO secara umum tidak diarahkan untuk hasil akhir seperti itu: bisa ditebak sebagian besar aturan perdagangan bebas itu hanya untuk membuat orang-perorang meraih apa yang diinginkan,55 atau agar mereka tidak menemui hambatan yang memperlambat dalam mencapai hasil yang dinginkan.

Pada 1982, Profesor John Ruggie yang begitu terkenal mengusulkan terkait rezim GATT yang seharusnya didasarkan pada premis liberalisme bersyarat (embedded liberalism , dimana setiap anggota GATT harus sepakat untuk mengurangi langkah-langkah proteksionis, sementara secara bersamaan juga diperbolehkan mengambil kebijakan untuk menciptakan kesejahteraan dalam negerinya dalam menyediakan jaring pengaman bagi yang tersisih. Misalnya bagi pihak-pihak yang terkena dampak dari adanya persaingan yang muncul secara mendadak dari kehadiran komoditas impor.56

Penting bagi suatu negara memahami daya tawarnya: negara harus mengurus keperluannya sendiri dengan melakukan intervensi melalui regulasi dengan maksud untuk mempertahankan pengaruh politisnya dalam melakukan liberalisasi'.57 Di sisi lain, aturan GATT secara eksplisit dimaksudkan untuk melakukan penghilangan hambatan-hambatan tertentu perdagangan, aturan WTO tidak secara eksplisit mengharuskan pemberian tunjangan kesejahteraan bagi individu-individu. Juga tidak memberi mandat penciptaan kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan saat pendiriannya.

Dalam beberapa kasus etos kerja GATT, dengan berdirinya WTO, telah ber-evolusi agar dapat menjangkau komitmen perdagangan bebas yang neo liberal dengan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Hal ini menyimpang dari tujuan yang dibuat paska Perang Dunia Kedua terkait perlunya intervensi pemerintah dalam mengurangi dampak-dampak dari adanya perdagangan bagi

55 Lihat juga Kinley, Loc. Cit, n 47, 43.

56John Ruggie, International Regimes, Transactions and Change: Embedded Liberalism in the Postwar Economic Order International Organization 379, 393–8. See also

Jeffrey L Dunoff , The Death of the Trade Regime European Journal of International Law 733, 738–9, dan Gathii, Loc. cit, n 35, 148–50.

(18)

18

pihak yang kurang beruntung. Sejak 1980-an, dasar filosofi ekonomi neoliberal' telah mempromosikan perlunya efisiensi ekonomi dengan cara adanya campur tangan pemerintah dilakukan secara tak terlihat baca: pemerintah harus bertindak pasif) dalam era perdagangan bebas.58 Agenda semacam ini akan membantu kebijakan-kebijakan lembaga ekonomi internasional lainnya, seperti Bank Dunia dan IMF, dalam melakukan penghapusan hambatan-hambatan perdagangan bersamaan dengan dilakukannya reformasi leberalisasi sektor lainnya, seperti privatisasi dan pengurangan anggaran belanja pemerintah dengan program pengetatan suku bunga pinjaman.59 Aturan yang lebih longgar untuk pasar dan adanya belanja negara yang lebih rendah, bisa dipahami sebagai bentuk tindakan redistribusi yang lebih sempit yang harus dilakukan oleh pemerintah: ironisnya, pasar tidak akan mampu mendistribusikannya sendiri. Sementara liberalisme bersyarat mungkin yang melatarbelakangi semangat pendirian GATT secara teoritis waktu itu, fokus perhatian terhadap kesejahteraan orang-perorang bukanlah semangat yang diusung WTO saat ini.60

Adanya agenda WTO menekankan terhadap adanya efisiensi ekonomi yang pada ujungnya untuk menjangkau tujuan yang bersifat kemanfaatan (utilitarian) atau moral (konsekuensialisme), yaitu tujuan untuk meningkatkan kemanfaatan secara agregatif.61 Pendekatan sanksi WTO mensubordinasi beberapa hak yang seharusnya bisa dinikmati, dan mentolerir rasa sakit jangka pendek demi keuntungan jangka panjang. Fokus ini tidak searah-sebangun dengan fokus deontologis dalam hukum HAM dan kebijakan tentang hak-hak setiap individu, terlepas dari adanya utilitas.62 Sebagai contoh, teori ekonomi utilitarian/rasional secara teoritis membenarkan adanya penyiksaan atau perbudakan atas dasar bahwa hal tersebut secara ekonomi memang bisa

58 Lihat Yong-Shik Lee, Reclaiming Development in the World Trading System (Cambridge University Press, Cambridge, ; Andrew TF Lang, Reflecting on Linkage : Cognitive

and Institutional Change in the International Trading System Modern Law Review

, ; Robert Howse, From Politics to Technocracy and back again: the Fate of the

Multilateral Trading Regime American Journal of International Law 94, 98–103; Dunoff , above n 60, 736–7. Lihat juga Gathii, Loc. Cit, n 35, 151.

59 Lihat secara umum, Bank Dunia, Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade

of Reform (World Bank, Washington DC, 2005) <http://www1.worldbank.org/ prem/lessons1990s/> diakses pada 19 September 2010.

60 Lihat juga Dunoff , Loc. Cit, n 60, 7467; Gathii, Loc. Cit, n 35, 152.

61 Frank Garcia, The Global Market and Human Rights: Trading away the Human Rights Principle Brooklyn Journal of International Law 51, 67–9.

(19)

19

dibenarkan.63 Hukum HAM menyatakan bahwa restorasi atau menjaga martabat manusia adalah tujuan itu sendiri, yang secara inheren tidak bisa dikompromikan/diganggu gugat oleh pertimbangan utilitas atau konsekuensialis. Tentu saja, pembatasan hak-hak yang dimaksud adalah untuk tujuan mempromosikan hak-hak orang lain seringkali bisa ditoleransi di bawah ketentuan hukum HAM internasional. Misalnya, pembatasan Ekosob diperbolehkan sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang ada. Artinya, seseorang tidak bisa memaksa atau menikmati hak atas sumber daya tersebut bagi dirinya sendiri secara membabibuta, karena hal itu sama saja mengorbankan akses orang lain ke sumber daya yang diperlukan guna pemenuhan hak-hak dalam Kovenan Ekosob. Sebagian besar hak-hak Sipol bisa jadi dibatasi oleh langkah-langkah yang wajar dan proporsional yang dibuat demi mencapai pemenuhan kebutuhan sosial yang mendesak, seperti menjaga ketertiban umum, keamanan nasional, kesehatan masyarakat, moral publik, atau demi hak-hak orang lain. Namun, pembatasan HAM atas dasar tujuan utilitas keekonomian tidak diperkenankan di bawah ketentuan hukum HAM internasional.64

Akhirnya, seperti yang akan disajikan dalam Bagian 5 sampai 7, premis dasar aturan-aturan WTO sebenarnya untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan tersedianya kue yang lebih besar, yang merupakan momok merepotkan bagi negara-negara berkembang dalam sejumlah kasus. Fakta yang ada, aturan-aturan WTO telah membatasi kapasitas sebagian besar negara dalam mengembangkan ekonominya dan kewajiban menyediakan anggaran untuk pengkondisian bagi pihak-pihak yang kalah dalam arena perdagangan bebas. Aturan WTO juga dapat melemahkan kapasitas ekonomi beberapa negara, yang tentu saja akan berdampak pada kemampuan negara tersebut untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban atas HAM yang diembannya.

1.5 Relativitas budaya dan ekonomi

Dalam titik ini, tentu waktu yang tepat untuk mengulas tantangan-tantangan yang muncul karena adanya relativitas budaya dan ekonomi terhadap hukum HAM internasional, dan relevansinya terhadap WTO/HAM. Argumen yang

63 Ibid, 72.

(20)

20

didasarkan pada relativitas budaya menyatakan bahwa penegakan HAM bercorak variatif sesuai dengan perbedaan budaya masing-masing negara. Argumen ini umumnya didalilkan oleh negara-negara non Barat, yang tentu saja cukup mengundang tanda tanya mengingat penerimaan mereka terhadap nilai-nilai HAM yang notabene asal-usulnya dari filsafat Barat, khususnya hak-hak sipil dan politik (Sipol). Sebagai contoh, Kolonel Ignatius Acheampong, seorang mantan Kepala Negara Ghana, menyatakan bahwa satu orang, satu

suara itu tidak berarti disamakan dengan prinsip satu orang, satu roti .65

Sudut yang menonjol dari argumen relativitas budaya lebih berkaitan dengan kondisi ekonomi daripada perbedaan budaya itu sendiri, maka dari sini penulis akan menyebut relativitas budaya dengan relativitas ekonomi.66 Teori ini mempostulatkan bahwa pembangunan ekonomi harus menjadi prioritas pertama negara-negara berkembang, maka pemenuhan HAM dapat ditunda sementara waktu hingga kondisi ekonominya mencapai level yang baik. Sebagai gambaran, tipikal argumentasi seperti ini menjadi bagian yang bisa diterima dan kebanyakan diadopsi oleh para pemimpin dari sejumlah negara-negara Asia pada dekade 1990-an menyangkut penerapan hak-hak sipil dan politik ala Barat dalam konteks negara Asia.67 Penerimaan atas argumentasi yang mendasari hak-hak Sipol sendiri akan mengindikasikan liberalisasi perdagangan bisa dibenarkan secara akal, meskipun akan mengarah pada terjadinya pelanggaran HAM dalam jangka pendek, asalkan dimungkinkan [kadang secara spekulatif] terciptanya kemakmuran dalam jangka panjang.

Argumentasi berdasar relativitas ekonomi acapkali dilakukan oleh pihak pemerintahan yang tidak demokratis untuk menentang keberadaan hak-hak Sipol, beda sikap atas resistensi mereka terhadap hak-hak Ekosob. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebebasan sipil dan politik, entah bagaimana caranya bisa dianggap melemahkan promosi pembangunan ekonomi di negara-negara rentan/selatan. Sebagai contoh, ada yang mengatakan bahwa keberadaan

65 Sebagaimana dikutip dalam Rhoda Howard, The Full-Belly Thesis: Should Economic

Rights take Priority over Civil and Political Rights? Evidence from Sub-Saharan Africa 5 Human Rights Quarterly 467, 467.

66 Sarah Joseph, Jenny Schultz, dan Melissa Castan, The International Covenant on Civil and

Political Rights: Cases, Materials and Commentary, ed. Ke-2 (Oxford University Press, Oxford, 2004) para 1.92.

67 Untuk penjelasan singkat hak Sipol dalam Kacamata Nilai-Nilai Asia, lihat Leena

(21)

21

kelompok-kelompok oposisi dengan kebebasannya akan menganggu atau melemahkan pemerintah dalam upaya mengelola dan mencapai tujuan ekonomi negara, dan keberadaan mereka dengan kebebasannya itu bisa jadi juga tidak akan membantu dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Selama negara berkembang bertahan dan memahami situasi tekanan ekonomi yang akan dihadapi berikutnya, negara berkembang sepatutnya tidak memiliki

kemewahan baca: hak Sipol tersebut.

Bagaimanapun perlu dicatat, bahwa hak-hak Sipol bisa menjadi fasilitas akan adanya roda pemerintahan yang akuntabel, membantu menjaga jalannya pemerintahan terhadap munculnya tindak korupsi dan pemerintahan yang bobrok, yang mana kedua hal ini memiliki daya rusak terhadap ekonomi. Rezim kediktatoran yang mengakar, meski berlaku lurus pada awalnya, pasti akan menyerah pada godaan untuk menguntungkan kepentingan-kepentingan elit dalam lingkaran mereka sendiri di kemudian hari.68

Seorang ekonom terkemuka Amartya Sen secara persuasif berpendapat bahwa demokrasi dan hak sipil secara berkelanjutan bisa membantu melindungi kepentingan ekonomi dari bentuk kebijakan yang membawa bencana. Sebagai contoh, dia mengatakan bahwa terjadinya bencana ekonomi dan kemanusiaan di RRC, sebelum terjadinya lompatan kemajuan ekonomi, yang menyebabkan kematian hingga 30 juta orang rentang 1958-1961, karena adanya sistem pemerintahan otoriter di RRC yang tidak menyediakan kanal untuk menyampaikan koreksi atas kebijakan ekonomi Mao yang salah: [t]idak ada dalam negara demokrasi dengan partai-partai oposisinya dan kebebasan persnya memberi peluang itu terjadi'.69 Penelitian yang dilakukan Daniel Kaufmann dari World Bank Institute telah membuktikan kebenaran secara empiris terhadap tesis Sen.70 Sama halnya, Rhoda Howard juga telah mengajukan contoh bencana yang timbul dari adanya kebijakan ekonomi yang otokratis di Afrika untuk mendukung argumentasi adanya masukan-masukan secara berkelanjutan dari mereka yang akan terkena dampak kebijaka sangatlah diperlukan demi memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang

68 Howard, Loc.cit, n 70, 4756.

69Amartya Sen, Human rights and economic achievements dalam Joanne R Bauer dan

Daniel A Bell (ed), The East Asian Challenge for Human Rights (Cambridge University Press, New York, 1999) 93.

70 Daniel Kaufmann, Human Rights and Governance: The Empirical Challenge dalam

(22)

22

diambil itu efektif.71 Pengekangan terhadap masukan-masukan alternatif bagi pemerintah sama saja akan membuat pemerintah berpikir keras untuk memecahkannya sendiri, karena kalangan profesional yang memberi usulan kebijakan ekonomi sebagai alternatif akan dipenjara atau diasingkan, ketimbang usulan mereka akan dipertimbangkan.72

Masalah lain dengan diberlakukannya pengekangan hak-hak Sipol oleh pemerintah adalah tertutupnya jalan damai dengan kekuatan politik oposisi, yang mana kemudian akan mengalihkan pada opsi militerisme dalam menghadapi oposisi, yang akan mengarahkan roda pemerintahan ke lingkaran setan kudeta dan munculnya kudeta balasan secara silih berganti seperti yang terjadi di beberapa negara berkembang, terutama di benua Afrika.73

Para pendukung relativitas ekonomi sendiri, anehnya, cenderung tidak menargetkan terpenuhinya hak-hak Ekosob atau hak atas pembangunan di lingkup domestik, dan tentu saja mereka adalah pendukung gigih hak-hak Ekosob dalam forum-forum HAM PBB seperti dalam Dewan HAM. Hak Sipol tidaklah bertentangan dengan pembangunan ekonomi. Tentu saja, suatu negara harus mengetahui batas-batas kekuasaannya dalam memaksimalkan pencapaian hasil dari adanya pengucuran anggaran, misalnya, batasan jelas sejauh mana penggusuran paksa terhadap masyarakat demi membuatkan jalan bagi proyek-proyek pembangunan. Hak-hak Ekosob akan membantu dalam memastikan adanya pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Dalam banyak hal, hak-hak Ekosob merupakan bentuk relativitas ekonomi itu sendiri, sejauh mana kewajiban bagi suatu negara akan bervariasi sesuai dengan tingkat sumber dayanya.74

Prinsip relativitas budaya murni adalah prinsip berdasarkan aksioma adanya pembedaan budaya yang bersifat relatif, keberadaan prinsip ini muncul sebagai penentang serius teori universalitas. Argumen teori ini berlawanan dengan tipe argumentasi universalitas yang tidak akan dibahas di sini.75 Satu

71 Howard, Loc. Cit, n 70, 473. Lihat juga 4714. 72 Ibid, 4745.

73 Ibid, 474.

74 Berkebalikannya, negara tertinggal tidak mengakui kegagalannya dalam mengakomodir

hak-hak Sipol, seperti dalam kasus adanya kondisi penjara yang memprihatinkan atau penundaan persidangan dengan alasan tidak wajar. Lihat Joseph, Schultz, dan Castan, Loc. Cit, n 71, para 1.101.

75 Lihat, secara umum, Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, ed.

(23)

23

hal perlu dicatat, tampaknya patut disangsikan bahwa adanya relativitas budaya akan berdampak lebih besar terhadap pelaksanaan hukum HAM dibanding dampak dari adanya liberalisasi perdagangan yang dibudayakan, mengingat munculnya liberalisasi perdagangan memfasilitasi peluang lebar hadirnya budaya asing di tengah suatu masyarakat dalam bentuk produk-produk yang berhubungan dengan budaya asing (misalnya, mode, film, sastra, musik, makanan), dan memunculkan dampak ekonomi yang serius, yaitu memaksa terjadinya banyak perubahan dalam masyarakat dari cara hidupnya yang tradisional secara fundamental.76

Hukum HAM internasional secara umum menganut prinsip universalitas ketimbang relativitas budaya,77 meski memperbolehkan adanya pembatasan hak-hak berdasar budaya.78 Pembatasan ini bukan berarti hukum HAM membenarkan adanya homogenitas budaya. Fakta yang ada, justru adanya praktek-praktek budaya yang berbeda dilindungi oleh hukum HAM di bawah ketentuan Pasal 27 Kovenan Sipol, Pasal 15 Kovenan Ekosob, dan mensyaratkan berkaitan hak atas pangan dalam ketentuan Pasal 11 Kovenan Ekosob, bahwasanya pemenuhan hak ini haruslah disesuaikan dengan budaya setempat.79 Perlu diingat, Hukum HAM memberi mekanisme perlindungan terhadap adanya bahaya penggerusan budaya rentan minoritas yang

(misalnya mengenai mutilasi alat kelamin perempuan, hak-hak kaum kelompok gay dan lesbian, kewajiban memakai jilbab bagi perempuan di beberapa negara) sangatlah tidak relevan dalam perdebatan perdagangan/HAM: di satu bagian tertentu mungkin hal-hal ini mungkin memiliki relevansi dengan buku ini, yaitu menyangkut komentar tentang pembatasan internet China di Bagian 4, Sub Bagian 7.

76 Lihat juga Jack Donnelly, Human rights and Asian values: a Defense of Western Imperialism dalam Joanne R Bauer dan Daniel A Bell (ed), The East Asian Challenge for Human Rights (Cambridge University Press, New York, 1999) 69, 81–2.

77 Lihat, misalnya, Committee Komite Ekosob, General Comment No 21: Right of everyone

to take part in cultural life (Ps. 15, para. 1(a), of the International Covenant on Economic,

Social and Cultural Rights , dok PBB. E/C.12/GC/21 (21 Desember 2009) para 18,25, 64.

78 Misalnya, sejumlah hak-hak dalam Sipol, seperti kebebasan berekspresi oleh

aturan-aturan secara proporsional untuk melindungi moral publik (Lihat Pasal 19(3) Kovenan Sipol). Moral publik tentu berbeda di amsing=masing negara. Lihat, misalnya, Handyside v UK

(1976) (Application no 5493/72) Series A/24. Di sisi lain, negara tidak diperkenankan membatasi hak-hak dengan mengatasnamakan moral publik: langkah pembatasan harus dirumuskan secara masuk akal dan proporsional; lihat, misalnya, Toonen v Australia, dok PBB. CCPR/C/50/D/488/1992 (4 April 1994) (Komite HAM PBB).

79 Komite Ekosob, General Comment : The right toadequate food Art. , dok PBB.

(24)

24

ditimbulkan oleh proyek-proyek pembangunan ekonomi tertentu.80 Hukum HAM, bagaimanapun, memberlakukan standar-standar minimum bagi praktek-praktek tertentu, yang diklaim sebagai budaya lokal. Seperti mutilasi alat genital kaum perempuan, pencegahan terhadap tuduhan menyimpang/sesat bagi suatu kepercayaan, dan tindak kekerasan terhadap kaum gay dan lesbian, yang banyak terjadi penolakan.

2. Hubungan antara hukum WTO dan hukum HAM secara normatif Dimanakah hubungan normatif antara hukum WTO dan hukum HAM internasional? Cukup kontroversial untuk mengatakan bahwa WTO, yang juga sebuah organisasi internasional, memiliki tanggung jawab HAM mengingat keberadaannya bukan sebagai pihak dalam setiap traktat HAM apapun.81 Kewajiban-kewajiban HAM sendiri bisa dibilang tertuang di bawah ketentuan hukum adat internasional dan norma-norma bersifat jus cogens, atau di bawah perjanjian-perjanjian dalam WTO itu sendiri. Pembahasan tentang kewajiban pelaksanaan hak asasi oleh WTO, atau justru tidak ada kewajiban sama sekali, di luar lingkup kajian buku ini.82

Negara-negara partisipan dalam WTO jelas memiliki kewajiban HAM.83 Dalam Bagian-Bagian selanjutnya, akan saya bahas sejauh mana, atau justru tidak ada sama sekali, aturan main dan proses dalam WTO melemahkan kapabilitas negara dalam melaksanakan kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi kewajibannya atas HAM.

Apakah dimungkinkan adanya hirarki dalam hukum internasional antara hukum HAM internasional dan hukum WTO? Mengingat kontradiksi kewajiban yang ada, akankah salah satu bidang hukum akan mengalahkan

80 Lihat, misalnya, Ominayak v Canada, UN doc. CCPR/C/38/D/167/1984 (10 May 1990)

and Poma Poma v Peru, dok PBB. CCPR/C/95/D/1457/2006 (24 April 2009) (Komite Sipol ataupun Ekosob).

81 Exceptionally, it is anticipated at the time of writing that the European Union, a regional

intergovernmental organization, will become a party to the ECHR.

82 Lihat, McBeth, Loc. Cit, n 38, Bagian 3 dan 4. Lihat juga Komisi HAM, Report of the Special Rapporteur on the right to food, Jean Ziegler , dok PBB. E/CN.4/2005/47 (24 Januari 2005) para 38. Komite CESCR memberi indikasi secara meyakinkan bahwa organisasi internasional seperti WTO memiliki tanggung jawab terhadap pemenuhan HAM, lihat, misalnya, CESCR, General Comment No. : The right to social security Ps. , dok PBB. E/C.12/GC/19 (4 Februari 2008) para 53.

83 Lebih dari 150 negara, termasuk China Taipei, Hong Kong, dan Komunitas Eropa juga

(25)

25

yang lain? Pertanyaan seperti ini akan menunjukan fragmentasi permasalahan, yang mana telah menjadi subjek Laporan penelitian tahun 2006 yang dilakukan oleh Kelompok Studi Komisi Hukum Internasional.84 Adanya fragmentasi mengacu pada fenomena hanya negara saja yang menjadi sasaran dari sistem hukum internasional, sebagai sasaran hukum perdagangan ataupun hukum HAM, masing-masing sistem hukum yang telah dikembangkan sedemikian rupa dimana sebagian besarnya terpisah satu sama lain.

Hasilnya adalah pertentangan antar aturan hukum atau sistem-hukum, yang tentu saja menyalahi praktik pelembagaan hukum dan, mungkin saja, akan menghilangkan cara pandang terhadap hukum sebagai sebuah satu kesatuan.85

Traktat dalam WTO seharusnya dipahami dengan asumsi bahwasanya kedudukan negara partisipan WTO tidak serta-merta harus mengingkari kewajiban-kewajiban di bidang hukum internasional lainnya.86 Oleh karena itu, lembaga penyelesai sengketa WTO harus berusaha memberikan interpretasi traktat-traktat WTO, agar pihak/negara yang memiliki tanggung jawab terhadap HAM bisa memenuhi kewajibannya pada secara bersamaan. Praktik interpretasi oleh lembaga-lembaga WTO dan HAM, yang memiliki hubungan dengan permasalahan ini akan dibahas di bawah nanti.

Berkaitan permasalahan konflik aturan hukum dalam hukum internasional, Pasal 53 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (the Vienna Convention on the Law of Treaties) menyatakan bahwa norma peremptory atau jus cogens berlaku unggul di atas norma-norma lainnya. Norma jus cogens merupakan inti dari hukum kebiasaan internasional yang mana pengingkaran terhadapnya tidak diperbolehkan.

Jika melihat tujuan didirikannya perkumpulan WTO adalah untuk menciptakan hak dan kewajiban secara timbal balik bagi masing-masing anggota, maka norma WTO tidak bisa dikatakan bersifat jus cogens atau, bahkan sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional sekalipun: negara non-partisipan pasti tidak terikat oleh aturan tersebut ataupun mendapat manfaat yang ada dari adanya prinsip MFN dan NT yang diadopsi dalam

84 Komisi Hukum Internasional, Fragmentation of International Law: Difficulties Arising

from the Diversification and Expansion of International Law. Laporan Final Komisi Hukum Internasional oleh Grup Peneliti: difinalisasi oleh Martti Koskenniemi ,dok PBB. A/CN.4/L.682 (13 April 2006).

85 Ibid, para 8.

86 Lihat Vienna Convention on the Law of Treaties (Disahkan 23 Mei 1969, diundangkan

(26)

26

hukum WTO. Tidak diketahui secara pasti kenapa norma-norma HAM diakui sebagai norma jus cogens. Akan tetapi perlu diingat, semua orang akan dengan mudah mengatakan pentingnya larangan genosida,87 penyiksaan, pembedaan berdasar ras (apartheid), dan perbudakan sebagai sebuah norma.88 Namun, di luar daftar-daftar tindakan yang dilarang dalam HAM tadi, muncul sedikit konsensus terhadap pemetaan norma-norma HAM yang bersifat jus cogens.89

Mahkamah Eropa (the European Court of Justice) dalam kasus Kadi dan Al Barakaat International Foundation v Council of the European Union mengeluarkan putusan bahwa rumusan HAM dalam hukum Konvensi Eropa harus lebih didahulukan dibanding regulasi yang dikeluarkan Komunitas Eropa (European Communities/EC) dalam kasus pengadopsian Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait perang terhadap terorisme. Penerapan Resolusi PBB oleh Komunitas Eropa menegaskan bahwa kewajiban untuk patuh terhadap Resolusi Dewan Keamanan mungkin secara umum dipahami sebagai diperbolehkannya adanya pengecualian obligasi dalam Traktat Komunitas Eropa. Kewajiban dalam Traktat pendirian Komunitas Eropa sendiri tidak memperbolehkan pengurangan hak dalam hal apapun, prinsip-prinsipnya membentuk bagian pondasi tatanan hukum Komunitas Eropa, sebagai salah satu Traktat yang memberi jaminan perlindungan hak-hak mendasar.90

Nyata sekali, Mahkamah Eropa telah menempatkan hirarki HAM lebih tinggi ketimbang hukum yang disahkan/dikeluarkan Uni Eropa, apalagi menempatkannya di atas kepentingan-kepentingan yang bersifat komersial, yang pada awalnya menjadi latar belakang pendirian Uni Eropa. Pentingnya mendahulukan hukum HAM juga berulang kali telah disuarakan oleh berbagai lembaga-lembaga traktat PBB serta lembaga-lembaga intergovernmental HAM PBB.91 Berkebalikan dengan Putusan Mahkamah Eropa tadi, Pengadilan HAM

87 Armed Activities on the Territory of the Congo (New Application 2002) (Democratic

Republic of Congo v Rwanda) (Jurisdiction and Admissibility/Judgment) [2006], Mahkamah Internasional Rep 5, para 64.

88 Tentu saja, daftar singkat dari norma-norma adat telah disinggung dalam Bagian 1, Sub

Bagian 4, yang mengklasifikasikannya sebagai norma jus cogens.

89 Lihat untuk berbagai literasi yang dibahas oleh Dinah Shelton, Normative Hierarchy in International Law American Journal of International Law 291, 309–17. Lihat juga

Gabrielle Marceau, WTO Dispute Settlement and Human Rights European Journal of International Law 753, 798, dan Harrison, Loc. Cit, n 17, 58.

90 Kadi and al Barakaat International Foundation v Council of the European Union (ECJ

Grand Chamber 3 September 2008) Cases C-4 02/05 and C-4 15/05 P, para 304.

(27)

27

Eropa (the European Court of Human Rights/ECHR) justru cenderung bergerak ke luar dari ketentuan hukum internasional yang ada, putusan Pengadilan HAM Eropa didasarkan pada aturan adanya kekebalan negara dalam kasus McElhinney v Irlandia92 dan Al-Adsani v UK,93 dan mendasarkan yuridiksi hukum dan tanggung jawab negara dalam kasus Bankovic v Belgium and others.94

Beberapa traktat WTO jelas sekali berpotensi memunculkan konflik hukum dengan traktat lainnya. Piagam PBB jelas-jelas lebih utama dalam hal untuk dipatuhi dibanding ketentuan hukum internasional lainnya sebagaimana ketentuan Pasal 103. Seperti disebutkan di atas, promosi HAM merupakan tujuan yang ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 1 (3) Piagam PBB yang memandatkan kewajiban atas penegakan HAM secara garis besar, mandat belum dalam kalimat yang spesifik, bagi negara-negara anggota sebagaimana ketentuan dalam Pasal 55 dan 56. Sebaliknya, Piagam PBB tidak secara eksplisit mengamanatkan adanya promosi perdagangan antar negara.95 Mengingat HAM merupakan inti-utama Piagam. Adam McBeth berpendapat bahwa HAM harus diakui sebagai pre-eminent dalam hukum internasional.96 Selain itu, telah diargumentasikan bahwa UDHR merupakan interpretasi otoritatif HAM sebagai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh Piagam PBB, sehingga keberadaan norma HAM menjadi istimewa dalam Piagam PBB.97

Ketika ada dua norma dalam hukum internasional dalam derajat yang sama bertentangan, mungkin juga terjadi dalam beberapa normanya, atau bahkan dalam hampir semua norma HAM dengan norma-norma WTO, mekanisme yang tersedia untuk menyelesaikan konflik hukum dalam hukum internasional tidak akan bisa membantu. Jalan keluar menyelesaikan pertentangan norma-norma dalam HAM dan WTO adalah melakukan kajian meta-yuridis. Salah satu asas penafsiran hukum adalah ilmu hukum, norma yang lebih khusus

92 (2001) 34 EHRR 322. 93 (2001) 34 EHRR 273.

94 (2001) 11 BHRC 435. Lihat Komisi Hukum Internasional, Loc. Cit, hlm. 90, para 1614. 95 (2001) 11 BHRC 435. Lihat Komite Hukum Internasional, Loc. Cit, hlm. 90, para 1614. 96 Sebagaimana referensi yang ada dalam Pasal dengan adanya promosi ... menciptakan keadaan yang stabil dan sejahtera dan pembangunan ekonomi dan sosial bisa

dibilang merujuk, sejauh fokus pada pemajuan ekonomi, yang ujungnya adalah perdagangan bebas, tapi perdagangan bebas bukan tujuan itu sendiri.

97 Lihat, misalnya, Louis Sohn, The Human Rights Law of the Charter Texas

Referensi

Dokumen terkait

Migrasi internasional berdasarkan data statistik Provinsi D.I. Yogyakarta lebih didominasi perempuan. Daya tarik yang menyebabkan perempuan melakukan migrasi adalah remitan

Dari rub’ al-‘adât tujuan khusus dari Tazkiyat al-Nafs antara lain adalah membentuk manusia yang berakhlak dan beradab dalam bermuamalah (bergaul) dengan

Melalui pemahaman dan penguasaan yang mendalam tentang asumsi pokok program BK yang bersifat komprehensif dan penjabaran dalam komponen- komponen program, maka konselor

Proses pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan destinasi wisata akan terlihat lebih maksimal apabila di DW terdapat kelompok sadar wisata (pemandu, homestay,

Selain itu bentuk Syair Bur- dah Melayu unik karena menggabungkan bentuk puisi sastra arab yang memiliki dua penggalan, pantun Melayu terdiri dari empat baris

Tujuan kegiatan pengabdian yang diikuti oleh para guru-guru yang tergabung dalam MGMP Bahasa Jawa SMP ini adalah untuk: (1) meningkatkan kecakapan dalam bidang

Meskipun upaya mem-branding UMKM di Kecamatan Sumpiuh sudah dilaksanakan dengan seringnya pemberitaan lewat media massa, beroperasinya stasiun radio Komunitas Peduli Sumpiuh

Alat tulis merupakan kebutuhan yang mendasar bagi mahasiswa. Dewasa ini gadget merajalela ke masyarakat terutama dikalangan mahasiswa. Gadget sangat dibutuhkan