• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Evaluasi Dampak Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kabupaten Batu Bara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Evaluasi Dampak Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kabupaten Batu Bara"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang – Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa setiap

warga negara berhak untuk mendapatkan kesejahteraan secara merata disegala

aspek kehidupan. Kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diikuti

dengan kebijakan pemekaran daerah mengakibatkan perubahan pola

perkembangan wilayah. Sehubungan dengan ditetapkannya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan pada dasarnya merupakan

revisi dari Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang hal

yang sama. Revisi atas Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini bertujuan

untuk menyegarkan pelaksanaan otonomi daerah yang mengandalkan

kemandirian dan kemajuan daerah. Hal paling awal yang diatur dalam Undang –

Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan

Khusus, dimana pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa

daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah

menjadi dua daerah atau lebih.

Otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan

keadaan, baik dalam maupun diluar negeri, serta tantangan persaingan global.

Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung

jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan peraturan,

pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan

(2)

demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta potensi dan

keanekaragaman Daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Sebagai konsekuensi dari ditetapkannya Undang – Undang Nomor 32

Tahun 2004, dimana Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang demikian

luas oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri,

termasuk didalamnya adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat di

daerahnya. Besarnya keinginan daerah untuk membentuk daerah otonom

disebabkan oleh keinginan daerah untuk ikut serta dalam memajukan dan

mengembangkan potensi wilayahnya berdasarkan prakasa dan aspirasi sendiri.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang “Persyaratan

Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah”

disebutkan bahwa tujuan pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui: (1) peningkatan pelayanan kepada masyarakat,

(2) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, (3) percepatan pelaksanaan

pembangunan ekonomi daerah, (4) peningkatan keamanan dan ketertiban, serta

(5) peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.

Pemekaran daerah diasumsikan mampu mempercepat pertumbuhan

ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lokal. Dengan dikembangkannya

daerah baru, pemerintah setempat memiliki peluang untuk menggali berbagai

potensi ekonomi daerah yang selama ini tidak tergali. Pemekaran daerah juga

memungkinkan terciptanya usaha-usaha baru yang mampu menyerap tenaga

(3)

diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mendukung proses

pemerataan dalam pembangunan

Namun, pemekaran yang terjadi seringkali di nilai tidak dapat mencapai

tujuan pemekaran bahkan berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri terkait

dengan pemekaran daerah menyebutkan, sekitar 70 persen dari 57 daerah baru

masuk dalam pemerintahan gagal berkembang, yang setidaknya di lihat dalam

tiga tahun pertama pemisahan. Oleh karena itu dengan pemekaran daerah

diharapkan meningkatkan dinamika kemandirian daerah yang pada akhirnya

bermanfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama

otonomi. Bukan sebaliknya bahwa pemekaran daerah telah menguras energi

pemerintah Provinsi dan prosesnya sering menimbulkan ketidakstabilan di daerah

(Suara APPSI, 2007).

Seperti halnya dengan Kabupaten Asahan di Provinsi Umatera Utara yang

hendak mengembangkan daerahnya dengan melakukan pemekaran Kabupaten

menjadi kabupaten Batu Bara. Hal ini dibenarkan dengan adanya Undang

-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pembentukan

Kabupaten Batu Bara Di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Batubara

merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan dan beribukota di Kecamatan

Limapuluh yang merupakan salah satu dari 16 kabupaten dan kota baru yang

dimekarkan dalam kurun tahun 2006. Pada pertengahan tahun 2007 berdasarkan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2007 tanggal 15 Juni 2007

tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan dimekarkan

menjadi dua Kabupaten yaitu Asahan dan Batu Bara. Wilayah Asahan terdiri atas

(4)

dikeluarkan keputusan Bupati Asahan Nomor 196-Pem/2007 mengenai penetapan

Desa Air Putih, Suka Makmur dan Desa Gajah masuk dalam wilayah Kecamatan

Meranti Kabupaten Asahan. Sebelumnya ketiga desa tersebut masuk dalam

wilayah kecamatan Sei Balai Kabupaten Batu Bara, namun mereka memilih

bergabung dengan Kabupaten Asahan.

Melihat potensi yang ada di Kabupaten Batu Bara, pemerintah daerah

harus mampu mengembangkan potensi – potensi tersebut terutama dalam

memanfaatkan potensi sumber daya alam seperti kawasan pariwisata dan

perusahaan tambang yang sangat terkenal bahkan sudah ke mancanegara sebagai

pengekspor aluminium dari PT.Inalum yang menjadi keunggulan kabupaten ini.

Alasan ini juga menjadi salah satu faktor Kabupaten Batu Bara ingin

mengembangkan daerahnya dengan menjadi daerah otonom dan memisahkan diri

dari Kabupaten Asahan karena memang Kabupaten Bara mempunya banyak

potensi alam yang bisa dikembangkan dan mensejahterakan masyarakatnya.  

Sejak dicetuskannya kembali pada tahun 1999 usaha dan keinginan

masyarakat Batu Bara ini di tolak oleh Pemerintah Kabupaten Asahan melalui

Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah

(PROPEDA) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan peraturan

Pemerintah yang lebih tinggi. Isi PROPEDA tersebut tertuang pada angka 2 (dua)

pada kegiatan pokok program pembangunan daerah menyebutkan “ Upaya

rasional pola berfikir masyarakat melalui pendekatan persuasive, khususnya

terhadap provokasi memisahkan diri dari wilayah kabupaten Asahan, serta

sosialisasi kepada masyarakat bahwa sampai pada tahun 2005 tidak akan pernah

(5)

ekonomi yang terjadi pasca otonomi daerah memang menunjukkan perubahan ke

arah yang lebih positif.

Memperhatikan hal tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai dampak kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh

pemerintah daerah Kabupaten Bata Bara. Sehingga peneliti ingin melihat apakah

tujuan awal dari pemekaran wilayah tersebut berhasil atau belum berhasil.

Sehingga peneliti tertarik untuk mengambil judul “evaluasi dampak kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Batu Bara”.

1.2 Rumusan Masalah

Pemekaran wilayah selalu dibayangi oleh tingginya tuntutan dan harapan

masyarakat akan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Hal tersebut tidak lepas

dari tujuan pemekaran wilayah yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan

masyarakat melalui indikator percepatan pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan pendapatan daerah.

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi ruang lingkup permasalahan pada

indikator evaluasi kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Batu Bara.

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka yang menjadi

pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana keberhasilan

(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai tujuan yang hendak

dicapai dalam proses penyelenggaraannya. Adapun yang menjadi tujuan dari

penelitian ini adalah:

a. Secara Umum yaitu untuk mengevaluasi kebijakan pemekaran wilayah

yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Batu Bara.

b. Secara Khusus yaitu :

 Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

 Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah.

 Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi.

 Percepatan pengelolahan potensi daerah.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara Subjektif, penelitian ini berguna sebagai sarana untuk melatih dan

mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan

untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah melalui sebuah kajian

literatur sehingga diperoleh kesimpulan yang teruji dan bermanfaat.

2. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

dan referensi terhadap mahasiswa konsentrasi Kebijakan di Departemen

Ilmu Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara yang tertarik dalam

(7)

3. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menambah pengalaman,

pengetahuan, dan mengevaluasi bagaimana kebijakan pemekaran wilayah

di Kabupaten Batu Bara.

1.5 Kerangka Teori

Menurut Singarimbun teori merupakan serangkaian asumsi, konsepsi,

konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial

secara sistematis dengan cara hubungan antar konsep.

Dengan adanya teori, peneliti dapat memahami secara jelas masalah yang

akan diteliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Kebijakan Publik

1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari bahasa Yunani “polis”

berarti negara, kota yang kemudian masuk kedalam bahasa Latin menjadi

politia” yang berarti negara. Kemudian masuk kedalam bahasa Inggris “policy” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah – masalah publik atau

administrasi pemerintahan. Kebijakan (policy) adalah istilah yang tampaknya

banyak disepakati bersama. Wilson (1887) makna modern gagasan “kebijakan”

dalam Bahasa Inggris ini adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung

tujuan politik yang berbeda dengan makna “administrasi”. Sejak pasca Perang

Dunia II, kata policy mengandung makna kebijakan sebagai sebuah rationale,

(8)

kebijakan adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rsional untuk

melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.

Chandler & Plano (1988) berpendapat bahwa “kebijakan publik adalah

pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada untuk memecahkan

masalah – masalah publik atau pemerintahan”.

Easton (1969) memberikan pengertian kebijakan publik sebagai

pengalokasian nilai – nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang

keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan

suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari

sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian

nilai – nilai kepada masyarakat”.

Sedangkan menurut James E. Anderson kebijakan publik sebagai

kebijakan – kebijakan yang dibangun oleh badan – badan dan pejabat – pejabat

pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: 1) kebijakan publik

selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan – tindakan yang

berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan – tindakan

pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang dimaksud untuk dilakukan;

4) kebijakan publik yang diambil bisa diambil dipositif dalam arti merupakan

tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu atau bersifat

negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan

sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak – tidaknya dalam arti yang positif

didasarkan pada peraturan perundang – undangan yang bersifat mengikat dan

(9)

Berbagai implikasi dari pengertian diatas ini adalah bahwa kebijakan

publik memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan suatu tindakan yang

berorientasi tujuan.

2. Berisi tindakan – tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah.

3. Merupakan apa yang benar – benar dilakukan oleh pemerintah.

4. Bersifat positif dalam arti suatu tindakan hanya dilakukan dan negatif

dalam arti kepuasan itu bermaksud untuk tidak melakukan sesuatu.

5. Kebijakan itu didasarkan pada peraturan atau perundang – undangan yang

bersifat memaksa.

Jones (1997) menekankan studi Kebijakan Publik ini pada 2 (dua) proses,

yaitu :

a. Proses – proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah – masalah

itu sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan

masalah, dan bagaimana tindakan pemerintah.

b. Refleksi tentang bagaimana seorang bereaksi terhadap masalah – masalah,

terhadap kebijakan negara, dan memecahkannya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik (public

policy) adalah “usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rasional untuk

melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah

yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan

(10)

1.5.1.2 Proses Analisis Kebijakan Publik

Proses analaisis kebijakan secara umum merupakan suatu proses kerja

yang meliputi lima komponen informasi kebijakan yang saling berkaitan dan

dilakukan secara bertahap dengan menggunakan berbagai teknik analisis

kebijakan (Dunn, 1994).

Tahapan analisis kebijakan publik menurut Dunn, yaitu :

1. Agenda Setting, tahapan penetapan agenda kebijakan ini, yang harus

dilakukan kali adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan.

Pada hakekatnya permasalahan ditemukan melalui proses problem

structuring. Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi

masalah kebijakan?

2. Policy Formulation, pengembangan sebuah mekanisme untuk

menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap para analisis kebijakan

publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa

sebuah pilihan kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan

yang lain. Bagaimana mengembangkan pilihan – pilihan atau alternatif –

alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa – siapa saja yang

berpsrtisipasi dalam formulasi kebijakan?

3. Policy Adoption, tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui

dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat. Bagaimna alternatif

ditetapkan? Persyaratan atau criteria apa yang harus dipersiapkan? Siapa

yang melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah

(11)

4. Policy Implementation, pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan

oleh unit – unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan

memobilisikan sumber dana dan sumber daya lainnya ( teknologi dan

manajemen ) dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Siapa yang

terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan?

5. Policy Evaluation, tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah

penilaian terhadap kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam

penilaian ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai

dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan

dengan ukuran yang telah ditentukan. Bagaimana tingkat keberhasilan atau

dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa

konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk

melakukan pembatalan atau perubahan?

1.5.2 Implementasi Kebijakan

1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi Kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu

kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementsai maka suatu kebijakan yang

telah dirumuskan akan sia – sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan

mempunyai kedudukan yang penting didalam Kebijakan Publik.

Jones (1977) menganalisis masalah pelaksanaan Kebijakan dengan

mendasarkan pada konsepsi kegiatan – kegiatan fungsional. Jones mengemukakan

bebrapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program – program

(12)

– aktor yang terkait, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan

lembaga eksekutor. Jadi implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang

melibatkan secara terus menerus usaha – usaha untuk mencari apa yang akan

dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan – kegiatan

yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang

diinginkan.

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan

adalah :

1. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

2. Organisasi yaitu merupakan unit – unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.

3. Penerapan yaitu berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain – lainnya.

1.5.2.2 Model Implementasi Kebijakan

Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik ini dikenal dengan

beberapa model, antara lain :

a. Model Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)

Menurut Meter dan Horn, ada 6 faktor yang mempengaruhi kinerja

implementasi kebijakan, yakni :

1. Standard kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan

(13)

2. Sumberdaya kebijakan berupa dana pendukung implementasi,

3. Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan

oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai,

4. Karakteristik pelaksanaan artinya karakteristik organisasi

merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya

suatu program,

5. Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil

kebijakan, dan

6. Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan

ditetapkan.

Gambar 1.1. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn Komunikasi antar 

organisasi dan kegiatan  pelaksanaan

Ukuran dan  tujuan kebijakan 

Ciri badan pelaksana 

Sumber – sumber  kebijakan 

Lingk. Enonomi,sosial,  dan politik

Prestasi  kerja 

(14)

b. Model George Edward

Pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi kebijakan, dari

sebuah intisari dan menanyakan:

1) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?

2) Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi

kebijakan?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor

yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan

yaitu faktor communication, resources, disposition, dan bureucratic structure.

Gambar 1.2. : Model implementasi George Edwards

a) Komunikasi

Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya

adalah untuk mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa yang

mereka kerjakan. Jika para pembuat keputusan kebijakan ini berkehendak untuk

melihat yang diimplementasikan tidak jelas dan bagaimana rinciannya, maka

mungkin akan timbul kesalah pahaman diantara pembuat kebijakan dan

(15)

Komunikasi yang tidak cukup juga memberikan implementor dengan

kewenangan ketika mereka mencoba untuk membalik kebijakan umum untuk

menjadi kebijakan khusus

b) Sumberdaya

Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan.

Edward mengemukakan bahwa:

Bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan

aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau

aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab

untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk

melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut

tidak akan efektif.

Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan

untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini

mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan.

c) Disposisi

Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga didalam

pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi

adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu

apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini

melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.

Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi

kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat

(16)

kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi

tidak akan terlaksana dengan baik.

d) Struktur Birokrasi

Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu

mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme,

dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedur

(SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar

dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan.

Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan

terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan

prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan

aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

1.5.3 Evaluasi Kebijakan

1.5.3.1 Pengertian Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam siklus

kebijakan. Pada umumnya evaluasi kebijakan dilakukan setelah kebijakan public

tersebut diimplementasikan. Ini tentunya dalam rangka menguji tingkat

keberhasilan dan kegagalan keefektifan dan keefisienannya.

Badjuri dan Yuwono (2002) mengemukakan bahwa tahapan yang cukup

penting dan sering terlupakan efektivitasnya dalam konteks kebijakan publik

Indonesia adalah evaluasi kebijakan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa

(17)

evaluasi dengan baik. Namun dmikian substansi kebijakan tersebut ternyata tidak

tersapai secara efektif, bahkan sebagian lagi mengalami kegagalan. Oleh karena

itu, studi evaluasi ini penting khususnya dalam rangka penanaman urgensi

pencapaian tujuan substansial dari sebuah kebijakan, dan bukan formalitas

semata.

Dalam melakukan evaluasi kebijakan publik secara umum ada tiga aspek

yang diharapkan dari seorang evaluator jkebijakan, yaitu:

1. Aspek perumusan kebijakan, dimana analis atau evaluator berupaya untuk

menemukan jawaban bagaimana kebijakan tersebut dibuat dan

dirumuskan.

2. Aspek implementasi kebijakan, dimana analis atau evaluator berupaya

mencari jawaban bagaimana kebijakan itu dilakukan.

3. Aspek evaluasi dimana analis atau evaluator berusaha untuk mengetahui

apa dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan kebijakan, baik dampak

yang diinginkan maupun dampak yang tidak diinginkan.

Berbicara mengenai jenis atau tipe kebijakan, Heath (1997) membedakan evaluasi

kebijakan publik atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut :

1. Tipe evaluasi proses, dimana evaluasi ini dilakukan dengan memusatkan

perhatian pada pertanyaan bagaimana program dilaksanakan?

2. Tipe evaluasi dampak, dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab

pertanyaan mengenai apa yang telah dicapai dari program?

3. Tipe evaluasi strategi, dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari

jawaban atas pertanyaan bagaimana program dapat dilaksnakan secara

(18)

dengan program – program lain yang ditujukan pada masalah yang sama

sesuai dengan topik mengenai kebijakan publik.

Menurut Finsterbusch dan Motz (1980) ada empat jenis evaluasi berdasarkan

kekuatan kesimpulan yang diperolehnya yaitu :

1. Evaluasi Single Program after – only, dimana dalam hal ini evaluator

langsung membuat penilaian terhadap tindakan kebijakan.

2. Evaluai Single program before – after, dimana evaluasi ini dilakukan

untuk menutupi kelemahan dari evaluasi single program after – only.

3. Evaluasi comparative after – before, dimana evaluasi didesain untuk

melakukan evaluasi dari dampak kebijakan.

1.5.3.2 Tujuan Evaluasi

Evaluasi memiliki beberapa tujuan yang dapat dirinci sebagai berikut :

1. Menetukan tingkat kerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat

diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan

2. Mengukur tingkat efisiensi kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat

diketahui beberapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan

evaluasi adalah mengukur beberapa besar dan kualitas pengeluaran atau

output dari suatu kebijakan.

4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi

ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif

(19)

5. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan

untuk mengetahui adanya penyimpangan – penyimpangan yang mungkin

terjadi dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan

pencapaian target.

1.5.3.3 Indikator Evaluasi

Menurut Subarsono, untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu

dikembangkan beberapa indikator, karena penggunaan indikator yang tunggal

akan membahayakan, dalam arti hasil penilaiannya dapat bias dari yang

sesungguhnya. Indikator atau kriteria evaluasi yang dikembangkan oleh Dunn

mencakup lima indikator sebagai berikut :

a. Efektivitas : penilaian terhadap efektivitas ditujukan untuk menjawab

ketetpatan waktu pencapaian hasil/tujuan. Parameternya

adalah ketepatan waktu. Apakah hasil yang diinginkan telah

dicapai?

b. Kecukupan : penilaian terhadap kecukupan ditujukan untuk melihat sejauh

mana tingkat pencapaian hasil dapat memcahkan masalah.

Seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan

masalah?

c. Pemerataan : penilaian terhadap pemerataan ditujukan untuk melihat manfaat

dan biaya dari kegiatan terdistribusi secara proporsional untuk

aktor – aktor yang terlibat. Apakah biaya dan manfaat

didistribusikan merata kepada kelompok yang berbeda?

d. Responsivitas : penilaian terhadap responsivitas ditujukan untuk melihat hasil

(20)

Apakah hasil kebijakan memuat preferensi atau nilai

kelompok dan dapat memuaskan mereka?

e. Ketepatan : penilaian terhadap ketepatan ditujukan untuk mengetahui

kegiatan atau rencana tersebut memberikan hasil dan manfaat

pada target grup apakah hasil yang dicapai bermanfaat?

1.5.3.4 Evaluasi Dampak Kebijakan

Untuk keperluan jangka panjang dan kepentingan berkelanjutan suatu

program, evaluasi sangat diperlukan. Dengan evaluasi kebijakan – kebijakan

kedepan akan lebih baik dan tidak mengurangi kesalahan yang sama. Evaluasi

dampak memberikan perhatian yang lebih besar kepada output dan dampak

kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaannya, sekalipun yang terakhir

ini tidak dikesampingkan dari penelitian evaluatif. Dalam kaitannya dengan

dampak, perlu dipahami adanya dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak

diharapkan. Dampak yang diharapkan mengandung pengertian bahwa ketika

kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja

yang terjadi. Diantara dampak – dampak yang diduga akan terjadi, ada dampak

yang diharapkan dan tidak diharapkan.

Sehingga dapat disimpulakan bahwa evaluasi dampak kebijakan

merupakan suatu proses untuk menilai atau mengukur tingkat kinerja sebuah

kebijakan termasuk isi, implentasi dan dampaknya.

Dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi yang

semuanya harus diperhitungkan dalam melakukan evaluasi terhadap suatu

(21)

1. Dampak pada masalah publik yang merupakan tujuan dari dampak

kelompok sasaran.

2. Kebijakan mungkin mempunyai dampak pada kelompok lainnya,

diluar kelompok sasaran.

3. Dampak kebijakan pada dimensi waktu sekarang dan waktu yang akan

dating.

1.5.3.5 Pendekatan terhadap Evaluasi

Menurut Dunn (1994) ada tiga jenis pendekatan terhadap evaluasi :

1. Evaluasi formal, adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode

deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid

mengenai hasil – hasil kebijakan berdasarkan sasaran program kebijakan

yang telah ditetapkan secara formal.

2. Evaluasi semu, adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode

deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid

mengenai hasil – hasil kebijakan, tanpa menanyakan manfaat atau nilai

dari hasil kebijakan tersebut pada individu, kelompok, atau masyarakat.

3. Evaluasi proses keputusan teoritis, adalah pendekatan evaluasi yang

menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat

dipercaya dan valid mengenai hasil – hasil kebijakan yang secara eksplisit

(22)

1.5.4 Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah 1.5.4.1 Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa

Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan

namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai

kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan

guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.

Pengertian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengertian otonomi daerah menurut Vincent Lemius, adalah: “Kebebasan

(kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun

administasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam otonomi

daerah tedapat kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk

menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah namun apa yang menjadi

kebutuhan daerah tersebut senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan

nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi”

Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas

pembantuan yang dijelaskan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004

(23)

1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerinta kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu.

3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah

dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau

desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk

melaksanakan tugas tertentu.

Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah

pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu : Pada dasarnya, prinsip otonomi

daerah harus mencerminkan tiga hal, yaitu (1) harus serasi dengan pembinaan

politik dan kesatuan bangsa, (2) dapat menjamin hubungan yang serasi antara

pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, (3) harus dapat

menjamin perkembangan dan pembangunan daerah (Andi, 2007). Jadi dalam

konteks otonomi daerah, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus

sesuai dengan peraturan negara yang berlaku. Artinya daerah otonom tetap berhak

menjalankan wewenang dan mengurus urusannya tanpa mengabaikan kepentingan

negara atau merusak bingkai dasar kesatuan negara.

Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa Undang – Undang

Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus

(24)

 Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan

kebijaksanaan sendiri.

 Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.

 Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.

 Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.

1.5.4.2 Pengertian pemekaran wilayah

Wilayah adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki karakteristik

tertentu dan berbeda dengan wilayah yang lain. Istilah lain dari wilayah yang

umum digunakan dalam memahami konsep wilayah adalah region.  

Berikut ini beberapa pengertian wilayah yang diungkapkan oleh para ahli geografi:

Menurut Cressey : Wilayah (region) adalah keseluruhan dari lahan, air, udara, dan manusia dalam hubungan yang saling menguntungkan. Setiap

region merupakan satu keutuhan (entity) yang batasnya jarang ditentukan

secara tepat.

Menurut A. I. Herbertson : Wilayah adalah suatu kesatuan yang kompleks dan tanah, air, udara, tumbuhan, hewan, dan manusia yang

dipandang dari hubungan mereka yang khusus yang secara bersama-sama

membentuk suatu ciri tertentu di atas permukaan bumi.

Menurut Taylor : Wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu satuan area di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan area lain melalui

(25)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana: Tata Ruang Wilayah Nasional: Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang

batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/aspek

fungsional.

Berbicara mengenai pemekaran wilayah, tentu saja tidak terlepas dari

wacana desentralisasi khususnya, desenralisasi politik. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia Edisi ke empat (2008) desentralisasi dapat diartkan sebagai :

sistem pemerntahan yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah

daerah, penyerahan sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan (atau pusat

kepada cabang, dsb). Dari sisi fungsional, pengakuan adanya hak kepada

seseorang atau golongan untuk mengurus hal-hal tertentu di daerah ; kebudayaan,

pengakuan adanya hak kepada golongan kecil dalam masyarakat untuk

menyelenggarakan budaya sendiri di daerah ; politik, pengakuan adanya hak

untuk mengurus kepentingan rumah tangga sendiri pada badan politik di daerah

yang dipilih oleh rakyat di daerah tertentu”.

Berdasarkan sejarah perkembangannya, pemekaran wilayah di Indonesia

sesungguhnya telah terjadi sejak lama yaitu ketika munculnya zaman kerajaan-

kerajaan di nusantara. Pada saat itu, wilayah kekuasaan suatu kerajaan akan

dimekarkan lebih disebabkan karena terjadi konflik ditubuh kerajaan induk atau

yang biasa disebut konflik antar keluarga karajaan maupun karena kalah dalam

peperangan. Pemekaran wilayah semakin marak tatkala penjajah Belanda mulai

(26)

karesidenan maupun district (setingkat kabupaten)1 yang ditujukan sebagai alat

kontrol kekuasaan sekaligus memperkecil ruang gerak tentara Indonesia.

Pemekaran daerah berarti pengembangan dari satu daerah otonom menjadi

dua atau lebih daerah otonom. Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang

nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2

dinyatakan daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, namun

setelah Undang - Undang Nomor 22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang

nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran

wilayah tercantum pada pasal 4 ayat 3 dan ayat 4, namun istilah yang dipakai

adalah Pemekaran Daerah.

Tabel 1.1 Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) setelah Berlakunya UU No. 22/1999

(27)

Alasan mendasar terjadi pemekaran daerah adalah peningkatan

kesejahteraan rakyat lokal. Selama ini sumber daya cenderung ditarik ke daerah

induk hingga daerah yang jauh dari pusat kekuasaan tertinggal. Realitas yang

terjadi seringkali karena pemekaran daerah sebab kepentingan elite untuk

mendapatkn kekuasaan karena mereka kalah dalam suatu pilkada. Ketidakpuasan

terhadap kepemimpinan yang didominasi oleh etnis tertentu seringkali dijadikan

alasan.

Menurut Sumodiningrat, berkaitan dengan pemberian otonomi kepada

daerah maka perlu memperhatikan unsur – unsur sebagai berikut, yakni : (1)

Kemantapan lembaga, (2) Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai,

khususnya aparat pemerintah daerah dan (3) Potensi ekonomi daerah untuk

menggali sumber pendapatannya sendiri.

Pembentukan Kabupaten Batu Bara berawal dari keinginan masyarakat di

wilayah eks Kewedanan Batu Bara untuk membentuk sebuah kabupaten Otonom.

Upaya dimaksud sudah dirintis sejak tahun 1957, namun akibat dinamika politik

nasional hingga akhir tahun 60-an (1969) masyarakat Batu Bara kembali

mengaspirasikan bergabungnya 5 (lima) kecamatan yang ada dalam sebuah

kabupaten Batu Bara, maka dibentuklah Panitia Pembentukan Otonom Batu Bara

(PPOB) yang di prakarsai oleh salah seorang tokoh masyarakat yang pernah

menjadi anggota DPRD Asahan. PPOB ini berkedudukan di jalan Merdeka

Kecamatan Tanjung Tiram. Karena Undang-undang Otonom belum di keluarkan

(28)

Kegiatan perekonomian di Kabupaten Batubara yang ditunjukan dengan

PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, pada tahun 2002 menunjukkan

peningkatan sebesar 4,05%. Angka ini menunjukkan bahwa dibandingkan tahun

sebelumnya terjadi kenaikan angka PDRB sebesar 4,05% dengan menganggap

harga konstan pada tahun 2000.Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu

sebesar 4.57%, tahun2004 dan 2005 pertumbuhan ekonomi cenderung melambat

dari 3,97 menurun menjadi 2,30% dipengaruhi adanya penebangan/konversi

tanaman perkebunan di beberapa wilayah.Namun pada berikutnya yakni

2006-2007 kembali naik menjadi 3,73% sampai 4,01%. Selanjut pada tahun2008 terus

meningkat mencapai 4,55%.

1.5.4.2.1 Latar Belakang terjadinya Pemekaran Wilayah

Menurut hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi

Daerah – Lembaga Administrasi Negara (2005) terhadap 14 propinsi dan 28

kabupaten/kota, ada beberapa alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran

daerah, diantaranya:

a) Alasan pelayanan, pemekaran daerah dianggap mampu meningkatkan

pelayanan publik kepada masyarakat karena sistem birokrasi yang lebih

kecil dibanding daerah induk yang memiliki cakupan pelayanan yang

lebih luas.

b) Alasan ekonomi, pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat

pembangunan ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lokal yang

selama ini belum dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah induk.

c) Alasan keadilan, pemekaran daerah dianggap mampu mendukung proses

(29)

publik sehingga suara masyarakat di daerah yang bersangkutan dapat

terakomodasi dan tersampaikan dengan baik.

d) Alasan anggaran, pemekaran daerah diharapkan dapat memberikan

anggaran yang besar bagi daerah otonom baru untuk melakukan

pembangunan di daerahnya.

e) Alasan historis dan kultural.

Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian

wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan

dan mempercepat pembangunan.

Tarigan (2005) mengatakan bahwa suatu wilayah dapat diklasifikasikan

berdasarkan tujuan dari pembentukan wilayah itu sendiri. Dasar dari perwilayahan

dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, di Indonesia dikenal

wilayah kekuasaan pemerintahan, seperti provinsi, Kabupaten/Kota,

Kecamatan, desa/keluarahan dan dusun/lingkungan.

2. Berdasarkan kesamaan kondisi (homogenity), yang paling umum adalah

kesamaan lokasi fisik. Misal, adanya klasifikasi desa berupa desa pantai,

desa pendalaman dan desa pegunungan. Bisa juga pembagian berupa

wilayah pertanian dan wilayah industri, wilayah perkotaan dengan daerah

pedalaman. Cara pembagian lainnya juga berdasarkan kesamaan sosial

budaya. Misalnya, daerah-daerah dibagi menurut suku mayoritas, agama,

adat istiadat, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan mayoritas

(30)

3. Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi, perlu ditetapkan terlebih

dahulu beberpa pusat pertumbuhan yang kira-kira sama besar rankingnya,

kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan.

Batas pengaruh antara satu kota dengan kota lainnya hanya dapat

dilakukan untuk kota-kota yang sama rankingnya, kota yang lebih kecil itu

senantiasa berada dibawah pengaruh kota yang lebih besar.

4. Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini ditetapkan

batas-batas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program

atau proyek dimana wilayah tersebut termasuk kedalam suatu perencanaan

untuk tujuan khusus. Suatu wilayah perencanaan dapat menebus beberapa

wilayah administrasi berdasarkan kebutuhan dari perencanaan tersebut.

1.5.4.2.2 Syarat – syarat Pemekaran Wilayah

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam

pembentukan daerah baru, setiap daerah harus mampu memenuhi tiga syarat

yaitu:

1. Syarat administratif. Syarat administratif meliputi persetujuan DPRD

Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah

provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur serta

rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

2. Syarat teknis. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar

pembentukan daerah yang mencakup kemampuan ekonomi, potensi

(31)

keuangan, luas daerah, pertahanan, keamanan serta faktor lain yang

memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

3. Syarat fisik kewilayahan. Syarat ini berhubungan dengan wilayah yang

akan dimekarkan, lokasi calon ibu kota serta sarana dan prasarana

pemerintahan. Dalam pembentukan Provinsi, wilayah baru harus meliputi

minimal lima kabupaten/kota dan dalam pembentukan Kota, wilayah baru

harus meliputi minimal empat kecamatan.

Selain syarat diatas, Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 juga

mencantumkan syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai

berikut :

 Kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha

perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi,

Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari produk domestik regional bruto

(PDRB) dan penerimaan daerah.

 Potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat

dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah

dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari: (1) lembaga

keuangan, (2) sarana ekonomi, (3) sarana pendidikan, (4) sarana

kesehatan, (5) sarana transportasi dan komunikasi, (6) sarana pariwisata,

dan (7) ketenagakerjaan.

 Sosial budaya, berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya

masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat yang dapat diukur dari

tempat peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya dan sarana

(32)

 Sosial politik, merupakan cerminan kondisis sosial politik masyarakat

yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan

organisasi kemasyarakatan.

 Jumlah penduduk, berkaitan dengan jumlah penduduk daerah yang

bersangkutan.

 Luas daerah, berkaitan dengan luas daerah yang bersangkutan.

 Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah

1.5.4.2.3 Indikator evaluasi pemekaran wilayah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang “Tata Cara

Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan” dijelaskan

bahwa definisi evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi

masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan

standard. Evaluasi dilakukan berdasarkan sumberdaya yang digunakan serta

indikator dan sasaran kinerja keluaran untuk kegiatan dan atau indikator/sasaran

kinerja hasil untuk program.

Dalam pelaksanaan pemekaran wilayah untuk dapat mewujudkan

terselenggaranya otonomi daerah maka dalam Bab II pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan

Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah disebutkan tujuan

pemekaran daerah yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui :

a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

b. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah

(33)

d. Percepatan pengelolahan potensi daerah

Perkembangan suatu wilayah merupakan integral pertumbuhan setiap

sistem yang terdiri dari sosial, ekonomi, infrastruktur, berkurangnya kesenjangan

antar wilayah, serta terjaganya kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah

(Riyadi, 2002).

a. Aspek Infrastruktur

Keberhasilan pembangunan dapat diukur dari ketersediaan dan

kecukupan serta kemampuan sarana dan prasarana yang mempunyai peranan

penting terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sistem infrastruktur dapat

didefinisikan sebagai fasilitas – fasilitas atau struktur – struktur dasar, peralatan –

peralatan, instalasi – instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk

berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat. Definisi teknik juga

memberikan spesifikasi apa yang dilakukan sistem infrastruktur dan mengatakan

infrastruktur adalah aset fisik yang dirancang dalam sistem, sehingga memberikan

pelayanan publik yang penting.

Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi,

pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung, dan fasilitas publik lain yang

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan

ekonomi. Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem

sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan masyarakat.

(34)

Ketercapaian tujuan pembangunan antara lain dapat dilihat dari

pendapatan nasional perkapita, pengurangan jumlah penduduk miskin, dan tingkat

pengangguran. Makin tinggi tingkat pendapatan perkapita menunjukkan makin

berhasil pembangunan yang dicapai. Sementara itu, makin sedikit jumlah

penduduk miskin maka makin berhasil pembangunan tersebut. Dalam praktek

perhitungan pendapatan perkapita di suatu daerah sering direpresentasikan oleh

Produk Domestik Regional Bruto perkapita. Pendapatan regional adalah seluruh

pendapatan yang diperoleh oleh penduduk suatu daerah dalam satu tahun tertentu.

Sedangkan pendapatan regional perkapita adalah pendapatan regional dibagi

jumlah penduduk.

c. Aspek Sosial

Keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan dapat dilihat dalam sektor

pendidikan dan kesehatan. Keberhasilan pembangunan dilihat dari indikator

kinerja sektor pendidikan adalah adanya kesempatan bagi masyarakat usia didik

untuk mendapat pendidikan yang layak secara kualitas dan kuantitas. Faktor

manusia merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi yang

menekankan pada efisiensi. Para ahli ilmu ekonomi modern menyebutkan

pembentukan modal insani, yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan,

keterampilan dan kemampuan seluruh penduduk negara yang bersangkutan.

Dalam mengetahui perkembangan suatu wilayah dari aspek sosial, kemiskinan

(poverty) merupakan indikator yang digunakan dalam menilai perkembangan

(35)

1.6 Definisi konsep

Menurut Singarimbun konsep merupakan istilah dan definisi yang

dipergunakan untuk menjabarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau

individu tertentu yang menjadi pusat perhatian. Dalam sebuah penelitian

diperlukan sebuah konsep untuk mempermudah dan memberikan batasan masing

– masing yang digunakan. Konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Kebijakan publik adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis

rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang

ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada

tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.

b. Implementasi Kebijakan adalah suatu proses yang dinamis yang

melibatkan secara terus menerus usaha – usaha untuk mencari apa yang

akan dapat dilakukan.

c. Evaluasi Kebijakan adalah salah satu tahapan penting dalam siklus

kebijakan. Pada umumnya evaluasi kebijakan dilakukan setelah kebijakan

publik tersebut diimplementasikan.

d. Pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara, merupakan suatu proses

pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan

meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan yang diharapkan

dapat menciptakan kemandirian daerah. Serangkaian tindakan pemerintah

yang dilaksanakan dengan tujuan untuk pembentukan Kabupaten Batu

Bara sebagai daerah otonom berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 129

(36)

1.7 Definisi Operasional

  Definisi operasional menurut Singarimbun adalah unsur – unsur penelitian

yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel. Dengan kata

lain, defenisi operasional adalah petunjuk pelaksanaan bagaimana cara mengukur

suatu variabel. Adapun indikator yang digunakan peneliti untuk melakukan

evaluasi terhadap pemekaran wilayah yang dijadikan pedoman dalam mengukur

keberhasilan daerah tersebut adalah :

a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

b. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah.

c. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi.

d. Percepatan pengelolahan potensi daerah.

Dalam penelitian ini pemekaran Kabupaten Batu Bara juga dapat diukur dengan

indikator menurut Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 dimana

(37)

1.8 Sistematika Penulisan

  Adapun sistematika penulisan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari enam Bab, diantaranya adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat dan menjelaskan latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kerangka teori, hipotesis, defenisi konsep, dan sistematika

penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi

dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor, dan

teknik analisis data.

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Pada bab ini memuat gambaran umum atau karakteristik lokasi

peneliatan.

BAB VI : HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari

lapangan berupa dokumen – dokumen dan data yang akan diteliti

kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan korelasi

hubungan antar variabel.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini memuat kesimpulan dan saran yang diperoleh dari

(38)

Gambar

Gambar 1.1. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn
Gambar 1.2. : Model implementasi George Edwards
Tabel 1.1 Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) setelah Berlakunya UU No. 22/1999

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan waktu penyuntikan hormon FSH tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05), namun secara parameter penyuntikan hormon FSH

Sebagai salah satu bidang dengan prospek paling menjanjikan dalam perkembangan ekonomi Indonesia, pariwisata memiliki peranan yang penting dalam kehidupan

Agar data yang telah dimasukkan dapat langsung dianalisa, maka data yang telah diketikkan ke dalam form input di layar monitor langsung dibandingkan dengan data

Kelinci jenis Anggora Giant ini adalah ras yang tercipta dari persilangan antara kelinci Flemish Giant dengan kelinci English Angora yang menciptakan kelinci

Dalam tugas akhir ini akan dibuat sebuah robot pemasaran ( sales promotion robot ), yaitu robot beroda dengan sebuah kamera sebagai sensor pendeteksi wajah ( face detection ),

Meskipun dalam Pasal 4 menyatakan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

Penelitian perhitungan neraca air ini ber- tujuan untuk menganalisis kebutuhan air pada tanaman kedelai lahan kering di kabupaten Konawe Selatan, sekaligus menekan kendala

Banyaknya stasiun televisi di Indonesia mau tidak mau menyebab- kan persaingan sengit antarmedia televisi, stasiun televisi manakah yang akan memenangkan persaingan merebut